Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 telah menyatakan diri sebagai Negara berdasarkan atas hukum.
Pernyataan ini dengan jelas terlihat pada penjelasan umum UUD 1945, yakni
menyebutkan bahwa Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar
atas kekuasaan belaka. Konsekuensi pengakuan ini mengisyaratkan adanya
lembaga pengadilan sebab lembaga ini harus ada dan merupakan syarat
bagi suatu Negara yang menamakan dirinya sebagai suatu Negara Hukum,
atau Negara berdasarkan atas Hukum.
1
kepentingan-kepentingan pemerintahan, sehingga rasanya tidaklah terjamin
dalil kebebasan peradilan.
Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar
menunjukan bahwa telah meninggalkan model-model peradilan belanda
yang cenderung memihak dan kurang objektif, melainkan juga sebagai
suatu bukti bahwa Negara Indonesia telah emmenuhi suatu syarat sebagai
Negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu dengan terbentuknya badan-
badan peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dan yang
lebih penting dengan hadirnya lembaga peradilan tersebut dimaksudkan
untuk mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-
undang Negara atau dengan kata lain untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan manusia tidak terlepas akan tanggung jawabnya yang
disebut sebagai kewajiban, baik kewajiban antar sesama, kepada hukum,
maupun kewajiban kepada sang Pencipta. Apabila manusia dalam pergaulan
sosialnya sadar akan tanggungjawab nya itu, maka akan tercipta
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun seringkali manusia
hanya mengingat haknya saja,tapi jika menyangkut tanggung jawab atau
kewajibannya, suka cari sribu dalih untuk mengingkarinya2. Dalam hal ini
Hukum juga membutuhkan sebuah lembaga yang dapat membantunya
untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan perlindungan
hukum,kepastian hukum, menampung dan meyelesaikan berbagai konflik
dan sengketa hukum baik antar sesama individu, golongan, masyarakat,
maupun pemerintah,sehingga dapat terselenggaranya Negara Hukum
berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian Pengadilan sudah seharusnya menjadi lembaga
yang berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia,dimana dalam
aktivitasnya mengolah konsep dan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya
masih abstrak, kemudian mewujudkannya dalam suatu kepastian dan
hukum dalam penyelesaian-penyelesaian permasalahan hukum yang ada di
masyarakat.
Undang-undang telah memberikan kedudukan pada lembaga
pengadilan, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1986). Oleh karena itu lembaga pengadilan
2
merupakan wadah bagi rakyat yang mencari keadilan, yang memiliki hak
dan kewajiban untuk meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan di Indonesia3.
“ Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat
4
1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, yang
masing-masingmempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau
sengketa di bidang tertentu ”
5
Peranan pengadilan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan
dirinya sebagai wadah integrasi dari berbagai kepentingan, baik
kepentingan Negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan masyarakat.
Lembaga pengadilan sebagai sarana integrasi harus mampu
menyeimbangkan ketiga kepentingan itu sehingga tidakada satu
kepentingan yang di dominankan sementara mengabaikan kepentingan
lainnya.
8
Hal tersebut bisa mengakibatkan rasa hormat dan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin menipis dari hari kehari.
Sedangkan disisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga pengadilan dan
kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen lagi dan
mandiri dalam menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan
putusannya. Selain maraknya korupsi,kolusi, dan nepotisme dalam proses
penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses
peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan.
10
pernah menerima relaas dari PN
Penyitaan 1. Objek sita tidak jelas,sita atas barang tidak bergerak
diletakan diatas barang bergerak.
2. Majelis hakim menetakan permohonan sita jaminan
dalam waktu amat singkat tanpa menunggu jawaban
pelapor.
B. KEADILAN
Dalam Teori hukum, Terdapat 3 Jenis keadilan13 :
• Keadilan Umum (General Justice): Mewujudkan keadilan bersama bagi
masyarakat (COMMON GOOD OF ONE’S COMMUNITY).
• Keadilan Distributif (DISTRIBUTIVE JUSTICE): Kesetaraan
• (COMMUTATIVE JUSTICE) : Keadilan dalam hubungan hukum antar
para pihak, misalkan kontrak, ganti rugi dalam peristiwa melawan
hukum.
14
Menurut Apeldorn ;
• Keadilan bukan penyamarataan
• Keadilan bukan berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.
a. Substansi
Penyelenggaraan peradilan di Indonesia di atur dalam Undang-undang
Republik Indonesia No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam beberapa pasal disebutkan sebagai berikut ;
Pasal 1 : “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum demi keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia “
Pasal 5 ;
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya pengadilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 6:
(1)Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari
pada yang di tentukan oleh Undang-udang,.
