You are on page 1of 22

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

SUATU TINJAUAN TEORI HUKUM

A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 telah menyatakan diri sebagai Negara berdasarkan atas hukum.
Pernyataan ini dengan jelas terlihat pada penjelasan umum UUD 1945, yakni
menyebutkan bahwa Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar
atas kekuasaan belaka. Konsekuensi pengakuan ini mengisyaratkan adanya
lembaga pengadilan sebab lembaga ini harus ada dan merupakan syarat
bagi suatu Negara yang menamakan dirinya sebagai suatu Negara Hukum,
atau Negara berdasarkan atas Hukum.

Di Indonesia Sejak Pemerintahan India Belanda sebenarnya telah ada


beberapa macam lembaga pengadilan, hanya saja lembaga pengadilan
tersebut sabgat berbeda, baik susunan,sumber hukum,maupun peranannya
dengan lembaga pengadilan yang ada sekarang. Pada masa Hindia Belanda
antara lain dikenal adanya Pengadilan Swapraja yaitu pengadilan dalam
daerah Zelbestuur (Daerah daerah yang berada dibawah pemerintahan raja
dan sultan). Pengadilan ini mengemban tugas untuk menciptakan
keamanan, ketentraman, kesejahteraan pemerintah kerajaan. Susunan
pengadilan terdiri dari residen sebagai ketua pengadilan,dan sultan-sultan
sebagai anggota dan misi pengadilan tersebut tidak sesuai denagn
pengadilan yang ada sekarang dan tidak sesuai pula dengan demokrasi
pancasila seperti yang pernah dikemukakan S.M Amin berikut ini1
Susunan pengadilan-pengadilan tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan
di alam merdeka yang berpemerintahan Demokratis. Pengadilan-pengadilan
tersebut yang dikuasai oleh residen dengan beranggotakan sultan-sultan,
sukar dianggap memberikan keputusan-keputusan yang semata-mata
didasarkan atas pertimbangan pertimbangan hukum dan keadilan. Bagi
ketua dan anggota-anggota yang menjabat pula fungsi utama sebagai
“besturdes”, sukar memberikan putusan yang objektif, yang tidak
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berurat kepada

1
kepentingan-kepentingan pemerintahan, sehingga rasanya tidaklah terjamin
dalil kebebasan peradilan.
Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar
menunjukan bahwa telah meninggalkan model-model peradilan belanda
yang cenderung memihak dan kurang objektif, melainkan juga sebagai
suatu bukti bahwa Negara Indonesia telah emmenuhi suatu syarat sebagai
Negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu dengan terbentuknya badan-
badan peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dan yang
lebih penting dengan hadirnya lembaga peradilan tersebut dimaksudkan
untuk mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-
undang Negara atau dengan kata lain untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan manusia tidak terlepas akan tanggung jawabnya yang
disebut sebagai kewajiban, baik kewajiban antar sesama, kepada hukum,
maupun kewajiban kepada sang Pencipta. Apabila manusia dalam pergaulan
sosialnya sadar akan tanggungjawab nya itu, maka akan tercipta
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun seringkali manusia
hanya mengingat haknya saja,tapi jika menyangkut tanggung jawab atau
kewajibannya, suka cari sribu dalih untuk mengingkarinya2. Dalam hal ini
Hukum juga membutuhkan sebuah lembaga yang dapat membantunya
untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan perlindungan
hukum,kepastian hukum, menampung dan meyelesaikan berbagai konflik
dan sengketa hukum baik antar sesama individu, golongan, masyarakat,
maupun pemerintah,sehingga dapat terselenggaranya Negara Hukum
berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian Pengadilan sudah seharusnya menjadi lembaga
yang berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia,dimana dalam
aktivitasnya mengolah konsep dan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya
masih abstrak, kemudian mewujudkannya dalam suatu kepastian dan
hukum dalam penyelesaian-penyelesaian permasalahan hukum yang ada di
masyarakat.
Undang-undang telah memberikan kedudukan pada lembaga
pengadilan, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1986). Oleh karena itu lembaga pengadilan
2
merupakan wadah bagi rakyat yang mencari keadilan, yang memiliki hak
dan kewajiban untuk meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan di Indonesia3.

Disamping peranan yang ideal, lembaga pengadilan mempunyai


peranan yang seharusnya. Peranan ini terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 (UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman)
yakni pada pasal-pasal berikut :
1) Pasal 2 ayat 1 yang isinya sebagai berikut
“ Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1
diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan
Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya ”
2) Pasal 4 ayat 2 yang isinya sebagai berikut
“ Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan “
3) Pasal 5 yang isinya sebagai berikut
a. “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang “
b. “ Dalam perkara perdata pengadilan memantu para pencari keadilan
dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cept dan
biaya ringan.

