Professional Documents
Culture Documents
Kris Pranarka
Pendahuluan
Istilah geriatri (geros = usia lanjut, iatreia = merawat/merumat), pertama kali
digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909. Tetapi
ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935 di Inggris
oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex Hospital yang
dianggap sebagai pelopornya. Dokter ini mulai menerapkan pelaksanaan pengobatan
terpadu yang lebih aktif terhadap penderita-penderita lanjut usia dilengkapi dengan
latihan fisik dan rehabilitatif dengan sistematik, yang ternyata banyak berhasil baik.
Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan
hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang,
dengan perkembangan yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya, diproyeksikan
dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2010.
Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia sebesar 7,28% dan pada tahun 2020
diperkirakan mencapai 11,34%. Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia
diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia,
antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%.
Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Dengan begitu secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi
dan akan makin banyak terjadi distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai
“penyakit degeneratif” (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus dan kanker).
Sifat penyakit pada usia lanjut tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan
pada golongan populasi usia lainnya, yaitu dalam hal:
O Penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan gabungan antara
penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakit.
O Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan kecacatan dan secara lambat
laun akan menyebabkan kematian.
O Usia lanjut juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat
dengan kondisi daya tahan yang menurun.
O Kesehatan usia lanjut juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan
ekonomi.
1
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
O Pada usia lanjut seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan
yang dikonsumsi (polifarmasi).
Sindroma geriatri
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai
baik mengenai fisik atau psikis penderita usia lanjut. Masalah-masalah kesehatan ini
tergantung dari sudut pandang berbagai ahli geriatri diberi nama (istilah) sendiri-sendiri,
misalnya:
Y Menurut Cape dkk:
The “O” complex, yang terdiri dari
9 Fall
9 Incontinence
9 Impaired homeostasis
9 Confusion
9 Iatrogenic disorders
Y Menurut Coni dkk:
The “Big Three” yang terdiri dari
9 Intelectual failure
9 Instability / immobility
9 Incontinence
Y Menurut Solomon dkk:
The “13 i” yang terdiri dari
9 Immobility
9 Instability
9 Intelectual impairement
9 Incontinence
9 Isolation
9 Impotence
9 Immuno-deficiency
9 Infection
9 Inanition
9 Impaction
9 Insomnia
9 Iatrogenic disorder
9 Impairement of hearing, vision and smell
2
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
1. Sindroma serebral
Pada usia lanjut banyak terjadi perubahan-perubahan pada sistim pembuluh darah
otak yang akan berpengaruh pada sirkulasi darah otak. Pembentukan plak ateroma
banyak dijumpai pada sistim karotis yaitu di daerah bifurkasio, khususnya pada pangkal
a.carotis interna. Circulus Willisii fungsinya dapat pula terganggu oleh plak ateroma
yang berakibat penyempitan pembuluh darah secara menyeluruh. Di samping itu semua
pembuluh darah arteri yang kecil juga mengalami perubahan ateromatus.
Sejak Lobstein (1933) menggunakan istilah arteriosklerosis untuk semua kondisi
yang berhubungan dengan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sudah dikenal
juga bentuk yang paling sering dijumpai yaitu aterosklerosis. Demikian juga dapat
dimengerti aterosklerosis adalah suatu penyakit berkenaan dengan bertambahnya
usia. Dimulai dini sejak kanak-kanak dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menimbulkan keluhan. Patogenesis aterosklerosis meningkat berkaitan dengan usia.
Dari hipotesis tentang aterogenesis, sifat aterogenik dari LDI memegang peran
penting. Bersama dengan proteoglikan menjadi ikatan lipoprotein pada tempat lesi
yang aterogenik, selanjutnya terjadi retensi dan oksidasi membentuk lipid-
hidroksiperoksid.
Lipid-hidroksiperoksid ini akan diambil oleh makrofag untuk dibersihkan, tetapi
bila berlebihan akan terjadi akumulasi lemak dan terbentuk sel busa. Akumulasi lemak
dan sel busa ini merupakan dua hal yang penting untuk terjadinya aterosklerosis.
3
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
4
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
5
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
(awareness) yang kurang di pihak dokter dan tenaga kesehatan untuk mengenali
gejala dan tampilan klinis pasien dengan gangguan kognitif ringan serta tidak
mengetahui pada populasi dengan faktor risiko apa saja yang sering mengalami
gangguan ini.
Secara garis besar faktor-faktor risiko timbulnya gangguan kognitif ringan dan
demensia dapat dibagi atas faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi sebagian besar tampaknya
faktor risiko vaskular, yang merupakan faktor risiko demensia vaskular, antara lain:
1. Tekanan darah tinggi.
2. Resistensi insulin dan diabetes melitus
3. Dislipidemia.
4. Obesitas.
5. Fibrilasi atrium.
6. Gagal jantung.
7. Merokok.
8. Penyakit paru obstruktif kronis.
9. Hiperkoagulasi dan hiperagregasi trombosit.
6
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada usia lanjut perlu untuk memikirkan diagnosa diferensial untuk stroke, yaitu
hematoma subdural (subdural hematoma atau SDH) dan perdarahan subarachnoid
(subarachnoid hemorrhage atau SAH). Riwayat trauma kepala umumnya menyertai
SDH. Pada stroke, hal ini seringkali terjadi karena penderita jatuh.
Pada usia lanjut dimana otak sudah mengalami atrofi serta ruang antar selaput
otak relatif luas, akselerasi otak karena trauma kepala, mudah berakibat robeknya
pembuluh darah di daerah subdural ataupun subarachnoid. Pada hemiparesis dimana
kesadaran berfluktuasi dalam waktu beberapa hari, selalu harus dicurigai adanya SDH.
Pada SAH umumnya pasien mengeluh nyeri kepala yang hebat dan kebanyakan
disertai asimetri diameter pupil kiri kanan.
7
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
8
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada penelitian terhadap 100 orang penderita lansia berusia di atas 70 tahun
yang dirawat di bangsal geriatri, prevalensi hipotensi postural didapatkan pada 17%
penderita. Angka pada lansia di atas usia 65 tahun yang ada di rumah di Glasgow
didapatkan 24% penderita mengalami penurunan tekanan darah 20 mmHg, 9% turun
sekitar 30 mmHg, dan 5% mengalami penurunan tekanan darah lebih/sama dengan
40 mmHg (Van der Cammen, 1991). Hanya sedikit perbedaan insidens antara wanita
dan pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur.
3. Konfusio
Konfusio diberi batasan sebagai suatu keadaan status mental di mana reaksi
terhadap rangsang lingkungan tidak tepat, disertai disorientasi dan ditandai dengan
memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan serta
terganggunya proses berpikir.
Konfusio merupakan masalah yang penting di bidang geriatri. Diagnosis yang
tepat diikuti pengelolaan yang sesuai dapat memperbaiki status kesehatan penderita
usia lanjut dan meningkatkan kemampuannya untuk mandiri. Antara sepertiga sampai
setengah dari penderita usia lanjut yang dirawat menunjukkan berbagai tingkatan dari
konfusio.
Gambaran klinis
Gambaran klasik penderita berupa kesadaran menurun disertai dengan derajat
kewaspadaan yang berfluktuasi. Gangguan pada memori jangka pendek dan mungkin
disertai dengan gangguan mengingat memori jangka panjang serta halusinasi atau
mis-interprestasi visual. DSM-III R memberikan kriteria untuk keadaan konfusio akut,
termasuk adanya penurunan mendadak dari kemampuan untuk mempertahankan
perhatian terhadap rangsangan luar (antara lain pertanyaan harus diulang karena
perhatiannya mengembara) atau perhatian penderita mudah teralihkan oleh rangsangan
luar yang baru.
9
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan
Seperti dikemukakan, konfusio akut adalah suatu masalah kesehatan dan bukan
diagnosis, dan diagnosis bisa dari berbagai penyebab, sehingga tindakan pertama
adalah penegakan diagnosis. Cara penegakan diagnosis pada penderita lanjut usia
yang dapat menapis berbagai penyebab tadi adalah dengan tata cara asesmen geriatri.
Tata cara ini dengan anamnesis dan pemeriksaan secara sistematis terhadap semua
aspek sosial ekonomi, lingkungan, psikis dan fisik secara menyeluruh akan dapat
menemukan penyebab konfusio akut tersebut.
4. Inkontinensia urin
Inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia.
Usia yang lanjut tidak menyebabkan inkontinensia.
Walaupun begitu, beberapa perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia,
misalnya penurunan panca indera, kemunduran sistim lokomosi, dapat mendukung
terjadinya inkontinensia. Demikian juga kondisi-kondisi medik yang patologik
misalnya gagal jantung kongestif, diabetes melitus, dapat mencetuskan kejadian
inkontinensia.
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun.
Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan
kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-
kontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75% lanjut usia yang mengalami
inkontinensia.
Penurunan kapasitas kandung kemih dapat menimbulkan lima macam keluhan
yang sering saling tumpang tindih:
1. Sering berkemih.
2. Tidak dapat menahan kencing.
3. Kencing malam hari meningkat.
4. Gangguan pancaran kencing (sering pada pria dengan gangguan kelenjar prostat).
5. Inkontinensia yang terjadi akibat peninggian tekanan intra-abdominal, misalnya
saat bersin, tertawa keras atau mengangkat beban.
Untuk memudahkan mengingat, dapat dipakai kependekan kata DRIP, untuk kausa
inkontinensia akut:
D : Delirium (konfusio).
R : Retriksi mobilitas.
I : Infeksi, inflamasi, impaksi faeces.
P : Pharmasi (Iatrogenik), poliuri.
10
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Oleh karena sifatnya yang akut dan sementara, dengan penyebab spesifik yang
diharapkan dapat di obati, inkontinensia akut juga disebut inkontinensia transien atau
inkontinensia sementara.
Inkontinensia yang persisten atau kronik/menetap, dapat dibagi menjadi empat
tipe yaitu:
1. Tipe stres (tekanan).
2. Tipe urgensi.
3. Tipe luapan
4. Tipe fungsional.
11
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
12
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Inkontinensia alvi
Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan
tetapi tidak terelakkan, berkaitan dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti halnya dengan
ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali terjadi akibat sikap dokter dan tindakan
keperawatan yang kurang tepat. Karena dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai,
inkontinensia alvi pada lanjut usia hampir seluruhnya dapat dicegah.
Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan, dibandingkan inkontinensia urin, apalagi
bila penderita tidak menderita inkontinensia urin. 30-50% penderita dengan inkontinensia
urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme
patofisiologik yang sama antara inkontinensia urin dengan inkontinensia alvi.
5. Jatuh
Perdefinisi, jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi
mata, dimana seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih
rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di
dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop dan dizziness, serta
faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata, terantuk benda-benda yang
menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang dan sebagainya.
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas
badan ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem sensorik
Yang berperan di dalamnya adalah: visus, pendengaran, fungsi vestibuler,
dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia, diduga karena
perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan
penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi proprioseptif.
b. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.
Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan tekanan normal,
yang diderita oleh lansia akan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga
13
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
14
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan neuro
Lingkungan yang tidak
muskuler, gaya
mendukung
berjalan dan reflek
(berbahaya)
postural karena proses
menua
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan
mengobati komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, serta
mengembalikan kepercayaan diri penderita yang biasanya mengalami trauma, takut
jatuh lagi. Anxiety of falling akan menyebabkan imobilitas dan ketergantungan
bertambah serta menambah risiko untuk jatuh lagi.
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor
risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus
terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik,
bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain
yang terkait serta keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit
akut penanganannya menjadi lebih mudah, dan langsung menghilangkan penyebab
jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoral
sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan.
Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan,
misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
15
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
16
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan
Timur (10,5%).
Penelitian lain di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan tahun
2002 juga makin menunjukkan bahwa osteoporosis di Indonesia sudah seharusnya
diwaspadai. Dari 101.161 responden, ternyata 29% diantaranya telah menderita
osteoporosis (sumber: DepKes RI).
Insidens (angka kejadian) osteoporosis pada wanita lebih tinggi dibandingkan
dengan pria. Satu dari tiga wanita mempunyai kecenderungan terkena osteoporosis,
sedangkan pada pria insidensnya lebih kecil yaitu 1 dari 7 pria.
Penatalaksanaan osteoporosis meliputi: pencegahan dan terapi.
I. Pencegahan
Pencegahan osteoporosis meliputi optimalisasi puncak massa tulang pada
pertumbuhan dan mencegah/modifikasi faktor risiko, pencegahan kehilangan tulang
pasca menopause dan pencegahan sekunder kehilangan massa tulang lebih lanjut
pada keadaan osteoporosis sudah terjadi.
Sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelainan tulang.
2. Meningkatkan kemandirian pasien mengurus diri sendiri.
3. Promosi terhadap efektifitas pembiayaan pencegahan dan pengobatan.
Pencegahan mencakup:
Y Pencegahan primer
Adalah upaya yang dapat dipergunakan secara luas dan dimulai sejak dini dengan
makanan yang bergizi, protein, mineral yang dibutuhkan seperti kalsium dan aktivitas
fisik yang memadai untuk mencapai maksimum puncak massa tulang, menghindari
faktor risiko seperti gaya hidup atau obat-obatan yang merugikan.
Perubahan gaya hidup sangat penting dalam penatalaksanaan osteoporosis,
meliputi antara lain diet yang cukup kalsium, cukup gerak dan menghindari kebiasaan
merokok dan alkohol.
Tak ada istilah terlalu dini untuk pencegahan, kalau tidak ingin menyesal karena
terlambat. Terlebih untuk osteoporosis, dengan sedikit upaya pencegahan yang relatif
mudah, sudah akan diperoleh manfaat.
Pencegahan osteoporosis mencakup faktor nutrisi, latihan fisik, pola hidup aktif,
kurangi faktor risiko osteoporosis, melakukan tes untuk deteksi dini, terapi hormonal
bagi wanita, serta beberapa upaya khusus untuk kondisi penyakit tertentu yang
cenderung menimbulkan osteoporosis.
17
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Masalah yang berkaitan dengan kehilangan massa tulang ini, tidaklah melulu
masalah medis, tetapi berkaitan juga masalah sosial, kultur, ekonomi, yang berdampak
terhadap kehidupan masyarakat luas.
Kondisi faktor nutrisi yang mempunyai peran untuk terjadinya osteoporosis adalah
intake kalsium rendah, vitamin D rendah, protein tinggi, fosfat tinggi dan kafein tinggi.
Kondisi tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap pembentukan puncak massa
tulang dan mempercepat kehilangan massa tulang.
Y Pencegahan sekunder
Seperti pencegahan primer ditambah pemberian obat pembentuk tulang seperti
HRT (Hormon Replacement Therapy) pada wanita pasca menopause yang kehilangan
massa tulang signifikan dan belum ada patah tulang.
Penatalaksanaan penderita yang hanya dengan osteoporosis tanpa disertai patah
tulang lebih sederhana dibanding bila penderita sudah datang dengan patah tulang.
18
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area
secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Walaupun semua bagian tubuh dapat mengalami dekubitus, bagian bawah dari
tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat di atas tonjolan tulang dan
tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sakrum, daerah
trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan
kuit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain:
9 Berkurangnya jaringan lemak subkutan
9 Berkurangnya jaringan kolagen dan elastik
9 Menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih
tipis dan rapuh.
19
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan
masalah yang khusus pada lanjut usia. Kekhususannya terletak pada insidens
kejadiannya yang erat kaitannya dengan imobilitas.
Seseorang yang tidak immobil dapat berbaring di tempat tidur sampai berminggu-
minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam
satu jam. Pergantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti
bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur.
Sedangkan immobilitas hampir pasti menyebabkan dekubitus bila berlangsung
lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan
umum dari penderita.
Tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh
karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-
batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada
tempat tidurnya secara pasif dan berbaring di atas kasur busa biasa maka tekanan
daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan ini akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis
jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler
masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam.
Empat faktor yang berpengaruh pada patogenesis timbulnya ulkus dekubitus
adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan dan kelembaban.
Penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut:
Derajad I : Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Tampak sebagai
daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.
Derajad II : Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga
lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus yang dangkal, dengan
tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajad III : Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan
menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai
didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.
Derajad IV : Perluasan ulkus menembus otot, sehingga tampak tulang di dasar ulkus
yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Pengelolaan dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya
dekubitus dengan mengenal penderita dengan risiko tinggi terjadinya dekubitus,
misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
20
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Usaha untuk meramalkan akan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai
sistim skor dari Norton. Skor di bawah 12 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk
terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus adalah:
a. Meningkatkan status kesehatan penderita:
9 Umum: memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya
anemia diatasi, hipoalbuminemi dikoreksi, nutrisi dan hidrasi yang cukup,
vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.
9 Khusus: coba mengatasi/mengobati penyakit-penyakit yang ada pada
penderita, misalnya diabetes yang belum terkontrol baik, penyakit paru
dan sebagainya.
b. Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.
9 Alih posisi/alih baring/tidur selang-seling, paling lama tiap dua jam.
Keberatan cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang
kadang-kadang sudah sangat kurang dan dapat mengganggu istirahat
penderita bahkan menyakitkan.
9 Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekanan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya:
O Kasur dengan gelombang tekanan naik-turun.
O Kasur air.
Keberatan perlengkapan canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya
sendiri harus baik dan dapat rusak.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium atau derajatnya dan tindakan
medik menyesuaikan apa yang dihadapi.
Pada umumnya penatalaksanaan derajat I dan II adalah secara non bedah
sedangkan derajat III dan IV secara bedah.
Penutup
Penurunan kemampuan daya homeostatik untuk menyesuaikan diri terhadap
macam-macam stresor baik dari dalam badan sendiri maupun dari luar, menyebabkan
kemunduran yang menandai proses menua.
Hal ini berakibat juga pada kekhususan penampilan macam-macam penyakit
pada populasi lanjut usia.
21
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka
1. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student.
Churchill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987.
2. Rosens., Reuben D. B. Presentation Of Disease In Old Age. In Broclehurst’s Text Book
Of Geriatric Medicine And Gerontology, 7th ed, 2010.
3. Kuchel, G. A., Lach, M. S. et al: Geriatric Syndromes. In Hazzard’s Geriatric Medicine
And Gerontology, 6th Ed., 621-731, 2009.
4. Kris Pranarka, Widiastuti Samekto, Abdul Wahib, Rejeki Andayani, Hadi Martono.
Sindroma Geriatri. Dalam Boedhi-Darmojo. Buku Antar Geriatri, Edisi IV, 2009.
5. Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Simposium Geriatri, F. K. Univ. Sam Ratulangi,
Manado, 1999.
6. Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.
22
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Patofisiologi Stroke
Endang Kustiowati
Pendahuluan
Stroke adalah hilangnya fungsi neurologis yang terjadi secara mendadak akibat
adanya gangguan fokal dari aliran darah cerebral yang disebabkan oleh proses iskemik
atau perdarahan. Bergantung pada durasi dari gangguan serebrovaskular, dapat
menyebabkan kelainan neurologis permanen, kecacatan maupun kematian. TIA
(transient ischemic attack), yang gejalanya berlangsung kurang dari 1 jam, dapat
tidak menyebabkan kelainan neurologis namun ini berhubungan kuat dengan resiko
untuk terjadinya stroke dalam waktu 90 hari ke depan. Stroke merupakan posisi
ketiga yang menyebabkan kematian di US. Stroke iskemik mencapai 87% dari seluruh
stroke. Populasi pada usia 45-65 tahun dan 8-12% dari stroke iskemik menyebabkan
kematian dalam waktu 30 hari. Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke
sebesar 15,4%, serta prevalensi faktor risiko penyebab kematian tertinggi meliputi
penyakit hipertensi, penyakit jantung serta stroke. Meskipun stroke merupakan kondisi
yang mengancam kehidupan, stroke merupakan kondisi yang dapat diterapi, dan
derajat kecacatannya dihubungkan dari respon terapi.
23
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
24
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Proses inflamasi terjadi secara bersamaan dengan akumulasi dari LDL yang
teroksidasi dan stimulasi dari sel-sel otot polos vascular (VSMCs). Sel endotel dan
makrofag dan sebagai hasil dari agregasi sel busa dengan akumulasi sari LDL oksidasi.
Proses selanjutnya perkembangan plaque aterosklerosis, VSMCs migrasi, proliferasi
dan membentuk komponen matrix extracelluler pada sisi lumen dari dinding pembuluh
darah yang membentuk fibrous cap dari lesi atherosclerosis. Pada proses yang
kompleks ini pertumbuhan, progresifitas dan akhirnya ruptur dari plaques
atherosclerosis yang melibatkan dalam jumlah besar dari matriks modulator, mediator
inflamasi, growth factor dan substansi vasoactif. Fibrous cap membungkus inti lipid
dengan akumulasi yang besar sari extracelluler lipid (atheromatous plaque) atau
fibroblast dan kalsifikasi ekstraseluler akan membentuk lesi fibrokalsifikasi.
Trombosis
Trombosis adalah pembentukan dari bekuan darah (clot) pada suatu arteri yang
menetap dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan
cerebral yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Plaques atherosclerosis sering
ditimbulkan dari kelainan patologis pada endhotelium setempat. Plaques atherosclerosis
berkaitan dengan prothrombotic, plasminogen activator inhibitor-1 yang berlebihan dan
faktor jaringan. Chlamydia pneumoniae juga berhubungan dengan plaques
atherosclerosis dan selanjutnya terjadi aktivitas inflamasi yang ditandai dengan
teraktivasi makrofag dan sel T yang berkumpul pada daerah tersebut. Pada trombosis
pembuluh darah besar, aspek luminal dari palques atherosclerosis dapat dipecah
oleh metalloproteinases, memicu terjadinya ruptur dan menimbulkan lesi elserasi
dengan sifat-sifat trombogenic yang tinggi. Ulserasi memicu terjadinya trombosis in
situ atau embolisasi dari material trombotic pada bagian ulserasi. Pada pembuluh
darah yang lebih kecil (diameter 400-900µm), microateromatosis menyebabkan infark
25
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
lakunar. Pembuluh darah kurang dari 200µm terjadi deposisi lipohyaline pada dinding
media menyerupai proliferasi fibrous intima akibat paparan yang lama dari hipertensi
atau hiperglikemia, yang menimbulkan infark lakunar yang kecil sering tidak
menimbulkan gejala.
Emboli
Tabel di bawah ini menunjukkan sumber dari emboli serebral.
26
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sistemik hipoperfusi
Mekanisme ketiga dari stroke iskemik adalah sitemik hipoperfusi akibat dari
kehilangan tekanan arterial secara general (umum). Beberapa proses dapat
menimbulkan hipoperfusi, dan yang sangat dikenal adalah cardiac arrest akibat infark
myocard atau aritmia. Daerah-daerah otak bagian yang paling distal ditempat
perbatasan dari sistem arteri, disebut dengan regio watershed merupakan daerah
yang terutama terkena. Hipotensi yang berat dapat menyerupai pola iskemik ini, bila
terjadi stenosis pada arteri carotis komunis atau interna dapat menimbulkan watershed
ischemic unilateral.
27
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
28
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada PIS, akumulasi lokal dari darah merusak parenkim otak yang menggantikan
struktur saraf dan merusak jaringan otak. Setelah beberapa jam atau hari terjadi
extracellular edema pada sekitar hematoma. Setelah 4-10 hari sel darah merah mulai
lisis, kemudian granulocytes dan microglial cells muncul serta terbentuk foamy
macrophages, yang menghancurkan debris dan hemosiderin. Pada akhirnya astrocytes
berada pada sekitar dari hematoma dan mengalami proliferasi dan berubah menjadi
gemistocytes dengan eosinophilic cytoplasm. Saat hematoma menghilang, astrocytes
akan digantikan oleh fibril-fibril glial.
Ringkasan
Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke, sedangkan merupakan
posisi ketiga yang menyebabkan kematian di US. Mekanisme dari iskemik dapat
secara umum dibagi menjadi 5 kategori: trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik,
obliterasi lumen arterial dan kongesti vena. Dan pada perdarahan intracerebral, hipertensi
merupakan faktor risiko terbanyak, di samping merokok, konsumsi alkohol dan tingginya
serum kolesterol.
Daftar pustaka
1. Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update:
a report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee.Circulation 2008;117:e25–146.
2. Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute
ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org
10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35–41.
3. Ay H, Furie KL, Singhal A, et al. An evidence-based causative classification system for
acute ischemic stroke. Ann Neurol 2005;58:688–97.
4. Labovitz DL, Boden-Albala B, Hauser WA, Sacco RL. Lacunar infarct or deep
intracerebral hemorrhage: who gets which? The Northern Manhattan Study. Neurology
2007;68:606-8.
5. Rajamani K, Fisher M, Fisher M. Atherosclerosis-pathogenesis and pathophysiology.
In: Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular Disease: Pathophysiology,
Diagnosis and Management, Vol. 2. London: Blackwell Science; 1998:308-18.
6. Willeit J, Kiechl S. Biology of arterial atheroma. Cerebrovasc Dis (Basel) 2000;10
Suppl 5:1-8
7. Aikawa M, Libby P. The vulnerable atherosclerotic plaque: pathogenesis and therapeutic
approach. Cardiovasc Pathol 2004; 13:125–38.
8. Faxon DP, Fuster V, Libby P, Beckman JA, Hiatt WR, Thompson RW, et al. Atherosclerotic
Vascular Disease Conference: Writing Group III: pathophysiology. Circulation 2004;
109:2617-25.
29
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9. Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA. Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and
Management. 4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004.
10. Wolf PA. Epidemiology of stroke. In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA, eds.
Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Philadelphia: Churchill
Livingstone; 2004: 13–34.
30
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Stroke
Berdasarkan Bukti Medis (EBM)
H. Hadi Martono
Pendahuluan
Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah
otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Definisi lain lebih
mementingkan defisit neurologik yang terjadi sehingga batasannya adalah sebagai
berikut: ”adalah suatu defisit neurologik mendadak sebagai akibat dari iskemia atau
hemorhagik sirkulasi syaraf otak”. Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama
stroke adalah kelainan dari pembuluh darahnya, yang tentu saja, merupakan bagian
dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan dari pembuluh darah tersebut
secara patologik bisa didapati pada pembuluh darah di bagian lain tubuh. Oleh
karenanya stroke harus dianggap merupakan akibat dari penyakit sistemik. Komplikasi
yang terjadi, seperti akan dapat dilihat dalam pembicaraan nanti, adalah lebih banyak
diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh
darah sistemik. Di samping itu kematian otak yang sudah terjadi tidak akan dapat di
obati dengan cara apapun. Dalam era evidence based medicine maka semua tindakan
medis oleh IDI diharuskan pada penyakit apapun berdasarkan pada EBM tersebut,
termasuk stroke (Helsingborg declaration, 2006, ESO 2008, Gofur, 2010). Obat-obat
neuroprotektor yang sering digunakan oleh dokter-dokter kita ternyata tidak terbukti
bermanfaat secara evidence based (ESO 2008, Gofir, 2010, Cadogan, 2010), walaupun
penelitian pada hewan memberikan harapan, itupun hanya kalau diberikan bersama
rTPA. Oleh karena itulah penatalaksanaan utama stroke adalah terutama berupa
perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran selanjutnya
akan mencegah perluasan kerusakan jaringan otak. Karena itulah kami menganggap
bahwa semua spesialis penyakit dalam harus berperan, bahkan berperan utama dalam
penatalaksanaan stroke. Demikian pula bahwa dokter yang berkecimpung dalam bidang
geriatri, sebagai sub bagian ilmu penyakit dalam harus menguasai penatalaksanaan
penderita stroke, terutama pada usia lanjut, mengingat bahwa pada populasi ini
insidensi kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem
merupakan hal yang sangat penting
31
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
penyebab kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan 1 kasus
stroke diperkirakan sekitar US $ 80.000-100.000. Stroke juga merupakan penyebab
utama terjadinya kecacatan (disabilitas) di negara negara barat. Dengan makin
meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan
gangguan lipid, insidensi stroke di negara-negara maju makin menurun. Di Perancis
stroke disebut sebagai “serangan otak (attaque cerebrale)” yang menunjukkan analogi
kedekatan stroke dengan serangan jantung.
Berdasar atas jenisnya, stroke terbagi atas:
O Stroke non hemorhagik: jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah otak, yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen
dan glukosa ke otak. Tersering diakibatkan oleh trombosis akibat plak
aterosklerosis dari arteri otak/atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau
suatu emboli dari pembuluh darah diluar otak yang tersangkut di arteri otak.
Jenis stroke ini merupakan stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80-85%
dari semua stroke (Cadogan, 2010). Stroke jenis ini juga bisa disebabkan akibat
berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok
atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain.
O Stroke hemorhagik: yang merupakan sekitar 15-20% dari semua stroke.
Diakibatkan karena pecahnya suatu mikroaneurisma dari Charcot atau etat crible
di otak. Dibedakan antara: perdarahan intraserebral, subdural dan subarakhnoid.
Mortalitas lebih tinggi dibanding jenis iskemik (sekitar 50% meninggal dalam
waktu 1 bulan setelah serangan-Cadogan, 2010)
Secara patologik pada stroke non hemorhagik, yang merupakan jenis terbanyak
dari seluruh stroke, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak serupa dengan apa
yang terjadi di jantung, terutama jenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor
risiko terjadinya stroke serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik.
32
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Beberapa perbedaan yang terdapat akibat stroke hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat
dari tanda-tanda yang terdapat dan dengan pemeriksaan neurologik sederhana dapat
diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini.
33
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Komplikasi kronis akibat stroke yang sering terjadi dan perlu diperhatikan adalah:
- Akibat baring di tempat tidur lama bisa terjadi pneumonia, dekubitus, inkontinensia
serta berbagai akibat imobilisasi lain.
- Rekurensi stroke.
- Gangguan sosial ekonomi.
- Gangguan psikologik.
Penatalaksanaan stroke akut: Berbagai pedoman (guidelines) dari berbagai pusat
stroke, antara lain Amerika, Eropa (ESO-2008 dan Helsingborg declaration 2006, juga
buku Penatalaksanaan Stroke berdasarkan EBM-Gofir, 2009 dan EBM, Acute Stroke
Cadogan, 2010) secara umum telah memberikan panduan berdasarkan penelitian yang
sahih, yang kesemuanya didasarkan EBM selayaknya juga menjadi patokan dokter
di Indonesia.
Tujuan penanganan stroke akut pada dasarnya adalah sebagai berikut:
O Memberikan penunjang hidup (life support) secara umum, antara lain dengan:
- Pembebasan jalan nafas dengan suction atau intubasi.
34
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
- Bila memang ke arah stroke, letak, jenis dan luas lesi, faktor risiko, penyakit
komorbid?
Penderita dengan TIA dengan skor ABCD2 >3, lebih baik dirawat inap (Class IIa,
35
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
36
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
37
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal atau hati juga merupakan berbagai keadaan
yang perlu diperhatikan pada penderita stroke, karena keadaan tersebut seringkali
terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup penderita.
Emboli paru dan/atau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi stroke.
Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi
dini, baik secara pasif maupun aktif.
Terhadap lesi: Perlakuan terhadap lesi tergantung jenis, besar dan letak lesi,
serta berapa lama lesi sudah terjadi.
Lesi hemorhagik, terutama subarakhnoid dan subdural bisa segera dilaksanakan
operasi, akan tetapi jenis intra-serebral hanya yang terletak superficial, dengan
volume darah >30cc atau diameter >3 cm, dengan tanda peninggian tekanan
intracranial dan ancaman herniasi otak. Bisa dilaksanakan operasi, walaupun
hal ini masih kontroversial. Pemberian obat hemostatik menurut kepustakaan
barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut.
Tetapi beberapa penelitian dengan recombinant activated Factor VII a (rFVIIa)
ternyata mempunyai kemampuan membatasi pembesaran hematom. Pada
beberapa keadaan stroke non hemorhagik intra serebral, tindakan operatif kadang
diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghilangkan efek massa pada
otak (EUSI,2003). Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah syaraf yang
berpengalaman.
Lesi iskemik, pada dasarnya harus dibedakan antara pusat infark dan jaringan
sekitarnya, yang disebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematian
jaringan otak, sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan
jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi
infark. Di daerah ini akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain
masuknya ion kalsium dan laktat ke intraseluler, menyebabkan terjadinya oedem
sel dan akhirnya nekrosis. Berbagai tindakan terapetik secara antara lain:
- Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi,
keseimbangan cairan dan asam basa, kardiorespirasi dan lain-lain).
- Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulan (heparin,
warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa (ESO 2008 dan tempat lain) tidak
direkomendasikan. Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator
plasminogen jaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat
ketat, yaitu waktu pengerjaan tidak boleh lebih dari 3½ jam dari saat awitan
stroke (saat ini beberapa senter memperpanjang waktu).
Penggunaan sampai dengan 4½ jam pasca awitan (Cadogan, 2010).
Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa
laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi terkendala dengan
kemungkinan besar terjadinya komplikasi hemorhagik di daerah infark atau
daerah lain, sehingga tidak direkomendasikan (rekom. A).
38
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
39
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab stroke, akan tetapi juga bisa
merupakan komplikasi dari stroke tersebut.
Dalam huruf “C” ini bisa dimasukkan pula aspek coagulation. Status koagulasi
menyeluruh termasuk kadar fibrinogen perlu diperiksa dan kalau mungkin
dikoreksi. Keadaan hiperviskositas (hematokrit yang terlalu tinggi, misalnya pada
keadaan PPOM) perlu diturunkan secara moderat, sedangkan keadaan obstruksi
parunya perlu diperbaiki.
D : Drug/medication harus dievaluasi tentang obat-obatan yang sudah/sedang atau
akan diberikan, jangan mengganggu fungsi homeostasis yang pada saat ini
sedang dalam keadaan terkompromi.
E : Electrolyte terutama natrium, kalium, kalsium yang akan mengganggu
memperberat berbagai fungsi organ.
F : Fluid status/balance. Keadaan gangguan cairan kemudian akan memberi pengaruh
pada fungsi ginjal, jantung dan fungsi organ yang lain, oleh karenanya pantau dengan
baik dan kalau perlu di koreksi bila ternyata terdapat gangguan balans cairan.
G : Glucose level yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kadar glukosa yang terlalu
rendah sering kali memberikan gejala-gejala neurologik fokal serupa dengan stroke,
sedangkan kadar gula darah yang terlalu tinggi dikatakan akan memperburuk
lesi sehingga akan memperburuk status neurologik.
