You are on page 1of 4

Difteria

Penyakit difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering diserang
terutama saluran pernafasan bagian atas, dengan tanda khas timbulnya “pseudomemban”.
Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.

Penyebab penyakit difteria adalah kuman Coynebacteium diphtheriae, bersifat sifat gram
psoitif dan polimorf, tidak bergeak dan tidak membentuk spora. Bakteri dapat ditemukan
dalam sediaan langsung yang diambil dar hapusan tenggorok atau hidung. Basil difteria
akan mati pada pemanafasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air susu dan lender yang telah mengering.

Terdapat 3 jenis basil, yaitu berbentuk gravis, milis, dan intermedius atas dasa perbedaan
bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil difteria
mempunyai dasar:
1. Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna
putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkeena, terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik, dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotosin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf.

Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung antitoksin terhadap kuman difteria


dilakukan uji kulit yang disebut sebagai uji Shick. Caranya adalah dengan menyuntikka
intakutan 1/50 minimal letal dose (MLD) sebanyak 0,002 ml. jika positif akan terlihat
merah kecoklatan selama 24 jam.

Patogenesis
Kuman hidup dan berkembang biak pada saluran nafas bagian atas, tetapi dapat juga pada
vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut terdapat kuman
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local
kemudian menjalar dari faring, tonsil, laring dan saluran pernafasan atas. Kelenjar getah
bening sekitarnya akan membengkan dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai
otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan syaraf
perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menyebabkan timbulnya
nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya
sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena
terjadi miokarditis, atau gagal nafas karena terjadinya bronkopneumonia.

Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi juga dapat
perantaraan alat/benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit dapat
mengenai bayi tetapi kebanyakan pada anak usia balita. Penyakit difteria dapat berat atau
ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila
ringan, hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat
menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan
pasien yang dating berobat sering dalam keadaan keadaan berat seperti telah adanya
bullneck atau sudah stridor dan dispnea. Pasien difteria selalu dirawat di rumah sakit
karena mempunyai risiko terjadinya komplikasi, yaitu miokarditis ataupun sumbatan
jalan nafas.

1. Difteria Faring dan Tonsil


Difteria ini paling sering dijumpai ialah sekitar 75%. Dalam keadaan ringan tidak
terbentuk pseudomembran, dapat sembuh sendiri dan dapat membentuk kekebalan. Bila
berat badan akan timbul gejala demam tetapi tidak tinggi, nyeri telan, terdapat
pseudomembran yang mula-mula hanya ada bercak-becak putih keabu-abuan dan cepat
meluas ke daerah faring dan laring. Nafas berbau, timbul pembengkakan pada kelenjar
regional sehingga leher membesar yang biasa disebut leher banteng atau bullneck. Dalam
keadaan ini dapat terjadi tersedak (karena adanya kelumpuhan saraf telan/palatum molle),
suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.

2. Difteria Faring dan Trakea


Difteria ini merupakan yang terbanyak dan umumnya sebagai penjalaran dari difteria
faring dan tonsil. Gejala sama dengan difteria faring hanya lebih berat. Pasien tampak
sesak nafas hebat, stridor inspiratoir, sianosis, terdapat retaksi otot suprasternal dan
epigastrium, pembesaran kelenjar regional. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan,
sembab, banyak secret dan permukaan tertutup oleh pseudomembran. Pada keadaan ini
terdapat sumbatan jalan nafas yang berat sehingga memerlukan pembuatan jalan nafas
buatan (trakeostomi).
Untuk menentukan pengobatannya, pasien perlu diperiksa usapan tenggorok dan
hidungnya guna menemukan kuman difteria. Untuk pengambilan usapan ini diperlukan 2
tabung reaksi yang diminta dari laboratorium. Tabung tersebut satu berisi 1 kapas lidi
untuk mengambil usapan pada lobang hidung kanan dan kiri (telah diberi tanda pada
kapas lidi). Isikan kedalam taung tersebut 1 ml NaCl; pada wakti memasukkan kapas lidi
yang telah mengandung usapan tidak boleh terendam ke dalam cairan tersebut maka
tabung harus selalu dalam posisi berdiri. Hapusan diulang setelah selesai pengobatan
untuk menentukan penyembuhan pasien.

Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung kepada:
1. Umur pasien. Semakin muda usianua semakin jelek prognosisnya.
2. Perjalanan penyakit. Makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya.
3. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan.
4. Keadaan umum pasien.
5. Tedapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6. Pengobatan. Terlambat pemberian ADS, prognosis semakin buruk.

Komplikasi
1. Pada saluran pernafasan: terjadi obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia, atelektasis.
2. Kardiovaskular: miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk
kuman difteria.
3. Kelainan pada ginjal nefritis.
4. Kelainan syaraf: kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi yang
mengenai susunan syaraf terutama system motorik, dapat berupa:
a. Paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau),
tersedak/sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II.
b. Paralisis/paresis otot-otot mata, dapat mengakibatkan strabismus,
gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu
III.
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke IV. Kelainan dapat
mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila
mengenai otot pernafasan.

Pencegahan
 Imunisasi
 Isolasi, pasien difteria harus dirawat dengan isolasi dan baru dapat pulang setelah
pemeriksaan sediaan langsung tidak ditemukan bakteri difteri.
 Pencarian seorang karier difteria dengan dilakukan Uji Shick. Bila diambil
hapusan tenggorok dan ditemukan C. diphteriae pasien diobati, bila perlu
dilakukan tonsilektomi.

Gambaran Klinik
Masa tunas: 2-7 hari. Gejala umum: terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyei
kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Gejala local: nyeri menelan,
bengkak pada leher, karena pembengkakan pada kelenjar regional, sesak nafas, serak
sampai stridor jika penyakit telah pada stadium lanjut. Gejala akibat eksotoksin
tergantung bagian yang terkena, misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan
bila menegnai saraf terjadi kelumpuhan.
Bila difteria mengenai hidung gejala yang timbul berupa pilek, secret yang keluar
bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung, biasanya penyakit ini
akan meluas ke bagian tenggorok pada tonsil, faring dan laring.

Pemeriksaan Diagnostik
Lab: pada pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfokleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan.

Penatalaksanaan
Medik
a. Pengobatan umum, dengan perawatan yang paling baik, isolasi dan pengawasan
EKG yang dilakukan pada permulaan dirawat, 1 minggu kemudian dan minggu
berikutnya sampai keadaan EKG 2x berturut-turut normal.
b. Pengobatan spesifik:
 Antidiphtheria Serum (ADS). 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata
pasien peka terhadap seun tersebut harus dilakukan desenitilasi dengan
cara Besredka.
 Antibiotik.
 Kortikosteroid. Untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan prednisone 2mg/kgBB/hari
selama 3-4minggu
 Vitamin B1. untuk pasien jika terjadi komplikasi paralysis.

You might also like