4) Pasal 14 ayat 1 yang isinya sebagai berikut


“ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

Kedua peranan tersebut diatas belum memberikan arti bagi lembaga


pengadilan sendiri maupun kepada pencari keadilan, sebab apabila hanya
berhenti terbatas kepada kedua peranan tersebut, berarti lembaga
pengadilan belum melakukan suatu peranan yang sebenarnya atau peranan
yang aktual. Peran aktual ini menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana
3
peranan, yakni para penegak hukum yang di satu pihak menerapkan
perundang-undangan, dan di lain pihak melakukan diskresi di dalam
keadaan-keadaan tertentu.

Lembaga pengadilan seperti juga pada organisasi lainnya, mempunyai


tujuan tujuan baik yang sudah ditetapkan dalam hukum positif maupun
tujuan-tujuan yang dipilih atas dasar diskresi. Tujuan utama lembaga
pengadilan adalah terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Namun, pemilihan terhadap suatu tujuan tersebut sering kali mengalami
perubahan dan tidak selalu sama dari masa ke masa. Perubahan ini dapat
muncul karena adanya kebijaksanaan formal baik dari Negara maupun dari
lembaga pengadilan sendiri. Contoh mengenai perubahan ini terdapat dalam
UU No.19 Tahun 1964 dan UU No.14 Tahun 1970, kedua-duanya mengenai
kekuasaan kehakiman. Pada UU pertama tujuan yang dipilih adalah
Masyarakat Sosialis Indonesia, sedangkan UU yang kedua, tujuan yang
dipilih adalah terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.4

Tujuan lembaga pengadilan ini kembali berubah setelah berlakunya


UU No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum. Tampaknya tujuan Undang-
undang yang dipilih berbeda dengan tujuan yang dipilih dalam UU
sebelumnya. Tujuannya adalah terwujudnya keadilan, kebenaran, kepastian
hukum dan ketertiban. Tujuan ini disimpulkan dari penjelasan umum UU
No.2 Tahun 1986 yaitu sebagai berikut5:

“ Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat

penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang


sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh
Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya
dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan
dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam
mencapai keadilan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.14 tahun

4
1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, yang
masing-masingmempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau
sengketa di bidang tertentu ”

Didalam hubungan-hubungan soasialnya, peranan pengadilan dapat


dihubungkan dengan tugas-tugas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
Bergesernya tugas dan tujuan-tujuan tersebut baik karena adanya
perubahan undang-undang maupun karena diskresi pengadilan akan
berpebgarus kepada peranan yang dilakukan oleh lembaga pengadilan.
Dalam hal ini terjadi perubahan tujuan niscaya akan terjadi pula perubahan
pengadilan.

Perubahan tujuan pengadilan yang berakibat pula pada pada


peranannya,dapat di contohkan misalnya, pengadilan menentukan tujuan
utamanya yakni, tercipatanya kerukunan dan perdamaian diantara pihak-
pihak yang bersengketa, dimana peranan pengadilan di sini adalah
merukunkan dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu dengan
jalan mediasi maupun secara kompromi. Akan tetapi, karena tujuan utama
ini tidak berhasil, maka terjadi pergeseran kepada tujuan lainnya, misalnya
adalah penegakkan hukum. Dengan berubahnya tujuan utama tersebut
menunjukan pula berubahnya peranan, yaitu bukan lagi mendamaikan atau
merukunkan, tetapi peranan pengadilan disini adalah menetapkan secara
tegas apa yang dihadapinya dan menentukan pula pihak-pihak yang
dinyatakan melanggar peraturan hukum itu.

Penyelesaian sengketa dimana aspek damai dan kerukunan menjadi


tujuan utamanya, tampak terlihat pada perkara perdata. Setiap perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan, pengadilan tidak langsung memeriksa
dan mengadili serta menetapkan aturan hukuman, tetapi terlebih dulu
mengajak pihak-pihak berdamai. Disini jelas terlihat peranan lembaga
pengadilan tidak terlepas dari tujuan baik,tujuan utama,maupun lainnya
yang datang kemudian.

5
Peranan pengadilan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan
dirinya sebagai wadah integrasi dari berbagai kepentingan, baik
kepentingan Negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan masyarakat.
Lembaga pengadilan sebagai sarana integrasi harus mampu
menyeimbangkan ketiga kepentingan itu sehingga tidakada satu
kepentingan yang di dominankan sementara mengabaikan kepentingan
lainnya.

Kepentingan Negara harus terwakili dalam proses-proses


penyelenggaraan peradilan, serta harus mendapat legitimasi atau
berdasarkan pada hukum, dan tidak mengorbankan kepentingan rakyat,
demikian pula sebaiknya. Oleh karena itu,putusan lembaga pengadilan
sebagai lembaga integrasi harus memuat dan mewakili ketiga kepentingan
itu sehingga semakin memantapkan terwujudnya keadilan yang menjadi
tujuan utamanya.

