You are on page 1of 3

PERAN PEMUDA DALAM MENJAGA

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

Sejarah lahir dan tumbuh kembang NKRI tidak pernah lepas dari satu nama; “pemuda”.
Sejak dari Boedi Oetomo (1908) sebagai Kebangkitan Nasional; Sumpah Pemuda (1928)
sebagai kelahiran bangsa Indonesia; Proklamasi Kemerdekaan (1945) sebagai kelahiran
negara Indonesia; sampai Gerakan Reformasi (1998) sebagai perjuangan mengembalikan
kehormatan bangsa dari otoritarianisme adalah bentuk partisipasi pemuda yang umum
dikenal dalam mengawal bangsa ini. Dalam catatan yang lebih detail, ancaman dari
dalam negara seperti peristiwa PKI Madiun para pemuda juga berperan besar.
Menanggapi pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948, wakil ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro –yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua PPMI (Persatuan
Pelajar Mahasiswa Indonesia)– membentukCorps Mahasiswa (CM)di bawah komando
Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi Wakil Komandan untuk membantu
pemerintah menumpas pemberontakan PKI Madiun, dengan mengerahkan anggotanya ke
gunung-gunung.
Kurang lebih demikian potret peran pemuda yang terlihat di masa lalu. Sebuah panorama
yang tidak lagi banyak ditemukan saat ini. Momen-momen nasionalis di atas, sangat
disayangkan tidak lagi banyak mendapat perhatian. Ada kesan penyederhanaan peran
pemuda untuk negara kesatuan Republik Indonesia belakangan ini. Asumsi ini
mengerucut pada tiga point mendasar: 1] perjuangan yang hanya pada wilayah politik, 2]
matinya peran pengetahuan, 3] alergi pada lembaga-lembaga militer dan pihak asing.

Peran yang Terjebak Struktur Kekuasaan

Banyaknya organisasi-organisasi kepemudaan (OKP) yang memiliki hubungan mesra


dengan kekuasaan menjadi penjelas poin pertama di atas. Harus diakui kehadiran
beberapa OKP cenderung berjibaku dengan urusan struktural kekuasaan ketimbang
kultural. Bahkan tidak jarang mereka mengakui diri sebagai organisasi onderbouw
kelompok kepentingan tertentu. Parahnya lagi, beberapa oknum yang terbilang tua,
menyebut diri ”pemuda” dalam aksi politiknya. Ini fakta menyedihkan dalam membaca
peran pemuda atas republik belakangan ini. Makna peran yang hanya didefinisikan
sebagai partisipasi politik praktis bukan saja sebentuk pengerdilan lingkup peran pemuda.
Ia juga menurunkan derajat pemuda dengan menjatuhkan citranya pada haus kekuasaan.
Peran besar pemuda dalam Proklamasi adalah drama heroik nasional yang tidak haus
kekuasaan, jarang direnungkan. Dalam episode hari Proklamasi Kemerdekaan misalnya.
Ketimbang melantik diri menjadi ”proklamator kemerdekaan”, sosok-sosok pemuda
seperti Soekarni dan kawan-kawan lebih memilih menjadikan diri sebagai ”penculik”
sang Proklamator (Soekarno-Hatta). Semangat peran pemuda ketika itu tidak dipenuhi
oleh syahwat politik, tetapi kesadaran melihat fungsi peran diri untuk NKRI. Tercatat
sejarah menjadi ”penculik” pun tidak masalah, jika memang itu yang terbaik untuk
bangsa ini. Kurang lebih demikian yang mereka pikirkan.
Matinya Peran Pengetahuan

Konsekuensi lain dari penyempitan peran pada ranah politik kekuasaan adalah matinya
peran ilmu pengetahuan. Gambaran peran-peran historis di atas sekali lagi tentu tidak
menitikberatkan pada wilayah hasrat kekuasaan. Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun
1908 sebagai titik ”Kebangkitan Nasional” dan Sumpah Pemuda 1928 sebagai titik
”kelahiran Bangsa Indonesia” adalah gerakan yang sukses justeru diuntungkan oleh
posisi para pemuda sebagai sosok-sosok terpelajar. Energi keterpelajaran ini yang
mestinya kembali mewarnai peran pemuda dalam menjaga NKRI. Tidak melulu pada
ranah kekuasaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya
dilirik. Salah satu yang strategis adalah penguasaan IPTEK untuk menjawab kondisi
geografis Indonesia, yakni di bidang kemaritiman. Pemuda Indonesia diharapkan
mengambil peran kepeloporan untuk mengembangkan sains dan teknologi serta industri
kemaritiman yang hingga saat ini masih jauh dari ideal. Pengembangan ke arah tersebut
kerapkali terkendala oleh perpspektif keliru dalam memandang karakteristik yang muncul
dari kemaritiman Indonesia. Contohnya, laut dan sungai kerapkali dilihat sebagai
penghalang yang harus diatasi, padahal laut dan sungai merupakan penghubung dan
pemersatu antar pulau. Perspektif keliru inilah yang pertama harus dipecahkan oleh
pemuda Indonesia karena telah banyak dianut oleh para pengambil kebijakan di republik
ini.

Alergi Lembaga Militer

Ada hal aneh di tengah pola pikir pemuda. Anti militer dan anti asing adalah dua isu yang
santer terdengar di kalangan aktivis pemuda, padahal pada dasarnya keduanya adalah hal
paradoks. Satu sisi, pemuda ”anti asing” dan yang dimaksud tentu saja adalah ”anti
intervensi pihak asing”, baik imperialisme (perluasan imperium) maupun kolonialisme
(perluasan ekonomi). Sebab, jika yang dimaksud adalah benar-benar ”anti asing” maka
sungguh menggelikan. Tidak mungkin sebuah bangsa hidup tanpa interaksi kerjasama
dengan negara-negara asing lainnya. Sisi lain, para pemuda terbawa fobia berlebihan
pada militerisme, sehingga melahirkan sikap anti pada segala atribut yang berbau militer.
Antimiliterisme pemerintahan adalah sebuah kewajiban, tapi tidak berarti sama dengan
anti pada segala atribut militer. Sebab jika militer tidak ada, lalu lembaga khusus apa
yang akan menjaga NKRI dari intervensi asing? Paradoks ini melahirkan kecenderungan
pemuda yang acuh tak acuh pada peran ketahanan NKRI. Mereka sendiri yang selalu
tegas meneriakkan anti asing, tanpa menawarkan opsi fungsi peran sendiri. Bukan tidak
mungkin, sikap seperti ini menghilangkan rasa percaya diri lembaga ketahanan NKRI
karena merasa dimusuhi dari dalam, padahal mereka bertaruh nyawa untuk melindungi
NKRI dari luar. Tidak adanya hubungan baik pemuda-militer ini, juga bisa menjadi
alasan mengapa negara tetangga berani menginjak-injak kehormatan wilayah kedaulatan
Indonesia.
Potret kerjasama ABRI dan CM (Corps Mahasiswa) di atas menjadi pola relasi yang
seharusnya. Hubungan romantis mahasiswa-militer yang justeru lahir di tengah perang
pemberontakan PKI Madiun seharusnya juga mengisi kisah peran pemuda ke depan.
Dengan perbaikan hubungan kedua pihak ini, tidak mustahil sekali lagi militer bahkan
akan memasang badan untuk pemuda, seperti dikisahkan dalam epik pembubaran HMI
pada penggalan teriakan Panca Tunggal Lampung, “Kalau menindak HMI, akan saya
kerahkan satu batalyon”.

You might also like