You are on page 1of 11

Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi

Evolusi Makna Pembangunan


Pandangan tradisional beranggapan yang membedakan antara negara maju
dengan Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah pendapatan rakyatnya.
Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah,
seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang
dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan
“dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Indikator berhasil tidaknya
pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP)
per kapita riel, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih
tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas terlihat
dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod
Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse,
Leibenstein.
Perkembangan selanjutnya, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan”
(growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal
pembangunan mereka, memang dapat dicapai, namun dibarengi dengan
masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi
pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti
pembangunan. Maka, muncul paradigma baru dalam pembangunan seperti
pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan
mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian
terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan
ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).
Indikator Pembangunan
Indikator pembangunan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
pembangunan yang dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Indikator-
indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat
diklasifikasikan menjadi (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Sedangkan
yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP (GNI) per kapita, laju
pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity,
sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index
(HDI) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup.
Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriteria utama Bank Dunia dalam
mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara adalah Gross National
Income (GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang merupakan
pendapatan nasional bruto dibagi jumlah populasi penduduk. Bank Dunia (2003)
mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya, yaitu (1)
negara berpenghasilan rendah (low-income economies), (2) negara
berpenghasilan menengah (middle-income economies). Dalam kelompok negara
berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi negara berpenghasilan
menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dan negara
berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies), (3)
negara berpenghasilan tinggi (high-income economies), (4) dunia (world) meliputi
semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan
dengan penduduk lebih dari 30.000 jiwa.
Jenis-jenis Kemiskinan dan Indikatornya
Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang, bahkan
negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara
Dunia Ketiga. Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan absolut, di
mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah
garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan
nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Berbeda
dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat dinamis dan tergantung di
mana seseorang tinggal.
Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu masyarakat maka
diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di Indonesia, garis
kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index.
Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan
garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan
sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras.

Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga
komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin,
menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk
menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang
dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti
yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.

Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola
kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan
disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan
kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan fenomena
kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya negara miskin
itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor).

Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan


dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung memberi
pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan,
seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif
terhadap pengangguran di perkotaan; kedua, penduduk pedesaan dapat
memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri. Hasil studi atas 100
desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute memperlihatkan bahwa
pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi kemiskinan, namun perlu
pertumbuhan yang keberlanjutan dan distribusi yang lebih merata serta
kemudahan akses bagi rakyat miskin.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di
Jepang, solusi yang diterapkan adalah dengan menerapkan pajak langsung yang
progresif atas tanah dan terbatas pada rumah tangga petani pada lapisan
pendapatan yang tinggi, sedangkan Cina melakukannya melalui pembentukan
kerangka kelembagaan perdesaan dengan kerja sama kelompok dan brigades di
tingkat daerah yang paling rendah (communes). Di sisi lain, solusi
pemberantasan kemiskinan di Taiwan melalui mobilisasi sumber daya dari sektor
pertanian dengan mengandalkan mekanisme pasar.
Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi atau
Rural-Led Development yang menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam
sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan
sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin.
Di Indonesia, salah satu strategi penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui
pemberdayaan partisipatif masyarakat melalui P2KP. Sasaran dari program ini
adalah kaum miskin perkotaan yang sangat rentan terhadap krisis dibandingkan
dengan masyarakat perdesaan.

Pertumbuhan versus Pemerataan


Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris yang mendukung
hipotesis kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini perlu disikapi hati-
hati tergantung dari jenis data yang dipakai, apakah data silang atau runut waktu.
Hal ini penting karena keduanya memberikan kesimpulan yang berbeda.
Ketimpangan Distribusi Pendapatan: Indikator dan Trend
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering
digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan
perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator
tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari
garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya.
Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal,
semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin
kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian juga
sebaliknya.
Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk kasus negara
berkembang pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan negara
maju. Apabila dilihat koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan negara berkembang.