Jika dikelompokkan, terdapat peran yang di emban oleh lembaga


peradilan yang sifatnya yuridis formal6 dan terdapat pula peran yang
bersifat yuridis materiil. Peran yuridis formal yang dimaksud adalah peran
yang dijalankan oleh lembaga peradilan berdasarkan ketentuan undang-
undang, yaitu melaksanakan peraturan perundang-undangan melalui
kegiatan berupa menerima,memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan
putusan. Sedangkan Peran Yuridis Materiil adalah peran yang dijalankan
oleh lembaga pengadilan berdasarkan hati nurani, diskresi, dan kondisi-
kondisi sosial politik tertentu melalui berbagai bentuk kegiatan kearah
tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana yang telah di amanatkan dalam konstitusi 1945.

Dengan demikian, jika lembaga pengadilan ditempatkan pada dataran


konstitusi dan Ideologi Pancasila, peranan pengadilan tidaklah sekedar
melaksanakan tugas yuridis dengan mengotak atik dalam penerapan
aturan-aturan hukum formal dalam memutus perkara yang dihadapinya,
melainkan pula harus mengambil peran lain yakni peran politik, yang berarti
6
bahwa pengadilan harus juga berpolitik dan memperjuangkan ideologi.
Peran Politik ini juga meliputi keterlibatan MA untuk secara sadar membawa
perahu Negara ini menuju kepada tujuan seperti tercantum dalam
konstitusi7.

Dalam hukum acara pidana maupun dalam berbagai peraturan-


peraturan lainnya termasuk juga dalam praktik peradilan dikenal adanya
beberapa prinsip yang menjadi dasar di dalam menyelesaikan perkara
pidana. Prinsip ini tidak secara riil tertuang atau tersurat di dalam peraturan
perundang-undangan namun harus tercermin di dalam peraturan
perundang-undangan itu. Prinsip ini ada yang bersifat umum yang artinya
dapat berlaku pada semua tingkatan pemeriksaan, baik pada tingkat
penyelidikan,penyidikan, pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu ada yang bersifat khusus
dimana prinsip ini hanya boleh berlaku pada pemeriksaan tertentu dan tidak
berlaku pada semua tingkatan pemeriksaan sebelum pengadilan
menyatakan kesalahannya itu.

Permasalahan yang muncul saat ini adalah hukum tidak berjalan


sesuai dengan nilai-nilai dasar dibentuknya hukum itu sendiri.Belum terlihat
ada suatu perubahan hukum ke arah yang lebih baik karena hukum kita
masih dependen pada sumber daya ekononomi dan politik. Reformasi
hukum masih sulit untuk dijalankan. Alasannya secara politik dan ekonomi,
peranan hukum melegitimasi keputusan-keputusan politik dan ekonomi
dimana hukum menjadi subordinasi dari kekuasaan.

Peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi kontroversi.


Apabila dirangkum dalam suatu kesimpulan umum, berbagai kontroversi
tersebut dapat dilihat mulai dari lambatnya proses penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam
penanganan suatu kasus, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi
resmi saat kasus telah masuk ke pengadilan, proses penundaan persidangan
tanpa alasan yang jelas sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan
yang kadang kala tidak jelas waktunya. Semua hal tersebut diperparah
7
dengan sering munculnya putusan pengadilan yang tidak mencerminkan
rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak heran apabila dalam sebuah
media nasional pernah disebutkan bahwa seorang koruptor yang
“merampok” uang negara milyaran rupiah hukumannya tidak beda jauh
dengan seorang yang maling karung bawang merah di pasar. Selain itu dari
berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya
masyarakat diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah
demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan
pangkat tertinggi sampai dengan pangkat terendah di lembaga penegakan
hukum, sampai dengan kalangan intelektual yang menjadi saksi ahli.

Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai


laporan lembaga di dalam maupun luar negeri yang menyebutkan Indonesia
sebagai salah satu Negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia menjadi
cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel
Kauffmann yang secara khusus menyoroti praktek korupsi di lembaga
peradilan, dalam laporannya menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan berkaitan
dengan kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.

Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada


titik titik yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari
masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi
menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk melakukan berbagai
perbaikan signifikan bagi terciptanya suatu system pengadilan yang ideal
dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara praktek, teori pengadilan
yang mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di satu sisi dan
terciptannya suatu pengadilan yang bersih, transparan dan
mengedepannkan nilai-nilai keadilan disisi lain terlihat sudah sangat sulit
untuk diharapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat pengadilan yang
ada saat ini8.