“G” di sini juga bisa dikenakan pada gastric bleeding sebagai akibat stress ulcer
yang kemudian memerlukan penanganan tersendiri termasuk perubahan jalur
pemberian nutrisi. Apabila pada pemasangan pipa nasogastrik ternyata teralirkan
cairan hitam tanda terdapat perdarahan gastrik, maka semua tindakan
konvensional untuk menghentikan perdarahan lambung ini harus dijalankan.
H : Hypertension sebagai akibat dari penyakit hipertensi kronis akan tetapi bisa sebagai
akibat kompensasi akut akibat stroke (sudah dibahas dimuka). ”H” juga bisa diartikan
sebagai “hidrasi”. Pemberian hidrasi yang kurang baik akan berakibat pada terjadinya
berbagai gangguan homeostasis organ-organ, akan tetapi juga harus diperhatikan
kemungkinan overhidrasi (terutama apabila keadaan ginjal atau jantung kurang baik).
I: Intake diperlukan guna mempertahankan fungsi metabolisme tubuh. Walaupun
dalam keadaan kesadaran menurun, masalah intake harus diperhatikan, karena
nutrisi yang baik akan membantu penyembuhan keadaan penderita. Nutrisi yang
baik juga akan membantu daya tahan tubuh terutama dari keadaan infeksi.
“I” juga bisa dikenakan pada kedaan INFEKSI, yang selalu harus dicegah dan
kemudian diatasi seefektif mungkin karena akan mempengaruhi prognosis dari
penderita stroke. Bronkopneumonia dan infeksi saluran kemih, yang kemudian
bisa berlanjut ke keadaan sepsis merupakan infeksi tersering yang harus selalu
dipantau kemungkinan terjadinya. Pada keadaan perawatan yang kurang baik,
dekubitus merupakan penyebab infeksi lain yang harus diperhatikan.
40
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Upaya pencegahan
Upaya pencegahan primer dan sekunder berupa perbaikan dari berbagai faktor
risiko seperti yang telah disebutkan di muka. Salah satu yang menjadi bahan
perdebatan adalah pelaksanaan end-arterectomy pada arteri karotis. Kesepakatan
saat ini adalah anjuran untuk end-arterectomy pada penderita TIA bila terdapat stenosis
arteri karotis >70% (Bogosslavsky, 1997). Pada individu yang belum terserang TIA/
stroke endarterectomy juga bisa dianjurkan apabila stenosis >90%, terutama bila
bersifat progresif dan risiko perioperatif <3%. Pemberian aspirin atau warfarin harus
dilaksanakan sebagai upaya pencegahan primer pada semua penderita dengan fibrilasi
atrium non valvuler yang berisiko sedang untuk terjadinya emboli. Pada mereka yang
berisiko emboli tinggi (usia >75 tahun atau >60 tahun+risiko tinggi/menderita tekanan
darah tinggi, disfungsi ventrikuler kiri, diabetes melitus) diberikan terapi antikoagulasi
jangka panjang dengan warfarin dengan target INR 2,0-3,0.
Unit stroke
Dari pengalaman berbagai senter dapat diambil kesimpulan bahwa perawatan
penderita stroke dalam suatu unit stroke secara signifikan akan menurunkan angka
kematian, angka disabilitas dan perawatan institusional katimbang perawatan di bangsal
rawat umum.
Suatu unit stroke adalah suatu unit rumah sakit atau bagian di rumah sakit yang
secara khusus ditujukan untuk menangani penderita stroke. Dalam unit ini para staf
yang bersifat multi disipliner sudah terlatih secara khusus dalam pengobatan dan
perumatan penderita stroke. Disiplin inti yang terikut dalam unit stroke ini adalah
tenaga medis (penyakit dalam, jantung, intensivist dan neurologis) perawat dan berbagai
modalitas rahabilitasi. Berbagai jenis unit stroke antara lain adalah: unit stroke akut,
unit kombinasi stroke dan rehabilitasi, unit rehabilitasi stroke dan tim stroke mobil.
Akan tetapi mengingat dasar pendidikan yang agak berbeda antara berbagai
spesialis di Indonesia dan di berbagai tempat di Eropa maupun di Amerika, pendirian
suatu unit stroke tetap diperlukan akan tetapi dengan penekanan tugas setiap komponen
yang sedikit berbeda. Di negara-negara Eropa atau Amerika, seorang spesialis syaraf/
neurologis dalam pendidikannya telah mengalami pendidikan penyakit dalam dalam
waktu yang cukup, biasanya antara 2-3 tahun, sebelum kemudian mengambil
spesialisasinya di bidang penyakit syaraf, sehingga pengetahuan mereka di bidang
penyakit dalam sudah cukup memadai untuk menatalaksanai penderita stroke. Di
Indonesia, pendidikan neurologi di bagian penyakit dalam hanya berlangsung antara 2-
3 bulan, sehingga petalaksanaan stroke di unit stroke seperti yang telah dikemukakan
di atas seharusnya menjadi tugas spesialis penyakit dalam sebagai dokter utama.
Dokter spesialis syaraf bisa ikut dalam tim unit stroke untuk memberi bantuan pendapat
(second opinion) tentang penatalaksanaan gangguan syaraf sebagai akibat stroke.
41
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Neuroprotektan
Seperti dikatakan di atas, berbagai penelitian mengenai penggunaan
neuroprotektan gagal untuk membuktikan kegunaannya pada terapi stroke akut.
Penelitian penggunaan Citikolin pada tikus, memberikan hasil baik hanya kalau obat
ini diberikan bersama dengan rTPA (Caplan, 2009). Oleh karenanya pada sebagian
besar guidelines penggunaan obat ini sama sekali tidak disebut (ESO, stroke AHA,
Gofir, Cadogan). Helsingborg declaration yang dibuat oleh International Society of
Internal Medicine dan WHO regional Eropa hanya memperbolehkan penggunaan
neuroprotektor ini dalam rangka penelitian ilmiah.
Tinjauan kepustakaan
1. Brocklehurst, JC and Allen, SC: ”Cerebral syndrome” in Geriatric Medicine for Students
3rd edt, Churchil Livingstone, 1987.
2. Bogousslavsky, J: ”Meeting the challenge of stroke: on the Attack”, Oddyssey, 3/3:1996.
3. Clifford Rose: ”Clinical Diagnosis and Therapy of Strokee” in Meier Ruge, W (ed)
Vascular Brain Disease in old age, Teaching and training in Geriatric Medicine pp135-
176, Karger, AG Switzerland, 1990.
4. Caplan, LR: ”Intracerebral Hemorrhage” in STROKE OCTET, Lancet 339/8794 656-
658, 1992.
5. Caplan, LR: “Caplan’s stroke, a clinical Aopproac” IVth edit, Saunders, Elsevier, 2009.
6. Cadogan, M: “EBM Acute stroke”, Life in the fast lane. Education. AFTB lecture, 2010.
7. Editor: ”Rehabilitation Congress in Berlin: Brain plasticity greater than had expected”
the News, 36/1993.
8. European Stroke Initiative, recommendation 2003 ”EUSI, Ischaemic Stroke. Prophylaxis
and treatment, Information for doctors in hospitals and practice, 2003.
42
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
43
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
44
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pendahuluan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi bersama dengan Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah (Cardiovascular Disease=CVD) merupakan penyebab kematian teratas di negara
maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi tak hanya terjadi pada golongan
ekonomi tinggi tapi dapat terjadi pada semua golongan sosial ekonomi baik di negara
maju maupun berkembang. Prevalensi/kejadian hipertensi meningkat dari waktu ke waktu
baik di negara maju maupun berkembang. Di Amerika Serikat, saat ini ada 50 juta penderita
hipertensi atau 1 di antara 4 orang, dengan jumlah lebih tinggi pada kelompok African
American. Selain jumlah penderita yang meningkat, terjadi pula pergeseran umur penderita
ke arah yang lebih muda. Bila beberapa dekade yang lalu hipertensi dianggap sebagai
penyakit para lansia, maka saat ini gambaran tersebut telah berubah.
Di Indonesia, prevalensi hipertensi juga meningkat baik sebagai perubahan gaya
hidup, termasuk di dalamnya pola makan sebagai dampak dari affluency maupun
pengaruh globalisasi. Beberapa studi di Indonesia a.l. mendapatkan angka 41,9%
untuk pulau Jawa, dengan rincian kota 39% dan desa 44,1% dari data SKRT 2004,1
serta ditemukan 37,3% pada kelompok usia 40 tahun dengan hipertensi tanpa
pengobatan.2 Lebih memprihatinkan, di Jakarta Timur pada pekerja industri dengan
umur 20 tahun ke atas, didapatkan 22,3% yang mengidap hipertensi.3
Penyebab kejadian hipertensi bersifat multifaktor, meliputi genetik, gangguan fungsi
organ dan faktor lingkungan termasuk di dalamnya peran beberapa nutrient/zat gizi.
Berkaitan dengan peran genetik, kita mengenal individu yang bersifat salt sensitive
dan salt insensitive dengan lebih banyak African American yang sensitif terhadap
garam dibanding Caucasian American. Studi pada tikus Dahl yang sensitif terhadap
garam menunjukkan bahwa ada penurunan produksi NO yang bersifat vasodilatator
yang diperkirakan karena gangguan aktifitas NOsynthase. 4 Hipertensi harus
dikendalikan baik melalui pengobatan yang bersifat medikamentosa maupun non
medikamentosa. Salah satu pendekatan non medikamentosa adalah pengelolaan
diet atau makanan sehari-sehari sebagai upaya pengendalian hipertensi. Pada
beberapa dekade terakhir terungkap bahwa pendekatan atau perubahan pola makan
dalam arti pemilihan bahan makan sehari-hari, mampu mengendalikan ataupun
menghentikan kemunculan hipertensi. Dalam hal yang berkaitan dengan makanan,
berbagai bahan makanan ditengarai berperan terhadap kejadian hipertensi meliputi
makro maupun mikro nutrien. baik secara langsung maupun tidak langsung. Nutrien
tersebut adalah lemak jenuh, lemak trans, kolesterol, kalium kalsium dan natrium.
45
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
46
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada tahun 1988 SACKS melaporkan hasil studi adanya tekanan darah yang
rendah pada vegetarian.7 Meta analisis terhadap hasil studi suplementasi asam lemak
omega-3 sebesar 3 g/hari memberikan penurunan tekanan darah pada mereka yang
menderita hipertensi tanpa pengobatan.8 Pada berbagai studi observasional, terlihat
adanya dampak positif dalam bentuk penurunan risiko relatif terhadap kemunculan
hipertensi pada asupan kalsium, magnesium, kalium dan serat yang cukup.9 Namun
suplementasi yang diberikan secara berdiri sendiri tunggal atau ganda memberikan
hasil yang tak konsisten.8,9 Studi The Multiple Risk Factors Intervention Trial (MRFIT)
menunjukkan adanya asosiasi antara asupan protein dengan penurunan tekanan darah
(22% vs 12 % energi berasal dari protein).10 Adanya inkonsistensi antara hasil studi
epidemiologi dan uji klinik dihipotesiskan oleh karena interaksi berbagai nutrien di
dalam satu atau beberapa bahan makanan yang dimakan secara bersama-sama
yang mampu menurunkan tekanan darah dibandingkan efek dari satu atau beberapa
jenis nutrien yang diberikan sebagai suplemen anorganik.
DASH diet
Sebelum DASH diet di introduksi, di Amerika Serikat sudah ada common dietary
prescription yang diberikan kepada penderita hipertensi secara umum yakni penurunan
berat badan dan restriksi natrium. The Trials of Hypertension Prevention, Phase I
(TOHP I)11 menilai efektifitas pedoman umum tersebut dengan mengumpulkan data
selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 40,5% subyek pada kelompok kontrol
menjadi hipertensi dibandingkan 18,9 % yang menjadi hipertensi pada kelompok yang
mengikuti program penurunan berat badan. Pada kelompok restriksi natrium 22,4%
menjadi hipertensi dibanding 32,9 % pada kelompok kontrol.10
Menyadari bahwa hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan
tingginya prevalensi hipertensi, National Institute of Health (USA)12 pada tahun 1997
mengembangkan pendekatan pola makan dalam mengendalikan atau menurunkan
prevalensi hipertensi berdasar hasil studi multisenter DASH diet,13 TOHPI11 dan uji
klinik Appel.14 Pendekatan dietetik ini diharapkan dapat sejajar dengan rekomendasi
diet untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, osteoporosis dan kanker yang
sudah menjadi bagian dari promosi kesehatan yang dapat diterima masyarakat. Setelah
melihat hasil DASH diet terhadap hipertensi, pada 1999 dilanjutkan dengan studi
DASH sodium diet dengan beberapa kategori kandungan natrium. DASH diet ini
kemudian menjadi rekomendasi pada 7th Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7).15 Sebelumnya
JNC-6 hanya merekomendasi lifestyle modification berupa penurunan berat badan,
aktifitas fisik, pengurangan natrium dalam makanan dan konsumsi alkohol yang moderat.
Modifikasi gaya hidup (JNC-6) ditambah dengan DSH Diet (JNC-7) memberikan
penurunan tekanan darah yang lebih besar.
Komposisi yang dipilih dalam menyusun DASH diet adalah (a) peningkatan
asupan buah, sayur, whole grain/serealia berkulit atau serealia yang diolah bukan
47
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dengan penggilingan, rendah lemak dari dairy products, (b) cukup kalsium, kalium
dan magnesium, (c) rendah daging merah, gula/sweets, minuman bergula/beverages.15
Bila dirinci lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai para penyusun DASH diet ini adalah
(a) asupan lemak jenuh tidak lebih dari 6% dari keseluruhan asupan energi, (b)
natrium tak melebihi 2300 mg, (c) asupan lemak tak melebihi 27% energi total, (d)
asupan hidrat arang tak melebihi 55% energi total. Tabel 1dan 2 memberikan gambaran
bukti ilmiah yang dipakai sebagai dasar penyusunan DASH diet.16
US Department of Health and Human Service menyusun DASH diet dengan nilai
200 kkal dengan komposisi sebagai terlihat pada Tabel 3. Nampak bahwa pada DASH
diet bersifat what to include bukan what to avoid. Di samping itu, pola ini ditujukan
juga untuk melihat efek suatu pola makan yang kaya kalium, magnesium dan kalsium,
bukan menilai hasil suplementasi satu nutrient. Baru pada studi lebih lanjut DASH diet
ini di kombinasikan dengan restriksi natrium, hingga dikenal DASH diet dan DASH-Low
Sodium dengan kategori kandungan natrium tinggi, menengah dan rendah.
48
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dengan perjalanan waktu para ahli dari American Heart Association (AHA),
mengakui kemanfaatan DASH diet dalam penurunan risiko CVD lewat penurunan
homosistein dan perbaikan profil lipid.17,18 Demikian pula para ahli osteoporosis
menyetujui DASH diet karena di dalam komposisinya terdapat 1200 mg kalsium/
2100 kkal, juga di apresiasi oleh para ahli onkologi, karena sejalan dengan anjuran
diit untuk mencegah kanker yakni diet yang memasukan 5-10 serving buah dan
sayur dalam sehari.
Dikaitkan dengan penyakit ginjal, Dash diet tak dianjurkan pada individu dengan
penyakit ginjal kronik dengan GFR kurang dari 60 ml/menit oleh karena tingginya
protein, kalium dan fosfor dalam diit ini.19 Dalam hal batu ginjal, diit ini dapat menjadi
potensial untuk pencegahan pembentukan batu ginjal karena komposisinya yang tinggi
sayur-buah (inhibitor terhadap pembetukan batu kalsium) dan rendah protein hewani-
natrium (protektif terhadap pembentukan batu oksalat) yang terungkap dari studi follow
up selama 50 tahun yang menemukan 5.645 kasus batu ginjal baru pada subyek
dengan berbagai pola makan.
Bagi penderita diabetes melitus tipe 2 (DM), ada yang menganggap Dash diet
kurang tepat karena kadar hidrat arang yang tinggi.10 Namun bila dilihat lebih lanjut,
bentuk hidrat arang yang dianjurkan dalah non refined carbohydrate dengan kandungan
seratnya (whole grain). Bagi penderita DM yang telah alami penurunan fungsi ginjal
maka Dash diet tak dianjurkan.
49
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
jajanan/makanan kudapan kita yang serba manis hampir sama. Kita juga memiliki
golongan nuts, seeds, dry beans dan peas, namun konsumsi kita pada padanan ini
yakni kacang koro, kacang merah, kacang tolo, kacang bogor, kecipir dan kapri tak
terlalu banyak dan lebih bersifat sebagai bagian dari cemilan. Pada kelompok
vegetarian, misalnya masyarakat India, maka konsumsi nuts, seeds dan dry bean ini
sangat tinggi karena dimasak bersama sayur mayur setiap harinya. Secara umum
asupan protein kita sangat tergantung dari strata ekonomi. Pada kelompok mampu,
asupan protein dapat tinggi, pada masayarakat marginal asupan protein dapat rendah.
Anjuran untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah tidak akan sulit dilaksanakan,
karena anjuran dalam PUGS (apabila dilaksanakan) kurang lebih sama dengan yang
ada pada DASH diet. Namun perlu diingat bahwa kita biasanya hanya makan sayur
dan buah di siang dan malam hari saja hingga untuk memenuhi DASH diet maupun
PUGS kita harus mengkonsumsi 2 satuan buah dan sayur di siang hari. Susu sebagai
sumber kalsium jarang dikonsumsi orang Indonesia dewasa, sehingga sumber kalsium
dari makanan sehari-hari kita harus berasal dari golongan kacang-kacangan dan ikan-
udang kecil yang kita makan keseluruhan. Secara umum PUGS sudah memberikan
panduan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan kita, tergantung apakah kita
dapat dan mau menggunakan panduan itu atau tidak. Apabila seseorang memiliki
penyakit tertentu seperti hipertensi, maka perlu modifikasi ringan.
Selanjutnya perlu disadari bahwa pemilihan bahan makanan segar sangat penting
baik dalam melaksanakan DASH diet maupun PUGS agar kandungan natrium dapat
bersifat sedang-rendah. Mengapa? Adalah biasa di negara barat, masakan dibuat tidak
terlalu asin dengan tersedianya table salt. Dengan demikian pengendalian penggunaan
garam ada di tangan masing-masing individu. Lain keadaan di Indonesia, di mana
makanan dimasak dengan rasa yang kurang lebih sama untuk semua orang/anggota
keluarga. Variasi muncul berdasar daerah atau etnik yakni masakan Jawa Timur
cenderung asin, sedangkan Jawa Tengah bersifat manis dan darah Sumatera dan
Kalimantan serba pedas dan sebagainya. Mungkin kita akan dianggap tidak sopan bila
kita makan di rumah sendiri atau orang lain dan meminta garam meja, yang dapat
diartikan ibu atau si pemilik rumah bahwa masakan beliau hambar atau tak enak.
Masalah lain yang muncul pada 3-4 dekade terakhir di Indonesia adalah
munculnya berbagai produk olahan yang siap/cepat dan banyak mengandung natrium
di dalamnya. Mungkin tak kita sadari bahwa konsumsi natrium kita cukup tinggi
karena berasal dari garam dalam sayur dan sambal, penyedap dalam semua masakan
dan berbagai saus (tomat, kecap) dan berbagai pengawet dalam bakso, mie, sosis
dan teh, serta berbagai jus dalam kemasan. Walaupun di Indonesia belum ada
penelitian berbasis population study yang dapat/akan mengungkapkan jumlah natrium
dalam makanan kita sehari-hari (pada keluarga kaya, menengah maupun miskin),
sudah saatnya kita yang memasuki usia menjelang lansia atau sudah lansia waspada
terhadap jumlah natrium dalam makanan harian kita.
50
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penutup
Salah satu pendekatan yang dipakai dalam pencegahan dan pengeloaan hipertensi
merupakan modifikasi life style yang berkaitan dengan pola/susunan makan sehari-
hari. Adalah benar dan sangat bijaksana apa yang dikatakan oleh Hippocrates kurang
Key: +/- indicated limited or equivocal evidence; + suggestive evidence, typically from observational
studies and some clinical trials; ++ persuasive evidence, typically from clinical trials.
Source: Table2, p.305: Appel IJ, Brands MW, Daniels SR, Karania N, Elmer PJ, Sacks FM; American
Heart Association. Dietary approaches to prevent and treat hypertension; a scientific statement from
the American Heart Association. Hypertension, 2006; Feb; 47(2):296-308.
51
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka
1. Zamhir Setiawan. Prevalensi dan determinan hipertensi di Pulau Jawa. Jurnal Kesmas.
2004. Abstrak diunduh dari Portal Garuda Dikti www.digilib.ui.ac.id, 25 Maret 2011.
2. Setati S, Sutrisna B. Prevalence of hypertension without anti-hypertensive medications
and itsassociation with sociodemographic characteristics among 40 years and above
adult population in Indonesia. Acta Med Indones. 2005; 37(1): 20-5.
3. Dinie Zakiah. Faktor-faktor risiko yang berhubungandengan hipertensi dan
hiperlipidemia sebagai factor risiko PJK diantara pekerja di Kawasan Industri Pulo
Gadung, Jakarta Timur. Diunduh lewat Portal garuda 23 Maret 2011.
4. Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross C. Modern Nutrition in Health and Disease. 9th ed,
vol 2. Lippincott Williams & Wilkins. 1998; 1217-9.
5. Brody T. Nutritional Biochemistry. Academic Press. 1994; 503-72.
6. Berdanier CD. Advanced Nutrition: Micronutrient. CRC Press. 1998; 152-72.
7. Sacks FM, Kass EH. Low blood pressure in vegetarians: Effect of specific foods and
nutrients. Am J Clin Nutr. 1988; 48 (supp): 795-800.
8. Hermansen K. Diet, blood pressure and hypertension . Br J Nutr. 2000;83 (Suppl
I):S113-S119.
9. Sacks FM, Brown LE, Apple L, et al. Combination of potassium,calcium and magnesium
supplements in hypertension. Hypertension. 1995; 26: 950-6.
10. Reimer RA. The DASH Diet: Implementation for people with diabetes. Can J Diab.
2002; 26 (4): 369-77.
11. Trials of Hypertension Prevention Collaborative Research Group. The effect of non
pharmacologic intervention on blood pressure of persons with high normal level.
Result of the Trials in Hypertension Prevention Phase I. JAMA. 1992; 262: 1213-20.
12. US Department of Health and Human Service. Your Guide to Lowering Your Blood
Pressure with DASH Diet. Rockville MD: National Heart, Lung, and Blood Institute.
National Institute of Health, 2006.
13. Sacks FM, Obarzanek E, Windhauser MM, et al. Rationale and Design of the Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH). A multi center controlled feeding study of
dietary pattern to lower blood pressure.Ann Epidemiol. 1995; 5: 108-18.
14. Apple LJ, Moore TJ, Obarzanek E, et al. A clinical trial of the effects of dietary patterns
on blood pressure. N Engl J Med. 1997; 336: 1117-24.
15. Blumenthal JA, Babyak MA, Hinderliter A, Wathins LL, Craighead L, Poa-Hwa Lin.
Effects of DASH Diet alone and in combination with exercise and weight loss on blood
pressure and cardiovascular biomarkersin men and women with high blood pressure.
The Encore Study. Arch Intern Med. 2010;170(2):126-35. Diunduh dari
www.archiinternmed.com pada 6 Februari 2011.
52
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
16. Pujol T, Tucker MS. Disease of the cardiovascular system. In Nelms M, Sucker K, Long
S: Nutrition Therapy and Pathophysiology. International Student Edition. Thomson &
Wadsworth. 2007; 371-86.
17. Obarzanek E, Sacks FM, Vollmer WM, Bray GA, Miller III ER, Pao-Hwa Lin. Effects on
blood lipids of blood pressure-lowering diet:the Diatery Approaches to Stop
Hypertension (DASH) trial. Am J Clin Nutr. 2001; 74: 80-9.
18. Fung TT, Chiuve SE, McCullough MJ, Rexrode KM, Logroscino G, Hu FB. Adherence to
a DASH-Style Diet and risk of coronary heart and stroke in women. Arch Intern Med.
2008; 168 (7): 713-20.
19. Taylor EN, Fung TT, Curhan GC. DASH Style Diet associates with reduced risk of
kidney stones. J Am Soc Nephrol. 2009; 20: 2253-59.
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Umum Gizi Seimbang. 1995.
21. Yayasan Institute DANONE. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. PT Gramedia.
2010; 45, 109, 110, 131.
53
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
54
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Lestariningsih
Pada tahun 2010 populasi penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun
diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 400%, jauh lebih besar
dibandingkan prediksi populasi balita. Prevalensi hipertensi pada usia >60 tahun sangat
tinggi, bila disertai faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lain (misalnya obesitas,
hipertrofi ventrikel kiri, kurangnya aktifitas fisik/ olahraga, hiperlipidemia, penyakit ginjal
kronik dan diabetes) akan menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang diderita oleh orang
lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi. TDS (Tekanan darah sistolik)
akan terus meningkat seiring pertambahan usia, akan tetapi peningkatan TDD (Tekanan
Darah Diastolik) seiring pertambahan usia hanya terjadi sampai sekitar usia 55 tahun,
yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat
aterosklerosis.
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi
(HST) dimana terjadi pada 2/3 pasien berusia 60 tahun, 3/4 pasien usia >75 tahun
dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST maupun
kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas
untuk orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke,
gagal jantung dan penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar
dibandingkan pada orang yang lebih muda.
Pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut dengan TDS atau TDD yang
tinggi telah menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas. Dari hasil penelitian yang terakhir, HYVET (2008), pada penderita populasi
usia sangat lanjut yang berusia lebih dari 80 tahun, pengobatan hipertensi berhasil
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik
(TDS) >140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) >90 mmHg. The joint
National Committee on Prevention, detection,Evaluation, and treatment of High Blood
pressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society of Hypertension guidelines
subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi.
55
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada usia lebih dari 50 tahun, tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg
merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lebih penting daripada
tekanan diastolik
56
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
57
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
58
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gambar 1. Diagram pengobatan hipertensi pada usia lanjut (sesuai Guideline NICE/BHS, 2006 )
Keterangan: A = ACE Inhibitor atau ARB (antagonis reseptor angiotensin II )
C = Calcium Channel Blocker
D = Diuretik golongan thiazide
β blocker bukan lagi pilihan terapi awal pada >55 tahun, tetapi merupakan
alternative pada pasien dengan intoleransi atau indikasi kontra terhadap ACE inhibitor.
β blocker juga dianjurkan sebagai terapi tambahan pada penderita hipertensi yang
telah diberikan CCB (Calcium Chanel Blocker), ACEI (Angiotensin Converting Enzym
Inhibitor) atau ARB (Angiotensin receptor Blocker) dan diuretic, juga dianjurkan pada
penyakit jantung kongestif, angina pektoris.
Selain itu, terdapat pula rekomendasi lain mengenai pemberian antihipertensi
pada populasi lanjut usia yaitu rekomendasi dari JNC-7 yang pada prinsipnya serupa
dengan rekomendasi pengobatan terapi hipertensi pada populasi umum. Prinsip utama
tersebut adalah:
1. Mengobati HST.
2. Terapi lini pertama: diuretic golongan thiazide
3. Terapi lini kedua harus berdasarkan komorbiditas dan faktor risiko (tabel 3)
4. Pasien dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan diastolik
>100 mmHg biasanya akan membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah.
5. Terapi sebaiknya dimulai dengan obat antihipertensi terpilih dalam dosis rendah,
dititrasi perlahan untuk meminimalisasi efek samping seperti hipotensi ortostatik.
6. Penurunan berat badan dan pengurangan konsumsi natrium telah terbukti sebagai
salah satu intervensi hipertensi yang efektif pada populasi lanjut usia.
59
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
60
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka
British Hypertension Society Guidelines. Guidelines for management of hypertension: report
of the fourth working party of the british hypertension Society, 2004-BHS IV. J Hum
Hypertens 2004; 18:139-185
Baruch L. Hypertension and the elderly: More than just blood pressure control. J Clin
Hypertens 2004;6:249-255
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh report of The joint nasional Committee
on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure: The JNC
7 report. JAMA.2003;289(19):2560-72.
Dickerson LM, Gobson MV. Management of Hypertension in older persons. Am Fam
Physician 2005;2005 71:469-76.
Guidelines Committee.2003 European Society of hypertension-European Socitey of
cardiology guidelines for the management of arterial hypertension, J Hypertens
2003;21:1011-1053.
Hanson L, Zanchetti A, Carruthers SG et al. Effects of intensive blood-pressure lowering
and low dose aspirin in patients with hypertension: principal results of the Hypertension
Optimal treatment ( HOT) randomized trial. HOT study Group.Lancet, 1998;9118:1755-
1762.
Hanson L, Lindholm LH, Ekbom T,et al. Randomised trial of old and new antyhypretensive
drugs in elderly patients:cardiovascular mortaliyti and mortalyti the Swedish Trial in
Old patients with Hypertension @ study. Lancet 1999;9192:1751-1756.
NICE clinical guideline 34. Hypertension: Management of hypertension in adults in primary
care. National Institute for health and Clinical Excellence. June. 2006.
Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Hipertensi pada usia lanjut dalam Konsensus
Penatalaksanaan Hipertensi pada keadaan khusus. 2009.
61
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
62
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hipotensi Postural
RA Tuty Kuswardhani
Pendahuluan
Definisi
Definisi hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah (hipotensi) karena
perubahan posisi tubuh (postur) ketika seseorang bergerak ke posisi yang lebih vertikal
dari duduk ke berdiri atau dari berbaring ke duduk atau berdiri. Hipotensi postural
lebih umum pada orang berusia tua.
Hipotensi bisa terjadi pada siapa saja tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa
yang lebih tua. Hipotensi postural biasanya ringan. Berlangsung beberapa detik sampai
beberapa menit. Kejadiannya terjadi paling banyak setelah berdiri. Namun, hipotensi
postural dalam jangka panjang dapat menjadi petanda masalah yang lebih serius jika
terjadi kehilangan kesadaran, bahkan sesaat.
Memiliki hipotensi postural ringan, mungkin tidak membutuhkan pengobatan.
Banyak orang kadang-kadang merasa pening atau pusing setelah berdiri dan biasanya
tidak menimbulkan kekhawatiran. Perlakuan untuk kasus yang parah dari hipotensi
postural tergantung pada apa yang menyebabkan episode penurunan dari tekanan
darah.
Penyebab
Penyebab rendahnya tekanan darah dapat terjadi karena perubahan hormonal,
pelebaran pembuluh darah, efek samping obat, anemia, jantung dan gangguan sistem
endokrin.
Pengurangan volume darah atau hipovolemia adalah mekanisme yang paling umum
menginduksi hipotensi. Hal ini akibat dari perdarahan, asupan cairan yang tidak
mencukupi atau kehilangan cairan yang berlebihan dari diare atau muntah. Hipovolemia
sering disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari diuretik. Dan obat lain yang
dapat menghasilkan hipotensi dengan mekanisme yang berbeda.
Aritmia sering mengakibatkan hipotensi. Beta Blockers dapat menyebabkan
hipotensi baik dengan mekanisme memperlambat denyut jantung dan dengan
63
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Epidemiologi
1. Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia.
2. Prevalensi pada umur 65 tahun ±20%, pada umur 75 tahun ±30%.
3. Pada orangtua yang sakit prevalensi hipotensi ortostatik meningkat >50%.
4. Hampir tidak ada perbedaan insiden antara pria dan wanita.
5. Hipotensi ortostatik berhubungan dengan kejadian jatuh, fraktur, TIA, sinkope dan
infark myocard.
Pathogenesis
Dapat disebabkan oleh:
1. Penurunan keluaran sistem saraf simpatik atau aktivitas parasimpatis yang
meningkat yang terjadi sebagai akibat dari cedera pada otak atau sumsum tulang
belakang atau dari dysautonomia, kelainan intrinsik pada fungsi sistem otonom.
2. Pada orang sehat, saat perubahan posisi dari posisi baring ke posisi tegak ±500-
1000 ml darah pindah meninggalkan rongga dada menuju pool cadangan vena
di daerah perut dan kaki.
3. Tekanan di atrium kanan turun, menyebabkan venous return ke jantung kanan
menurun. Isi sekuncup menurun dengan akibat penurunan tekanan darah.
4. Konsekuensi baroreseptor pada a.carotis dan aorta aktif, menyebabkan terjadinya
peningkatan efek simpatis (vasokontriksi arteriole dan vena), disertai dengan
menurunnya efek parasimpatik dari Central Nervous System. Reflek kompensasi
64
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gejala klinis
1. Simptomatik-Asimptomatik.
2. Asimptomatik karena adanya otoregulasi sirkulasi serebral (pengaturan
vasomotor)Jmengkompensasi penurunan tekanan darah.
3. Simptomatik: dizziness (pusing), light headedness (rasa melayang), weakness,
syncope, nausea, paracervical pain, low back pain, angina pectoris dan transient
ischemic attacks.
4. Pada penderita lansiaJmekanisme kompensasi tidak efektifJpenurunan
kesadaran (confusion), disturbed speech, gangguan penglihatan, falls dan
gangguan kognitif
Diagnosis
Bagi kebanyakan orang dewasa, tekanan darah tersehat berada pada atau
dibawah 115/75 mmHg. Penurunan yang kecil pada tekanan darah, bahkan sekecil
20 mmHg, dapat menyebabkan hipotensi yang bersifat sementara.
65
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pengukuran tekanan darah dan detak jantung sederhana sambil berbaring, duduk
dan berdiri (dengan jeda dua menit di antara setiap perubahan posisi) dapat
mengkonfirmasi adanya hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik diindikasikan jika
ada penurunan 20 mmHg tekanan sistolik (dan penurunan 10 mmHg pada tekanan
diastolik di beberapa fasilitas) dan peningkatan 20 kali per menit pada denyut jantung
(1995, the American Academy of Neurology and the Joint Consensus Committee of
the American Autonomic Society).
Evaluasi
1. Evaluasi awal termasuk pengukuran tekanan darah dan denyut jantung setelah 5
menit pasien tidur terlentang dengan tenang, dan diukur lagi setelah 1 dan 3
menit setelah berdiri.
2. Deteksi hipotensi ortostatik memerlukan pengukuran berulang di hari yang berbeda.
3. Pengukuran dilakukan setelah sarapan, setelah minum obat, setelah makan siang
dan sebelum tidur.