Masalah Dualisme Pembangunan


Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan revolusi industri yang
terjadi di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri yang terjadi di negara maju
ternyata mendorong negara-negara lain untuk bereaksi dengan 2 cara. Pertama,
berusaha untuk meniru model revolusi industri. Kedua dengan melakukan kontak
dagang. Usaha untuk meniru tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di
kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Hal tersebut menjadi titik tolak mulainya
pembagian dunia menjadi negara industri dan nonindustri. Revolusi industri
menyebar dengan cepat di negara-negara yang melakukan revolusi pertanian
khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan di negara dengan
produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa Selatan
atau Amerika Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif lambat.
Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an karena
menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial
Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-
negara Barat yang berdasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, Boeke
berpendapat bahwa teori ekonomi konvensional dari Barat jelas tidak dapat
diterapkan di negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun teori
dengan kerangka yang sama sekali baru. Teori “baru” ini jelas lebih kompleks
karena harus memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang
berbeda, saling mempengaruhi, dan saling berbenturan.
Meskipun banyak kritikus Belanda yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori
Boeke bertahun-tahun sejak Perang Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada
pemikiran yang muncul menentang Boeke (Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan
ilmuwan yang berpengaruh dari tahun 1929 hingga kematiannya pada tahun 1956.
Kritik yang paling gencar terhadap teori Boeke datang dari Benjamin Higgins
(1955). Kritik yang lain datang dari Sadli (1957) dan Mackie (1980).
Dualisme vs Segmentasi Pasar
Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross McLeod, dan Howard
Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan
mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan
kontribusi yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi
mikro Indonesia.
Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme
teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill
menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun
Indonesia. Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi
kurang tepat diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia. Ia melihat
dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan Indonesia.
Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar
tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan
dikotomi prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar
tenaga kerja bukan dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi.
McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang berlanjut antara
sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik NSB. Dalam sektor
keuangan, dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang
informal. McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan
sebagai perbedaan harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan
dalam lokasi geografis.
Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia
mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia
dalam teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.
Kependudukan dan Pengangguran
Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep yang lebih luas
dan menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan manusia pada
semua tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep ini
meletakkan pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar
pembangunan. Elemen penting dari pembangunan manusia adalah tersedianya
pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat dan panjang umur,
memperoleh pendidikan, dan memperoleh akses bagi sumber daya yang
diperlukan untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh kebebasan politik
sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia yang terlihat
dalam proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam
anggaran belanja negaranya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
sebuah negara memperhatikan pembangunan manusianya.
Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap transisi antara
penduduk muda menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang
kependudukan di Indonesia terlihat dari perubahan komposisi penduduk menurut
umur yang tercermin dari semakin rendahnya proporsi penduduk tidak produktif
dan semakin rendahnya angka beban tanggungan.
Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami peningkatan pada
tahun 1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang lebih tinggi di
daerah perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat partisipasi sekolah
untuk SLTP dan SLTA lebih tinggi di daerah perkotaan.
Wanita dalam Pembangunan
Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh adanya
norma sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan perilaku rumah tangga dan
faktor lembaga legal formal yang mempengaruhi kegiatan ekonominya
Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adalah akses terhadap
pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat partisipasi sekolah yang
menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang telah memanfaatkan
fasilitas pendidikan yang ada.
Perbandingan antara indeks pembangunan yang berhubungan dengan gender