8
Hal tersebut bisa mengakibatkan rasa hormat dan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin menipis dari hari kehari.
Sedangkan disisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga pengadilan dan
kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen lagi dan
mandiri dalam menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan
putusannya. Selain maraknya korupsi,kolusi, dan nepotisme dalam proses
penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses
peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan.

Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman atau


yudikatif ( dalam hal terutama oleh kekuasaan Negara lainnya seperti
eksekutif dan legislative ) akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat
serius untuk dipikirkan pemecahannya, terutama setelah terdapat beberapa
indikasi yang memperlihatkan bahwa adanya suatu putusan yang “aneh-
aneh”. Putusan tersebut biasanya terjadi dalam kasus-kasus yang cukup
populis dan melibatkan Negara (baik itu pejabat, lembaga ataupun
keuangan Negara). Sehingga disini akhirnya ungkapan terhadap politisasi
terhadap berbagai kasus yang ada dipengadilan menjadi sesuatu hal yang
tak dapat dihindari untuk diakui9.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa penyimpangan yang


sering terjadi dalam proses di pengadilan, yaitu sebagai berikut :
10

Tahapan Modus Operandi


Proses 1. Indikasi terjadinya KKN dalam penunjukan hakim yang
Persidangan memeriksa perkara dan terjadinya jual beli perkara
2. Hakim yang sama memeriksa beberapa perkara yang
pada intinya sama sehingga dikhawatirkan terjadi
conflict of interest
3. Anggota Majelis Hakim ada yang diganti untuk
beberapa kali persidangan.
4. Menunda pemeriksaan perkara secara berlarut larut
5. Persidangan dilakukan di luar ketentuan, yaitu
terdakwa tidak di dampingi penasihat hukum
9
6. Perlakuan Hakim terhadap terdakwa yang terkadang
kurang baik,(terutama dalam hal terdakwa adalah
anak yang masih dibawah umur)11
Putusan 1. Pertimbangan hukum tidak berdasarkan fakta dan
keadaan sebenarnya
2. Pelapor sebagai pihak berperkara tidak bisa
mendapatkan salinan putusan sampai saat
mendaftarkan banding
3. Adanya putusan MA mengenai perkara yang sama dan
saling kontradiktif
4. Pledoi atau duplik terkadang tidak menjadi bagian
penting di dalam pertimbangan membuat suatu
putusan12.
Eksekusi 1. Eksekusi ditunda tanpa alasan yang jelas
2. Surat penetapan eksekusi diberikan sangat mendadak
sebelum pelaksanaan eksekusi dilakukan
3. Pemberitahuan pelaksanaan eksekusi diberikan
kepada pelapor tanpa adanya surat teguran terlebih
dahulu
4. Keberatan atas penetapan eksekusi tidak mendapat
tanggapan dan tidak ditindaklanjuti oleh PN
5. Pelaksanaan elang dilakukan tanpa adanya tim penilai
yang independen sehingga harganya dibawah NJOP
Banding 1. Kesulitan untuk mengajukan kontra memori banding
karena salinan putusan belum diterima
2. Keterlambatan megirimkan berkas banding
3. Indikasi suap
Kasasi 1. Kelalaian mengirimkan berkas kasasi sehingga
seringkali ada halaman penting yang hilang
2. Perkara tertunda/ tidak juga selesai selama bertahun-
tahun
PK 1. Putusan yang berbeda untuk 2 perkara yang sama,
konstruksi landasan yuridis sama, dan majelis hakim
sama.
2. Pelapor tidak megetahui adanya PK karena tidak

10
pernah menerima relaas dari PN
Penyitaan 1. Objek sita tidak jelas,sita atas barang tidak bergerak
diletakan diatas barang bergerak.
2. Majelis hakim menetakan permohonan sita jaminan
dalam waktu amat singkat tanpa menunggu jawaban
pelapor.