4. Evaluasi neurocardiogenic syncope dilakukan dengan tes Tilt-Table.
5. Pengujian Tilt-Table dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hipotensi postural.
Pengujian Tilt-Table melibatkan penempatan pasien di atas meja dengan
penyangga kaki. Meja dimiringkan ke atas dan tekanan darah dan denyut nadi
diukur sementara gejala dicatat dalam berbagai posisi.
Management
1. Farmakologi
2. Non Farmakologi
66
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Intervensi farmakologi
Secara langsung terkait dengan kecepatan pada mana hipotensi diperbaiki.
Mengatasi masalah yang mendasar (yaitu antibiotik untuk infeksi, stent atau CABG
untuk infark, steroid untuk insufisiensi adrenalin dan lainnya)
Derajat sedang (dan menunjukkan gejala kurang baik) dengan penatalaksanaan
pada hipotensi termasuk:
1. Mengontrol gula darah (80-150 oleh satu studi).
2. MidodrinJagonis adrenergik. Dimulai dengan dosis 3x2,5 mg/hari dan dosis bisa
ditingkatkan 25 mg/minggu sampai dosis maksimal 3x10 mg/hari.
Terbaik diberikan sepagi mungkin dan dosis malam tidak diberikan lebih dari jam
6 malam.
Kombinasi terapi fludrocortisone dan midodrine dosis rendah (efek sinergis) juga
menguntungkan.
Efek samping: supine hypertension, piloerection, pruritus dan paresthesia.
Midodrine mempunyai kontraindikasi pada pasien dengan penyakit koroner, gagal
jantung, retensi urine, thyrotoxicosis atau gagal ginjal akut.
3. Methylxanthine caffeine:
a. Adenosine-receptor blocker (vasokonstriktor)J inhibisi adenosine J
vasodilatasi
67
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
b. Dimulai dengan dosis 200 -250 mg setiap pagi sehabis makan untuk
hipotensi post prandial (setara dengan 2 cangkir kopi).
c. Untuk mencegah tolerance dan insomnia, caffeine sebaiknya diberikan sekali
pada pagi hari.
4. Erythropoetin: efektif pada subgrup pasien dengan anemia dan disfungsi
otonom.
Daftar pustaka
Andrew G., 1993. Aging in the WHO-East-Asian-Region, Report on WHO-5-Country
Community study of the Elderly.
Anonim., Emerging Health Care-Associated Infections in the Geriatric Population http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2631705/pdf/11294721.pdf. (diakses: 2011,
Maret 9).
Anonim., http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=7671.
Anonim., Hypotension. http://en.wikipedia.org/wiki/Hypotension (diakses: 2011, Maret 9).
Anonim., Orthostatic hypotension http://en.wikipedia.org/wiki/Orthostatic_hypotension
(diakses: 2011, Maret 9).
Anonim Postural orthostatic tachycardia syndrome. http://en.wikipedia.org/wiki/
Postural_orthostatic_tachycardia_syndrome (diakses: 2011, Maret 9).
ASGM, Australian Society of Geriatric Medicine. (2005). Position Statement. Birrer RB.
(2004) Depression in Later Life A Diagnostic and Therapetic Challenge Am Fam
Physician. 69: 2375-829.
Delirium In Older People. no.13.
Freeman, R. Neuogenik Ortostatic Hypotension. The New Englang Journal of Medicine,
2008; 358: 615-24.
Forherby, Potter, Ortostatic hypotension and anti-hypertensive therapy in the elderly. Postgrad
Medical Journal (1994) 70,878-881.
Gupta V., Lipsitz L A., 2010, Orthostatic Hypotension in the Elderly: Diagnosis and Treatment.
Beth Israel Deaconess Medical Center, Hebrew Senior Life and Harvard Medical School,
Boston, Mass.
Juwita, P. 2009. Imobilitas dan Toleransi Aktivitas Lansia. http://pusva.wordpress.com/
cztegory/health (accesed: 2011, Februari 16).
Martono, H. H. 2009, Aspek Fisiologik dan Patologik Akibat Proses Menua. Dalam: Martono,
H. H. Dan Pranaka, K. (eds). Buku AjarBoedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Lanjut Usia) edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
The American Academy of Neurology and the Joint Consensus Committee of the American
Autonomic Society., 1995.
68
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Patofisiologi Demensia
Dodik Tugasworo
Pendahuluan
Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah fungsi luhur. Otak
manusia jauh berbeda dengan otak binatang, karena adanya korteks asosiasi yang
menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.
Otak bekerja secara keseluruhannya dengan menggunakan fungsi dari seluruh
bagian. Proses mental manusia merupakan sistem fungsional kompleks dan tidak
dapat dialokasikan secara sempit menurut bagian otak terbatas, tetapi berlangsung
melalui partisipasi semua struktur otak. Sehingga kerusakan pada sel otak yang
diakibatkan oleh suatu keadaan atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan pada
proses mental tersebut.
Tanpa riwayat asessmen yang hati-hati, sindrom jangka pendek dari delirium
(hampir timbul harian sampai mingguan) dapat dianggap demensia, karena keduanya
memiliki gejala yang sama, serta rentang waktu yang sama. Beberapa penyakit mental,
termasuk depresi dan psikosis, dapat memproduksi gejala yang harus dibedakan
dari delirium maupun demensia.
Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya
kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang
lalu dan juga kehilangan pola sentuh, penderita menjadi perasa, dan terganggunya
aktivitas (Gelder, et al. 2005). Keadaan mental dan masalah perilaku sering
mempengaruhi orang yang memiliki demensia sehingga dapat mempengaruhi kualitas
hidup, kehidupan sosial, dan kebutuhan untuk berinteraksi. Saat demensia menjadi
bertambah buruk, penderita dapat melupakan dirinya sendiri dan menjadi lepas kendali,
penderita tersebut dapat tergantung pada orang lain (Gelder, et al. 2005).
Demensia adalah sebuah sindrom klinis dimana terjadi pengurangan dari fungsi
intelektual dan memori yang menetap dalam tahap tertentu sehingga menyebabkan
disfungsi pada kehidupan harian.
Kehilangan kemampuan fungsional adalah ciri khas yang membedakan demensia
dan MCI. Ciri khasnya adalah:
- Perjalanan penyakit yang memburuk secara bertahap.
- Tidak ada gangguan kesadaran.
69
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pembahasan
Demensia reversibel
Sangatlah penting untuk menemukan penyebab demensia yang dapat diobati
dan potensial untuk reversibel, tetapi demensia jenis ini hanya sebagian kecil dari
seluruh demensia. Akhir-akhir ini telah ditemukan penyebab demensia yang reversibel,
tetapi ternyata tidak menjamin bahwa demensia yang reversibel tersebut akan
membaik, setelah penyebab tersebut diobati.
Tabel 1 menunjukkan penyebab-penyebab demensia. Gangguan-gangguan ini
dapat dideteksi dengan anamnesis yang hati-hati, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium tertentu.
70
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
71
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Demensia nonreversibel
Alzheimer Disease (AD)
Alzheimer’s Disease (AD) merupakan bentuk demensia yang paling umum, merupakan
gangguan otak progresif mempengaruhi daerah otak yang mengontrol memori dan fungsi
kognitif dan secara bertahap akan menghancurkan memori seseorang dan kemampuan
untuk belajar, memberi alasan, berkomunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Penyakit Alzheimer mempunyai karakteristik hilangnya neuron dan sinaps pada
korteks serebri dan beberapa wilayah subkortek. Hal ini mengakibatkan gross atrofi
pada wilayah yang terkena, termasuk degenerasi pada lobus temporalis dan lobus
parietalis dan bagian dari kortek frontalis dan girus singulata.
AD secara garis besar dibagi menjadi sporadik atau onset akhir (90-95% Alzheimer)
dan onset awal (dijumpai pada usia <65 tahun, 5-10% AD). Salah satu tanda AD adalah
produksi berlebihan dari 4-kDa peptida, amyloid β-peptida dan terbentuknya plak. AD
mencakup sejumlah fenotip, meluas dari kasus dengan Aβ42 dan sejumlah besar spesies
tidak larut Aβ40. Pemecahan protein membran neuron protein prekursor amyloid (PPA)
akan menghasilkan 2 produk, Aβ40 dan Aβ42. Bukti kuat peranan Aβ dalam patogenesis
AD biasanya diketahui dari observasi dalam keluarga atau onset awal AD, adanya
mutasi PPA atau enzim yang membelah akan menghasilkan produksi berlebihan Aβ42
dan terjadinya progresi yang cepat dari penyakit. Onset akhir AD dikarakteristikkan
oleh adanya akumulasi Aβ dan pembentukan plak. Tanda kedua Alzheimer adalah adanya
neurofibrillary tangles disebabkan hiperfosforilasi protein “Tau”.
72
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
73
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
74
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
mengantar kolesterol dan lipid-lipid esensial lainnya untuk neuron-neuron lewat bagian-
bagian kelompok reseptor lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein
receptors=LDLR). Meskipun mekanisme yang mendasari sifat patogenik APOE4 dalam
AD masih belum dipahami seluruhnya, beberapa jalur telah diidentifikasi secara in
vitro dan in vivo.
Fungsi utama APOE di dalam otak adalah untuk mengangkut kolesterol, terutama
dari astrosit menuju neuron. Kolesterol adalah komponen esensial membran dan sarung
mielin yang penting bagi integritas dan fungsi neuron. Pengurangan sintesis dan
kebutuhan kolesterol yang besar dalam neuron otak manusia dewasa menandakan
bahwa transportasi aktif kolesterol dibutuhkan untuk mendukung fungsi dan perbaikan
sinaps. Kolesterol yang berhubungan dengan partikel lipoprotein-APOE yang disekresi
astrosit adalah penting dalam pembentukan sinaps matur in vitro, melalui mekanisme
yang membutuhkan reseptor APOE fungsional. Menariknya, hubungan antara
metabolisme kolesterol dan risiko AD telah diajukan. Pada manusia, penelitian tentang
penggunaan statin, yang menghambat sintesis kolesterol, dihubungkan dengan
penurunan prevalensi AD yang signifikan; namun begitu, beberapa studi retrospektif
baru-baru ini tidak mendukung kesimpulan itu. Karena statin juga memiliki efek
pleiotropik lainnya, termasuk pengaturan ekspresi gen dan prenylasi serta isoprenylasi
protein, efek spesifik statin terhadap patologi AD pada berbagai model sistem
kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis dan patologis yang bervariasi,
misalnya efisiensi aliran darah ke otak dan munculnya penyakit-penyakit lain misalnya
hipertensi, diabetes, dan hiperkolesterolemia. Di tingkat seluler, efek kolesterol dalam
pengolahan amyloidogenik APP menjadi Aβ masih kontroversial. Kolesterol dan statin
jelas memodulasi proses APP in vitro dan in vivo. Banyak efek kolesterol dalam
pengolahan APP yang berhubungan dengan peran penting kolesterol dalam rangkaian
lipid, dimana APP diproses oleh β- dan γ-secretase.
Tingkat kolesterol di dalam otak AD lebih rendah dibanding pada otak normal.
Menariknya, mencit yang memiliki APOE4 memiliki konsentrasi kolesterol otak lebih
rendah meskipun tingkat kolesterol perifernya meningkat. Temuan ini menguatkan
pernyataan bahwa metabolisme lipoprotein-APOE di otak lebih sedikit dibanding di
plasma. Meskipun perbedaan fungsi pasti tiga isoform APOE dalam metabolisme
kolesterol otak masih belum jelas, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa
APOE4 mungkin kurang efisien dibanding APOE3 untuk mengangkut kolesterol otak.
APOE4 juga kurang efisien dibanding APOE3 dalam meningkatkan pengeluaran
kolesterol dari neuron dan astrosit. Dengan menggunakan astrosit yang berasal dari
penggantian APOE target pada mencit, terlihat bahwa beberapa APOE3 dibandingkan
dengan APOE4 dibutuhkan untuk membentuk partikel lipid dengan ukuran tertentu.
Ini menggambarkan bahwa APOE3-expressing astrocytes dapat menyediakan
kolesterol yang lebih ke neuron daripada APOE4-expressing astrocytes. Selain
observasi yang menarik ini, peran perbedaan APOE isoform dalam metabolisme
kolesterol otak membutuhkan investigasi lebih jauh. Perbedaan struktur diantara APOE
isoform yang menentukan lipid dan spesifitas receptor-binding mereka di otak dapat
75
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
76
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pembentukan plaque Aβ, tapi penelitian yang dilakukan masih terbatas/inkomplit untuk
AD. PPA dan PPA/PS1 tikus percobaan mutan membentuk deposisi amyloid pada
usia muda, tapi gagal membentuk neurofibrillary tangle yang merupakan tanda yang
penting dalam AD. Atrofi neuritik ditemukan pada beberapa tikus transgenik, akan
tetapi dari 1 lusin tikus percobaan ternyata hanya 1 yang dilaporkan kehilangan
karakteristik neuron, hal ini akan mempengaruhi strategi penatalaksanaan AD.
Perkembangan strategi terapi diarahkan pada patologi tau akan membutuhkan
identifikasi daerah fosforilasi yang dihubungkan dengan agregasi tau dan pembentukan
filamen dan kinase dan fosfatase spesifik yang terlibat.
Hiperfosforilasi protein tau yang berhubungan dengan mikrotubulus (MAPT; juga
dikenal sebagai tau) bersifat toksik untuk neuron dan merupakan komponen utama
rangkaian serat neuron. Tau sangat penting dalam disfungsi neuron yang dipicu oleh
Aβ dan eksitotoksin: mengurangi blokade tau endogen terhadap gangguan kognitif
yang dipicu Aβ pada PDGF-APPSw.Ind model tikus. Ekspresi berlebihan transgenik
APOE4 dalam neuron (bukan dalam astrosit) meningkatkan fosforilasi tau pada mencit,
menunjukkan efek spesifik neuron APOE4 pada fosforilasi tau. Hubungan patofisiologi
jalur ini masih belum jelas, sebab APOE secara umum diproduksi oleh astrosit dan
mikroglia, bukan neuron. Bagaimanapun, telah dilaporkan adanya ekspresi APOE
dalam neuron setelah cedera. Meskipun APOE tidak diekspresikan di neuron
hippokampus pada keadaan normal, cedera neuronal yang dipengaruhi oleh cainic
acid meregulasi ekspresi APOE di dalam neuron. Dengan begitu, kemungkinan
ekspresi APOE abnormal di dalam neuron otak AD yang cedera memicu hiperfosforilasi
tau.
Pertanyaan lain yang harus dijawab adalah bagaimana APOE dan tau, yang
normalnya dipisahkan oleh plasma atau organel membran, dapat bersentuhan. Hipotesis
yang diajukan misalnya bahwa fragmen badan-terminal-C APOE, yang ditemukan pada
otak AD manusia dan model tikus AD yang neuronnya mengekspresikan transgen
APOE4, memasuki sitosol dan berinteraksi langsung dengan tau. Hipotesis lain, isoform
APOE mungkin mengatur siklus signalling APOE yang diperantarai reseptor yang
kemudian dapat memodifikasi fungsi tau kinase dan fosfatase.
Wilayah ikatan-reseptor dan ikatan-lipid fragmen APOE4 bekerja bersama
menyebabkan disfungsi mitokondrial dan neurotoksisitas. Dengan menggunakan garis
sel neuronal asli, terlihat bahwa wilayah ikatan-reseptor fragmen badan-terminal-C
APOE4 dibutuhkan untuk pergi dari jalur sekretorik, dan wilayah ikatan-lipid menengahi
interaksi dengan mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Keterkaitan in
vivo jalur toksik APOE4 ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Sementara itu etiologi onset akhir AD sampai saat ini belum banyak dimengerti,
ada penelitian yang mengatakan bahwa kolesterol adalah bagian penting dalam
perkembangan dan progresi penyakit. Apolipoprotein E (Apo E) adalah salah satu
Apo utama di plasma dan merupakan protein pembawa kolesterol yang penting di
otak. Identifikasi gen mengkode varian ApoE4 (alel APOE º4) sebagai faktor risiko
77
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
yang signifikan pada AD onset akhir merupakan bukti adanya peranan kolesterol
dalam patogenesis AD. Kenaikan nilai kolesterol akan meningkatkan Aβ dalam sel
dan binatang percobaan, dimana obat seperti statin yang kerjanya menghambat sintesis
kolesterol akan menurunkan nilai Aβ. Statin akan menghambat 3-hydroxy-3-
methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reduktase yang mengawali sintesis lipid
kolesterol dan isoprenoid. Kolesterol dibutuhkan untuk membuat membrane sel micro-
domain sebagaimana rakit lipid. PPA, β-sekretase, γ-sekretase complex dan
sfingomyelinase netral (N-SMase) terdapat pada rakit lipid yang kaya akan kolesterol
dan sfingomyelin (SM). Mutasi genetik yang terjadi pada PPA atau presenilins (bagian
dari γ-sekretase complex) akan meningkatkan produksi Aβ42. Studi terbaru
menyarankan Aβ40 menghambat HMG-CoA reduktase sementara Aβ42 mengaktifkan
N-SMase dan meningkatkan produksi seramid, yang akan mempercepat proses
neurodegeneratif. Bagaimanapun, belum diketahui secara pasti apa yang meregulasi
pemecahan Aβ42 versus Aβ40 dan juga rasio Aβ42 hingga Aβ40 dapat diturunkan
seperti yang terjadi pada pelemahan HMG-CoA reduktase dan N-SMase. Percobaan
prospektif yang mengevaluasi terapi statin ternyata tidak menunujukkan terjadinya
peningkatan fungsi kognitif pada pasien Alzheimer. Juga belum diketahui apakah
perbedaan genetik seperti adanya alel APOE º4 akan mempengaruhi keluaran klinis.
Studi terbaru telah menunjukkan ekspresi mRNA secretor proinflamator
fosfolyphase A2 (sPLA2) grup IIA (IIA) diregulasi pada otak Alzheimer dibandingkan
dengan otak lansia non-demensia dan juga ditemukan sPLA2 IIA astrosit imunoreaktif
pada hipokampus Alzheimer yang dihubungkan dengan plque Aβ.
Sejumlah studi menunjukkan adanya peningkatan peroksidase lipid pada AD
yang mana hal ini merupakan bukti kuat mengenai peranan kerusakan oksidatif. Studi
terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah hidroksinonenal (HNE) dan akrolein
pada jaringan otak dari pasien dengan gangguan kognitif ringan dan AD dini, hal ini
menginidikasikan peroksidasi lipid terdapat pada patogenesis awal AD. Akrolein,
merupakan elektrofil terkuat diantara semua αβ-unsaturated aldehid, yang bereaksi
dengan DNA dasar termasuk guanine, adenosine, sitosin dan timidin untuk membentuk
adduct siklik, eksosiklik utama adduct adalah akrolein-deoksiguanosin. Peningkatan
jumlah akrolein-deoksiguanosin adduct ditunjukkan baru-baru ini dalam jaringan otak
pasien Alzheimer. ROS juga berperan dalam deposisi amiloid pada Alzheimer sebagai
kondisi oksidasi menyebabkan protein cross-linking dan agregasi peptide Aβ, dan
juga berkontribusi pada agregasi protein tau. Agregasi Aβ sudah ditunjukkan untuk
menginduksi akumulasi ROS, yang dapat membentuk siklik atau kerusakan oksidatif
yang diprakarsai sendiri. Pasien AD dan gangguan kognitif ringan juga menunjukkan
sistem pertahanan antioksidan yang rendah.
Pada percobaan tikus berdasarkan mutasi pada AD familial (bentuk yang jarang)
ternyata tidak menyerupai bentuk sporadik. Lebih jauh lagi, sebagian besar hewan
percobaan tidak menunjukkan neurodegenerasi yang luas pada pasien AD. Vaksin
amiloid AN-1792 efektif membersihkan plak dan meningkatkan memori pada hewan
78
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Demensia Vaskular
Demensia vaskular, terutama disebabkan oleh infark multipel (demensia multi-
infark), biasanya terjadi pada populasi geriatri. Demensia multi infark dapat terjadi
secara sendiri atau kombinasi dengan gangguan lain yang menyebabkan demensia
(Zekry et al, 2002). Penelitian autopsi menunjukkan bahwa penyakit serebrovaskular
dapat memainkan peran penting dalam terjadinya dan tingkat keparahan dari gejala-
gejala AD (Snowdown et al., 1997). Demensia multi-infark terjadi ketika seorang pasien
mempunyai stroke kortikal dan subkortikal yang rekuren. Banyak dari stroke ini yang
tidak menunjukkan adanya defisit neurologis fokal yang permanen atau bukti terjadinya
stroke pada gambaran computed tomography (CT). Sekarang dengan adanya Magnetic
Resonance Imaging (MRI) bisa lebih sensitif dalam mendeteksi infark kecil. Pada
tabel 3 mengidentifikasi karakteristik pasien yang diduga memiliki demensia multi
infark dan membandingkan karakteristik klinis dari demensia degeneratif primer dan
demensia multi infark. Sebuah ciri khusus demensia multi infark adalah perburukan
atau kemunduran dari fungsi kognitif, seperti yang diilustrasikan pada gambar 1. Bentuk
lain dari bentuk vaskular demensia telah dijelaskan, dinamakan demensia senil dari
tipe Binswanger, yang sulit dibedakan secara klinis dengan demensia multi infark.
Semakin penting untuk mendiferensiasikan demensia vaskular dengan demensia
yang lain, karena pasien dengan dimensia vaskular biasanya dapat membaik dengan
pengobatan agresif untuk hipertensinya dan faktor risiko kardiovaskular lain (Forette
et al., 2002; Murray et al., 2002), dimana pemberian pengobatan farmakologis yang
lebih baru untuk AD, tidak membantu pasien dengan demensia vaskular.
Adanya fungsi kognitif yang terganggu akibat penyakit vaskular disebut Rockwood
(1997) sebagai gangguan kognitif vaskular yang dipengaruhi oleh faktor risiko vaskular.
Gangguan kognitif ini dapat menjadi awal dari terjadinya demensia vaskular, sehingga
dapat dicegah dari kemunduran lebih lanjut. Demensia vaskular termasuk demensia
yang dapat dicegah, sehingga sangat penting mengetahui faktor risiko dan faktor-
faktor lain yang mempengaruhinya.
79
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai gangguan kognitif dan demensia
pasca stroke. Zhu dkk (1998) dalam penelitiannya mengatakan bahwa stroke selain
berhubungan dengan disability (ketidakmampuan) juga berhubungan dengan
perkembangan demensia. Tipe stroke silent merupakan faktor risiko penting untuk
terjadinya gangguan kognitif. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa stroke juga
berhubungan dengan terjadinya gangguan kognitif tanpa adanya demensia.
Pasien stroke iskemik yang dirawat mempunyai risiko paling sedikit lima kali
untuk terjadinya demensia. Mekanisme yang mendasari hubungan tersebut ada
beberapa. Pertama stroke secara langsung atau sebagian merupakan penyebab utama
demensia, yang secara umum diklasifikasikan sebagai demensia multi infark atau
demensia vaskular. Kedua adanya stroke dapat memacu onset terjadinya demensia
Alzheimer’s. Pada akhirnya lesi vaskular pada otak termasuk perubahan pada
substansi alba, lesi degenerasi Alzheimer’s dan usia sendiri berpengaruh pada
perkembangan dari demensia.
Kuller dkk (1998) mengatakan bahwa hubungan antara penyakit vaskular dan
demensia telah berkembang dengan peningkatan penggunaan MRI dan CT, yang
menunjukkan bahwa patologi vaskular subklinik di otak seperti infark silent dan
perubahan substansia alba kemungkinan merupakan penyebab vaskular yang
dihubungkan dengan penurunan kognitif dan demensia.
Pohjasvaara dkk (1998) mengatakan bahwa faktor risiko demensia yang
dihubungkan dengan stroke belum diketahui secara lengkap, berbagai faktor gambaran
stroke (dysphasia, sindrom stroke dominan), karakteristik penderita (tingkat pendidikan)
dan penyakit kardiovaskular yang mendahului berperan terhadap risiko tersebut.
Pohjasvaara dkk (1997) dalam penelitian lainnya mengatakan bahwa penurunan kognitif
dan demensia sering terjadi pada pasien stroke iskemik dan frekuensinya meningkat
dengan meningkatnya umur.
Hasil penelitian Pohjasvaara didapatkan penurunan fungsi kognitif yang terjadi 3
bulan pasca stroke adalah 56,7% untuk paling sedikit 1 kategori, 31,8% untuk
penurunan 2 atau 3 kategori, dan penurunan lebih dari 4 kategori ada 26,8%.
Gangguan kognitif vaskular dipengaruhi oleh faktor risiko vaskular, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pencegahan. Dari penelitian Desmond dkk (1993)
dikatakan bahwa faktor risiko spesifik penyakit serebrovaskular berhubungan dengan
disfungsi kognitif. Dari analisa regresi logistik didapatkan antara lain bahwa diabetes
visuospasial dan hiperkolesterolemi berhubungan kuat dengan disfungsi memori.
Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa stroke menimbulkan
gangguan fungsi kognitif dari yang sangat ringan sampai dengan yang berat, atau sampai
keadaan demensia. Untuk melihat adanya gangguan fungsi kognitif dapat diperiksa dengan
Tes Mini Mental (TMM) atau MMSE (Mini-Mental State Examination), di mana dapat
ditemukan skor yang menurun. Sedang untuk keadaan demensia, harus ditegakkan dengan
80
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
kriteria demensia dari DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV)
dari American Psychiatric Association tahun 1994.
Penutup
Belum ada jawaban yang mudah untuk kompleksitas terjadinya demensia. Apakah
bentuk Alzheimer familiar dan sporadik sudah jelas? Apakah lapangan penelitian salah
jalan dalam mempelajari bentuk familial dan tidak memberi perhatian lebih pada bentuk
sporadik? Apakah hewan percobaan cukup baik untuk mendapatkan jawaban yang
kongkrit?
APOE4 adalah faktor risiko yang kuat untuk LOAD. Penelitian telah
mengidentifikasi jalur multipel yang dapat menjelaskan patogenik alami APOE4. Ini
termasuk produksi Aβ, klirens Aβ, fibrilisasi Aβ, pembentukan rangkaian, homeostasis
kolesterol, plastisitas dan perbaikan sinaps, dan toksisitas neuron.
Untuk itulah maka harus diidentifikasi jalur mana yang paling relevan dalam
patogenesis Demensia yang mempresentasikan target dengan efikasi yang dapat
diidentifikasi untuk terapi demensia. Pengertian yang besar tentang perbedaan ekspresi
dan fungsi APOE isoform sudah difasilitasi oleh hewan coba baru, termasuk human
APOE isoform TR mice dan tikus yang mengekspresikan APOE manusia pada APOE-
knockout background. Ekspresi APOE isoform yang dapat diinduksi pada hewan yang
sudah tua harus diklarifikasi lebih jauh mengenai peran APOE isoform pada penuaan
otak. Lebih jauh lagi, hubungan antara kolesterol yang dimediasi APOE otak dan
metabolisme lipid dan patologi tau dan Aβ yang dimediasi APOE masih harus dilakukan
penelitian in vivo. Demikian juga hubungan fungsional antara APOE isoform dan reseptor
APOE multipel masih perlu dilakukan investigasi lebih mendalam.
81
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
82
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penatalaksanaan Demensia
Kris Pranarka
Pendahuluan
Abad ke 20 ditandai peningkatan populasi lanjut usia yang bermakna, baik di
negara-negara berkembang maupun negara-negara yang sedang berkembang.
Misalnya di Inggris, populasi lanjut usia mencapai hampir 17% dibanding hanya 5%
di akhir abad ke 19.
WHO memprediksikan populasi lanjut usia dari sepuluh negara di Timur Tengah
(Aljazair, Bahrain, Mesir, Irak, Israel, Kuwait, Lebanon, Lybia, Saudi Arabia dan Syria)
akan melampaui 326 juta pada tahun 2050, suatu peningkatan dari 6,2% pada tahun
2005 menjadi 17,1% pada tahun 2050.1
Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, dengan pelayanan
kesehatan yang semakin maju, juga mengalami transisi demografi dari struktur
penduduk muda ke struktur penduduk tua. WHO memprediksi, Indonesia akan beranjak
dari peringkat ke sepuluh pada tahun 1980 menjadi peringkat ke enam pada tahun
2020 (WHO, 1993).
Misbach, dkk. (1996, tidak dipublikasikan) dalam penelitian secara prospektif
dari sejumlah 1.458 kasus di Kabupaten dan Kotamadia Bogor menemukan demensia
sebanyak 0,94%.
Dari 4,2 juta jumlah penduduk di daerah tersebut terdapat 42.000 penderita
demensia. Jika penelitian ini dianggap mewakili gambaran Indonesia secara
keseluruhan, maka dari jumlah penduduk 220 juta saat itu, akan ditemukan sekitar
2,2 juta penduduk yang menderita demensia.2
Demensia adalah suatu sindroma, dimana terjadi gangguan fungsi kognitif
sedemikian sehingga mengganggu kemampuan penderita untuk melanjutkan perannya
di masyarakat (Phillip, PJH. 2011).
Usia lanjut adalah faktor risiko utama terjadinya demensia, dari 5% pada penderita
diatas 60 tahun meningkat menjadi 20% pada mereka diatas usia 80 tahun.
Dari berbagai tipe demensia, demensia tipe Alzheimer mencapai 60% diikuti
demensia vaskular ± 20% dan tipe-tipe campuran serta macam-macam lain sisanya.2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan demensia dimulai dengan asesmen menyeluruh penderita
meliputi anamnesa (allo), pemeriksaan fisik, tes mini mental, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
83
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
84
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Di bawah ini beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menghadapi penderita
dan keluarganya:
85
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Di bawah ini beberapa hal praktis yang dapat dikerjakan bersama-sama keluarga,
pengasuh dan penderita bila status demensianya masih memungkinkan:2
Orientasi
z Pasien diingatkan akan waktu dan tempat.
z Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi.
z Pemberian stimulasi melalui latihan atau permainan, misalnya permainan
monopoli, kartu, scrable, mengisi teka-teki silang.
z Buatlah lingkungan yang familier, aman dan tenang, hindarkan keadaan yang
membingungkan yang menimbulkan stres. Berikan keleluasaan bergerak.
Penatalaksanaan farmakologik
Pada reversible dementia ditujukan untuk pengobatan kausal, misalnya pada
hipotiroid, defisiensi Vit. B12, intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati
metabolik
86
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
87
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
88
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
89
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penutup
Sampai saat ini, penyakit demensia, khususnya tipe demensia yang paling banyak
dijumpai yaitu demensia Alzheimer dikatakan “unpreventable and incurable”.
Penatalaksanaan lebih dititik beratkan pada mengatasi faktor-faktor risiko,
penyakit-penyakit ko-morbid, dan gejala-gejala yang ada serta dukungan pada mereka
yang merumat (care giver).7
Walaupun begitu kemajuan di bidang obat-obatan dan intervensi lainnya mulai
kelihatan manfaatnya dalam menghambat laju perjalanan penyakit dan memperbaiki
keluhan.
90
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Salah satu segi pengobatan yang paling penting adalah deteksi dini, “the sooner
the better”.
Secepatnya keluhan dan penyebabnya dapat diketahui, upaya pengelolaan akan
makin efektif dalam mencegah, atau sedikitnya memperlambat perjalanan penyakit.
Penyakit demensia pada umumnya, atau penyakit Alzheimer pada khususnya
diberi sebutan “A Family System’s Disease” karena keluarga terkena dampak yang
besar sekali, bila ada anggota keluarga yang menderita demensia.
Pada tanggal 22 Juli 2000, telah dideklarasikan Asosiasi Alzheimer Indonesia
(AAzI) sebagai suatu organisasi bio-sosial-medis, yang bertujuan meningkatkan
kepedulian terhadap penderita Alzheimer di Indonesia, beserta keluarganya.
Daftar pustaka
1. Hope, T; Pitt, B.: Management of dementia. Lancet, 345, 1274-1280, 2004.
2. Clark, D.G.; Cummings, J.L.: Diagnosis and management of dementia. Departments
of neurology, psychiatry and bio-behavioral sciences. UCLA, Los Angeles, CA. 2004.
3. Philip, PJH: Ethics of dementia care asia pasific geriatric conference, Cebu-the
Philippines, January, 2011.
4. Mc Cullagh, C.D.; Pass More, A.P.: Risk factors for dementia advances in psychiatric
treatment. Vol. 7 : 24-31, 2001.
5. Czeresna, H., et al: Peran dokter spesialis penyakit dalam untuk deteksi dini, diagnosis
dan penatalaksanaan gangguan kognitif ringan pada usia lanjut. PERGEMI, Konsensus
Nasional, 2006.
6. Kris Pranarka. Deteksi dini dan penatalaksanaan demensia. Simposium AAzI, Wilayah
Jawa Tengah, Semarang 2009.
7. Nasrun, M.W.S.: Diagnosis dan tatalaksana demensia Alzheimer dalam praktik. Temu
Ilmiah Geriatri, Jakarta, 2002.
8. Purba, J.S.: Demensia dan penyakit Alzheimer. Temu Ilmiah Geriatri, Jakarta 2002.
9. Kris Pranarka. Social medical aspects of Alzheimer disease. Temu Ilmiah Nasional
Geriatri, Semarang 2008.
10. Kris Pranarka. Ginkgobiloba as an alternative treatment in Alzheimer’s disease. Temu
Ilmiah Nasional Geriatri, Semarang 2008.
91
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
92
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Asesmen Geriatri
Hadi Martono
Abstract
Geriatric Assessment is a multidiciplinary analyses done by a geriatrist and/or an
interdisciplinary geriatric team to an elderly patient in order to reveal the medical,
fungtional and psycho-social capability so that an overall and continuous management
to the patient can be done.
A geriatric assessment is an important tools for geriatric medicine. It is as important
as an endoscope to a gastro-enterologist or an echo-cardiography to a cardiologist
and considered as a geriatric technology, due to the fact that an elderly patient is
characteristically different to the other patients from the other population. It should
consist of a complete medical examination as well as functional status and
psychosocial examination of the patient. Once the comprehensive geriatric assessment
is done, a problem list consist of the whole aspects of partient problems is established,
the interdisciplinary team is then in action to manage the patient holistically. The
collaboration of the American Association of Internal Medicine and the American
Geriatric Society have also succeeded in providing a short and simple form for doctors
other than internist or geriatrist to assessing the elderly patient.
An interdisciplinary geriatric team is different from other medical multidisciplinary team
either in its component or in the way it works. The component of geriatric team is
usually from that of functionally (i.e that’s are not usually need to be a super-specialistic
but rather a functional member that willing to work closely in day to day cooperation
with other team members). The all team members should not only works together
conceptually, but is also to work together hand by hand to attain the same objective
without being restricted by any discipline bordering.
