You are on page 1of 9

Aspek Etika Dalam Kasus

Prita Mulyasari vs RS Omni Medical Care


Internasional

Kelompok V PMR 09

Irvan Darwansyah Lubis

Listyono

Nuning S.Wahyuningtyas

Tosca Nina Claudia


HUKUM DAN ETIKA BISNIS

Aspek Etika Dalam Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Medical Care


Internasional

1. Sekilas Tentang Etika Bisnis

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan
kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan,
industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis
secara adil , sesuai dengan hukum yang berlaku tidak tergantung pada kedudukan individu
ataupun perusahaan di masyarakat.

Berbisnis dengan etika dan atau etika berbisnis, sebenarnya keberadaan etika
bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sederhana atau ”remeh” atau,
“Bisakah kita melakukan etika berbisnis/ tidak melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja
divisi kita ?” jawabannya “pasti bisa” Jurnal Business and Society Review (1999), menulis
bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali
dari pada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang
dilakukan oleh DePaul University (1997), menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan
komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja
finansial (berdasarkan penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain
yang tidak melakukan hal serupa. Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The
Performance Group, sebuah konsorium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsato, Imperial
Chemical Industires, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance
bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendobrak profitability, dan menjamin
kemudahan dalam mendapatkan kontrak.

PERANAN ETIKA BISNIS DALAM PENERAPAN GCG

 Nilai Etika Perusahaan (Company Ethics Value)

Kepatuhan pada kode etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan
memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan dan para pimpinan perusahaan yang
bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham.
Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu
kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerja sama. Sebagai contoh yang
sering kita ketahui yaitu kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan dan pimpinan
perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan bentuan kepentingan.

 Code of Corporate and Business Conduct

Kode etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (code of corporate and business
conduct) merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan prakter-
praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dialakukan atas nama peusahaan.
Dengan tujuan agar prinsip etika bisnis menjadi budaya perusahaan (corporate culture), maka
seluruh karyawan dan para pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha
mematuhi “mana yang boleh” dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis
perusahaan. Pelanggaran atas kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk
kategori pelanggaran hukum.

2. Kronologi Kasus Prita Vs RS Omni Internasional

Kasus ini berawal dari saat Prita M memeriksakan diri ke rumah sakit Omni Internasional
Tangerang pada Agustus 2008 karena menderita panas tinggi dan kepala pusing. Saat itu Prita
ditangani dr. Indah dan dr. Hengky. Dari hasil pemeriksaan dokter, Prita didiagnosis
menderita demam berdarah dan disarankan rawat inap sambil diberi suntikan. Menurut dokter
trombosit Prita mengalami penurunan dan terus mendapat suntikan tanpa pemberitahuan
kepada pasien jenis suntikan dan untuk apa.

Namun setelah itu terjadi kejanggalan pada tubuh Prita, tangan kiri membengkak, suhu badan
naik hingga mencapai 39 derajat. Sampai sejauh ini, tidak ada dokter visit, termasuk dr.
Hengky. Selanjutnya keluarga PRITA meminta ketemu dr. Hengky dan meminta penjelasan
tentang kondisi dan keadaan pasien termasuk penjelasan tentang revisi hasil lab. Saat yang
sama, Prita mengalami pembengkakan di leher kiri dan mata kiri. Respon dr. Henky lebih
menyalahkan bagian lab RS. Prita masih terus mengalami panas tinggi mencapai 39 derajat.
PRITA berniat pindah dan pada saat yang sama PRITA membutuhkan data medis. Setelah
“perjuangan panjang” sampai ke tingkat manajemen RS Omni, data PRITA diprint out tanpa
diserta data hasil lab yang valid.

Tanggal 12 Agustus 2008, Prita pindah ke RS lain di Bintaro. Disini PRITA dimasukkan
ruang isolasi oleh karena virus yang menimpa dirinya dapat menyebar. Menurut dokter,
PRITA terserang virus yang biasa menyerang anak-anak. (disini fakta PRITA terserang
demam berdarah tidak terbukti, hanya saja PRITA telah terlanjur disuntik bertubi-tubi
ditambah infus di RS Omni). Keluarga Prita meminta hasil resmi kepada RS. Omni tentang
hasil lab yang semula 27.000 dan berubah menjadi 181.000 (Thrombosit rendah
mengharuskan pasien rawat inap).

Tanggal 15 Agustus 2008, Prita menulis dan mengirimkan email pribadi kepada terdekat
terkait keluhan pelayanan RS Omni internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia
maya melalui berbagai milis dan social network. Dan dari email yang tersebar ke berbagai
kalangan inilah akhirnya kasus ini mencuat. Tanggal 6 September 2008, dr. Hengky
menggugat PRITA dan masuk dalam kategori gugatan pidana (pencemaran nama baik).
Selanjutnya pada 8 September 2008, pihak Omni Internasional menanggapi email PRITA di
harian Kompas dan Media Indonesia.