Apabila melihat berbagai penyimpangan yang terjadi sebagaimana


diatas, maka dapat dikatakan bahwa penyebab yang terjadi sebagaimana
diatas selain dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia, juga
Berdasarkan Surat Dakwaan NO.REG.PDM-243/II/BEKASI/03/2009
dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia, juga dikarenakan faktor
tertanggal 5 dan
manajemen Maretadministrasi.
2009 dan Surat Tuntutan
Oleh karenaNOitu,
REG.PDM.243/II/BEKASI/02/2009
apabila lembaga pengadilan
tertanggal 13itikad
mempunyai Mei 2009
baikdimana
untuk tuntutan Jaksa Penuntut
memperbaiki Umum sebagai berikut
segala kekurangannya :
tersebut,
pembenahan manajemen MENUNTUT
administrasi, manajemen organisasi dan
Supaya Majelis
manajemen sumberHakim
dayaPengadilan
manusia Negeri
mutlakBekasi yangdilakukan
harus memeriksasecara
dan
mengadili perkara ini memutuskan :
komprehensif.
1. Menyatakan terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK BIN ADUL HAIR,
“BERSALAH”
Berdasarkanmelakukan tindak diatas,dalam
latar belakang pidana “bersetubuh
tulisandengan seorang
ini penulis wanita
bermaksud
mengangkat suatu fenomena
diluar perkawinan, lainnya dimana
padahal mengetahui peranan peradilan
atau sepatutnya sudah
dapat menduga tidak
bahwa
dijalankan lagi sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai pelaksana
umurnya belum lima belas tahun” sebagaimana diatur dalam pasal 287 (1)
kekuasaan kehakiman, serta kewajibannya untuk memberikan kepastian
KUHP.
hukum bagi masyarakat serta. Contoh kasus ini di ambil dalam suatu
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK
perkara Pidana Pro bono dengan Penetapan Pengadilan Nomor
BIN ADUL HAIR, dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi
505/Pen.Pid.B/2009/PN.BKS dalam perkara NO.REG.PDM.
selama terdakwa berada di dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap
243/II/BEKASI/02/2009, Pengadilan Bekasi.
ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) lembar akta kelahiran. Tiara Indah Sujatri yang dikeluarkan oleh
kantor catatan sipil Jakarta Jeans
- 1 (satu) helai kemeja warna putih
- 1 (satu) helai celana jeans pendek warna biru.
- 1 (satu) helai tanktop garis-garis hitam, 1 (satu) helai celana dalam warna
pink, 1 (satu) helai BH warna cream, 1 (satu) helai jaket putih gabar mickey
mouse.
Dikembalikan kepada saksi Tiara Indah 11
4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000
(seribu rupiah)
Dan di dalam Dupliknya, Tim Pebasehat Hukum Mengemukakan sebagai berikut :
Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum
dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah
kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat
dalam pasal 287 KUHP.
Jika kita mengulas kembali pada surat tuntutan Jaksa Penntut Umum pada
tanggal 13 Mei 2009, telah di kemukakan bahwa , terdakwa Mohammad Ilham
telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 287 ayat 1
KUHP.
Dalam hal ini, kami ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum
yang pada repliknya yang mengatakan bahwa kami, tim penasehat hukum tidak
menguraikan semua unsur yang ada pada pasal 287 ayat 1 tersebut secara
menyeluruh (komprehensif).
Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum
dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah
kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat
dalam pasal 287 KUHP.
Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan penjelasan
yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami
bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh
dengan wanita diluar pernikahan.
Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam
repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan
unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di
dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel).
Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut
pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal
mngenai perzinahan / Overspel.
12
Perzinahan / Overspel dalam KUHP karangan R. Sugandi, S.H. Penerbit
Usaha Nasional; Hal 300 adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki –laki dan
perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya
Di dalam pasal 287 ayat 1 KUHP, terdapat beberapa unsur yaitu :
(1) barang siapa,
Sudah dianggap jelas seperti yang telah diuraikan dalam Pledoi kami
sebelumnya.
(2) bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan,
(3) di duga bahwa umurnya belum 15 tahun.
Sudah dibuktikan berdasarkan akta kelahiran saksi korban.
Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan penjelasan
yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami
bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh
dengan wanita diluar pernikahan.
Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam
repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan
unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di
dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel).
13
Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut
pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal
mngenai perzinahan / Overspel.
Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya,
memutus 2/3 dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum,yaitu masing-masing
terdakwa menjalani pidana kurungan selama 4 tahun di kurangi masa
penahanan. Jika kita cermati satu persatu unsur hukum yang dibahas dalam
perkara diatas, dalam proses persidangan terdapat beberapa penyimpangan
dan kesalahan penafsiran hukum, sehingga yang seharusnya bebas dari
segala tuduhan hukum, karena terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal
287 ayat 1 KUHP tersebut, tetapi tetap dikenakan hukuman seperti yang
telah diputuskan Hakim Pengadilan Negeri tersebut. Dalam perkara diatas
juga dapat dilihat bagaimana sistem peradilan kita masih jauh dari das sein
(kenyataan) dan das sollen (harapan),oleh karena itu penulis mencoba
membahasnya dalam asas-asas teori hukum yang ada dalam bab di bawah
ini.