Key words: Multidisciplinary analyses, comprehensive, interdisciplinary team.
Pendahuluan
Penyakit pada usia lanjut jelas jelas berbeda baik penampilan maupun
perjalanannya dengan penyakit yang terjadi pada golongan populasi lain. Oleh karena
itulah dalam tatalaksana pelayanan geriatri terdapat beberapa prinsip yang sedikit
berbeda dengan apa yang terdapat pada penatalaksanaan pelayanan pada golongan
populasi lain. Salah satu tatalaksana khusus geriatri ini adalah apa yang disebut
sebagai asesmen geriatri.
Apakah asesmen geriatri? Dari batasan umum, asesmen dapat di artikan sebagai:
”konsep tentang pembangunan, penilaian dan pengukuran”. Akan tetapi dalam
93
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pengertian asesmen geriatri, hal ini diartikan sebagai: ”suatu analisis multidimensional
untuk menilai kapabilitas medis, fungsional ataupun psikososial pada seorang penderita
lanjut usia, yang dikerjakan oleh seorang geriatris atau suatu tim interdisipliner geriatrik
untuk dapat diadakan suatu penatalaksanaan yang menyeluruh dan
berkesinambungan” (Mykyta, 1990, Shaw, 1987).
Asesmen geriatri ini begitu penting artinya bagi suatu layanan geriatri, sehingga
oleh seorang ahli kesehatan masyarakat Amerika, Prof. Kane, dianggap setara dengan
suatu endoskop di tangan seorang gastroenterologi atau suatu EKG dan ekokardiograf
di tangan seorang kardiolog. Gallo dkk menganggap asesmen geriatri komprehensif
ini sebagai “teknologi geriatri”.
Jenis-jenis penyakit yang banyak diderita populasi usia lanjut seperti dikatakan
di atas adalah penyakit degeneratif, akan tetapi di Indonesia dimana masih terjadi
transisi epidemiologik, maka penyakit-penyakit infeksi juga masih banyak terdapat.
Penyakit-penyakit yang terbanyak diderita golongan usia lanjut tersebut menurut
penelitian di Semarang, Bandungan dan Jepara adalah:
- Penyakit sendi dan muskulo skeletal (rematisme).
- Penyakit mata (katarak, glaucoma).
94
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
- Penyakit kardiovaskular:
- tekanan darah tinggi/hipertensi.
- Penyakit jantung baik jantung koroner, maupun penyakit jantung paru.
- Stroke/penyakit serebrovaskular.
- Penyakit kencing manis/diabetes melitus.
- Demensia atau pikun.
Status fungsional: sebagai akibat dari proses bio-psiko-sosial tersebut, fungsi
dari seorang lansia juga mengalami gangguan yang dimanifestasikan sebagai status
fungsional yang merupakan hasil interaksi antara abnormalitas fisik, pikis dan sosial.
Pada orang muda, abnormalitas pada masing-masing aspek biasanya tidak terjadi
bersamaan, akan tetapi satu persatu (lihat gambar berikut).
Dari gambar di atas juga terlihat bahwa gangguan fungsional pada lanjut usia
merupakan resultante dari gangguan fisik, psikis dan sosial. Pada usia lanjut status
fungsional ini lebih menggambarkan keadaan “kesehatan” usia lanjut secara
keseluruhan ketimbang hanya sekedar diagnosis 1 atau beberapa penyakitnya.
Dengan mengetahui status fungsional seorang individu lanjut usia dapat ditelusuri
kemungkinan gangguan/penyakit dari ke-3 aspek tersebut.
95
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tim geriatri
Mengingat tugas holistik yang begitu luas dalam suatu pelayanan geriatri, maka
berbeda dengan pelayanan oleh disiplin lain dalam displin geriatri dikenal suatu
pelayanan oleh tim geriatri, yang berbeda dengan berbagai tim lain yang dikenal
dalam dunia medis. Tim ini yang dikenal sebagai tim multidipliner yang bersifat
interdisiplin bekerja bukan saja dengan menyerasikan konsep bersama dalam
pelayanan tetapi juga dalam pelaksanaannya harus berjalan bersama-sama untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam bentuk skematik maka gambaran tim geriatri
dibandingkan dengan tim multi disiplin lain di bidang kedokteran/kesehatan adalah
sebagai berikut:
96
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dari skema terlihat bahwa pada tim I, anggota-anggotanya sangat ketat dalam
menjaga disiplinnya masing-masing (garis tak terputus), sedangkan tujuan di bagi
menjadi tujuan dari masing masing disiplin. Pada tim geriatri masing-masing anggauta
bersifat longgar terhadap disiplinnya masing-masing (garis terputus). Tujuan merupakan
tujuan bersama yang harus dicapai melalui tindakan dan kerja bersama pula.
Tim tersebut yang komponennya terdiri atas semua disiplin yang berkaitan
dengan pelayanan geriatri (tergantung dari tingkat pelayanannya), bekerja dengan
sangat erat menurut alur yang telah dkemukakan di atas. Tim inti terdiri atas dokter
(geriatrist), perawat dan pekerja sosiomedik. Berdasarkan kebutuhan dapat ditambahkan
kemudian berbagai terapis (fisio-, okupasi-, wicara) dokter rehab medik, farmasi, gizi
bahkan keluarga penderita.
97
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Melihat kedua model seperti tersebut di atas, jelaslah mengapa tatacara diagnosis
seperti yang digunakan pada penderita dewasa muda (yang berdasarkan model medik)
tidak dapat diterapkan pada penderita usia lanjut dan harus digunakan tatacara
diagnosis khusus yang disebut sebagai “asesmen geriatri”.
Asesmen geriatri tersebut di atas pada dasarnya bertujuan:
a) Menegakkan:
- Diagnosis kelainan fisik/psikis yang bersifat fisiologik.
- Diagnosis kelainan fisik/psikis yang bersifat patologik.
dan melakukan terapi atas kelainan tersebut.
b) Menegakkan adanya gangguan organ/sistema (impairmen), ketidakmampuan
(disabilitas) dan ketidakmampuan sosial (handikap) untuk dapat dilakukan terapi
dan/atau rehabilitasi.
c) Mengetahui sumber daya sosial ekonomi dan lingkungan yang dapat digunakan
untuk penatalaksanaan penderita tersebut.
Dari hasil asesmen geriatrik tersebut kemudian dapat dibuat suatu “DAFTAR
MASALAH” yang meliputi: penyakit (fisik, sosial-ekonomi, psikis), status fungsional
dan sindroma geriatrik yang terdapat pada penderita. Atas dasar daftar masalah yang
dibuat ini, seorang geriatrist atau tim geriatri kemudian membuat rencana untuk
mengatasi SEMUA masalah yang ada.
Dengan mengetahui tujuan asesmen geriatri tersebut jelaslah bahwa istilah “tim
interdisipliner” yang dimaksud dalam definisi asesmen geriatri tersebut minimal harus
beranggotakan:
O Dokter yang mengetahui berbagai penyakit organ/sistem.
O Tenaga sosio-medik yang meneliti keadaan sosial/lingkungan penderita.
O Tenaga perawat yang mengases dan mengadakan upaya keperawatan pada
penderita.
Tenaga interdisiplin geriatri tersebut dapat diperluas keanggotaannya dengan
berbagai disiplin sesuai dengan tempat kerja dan luas ruang lingkup kerjanya. Di pusat
geriatri di suatu rumah sakit rujukan misalnya, keanggotaan tim geriatri tersebut biasanya
diperluas keanggotaannya dengan tenaga rehabilitasi, psikolog/psikiater, farmasis dan
tenaga lain yang berkaitan dengan penatalaksanaan kesehatan penderita usia lanjut.
Yang terlebih penting lagi adalah tatakerja “interdisipliner”. Gail Hills Maguire et
al (1985), dalam buku Care of the elderly: a health team approach menyatakan sebagai
berikut:
“an interdisciplinary process is in force when the solution of problems or completion
of tasks requires interdependent specialized skills of two or more health professionals
98
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Penutup
Demikianlah telah dijelaskan dan dibahas beberapa hal mengenai asesmen geriatri
dan tim geriatri, yaitu suatu tatalaksana yang khas bagi suatu layanan geriatri. Semoga
bahasan dan penjelasan tersebut dapat membantu upaya kita semua guna
meningkatkan taraf kesehatan lanjut usia di Indonesia.
Daftar kepustakaan
1. Burvill PB; ”Psychiatric assessment of the elderly”in Wearne RW and Prinsley DM(eds)
A manual of geriatric care. Williams and Wilkins Ass. Sidney, 1998:53-65.
2. Coni,N, Davison,W and Weber, S: ”The geriatric department” in Lecture notes in
Geriatric Medicine, 2nd ed, Blackwell Sc. Publ. Oxford, 1980: 60-76.
3. Hadi-Martono: ”Department of geriatric and rehabilitation medicine,a comparative study
from Royal Adelaide Hospital and its possibillities on its application in Indonesia ”Paper
presented at Royal Adelaide Hospital, Australia, 1988.
4. Hadi-Martono: ”Asesmen geriatri” Proceeding Simposium Geriatri dalam rangka
mengantar purna bakti Prof. R. Boedhi-Darmojo, 1994
5. Hadi-Martono: ”Geriatri pencegahan”dalam Simposium awam tentang kesehatan usia
lanjut dalam rangka HUT PMI, Semarang 1994.
6. Hadi-Martono, Boedhi-Darmojo: ”Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut di masyarakat
berbasis rumah sakit” Lokakarya Kesehatan Jiwa, DEPKES R. I, Ciloto, 1993.
7. Hadi-Martono: ”Aspek Fisiologik dan patologik usia lanjut” Lokakarya Geriatri, Bagian/
UPF Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang, 1993.
99
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
8. Ham. RJ and Marcy, ML: ”Evaluation of elderly patients” in Ham, RJ et al(eds) Primary
Care Geriatrics, John Wright PSG Inc. Boston, 1983, 53-72
9. Kane, RL, Ouslander JG and Abrass IT: ”Evaluating the elderly patients” in Essentials
of clinical geriatrics, Mc Graw-Hill Inform Serv. Coy, 1993, 47-80
10. Maguire GH et al: ”The team approach in action” in Macguire GH (eds) Care of the
elderly, a health team approach,Littele Brown and Coy, Boston, 1985
11. Mykyta, L: ”Aged care, South Australian Experience” in Simposium Lansia menjelang
tahun 2000, Jakarta 1992; 1-15
12. Ozanne, E: ”Social assessment of the elderly” in Warne RW and Prinsley DM(eds) A
manual of geriatric care. William and Wilkins and Ass, Sidney 1988: 43-52
13. Shaw MW: ”Assessment” in Shaw MW(ed) The challenge of aging, Churchill-
Livingstone, Melbourne, 1984:76-83.
14. Warne RW: ”Phyasical assessment of the lederly patients”in Warne RW and Prinsley
DM (eds) A manual of geriatric care, William and Wilkins and Ass, Sidney, 1988: 43-52.
100
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel Indeks Katz untuk ketidaktergantungan dalam aktivitas hidup sehari-hari (=AHS)
Indeks ketidaktergantungan dalam aktivitas hidup sehari-hari didasarkan pada evaluasi dari
ketergantungan atau ketidaktergantungan fungsional dari penderita dalam hal mandi, berpakaian, pergi
ke WC, bergerak/ transfer, kontinesia dan makan. Definisi spesifik dari ketergantungan atau
ketidaktergantungan fungsional ditunjukkan di bawah indeks.
A Tak tergantung dalam hal makan, kontinensia, transfer, BAB/BAK, berpakaian dan mandi.
B Tak tergantung dalam semua hal kecuali satu dari fungsi di atas.
C Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi dan satu fungsi tambahan lain.
D Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan.
E Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, BAB/BAK dan satu fungsi
tanbahan.
F Tak tergantung dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, BAB/BAK, transfer dan satu
fungsi tambahan.
G Tak tergantung dalam semua enam fungsi.
Lain-lain: Tergantung pada setidaknya 2 fungsi, tetapi tak terklasifikasi sebagai C, D, E dan F.
Tak tergantung berarti tanpa supervisi, pengarahan atau bantuan aktif personal, kecuali seperti di
jelaskan di bawah. Keadaan ini didasarkan pada status sebenarnya dan bukan atas kemampuan
penderita yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi tersebut, walaupun
mereka tampaknya mampu).
Mandi (bilas, pancuran atau bak rendam): Bergerak/transfer :
Tak tergantung: bantuan hanya diperlukan untuk 1 bag.badan Tak tergantung: naik dan
(mis.bagian punggung atau anggauta badan yang lumpuh turun tempat tidur sendiri dan
Tergantung: perlu bantuan saat mandi pada lebih dari pergi ke/dari kursi sendiri (bisa satu
bagian badan dan untuk keluar atau masuk bak rendam dengan/atau bisa tanpa bantuan
atau sama sekali tidak bisa mandi sendiri samasekali tanpa menggunakan
suport mekanik)
Tergantung: dibantu saat
Naik/turun TT atau kursi. Tak
Pernah bisa bergerak sendiri
Berpakaian Kontinensia:
Tak tergantung : bisa mengambil pakaian dari almari dan Tak tergantung: bisa mengontrol
gantungan, dapat memakai pakaian dalam dan luar. Dapat BAB/BAK sepenuhnya.
memasang sabuk. Memakai sepatu tak termasuk. Tergantung: inkontinensia
101
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
102
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
C. Suharti
Pendahuluan
Demam pada penderita dengan neutropenia merupakan komplikasi yang sering
terjadi akibat kemoterapi kanker. Angka kejadian demam neutropenia bervariasi
tergantung rejimen kemoterapi, populasi penderita, maupun jenis kanker. Angka
kejadian demam neutropenia pada tumor solid atau limfoma sekitar 10-50%, sedangkan
pada penderita dengan keganasan hematologi lebih dari 80%.1 Hampir separuh dari
penderita demam neutropenia mempunyai infeksi, baik yang terdokumentasi maupun
yang tidak terdokumentasi. Angka kematian bagi penderita kritis dilaporkan sebesar
10-20%, dengan angka kematian untuk penderita yang mengalami bakteremia kuman
gram-negatif sebesar 40%. Data ini menunjukkan betapa pentingnya penatalaksanaan
demam neutropenia secara cepat dan efektif, agar dapat dicapai hasil yang optimal
bagi penderita dalam hal ketahanan maupun kualitas hidup.2 Hal penting lain bahwa,
kejadian neutropenia bisa berakibat pengurangan dosis maupun penundaan terapi,
yang akhirnya mempengaruhi hasil terapi.
103
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Berdasarkan review literatur secara sistematik, usia lanjut (>70 tahun) terbukti
sebagai satu-satunya prediktor demam neutropenia yang paling konsisten, dengan angka
kejadian demam neutropenia 24% vs 7% bagi penderita yang lebih muda.5 Selain itu,
dari beberapa studi menunjukkan bahwa status performens yang buruk dan keterlibatan
sumsum tulang merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik.5
Hasil analisis dari 4.522 penderita limfoma non Hodgkin agresif yang mendapat
terapi dengan rejimen CHOP (cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine dan
prednisone), atau R-CHOP (rituximab-CHOP) atau CNOP (cyclophosphamide,
mitoxantrone, vincristine dan prednisone) menunjukkan bahwa usia lanjut, jenis kelamin
wanita, stadium penyakit lanjut, status performens buruk dan hitung neutrofil absolut
rendah sebelum terapi, merupakan prediktor independen yang signifikan.6
104
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 2. Exclusion criteria for ambulatory care of patient with neutropenic fever at “low risk” of
complications
Exclusion criteria:
· Confirmed focus of infection (skin, soft tissue, UTI, pneumonia, CVC-related infection, bacteremia
· Indwelling catheters with the exception of implantable devices, such as infusaports
· High-risk chemotherapy regimens
· Chemotherapy-refractory disease
· Multi-resistent organism colonization (MRSA,VRE)
UTI, urinary tract infection; CVC, central venous catheter; MRSA, methicillin-resistent Staphylococcus
aureus; VRE, Vancomycin-resistant enterococcus.
Worth LJ, et al. Internal Medicine Journal 2011; 41 (Suppl 1): 82-89.
105
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
terhadap obat ini); atau clindamycin plus ciprofloxacin (bagi penderita yang alergi
terhadap penicillin); dan monoterapi dengan amoxicillin-clavulanate bagi penderita yang
alergi terhadap fluoroquinolone.
106
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pemeriksaan lain
Selain kultur darah perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap (FBC, full blood
count) serta hitung jenis leukosit, elektrolit, ureum, kreatinin dan fungsi liver. Kultur
dari tempat lain perlu dilakukan sesuai indikasi klinik. X-foto torak perlu dilakukan
bagi penderita dengan keluhan atau tanda yang berhubungan dengan respirasi.
107
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
108
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
109
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
110
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ringkasan
1. Demam neutropenia adalah demam dengan suhu minimal 38.30 C (atau minimal
38.00C dalam dua waktu), dengan hitung neutrofil absolut < 0.5x109 sel/L atau
<1.0x109 sel/L dan diprediksi akan turun <0.5x109 sel/L.
2. Usia lanjut >70 tahun terbukti sebagai satu prediktor demam neutropenia yang
paling konsisten.
3. Stratifikasi penderita demam neutropenia dengan menggunakan cara yang
tervalidasi seperti indeks risiko MASCC menjadi kelompok risiko rendah atau
risiko tinggi dapat membantu kearah pendekatan selanjutnya.
4. Terapi tunggal dengan antibiotik golongan beta-lactam, merupakan terapi empirik
pilihan bagi penderita demam neutropeni dengan kondisi klinik yang stabil;
antibiotik antipseudomonal beta-lactam plus gentamicin direkomendasikan bagi
penderita gangguan sistemik.
5. Terapi empirik dengan obat anti jamur diberikan atas dasar faktor risiko dan
ditemukan tanda infeksi, namun etiologi tidak jelas. Preparat bisa berupa LFAmB,
caspofungin, voriconazole, dan fluconazole.
Daftar pustaka
1. Klastersky J. Management of fever in neutropenic patients with different risks of
complications. Clin Infect Dis 2004;39 (suppl 1):S32-7.
2. Klastersky J, Ameye L, Maertens J, Georgala A, Muanza F, Anoun M et al. Bactaeremia
in febrile neutropenic cancer patients. Int J Antimicrob Agents 2007;30 (Suppl I): S51-
9.
3. Lingaratnam S, Slavin MA, Koczwara B, Seymour JF, Szer J, Underhill C, et al.
introduction to the Australian consensus guidelines for the management of neutropenic
fever in adult cancer patients, 2010/2011. Internal Medicine Journal
2011;41(suppl.1):75-81.
4. Kruger A. The limits of normality in elderlypatients. Bailliere’s clinical hematology
1987;1:271-89.
5. Dubois RW, et al. Proc AmSoc Clin Oncol 2004; 22:554. Abstract 6154.
6. Lyman GH et al. J Clin Oncol 2004;22:4302-4311.
7. Worth LJ, Lingaratnam S, Taylor K, Hayward AM, Morrissey S, Cooney J, et al. Use of
risk stratification to guide ambulatory management of neutropenic patients. Internal
Medicine Journal 2011;41 (Suppl 1):82-89.
8. Worth LJ, Lingaratnam S, Taylor K, Hayward AM, Morrissey S, Cooney J, et al. Use of
risk stratification to guide ambulatory management of neutropenic patients. Internal
Medicine Journal 2011;41 (Suppl 1):82-89.
111
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
9. Tam CS, Reilly MO, AndresenD, Lingaratnam S, Kelly A, Burbury K, et al. Use of
empiric antimicrobial therapy in neutropenic fever. Internal Medicine journal 2011; 41
(Suppl.1): 90-101.
10. Pappas PG, Kauffman CA, Andos D, Benjamin DK, Calandra TF, Edwards JE, et al.
Clinical practice guidelines for the management of candidiasis: 2009 update by the
Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases 2009;48:000-000.
112
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Siti Setiati
Pendahuluan
Manusia hidup selalu berhadapan langsung dengan dunia sekitar. Mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, merupakan suatu kemampuan yang
penting untuk tetap bertahan hidup. Salah satunya ialah dengan menyesuaikan diri
dengan suhu sekitar. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap suhu sekitar
memberikan kestabilan suhu tubuh yang erat kaitannya dengan kemampuan
menjalankan fungsi tubuh.
Disregulasi suhu pada orang usia lanjut merupakan salah satu gangguan
mekanisme homeostasis yang dapat terjadi seiring proses menua. Orang usia lanjut
seringkali memiliki masalah dalam menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan yang
ekstrim karena penurunan irama sirkadian suhu tubuh. Berikut ini akan dibahas
gangguan termoregulasi pada orang berusia lanjut.
Termoregulasi
Termoregulasi adalah proses terkontrol untuk mempertahankan suhu inti tubuh,
di mana proses-proses biokimia bekerja paling baik pada rentang suhu 37,2-37,5°C.1
Pusat termoregulasi berada di susunan saraf pusat, yakni di daerah spesifik IL-1
preoptik dan hipotalamus anterior. Bagian tersebut mengandung sekelompok saraf
termosensitif yang berlokasi di dinding rostral ventrikel II, I disebut juga sebagai korpus
kalosum lamina terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf
termosensitif ini dipengaruhi oleh daerah yang dialiri darah dan input yang berasal
dari reseptor kulit dan otot.2
113
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
114
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hasil akhir proses ini adalah meningkatkan set point termostat yang akan memberi
isyarat serabut saraf aferen, terutama serabut simpatis untuk memulai menahan panas
(vasokonstriksi) dan memproduksi panas (menggigil). Keadaan ini dibantu dengan
tingkah laku manusia yang bertujuan menaikkan suhu tubuh.2
Hasil peningkatan suhu ini terus berlanjut sampai suhu tubuh mencapai
peningkatan set point. Kation Na+, Ca2+, dan cAMP berperan dalam mengatur suhu
tubuh, meski mekanisme pastinya belum begitu jelas. Suhu tubuh akan menjadi
normal kembali apabila terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau pemberian antipiretik
yang menghambat sintesis prostaglandin. Sebagai tambahan, vasopresin beraksi dalam
susunan saraf pusat untuk mengurangi demam-picu-pirogen. Kembalinya suhu menjadi
normal diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit
yang dikendalikan serabut simpatis.2
Termoregulasi dipengaruhi oleh 2 proses, yaitu: proses endogen melalui sistem
kardiovaskular, pernapasan, neuroendokrin, neuromuskular dan gastrointestinal,
sedangkan proses eksogen melalui obat-obatan dan gizi.
115
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dengan mengetahui hal tersebut klinisi sebaiknya lebih berhati hati dalam
menganalisis hasil pemeriksaan fisik pada usia lanjut. Dokter yang menemukan suhu
normal pada pasien usia lanjut harus berhati-hati karena demam tidak selalu muncul
pada usia lanjut dengan infeksi.4
Perubahan suhu sebesar 1,30C dengan hasil pemeriksaan suhu dalam batas
normal (< 36,40C), ditemukan pada beberapa orang di panti wreda dengan infeksi.6
Pada orang usia lanjut dengan sepsis, semakin tua umur pasien semakin mudah
mengalami hipotermia. Keadaan ini bisa tidak disadari jika termometer tidak mampu
mendeteksi suhu yang rendah atau dokter yang tidak peduli terhadap temuan tersebut.4
116
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
117
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Suhu tubuh, zat kimia tubuh dan sensitivitas reseptor tubuh menurun seiring
perubahan usia. Oleh karena itu orang tua mempunyai persepsi yang lambat pada
perubahan suhu dingin atau panas, hal ini dikarenakan mereka kehilangan reseptor
kulit atau terjadi penurunan sensitivitas, pusat-pusat kontrol suhu tubuh (hipotalamus
dan batang otak) yang lambat atau tidak efektif dalam merespon perubahan suhu.8
Selain itu, kulit menjadi lebih tipis dan lemak subkutan berkurang, sehingga tubuh
tidak dapat mengkompensasi dingin.
Hipotermia
Hipotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan suhu inti
(suhu organ dalam), yakni kurang dari 350C. Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya
pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya refleks tubuh
(areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata; disebut hipotermia berat
bila suhu tubuh <320C.
118
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko hipotermia pada usia lanjut adalah
gangguan termoregulasi yakni kondisi yang menurunkan produksi panas (seperti pada
keadaan hipotiroidisme, hipoglikemia, anemia, KAD), kondisi yang meningkatkan
kehilangan panas (misalnya luka terbuka, inflamasi umum, luka bakar), kondisi yang
menganggu kontrol termoregulasi sentral (misalnya stroke, tumor otak, enselopati
wernicke, uremia) dan obat yang menganggu termoregulasi (obat penenang, hipnotik
sedatif, antidepresan dan alkohol).
Sesungguhnya tidak ada suhu tubuh yang ideal bagi orang usia lanjut untuk
mengkompensasi atau mencegah kejadian hipotermia, hal ini tergantung pada
kemampuan individu tersebut. Bahkan di musim panas pun kita harus membantu
orang tua dalam menjaga tubuhnya agar tetap hangat. Ketika memeriksa pasien,
yang harus diperhatikan adalah membuka hanya daerah yang akan diperiksa saja
dan sesegera mungkin untuk menutup kembali dengan baju/selimut sementara
memeriksa bagian yang lain.1
Tanda-tanda dingin sebagai kompensasi tubuh harus diperhatikan agar dapat
menjaga suhu tetap hangat.1 Ketika pasien duduk dalam posisi meringkuk karena
menggigil, mereka sedang mencoba untuk menghangatkan dan menggunakan energi
otot untuk menghasilkan panas.
Hipertermia
Hipertermia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan suhu tubuh di atas titik
pengaturan hipotalamus, dan kondisi ini terjadi bila mekanisme pengeluaran panas
terganggu (oleh obat atau penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan)
atau internal (metabolik).
Secara klinis, hipertermia dapat terjadi bila suhu tubuh inti >40,6°C disertai
disfungsi sistem saraf pusat yang berat (psikosis, delirium, koma) dan anhidrosis.
Manifestasi dini pada hipertermia yakni terjadinya heat exhaustion, disertai rasa pusing,
kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala dan sesak napas.
Selain itu dapat juga terjadi komplikasi serangan panas mencakup gagal jantung,
aritmia, edema serebral dan kejang serta defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis
hepatoseluler dan syok.
Sebagai contoh, bila suhu di luar lebih dari 32°C dengan kelembaban yang tinggi,
ruangan dalam gedung dapat mencapai suhu lebih dari 41,6°C. Seperti yang terjadi
di Chicago pada tahun 1995 di mana 733 orang meninggal, sebagian besar dikarenakan
heat stroke. 6 Mereka sebaiknya bekerja di dalam ruangan yang masih bisa
mendapatkan udara melalui kipas angin atau pendingin ruangan. Mereka juga
sebaiknya dianjurkan minum banyak untuk menambah jumlah air dalam tubuh.
Upaya menjaga kestabilan suhu tubuh, dapat dilakukan melalui dua cara, cara
pertama dengan memertahankan agar tubuh tetap hangat dengan cara peningkatan
insulasi, penurunan keringat-evaporasi dan menggigil. Cara kedua dengan
119
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
mempertahankan agar tubuh tetap sejuk dengan cara meningkatkan aliran darah ke
kulit, peningkatan sekresi keringat dan penurunan aktivitas tubuh.6
Nutrisi adalah kebutuhan penting untuk membantu pengaturan suhu tubuh pada
setiap orang, terutama pada orang usia lanjut. Banyak orang beranggapan bahwa
mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak dapat memberikan panas dengan
cepat, tetapi ternyata upaya ini hanya akan meningkatkan 4% laju metabolisme.
Sedangkan makan protein dalam jumlah banyak dapat meningkatkan tingkat
metabolisme 30% dan dapat berlangsung selama berjam-jam.5
Penatalaksanaan
Tatalaksana Hipotermia
Penatalaksanaan keadaan seperti ini tergantung pada kondisi pasien tersebut,
jika dalam keadaan Gawat Darurat, maka hal-hal di bawah ini dapat kita lakukan:
- Pindahkan dari lingkungan dingin, kontak dengan obyek dingin.
- Singkirkan pakaian basah, berikan beberapa lapis selimut.
- Monitor jantung: bradikardia atau fibrilasi ventrikel atau asistol.
- Cairan intravena: dekstrose 5%, NaCl tanpa kalium (hangatkan sebelum diberikan).
Jika dalam keadaan tenang, maka perawatan yang dapat dilakukan adalah:
- Evaluasi dan atasi penyebab.
- Ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada.
- Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat.
- Hipotermia kronik (>12 jam): perlu penggantian cairan.
- Observasi gas darah.
Tatalaksana hipertermia
Penatalaksanaan utama pada kondisi seperti ini adalah PENDINGINAN. Setelah
itu suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39OC dalam jam pertama. Lamanya
hipertermia adalah yang paling menentukan hasil akhir. Berendam dalam es lebih
baik dari pada menggunakan alkohol maupun kipas angin.
Metode pendinginan meliputi dua cara, yakni :
- Konduksi: dengan cara eksternal; berendam dalam air dingin, kompes es, selimut
pendingin dan cara internal; lavase lambung dan peritoneal dengan es.
- Evaporasi: Berikan kipas angin pada pasien yang sudah dibuka bajunya, basahi
permukaan tubuh dengan kasa halus dan gunakan unit pendinginan tubuh (tempat
tidur khusus).
120
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Komplikasi
Tatalaksana bila terjadi komplikasi dengan keadaan sebagai berikut:
- Kejang dapat diberikan benzodiazepin.
- Gagal nafas dapat dilakukan intubasi elektif.
- Hipotensi dapat diberika cairan untuk ekspansi volum, vasopresor, monitor tekanan
vena sentral.
- Rhabdomiolisis lakukan monitoring kalium dan kalsium serum, atasi hiperkalemia.
Kesimpulan
Gangguan termoregulasi pada orang usia lanjut menunjukkan penurunan
mekanisme homeostasis yang terjadi seiring dengan proses menua. Individu berusia
lanjut menjadi rentan terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Hipotermia dan
hipertermia merupakan keadaan yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal sehingga
tatalaksana yang cepat dan tepat merupakan kunci penting untuk menurunkan
mortalitas.
Pendidikan dan penyuluhan pada orang berusia lanjut tentang kerentanan terhadap
suhu/termoregulasi merupakan hal yang sangat penting. Serta jangan lupa untuk
melakukan pengawasan ketat terhadap pasien yang rentan oleh dokter dan pelaku
rawat.
Daftar pustaka
Robert K, Trimble T. Research Applied to Clinical Practice: Geriatric Thermoregulation.
1996.
Sumarmo S Poorwo Soedarmo, Garna H, Hadinegoro Sri Rezeki S, Satari H I.
Demam:Petogenesis dan Pengobatan. Dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis.
Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI, Jakarta, 2010. 27-29.
Schifano P, Cappai G, Sario MD, Michelozzi P, Marino C, Bargagli AM, Perucci CA.
Susceptibility to heat wave-related mortality: a follow-up study of a cohort of elderly in
Rome. Environmental Health 8:50, 2009
Vogelaere P, Pereira C. Thermoregulation and aging. Rev Port Cardiol 24(5):747-61, 2005.
Kenney WL, Munce TA. Invited review: Aging and human termperature regulation. J Appl
Physiol 95:2598-603, 2003.
Sharma Keerti. Atypical presentation of disease in the older adult. Dalam Case-Based
Geriatrics A Global Approach. Edisi ke-1. McGraw Hill, San Francisco, 2011:115.
Guyton, AC. Textbook of Medical Physiology 8th ed. Philadelphia: Saunders. 1998.
Sanders AB. Emergency Care of The Elder Persons, Saunders ed. St Louis: Beverly Publikasi
Cracom. 1996.
121
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
122
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Suyanto Hadi
Pendahuluan
Osteoporosis merupakan kelainan sistemik yang ditandai dengan massa tulang
yang rendah, berkurangnya mikroarsitektur jaringan tulang sehingga menaikkan risiko
fragilitas dan fraktur tulang.1,2,3,4 Kelainan ini sering dijumpai pada penderita usia lanjut,
sehingga menyebabkan masalah medis dan sosial di negara maju. Pada populasi
usia lanjut dilaporkan kejadian osteoporosis dan komplikasi fraktur tulang akan
meningkat.5 Bila mengacu pada kriteria osteoporosis WHO, maka pada wanita dewasa
muda kulit putih Hispanik Amerika akan menderita osteopenia 15%, sedangkan 0,6%
diantaranya akan menderita osteoporosis. Pada peningkatan usia yaitu usia 60-70
osteoporosis akan terjadi pada 1 diantara 3 wanita kulit putih. Wanita lebih banyak
menderita osteoporosis dibandingkan pria (3:1), sepertiga wanita usia lebih dari 65
tahun akan mendapat fraktur vertebra dan risiko fraktura panggul.6 Fraktur akibat
osteoporosis seringkali disebabkan oleh trauma yang relatif ringan (fraktur patologis)
contohnya jatuh akibat terpeleset yang ringan, dimana bila keadaan jatuh tersebut
terjadi pada usia muda tidak akan menyebabkan fraktur.5,6
Meskipun osteoporosis merupakan penyakit dengan perjalanan klinik yang
progresif, tetapi kelainan ini sering tidak menimbulkan gejala klinik yang nyata (silent
diseases), artinya penderita sering tidak merasakan gejala klinik (nyeri) sampai terjadi
fraktur tulang.