(2) Tidak seorangpun dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-
undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
dirinya.
Jika dikaitkan dari permasalahan hukum yang telah penulis bahas diatas,
maka pelaksanaan sistem peradilan di Indonesia, belum sesuai dengan
Undang-undang tersebut. Faktanya :
(1)Belum adanya keadilan seperti yang di harapkan seperti yang tertulis
pada pasal 1 tersebut, dimana ketika seorang terdakwa tidak terbukti
bersalah atas unsur-unsur yang di dakwakan, tetapi pengadilan tidak
15
menjalankan sebagaimana mestinya dengan tidak mencermati unsur
demi unsur yang tertuang pada pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut.
(2)Pada pasal 5,faktanya adalah Hukum di Indonesia masih mengadili
dengan membeda-bedakan orang. Dalam perkara yang penulis bahas
diatas, perkara tersebut adalah perkara probono dengan mendapat
penetapan dari Pengadilan, dimana terdakwa dalam kondisi ekonomi
yang kurang, dan dengan segala keterbatasannya untuk membayar
biaya perkara, sehingga dikeluarkannya penetapan yang menetapkan
sebuah lembaga bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum.
Jika kita membuka mata pada kasus-kasus besar yang marak terjadi di
Negara ini, terdapat kesenjangan yang besar ketika koruptor,atau
seorang yang melakukan kejahatan besar,tetapi karena status sosial
dan ekonominya berada di kalangan tertentu,maka terdapat
perbedaan perlakuan dimana peradilan tidak terlalu rumit dan
dipersulit. Tapi tidak demikian dengan terdakwa dalam perkara yang
penulis bahas diatas,sekalipun mereka tidak mendapatkan keadilan
demi hukum sesuai yang diharapkan, mereka dengan kondisi ekonomi
yang sulit tidak bisa melakukan upaya hukum lainnya seperti banding
atau kasasi.Sehingga pada akhirnya mereka harus menjalani apa
adanya sesuatu dalam ketidakadilan.
(3)Pada pasalnya yang keenam juga tidak berjalan dalam faktanya
proses peradilan itu sendiri. Sekalipun unsur-unsur yang terdapat
dalam dakwaan maupun tuntutan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, terdakwa tersebut tetap dihukum.
b. Struktur
Tinjauan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang dibahas
adalah isi tuntutan.
(1)Apakah tuntutan tersebut sesuai dengan fakta yang terungkap dalam
persidangan atau tidak?
(2)Apakah unsur-unsur dari pasal yang didakwakan itu sesuai dengan
rumusan pasalnya atu tidak?
Dalam perkara tersebut, Jaksa Penuntut umum menggunakan Pasal
287 ayat 1 KUHP, yang dalam kutipan perkara diatas telah dibahas dalam
16
Pledoi dan Duplik penasihat hukum tersebut tidak memenuhi unsur di
dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut. Karena KUHP sejauh ini tidak
mengatur hukuman mengenai perbuatan-perbuatan perzinahan.
Perzinahan hanya diatur melalui norma-norma yang ada dalam
masyarakat seperti norma sosial, norma agama. Sehingga sanksi nya pun
bukan sanksi pidana, melainkan sanksi moral, dan agama.
Seseorang bersalah memang sudah sepatutnya mendapatkan
hukuman yang setimpal. Dalam perkara diatas pun memang terdakwa
tersebut melakukan kesalahan. Kebenaran selalu bersifat tunggal14.
Dalam hal kebenaran telah di ambil oleh Jaksa, maka penasihat hukum
maupun aparat penegak hukum lainnyapun harus bersikat objektif.
Namun yang wajib disoroti dalam perkara tersebut adalah Undang-
undang yang digunakan untuk mendakwa terdakwa. Karena yang sedang
diadili itu adalah manusia, maka segala hal yang menyangkut
kehidupannya, wajib mempertimbangkan aspek-aspek hak
kemanusiannya. Menurut penulis sendiri, Undang undang yang tepat
yang seharusnya digunakan Jaksa Penuntut Umum adalah Undang-
undang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat 215.Sehingga kekeliruan dalam
menerapkan unadng-undang yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum
tersebut merugikan hak hidup terdakwa. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut
Umum harus lebih cermat dan hati-hati dalam menggunakan pasal yang
ada untuk melakukan tugasnya sebagai penegak hukum menegakkan
hukum dan keadilan di dalam masyarakat.