B. KEADILAN
Dalam Teori hukum, Terdapat 3 Jenis keadilan13 :
• Keadilan Umum (General Justice): Mewujudkan keadilan bersama bagi
masyarakat (COMMON GOOD OF ONE’S COMMUNITY).
• Keadilan Distributif (DISTRIBUTIVE JUSTICE): Kesetaraan
• (COMMUTATIVE JUSTICE) : Keadilan dalam hubungan hukum antar
para pihak, misalkan kontrak, ganti rugi dalam peristiwa melawan
hukum.
14
Menurut Apeldorn ;
• Keadilan bukan penyamarataan
• Keadilan bukan berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.
a. Substansi
Penyelenggaraan peradilan di Indonesia di atur dalam Undang-undang
Republik Indonesia No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam beberapa pasal disebutkan sebagai berikut ;
 Pasal 1 : “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum demi keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia “
 Pasal 5 ;
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya pengadilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
 Pasal 6:
(1)Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari
pada yang di tentukan oleh Undang-udang,.
(2) Tidak seorangpun dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-
undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
dirinya.

Jika dikaitkan dari permasalahan hukum yang telah penulis bahas diatas,
maka pelaksanaan sistem peradilan di Indonesia, belum sesuai dengan
Undang-undang tersebut. Faktanya :
(1)Belum adanya keadilan seperti yang di harapkan seperti yang tertulis
pada pasal 1 tersebut, dimana ketika seorang terdakwa tidak terbukti
bersalah atas unsur-unsur yang di dakwakan, tetapi pengadilan tidak

15
menjalankan sebagaimana mestinya dengan tidak mencermati unsur
demi unsur yang tertuang pada pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut.
(2)Pada pasal 5,faktanya adalah Hukum di Indonesia masih mengadili
dengan membeda-bedakan orang. Dalam perkara yang penulis bahas
diatas, perkara tersebut adalah perkara probono dengan mendapat
penetapan dari Pengadilan, dimana terdakwa dalam kondisi ekonomi
yang kurang, dan dengan segala keterbatasannya untuk membayar
biaya perkara, sehingga dikeluarkannya penetapan yang menetapkan
sebuah lembaga bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum.
Jika kita membuka mata pada kasus-kasus besar yang marak terjadi di
Negara ini, terdapat kesenjangan yang besar ketika koruptor,atau
seorang yang melakukan kejahatan besar,tetapi karena status sosial
dan ekonominya berada di kalangan tertentu,maka terdapat
perbedaan perlakuan dimana peradilan tidak terlalu rumit dan
dipersulit. Tapi tidak demikian dengan terdakwa dalam perkara yang
penulis bahas diatas,sekalipun mereka tidak mendapatkan keadilan
demi hukum sesuai yang diharapkan, mereka dengan kondisi ekonomi
yang sulit tidak bisa melakukan upaya hukum lainnya seperti banding
atau kasasi.Sehingga pada akhirnya mereka harus menjalani apa
adanya sesuatu dalam ketidakadilan.
(3)Pada pasalnya yang keenam juga tidak berjalan dalam faktanya
proses peradilan itu sendiri. Sekalipun unsur-unsur yang terdapat
dalam dakwaan maupun tuntutan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, terdakwa tersebut tetap dihukum.

b. Struktur
 Tinjauan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang dibahas
adalah isi tuntutan.
(1)Apakah tuntutan tersebut sesuai dengan fakta yang terungkap dalam
persidangan atau tidak?
(2)Apakah unsur-unsur dari pasal yang didakwakan itu sesuai dengan
rumusan pasalnya atu tidak?
Dalam perkara tersebut, Jaksa Penuntut umum menggunakan Pasal
287 ayat 1 KUHP, yang dalam kutipan perkara diatas telah dibahas dalam
16
Pledoi dan Duplik penasihat hukum tersebut tidak memenuhi unsur di
dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut. Karena KUHP sejauh ini tidak
mengatur hukuman mengenai perbuatan-perbuatan perzinahan.
Perzinahan hanya diatur melalui norma-norma yang ada dalam
masyarakat seperti norma sosial, norma agama. Sehingga sanksi nya pun
bukan sanksi pidana, melainkan sanksi moral, dan agama.
Seseorang bersalah memang sudah sepatutnya mendapatkan
hukuman yang setimpal. Dalam perkara diatas pun memang terdakwa
tersebut melakukan kesalahan. Kebenaran selalu bersifat tunggal14.
Dalam hal kebenaran telah di ambil oleh Jaksa, maka penasihat hukum
maupun aparat penegak hukum lainnyapun harus bersikat objektif.
Namun yang wajib disoroti dalam perkara tersebut adalah Undang-
undang yang digunakan untuk mendakwa terdakwa. Karena yang sedang
diadili itu adalah manusia, maka segala hal yang menyangkut
kehidupannya, wajib mempertimbangkan aspek-aspek hak
kemanusiannya. Menurut penulis sendiri, Undang undang yang tepat
yang seharusnya digunakan Jaksa Penuntut Umum adalah Undang-
undang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat 215.Sehingga kekeliruan dalam
menerapkan unadng-undang yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum
tersebut merugikan hak hidup terdakwa. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut
Umum harus lebih cermat dan hati-hati dalam menggunakan pasal yang
ada untuk melakukan tugasnya sebagai penegak hukum menegakkan
hukum dan keadilan di dalam masyarakat.