Fraktur vertebra
Meskipun fraktura tulang vertebra paling sering dijumpai pada penderita
osteoporosis usia lanjut, tetapi angka kejadian fraktur vertebra pada usia lanjut yang
dilaporkan lebih rendah dibandingkan fraktur panggul. Angka kejadian fraktur vertebra
yang rendah ini disebabkan tidak menyebabkan gejala klinik yang nyata (silent)
dibandingkan fraktur panggul. Laporan dari Eropa menunjukkan kejadian fraktur vertebra
123
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pada pria usia 50 tahun lebih sekitar 10%, dan akan bertambah menjadi 18% pada
populasi usia 75 tahun. Pada wanita usia 50 tahun lebih dilaporkan sebesar 5%,
akan bertambah menjadi 24% pada populasi 74 tahun atau lebih.5
Etiologik/patogenesis
Tulang diproduksi oleh suatu sel yang dinamakan osteoblast, sebaliknya akan
dihancurkan atau degradasi oleh osteoklast. Pembentukan tulang oleh osteoblast
berlangsung lebih tinggi dibandingkan penghancurannya, sehingga tercapai
pembentukan puncak massa tulang tulang maksimal pada usia 20-30 tahun.6,8
Periode sesudah 30 tahun proses pembentukan dan penghancuran tulang berjalan
seimbang, sampai akhirnya pada usia 50 tahun (dekade ke-5) atau lebih proses
penghancuran akan lebih besar dibandingkan pembentukannya. Pada usia 80 tahun
atau lebih akan kehilangan massa tulang pada wanita sebesar 40%, dan pria 25%.6
Pada wanita menopause penghancuran massa tulang bertambah tergantung dari
tingkat defisiensi estrogen (fungsi ovarium) yang terjadi. Defisiensi estrogen akan
mentriger pembentukan sitokin lokal yang kemudian akan menyebabkan fungsi
osteoklast untuk meresobsi tulang bertambah. Terjadi bone turnover yang bertambah
dan keseimbangan remodeling tulang terganggu. Faktor lokal yang dapat
mempengaruhi pembentukan metabolisme tulang belum diketahui, saat ini telah
dapat diisolasi protein dari tulang yang dapat menstimulasi pre osteoblast menjadi
osteoblast mature. Protein ini di-release saat terjadi resorpsi tulang oleh
osteoklast.9,10
124
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
125
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
vertebra menjadi lurus dan skoliosis. Bila jumlah vertebra yang mengalami fraktur
bertambah maka kiposis dan berkurangnya lordosis akan bertambah pula. Kurangnya
tinggi badan akan menyebabkan pemendekan otot para vertebra. Pemendekan otot
ini akan menyebabkan fase kontraksi otot menjadi makin panjang sehingga penderita
akan mengeluh nyeri pinggang akibat spasme otot. Nyeri otot para vertebra akan
bertambah bila penderita banyak melakukan aktivitas berdiri dan berkurang bila berjalan.
Seringkali emosi penderita bertambah karena bentuk kosmetika yang jelek akibat
pemendekan tubuh tersebut. Bila deformitas bertambah penderita mengeluh nyeri
abdominal sesudah makan, nyeri ini dapat dikurangi bila porsi konsumsi makan
dikurangi.1,3
Pemeriksaan BMD
Osteoporosis saat ini dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan non in vasif yaitu
bone densitometri (BMD). Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO)
membuat kriteria untuk massa tulang normal, massa tulang rendah atau osteopenia
dan osteoporosis. Diagnosis osteoporosis berbasis pada perbandingan puncak massa
tulang penderita dewasa (peak adult bone mass/PABM) dari populasi wanita Caucasian
pasca menopause menggunakan ukuran 2,5 SD standard deviasi (SD) PABM. Terdapat
30% prevalensi osteoporosis pada wanita Caucasian pasca menopause. Kriteria WHO
Osteopenia adalah ukuran +1 sampai -2,5 PABM. Meskipun risiko fraktur patologis
penderita osteopenia lebih rendah dibandingkan osteoporosis, penderita dengan
osteopenia tetap memerlukan evaluasi dan pengobatan. Penderita osteopenia yang
mendapat pengobatan osteoporosis memerlukan terapi untuk mencegah fraktur tulang.
BMD menggambarkan kekerasan tulang, tetapi tidak menggambarkan mikroarsitektur
tulang secara keseluruhan yang ikut mempengaruhi kekuatan tulang (bone strength),
dan risiko terjadinya fraktur. Pemeriksaan BMD standard mempergunakan dual-energy
x-ray absorbtiometer (DEXA). Apabila pemeriksaan BMD untuk menetapkan
osteoporosis mempergunakan sistem skor dengan usia yang sama (Z score), maka
osteoporosis tidak akan lebih tinggi dibandingkan usia yang sama dan kejadian
osteoporosis yang sebenarnya akan di bawah estimasi.1,3
Indikasi pemeriksaan BMD adalah; 1) wanita dengan defisiensi estrogen, 2)
diagnosis osteoporosis pada penderita dengan vertebra abnormal atau radiologik
osteopenia untuk menentukan diagnosis dan evaluasi lebih lanjut 3) penderita pengguna
steroid jangka panjang 4) penderita hiperparatiroid untuk mendeteksi massa tulang
yang rendah.9,10
Pemeriksaan laboratorik
Sampai saat ini belum ada guideline definitif tentang marker biokimiawi untuk
mendiagnosis penderita osteoporosis. Meskipun demikian telah diketahui marker
yang menggambarkan aktivitas pembentukan atau resorpsi tulang. Aktivitas
pembentukan tulang (bone formation) diwakili marker biokimiawi alkali fosfatase tulang
126
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Manajemen farmakologik
Tujuan utama manajemen farmakologik pada penderita osteoporosis adalah untuk
mengurangi risiko fraktur tulang. Beberapa obat yang dipergunakan adalah derivat
bifosfonat yaitu alendronat dan risedronat. Obat yang lain adalah raloxifen dan kalsitonin.
Bifosfonat dapat mengikat hidrotoksiapatit pada permukaan tulang sehingga dapat
menghambat resorpsi tulang.5 Alendronat merupakan bifosfonat pertama yang disetujui
FDA tahun 1995. Dibandingkan plasebo maka pemberian alendronat selama 3 tahun
dapat menaikkan BMD sebesar 5,9% pada kolum femoris. Risiko fraktura vertebra
dapat diturunan srebesar 47%.5 Pemberian risedronat 5 mg/hari selama 24 bulan
dapat menaikan BMD vertebra lumbal sebesar 4% dibandingkan pemberian plasebo.
Pemberian risedronat juga dapat menurunkan fraktur vertebra dan non vertebra sebesar
41% dan 39%. Efek samping preparat bifosfonat minimal, efek samping tersebut berupa
esofagitis. Anjuran obat diminum saat perut kosong ditambah segelas air untuk
menambah absorbsi obat dan mengurangi komplikasi esofagitis. Berapa lama preparat
bifosfonat diberikan masih kontroversial. Pemberian preparat bifosfonat selama lima
tahun dan dihentikan 2 tahun, nilai BMD ternyata dilaporkan tidak mengalami
perubahan.5
127
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hormon estrogen efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada wanita
menopause awal. Estrogen konyugasi oral dapat mencegah osteoporosis bila diberikan
saat menopause. Estrogen dapat menaikan sensitivitas sel C tiroid untuk
memproduksi kalsitonin. Kalsitonin dapat menghambat pembentukan dan fungsi
osteoklast (lewat reseptor spesifik osteoklast). Estrogen juga menstimulasi absorbsi
kalsium di intestinal secara langsung atau tidak langsung dengan membentuk vitamin
D.10 Studi randomized controlled trial pada wanita osteoporosis usia sebelum 60 tahun
menunjukkan pemberian estrogen dapat menurunkan risiko fraktur vertebra. Efek
samping pemberian HRD adalah perdarahan uterus, perdarahan tersebut rendah pada
dosis pemberian estrogen rendah. Secara teoritis efek samping yang ditakutkan terjadi
selain perdarahan pada pemberian terapi estrogen adalah keganasan payudara dan
endometrium.5
Ringkasan
Osteoporosis pada usia lanjut mempunyai angka kejadian tinggi, di samping
mempunyai risiko fraktur baik pada panggul, vertebra dijumpai hampir pada sepertiga
penderita osteoporosis. Life style merokok, kurang olah raga, konsumsi kalsium dan
vitamin D kurang sangat mempengaruhi kejadian osteoporosis. Terapi bifosfonat pada
penderita osteoporosis usia lanjut dapat menaikan BMD dan menurunkan risiko
fraktura. Demikian pula pemberian estrogen pada penderita osteoporosis menopause
dengan usia kurang dari usia 60 tahun bermanfaat menurunkan risiko fraktur vertebra.
Daftar pustaka
1. Raspr HH, Sambrook P and Dequeker J. Osteoporosis. In: Dieppe PA, and Klippel JH.
Rheumatology. Bristol; Mosby Year Book, 1994: 732.1-9.
2. Ashok K. Bhalla. Osteoporosis and Osteomalacia. In: Maddison FJ, Isenberg DA, Woo
PA, and Glass DN. Oxford Text Book of Rheumatology. Oxford: Oxford Medical Press,
2003: 1005-30.
3. Miller P and Lane NE. Osteoporosis. Clinical and Laboratory Feature. In: Klipel JH.
Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001:5; 18-22.
4. Morgan SL. Saag KG, Julian BA, and Blair H. Osteopenic Bone Diseases. In: Koopman
WJ. Arthritis and Allied Conditions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:
2449-95.
5. Srivasta M, and Deal C. Osteoporosis in elderly; prevention and treatment. Clin Geriatri
Med 18, 2002: 529-55
6. Nevitt MC. Osteoporosis. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH.
Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 511-7.
7. Nelson B and Watts. Osteoporosis Treatment. In: Klippel JH. Primer on The Rheumatic
Diseases.Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 523-6.
128
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
8. Witham B and Davidson J. The Osteoporosis Hand Book. Victoria: Arthritis Foundation,
1994: 3-9.
9. Poole K.F.S. Compston J. Osteoporosis and Its Management. BMJ, 2006: 333: 1251-
9.
10. Remagen W. Osteoporosis.Switzerland: Sandoz Ltd, 1989: 3-11.
11. Kirwan JR. Systemic Corticosteroid in Rheumatology. In: Klippel JH. And Dieppe P.
Rheumatology. St Louis: Mosby-Year Book Europe, 1994: 8.11. 1-6.
129
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
130
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pendahuluan
Jatuh pada usia lanjut merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang
masih sering tidak terperhatikan. Jatuh dan komplikasinya merupakan penyebab
kematian kelima di negara maju, dan lebih dari 30% mereka yang berusia 65 tahun
ke atas akan jatuh minimalnya satu kali setahun. Jatuh juga merupakan alasan utama
perawatan pada 85% cedera. Biaya perawatan terkait jatuh dan komplikasinya
diperkirakan jutaan dolar di seluruh dunia. Karena itu faktor-faktor risiko jatuh pada
usia lanjut perlu mendapat perhatian serius.
131
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
132
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
133
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 5. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di perawatan akut rumah sakit
Instrumen Penulis Waktu yang Jumlah Usia Sensi- Spesi- IRR
dibutuhkan sample rata- tivitas fisitas
(orang) rata
(tahun)
Berg balance Wood-Dauphine 10-15 mnt 60 71 NS NS 0,98
Conley scale Conley 1-2 mnt 1168 74 71 59 0,80
Downtown index Nyberg NS 135 NS 91 27 NS
Elderly mobility scale Prosser NS 66 82 NS NS 0,88
Fall-risk assessment Schmid NS 334 60-69 93 78 0,88
Functional reach Eagle NS 98 69 76 34 NS
Morse fall scale Morse 1-3 mnt 1939 NS NS NS 0,96
Stratify Oliver 1 mnt 217,331 80,83 93,92 88,68 NS
134
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Studi lain yang dilakukan kemudian menggunakan instrumen Falls Risk for Older
People in the Community (FROP-Com) untuk mengidentifikasi risiko jatuh bagi usia
lanjut yang dibawa ke unit gawat darurat. Komponen-komponen yang berkaitan prediksi
jatuh adalah jumlah jatuh dalam 12 bulan terakhir, observasi keseimbangan, serta
apakah membutuhkan bantuan untuk melakukan ADL domestik. Untuk ketiga item
tersebut, area under the curve (AUC) untuk receiving operating curve (ROC) dari
Skrining FROP-Com ini adalah 0,73 (95% CI 0,67-0,79) dengan sensitivitas 67% (95%
CI 59,9-74,3) dan spesifisitas 67% (95% CI 59,8-73,6).
Berikut ini diperlihatkan instrumen penilaian risiko jatuh bagi usia lanjut di ruang
rawat akut rumah sakit yaitu The Fall Risk Assessment. (tabel 6).
Tabel 6. The Fall-Risk Assessment/ Penilaian Risiko Jatuh Pasien Geriatri
No Tingkat Risiko Skor Nilai Skor
1 Gangguan gaya berjala (diseret, menghentak, berayun) 4
2 Pusing/ pingsan pada posisi tegak 3
3 Kebingungan setiap saat 3
4 Nokturia/ inkontinen 3
5 Kebingungan intermiten 2
6 Kelemahan umum 2
7 Obat-obat berisiko tinggi (diuretik, narkotik, sedatif,
anti psikotik, laksatif, vasodilator, antiaritmia, antihipertensi,
obat hipoglikemik, antidepresan, neuroleptik, NSAID) 2
8 Riwayat jatuh dalam waktu 12 bulan sebelumnya 2
9 Osteoporosis 1
10 Gangguan pendengaran atau penglihatan 1
11 Usia 70 tahun ke atas 1
Jumlah
Cara melakukan skoring: jumlahkan semua angka di belakang faktor risiko yang
ada pada pasien. Tingkat risiko dan tindakan yang disarankan ditentukan sebagai
berikut:
Tingkat risiko rendah: skor 1-3. Nilai kembali risiko jatuh tiap 12 jam. Berikan
edukasi. Tingkat risiko tinggi: >4. Pakaikan gelang risiko jatuh. Komunikasikan risiko
jatuh pada tim interdisiplin, pada pasien dan keluarga. Usahakan ada penunggu pasien.
Tempatkan pasien dekat nurse station. Monitor kebutuhan pasien secara berkala
(minimal tiap 2 jam). Pegangan tangan mudah dijangkau. Gunakan alas kaki yang
tidak licin. Gunakan walker untuk bantuan berjalan. Konsul ke farmasi untuk melihat
kemungkinan interaksi obat serta ke rehabilitasi medik untuk aktivitas harian.
Tatalaksana jatuh
Prinsip dasar tatalaksana jatuh pada usia lanjut adalah mengkaji dan mengobati
trauma fisik akibat jatuh, mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan
jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan
otot, alat bantu, pemilihan sepatu atau sandal yang sesuai, memodifikasi lingkungan
agar lebih aman dan sebagainya.
135
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 8. Penilaian Klinis dan Tatalaksana bagi Usia Lanjut yang Berisiko Jatuh
Penilaian dan Faktor Risiko Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi
kemungkinan jatuh berulang
Konsumsi obat-obatan: Review dan kurangi konsumsi obat-obatan
- Obat-obat berisiko tinggi:
benzodiazepin, neuroleptik, antidepresi,
antikonvulsi, atau antiaritmia kelas IA.
- Konsumsi 4 macam obat atau lebih.
Penglihatan Penerangan yang tidak menyilaukan, hindari pemakaian
- Visus <20/60 kacamata multifokal saat berjalan, rujuk ke dokter
- Penurunan persepsi kedalaman spesialis mata.
(depth perception)
- Penurunan sensitivitas terhadap kontras
- Katarak
Tekanan darah postural (setelah >5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi berbaring, segera setelah berdiri, memungkinkan, review dan kurangi obat-obatan,
dan 2 menit setelah berdiri) tekanan sistolik modifikasi dari restriksi garam, hidrasi adekuat, strategi
turun >20 mmHg (atau >20%), dengan atau kompensasi (elevasi bagian kepala tempat tidur, bangkit
tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit berdiri. perlahan, atau latihan dorsofleksi), stoking kompresi,
terapi farmakologis jika strategi di atas gagal.
Keseimbangan dan gaya berjalan Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
- Laporan pasien atau observasi adanya memungkinkan, kurangi obat-obatan yang mengganggu
ketidakstabilan keseimbangan, intervensi lingkungan, rujuk ke
- Gangguan pada penilaian singkat. rehabilitasi medik untuk alat bantu dan latihan
keseimbangan dan gaya berjalan.
Pemeriksaan neurologis Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
- Gangguan proprioseptif memungkinkan, tingkatkan input proprioseptif (dengan
- Gangguan kognitif alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak rendah
- Penurunan kekuatan otot. dan bersol tipis), kurangi obat-obatan yang mengganggu
fungsi kognitif, kewaspadaan pendamping mengenai
adanya defisit kognitif, kurangi faktor risiko lingkungan,
rujuk ke rehabiltasi medik untuk latihan gaya berjalan,
keseimbangan, dan kekuatan.
Pemeriksaan muskuloskeletal, pemeriksaan Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
tungkai (sendi dan lingkup gerak sendi) dan memungkinkan, rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan
pemeriksaan kaki. kekuatan, lingkup gerak sendi, gaya bejalan dan
keseimbangan serta untuk alat bantu, gunakan alas kaki
yang sesuai, rujuk ke podiatris.
Pemeriksaan kardiovaskular Rujuk ke dokter spesialis jantung, pemijatan sinus karotis
- Sinkop (pada kasus sinkop).
- Aritmia (jika telah diketahui adanya
penyakit kardiovaskular, terdapat EKG
yang abnormal, dan sinkop).
Evaluasi terhadap bahaya di rumah Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan lampu malam
setelah dipulangkan dari rumah sakit. hari, lantai kamar mandi yang tidak licin, pegangan
tangga, serta intervensi lain yang diperlukan.
136
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Kesimpulan
Terdapat berbagai faktor risiko dan penyebab jatuh pada usia lanjut. Penting
dikaji kemungkinan risiko jatuh pada usia lanjut. Validitas dan reliabilitas instrumen
penilaian risiko jatuh pada usia lanjut perlu dipertimbangkan saat memilih instrumen
yang sesuai untuk berbagai lokasi seperti di komunitas, perawatan rumah, perawatan
kronik, atau perawatan akut di rumah sakit. Prinsip dasar tatalaksana jatuh pada
usia lanjut adalah mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh serta mengobati
berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh.
Referensi
1. Woolcot JC, Richardson KJ, Wiens MO, Patel B, Marin J, Khan KM, Marra CA, et al.
Meta-analysis of the impact of 9 medication classes on falls in elderly persons. Arch
Intern Med 2009; 169(21).
2. Scott V, Votova K, Scanlan A, Close J. Multifactorial and functional mobility assessment
tools for all risk among older adults in community, home support, long-term and acute
care settings. Age and Ageing 2007; 36: 130-139.
3. Russell MA, Hill KD, Blackberry I, Gurrin LC, Dharmage SC. Development of the falls
risk for older people in the community (FROP-Com) screening tool. Age and ageing
2009; 38: 40-46.
4. Setiati S, Laksmi PW. Gangguan keseimbangan, jatuh, dan fraktur. Dalam Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006. Hal. 1378-1387.
5. Smith IJ, ed. Reducing the risk of falls in your health care organization. USA: Joint
Commission Resources; 2005.
6. Prince RL, Austin N, Devine A, Dick IM, Bruce D, Zhu K. Effects of ergocalciferol added
to calcium on the risk of falls in elderly high-risk women. Arch Intern Med 2008; 168(1):
103-107.
7. Campbell AJ, Robertson MC. Rethinking individual and community fall prevention
strategies: a meta-regression comparing single and multifactorial interventions. Age
and Ageing 2007; 36: 656-66.
137
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
138
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Muh A Sungkar
Abstrak
Gagal jantung pada penderita lanjut usia sering dijumpai dan merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Perawatan oleh karena gagal jantung pada lanjut
usia meningkatkan risiko kematian berikutnya, perawatan ulang karena gagal jantung,
perawatan kembali oleh karena berbagai alasan dan menyebabkan penurunan
gangguan fungsional yang besar.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung pada lanjut usia dapat
menunjukan gejala awal yang tak khas. Gejala-gejala mungkin tak spesifik seperti
perburukan status mental atau depresi dan tanda-tanda mungkin tersembunyi oleh
adanya berbagai co-morbiditas sehingga gagal jantung kronik pada lanjut usia sulit
untuk didiagnosis. Selain daripada itu, gagal jantung kronik pada lanjut usia juga sulit
diterapi karena co-morbiditas yang banyak, pemberian polifarmasi dan tingginya
kejadian efek samping obat. Terapi yang sulit ini menyebabkan mengapa dokter
mungkin enggan untuk menggunakan sepenuhnya pilihan pengobatan yang tersedia
pada penderita gagal jantung lanjut usia.
Sangat sedikit data jumlah penderita usia lanjut yang dimasukkan dalam penelitian
klinik utama gagal jantung karena masalah diagnosis dan pengobatan di antara
penderita lanjut usia seperti kurangnya penggunaan ACE-inhibitor dan beta-blocker.
Oleh karena beberapa pertimbangan pengobatan yang perlu dipertimbangkan yang
disebabkan seringkali dijumpainya kontra indikasi dan keadaan patologis yang
bersamaan.
139
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
140
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pendahuluan
Dengan meningkatnya usia harapan hidup maka semakin banyak populasi lanjut
usia (lansia). Berdasarkan penelitian di AS, 50 % lansia diatas 65 tahun minimal
mempunyai 3 penyakit kronik.1 Penelitian-penelitian kohort telah menunjukkan terdapat
berbagai tingkatan kapasitas medik, fungsional dan kognitif pada lansia, dari tingkat
yang paling baik sampai tingkat yang paling rapuh.2 Hal ini membuat penatalaksanaan
lansia menjadi sangat menantang, memerlukan ketelitian, keterpaduan berbagai multi
disiplin dan individualis.3
Lansia dengan diabetes mellitus (DM) juga sangat bervariasi kondisinya, ada
yang masih baik, tetapi ada juga yang sudah rapuh.1 Beberapa ada yang secara fisik,
fungsional dan kognitif masih baik, tetapi ada yang mempunyai gangguan berbagai
multiorgan dan mempunyai berbagai keterbatasan baik fisik, fungsional dan kognitif.
Ada yang baru saja menderita DM, ada yang sudah lama dan sudah menderita berbagai
komplikasi baik mikro maupun makroangiopati Dilain pihak kita memiliki berbagai
macam panduan untuk penatalaksanaan DM, dimana panduan itu pasti berlaku umum
dan seragam untuk semua orang. Apakah sebuah obat akan berefek sama bila
dimakan oleh orang sehat dengan orang dengan gangguan absorbsi? Apakah sama
kemampuan orang sehat dengan orang sakit dalam melakukan pembatasan asupan
makanan? Variasi tingkat kesehatan, kemampuan fungsional, kognitif pada lansia
sangat besar sehingga memerlukan penatalaksanaan yang berbeda tiap individu. Kita
harus bisa melakukan penilaian secara holistik keseluruhan kapasitas medik,
fungsional, psikososial dan lingkungan serta obat-obat yang sudah dipakai lansia
sebelum kita bisa merencanakan pengobatan/ tatalaksana DM pada lansia secara
aman dan berhasil mencapai tujuan.1,2,3
141
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Bila terdapat kecurigaan gangguan kognitif (nilai salah >3) dilanjutkan dengan
memeriksa MMSE 30 pertanyaaan.7 Di samping itu dapat dilakukan tes menggambar
jam yang bisa dilakukan cepat di poliklinik rawat jalan.
142
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Perubahan lain yang juga harus di ases adalah kemampuan sosial ekonominya.
Lansia sebagian besar sudah kehilangan pekerjaannya/ pensiun. Akibatnya daya
dukung ekonomi untuk mencari pengobatan dan perawatan, hanya didukung oleh
dana yang sedikit dan dana bantuan anak/cucunya. Kondisi sosialnya yaitu hubungan
personal lansia dengan keluarga dan lingkungannya juga sangat mempengaruhi daya
dukung tatalaksana DMnya.
Dalam hal tatalaksana DM pada lansia kita juga harus melihat kemampuan lansia
dalam kemampuan sistem endokrinnya. Kemampuan lansia menghadapi krisis atau
stres baik fisik maupun psikis menurun. Kemampuan hormon-hormon steroid,kortisol
dan glukagon dalam menghadapi kondisi gangguan homeostasis guna mempertahankan
hemodinamik sudah menurun. Demikian juga kemampuan baroreseptor dan termostat
serta daya cadangan faali jantung dan paru dalam menghadapi stres juga
berkurrang.14,15,16,17,18 Itulah sebabnya kenapa dengan sedikit faktor pencetus dapat
membuat seorang lansia terjatuh dalam kondisi yang buruk.
Perubahan pada lansia juga terjadi dalam farmakokinetik dan farmakodinamik
obat. Farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh, jadi berhubungan dengan absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Absorbsi di lambung terdapat perubahan, yaitu
pH lambung naik sehingga sering absorbsi obat yang harus suasana asam seperti vit
B12 menjadi lebih sulit, intestinal blood flow berkurang, transport aktif dan pasif
terganggu, laju penyerapan berkurang sehingga konsentrasi puncak menurun dan
waktu mencapai konsentrasi puncak menjadi lebih lama, sedangkan jumlah obat yang
diserap relatif tidak berubah. Distribusi obat juga berubah, terjadi penurunan kadar
albumin, kadar air tubuh, curah jantung dan masa otot, sedangkan jumlah lemak
tubuh bertambah. Hal ini menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma bertambah,
obat-obat terlarut air kadarnya berkurang sedangkan obat terlarut lemak akan bertahan
lebih lama dalam badan. Metabolisme obat terlarut lemak dihati juga berkurang
karena penurunan masa hati dan aktivitas ensim pada lansia; bersihan oleh ginjal
untuk obat terlarut air juga berkurang karena penurunan renal blood flow dan fungsi
ginjal. Farmakodinamik membahas efek obat terhadap badan, jadi berhubungan dengan
fungsi obat, efek samping dan interaksi obat dalam tubuh. Terjadi perubahan berupa
sensitifitas reseptor obat menurun, sehingga efektifitas obat yang merangsang
biokimiawi obat berkurang, sedangkan obat yang menghambat biokimiawi sel efeknya
bertambah. Secara umum farmakokinetik obat tidak banyak berubah pada lansia,
sedangkan farmakodinamik sangat bervariasi perubahannya ada yang efeknya
meningkat, sama atau menurun, demikian juga efek sampingnya.18
Penyakit-penyakit Ko-Morbid
Penilaian secara menyeluruh kondisi medis lansia sangat diperlukan. Tetapi
asesmen kapasitas medis keseluruhan ini membutuhkan banyak tenaga baik medis
maupun perawat, juga membutuhkan tim multidisiplin yang bekerja interdisiplin, serta
membutuhkan berbagai pemeriksaan penunjang yang tidak murah dan tidak mudah.
143
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
1,8,9 ,10,11,13,14
Penyakit-penyakit pada lansia sering tidak terlihat secara nyata, baik
gejalanya, onset maupun tandanya, sehingga membutuhkan pemeriksaan yang teliti
dan intensif. Penyakit-penyakit komorbid yang ada pada pasien lansia dengan DM
ini mempengaruhi keputusan atau langkah yang harus diambil dalam rangka
pengendalian gula darah. Penyakit-penyakit berat seperti gagal jantung, atrium fibrilasi
respon ventrikel cepat, penyakit paru obstruktif kronik, osteoporosis, stroke dan lain-
lain yang membutuhkan penanganan khusus dan sering kronik, sangat menyulitkan
pemilihan regimen obat atau penatalaksanaan DM. 19,20,21,22,23,24,25,26
144
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Contoh kasus, di mana sebuah tim geriatrik akan memilih untuk jawaban pertama
adalah memberikan terapi DM pada lansia setelah melakukan asesmen secara
menyeluruh bagaimana kondisi pasien baik fungsi organ-organnya, penyakit
komorbidnya, kapasitas fungsionalnya, sindrom geriatrik yang diderita, kondisi kognitif
dan psikologisnya. Bila ternyata semuanya baik atau relatif baik, maka keputusannya
adalah penyakit terbesar yang disandangnya saat ini adalah DM. Maka jawaban
pertanyaan ke 2 adalah melakukan penatalaksanaan DM secara intensif guna
mencegah terjadinya komplikasi kronik baik mikro dan makro vaskuler. Tetapi bila
pada asesmen ditemukan kondisi pasien ternyata mempunyai penyakit jantung koroner
dengan CHF NYHA II, anoreksia dan inkontinensia urin tipe urgensi sekaligus DM
dan Hipertensi, maka penurunan gula darah tidak harus agresif, mengingat sudah
terjadi penyakit yang lebih berat. Jadi prioritas penanganannya adalah memperbaiki
gagal jantung, inkontinensia dan anoreksia. Di sinilah kemampuan dokter untuk
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian penatalaksanaan pasien diuji. Lalu apa
yang menjadi pegangan buat menentukan prioritas tersebut ?
145
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Kesimpulan
Keputusan untuk memberikan terapi pada lansia dengan DM dan penyakit-
penyakit komorbid (kondisi kompleks) harus berdasarkan eviden-based yang
dikombinasikan dengan kemampuan memutuskan secara klinis tujuan dan hasil yang
akan dicapai. Keputusan ini diberikan secara individual dan dikomunikasikan kepada
pasien dan keluarganya. Karena para klinisi sering menjumpai keadaan kompleks ini
dan kesulitan dalam menerapi, sering mereka kembali dan berlindung pada guideline
penatalaksanaan DM. Mereka lupa bahwa guide-line tersebut hanya membahas
tentang penyakit. Sedangkan yang diterapi adalah manusia yang mempunyai berbagai
penyulit dan penurunan respon terhadap terapi. Pertimbangan berdasarkan kondisi
klinis, fungsional dan psikologis pasien lansia dengan DM seharusnya
mempertimbangkan usia harapan hidup dan kualitas hidup.41,42,43
III.1. Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah suatu zat kimia yang dapat menstimulasi sekresi insulin dari
sel beta pankreas. Sulfonilurea merupakan salah satu obat hipoglikemik oral
(OHO) yang paling kuno namun masih poten, sehingga masih dipakai sampai
sekarang dalam terapi diabetes melitus tipe 2 (DM-T2). Sulfonilurea dikategorikan
ke dalam kelompok insulinotropic agents, kerjanya merangsang sekresi insulin
dari granul sel-sel beta pankreas. Yang termasuk dalam sulfonilurea generasi
pertama antara lain: klorpropamid, tolbutamid, tolazamid, asetoheksamid.
Sedangkan yang termasuk dalam sulfonilurea generasi kedua antara lain: gliburid
(glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid. Sulfonilurea sangat membutuhkan
sel beta pankreas yang masih intak. Oleh karena itu sulfonilurea tidak dapat
diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 1.8,9,10
a. Farmakokinetik
Seperti kita ketahui bahwa sulfonilurea bekerja dengan menghambat ATP
sensitif potassium channel (K-ATP channel) pada membran plasma sel beta
pankreas yang menghasilkan depolarisasi dan sekresi insulin. Berbagai
sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda, tetapi absorbsi melalui saluran
cerna cukup efektif. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea
dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum
makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma terutama
albumin, ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk
gliburid. Sulfonilurea generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir
100 kali lebih besar dari generasi I. Meski waktu paruhnya pendek, hanya
146
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
sekitar 3-5 jam, efek hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam, sering cukup
diberikan 1 kali sehari. Glipizid absorbsinya lengkap, masa paruhnya 3-4
jam. Dalam darah 98% terikat protein plasma, potensinya 100 kali lebih
kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik maksimalnya mirip dengan
sulfonilurea yang lain. Metabolismenya di hepar, menjadi metabolit yang tidak
aktif, sekitar 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. Gliburid
(glibenklamid), potensinya 200 kali lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya
sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya
25% metabolitnya diekskresi melalui urin, sisanya melalui empedu. Karena
semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal,
sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien menderita gangguan fungsi
hepar atau ginjal yang berat. Walaupun secara umum dipertimbangkan waktu
paruh eliminasi obat melalui ginjal meningkat dengan bertambahnya umur,
penelitian mengenai farmakokinetik obat pada lanjut usia masih jarang
dilakukan. Farmakokinetik glibenklamid pada lanjut usia tidak berubah dengan
bertambahnya umur, tetapi respon C-peptida lebih besar pada pasien diabetes
lanjut usia.8,9,10,11
b. Farmakodinamik
Berbagai penelitian menunjukkan risiko hipoglikemia pada penggunaan
sulfonilurea seharusnya menjadi pertimbangan target kadar glukosa darah
yang ingin dicapai, di mana dapat bervariasi menurut kondisi klinis dan tujuan
pada masing-masing pasien diabetes lanjut usia yang kemudian akan
disesuaikan dengan peresepan obat yang akan ditulis klinisi. Salah satu
penelitian random menyimpulkan bahwa efek glibenklamid pada penurunan
kadar glukosa darah dua kali lipat dibandingkan dengan glipizid pada dosis
yang sama. Penelitian random yang lain dimana tidak dilakukan prosedur
titrasi dosis, menyimpulkan bahwa jika dibandingkan efek penurunan kadar
glukosa darah antara glibenklamid dan gliklazid, maka akan terjadi episode
hipoglikemik yang lebih sering pada penggunaan glibenklamid. Penelitian
yang terbaru menganalisis dari 294 pasien diabetes melitus lanjut usia yang
berusia lebih dari 65 tahun yang menggunakan rancangan penelitian random
double blind dimana membandingkan kegunaan dan toleransi antara glimepirid
dengan gliklazid (keduanya diberikan satu kali perhari selama 27 minggu) di
mana tidak dapat ditunjukkan perbedaan kegunaan antara kedua obat (dan
juga dibandingkan dengan pasien diabetes usia lebih muda), tetapi terdapat
dua kali peningkatan risiko kejadian hipoglikemia pada kelompok glimepirid
pada kadar glukosa darah yang sama.8
Di samping faktor seperti hipoglikemia dan kejadian interaksi obat, maka
diadakan suatu kesepakatan di antara para klinisi bahwa faktor risiko
(dalam hal ini frekuensi dan beratnya) kejadian hipoglikemia lebih besar pada
obat-obatan yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang dan
147
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
III.2. Biguanid
Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu obat
antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan
umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin adalah golongan
biguanid yang bekerja menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dan
meningkatkan pengambilan glukosa otot dan jaringan lemak melalui
peningkatan sensitifitas insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktifasi kinase
di sel (AMP-activated protein kinase). Hanya ada sedikit penelitian yang
menggunakan rancangan penelitian small cohorts dan terbatasnya kriteria
inklusi, tidak ada yang menggunakan random. Rekomendasi dibuat
berdasarkan kesepakatan para ahli, pengecualian pada pasien gagal
ginjal.10,11,12
a. Farmakokinetik
Metformin oral akan mengalami absorbsi di usus, dalam darah tidak terikat
protein plasma. Waktu paruhnya sekitar 2 jam. Metformin diekskresi melalui
ginjal. Pembersihan metformin lebih besar daripada kreatinin. Tidak ada
hubungan antara kadar metformin serum dan konsentrasi laktat dan tidak
ada hubungan antara kadar metformin serum dengan kadar kreatinin serum.