Menyikapi perkembangan tersebut, pada 24 September 2008, PRITA menggugat perdata RS


Omni termasuk dr. Hengky dan dr. Grace. Pada tanggal 11 Mei 2009, oleh pengadilan negeri
Tangerang PRITA diputuskan kalah dalam kasus perdata, konsekuensinya PRITA harus
membayar ganti rugi materiil Rp 161 juta dan kerugian immaterial Rp 100 juta. Dan pada 13
Mei Prita ditahan di LP Wanita Tangerang, sebagai tahanan kejaksaan. Sebelumnya Prita
Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Kejaksaaan Negeri Tangerang
telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei
2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal tersebut berbunyi “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Beberapa aliansi menilai :
bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi
intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar
dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.
Kasus ini juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut
menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3 ini yang
juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan penjara hingga
enam tahun.

Mulai periode Juni 2009, kasus PRITA meminta perhatian publik pada skala massif.
Dukungan pun datang hingga RI 1 dan RI 2 turun tangan. Lebih dari itu, dukungan para
blogger mencapai angka 40.000, ditambah suara LSM, akademisi, politisi bersatu membuat
opini publik, tidak seharusnya PRITA ditahan dan harus segera dibebaskan. Solidaritas
masyarakat terwujud dalam aksi penggalangan koin untuk Prita, sebagai simbol perlawanan
terhadap keputusan pengadilan yang menjatuhkandenda untuk Prita. Akhirnya pada 3 Juni
2009, tepat pukul 16.20 PRITA dibebaskan dari LP Wanita Tangerang dengan perubahan
status sebagai tahanan kota.

3. Analisis Kasus

Kasus antara Prita vs RS Omni ini merupakan kasus yang berdimensi luas karena dapat
ditinjau dari banyak aspek, seperti aspek etika bisnis pihak RS, aspek hukum, hak dan
kewajiban konsumen, perundang-undangan, teknologi, dan juga aspek sosial politik.

Dari segi aspek etika bisnis, berdasarkan informasi yang ada dapat diketahui ada beberapa hal
yang dilanggar oleh pihak RS Omni. Yang pertama adalah mengenai hak pasien/konsumen.
Seharusnya pihak RS sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap medical record pasien
bersikap transparan terhadap segala sesuatu yang menyangkut kesehatan pasien. Pasien
berhak berhak mengetahui apa sebenarnya penyakit yang diderita, dan RS juga harus
memperlakukan pasien sebagai masyarakat yang harus dilayani, bukan hanya sebagai sumber
pendapatan RS. Kita tidak mengetahu dengan persis apa sebenarnya alasan RS Omni
menyembunyikan hasil lab Prita, apakah karena menyadari ada kesalahan diagnosis awal
sehingga khawatir di komplain atau karena ada pertimbangan bisnis (aspek finansial) lainnya
apabila hasil lab ini diinformasikan. Tetapi alasan apapun, dalam berbisnis hendaknya
perusahaan tetap mengedepankan sikap etis seperti kejujuran, keterbukaan, tangghung jawab
dan kerja sama, baik kepada internal perusahaan maupun kepada masyarakat luas sebagai
stakeholdernya.

Kemudian dari aspek hukum, juga terdapat permasalahan yang cukup rumit dalam kasus ini.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ternyata
juga rentan dimanfaatkan pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan (termasuk perusahaan)
untuk kepentingannya. Dalam hal ini adalah pasal pencemaran nama baik. Pasal ini dapat
disebut pasal karet karena sifatnya yang lentur dan sangat multi tafsir. Keluhan Prita yang
disampaikan melalui email pun terkena pelanggaran pasal ini. Tentu hal ini sedikit banyak
akan mengurangi hak dan kesempatan konsumen apabila hendak menyakan pendapat atau
komplain terhadap suatu produk atau layanan perusahaan. Selain itu, pilihan pihak RS untuk
membawa kasus ini ke ranah pidana (bukan hanya perdata) juga menunjukkan bahwa
perusahaan tidak siap menghadapi komplain dari masyarakat atas layanan yang diberikan.
Ada kesan pihak RS ingin menakuti pasien agar jangan sekali-kali berani melawan kebijakan
RS/dokter.

Dari sisi Etika, seandainya saja RS Omni mengambil jalan “Musyawarah untuk Mufakat”
(sesuai yang tertuang dalam batang tubuh UUD 1945), dimana RS Omni dan Prita
mempunyai hak dan kesempatang yang sama dalam menyampaikan pendapatnya. Akan tetapi
langkah ini tidak ditempuh oleh RS Omni dan malah berbalik menyerang Prita yang
posisinya justru lebih lemah. Ini menjadi preseden buruk dan justru berbalik arah kepada RS
Omni sendiri karena Prita justru mendapat dukungan masyarakat dan politisi karena
dipersepsikan sebagai “korban”. Karena inguin mengejar (diduga) keuntungan tambahan, dan
nama baik, malah berbalik jadi pencitraan buruk bagi RS Omni.