c. Budaya Hukum
Dalam prakteknya sulit sekali untuk menemukan implementasi dari
teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di
satu sisi dan terciptannya suatu pengadilan yang bersih, transparan dan
mengedepannkan nilai-nilai keadilan. Karena seiring dengan meningkatnya
perubahan sosial, ekonomi, maka perubahan makna dan tujuan serta fungsi
dari lembaga pengadilan pun mengalami pergesaran. Lembaga peradilan
saat ini bukanlah lagi menjalankan fungsinya sebagaimana yang dicita-
citakan oleh masyarakat Indonesia yang dapat memberikan keadilan dan
kepastian hukum. Namun dalam pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh
17
kepentigan-kepentingan tertentu. Sebagai contoh, dalam perkara di atas,
terdakwa yang merupakan orang yang berasal dari keluarga dengan kondisi
sosial ekonomi yang sangat kurang, sehingga mereka tidak sanggup untuk
membayar biaya perkara, ataupun “biaya-biaya” lainnya yang kerapkali
diminta oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam mafia
peradilan dengan iming-iming akan mendapatkan tuntutan lebih rigan
ataupun di bebaskan, menjadikan posisi mereka semakin sulit, sehingga
terpaksa menerima putusan Hakim apa adanya, walaupun harus mendekam
dalam ketidak adilan dan kepastian hukum. Dengan demikian kondisi
Peradilan di Indonesia masih jauh antara Harapan dan Kenyataan yang ada.
C. KEPASTIAN HUKUM
a. Substansi
Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis
bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan
dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai
di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang
lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya
dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi
sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus
menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro
menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam
pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas
adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan
ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah
sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan
hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari
hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa
hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian
pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang
selaku pencipta hukum16.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara
sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann
18
mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-
undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat
diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja
dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah
kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata
itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang.
Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak
boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap
penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-
undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara
sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri 17
.
b. Struktur
Wujud kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo : “Dalam
hukum yang penting bukan apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya
terjadi. Di dalam Undang Undang tidak dapat dibaca bahwa siapa yang
mencuri harus dihukum. Ketentuan yang berbunyi “barang siapa yang
mencuri harus dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi pencurian dan
pencurinya harus dihukum, tetapi barang siapa mencuri harus dihukum.
Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedankan
kesimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Sebagai syarat
harus terjadi peristiwa konkrit terlebih dahulu. Oleh karena telah terjadi
peristiwa maka sesuai bunyi kaidahnya harus ada akibat. Dihukumnya
pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum
karena (sebagai akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan
undang-undang yang melarangnya. Disini tidak berlaku hukum sebab-
akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan atau
preskriptif.
Dalam definisi ini bila dikaitkan dengan perkara pidana yang telah
penulis bahas sebelumnya, maka dalam hal ini adalah peran hukum dalam
mewujudkan kepastian hukum tersebut di wujudkan melalui lembaga
peradilan yang ada, dalam hal ini hakim sebagai sosok tunggal yang
memiliki wewenang dalam memutuskan sebuah sengketa hukum
berdasarkan hukum,fakta-fakta persidangan dan keyakinan yang
19
dimiliknya. Tetapi sering kali penafsiran hukum yang salah,atau tidak
sesuai dengan penafsiran hukum, mengakibatkan kepastian hukum disini
hanya tinggal sebuah harapan.
D.PENUTUP
a. Kesimpulan
Tujuan di Negara Hukum adalah untuk melindungi masyarakat,
member keadilan dan memajukan kehidupan bangsa. Hukum sebenarnya
adalah agen perubahan untuk mewujudkan kehidupan bangsa, alokasi
pendapatan yang lebih merata dan adil. Artinya, kalau ada keadaan yang
tidak merata, tujuan hukum adalah menjadikan keadaan itu menjadi merata.
Hukum dengan fundsi-fungsi yang diembannya itu terkadang mulus tanpa
hambatan yang merintanginya, namun terkadang pula sebaiknya, fungsi-
fungsi hukum itu hanyalah sekedar impian tak kunjung nyata. Bukannya
perlindungan keadilan yang diperoleh, namun sebaliknya justru ketakutan,
ketidakadilan dan kemiskinan yang ditimbulkan. Salah satu penyebab tidak
berfungsinya hukum itu barangkali karena lembaga yang mendukungnya
tidak mampu mengaktualisasikan keinginan hukum itu.