Kadar laktat serum tidak tidak dapat digunakan untuk mengawasi efek terapi
metformin pada lanjut usia.8,10
b. Farmakodinamik
Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi
lemak. Berbeda dengan sulfonilurea yang dapat meningkatkan berat badan,
metformin dapat menurunkan berat badan. Pada pasien diabetes yang gemuk,
biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum
jelas diketahui. Pada orang non diabetik, yang gemuk tidak timbul penurunan
berat badan dan kadar glukosa darah. Metformin juga dapat menurunkan
kejadian iskemik arteri koronaria pada pasien diabetes lanjut usia dengan
pengaruhnya menurunkan kadar trigliserid dan LDL serta meningkatkan kadar
HDL. Metformin juga berguna dalam perbaikan kelainan hemostasis darah
dan C-reactive protein, suatu petanda adanya inflamasi. Metformin dapat
menurunkan risiko kematian sampai 36% dan menurunkan kejadian infark
miokardia sebesar 39% dibandingkan dengan terapi konvensional. Hanya
golongan metformin, obat antidiabetik oral satu-satunya yang mempunyai
148
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
a. Farmakokinetik
Bioavaibilitas adalah sangat rendah (1%), sehingga dalam sirkulasi sistemik
hampir tidak bisa ditemukan, sebagian besar obat dieliminasi melalui feces.
Waktu paruh eliminasi sekitar enam sampai delapan jam. Farmakokinetik
acarbose tidak dipengaruhi oleh umur.8,10
b. Farmakodinamik
Beberapa penelitian tentang farmakodinamik termasuk sebuah penelitian
dengan rancangan penelitian randomized double blind yang membandingkan
antara placebo dengan penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk yang
mendapat terapi acarbose selama beberapa bulan sampai satu tahun. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan kadar glukosa
darah puasa secara signifikan (10-20%), penurunan yang lebih besar terjadi
pada kadar glukosa darah 2 jam setelah makan sebesar 25-40% dan
penurunan HbA1C (0,8% pada nilai yang absolut dan 10-20% pada nilai
yang relatif). Penurunan kadar insulin puasa dan terutama kadar insulin setelah
makan menunjukkan peningkatan sensitifitas insulin. Kegunaan acarbose
tidak berhubungan dengan besarnya dosis.8
Hanya ada satu penelitian random yang membandingkan miglitol dengan
sulfonilurea yaitu glibenklamid pada subyek penelitian pasien berumur rata-
rata 68 tahun dimana menunjukkan bahwa miglitol lebih sedikit menurunkan
kadar glukosa darah puasa dan HbA1C dibandingkan dengan glibenklamid,
tetapi penurunan kadar glukosa darah setelah makan lebih besar pada
149
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
III.4. Meglitinid
a. Farmakokinetik
Repaglinid terutama dimetabolisme di hati melalui sitokrom P450 yaitu
isoensim 3A4, tanpa menghasilkan metabolit yang aktif dan dikeluarkan
melalui empedu dan feces.
Farmakokinetik obat ini telah dijelaskan dengan percobaan terapi pada pasien
diabetes melitus lanjut usia yang berumur kurang dari 70 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan ada sedikit perbedaan farmakokinetik repaglinid
antara pasien diabetes lanjut usia dan orang usia lebih muda yang tidak
menderita diabetes, tetapi tidak terjadi pada pasien diabetes lanjut usia dan
pasien lanjut usia yang tidak menderita diabetes. Waktu paruh eliminasi
berkisar antara 1 sampai dengan 1,7 jam dimana Cmax dan daerah di bawah
kurva cenderung meningkat menurut umur. Parameter farmakokinetik
repaglinid tidak berubah bila klirens kreatinin lebih dari 40 ml/menit pada
orang dewasa muda. Ada peningkatan daerah dibawah kurva meningkat 4
sampai 6 kali lipat lebih lambat waktu eliminasi jika klirens kreatinin kurang
dari 40 ml/menit, mekanisme ini terutama berhubungan dengan perubahan
metabolisme hati dan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal.8,10,11
b. Farmakodinamik
Dengan melihat cara kerja obat, ada kemungkinan bahwa repaglinid dapat
menimbulkan risiko hipoglikemia terutama pada pasien dengan asupan kalori
yang kurang pada saat makan. Risiko kejadian hipoglikemia secara positif
berhubungan dengan beratnya gangguan ginjal. Gangguan pada saluran cerna
yang bersifat ringan dapat terjadi.8
150
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
a. Farmakokinetik
Sebenarnya sangat sedikit penelitian tentang farmakokinetik obat tersebut
pada orang lanjut usia, walaupun ada berbagai laporan yang memberikan
beberapa data. Kelompok thiazolidindion berefek menyerupai sebagian efek
insulin dengan mengaktifkan PPARα (peroxisome proliferator-activated
receptor gama). Thiazolidindion setelah melekat di PPARα akan membentuk
ikatan kompleks dengan RXR guna meningkatkan trankripsi gen-gen yang
insulin sensitif: lipoprotein lipase, fatty acid Co-A tranporter protein, adipocyte
fatty acid binding protein, acyl sinthetase, malic enzyme dan GLUT-4. Dengan
demikian thiazolidindion meningkatkan pengambilan glukosa dan asam
lemak dari sel lemak, adipogenesis dan lipogenesis. Juga meningkatkan
pengambilan glukosa, glikogenesis dan penggunaan sel otot serta mengurangi
produksi glukosa oleh hepar. Pada orang dewasa muda, waktu paruh
rosiglitazon dan pioglitazon adalah sekitar 3 sampai 4 jam dengan 99%
lebih terikat protein dan metabolisme di hati melalui sitokrom P450 isoform
2C8 tanpa menghasilkan metabolit yang aktif. Sampai sekarang tidak ada
laporan tentang interaksi dengan obat yang lain. Sebagian besar pengeluaran
hasil metabolisme obat melalui ginjal ( kurang lebih 65%). Pada penelitian
population pharmacokinetic, menunjukkan bahwa usia tidak mepengaruhi
kinetiknya.8,10,15
b. Farmakodinamik
Hanya ada sedikit data yang dipublikasikan mengenai kegunaan dan
keamanan penggunaan pioglitazon dan rosiglitazon pada pasien diabetes
melitus lanjut usia. Kesimpulan yang bisa diambil adalah manfaat yang
didapat pada pasien diabetes melitus usia lanjut dan pasien diabetes melitus
usia lebih muda adalah hampir sama, dengan kejadian efek samping yang
kurang berarti (seperti udem, anemia dan gagal jantung) pada pasien diabetes
usia lanjut.8
Dalam konsensus pernyataan dari American Heart Association dan American
Diabetes Association ditegaskan kita harus berhati-hati, sebelum memakai
thiazolidindion, harus dipastikan apakah pasien menderita gagal jantung (CAD,
CHF, jantung rematik dan sebagainya), apakah ia menggunakan obat yang
151
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
a. Farmakokinetik
DPP-4 inhibitor bekerja untuk memperpanjang kerja hormon incretin dimana
akan menghasilkan peningkatan dari glucose-dependent insulin release.
Sitagliptin mempunyai absorbsi yang cepat (puncak konsentrasi 1-4 jam)
setelah diberikan per oral. Percobaan klinis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara perubahan perubahan farmakokinetik sitagliptin dengan umur,
jenis kelamin, ras atau BMI. Sitagliptin diekskresi tanpa mengalami perubahan
melalui urin. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
ginjal maka perlu penyesuaian dosis.
Seperti pada sitagliptin, parameter farmakokinetik vidagliptin tidak dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin dan BMI. Vildagliptin cepat diabsorbsi dengan
konsentrasi maksimal 1-2 jam setelah pemberian per oral. Vildagliptin
dihidrolisis menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Ekskresi metabolit terutama
melalui urin dan sebagian kecil melalui feces.16
b. Farmakodinamik
Dari sebuah penelitian random, double blind dilaporkan tentang manfaat dan
efek samping penggunaan vildagliptin monoterapi pada pasien diabetes lanjut
usia adalah sangat efektif, aman dan baik ditoleransi oleh pasien. Alasannya
adalah pada pasien diabetes lanjut usia, terjadi disfungsi sel islet, termasuk
hiperglukagonemia dan hiperglikemia post prandial, serta resistensi insulin.
Kerja vildagliptin melalui mediator GLP-1 maka akan memperbaiki fungsi
sel alfa dan beta pankreas dan asupan makanan adalah pemacu utama
152
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka
1. Durso SC. Using clinical guidline for older adults with diabetes mellitus and complex
health status. JAMA,2006;16:1935-40
2. Maty SC, Fried LP, Volpato S, Williamson J, Brancati FL, Blaum CS. Patterns of disability
related to diabetes mellitus in older women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2004;59:148-
153.
3. Blaum CS. Management of diabetes mellitus in older adults: are national guidelines
appropriate? J Am Geriatr Soc. 2002;50:581-583.
4. Blaum CS, Ofstedal MB, Langa KM, Wray LA. Functional status and health outcomes
in older Americans with diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2003;51:745-753.
5. Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA, et al; Study of Osteoporotic Fractures Research Group.
Is diabetes associated with cognitive impairment and cognitive decline among older
women? Arch Intern Med. 2000;160:174-180.
153
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
6. Greene DA, Stevens MJ, Feldman EL. Diabetic neuropathy: scope of the syndrome.AmJ
Med. 1999;107:2S-8S.
7. Newman SC, Hassan AI. Antidepressant use in the elderly population in Canada:
results from a national survey. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 1999;54:M527-M530.
8. Dealberto MJ, Seeman T, McAvay GJ, Berkman L.Factors related to current and
subsequent psychotropic drug use in an elderly cohort. J Clin Epidemiol. 1997;50:357-
364.
9. Kelsey JL, Browner WS, Seeley DG, Nevitt MC, Cummings SR; Study of Osteoporotic
Fractures Research Group. Risk factors for fractures of the distal forearm and proximal
humerus.AmJ Epidemiol. 1992;135:477-489.
10. Morley JE. The elderly type 2 diabetic patient: special considerations. Diabet Med.
1998;15(suppl 4):S41-S46.
11. Schwartz AV, Sellmeyer DE, Ensrud KE, et al. Older women with diabetes have an
increased risk of fracture: a prospective study. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:32-
38.
12. Brown AF, Mangione CM, Saliba D, Sarkisian CA. Guidelines for improving the care of
the older person with diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2003;51(5suppl):S265-
S280.
13. Brown JS, Seeley DG, Fong J, Black DM, Ensrud KE, Grady D; Study of Osteoporotic
Fractures Research Group. Urinary incontinence in older women: who is at risk?
Obstet Gynecol. 1996;87:715-721.
14. Ueda T, Tamaki M, Kageyama S, Yoshimura N, Yoshida O. Urinary incontinence among
communitydwelling people aged 40 years or older in Japan: prevalence, risk factors,
knowledge and self-perception. Int. J Urol. 2000;7:95-103.
15. Vinik AI. Diabetic neuropathy: pathogenesis and therapy. Am J Med. 1999;107(suppl
2B):17S-26S.
16. Walter LC, Covinsky KE. Cancer screening in elderly patients: a framework for
individualized decision making. JAMA. 2001;285:2750-2756.
17. Covinsky KE, Justice AC, Rosenthal GE, Palmer RM, Landefeld CS. Measuring
prognosis and case mix in hospitalized elders: the importance of functional status. J
Gen Intern Med. 1997;12:203-208.
18. Fried LP, Kronmal RA, Newman AB, et al. Risk factors for 5-year mortality in older
adults: the Cardiovascular Health Study. JAMA. 1998;279:585-592.
19. Vijan S, Hayward RA, Ronis DL, Hofer TP. Brief report: the burden of diabetes therapy:
implications for the design of effective patient-centered treatment regimens. J Gen
Intern Med. 2005;20:479-482.
20. Huang ES, Gorawara-Bhat R, Chin MH. Selfreported goals of older patients with type
2 diabetes mellitus. J Am Geriatr Soc. 2005;53:306-311.
154
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
21. Huang ES, Shook M, Jin L, Chin MH, Meltzer DO. The impact of patient preferences on
the costeffectiveness of intensive glucose control in older patients with new-onset
diabetes. Diabetes Care. 2006; 29:259-264.
22. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care.
2004;27(suppl 1) :S15-S35.
23. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes [published
correction appears in Diabetes Care. 2005;28:990]. Diabetes Care. 2005; 28(suppl
1):S4-S36.
24. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2006. Diabetes
Care. 2006; 29(suppl 1):S4-S42.
25. Tilvis RS, Hakala SM, Valvanne J, Erkinjuntti T. Postural hypotension and dizziness in
a general aged population: a four-year follow-up of the Helsinki Aging Study. J Am
Geriatr Soc. 1996;44:809-814.
26. Boyd CM, Darer J, Boult C, Fried LP, Boult L, Wu AW. Clinical practice guidelines and
quality of care for older patients with multiple comorbid diseases: implications for pay
for performance. JAMA. 2005;294: 716-724.
27. Inouye SK, Peduzzi PN, Robison JT, Hughes JS, Horwitz RI, Concato J. Importance of
functional measures in predicting mortality among older hospitalized patients. JAMA.
1998;279:1187-1193.
28. Lee SJ, Lindquist K, Segal MR, Covinsky KE. Development and validation of a prognostic
index for 4-year mortality in older adults. JAMA. 2006;295: 801-808.
29. Godolphin W. The role of risk communication in shared decision making. BMJ.
2003;327:692-693.
30. Barry MJ. Involving patients in medical decisions: how can physicians do better? JAMA.
1999;282: 2356-2357.
31. Kassirer JP. Incorporating patients’ preferences into medical decisions.NEngl J Med.
1994;330:1895-1896.
32. Protheroe J, Fahey T, Montgomery AA, Peters TJ. The impact of patients’ preferences
on the treatment of atrial fibrillation: observational study of patient based decision
analysis. BMJ. 2000;320:1380-1384.
33. Salkeld G, Cameron ID, Cumming RG, et al. Quality of life related to fear of falling and
hip fracture in older women: a time trade off study. BMJ. 2000;320: 341-346.
34. Harris R, Donahue K, Rathore SS, Frame P, Woolf SH, Lohr KN. Screening adults for
type 2 diabetes: a review of the evidence for the US Preventive Services Task Force.
Ann Intern Med. 2003;138:215-229.
35. Tinetti ME, Doucette J, Claus E, Marottoli R. Risk factors for serious injury during falls
by older persons in the community. J Am Geriatr Soc. 1995;43:1214-1221.
36. Tinetti ME. Clinical practice: preventing falls in elderly persons. N Engl J Med.
2003;348:42-49.
155
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
37. Tinetti ME, Baker DI, McAvay G, et al. A multifactorial intervention to reduce the risk of
falling among elderly people living in the community. N Engl J Med. 1994;331:821-
827.
38. Papapoulos SE, Quandt SA, Liberman UA, Hochberg MC, Thompson DE. Meta-analysis
of the efficacy of alendronate for the prevention of hip fractures in postmenopausal
women. Osteoporos Int. 2005; 16:468-474.
39. Shaughnessy AF, Slawson DC. What happened to the valid POEMs? a survey of review
articles on the treatment of type 2 diabetes. BMJ. 2003; 327:266.
40. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive blood-glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of
complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet. 1998;352:837-
853.
41. Ohkubo Y, Kishikawa H, Araki E, et al. Intensive insulin therapy prevents the progression
of diabetic microvascular complications in Japanese patients with non-insulin-
dependent diabetes mellitus: a randomized prospective 6-year study. Diabetes Res
Clin Pract.1995;28:103-117.
42. Stratton IM, Adler AI, Neil HA, et al. Association of glycaemia with macrovascular and
microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS 35): prospective observational
study. BMJ. 2000;321:405-412.
43. Standards of medical care for patients with diabetes mellitus. Diabetes Care.
2003;26(suppl 1):S33-S50.
44. Leipzig RM, Cumming RG, Tinetti ME. Drugs and falls in older people: a systematic
review and metaanalysis, I: psychotropic drugs. JAmGeriatr Soc. 1999; 47:30-39.
45. Leipzig RM, Cumming RG, Tinetti ME. Drugs and falls in older people: a systematic
review and metaanalysis, II: cardiac and analgesic drugs. J Am Geriatr Soc. 1999;47:40-
50.
156
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Darmono
Pendahuluan
Beberapa masalah pada lansia yang menyulitkan pengelolaan diabetes melitus
(DM) antara lain adalah (a) faktor-faktor ko-morbiditas dan psikososial yang
menghambat efektifitas pengobatan, (b) disfungsi kognitif dengan konsekwensi
kemunduran daya ingat dan berkurangnya ketaatan menjalani pengobatan. Oleh karena
itu dianjurkan untuk membuat instruksi pengelolaan DM yang praktis dan informatif,
tertulis dan perlu dievaluasi serta dikoreksi berkala. Polifarmasi sedapat mungkin
dibatasi untuk mempertahankan ketaatan menelan obat dan mengurangi risiko efek
samping.1 Perhatian khusus bagi lansia DM dalam follow up terapi adalah pengamatan
terhadap (a) gejala hipoglikemi, kegawatan hiperglikemi, komplikasi vaskular, (b)
monitoring kadar glukosa darah periodik terjadwal dan dalam kondisi darurat, (c)
pengamatan status mental dan fisik penderita, (d) pelaksanaan diit, kegiatan fisik,
dan konsumsi obat.2 Komplikasi metabolik akut hiperglikemi atau kegawatan (life-
threatening metabolic disorder) dari DM adalah kondisi kritis yang ditandai oleh
beberapa gejala klinik yaitu ketoasidosis (KAD), hiperosmoler non ketotik (HONK),
laktoasidosis (LAD), dan kesadaran penderita dapat menurun sampai derajat yang
paling berat yaitu koma.3 Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena
menimbulkan gejala-gejala (a) penurunan kontraktilitas miokard, irama jantung, cardiac
output, tekanan darah, aliran darah ke hepar dan ginjal, respons terhadap katekolamin
dan (b) memacu timbulnya aritmia ventrikel jantung.4 Adapun kondisi gawat akibat
HONK adalah syok hipovolemi dan tromboemboli.5 Sangat dibutuhkan data mengenai
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium yang cermat, untuk kepastian
diagnosis, guna menunjang tindakan terapi awal yang efektif (life saving treatment).3
Insulin merupakan satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi secepat
mungkin dalam kegawatan DM, di samping pemberian cairan dan elektrolit yang
adekwat. Adapun pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan
fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi.6
157
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
DM lansia dapat pula mengalami komplikasi akut dan berat atau kegawatan
hiperglikemi seperti pada kasus-kasus usia lebih muda, yaitu ketoasidosis (KAD),
hiperosmoler non-ketotik (HONK), dan laktoasidosis (LAD), dengan faktor presipitasi
peningkatan kebutuhan insulin yang mendadak, berkaitan dengan peningkatan sekresi
stress hormones, banyak dijumpai pada kasus-kasus dengan infeksi akut dan berat
dengan gejala panas badan tinggi, dapat pula disebabkan oleh gangguan perfusi jaringan
yang akut, misalnya hipovolemi, kemunduran fungsi miokard, syok septik, sehingga
terjadi peningkatan kadar laktat dalam darah.7 LAD dapat pula disebabkan oleh
gangguan fungsi hepar yang mengurangi potensi lactic hepatic clearance dan efek
samping dari hipoglikemik oral biguanid (metformin dan fenformin) terutama fenformin,
pada kasus-kasus DM dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar, juga pada DM lansia.
Biguanid terikat pada membran mitokhondria (terikatnya metformin tidak sekuat
fenformin) dan menghambat metabolisme aerob, sehingga metabolisme anaerob lebih
dominan, dengan akibat meningkatnya produksi laktat.4,8 Dalam kondisi kegawatan
DM tersebut, dibutuhkan suntikan insulin untuk mengendalikan hiperglikemi berat
dalam waktu sesingkat mungkin, dengan kewaspadaan untuk menghindari efek
samping hipoglikemi yang lebih mudah terjadi pada kelompok lansia. Program suntikan
insulin tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan program yang diberikan kepada
kasus-kasus DM usia lebih muda, dengan perhatian khusus pada monitoring glukosa
darah dan kondisi fisik.7 Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena
menimbulkan gejala-gejala (a) penurunan kontraktilitas miokard, irama jantung, cardiac
output, tekanan darah, aliran darah ke hepar dan ginjal, respons terhadap katekolamin,
dan (b) memacu timbulnya aritmia ventrikel jantung.4 Adapun kondisi gawat akibat
HONK adalah syok hipovolemi dan tromboemboli.5 Data mengenai riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang cermat, sangat dibutuhkan untuk kepastian
diagnosis dan tindakan terapi yang efektif seawal mungkin (life saving treatment).3
Insulin merupakan satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi dengan
cepat, di samping pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat, adapun antibiotika
dibutuhkan untuk mengendalikan faktor presipitasi infeksi akut. Pengamatan ketat
dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu
program terapi.6
Faktor prisipitasi KAD adalah (a) infeksi, (b) penghentian atau kurangnya dosis
insulin, dan (c) new onset diabetes, adapun patofisiologi KAD pada dasarnya meliputi
(a) gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan (b) gangguan keseimbangan
cairan, elektrolit, asam-basa. Gejala klinik yang terjadi pada KAD adalah (a) kadar
158
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
glukosa darah tinggi, (b) kadar keton bodies darah tinggi, dan (c) asidosis metabolik.
Gejala fisik dalam kondisi yang berat adalah (a) dehidrasi sampai dengan syok, (b)
nafas Kussmaul, (c) kesadaran menurun sampai dengan koma.6,9 Tabel-2 memberikan
panduan klinik praktis mengenai data laboratorium KAD dan HONK, dengan pengertian
bahwa sekitar 30% penderita KAD dapat tampil dalam kondisi hiperosmoler.6
159
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
scale).6 Pemberian continuous insulin infusion dosis kecil makin banyak diminati
dalam praktek oleh karena dosis insulin dapat diatur lebih rinci untuk mempertahankan
efektifitas pengendalian hiperglikemi oleh karena efek terapi yang cepat, komplikasi
hipoglikemi dan hipokalemi lebih kecil. Dosis 0.1 unit/KgBB/jam short acting human
monocomponent insulin dapat menaikkan kadar insulin dalam darah mencapai 100-
200 mU/ml, yang mana cukup memenuhi kapasitas maksimal reseptor insulin, dan
dosis tersebut dapat diberikan dalam program awal insulin infusion rate. Pengaturan
dosis lebih lanjut dipandu oleh respons penurunan kadar glukosa darah, sebagai contoh
misalnya dosis dapat ditingkatkan dua kali dalam 1 jam berikutnya bila penurunan
kadar glukosa darah kurang dari 50-100 mg/dl. Bila dosis telah mencapai 100 unit/
jam, perlu ditambahkan pemberian kortikosteroid untuk menekan reaksi resistensi
insulin. Dosis diturunkan 50 persen bila kadar glukosa darah telah menurun mencapai
250 mg/dl, dengan menambahkan dekstrose 5 atau 10% dalam cairan infus untuk
mencegah hipoglikemi sambil melanjutkan infus insulin untuk menekan ketoasidosis.
Bagi penderita DM lansia, insulin hanya diberikan dalam dosis 50% dari ketentuan
tersebut di atas mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar.10 Apabila rehidrasi
telah tercapai, insulin dapat diberikan subcutan setiap 4 jam dengan dosis sesuai
respons penurunan kadar glukosa darah (sliding scale) sebagai berikut: (a) 20 unit
untuk kadar glukosa darah >300 mg/dl, (b) 15 unit untuk kadar glukosa darah 251-
300 mg/dl, (c) 10 unit untuk kadar glukosa darah 201-250 mg/dl, (d) 5 unit untuk
kadar glukosa darah 150-200 mg/dl, dan (e) tidak diberikan insulin bila kadar glukosa
darah <150 mg/dl. Bila penderita sudah dapat makan seperti biasa, diberikan diit
diabetes sesuai kebutuhan penderita dan insulin diberikan dalam bentuk preparat
human intermediate acting 15-20 unit malam hari dan human short acting (sliding
scale) 3 kali sehari 30 menit sebelum porsi makan utama.6
Perkembangan teknologi farmasi berhasil membuat produk baru suatu human
insulin analogs dengan rapid onset of action antara lain adalah aspart insulin (Novolog,
Novo Nordisk, Princeton, NJ), lispro insulin (Humalog, Eli Lilly, Indianapolis, IN) dan
glulisine insulin (Aventis) yang telah dipasarkan sebagai alternatif pilihan di samping
short acting insulin. Pengalaman klinik membuktikan bahwa terapi KAD dengan insulin
produk baru ini yang diberikan subkutan tiap 1 jam (penderita tidak dalam kondisi
dehidrasi), sama efektifitasnya dengan regular insulin intra vena.11,12 Rapid acting insulin
bekerja lebih cepat dibandingkan dengan regular insulin, merupakan alternatif pilihan
lebih efektif dalam terapi KAD. Preparat rapid acting ini sudah mulai bekerja dalam
waktu 10-20 menit setelah disuntikkan s.c. dan mencapai kadar puncak dalam 30-
90 menit, adapun jangka waktu bekerja berakhir dalam 3-4 jam, dengan catatan bahwa
penderita belum sampai mengalami dehidrasi atau sudah mendapatkan koreksi dan
kembali dalam kondisi rehidrasi. Uji coba klinik membuktikan bahwa rapid acting
insulin yang disuntikkan s.c. tiap 1 jam pada penderita KAD memberikan hasil terapi
yang sama efektifnya dengan regular insulin i.v.13 Monitoring glukosa darah dan
pemberian suntikan insulin tiap 1 jam dirasakan cukup menjadi beban kerja yang
berarti, dan oleh beberapa klinik dicoba mengamati kasus-kasus KAD yang diberikan
160
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
rapid acting insulin dengan interval waktu lebih panjang, yaitu membandingkan
kelompok kasus dengan program tiap 1 jam dan kelompok kasus lain dengan program
tiap 2 jam, dengan program standard regular insulin i.v. tiap 1 jam. Hasil pengamatan
tersebut memberikan kesimpulan bahwa rapid acting insulin tiap 1 jam dan tiap 2
jam setara dalam aspek efektifitas dan keamanan dengan regular insulin i.v. tiap 1
jam.11 Dalam kondisi KAD telah teratasi, namun status metabolik masih membutuhkan
insulin, dapat dipakai program rapid acting insulin analogs disuntikkan menjelang
makan utama yaitu pagi, siang dan malam. Adapun untuk mengendalikan glukosa
puasa dan interprandial, diberikan subkutan sekali sehari extended long-acting insulin
analog yang bersifat peakless dan bekerja jauh lebih lama dibandingkan NPH. Dengan
konsep tersebut, hiperglikemi postprandial, puasa dan interprandial dapat dikendalikan
dengan intensif dan risiko hipoglikemi menjadi sangat kecil.14
Salah satu gangguan elektrolit dari KAD adalah hipokalemi, yang mana penyebab
utamanya adalah masuknya kalium dari ekstra sel ke intra sel yang dipacu oleh
insulin (insulin mediated reentry of potassium to the intracellular compartment). Akibat
yang dapat ditimbulkan oleh hipokalemi adalah aritmia kordis, gagal kardiovaskular,
kelemahan otot respirasi dan gagal nafas. Indikasi pemberian kalium bila kadarnya
dalam serum kurang dari 5.5 mEq/L dengan dosis 20-30 mEq diberikan per liter
cairan infus, sampai dengan kadar kalium serum meningkat kembali mencapai batas
normal, adapun dosis maksimal adalah 40 mEq/jam. Kadar kalium serum dipantau
setiap 1-2 jam pada awal KAD dan selanjutnya dapat setiap 4-6 jam. Hipokalemi
sering kali disertai oleh hipofosfatemi, oleh karena itu dianjurkan preparat kalium yang
diberikan 2/3 bagian dalam bentuk KCl dan 1/3 bagian dalam bentuk KPO4.6 Pemberian
terapi bikarbonat bagi penderita KAD dipertimbangkan berdasarkan pemikiran, bahwa
asidosis metabolik yang disertai oleh asidosis intra sel yang berat, dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ antara lain hati, jantung dan otak. Namun
pemberian bikarbonat dapat mengakibatkan dampak negatif yang mungkin terjadi
yaitu memberatnya hipokalemi, terjadinya paradoxical central nervous system acidosis,
memberatnya asidosis intra sel akibat peningkatan produksi karbon dioksida dan
metabolisme ketoanion menjadi lebih lambat. Dapat dipergunakan satu panduan klinik
praktis sebagai berikut: (a) pH darah arteri >7.0 tidak diperlukan pemberian bikarbonat,
(b) pH 6.9-7.0 diberikan sodium bikarbonat 44 meq, (c) pH <6.9 diberikan 88 meq
sodium bikarbonat. Preparat bikarbonat tersebut diberikan dalam larutan isotonik dan
disertai dengan pemberian 15 meq KCl setiap satu ampul (44 meq) bikarbonat 6. Di
samping pedoman pH darah arteri, indikasi pemberian bikarbonat yang lain adalah (a)
HCO3 - <5.0 meq/L, (b) K+ >6.5 meq/L, (c) hipotensi yang tidak memberikan respons
terhadap pemberian cairan, (d) payah jantung kiri yang berat, (e) depresi pernafasan,
(f) late hyperchloremic acidosis.9 Dalam kondisi KAD terjadi pergeseran fosfat keluar
dari intra sel ke ekstra sel, sehingga pada awal KAD kadar fosfat serum dapat normal
atau meningkat. Namun diuresis osmotik yang terjadi lebih lanjut mengakibatkan
hilangnya fosfat bersama urine dan kadarnya dalam serum menurun sekitar 1 mmol/
Kg BB. Sama dengan kalium dan glukosa, fosfat akan kembali masuk ke dalam sel
161
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pada waktu terapi insulin diberikan, dengan akibat turunnya kadar fosfat serum. Tujuan
dari pemberian preparat fosfat pada KAD adalah pencegahan komplikasi hipofosfatemi
yaitu depresi pernafasan, kelemahan otot skelet, anemia hemolitik dan gangguan
fungsi jantung. Adapun pemberian dosis fosfat yang berlebihan dapat mengakibatkan
hipokalsemi, tetani, kalsifikasi jaringan lunak. Berdasarkan pengalaman klinik beberapa
peneliti menyatakan bahwa protokol pemberian kalium sudah cukup memenuhi
kebutuhan fosfat, yang mana 2/3 dosis diberikan dalam ikatan kalium klorida dan 1/3
dosis dalam ikatan kalium fosfat.6
HONK adalah komplikasi akut atau kegawatan diabetes melitus di samping KAD,
dengan gejala klinik yang utama adalah (a) dehidrasi, (b) hiperglikemi berat (kadar
glukosa darah >600 mg/dl), (c) osmolalitas plasma meningkat (>320 mOsm/L) yang
mengakibatkan depresi susunan saraf pusat, (d) tanpa gejala ketoasidosis (ph darah
arteri >7.30). Di samping itu didapatkan pula gejala-gejala (e) takikardia, (f) subfebril,
(g) dilatasi gaster dengan keluhan nausea, vomitus, distensi, nyeri, disertai (h) gejala
neurologik berupa afasia, hemiparesis, hemianopsi, hiper-refleksi unilateral, tanda
Babinski positif, miokloni. Adapun gejala laboratorium dapat dilihat pada tabel-2.