Dari aspek sosial politis, kasus ini juga cukup mengundang perhatian publik sehingga
mendorong masyarakat melakukan aksi solidaritas terhadap Prita. Aksi ini seolah menjadi
simbol perlawanan masyarakat lemah kepada pihak penguasa yang punya kekuatan besar
(pemerintah dan pengusaha). Dan memang akhirnya karena tekanan publik yang begitu besar,
Prita dapat lepas dari tuntutan hukum. Tentunya “kemenangan” Prita ini dapat menjadi
pelajaran berharga bagi RS Omni dan juga para perusahaan lainnya agar lebih
memperhatikan hak konsumen dan tidak sewenang-wenang menggunakan kekuatannya untuk
menghilangkan hak-hak konsumen.

Pasal 27 Ayat 3

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :

“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Seperti halnya porno dan tidak porno, maka merasa terhina atau tidak terhina juga berada
dalam domain yang sama yaitu subjektifitas. Setiap orang tentunya akan berbeda-beda
menafsirkannya. Tergantung apakah orang tersebut pendendam atau pemaaf, dan penerima
kritik atau antikritik.

Pasal penghinaan atau pencemaran nama baik bisa dikatakan pasal karet, pasal yang dapat
ditarik-tarik seenaknya. Pasal ini tidak memiliki kepastian hukum, karena tidak jelas dasar
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam kasus Prita vs Omni ini, perlu
dipertanyakan apakah Prita melakukan pencemaran nama baik, walaupun yang bersangkutan
hanya mengeluh (sharing). Belum lagi pasal ini ternyata juga sudah dibahas dalam undang-
undang yang lain yaitu KUHP Pasal 311. Apa mungkin pesan implisit dari Pasal 27 ayat 3
UU-ITE ini adalah orang miskin dilarang menghina dan mengkritik di internet? Namun apa
mau dikata, UU-ITE telah ditetapkan bahkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak
pengujian pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Masalahnya, apa yang sudah diatur oleh pasal 27 UU ITE, sudah diatur sebelumnya di
KUHP. Sanksi yang diatur dalam UU ITE lebih berat daripada sanksi dalam KUHP. Apabila
pencemaran nama baik dalam KUHP hanya dikenakan sanksi maksimal 16 bulan penjara,
maka dalam UU ITE mengancam pelakunya dengan sanksi maksimal 6 tahun penjara. Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa tindak pidana yang
diancam 5 tahun penjara pelakunya dapat ditahan pada saat proses penyidikan atau
penuntutan. Oleh karena itu, Prita yang dituntut dugaan pencemaran nama baik berdasarkan
UU ITE dapat ditahan di LP Tangerang pada saat proses penuntutan oleh jaksa.

Hak Konsumen

Menurut UU Perlindungan Konsumen, setiap konsumen punya hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya. Tidak diatur mengenai saluran atau media dalam penyampaian keluhan itu
dan tidak ada kewajiban menyampaikan langsung kepada pelaku usaha. Dengan demikian,
seharusnya konsumen boleh menyampaikan keluhannya dalam media apapun, termasuk
melalui surat pembaca atau e-mail.

UU juga memberikan hak kepada pelaku usaha untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya.
Memang seharusnya pembelaan diri tidak diperlakukan sebagai ajang balas dendam, namun
hanya sebagai upaya mengklarifikasi hal-hal tidak benar yang disampaikan oleh konsumen.

Namun pelaku usaha dan pencaranya perlu menilai pencemaran nama baik dengan tepat,
pada kasus Omni, justru tuntutan mereka tidak berpihak kepada mereka sendiri.

Merupakan tugas hakim juga untuk memutuskan apakah yang dilakukan Prita itu termasuk
pencemaran nama baik atau bukan. Masalahnya, ada UU ITE yang terkesan ”menyediakan”
ketentuan hukum yang begitu represif, yang digunakan oleh jaksa untuk menuntut Prita.
Akibatnya, publik pun marah.
Pasal karet UU ITE harus direvisi dan diredefinisikan dengan jelas mengenai ketentuan-
ketebntuan didalamnya. Apabila hal itu dilakukan, maka niscaya Prita tidak dapat ditahan
dalam proses penuntutan. Dan tidak ada yang dirugikan dari kedua pihak.

Kesimpulan

Dalam menjalankan aktifitas bisnisnya hendaknya perusahaan tetap selalu mengedepankan


etika, baik ke dalam internal perusahaan maupun ke pihak eksternal (masyarakat)

Untuk menjaga agar etika bisnis dapat ditegakkan perlu didukung dengan peraturan
perundangan yang memadai dan jelas.

Perusahaan harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas karena dari masyarakatlah


perusahaan mendapatkan profit dan tetap going concern.

Perusahaan perlu memisahkan yang mana hak jawab, dan yang mana pembelaan diri atas
pencemaran nama baik. Oleh karena itu, diperlukan definisi yang jelas atas pencemaran nama
baik.

You might also like