c. Budaya Hukum
Dalam prakteknya sulit sekali untuk menemukan implementasi dari
teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di
satu sisi dan terciptannya suatu pengadilan yang bersih, transparan dan
mengedepannkan nilai-nilai keadilan. Karena seiring dengan meningkatnya
perubahan sosial, ekonomi, maka perubahan makna dan tujuan serta fungsi
dari lembaga pengadilan pun mengalami pergesaran. Lembaga peradilan
saat ini bukanlah lagi menjalankan fungsinya sebagaimana yang dicita-
citakan oleh masyarakat Indonesia yang dapat memberikan keadilan dan
kepastian hukum. Namun dalam pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh
17
kepentigan-kepentingan tertentu. Sebagai contoh, dalam perkara di atas,
terdakwa yang merupakan orang yang berasal dari keluarga dengan kondisi
sosial ekonomi yang sangat kurang, sehingga mereka tidak sanggup untuk
membayar biaya perkara, ataupun “biaya-biaya” lainnya yang kerapkali
diminta oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam mafia
peradilan dengan iming-iming akan mendapatkan tuntutan lebih rigan
ataupun di bebaskan, menjadikan posisi mereka semakin sulit, sehingga
terpaksa menerima putusan Hakim apa adanya, walaupun harus mendekam
dalam ketidak adilan dan kepastian hukum. Dengan demikian kondisi
Peradilan di Indonesia masih jauh antara Harapan dan Kenyataan yang ada.

C. KEPASTIAN HUKUM
a. Substansi
Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis
bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan
dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai
di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang
lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya
dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi
sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus
menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro
menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam
pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas
adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan
ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah
sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan
hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari
hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa
hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian
pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang
selaku pencipta hukum16.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara
sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann
18
mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-
undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat
diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja
dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah
kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata
itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang.
Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak
boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap
penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-
undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara
sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri 17
.
b. Struktur
Wujud kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo : “Dalam
hukum yang penting bukan apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya
terjadi. Di dalam Undang Undang tidak dapat dibaca bahwa siapa yang
mencuri harus dihukum. Ketentuan yang berbunyi “barang siapa yang
mencuri harus dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi pencurian dan
pencurinya harus dihukum, tetapi barang siapa mencuri harus dihukum.
Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedankan
kesimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Sebagai syarat
harus terjadi peristiwa konkrit terlebih dahulu. Oleh karena telah terjadi
peristiwa maka sesuai bunyi kaidahnya harus ada akibat. Dihukumnya
pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum
karena (sebagai akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan
undang-undang yang melarangnya. Disini tidak berlaku hukum sebab-
akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan atau
preskriptif.
Dalam definisi ini bila dikaitkan dengan perkara pidana yang telah
penulis bahas sebelumnya, maka dalam hal ini adalah peran hukum dalam
mewujudkan kepastian hukum tersebut di wujudkan melalui lembaga
peradilan yang ada, dalam hal ini hakim sebagai sosok tunggal yang
memiliki wewenang dalam memutuskan sebuah sengketa hukum
berdasarkan hukum,fakta-fakta persidangan dan keyakinan yang
19
dimiliknya. Tetapi sering kali penafsiran hukum yang salah,atau tidak
sesuai dengan penafsiran hukum, mengakibatkan kepastian hukum disini
hanya tinggal sebuah harapan.

D.PENUTUP
a. Kesimpulan
Tujuan di Negara Hukum adalah untuk melindungi masyarakat,
member keadilan dan memajukan kehidupan bangsa. Hukum sebenarnya
adalah agen perubahan untuk mewujudkan kehidupan bangsa, alokasi
pendapatan yang lebih merata dan adil. Artinya, kalau ada keadaan yang
tidak merata, tujuan hukum adalah menjadikan keadaan itu menjadi merata.
Hukum dengan fundsi-fungsi yang diembannya itu terkadang mulus tanpa
hambatan yang merintanginya, namun terkadang pula sebaiknya, fungsi-
fungsi hukum itu hanyalah sekedar impian tak kunjung nyata. Bukannya
perlindungan keadilan yang diperoleh, namun sebaliknya justru ketakutan,
ketidakadilan dan kemiskinan yang ditimbulkan. Salah satu penyebab tidak
berfungsinya hukum itu barangkali karena lembaga yang mendukungnya
tidak mampu mengaktualisasikan keinginan hukum itu.
Perhatian kita terhadap lembaga pengadilan tidak lepas dari adanya
posisi terhormat dan strategis yang dimiliki serta prilaku prilaku sosial yang
dihasilkan melalui aktivitas-aktivitas peradilan yang terkadang
bersinggungan dengan posisinya yang terhormat dan strategis itu.terhormat
lembaga peradian akan dapat bergeser pada posisi pinggiran yang
tercemar dan tercela ketika aktivitas aktivitas yang dihasilkan tidak lagi
mencerminkan keadilan, baik keadilan hukum, keadilan masyarakat,
terutama keadilan Tuhan.