Beberapa aspek patofisiologi pada HONK yang berkaitan dengan hiperglikemi,
hiperosmolalitas, dan nonketotik, antara lain adalah (a) sekresi insulin meningkat
namun tidak adekwat mengatasi hiperglikemi, (b) Counterregulatory hormones (growth
hormone, glukagon, epinefrin, kortisol) kadarnya meningkat tetapi tidak setinggi pada
KAD, (c) hiperosmolalitas menekan lipolisis yang merupakan sumber dari pembentukan
keton bodies. Faktor presipitasi yang sering dijumpai dalam klinik antara lain adalah
infeksi akut, infark miokard, stroke, pankreatitis. Faktor iatrogenik dapat pula
berpengaruh misalnya peningkatan tekanan osmose plasma akibat nutrisi enteral
maupun parenteral, kekurangan cairan tubuh akibat diuretika atau dialisis peritoneal,
dan obat-obatan yang menghambat sekresi maupun kerja insulin, sebagai contoh
kortikosteroid, beta bloker, cimetidine.5 Tujuan terapi HONK pada dasarnya adalah
menormalkan kembali keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa dan osmolalitas
plasma, serta menghilangkan faktor presipitasi. Walaupun diuresis pada HONK
mengakibatkan tubuh kehilangan natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat,
namun dalam program terapi tidak semua elektrolit tersebut harus diganti. Kehilangan
natrium dan kalium yang merupakan prioritas harus segera diganti, adapun preparat
magnesium, fosfat, dan kalsium tidak diberikan kepada penderita HONK tanpa gejala
yang ditimbulkan oleh kehilangan elektrolit-elektrolit tersebut. Harus ditegaskan bahwa
pemberian insulin (dengan protokol sama dengan KAD), harus disertai koreksi
keseimbangan cairan yang adekwat, oleh karena bila kebutuhan cairan tersebut tidak
terpenuhi, pemberian insulin justru memacu bertambah hilangnya cairan ekstra sel
keluar tubuh dan memperberat hipovolemi, syok dan tromboemboli.5 Mengenai terapi
antibiotika ada dua pendapat di kalangan para pakar diabetes, satu pihak menganjurkan
segera memberikan antibiotika dengan alasan sebagian besar faktor presipitasi adalah
infeksi, lain pihak menganjurkan menunggu sampai ada kepastian adanya infeksi,
walaupun ada gejala sub febril dan lekositosis. Pemberian dosis kecil antikoagulan
162
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
misalnya heparin juga ada dua pendapat, ada yang menganjurkan perlu diberikan
dengan alasan sering terjadi tromboemboli pada HONK, ada pula yang tidak setuju
dengan pertimbangan meningkatnya risiko perdarahan gastrointestinal pada HONK
yang disebabkan oleh hypertonicity-induced gastroparesis.5 Sangat dibutuhkan
monitoring kondisi fisik penderita selama program rehidrasi antara lain tensi, nadi,
jumlah urin, gejala fluid overload (tekanan vena jugularis, auskultasi jantung dan
paru). Intubasi nasogastrik diperlukan bagi penderita dengan gastroparesis yang disertai
vomitus, adapun kateterisasi saluran kencing sebaiknya tidak dilakukan untuk
memperkecil risiko infeksi, atau bila terpaksa diusahakan tidak terlalu lama. Setelah
kondisi akut dapat diatasi, masih dibutuhkan insulin dengan protokol programnya
seperti pada KAD. Dengan membaiknya kondisi Selanjutnya dapat diberikan
hipoglikemik oral dengan dosis diatur kembali sesuai respons penurunan kadar glukosa
darah.5 Pencegahan KAD dan HONK tidak kalah pentingnya dibandingkan terapi yang
harus diberikan apabila gejala klinik sudah timbul. Dokter maupun paramedik yang
merawat penderita harus mulai waspada apabila timbul gejala-gejala dari faktor-faktor
presipitasi KAD maupun HONK. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan ketonuri harus
segera dilakukan, dan program terapi harus segera disiapkan bagi penderita DM
dengan vomitus disertai hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >500 mg/dl atau >28
mmol/L), atau kadar glukosa darah >250 mg/dl disertai ketonuri sedang sampai berat
dan sebaiknya penderita segera dirawat di rumah sakit untuk pengelolaan dan
pengawasan yang lebih intensif.9
Penderita DM dicurigai mengalami LAD bila didapatkan gejala klinik dari faktor-
faktor presipitasi seperti yang telah diuraikan di atas, adapun diagnosis ditegakkan
berdasarkan data laboratorium kadar laktat darah >5 meq/L dan pH <7.0. Strategi
terapi LAD adalah koreksi perfusi jaringan, terapi terhadap faktor-faktor pencetus,
continuous infusion bikarbonat untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 dan bikarbonat
serum menjadi 12 meq/L. Koreksi keseimbangan cairan dan protokol pemberian insulin
pada dasarnya sama dengan KAD. Hemodialisis diperlukan bagi penderita LAD akibat
bahan toksik termasuk dalam hal ini metformin, untuk mempercepat hilangnya preparat
tersebut dari darah penderita.5 Preparat dichloroacetate masih dalam pengembangan
uji klinik untuk LAD, memiliki potensi mengaktifkan piruvat dehidrogenase, sehingga
oksidasi piruvat dan penggunaan laktat meningkat, kadar laktat darah menurun dan
asidosis terkoreksi. Di samping itu dichloroacetate memiliki potensi inotropik positif
terhadap miokard, dengan dampak positif yaitu kenaikan cardiac output, perfusi jaringan
juga ikut meningkat, sehingga stimulasi hipoksia terhadap produksi laktat menurun.8
Ringkasan
Manifestasi klinik dari kegawatan hiperglikemi pada penderita DM dapat berupa
KAD, HONK dan LAD. Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena
mengganggu fungsi kardiovaskular, adapun kegawatan akibat HONK adalah hipovolemi
dan tromboemboli. Suntikan Insulin adalah satu-satunya pilihan terapi untuk
menurunkan hiperglikemi secepat mungkin dalam kegawatan DM, di samping
163
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat. Adapun pengamatan ketat dan periodik
mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program
terapi. Diagnosis kegawatan hiperglikemi pada lansia, apalagi gejala dini, lebih sukar
dideteksi dibandingkan dengan kasus-kasus yang lebih muda usia, oleh karena adanya
gangguan kognitif pada kelompok lansia. Terapi juga harus ada perhatian khusus,
misalnya dosis insulin dibatasi sekitar 50% dari dosis untuk penderita yang lebih
muda, mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar. Juga pemberian cairan harus
disesuaikan untuk menghindari overhydration yang membahayakan organ
kardiovaskular yang memang sudah ada kemunduran fungsi sebelumnya. Tindakan
pencegahan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan terapi pada waktu kegawatan
DM telah terjadi, oleh karena itu faktor-faktor presipitasi, gejala-gejala awal harus
diobservasi dengan teliti, oleh karena pencegahan jauh memberikan hasil positif
dibandingkan dengan pengobatan yang baru dimulai dilakukan setelah kegawatan
sudah terjadi.
Daftar pustaka
1. Ho PJ, Turtle JR. Establishing the diagnosis. In: Finucane Paul. Diabetes in Old Age.
Chicester: John Wiley & Sons Ltd, 1995: 70-91.
2. Barrett-Connor E, Ferrara A. Isolated post chalenge hyperglycemia as a predictor of
cardiovascular mortality in the elderly. Diabetes Care. 1998; 21: 1236-1239.
3. Garber AJ. Diabetes mellitus. In: Stein JH. Internal medicine. 4th ed. St Louis: Mosby
Year Book Inc, 1994: 1407-1415.
4. Buchalter SE, Kreisberg RA. Lactic acidosis. In: American Diabetes Association. Therapy
for Diabetes Mellitus and Related Disorders. 3rd ed. Virginia: Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data, 1996: 97-103.
5. Lorber D. Nonketotic hypertonicity in diabetes mellitus. The Medical Clinic of North
America. Endocrine Emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79:
39-52.
6. Kitabchi AE, Wall BM. Diabetic ketoacidosis. The Medical Clinic of North America.
Endocrine emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79: 9-37.
7. Benbow SJ, Walsh A, Gill GV. Brittle diabetes in the elderly. Journal of the Royal
Society of Medicine. 2001; 94: 578-580.
8. Stacpoole PW. Lactic acidosis. Endocrinology and Metabolism Clibnics of North America.
Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 221-245.
9. Genuth S. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmoler coma in adults. In:
Lebovitz HE. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. Virginia: American
Diabetes Association Inc, 1991: 63-75.
10. Fleckman AM. Diabetic ketoacidosis. Endocrinology and Metabolism Clinics of North
America. Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 181-207.
164
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
11. Umpierrez GE, Cuervo R, Karrabel A, Latif K, Freire AX, Kitabchi AE. Treatment of
diabetic ketoacidosis with subcutaneous insulin aspart. Diabetes Care 2004; 27: 1077-
1080.
12. Manna TL, Steinmetz L, Campos PR, et al. Subcutaneous use of a fast-acting insulin
analog. An alternative treatment for pediatric patients with diabetic ketoacidosis.
Diabetes Care 2005; 28: 1856-1861.
13. Lindstrom T, Hedman CA, Arnqvist HJ, et al. Use of a novel double-antibody technique
to describe the pharmacokinetics of rapid-acting insulin analogs. Diabetes care 2002;
25: 1049-1054.
14. Rosseti P, Pampanelli S, Fanelli C, et al. Intensive replacement of basal insulin in
patients with type 1 diabetes given rapid-acting insulin analog at mealtime. Diabetes
care 2003; 26: 1490-1496.
165
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
166
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Dewa P Pramantara S
Pengantar
Problem kesehatan pada usia lanjut dapat didekati melalui pemahaman
simptomatologi yang merujuk gangguan organ dan sistem (organ and system based),
penyakit (disease based) dan sindroma geriatrik. Pendekatan sindroma geriatrik
berbeda dengan sindroma penyakit pada umumnya. Sindroma geriatrik muncul sebagai
satu fenomena yang latar belakangnya kompleks sedangkan pada sindroma penyakit
merupakan kumpulan gejala dan tanda yang merujuk pada satu penyakit.1
Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai
pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun
mengalami inkontinensia urin. Usia lanjut di komunitas lebih sedikit kejadiannya
dibandingkan di institusi perawatan kronik yaitu 5-10% dan 60-80% berurutan.2
Inkontinensia urin merupakan fenomena yang tersembunyi artinya kejadian yang
tercatat jauh lebih sedikit dari kejadian sesungguhnya. Hal ini disebabkan oleh
keengganan pasien menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang
mendiskusikan hal ini kepada pasien. Di lain pihak, dampaknya terhadap kualitas
hidup bagi penyandangnya sangat nyata.2,3
Pada tulisan ini akan dibahas tipe dan cara pendekatan diagnosis penyebab dan
prinsip-prinsip tatalaksananya.
Pembahasan
Definisi
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dikehendaki
dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau
kesehatan.2,3,4 Dari batasan di atas di satu sisi dan pemahaman tentang proses
kontinensia pada sisi yang lain dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urin merupakan
bentuk akibat ganguan atau inkompeten proses kesadaran pada tatanan otak dan
saraf non otonom, gangguan pada lingkar refleks, gangguan pada sistem saluran
kemih bagian bawah dan otot dasar pangul serta akses ke toilet baik bersifat
sementara atau menetap.
167
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
168
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
169
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Evaluasi Awal
z Anamnesis
z Pemeriksaan fisik
z Urinalisis
z Residu urin pasca berkemih (postvoid residual)
Tatalaksana
170
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
171
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 4.Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe stres.4
Golongan obat Tingkat bukti ilmiah Status rekomendasi
(Level of evidence) (Grade of recomendation)
Duloxetine 1 A
Imipramine 3 D
Methoxamine 2 D
Midodrine 2 C
Ephedrine 3 D
Norephedrine 3 D
(phenylpropanolamine)
Estrogen 2 D
172
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 5. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk OAB. 4
Golongan obat Tingkat bukti ilmiah Status rekomendasi
(Level of evidence) (Grade of recomendation)
Antimuskarinik
Tolterodine 1 A
Trospium 1 A
Solifenacin 1 A
Darifenacin 1 A
Propantheline 2 B
Atropin, Hyoscyamine 3 C
Obat kerja ganda
Oxybutynin 1 A
Dicyclomine 3 C
Propiverine 1 A
Flavoxate 2 D
Penghambat adrenergik
Doxazosin 3 C
Prazosin 3 C
Terazosin 3 C
Tamsulosin 3 C
Alfuzosin 3 C
Antidepresi
Imipramine 3 C
Agonis adrenergik
Terbutalin 3 C
Salbutamol 3 C
Penghambat COX
Indometasin 2 C
Flurbiprofen 2 C
Obat lain
Estrogen 2 C
Baclofen* 3 C
Capsaicin** 2 C
Resiniferatoxin** 2 C
Botulinum Toxin*** 2 B
Desmopressin**** 1 A
173
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Tabel 6. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe overflow.4
Golongan obat Tingkat bukti ilmiah Status rekomendasi
(Level of evidence) (Grade of recomendation)
Antagonis adrenergik alfa
Alfuzosin 4 C
Doxazosin 4 C
Prazosin 4 C
Terazosin 4 C
Tamsulosin 4 C
Antagonis reseptor muskarinik
Bethanechol 4 D
Carbachol 4 D
Penghambat kolinesterase
Distigmine 4 D
Obat-obat lain
Baclofen 4 C
Benzodiazepine 4 C
Dantrolene 4 C
Kesimpulan
1. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai.
2. Tipe-tipe inkontinensia urin sangat terkait dengan faktor-faktor penyebab yang
kadang-kadang saling tumpang tindih.
3. Evaluasi yang dituntun dengan algoritme akan dapat menentukan faktor penyebab
baik yang bersifat sementara maupun tetap.
4. Tatalaksana inkontinensia urin meliputi farmakologik maupun non-farmakologik
serta memperhatikan faktor medis, kognitif pasien dan keinginan pasien.
Daftar pustaka
1. Pramantara, D. P. 2010. Sindroma Geriatrik pada Diabetes Melitus Usia Lanjut.
Seminar Penatalaksanaan Medis Penderita Diabetes Pada Lansia, Yogyakarta.
2. Kane, R. L., Ouslander, J. G., Abrass, I. B. & Resnick, B. 2009. Essentials of Clinical
Geriatrics. 6th Ed. McGraw Hill, New York, pp. 213-56.
3. Cefalu, C. A. 2007. Urinary Incontinence dalam R. J. Ham, P. D. Sloane, G. A.
Warshaw, M. A. Bernard & E. Flaherty (Eds.) : Primary Care Geriatrics. 5 th Ed.
Mosby-Elsevier, Philadelphia. pp: 306-323.
4. Pergemi, 2007. Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut, Konsensus
Nasional, Jakarta.
5. Forciea, M.A. & Cordts,G. 2004. Urinary Incontinence dalam M. A. Forciea, E. P.
Schwab, D. B. Raziano & R. Lavizzo-Mourey (Eds): Geriatric Secrets. 3rd Ed. Mosby,
Philadelphia. pp: 209-14.
174
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
175
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
176
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Inkontinensia Alvi/Fekal
Pendahuluan
International Consultation on Incontinence WHO mendefinisikan FI sebagai
“hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau
higienis.1 Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi / fekal sebagai perjalanan spontan
atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus.2 Kejadian
inkontinensia alvi / fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin.3
Inkontinensia alvi / fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien
lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak
pasien enggan untuk mengakuinya. Selain itu, dokter cenderung untuk tidak bertanya
tentang hal itu, mungkin karena sama-sama malu atau karena mereka tidak melihatnya
sebagai “penting”.4
Tetapi inkontinensia alvi / fekal pada geriatri adalah penting, karena beberapa
alasan.4, 5 :
Survei dengan populasi besar mengungkapkan prevalensi 3% sampai 7% antara
umur 65 orang dan lebih. Pada pasien lanjut usia di rumah perawatan, prevalensi
setinggi 50%.
Memiliki dampak finansial yang signifikan pada pasien, keluarga, dan sistem
perawatan kesehatan. Ini melampaui biaya popok dewasa: inkontinensia adalah
salah satu penyebab paling umum dari pelembagaan lansia, dan beban mahal
bagi pasien dan keluarga.
Memiliki dampak sosial sangat buruk pada pasien lanjut usia, mulai dari malu
dan menyebabkan perubahan gaya hidup yang menyusahkan secara signifikan
dan isolasi sosial.
Berkontribusi banyak terhadap masalah psikologis lansia, termasuk depresi dan
menyebabkan penurunan kognitif.
Bahkan mungkin dikaitkan dengan kematian, seperti yang ditunjukkan pada studi
prospektif pasien lanjut usia yang bertempat tinggal di masyarakat dengan
berbagai tingkat inkontinensia fekal.
Hal ini sering dapat diobati secara efektif. Impaksi fekal pada pasien rumah
keperawatan dan disfungsi rectosphincter karena kelemahan otot atau neuropati
diabetes adalah dua penyebab utama fecal incontinence pada lanjut usia, dan
perawatan efektif ada untuk kedua kondisi.
177
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Prevalensi inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk
dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita (Tabel 1).6
Porulasi Prevalensi
Wmur =65 tahun (masyarakat) 3,7-27%
Pasien dirawat di rumah sakit 10-25%
Rumah sakit swasta @ 50%
Rawat Inap dengan demensia @ 80%
Females Males
24
Fecal Incontinence Percent
20
16
12
0
20-29 30-39 40-54 55-69 >70 20-29 30-39 40-54 55-69 >70
‘
Age (years)
Gambar 1. Prevalensi inkontinensia alvi / fekal menurut kelompok umur pada wanita dan pria.(7)
Inkontinensia alvi / fekal bukanlah konsekuensi normal dari proses penuaan tetapi
sering terjadi sebagai akibat dari kerusakan struktural atau fungsional mekanisme
kontinensia dan atau perubahan konsistensi feses dan pelepasannya.
178
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Gambar 2. Diagram dubur, lubang anus, dan struktur yang berdekatan. Pembatas panggul termasuk
sphincters anal dan panggul lantai otot.6
179
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Saluran anal adalah tabung berotot 2 - 4,5 cm panjang, yang pada istirahat
membentuk sudut dengan poros rektum. Saat istirahat, sudut anorectal adalah sebesar
90°. Selama meremas sukarela, sudut menjadi lebih akut, sekitar 70°, dan saat buang
air besar, menjadi tumpul lebih, sekitar 110-130°. Yang proksimal 10 mm dari saluran
anal dibatasi oleh mukosa kolumnar. 15 mm selanjutnya (termasuk katup) dibatasi
oleh epitel kolumnar bertingkat. Distal sekitar 10 mm adalah epitel tebal, tidak berambut
disebut Pecten. Yang paling distal 5-10 mm dilapisi oleh kulit berambut. Sphincter
anal terdiri dari sphincter anal internal, yang merupakan ekspansi 0,3 hingga 0,5 cm
tebal lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sphincter anal eksternal, yang merupakan
ekspansi 0,6 hingga 1 cm dari otot levator ani lurik. Secara morfologi, baik sphincters
terpisah dan heterogen. Anus biasanya tertutup oleh kegiatan tonik dari sphincter
anal internal, dan penghalang ini diperkuat dengan sukarela menekan sphincter anal
eksternal. Yang mukosa lipatan dubur bersama dengan meluas, dan bantal vaskular
menyediakan segel ketat. Hambatan mekanik yang ditambah dengan otot puborectalis,
yang membentuk katup penutup seperti yang menciptakan maju tarik dan memperkuat
sudut anorectal untuk mencegah inkontinensia.
Dasar panggul dan anorectum yang diinervasi oleh jaras simpatik, parasimpatis,
dan somatik. Pasokan syaraf ke rektum dan kanal anal berasal dari pleksus anus
superior, tengah, dan inferior. Serat parasimpatis dalam sinapsis pleksus superior
dan tengah anus dengan neuron postganglionik dalam pleksus myenteric dari dinding
anus. Yang persarafan somatis pokok anorectum yang adalah dari saraf pudenda,
yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat (S2, S3, S4), dan innervates
sphincter anal eksternal, mukosa anal, dan dinding anus. Ini adalah saraf campuran
dan subserves baik fungsi sensor dan motor, dan tentu saja melalui panggul
membuatnya rentan terhadap peregangan cedera, terutama pada saat melahirkan
vagina. Faktor-faktor fisiologis yang mencegah fecal incontinence termasuk penghalang
panggul, kepatuhan anus dan sensasi, dan faktor-faktor lain seperti konsistensi feses,
mobilitas, dan lain-lain Pada bagian ini, kita membahas faktor-faktor ini.
Penghalang ranggul
Sphincter anal internal bertanggung jawab untuk menjaga sekitar 70% dari tone
anal istirahat, dan ini terutama disebabkan eksitasi tonik simpatik. Sphincter anal
eksternal, yang sebagian besar terdiri dari otot lurik, memberikan kontribusi dalam
komponen sisa nada beristirahat. Sphincter anal eksternal, puborectalis, dan kontrak
levator ani selanjutnya jika diperlukan untuk mempertahankan kontinensia tapi rileks
hampir sepenuhnya selama evakuasi. Kontraksi sfingter eksternal mungkin bersifat
sukarela atau refleksif (misalnya, ketika meningkatkan tekanan intra-abdomen). Anal
beristirahat dan / atau tekanan meremas umumnya berkurang pada pasien dengan
inkontinensia fekal, menunjukkan kelemahan sfingter. Ke dalam traksi yang diberikan
oleh puborectalis sudah berkurang inkontinensia fekal dan berkorelasi lebih erat
dengan gejala dibandingkan dengan tekanan meremas, dan meningkatkan setelah
biofeedback.
180
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia memiliki beberapa etiologi dan
membutuhkan penilaian hati-hati pada setiap pasien. Berikut ini adalah sebagian
daftar penyebab inkontinensia alvi / fekal pada orang tua6:
- Penurunan sensasi rectum
o Fecal impactions
o Megarectum
o Diabetes melitus
- Penurunan kapasitas reservoir
o Radiasi
o Reseksi bedah
o Iskemia
o Peradangan
181
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pada rawat jalan pasien lansia intak, penyebab inkontinensia alvi / fekal mirip
pada populasi dewasa dan membutuhkan penilaian yang sama dengan orang dewasa
muda.
Penilaian klinis
Keengganan untuk melaporkan gejala dan hubungan yang signifikan antara
inkontinensia fekal dan gejala kecemasan, depresi dan disabilitas menunjukkan bahwa
orang tua harus ditanya tentang inkontinensia fekal. Meningkatnya kesadaran dari
skala masalah antara profesional kesehatan dan kepedulian sosial, orang tua dan
pengasuh mereka dapat menyebabkan manajemen yang lebih tepat dan efektif
pemberian perawatan.10 Dokter harus menyadari bahwa keluhan “diare,” mungkin adalah
eufemisme dari inkontinensia alvi / fekal.6
Secara klinis ada tiga subtipe (a) inkontinensia pasif - pembuangan spontan
dari tinja atau gas tanpa sadar, (b) inkontinensia mendesak - pembuangan feses
disamping usaha yang aktif untuk mempertahankan isi usus, dan (c) rembesan kotoran
- kebocoran feses dengan evakuasi dinyatakan normal.2
182
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Berat ringannya gejala inkontinensi alvi / fekal dapat dinilai dengan menggunaan
skor. (Tabel 3). Beratnya inkontinensi alvi / fekal sangat berkorelasi dengan dampak
kondisi ini terhadap kualitas hidup. Kebocoran dari feses padat mencerminkan
kelemahan dubur yang lebih parah dari kebocoran feses cair saja. Namun, pasien
biasanya lebih terganggu dengan kebocoran cairan dari feses padat. 11
Setelah anamnesis diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik
inspeksi dubur dilanjutkan dengan pemeriksaan rektal secara digital untuk menilai
fungsi otot sfingter dan puborektalis.
Skor dari 1-6, 7-10, dan 11-13 dikategorikan sebagai fecal incontinence ringan, sedang dan berat.
Tes Diagnostik11
Tes diagnostik disesuaikan dengan umur pasien, faktor kemungkinan etiologi,
beratnya gejala, dampak terhadap kualitas hidup, respon dengan manajemen medis
konservatif seperti loperamide atau pelembut feses, dan ketersediaan tes.
Diagnosa dapat diperoleh dengan pemeriksaan endoskopi, manometry anal,
sensasi rektum, compliance rektum, WSG endoanal, dynamic proctography
(defecography), magnetic resonance imaging panggul, pudendal nerve terminal motor
latency, needle electromyography spingter eksternal.
Pengelolan11
Pengelolaan inkontinensi alvi / fekal harus disesuaikan dengan manifestasi klinis,
pengobatan penyakit yang mendasari, dan dipandu oleh tes diagnostik. (Gambar 3)
Pengelolaan dapat dengan pendekatan Diet dan farmakologis, Latihan otot asar panggul
dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.
183
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Ringkasan
Inkontinensia alvi/fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien
lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak
pasien enggan untuk mengakuinya.
Prevalensi inkontinensia alvi/fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk
dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita.
Pengelolaan inkontinensia alvi/fekal dimulai dengan mengenali keluhan klinis
secara rinci dilanjutkan dengan pemeriksaan colok dubur dan diteruskan dengan
pemeriksaan dengan tes diagnostik untuk mencari penyebabnya.
Pengobatan dapat dengan pendekatan diet dan farmakologis, latihan otot dasar
panggul dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.
184
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar rustaka
1. Harari D. Constipation and Fecal Incontinence in Old Age. In: Howard M. Fillit KR,
Kenneth Woodhouse, editors. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and
Gerontology. Philadelphia: Saunders, Elsevier Inc.; 2010. p. 909-25.
2. Rao SS. Diagnosis and management of fecal incontinence. American Lournal of
Gastroenterology. 2004:1585-604.
3. Theodore M. Lohnson II LGO. Incontinence. Geriatric Medicine And Gerontology. Sixth
ed. New York The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2009. p. 717-30.
4. Tyler K. Stevens Ees, Robert M. Palmer. Fecal incontinence in elderly patients:
Common, treatable, yet often undiagnosed. Cleveland Clinic Lournal of Medicine
2003;70(5):441-8.
5. Nyam DCNK. Fecal Incontinence: Hope for an Wnderdiagnosed Condition. Singapore
Med L 2000; 41 (4):188-92.
6. Wald A. Fecal Incontinence in Elderly and Institutionalized Patients. In: Carlo Ratto
GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag;
2007.
7. William E. Whitehead LB, Patricia S. Goode, Susan meikle, , Elizabeth R. MWELLER
AT, Alison WEIDNER, Milena WEINSTEIN, Wen Ye. Fecal Incontinence in W.S. Adults:
Epidemiology and Risk Factors. Gastroenterology. 2009;137 (2):512–7.
8. Satish S. Rao LS. Diagnosis of Fecal Incontinence. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal
Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007. p. 95-105.
9. Adil E. Bharucha REB. Anatomy and Physiology of Continence. In: Carlo Ratto GBD,
editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007.
10. Nia I. Edwards DL. The prevalence of faecal incontinence in older people living at
home. Age and Ageing. 2001;30:503-7.
11. Bharucha AE. Management of Fecal Incontinence. Gastroenterology & Hepatology
2008;4(11):807-17.
185
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
186
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Wasilah Rochmah
Abstrak
Pengobatan komplementer saat ini telah banyak digunakan oleh masyarakat dimana
saja diseluruh dunia. Di Amerika lebih dari 50% menggunakan pengobatan ini di
samping pengobatan kedokteran pada umumnya. Justru di pendidikan resmi kedokteran
ada bagian tersendiri mengenai pengobatan komplementer tersebut yang sering disebut
sebagai CAM UNIT (Complementary and Alternative Medicine Unit). Kalau ditinjau
dasarnya pengobatan CAM banyak berasal dari Cina dan India. Masing-masing negara
mengembangkannya sesuai dengan kultur serta keadaan alamnya. Usia lanjut
merupakan periode akhir kehidupan yang keadaan baik jasmani maupun rohani telah
berubah dari seorang dewasa sehat menjadi seorang tua yang bersifat rapuh. Tanpa
penyakit yang bersifat kronis, seorang usia lanjut seringkali telah menderita gangguan,
ketidakmampuan sampai adanya hendaya (keterbatasan) bahkan bisa suatu penyakit
karena akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologik. Dikatakan bahwa Allah SWT
tidak akan menurunkan penyakit kecuali bersama obatnya, selain tua. Dari dasar ini,
apakah perubahan-perubahan karena proses menua dan belum menimbulkan penyakit
tidak perlu diobati? Namun sejak beribu tahun yang lalu manusia telah berfikir, berusaha
mencoba, mencatat pengalaman yang ada sehingga tumbuh ilmu kedokteran kuno
yang berasal dari Yunani, ilmu-ilmu pengobatan yang berasal dari Cina dan Hindia
yang keduanya terus berkembang menjadi berbagai disiplin ilmu. Definisi masing-
masing disiplin semakin jelas, namun aplikasinya sering kurang jelas dan tumpang
tindih. Apakah yang disebut pengobatan komplementer mempunyai peran tambahan
dalam pengelolaan usia lanjut, mengingat pengobatan tersebut berupa upaya tambahan
yang dapat saling memperbaiki antar fisik, psikis dan spirit sehingga dapat mencapai
kualitas hidup yang lebih baik.
Kata kunci: medicine - CAM - aged and ageing - complementary medicine.
187
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
188
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Martina W. S. Nasrun
Abstrak
Tingginya prevalensi gangguan depresi berat pada pasien usia lanjut dengan penyakit
fisik kronik menuntut keterlibatan dokter umum dan dokter spesialis lain (khususnya
spesialis usia lanjut) untuk mampu mendeteksi dan mengelola gejala-gejala depresi
agar target pengobatannya dapat dicapai.
Depresi yang tidak ditatalaksana akan memperpanjang masa rawat, meningkatkan
mortalitas dan menghambat proses rehabilitasi yang penting bagi pemulihan kesehatan
usia lanjut. Sampai kini, gangguan depresi masih under-diagnosis dan under-treatment.
Penghalang utama misdiagnosis adalah pandangan bahwa reaksi depresi tidak
patologis dan terapi tidak diperlukan karena dapat diatasi sendiri. Keengganan untuk
memberikan diagnosis psikiatrik pada pasien masih cukup berperan di kalangan
kesehatan. Padahal jika depresi diterapi dengan tepat dan adekuat maka kualitas
hidup pasien akan menjadi lebih baik sekalipun penyakit fisiknya tak dapat
disembuhkan lagi.
Mengapa orang dengan depresi jarang berobat? Karena depresi dianggap normal,
dan depresi sering terjadi bersamaan penyakit lain. Gejala-gejala depresi sering
dianggap sebagai akibat dari penyakit fisik yang sudah lama diderita (kronik). Banyak
orang merasa bahwa depresi merupakan kelemahan dari kepribadian/keimanan.
Pandangan ini keliru, karena depresi merupakan suatu penyakit medis yang dapat
diobati.
Tatalaksana gangguan depresi meliputi berbagai aspek dan modalitas tergantung
ketersediaan sarana dan prasarana yang ada, yakni meliputi aspek biologis (obat anti
depresi, ECT, operasi otak), aspek psikologis (problem solving, psikoterapi, CBT) dan
aspek sosial (aktivitas kelompok, reminiscence, dukungan keluarga dan lain-lain).
Kata kunci: depresi, usia lanjut.
189
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
menunjukkan depresi pada usia lanjut jauh lebih tinggi di lingkungan rumah sakit
dibandingkan di komunitas, Alexopoulos mendapatkan gejala depresi 17-37% di
pelayanan primer (sepertiganya mengalami depresi berat); sedangkan untuk pasien
yang dirawat di rumah sakit depresi berat mencapai 11%.3
Usia menua bukanlah faktor risiko untuk terjadinya depresi, namun kehilangan
pasangan hidup dan menderita penyakit kronis merupakan kerentanan yang
berhubungan dengan gangguan depresi. Depresi pada usia lanjut cenderung untuk
mengalami kekambuhan.
Gambaran depresi pada lanjut usia tampilan gejalanya tidak khas, jarang sekali
tampak mood depresi. Yang menonjol adalah gejala ansietas, keluhan somatik, dan
perasaan bersalah. Rasa letih, lesu, pesimistik, tidak nafsu makan, insomnia, sulit
konsentrasi sering ada namun dapat disalahtafsirkan sebagai gejala biasa pada
lanjut usia. Ide bunuh diri (perasaan hidup tak berguna, ingin mati) juga sering tidak
ditanggapi serius padahal seharusnya di eksplorasi lebih lanjut. Umumnya usia lanjut
dengan depresi yang mempunyai keinginan mati akan menolak pengobatan dan
menolak makan minum (passive suicide).
Kriteria diagnostik gangguan depresi pada lanjut usia sama dengan kriteria
diagnostik gangguan depresi pada dewasa muda (PPDGJ III/ICD 10), namun tidak
selalu dapat dipenuhi meskipun secara klinis jelas pasien mengalami depresi. Untuk
gangguan depresi berat biasanya dapat dijumpai gejala utama dan gejala tambahan
depresi sesuai kriteria diagnosis.
Diagnosis gangguan penyesuaian dengan afek depresi sering dijumpai pada
komorbiditas pasien rawat dengan penyakit kronis. Kriteria diagnostik untuk gangguan
penyesuaian dengan mood depresi mensyaratkan timbulnya gejala depresi dalam
kurun waktu 3 bulan setelah onset stresor (kematian, diagnosis penyakit kronis/
terminal, pensiun dan lain-lain).
Depresi pada usia lanjut bervariasi dari derajat ringan sampai berat. Instrumen
untuk skrining biasanya dipakai Geriatric Depression Scale (GDS) 30 butir dengan
cut off 11 sebagai indikator gangguan depresi atau GDS 15 butir dengan kemungkinan
depresi bila skor lebih dari 5. Instrumen ini dapat diisi sendiri oleh pasien atau diukur
oleh pemeriksa. Pemeriksa memberi skor sesuai dengan pedoman penilaian. Ada 4
pertanyaan kunci dari GDS untuk mendeteksi atau membuka percakapan ke arah
depresi yaitu:
1. Anda puas dengan kehidupan anda?
2. Anda merasakan hidup ini kosong?
3. Anda takut sesuatu yang buruk akan menimpa diri anda?
4. Anda merasa bahagia untuk sebagian besar waktu anda?
Dari jawaban terhadap pertanyaan tsb di atas (ya pada no 1-3 dan tidak pada no
4), dapat dieksplorasi lebih lanjut kemungkinan depresi.
190
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
191
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
lanjut dengan depresi. Hubungan penyakit fisik dengan ansietas pada depresi
cukup kompleks. Ansietas dapat menyebabkan gejala fisik yang sering dikira
sebagai penyakit fisik semata. Ansietas hebat juga dapat menyebabkan kelelahan
dan dehidrasi. Sementara penyakit fisik yang mengancam kehidupan atau
hilangnya kemandirian seringkali merupakan sumber dari ansietas.
c. Depresi terselubung: tidak munculnya gejala mood yang menurun bukanlah suatu
halangan untuk mendiagnosis depresi. Apakah terselubunginya gejala depresi
ini karena para lanjut usia takut menjadi beban ataukah karena trend bahwa
‘harus punya keberanian menghadapi hari tua’. Dalam hal ini harus dieksplorasi
tanda-tanda dan gejala-gejala lainnya dari depresi secara lebih teliti.
d. Somatisasi: gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang sesungguhnya
dari gangguan depresi, namun dapat pula diperberat dengan adanya depresi.
e. Pseudodemensia: istilah ini diperuntukkan bagi pasien depresi yang menunjukkan
gangguan memori yang bermakna seperti yang terjadi pada pasien demensia.
f. Depresi sekunder pada demensia: pada stadium awal demensia sering dijumpai
depresi, mungkin sebagai dampak dari insight akan deteriorasi fungsi dan
menurunnya kemampuan secara progresif. Depresi yang terjadi pada stadium
akhir mungkin lebih banyak berhubungan dengan hilangnya fungsi neurotransmiter.
Depresi dan gangguan perilaku pada demensia disebabkan oleh berkurangnya
fungsi serotonergik, sehingga pengaktifan fungsi serotonergik akan memperbaiki
gejala-gejala tersebut.
2
Mekanisme terjadinya gangguan depresi
Psikodinamika terjadinya depresi adalah adanya agresivitas yang ditujukan pada
diri sendiri (introjeksi). Agresivitas bermanifestasi sebagai menghukum diri, menyalahkan
diri, berpenyakitan dan sebagainya. Individu merasa dirinya tak berarti lagi hidup dan
tidak percaya diri sanggup bangkit dari keadaan depresinya.
Berbagai peristiwa psikososial seperti kehilangan nyata ataupun ancaman
kehilangan akan menyebabkan seseorang merasa tak berdaya (helplessness) dan
mempengaruhi cara berpikir yang cenderung pesimis atau pikiran negatif yang disertai
perasaan kuatir (was-was).
Secara biologik, penurunan neurotransmiter di celah sinaps terutama serotonin
menimbulkan berbagai gejala depresi. Demikian juga gangguan fisiologis pada lobus
frontalis menimbulkan gejala depresi. Beberapa penyakit sistemik mempengaruhi
psiko-neuro-endokrin khususnya pada jaras hipotalamik-pituatri.
192
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Depresi
Pendekatan multidisiplin
Dalam menangani pasien depresi dengan komorbiditas tidaklah mungkin berhasil
jika hanya berpijak pada satu disiplin ilmu saja. Kondisi yang demikian kompleks
dapat diatasi secara optimal hanya jika ada kerja sama yang baik antar berbagai
disiplin ilmu yang terpadu dan menyeluruh dengan fokus pada kepentingan pasien.