(GDI) dan indeks pembangunan manusia (HDI) dapat digunakan untuk melihat
seberapa besar kesenjangan gender (gender disparity) di suatu daerah.
Migrasi
Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan penduduk desa yang
menuju kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk
yang tinggal di perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus
meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan kota yang lebih cepat
mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Artinya, urbanisasi
desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Migrasi dari
desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan
kota.
Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus
(SUPAS) 1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara
kandung/famili lain sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan
sebesar, (4) karena perumahan, dan (5) lain-lain.
Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu
nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota sebagai self
employment yang akhir akhir ini dikenal sebagai sektor informal.
Posisi dan Kondisi Hutang Dunia
Utang menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun
demikian, dalam kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang
luar negeri yang tidak kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu
faktor yang membedakan antara keduanya adalah sering kali negara berkembang
tidak mampu mengelola utang secara profesional. Hal ini menyebabkan utang
yang semula digunakan untuk membiayai pembangunan beralih menjadi beban
pembangunan.
Secara umum, alasan mengapa negara berkembang harus berutang adalah
tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain
untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor
barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut
berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang
lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar
utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya negara
dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa yang cukup untuk
kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.
Timbulnya Krisis Utang
Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan buruk, dapat
menjerumuskan negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan dengan
fenomena krisis baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Dilihat dari
faktor penyebabnya, Faktor penyebabnya bukan semata-mata negara peminjam
tetapi juga disebabkan dari aspek internasional. Misalnya, saja kekurang hati-
hatian bank internasional dalam memberikan dana pinjaman ke negara
berkembang.
Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke luar negeri (capital
flight) sehingga makin memperburuk perekonomian negara tersebut. Capital
flight menyebabkan turunnya investasi dalam negeri, yang berakibat pada
rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya
tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi yang
mendorong adanya modal yang mengalir ke luar negeri. Demikian seterusnya
sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.
Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi
negara tersebut, yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat
tabungan di dalam negeri (domestic saving rate); kedua, mempertahankan
overvalued currency sehingga mempermudah impor untuk tujuan-tujuan yang
tidak produktif; ketiga, sebagian besar dana utang luar negeri sektor pemerintah
dibelanjakan di negara pemberi utang, bukan di negara penerima utang; keempat,
pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jelas mengalihkan dana yang
dapat digunakan sebagai investasi domestik; dan kelima, membuat pemerintah
negara berkembang pengutang besar untuk mengintensifkan penerimaan pajak
sehingga dapat menyebabkan kondisi investasi yang tidak kondusif dan pelarian
modal ke luar negeri (capital flight).
Solusi Krisis Utang
Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang menderita,
tetapi juga negara dan institusi donor yang selama ini memberi pinjaman. Mereka
kuatir bahwa negara kreditor tidak mampu membayar kembali utang-utangnya.
Pada perkembangannya timbul beberapa solusi krisis ini, di antaranya pendirian
institusi pengelolaan utang, HIPC Initiative, dan Debt for Nature Swap.
Beberapa negara-negara yang termasuk HIPC mendapat pengurangan utang
melalui prakarsa yang disebut HIPC Initiative yang dalam perkembangannya
muncul HIPC Enhanced Initiative. Namun, Indonesia tidak dapat bantuan
pengurangan utang ini karena masih dianggap mampu untuk membayar cicilan
utang dan bunganya. Selanjutnya Indonesia mengajukan program debt for nature
swap kepada beberapa negara kreditor yang tergabung dalam CGI. Hasilnya
beberapa negara menerima dan sebagian menolak. Dalam perkembangannya,
konversi utang ini tidak saja berlaku untuk pembiayaan pelestarian lingkungan,
namun juga melebar ke bidang pendidikan dan kesehatan.
Investasi Luar Negeri
Peranan investasi asing langsung mempunyai peranan penting bagi
perekonomian negara khususnya negara berkembang yang memiliki stok
tabungan yang minim. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh UNCTAD
menunjukkan bahwa negara maju pun sebenarnya memerlukan investasi asing.
Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang berasal dari negara maju menuju ke
negara maju lainnya.
Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi portofolio.
Perbedaannya adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya terjadi
transfer teknologi dan manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan rumah