b. Saran
Berdasrakan hal tersebut, maka perlu disusun suatu standar profesi
penegak hukum, baik dari jaksa, hakim atau penegak hukum lainnya secara
komprehensif dengan memperhatikan perundang-undangan, doktrin, kode
etik, serta panduan internasional yang telah disusun oleh PBB. Selain itu
penilaian pelaksanaan pekerjaan para penegak hukum juga harus
disesuaikan dengan kemampuan. Seperti keahlian yang dimilikinya
20
sehubungan dengan kemampuan dan pengetahuan akan perkara yang
ditanganinya.Selain itu sebagai salah satu wujud pelaksanaan Good
Governance dengan prinsip prinsip transparansi, partisipatif, dan akuntable
dalam lembaga kejaksaan, makaakses public atas proses yang terjadi dan
produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan perlu dilembagakan dan
diatur secara jelas.
Berbagai hal yang telah diuraikan di atas pada dasarnya menunjukan
bahwa lembaga peradilan harus lebih mengoptimalkan dan membenahi diri.
Sebagai lembaga penegak, seharusnya pengadilan dan kejaksaan memiliki
wibawa dihadapan masyarakat. Di tengah kemelut krisis multi dimensi ini,
masyarakat berharap lembaga peradilan dapat memberikan titik terang
dalam upaya penegakkan hukum. Salah satunya adalah dengan
mengadakan reformasi di tubuh lembaga peradilan itu sendiri.
Salah satu metode yang mungkin dapat dikategorikan sebagai
langkah strategis yang perlu menjadi prioritas utama dalam kerangka
pembaharuan dan pembenahan peradilan tersebut adalah menigkatkan
peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial bagi semua pelaksanaan dari
kebijakan kebijakan publik atau dalam bahasa yang lebih mudah adalah
menjadikan public sebagai elemen pengawas bagi kinerja lembaga Negara,
yang dalam hal ini adalah lembaga peradilan.
Hal tersebut sangat penting untuk disikapi, karena semua itu sejalan
dengan keadaan masyarakat yang dari ahri ke hari semakin kritis terhadap
perubahan. Dalam masyarakat yang semakin demokratis, tuntutan untuk
melaksanakan prinsip prinsip Good Governance oleh aparat Negara,lebih
lebih aparat penegak hukum sangatlah kencang. Masyarakat saat ini
semakin sadar bahwa keterbukaan, pertanggungjawaban dan pelibatan
masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangatlah penting dan besar
pengaruhnya kepada kebijakan publik yang diambil oleh apart atau pejabat
Negara tersebut.

21
1
Dr. Rusli Muhammad, S.H.,M.H., Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,2006),hlm. 2.
2
Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Terbesr Bismar Siregar (Bandung, Alumni,1984) Hlm.4
3
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
rajawali,1983),Hlm 11.
4
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Penerbit Sinar Baru,19),hlm.77.
5
C.S.T Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK) (Jakarta: Bina Aksara) hlm.67
6
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana
(Bandung: Aditya Bakri, 1998) Hlm 7.
7
Op.Cit hlm.2
8
Asep Rahmat Fajar S.H, Wajah Lembaga Peradilan Indonesia : Kenyataan dan Harapan,
(Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,www.pemantauperadilan.com)Hlm 1.
9
Op.Cit hlm2
10
Pusat Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI),
(Jakarta:www.pemantauperadilan.com,2004)
11
,¹² Berdasarkan Observasi Penulis sewaktu magang di Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM)
Pengadilan Negeri Bekasi (Maret-Juni 2009)
12
13
Zaenal arifin Mochtar,Panorama Teori Hukum dan Keadilan,www.psp.ugm.ac.id
(Jogjakarta,2009)
14
Jeremias Lemek, S.H, Penuntun Praktis membuat Pledoi (Jogjakarta:Penerbit New Pustaka Merah
Putih,2008), Hlm.30.
15
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 81 ayat 2 “ Ketentuan Pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakkan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”
16
Ramelan, Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,
Legalitas.com
17
Ibiddem.

You might also like