Perhatian kita terhadap lembaga pengadilan tidak lepas dari adanya
posisi terhormat dan strategis yang dimiliki serta prilaku prilaku sosial yang
dihasilkan melalui aktivitas-aktivitas peradilan yang terkadang
bersinggungan dengan posisinya yang terhormat dan strategis itu.terhormat
lembaga peradian akan dapat bergeser pada posisi pinggiran yang
tercemar dan tercela ketika aktivitas aktivitas yang dihasilkan tidak lagi
mencerminkan keadilan, baik keadilan hukum, keadilan masyarakat,
terutama keadilan Tuhan.
b. Saran
Berdasrakan hal tersebut, maka perlu disusun suatu standar profesi
penegak hukum, baik dari jaksa, hakim atau penegak hukum lainnya secara
komprehensif dengan memperhatikan perundang-undangan, doktrin, kode
etik, serta panduan internasional yang telah disusun oleh PBB. Selain itu
penilaian pelaksanaan pekerjaan para penegak hukum juga harus
disesuaikan dengan kemampuan. Seperti keahlian yang dimilikinya
20
sehubungan dengan kemampuan dan pengetahuan akan perkara yang
ditanganinya.Selain itu sebagai salah satu wujud pelaksanaan Good
Governance dengan prinsip prinsip transparansi, partisipatif, dan akuntable
dalam lembaga kejaksaan, makaakses public atas proses yang terjadi dan
produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan perlu dilembagakan dan
diatur secara jelas.
Berbagai hal yang telah diuraikan di atas pada dasarnya menunjukan
bahwa lembaga peradilan harus lebih mengoptimalkan dan membenahi diri.
Sebagai lembaga penegak, seharusnya pengadilan dan kejaksaan memiliki
wibawa dihadapan masyarakat. Di tengah kemelut krisis multi dimensi ini,
masyarakat berharap lembaga peradilan dapat memberikan titik terang
dalam upaya penegakkan hukum. Salah satunya adalah dengan
mengadakan reformasi di tubuh lembaga peradilan itu sendiri.
Salah satu metode yang mungkin dapat dikategorikan sebagai
langkah strategis yang perlu menjadi prioritas utama dalam kerangka
pembaharuan dan pembenahan peradilan tersebut adalah menigkatkan
peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial bagi semua pelaksanaan dari
kebijakan kebijakan publik atau dalam bahasa yang lebih mudah adalah
menjadikan public sebagai elemen pengawas bagi kinerja lembaga Negara,
yang dalam hal ini adalah lembaga peradilan.
Hal tersebut sangat penting untuk disikapi, karena semua itu sejalan
dengan keadaan masyarakat yang dari ahri ke hari semakin kritis terhadap
perubahan. Dalam masyarakat yang semakin demokratis, tuntutan untuk
melaksanakan prinsip prinsip Good Governance oleh aparat Negara,lebih
lebih aparat penegak hukum sangatlah kencang. Masyarakat saat ini
semakin sadar bahwa keterbukaan, pertanggungjawaban dan pelibatan
masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangatlah penting dan besar
pengaruhnya kepada kebijakan publik yang diambil oleh apart atau pejabat
Negara tersebut.
21
1
Dr. Rusli Muhammad, S.H.,M.H., Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,2006),hlm. 2.
2
Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Terbesr Bismar Siregar (Bandung, Alumni,1984) Hlm.4
3
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
rajawali,1983),Hlm 11.
4
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Penerbit Sinar Baru,19),hlm.77.
5
C.S.T Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK) (Jakarta: Bina Aksara) hlm.67
6
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana
(Bandung: Aditya Bakri, 1998) Hlm 7.
7
Op.Cit hlm.2
8
Asep Rahmat Fajar S.H, Wajah Lembaga Peradilan Indonesia : Kenyataan dan Harapan,
(Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,www.pemantauperadilan.com)Hlm 1.
9
Op.Cit hlm2
10
Pusat Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI),
(Jakarta:www.pemantauperadilan.com,2004)
11
,¹² Berdasarkan Observasi Penulis sewaktu magang di Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM)
Pengadilan Negeri Bekasi (Maret-Juni 2009)
12
13
Zaenal arifin Mochtar,Panorama Teori Hukum dan Keadilan,www.psp.ugm.ac.id
(Jogjakarta,2009)
14
Jeremias Lemek, S.H, Penuntun Praktis membuat Pledoi (Jogjakarta:Penerbit New Pustaka Merah
Putih,2008), Hlm.30.
15
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 81 ayat 2 “ Ketentuan Pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakkan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”
16
Ramelan, Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,
Legalitas.com
17
Ibiddem.