(host country). Sebaliknya, investasi portofolio bersifat jangka pendek dan
implikasinya adalah modal tersebut dapat bergerak pindah dari suatu negara ke
negara lain (mobilitas ini disebut juga “uang panas”). Oleh karena itu, suatu
negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi portofolio ini.
Anggito Abimanyu (1994) dalam studinya mengenai TNC di Indonesia
menyimpulkan beberapa hal yang menarik berdasarkan analisis data industri
tahun 1986-1991 dari Badan Pusat Statistik. Pertama, peningkatan masuknya TNC
ke Indonesia, terutama PMA penuh pada akhir tahun 1980-an, bukan merupakan
industri unggulan, namun justru yang sudah buangan. Kedua, kinerja TNC
umumnya cenderung berorientasi pada pasar dalam negeri meskipun produk
yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor. Ketiga, TNC
cenderung memanfaatkan tenaga kerja yang relatif terlalu tinggi dan boros
karena upah yang rendah. Dengan kata lain, kondisi upah rendah adalah daya
tarik utama masuknya TNC ke Indonesia.
Perusahaan Transnasional (TNC )
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki
peranan yang penting dalam meningkatkan produktivitas ekonomi negara
tersebut. Dalam skala global, besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya
tenaga kerja yang diserap, jumlah penjualan di dunia serta aliran FDI yang
meningkat dari tahun ke tahun (World Investment Report 2002). Pada umumnya
TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh negara-negara maju, seperti Amerika
Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam perkembangannya, terdapat 5 TNC
yang berasal dari negara berkembang, seperti Venezuela (Petroleos de
Venezuela) dan Malaysia (Petronas).
Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC dapat
mengendalikan ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk
memanfaatkan perbedaan geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam
segi faktor endowments (termasuk kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC
untuk memindahkan sumber daya dan operasi lintas lokasi dalam skala global.
Kontribusi TNC bagi host country adalah bertambahnya stok modal, transfer
pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pihak yang menganggap bahwa
TNC membawa manfaat positif bagi negara berkembang. Namun, di lain pihak
berargumen bahwa TNC justru lebih membawa dampak negatif daripada dampak
positif bagi suatu negara. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pro-kontra
bagi keberadaan TNC.
Strategi Pembangunan Industri
Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu negara adalah
substitusi impor (inward-looking) dan promosi ekspor (outward-looking). Strategi
substitusi impor identik dengan proteksionisme yang dilakukan pemerintah untuk
melindungi industri yang masih muda agar dapat bersaing, sedangkan strategi
promosi ekspor identik dengan usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan
pendapatan nasional.
Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya
karena 2 alasan berikut. Pertama, strategi substitusi impor yang pada dasarnya
diterapkan untuk memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi
tidak selalu memerlukan teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian
yang paling menarik dari strategi substitusi impor adalah kemungkinan
penghematan devisa melalui penurunan belanja negara dalam bentuk valuta
asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit perdagangan.
Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah meningkatnya nilai
ekspor sebuah negara yang dapat meningkatkan pemasukan negara berupa mata
uang asing sehingga meningkatkan cadangan devisa. Namun, penerapan strategi
ini berpotensi menyebabkan kenaikan pengeluaran untuk impor seiring dengan
kenaikan pendapatan suatu negara yang pada akhirnya menimbulkan pengaruh
negatif pada neraca perdagangan negara yang bersangkutan.
Kinerja dan Daya Saing Industri
Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat
konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang
terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi
kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan
keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing
di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan
oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan
klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri
Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah,
(5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong
kemajuan teknologi, (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar
domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada
pasar yang diproteksi.
Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya proteksi
(tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3) tingginya
teknologi yang digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.
Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena
setidaknya 2 alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi
perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara
identik dengan daya saing perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya
saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya
saing di pasar domestik maupun internasional, (2) mendefinisikan daya saing
negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Apabila suatu
perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan
baku dari para pemasok, dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan
bangkrut dan terpaksa ke luar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan memang
bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah
“ke luar dari arena persaingan”.

Pengembangan Usaha Kecil


Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No 9
Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan
tahunan maksimal Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut BPS
mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu (1) industri
rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19
orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar
dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).
Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak adanya pembagian
tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2) rendahnya akses
industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, (3) sebagian besar usaha
kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum, (4) dilihat menurut
golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri
kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau,
kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil, dan industri kayu,
bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga. Masing-
masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada.
Perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT)
setidaknya dilandasi oleh 3 alasan, yaitu (1) IKRT menyerap banyak tenaga kerja,
(2) IKRT memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, (

PRIVATISASI BUMN
Gelombang Privatisasi Dunia
BUMN didirikan dengan tujuan memobilisasi tabungan masyarakat, menciptakan
kesempatan kerja, menyediakan barang-barang publik, dan menjaga industri atau
sektor yang dianggap strategis tetap di bawah kendali pemerintah.
Ada beberapa alasan dilakukannya privatisasi BUMN. Pertama, meningkatkan
kinerja berupa efisiensi ekonomis BUMN yang ditunjukkan dengan harga jual
yang rendah dan meningkatnya kualitas produk. Kedua, mengurangi defisit
keuangan. Ketiga, mencapai keseimbangan antara sektor publik dan sektor
swasta. Keempat, privatisasi bertujuan untuk menciptakan investasi baru,
termasuk investasi asing, kepemilikan saham yang lebih besar dan pendalaman
sistem keuangan dalam negeri.
Privatisasi di negara-negara Amerika Latin ternyata bukan hanya keputusan
ekonomi. Di negara-negara ini, privatisasi dikaitkan dengan tarik menarik
kekuatan politik dan bukan hanya sekadar “rasionalitas pasar”. Namun,
privatisasi dilakukan akibat “tekanan” bank-bank internasional, konsultan dan
lembaga pemerintah yang mendesain program privatisasi. Reformasi BUMN di
Cina diawali dengan eksperimen Deng Xiaoping pasca-Kongres Partai ke-11 pada
tahun 1978. Di hampir semua daerah, 70% BUMN skala kecil dan menengah
diprivatisasi terutama melalui skema pemegang saham oleh para karyawan.

Privatisasi BUMN di Indonesia


Beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan privatisasi terhadap
BUMN, yaitu (1) untuk menutupi defisit APBN, (2) tidak memiliki dana segar
menyubsidi BUMN agar terus berkembang demi kepentingan masyarakat, (3)
banyak BUMN yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal untuk
dikontribusikan bagi kemakmuran rakyat melalui APBN, (4) maraknya praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan BUMN bekerja tidak
efisien.
Di Indonesia, pemerintah baru sejak 1988 memberlakukan upaya privatisasi
secara bertahap, yakni dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), 3
Keputusan Menteri Keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989;
1232/KMK.013/1989), dan surat Edaran S-648/MK013/1990. Selama tahun 1989-
1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini 5 buah lebih
sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45
lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan
diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga
masih relatif kecil. Dari enam BUMN yang diprivatisasi melalui pasar modal antara
tahun 1991 sampai 1997, sebagian besar kepemilikan saham BUMN masih
dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya yang
berkisar antara 25% sampai 35%.

Kinerja dan Strategi Reformasi BUMN


Proses privatisasi BUMN tidak saja dalam terjadi di negara berkembang, namun
juga di negara-negara maju. Kebijaksanaan privatisasi baik di negara maju
maupun negara berkembang dalam rangka untuk membebaskan pemerintah dari
campur tangan dalam bidang ekonomi yang merupakan bidang yang semestinya
dilakukan oleh sektor swasta.
Reformasi BUMN mengandung makna yang lebih luas dan memerlukan sebuah
grand strategi reformasi BUMN. Reformasi seharusnya mencakup setidaknya 2
dimensi utama, yaitu internal korporat BUMN dan positioning BUMN dalam
konfigurasi sistem ekonomi nasional (Kuncoro, 2002). Tanri akhirnya
memutuskan program privatisasi dilakukan melalui penjualan lewat mitra
strategik (strategic partner) di banding lewat penawaran publik melalui bursa
saham. Yang dikarenakan: pertama, pasar modal baru mengalami depresi akibat
krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra strategik dianggap lebih baik
daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki manajemen BUMN
maupun peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi.
Filed under: Fak. Ekonomi

You might also like