Peran dari tim multidisiplin ini mulai dari pemeriksaan sampai penatalaksanaan,
maintenance maupun pencegahan/prevensi. Siapa saja dapat masuk dalam tim
multidisiplin yakni dokter umum, perawat, pekerja sosial, terapis okupasional, psikolog,
psikiater, neurolog, internist/geriatrician, kardiolog dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan
pasien. Peran dari perawat psikiatri komunitas dan day care hospital sangat penting
untuk memonitor kesembuhan pasien dan mencegah relaps.
Deteksi dini depresi pada pasien dengan gangguan/penyakit fisik yang disertai
dengan intervensi optimal akan memperbaiki prognosis pasien dan mencegah
terjadinya disabilitas yang akan membuat pasien menderita berkelanjutan. Depresi
dapat dan bisa diobati, apakah itu terjadi bersama-sama penyakit lain atau tersendiri.
Pendekatan multidisiplin dengan fokus pada kepentingan pasien harus menjadi
perhatian bagi seluruh anggota tim. Kesejahteraan jiwa pasien, harapan-harapan pasien
dan kehidupan sosialnya sebaiknya juga diupayakan terpenuhi di samping upaya
penyembuhan penyakitnya.
Meskipun gangguan depresi dengan komorbiditas tidak mudah untuk dikenali
dan diterapi, namun melalui pendidikan dan penyampaian informasi yang berkelanjutan
tentang penyakit serta kerja sama tim multidisiplin yang baik akan memberikan
manfaat bagi pasien, terutama kualitas hidupnya akan membaik dan paling tidak
193
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
pasien usia lanjut dapat bebas dari depresi jika penyakit fisiknya memang sudah
tidak dapat disembuhkan lagi.
Daftar pustaka
1. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry,
10th Edition, 2007 Lippincott Williams & Wilkins, p 1354.
2. Lovestone S., Howard R. Depression in Elderly People. London, Martin Dunitz Ltd.
1997.
3. Alexopoulos G.S. Late-life Mood Disorders in Comprehensive textbook of Geriatric
Psychiatry edited by Sadavoy J.et al. W.W. Norton & company, 2004, p. 609-53.
194
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Aris Sudiyanto
Depresi lanjut usia merupakan gangguan afek pada pasien lanjut usia. Gangguan
ini seringkali tidak dideteksi dokter oleh karena berbagai hal, pada hal gangguan
tersebut sering dijumpai di masyarakat. Oleh karena itu pemahaman untuk deteksi
dini dan penetalaksanaannya menjadi suatu hal yang perlu diketahui para dokter.
Deteksi dini depresi lansia dapat dilakukan dengan mengenal secara lebih baik
tanda dan gejala depresi yang dialami pasien lanjut usia, terutama tanda dan gejala
awal depresi. Penatalaksanaan depresi lansia meliputi psikoterapi, psikofarmaka,
dan terapi fisik.
Psikoterapi untuk pasien lansia yang mengalami depresi di antaranya konseling
eklektik, logoterapi, terapi perilaku kognitif, dan psikoterapi dinamik singkat.
Psikofarmaka untuk depresi lansia dapat diberikan obat antidepresan dengan dosis
rendah dan dipilih yang aman, diantaranya fluoxetin, venlafaksin, dan esitalopram.
Terapi fisik untuk depresi lansia dapat diberikan terapi kejang listrik dengan
pengawasan dan syarat yang ketat.
195
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
196
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
The incidence of sepsis is relatively higher in the elderly. Severe sepsis in the
elderly older is a major public health problem especially in countries with larger portion
of aging population. Clinical studies have shown that many factors influence the
increasing risk of infection and sepsis in older patients.
Immunosenescence is widely described as important cause of altered
pathophysiology of sepsis in the elderly. Immunosenescence that reduces the capacity
of innate as well as adaptive immune system could change immune responses like
pro and anti-inflammatory responses, lymphocytes functions and cytokines production.
The adaptive immune system is coordinated by T-lymphocyte cells, the activation
that is required for the initiation, maintenance and termination of responses against
microbial pathogens. Changes in the expression and functions of the T-cell receptor
for antigen and its co-receptors are closely associated with susceptibility to infection
and with severity of sepsis, as well.
Low grade inflammation caused by disparities in response to stimulation in human
aging like blunted fever response, augmented by underlying diseases and (multi)
drug therapy may cause difficulty in clinical diagnosis of sepsis and late of treatment
in the septic elderly. Therefore, diagnostic criteria of sepsis based on the recent
guidelines is sometimes difficult to be implemented in the older patients.
197
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
198
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Sepsis in Elderly
A. Guntur H
Abstract
The aging world population will increase the incidence and mortality of severe sepsis.
The impact of immunosenescence on innate and acquired immunity is associated
with relative immunologic depression that may favor the spreading of inflammation.
Severe sepsis is a common problem associated with substantial mortality and a
significant consumption of healthcare resources. The number of cases per year,
currently estimated at 750 000 in the US alone, is expected to increase at a rate of
1.5% per year, and an increasingly significant proportion of these patients will be
elderly. Incidence of sepsis in adult patients in Dr. Moewardi hospital (2009), is 384
and 37.8% is the old age. The majority of patients were male (52.6%) with the most
underlying diseases is Pneumonia (24.5%). Older persons are more prone to infections
due to the effects of aging, comorbidities, use of invasive devices, and problems
associated with institutionalization. The diagnosis of sepsis in this population can be
difficult, as older patients may have atypical responses to sepsis and may present
with delirium or falls, thus delaying therapeutic interventions that may influence their
outcome. There is a tendency to treat older persons less aggressively; however, it is
important to consider criteria other than just chronological age, such as recent
performance level, quality of life, comorbidities, and patient preference, when determining
the aggressiveness of care. Future studies should focus on both short- and long-term
outcomes of older patients, such as their ability to achieve previous physiological
status and social independence, in addition to their risk of mortality after an event of
severe sepsis.
Key words: sepsis, elderly.
Pendahuluan
Pertumbuhan manusia berkembang menjadi tua ternyata diikuti pula oleh organ
di dalam tubuh. Organ dalam tubuh berkembang fungsi dan efisiensinya dibandingkan
pada saat muda, sebagai contoh glandula timus yang mengsekresikan hormon-hormon
penting pada saat pertumbuhan. Pada lanjut usia glandula timus mengsekresikan
thimik hormon yang makin lama makin menurun (Muszkat et al, 2003). Dampak
immunosenescence tentang kekebalan bawaan dan yang diperoleh berhubungan
dengan depresi imunologi relatif yang dapat mendukung penyebaran peradangan.
Pasien lansia juga telah meningkatkan jalur apoptosis yang dapat berkontribusi terhadap
kejadian kematian akibat sepsis. Jaringan peradangan-koagulasi diaktifkan oleh usia,
menjelaskan keberhasilan beberapa terapi tertentu. Gambaran klinis awal sepsis di
199
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
usia lanjut dapat tidak khas tetapi perubahan patofisiologikal spesifik penuaan
meningkatkan risiko kemerosotan mendadak untuk sepsis berat dengan
pengembangan disfungsi kardiovaskular. Toleransi karakteristik tegangan berkurang
dari jaringan berusia menjelaskan tingginya insiden kegagalan multi-organ dalam pasien
tersebut. Gambaran patofisiologi dan klinis spesifik sepsis mendasari kematian
meningkat pada pasien tersebut dan mendorong penelitian tentang strategi terapi
dengan manfaat khusus untuk pasien usia lanjut dengan sepsis.
Angka kejadian
Sepsis berat adalah masalah umum yang terkait dengan kematian yang tinggi
dan konsumsi sumber daya kesehatan yang signifikan. Jumlah kasus per tahun,
saat ini diperkirakan sebesar 750.000 di Amerika Serikat saja, diperkirakan akan
meningkat pada tingkat 1,5% per tahun, dan proporsi yang semakin signifikan pasien
ini akan menjadi tua. Usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi karena efek penuaan,
penyakit penyerta, penggunaan alat invasif dan masalah yang terkait dengan
pelembagaan.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Pasien Sepsis dan Pengunjung Rawat Inap RSUD DR. Moewardi
Pasien Hidup Pasien Meninggal Total
Penderita sepsis 188 Dewasa Anak 597
384 25
Pengunjung Rawat Inap 26,097 2,288 28,385
Jumlah pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2009 sebanyak 28.385
orang. Jumlah penderita sepsis 597, angka kejadian sepsis di RSUD Dr. Moewardi
2,1%. Jumlah total pasien yang meninggal 2.288 orang atau 8,06% dari jumlah total
pasien rawat inap. Jumlah pasien menderita sepsis 597 orang dan yang meninggal
karena sepsis sebanyak 409 dengan rincian pasien dewasa 384 orang dan anak 25
orang. Dari kematian total di rumah sakit sebanyak 2.288, angka kematian karena
sepsis berjumlah 409 orang (17,87%). Jumlah penderita sepsis sebanyak 597, dan
yang meninggal karena syok septik sebanyak 409 (68,5%).
Angka kejadian sepsis pasien umur >60 tahun sebanyak 37,8%, dengan pasien
laki-laki 52,6% dan dengan underlying diseases terbanyak adalah Pneumonia (24,5%).
Kejadian sepsis banyak terjadi pada umur >60 tahun (37,8%), distribusi pasien
berdasarkan usia selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Dengan mayoritas jenis kelamin
laki-laki (52,6%) (Tabel 3)20
200
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Immunosenescence
Sistem kekebalan tubuh pada lansia berbeda dari pasien dewasa muda. Semua
komponen sistem kekebalan tampaknya bagaimanapun berubah pada usia lanjut.
Kekebalan bawaan sebelumnya dianggap terawat dengan baik usia lanjut, namun
studi terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam komponen ini.28 Pada lanjut
usia terjadi penurunan kapabilitas produksi limfosit yang berfungsi sebagai Immune
Surveilance. Dengan menurunnya fungsi dan jumlah limfosit tersebut maka terjadi
penurunan pula reaksi terhadap antigen baik yang berada dalam tubuh atau yang
masuk ke dalam tubuh manusia termasuk kuman-kuman yang masuk ke dalam
tubuh yang lebih mudah menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Terhadap infeksi
responnya juga berkurang, kenyataannya pada lanjut usia apabila mengalami infeksi
bakteri 20% tidak disertai panas tetapi pada saraf sentral sangat sensitif terhadap
rangsangan sinyal bakteri. Pada kenyataannya bahwa kurang efektifnya sistem imun
memudahkan terjadinya infeksi dan menyebabkan kematian pada lanjut usia, dan
juga penderita lanjut usia sering mengalami infeksi yang berat (kritis) bila mengalami
infeksi dibandingkan dengan usia dewasa atau usia muda. Atrofi timus yang
berhubungan dengan usia menentukan pergeseran dari sel T naif untuk sel memori T
yang dapat dikaitkan dengan pergeseran di lingkungan sitokin dan peningkatan
karakteristik sitokin sel Th2.16
201
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Table 1. Immunosenescence
Innate Immunity L function of macrophages
L expression of TLRs
L function of mitogen-activated protein kinases
L production of TNF-alpha and IL-6
K production of IL-10
L bactericidal activity
T-cells L naive cells
K memory cells CD45Ro+
L function of mitogen-activated protein kinases
L type 1 cytokine response (IL-2, TNF-alpha)
K type 2 cytokine response (IL-4, IL-10)
B-cells L number of B-cells and plasma cells
K polyspecific immunoglobulins with low affinity produced by B1-cells
L response to neoantigens
202
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dan jaringan lunak.37 Organisme yang paling sering ditemukan adalah bakteri Gram-
negatif, tetapi telah terjadi peningkatan pesat dalam kejadian infeksi cocci Gram
positif.26 Peningkatan prevalensi mungkin karena institusionalisasi pasien menua dan
penggunaan awal antibiotik spektrum yang luas, yang dipilih untuk mematikan dan
strain yang lebih tahan.
Terapi
Goal directed therapy (Terapi cairan)
Sebuah studi acak baru-baru ini menunjukkan penurunan kematian yang signifikan
jika resusitasi awal dimulai segera setelah sepsis berat terdiagnosis, dengan target
tekanan vena sentral antara 8-12 mmHg, mean arterial pressure >65 and <90 mmHg,
produksi output urin >0.5mL/kg/h dan Central venous oxygen saturation (ScvO2)
>70%.32,18 Sasaran ini dicapai dengan terapi cairan, agresif dan hemotransfusi. Sasaran
ini mungkin harus tetap sama pada pasien lanjut usia dan ada beberapa pertimbangan
tentang cara-cara untuk mencapai target ini. Output jantung meningkat diperlukan
selama sepsis dapat diperoleh pada pasien lansia terutama dengan meningkatkan
output sistolik, karena denyut jantung meningkat kurang dari pada yang muda;
takikardia mungkin tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan pada output jantung
karena disfungsi diastolik berkaitan dengan penuaan.29 Mekanisme utama yang tersedia
pada pasien lansia untuk meningkatkan output sistolik efek Starling yang dihasilkan
oleh peningkatan preload ventrikel kiri.29 Oleh karena itu penting untuk menjaga
pengisian jantung yang memadai ketika pasien lansia perlu meningkatkan cardiac
output-nya, selama sepsis. Meskipun kelebihan pemberian cairan harus dihindari,
tetapi kekurangan cairan juga harus dihindari, oleh karena itu jumlah cairan bebas
intravena harus dilakukan pemantauan tekanan vena sentral selama resusitasi awal
untuk mempertahankan perfusi organ dan mengingat bahwa pasien yang lebih tua
sering mengalami dehidrasi.
Target level hemoglobin apabila belum terdapat hipoperfusi jaringan, pendarahan
aktif dan penyakit arteri koroner harus 7-9 g/dL sesuai dengan konsensus yang
dipublikasikan pada tahun 1999.22 Jika hipoperfusi sedang berlangsung target
hemoglobin akan menjadi sekitar 10 g/dL.32 Pada keadaan infark miokard kadar
hemoglobin sebaiknya 10-11g/dL dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang
tinggi.38 Usia lanjut memiliki prevalensi tinggi penyakit arteri koroner yang sering tidak
diketahui, pertimbangan ini harus bertujuan pada target hemoglobin yang tepat.
Antibiotic therapy
Pada pasien lanjut usia seringkali sulit untuk mengidentifikasi sumber infeksi
karena kurangnya gejala terkait dengan beberapa jenis infeksi seperti yang melibatkan
saluran kemih. Terapi antibiotik empiris pada sepsis harus dimulai dalam waktu satu
jam setelah sampling kultur. Karena terapi awal antibiotik yang tidak memadai dikaitkan
203
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dengan hasil yang buruk di segala usia, terapi awal antibiotik harus memiliki spektrum
yang luas terhadap semua kemungkinan patogen.21 Tingginya angka kejadian sepsis
karena mikroorganisme multiresisten pada pasien usia harus menuntun pilihan terapi
empiris awal terhadap terapi kombinasi dengan menggunakan antibiotik yang aktif
melawan mikroorganisme tersebut.
Seringkali sepsis disebabkan oleh mikroorganisme multiresisten pada pasien lanjut
usia.15 Mereka merupakan flora mikroba pada pasien lanjut usia setelah mendapat
paparan antibiotik berulang karena kondisi komorbid, keadaan immunocompromised,
tinggal di rumah jompo, masuk rumah sakit berulang dan penggunaan perangkat invasif.
Apabila sudah terdapat hasil kultur dan sensitivitas dilakukan deeskalasi dan
disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitas (antibiotika yang rasional).
Komunitas medis membutuhkan pemahaman peningkatan penyerapan obat,
metabolisme hati dan variasi respon obat pada usia lanjut. Hal ini jelas bahwa obat
diekskresikan dari tubuh, khususnya melalui ginjal, berubah pada usia lanjut
[Rajagopalan], yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal, yang didominasi
usia mendasari penurunan klirens obat.
Karena ginjal sebagian besar bertanggung jawab atas ekskresi beberapa antibiotik,
penyesuaian dosis dan pemantauan kadar obat dalam serum mungkin diperlukan untuk
obat-obatan tertentu pada pasien usia lanjut. Pengujian tingkat kreatinin darah hanya
bisa meremehkan atau melebih-lebihkan fungsi ginjal pasien dan kreatinin clearance
karena itu akan menjadi penilaian fungsional yang lebih baik kapasitas ginjal mereka.
Antibiotik tertentu yang berhubungan dengan peningkatan efek samping pada pasien
usia lanjut (Tabel 1).30 Interaksi obat juga meningkat pada usia lanjut, namun hal ini
merupakan konsekuensi dari sejumlah besar obat yang digunakan, bukan usia.
Nutrisi
Salah satu perubahan fisiologis penuaan salah satunya adalah penurunan tajam
dalam hal penciuman pada usia 70 tahun, kemampuan untuk merasakan asam, pahit,
204
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
asin dan manis juga mengalami penurunan,23 yang berpengaruh pada penurunan
kenikmatan saat makan, sehingga memperparah anoreksia penuaan. Nutrisi pada
prinsipnya diberikan untuk meningkatkan kondisi tubuh dan respon imun secara umum.
Terdiri dari glutamine, nukleutida lemak, omega-3 dapat diberikan melalui enteral dan
parenteral ditambah dengan mikronutrien yang terdiri dari vitamin terutama yang
mempunyai peran ganda juga sebagai antioksidan.
Activated protein C
Sebuah uji coba secara acak yang diterbitkan pada tahun 2001 menunjukkan
penurunan yang signifikan pada mortalitas ketika activated protein C digunakan dalam
pengobatan sepsis berat dan syok septik. Manfaat tersebut melibatkan pasien usia
lanjut sebagai akibat dari sepsis berat terkait kelainan koagulasi. Pedoman
internasional menyarankan mengobati pasien sepsis berisiko tinggi untuk kematian
(APACHE skor >25), dengan syok septik, disfungsi minimal dua organ dan sepsis-
induced ARDS dengan activated protein C.11 Farmakodinamika activated protein C
termasuk efek antikoagulan, profibrinolytic, anti-inflamasi dan anti-apoptosis.
Mekanisme ini mungkin sangat bermanfaat mengingat patofisiologi sepsis pada usia
lanjut yang berhubungan dengan perubahan dari koagulan dan apoptosis sistem
fibrinolitik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Glucose control
Pedoman internasional merekomendasikan untuk menjaga kadar glukosa darah
<150 mg/dL dengan infus intravena kontinu insulin dan glukosa.11 Pada konsensus
sebelumnya menunjukkan penurunan yang signifikan dalam mortalitas saat kadar
glukosa darah terjaga antara 80 dan 110 mg/dL pada periode pasca operasi.36 Kadar
glukosa tinggi dapat merusak respon kekebalan dan meningkatkan koagulopati terkait
sepsis. Surviving sepsis campaign mengusulkan target kadar gula darah yang lebih
tinggi untuk menghindari risiko hipoglikemia.11 Risiko tersebut terutama sering terjadi
pada pasien sepsis lansia menggunakan infus insulin, sehingga target 150 mg/dL
tampaknya lebih aman pada pasien tersebut.
Kortikosteroid
Steroid, ibuprofen dan obat-obatan lainnya juga telah digunakan dalam upaya
untuk menghentikan respon inflamasi, dengan kurangnya keseluruhan bermakna positif
hasil-klinis.7,5 Kelainan dalam produksi kortisol adrenal memprediksi angka kematian
sangat tinggi pada sepsis,2 dan sebuah dokumen penelitian terbaru bahwa dosis
rendah steroid mungkin manfaat dalam beberapa kasus sepsis refrakter.3
205
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
yang tidak tepat obat-obatan ini dapat menunda penyapihan dari ventilasi mekanis.24,13
Sedatif dan analgesik harus diberikan di bawah pengawasan skala sedasi,
menggunakan regimen intermiten bolus atau interupsi harian sedasi infus kontinu.11
Benzodiazepin dapat menghasilkan reaksi paradoks pada pasien usia lanjut dengan
kecemasan dan agitasi psikomotor. Obat neuroleptik ditunjukkan dalam kasus delirium
pada pasien sepsis usia.
206
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
efek langsung dari radikal bebas pada sistem protein kontraktil. Misalnya, perubahan
radikal bebas yang dimediasi dalam fungsi mitokondria bisa mengubah lingkungan
intraselular, secara tidak langsung mempengaruhi fungsi protein kontraktil. Disfungsi
mitokondria, bagaimanapun, akan terutama diharapkan mempengaruhi protein kontraktil
dengan mengubah hidrogen dan konsentrasi fosfat anorganik dalam sitosol.
207
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
- Gender.
- Usia.
- Infeksi nosokomial.
- Komorbiditas.
- Penyakit parah.
Walaupun studi populasi telah menunjukkan bahwa usia lanjut memiliki angka
kematian yang tinggi berhubungan dengan sepsis berat, penting untuk klinisi
memisahkan prognosis umum dari populasi pasien yang lebih tua secara individu.
Usia kronologis saja tidak boleh digunakan baik untuk memprediksi hasilnya atau
menentukan pilihan pengobatan bagi pasien. Walaupun usia merupakan faktor penting
yang digunakan untuk memprediksi lama tinggal di ICU, angka kematian meningkat
diamati pada pasien dengan sepsis berat lebih tua dianggap karena komorbiditas
meningkat di antara kelompok ini:14
- Neoplasma yang menyebar (43,4%).
- Penyakit hati kronik (37,1%).
- Neoplasma yang tidak menyebar (36,9%).
- Penyakit ginjal kronik (36,7%).
- Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) (32,1%).
Daftar pustaka
1. Angus D, Wax RS. Epidemiology of sepsis: An update. Crit Care Med 2001;29 (suppl.
7):109-16.
2. Annane D, Sebille V, Troche G et al. A 3-level prognostic classification in septic shock
based on cortisol levels and cortisol response to corticotropin. JAMA 2000;283:1038-
45.
3. Annane D. Effects of the combination of hydrocortisone (HC)-fludro-cortisone (FC) on
mortality in septic shock. Crit Care Med 2000;28 (Suppl.):A63.
208
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
209
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
22. Hebert, P.C.; Wells, G.; Blajchman, M.A.; Marshall, J.; Martin, C.; Pagliarello, G.;
Tweeddale, M.; Schweitzer, I.; Yetisir, E. (1999) N. Engl. J. Med., 340, 409-417.
23. Jensen GL, McGee M, Binkley J. Nutrition in the elderly. Gastroenterol Clin North Am
2001;30:313-34.
24. Kress, J.P.; Pohlman, A. S.; O'Connor, M.F.; Hall, J.B. (2003) N. Engl. J. Med., 342,
1471-1477.
25. Linde-Zwirble WT, Angus DC, Carcillo J et al. Age-specific incidence and outcome of
sepsis in the US. Crit Care Med 1999;27:A33.
26. Martin GS, Mannino DM, Moss M. Epidemiology shifts in sepsis in the United States.
Am J Respir Crit Care Med 2002;(In press).
27. Muszkat, et.al. 2003. Local and systemic immune response in nursing-home elderly
following intranasal or intramuscular immunization with inactivated influenza vaccine.
Vaccine 21: 1180-1186.
28. Opal, S.O.; Girard, D.T.; Ely, E.W. 2005. Clin. Inf. Dis., 41, S504-S512.
29. Port, S.; Cobb, F.R.; Coleman, R.E.; Jones, R.H. (1980) N. Engl. J. Med., 303, 1133.
30. Rajagopalan S, Yoshikawa TT. Antimicrobial therapy in the elderly. Med Clin North Am
2001;85:133-47,vii.
31. Rangel-Frausto MS, Pittet D, Costigan M et al. The natural history of the systemic
inflammatory response syndrome (SIRS). A prospective study. JAMA 1995;273:117-23.
32. Rivers, E.; Nguyen, B.; Havstad, S.; Ressler, J.; Muzzin, A.; Knoblich, B.; Peterson, E.;
Tomlanovich, M. (2001) N. Engl. J. Med., 344, 699-709.
33. Sands KE, Bates DW, Lanken PN et al. Epidemiology of sepsis syndrome in 8
academic medical centers. Academic Medical Center Consortium Sepsis Project
Working Group. JAMA 1997;278:234-40.
34. Stump TE, Callahan CM, Hendrie HC. Cognitive impairment and mortality in older
primary care patients. J Am Geriatr Soc 2001;49:934-40.
35. U. Sharmila. et al. 2004.Oxidant-Antioxidant Status In Colorectal Cancer Patients-
Before And After Treatment. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 2004, 19 (2) 80-83
36. van den Berghe, G.; Wouters, P.; Weekers, F.; Verwaest, C.; Bruyninckx, F.; Schetz, M.;
Vlasselaers, D.; Ferdinande, P.; Lauwers, P.; Bouillon, R. (2001) N. Engl. J. Med., 345,
1359-1367.
37. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. New Engl J Med
1999;340:207-14.
38. Wu, W.C.; Rathore, S.S.; Wang, Y.; Radford, M. J.; Krumholz, H. M. (2001) N. Engl. J.
Med., 345, 1230-1236.
210
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Pendahuluan
Oksigen sangat dibutuhkan untuk memproduksi energi mitokodria suatu rantai
transport electron, menggunakan oksigen untuk mengoksidasi molekul-molekul lain
dan menciptakan energi dari adenosine triphosphat. Dalam proses ini oksigen di
reduksi menjadi air dan ROS (Reaktive Oxygen Spesies). Produksi ROS yang
berlebihan merupakan penyebab reaksi toksik pada pasien-pasien kritis dan
bertanggung jawab terhadap terjadinya proses menua.1,2
Superoxide Dismutase (SOD) adalah pengangkut radikal-radikal bebas (Free
Radical Scavenger) yang sering disebut sebagai antioksidan (ditemukan tahun
1969 oleh McCord Fridovich). Ketidakseimbangan dalam produksi ROS dan
produksi anti oksidan menimbulkan stres oksidatif.2,3,4 (Istilah-istilah yang dapat
dilihat pada tabel I).
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa stres oksidatif muncul pada penyakit
-penyakit kritis khususnya pada sepsis, syok, disfungsi organ, ARDS dan DIC.1,2,5,6
Pada pasien ARDS tingginya kadar plasma nutrien yang mengandung anti oksidan
merupakan bukti terjadinya stres oksidatif.4,5,5,7 Pankreatitis akut dan kelemahan otot
diafragma juga merupakan keadaan-keadaan yang diakibatkan perusakan sel oleh
ROS.8,9,10 Beberapa penyakit kritis yang berhubungan dengan perusakan oleh ROS
dapat dilihat di tabel 2.
Tabel I
ISTILAH DEFINISI
Radikal Bebas Suatu substansi satu atau lebih elektron-elektron yang tidak
berpasangan di orbit luarnya sehingga sangat mudah terjadi
reaksi dengan substansi-substansi lain dan bertanggung jawab
terhadap reaksi-reaksi kimiawi di dalam badan yang
Reaktif oxygen Spesies ( ROS) menyebabkan kerusakan-kerusakan sel.
Substansi / molekul-molekul atau atom atom yang terbentuk dari
reduksi oksigen. Dapat berbentuk radikal bebas atau non radikal,
sebagaian besar sekarang dikenal sebagai super okside(O2),
Oksidasi Hidrogen peroxide (H2O2) dan Hydroxyl radikal (OH-).
Reduksi Kehilangan elektron-elektron pada reaksi-reaksi kimia.
Reduksi –oksidasi (redox) Peningkatan elektron-elektron pada reaksi-reaksi kimia.
Istilah yang dipakai untuk mengatakan keadaan keseimbangan
dari reduksi dan oksidasi yang mengakibatkan kehilangan dan
Stres Oksidatif peningkatan elektron-elektron selama reaksi-reaksi kimia
211
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Stres Oksidatif Suatu kondisi di mana terjadi akumulasi radikal-radikal bebas atau
ketidakmampuan antioksidan-antioksidan melawan akumulasi
radikal-radikal bebas yang mengakibatkan ketidakseimbangan
diantara produksi spesies oksigen reaktif dan perlindungan
antioksidan-antioksidan.
Antioksidan Substansi aktif yang dapat menurunkan akumulasi radikal-radikal
bebas dengan menghilangkan mereka atau melawan efek
perusakan mereka terhadap sel.
(Dikutip dari 1)
Septic Shock
Acute Respiratory Distrress Syndrome (ARDS).
Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC).
Multiple Organ Disfunction (MOF).
‘ Luka bakar
Penyakit kardiovaskular
Diabetes Melitus
Trauma
Reperfusion Injury
Kanker
212
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Formasi ROS
Dalam proses kimiawi, molekul bisa mengalami reduksi atau oksidasi. Molekul
dengan elektron bebas dapat berpasangan dengan molekul yang menjadi donasi
elektron. Molekul yang menjadi donasi elektron mengalami oksidasi, sedang molekul
yang menerima elektron mengalami reduksi. Proses reduksi dan oksidasi dapat
menimbulkan banyak molekul yang tidak stabil dan bebas untuk berpasangan dengan
molekul lain yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan pada membran sel, protein
dan DNA. Molekul inilah yang disebut radikal bebas.1,12,13,14,15
Pada keadaan homeostasis, proses reduksi dan oksidasi ini seimbang.
Keseimbangan reduksi-oksidasi (redox) dipertahankan oleh pertahanan fisiolosis seperti
enzim-enzim spesialis dan antioksidan. Enzim-enzim dan antioksidan ini akan
menghilangkan atau menonaktifkan radikal bebas.1,214,15 Beberapa enzim dan
antioksidan dapat dilihat di tabel 3.
Kemampuan enzim dan antioksidan dapat menurun pada peningkatan
pembentukan radikal bebas atau penurunan daya tahan karena akumulasi radikal
bebas.12,13,14,15,16
ROS adalah molekul-molekul atau atom-atom yang terbentuk oleh reduksi oksigen
dan dapat berbentuk radikal bebas dan non radikal. Dalam sel radikal bebas dapat
terbentuk oleh energi radiasi, metabolisme obat-obatan, metabolisme normal dan
transmisi logam seperti cuprum (Cu++) dan ferum (Fe+).17,18,19 ROS yang paling
sering adalah superoxide (O2 ), hydrogen peroxide (H2O2) dan hydroxil radical (OH+).
Sistem Komponen
Enzym Superoxide Dismutases (SOD).
Catalase (CAT).
Peroksidases.
Sistem Glutathion.
Sistem Thioredoxin Reductase.
Sistem Lipoamide.
Non Enzym Thiol.
Vit C.
Urat.
Vit E.
Vit A dan Carotense
Ubiquinones dan Ubiquinol.
213
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Stres oksidatif juga merusak DNA dengan cara memutuskan rantai modifikasi
basis dan membuat “Cross Linking”. Radikal hydroxyl dapat menyerang thymine,
merubah struktur kimianya, memindahkan dari basisnya. Modifikasi thymin dan
perubahan DNA tersebut dapat dideteksi melalui pemeriksaan urin dan ini merupakan
indikasi adanya aktifitas oksidasi (stres oksidatif).31
Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh ROS dapat dilihat pada tabel 4.
214
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
215
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
peroksidase menghasilkan glutathione disulfide dan air. Dengan reaksi lain glutathione
disulfide akan kembali dubah menjadi glutathione, system ini akan meregenerasi
glutathione untuk seterusnya.6,7,8,9 Stres oksidatf dapat merusak generasi tersebut
dan membentuk akumulasi H2O2 yang sangat toksik Kadar selenium juga dipakai
untuk mendeteksi adanya stres oksidatf.
Vitamin-vitamin juga merupakan antioksidan Vit C (1000mg/hari) menurunkan
proses lipid peroksidasi dan menurunkan kadar H2O2, Jadi Vit C merupakan
antioksidan yang sangat efektif.16
Vit E (Litocopherol) merupakan antioksidan terlarut lemak yang sangat penting
untuk mencegah lipid peroksida. Vit E dapat melindungi poliunsaturated asam lemak
dalam membran sel sehingga tidak dapat di autocatalisa oleh reaksi lipid peroksidase.
Di luar membran sel, vit E merupakan anti oksidan yang jelek.28 Diluar sel, plasma
dan sel darah merah memiliki antioksidan yang berkualitas. Saat O2 masuk dalam
sel lekosit maka katalase akan menghancurkan radikal bebas. Sel Eritrosit dapat
meningkatkan produksi glutatim peroksidase, jadi dapat mencegah kerusakan sel
oleh ROS. Maka perbaikan Hb pada pasien-pasien krits sangat membantu
penyembuhan.44
Pada pasien-pasien kritis terjadi peningkatan kadar ROS dan atau penurunan
kemampuan pertahanan antioksidan. Dengan menggunakan indikator-indikator biologis
pada tabel 5, dapat dipantau terjadinya stress oksidatif dengan memantau peningkatan
ROS, kadar antioksidan (alpha tocoferol, bethacaroten, selenium) dan aktifitas enzim
(SOD, Catalase, Glutathion). Masih terus diperlukan penelitian-penelitian klinis untuk
menentukan mana indikator-indikator yang paling spesifik dan sensitif untuk
mengetahui terjadinya stres oksidatif. Sistem antioksidan badan berubah menjadi
bekerja berlebihan pada pasien-pasien dengan penyakit kritis. Kadar oksidan secara
drastis meningkat dengan penurunan perfusi jaringan dan menginduksi respon umum.
ROS dapat menstimulasi terjadinya inflamasi dengan cara meningkatkan kadar sitokin
(Interleukin, TNF) dan adhesi sel. Sel endotel di stimulasi untuk meningkatkan
216
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
217
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Anoeto dkk meneliti pada tikus dengan penyakit restriktif paru dan defisiensi vit
E ternyata terjadi penurunan kontraktilitas diafragma saat terjadi peningkatan stres
oksidatif dan penurunan Glutathion peroxidase. Fatigue berkurang bila diberi tambahan
vit E, N asetilsistein dan ROS scavenger spesifik.41,42,43,44
Pada studi lain, lidocain ternyata bisa berfungsi sebagai antioksidan. Untuk terapi
disfungsi diafragma yang menginduksi hiperoksia dan menginduksi sepsis pada
hamster. Lidocain dapat menghentikan lipid peroksidase. Fatigue diafragma ternyata
muncul pada tikus bila dilakukan resistif kronik; ini mungkin sama terjadi pada manusia
bila memakai ventilatar dengan ‘weaning’ terlalu lama.50,51,52
Penyakit lain yang sering menjadi pemberat pada sepsis adalah diabetes melitus
(DM). Petanda-petanda plasma lipid peroksidase jauh lebih tinggi kadarnya pada pasien
-pasien DM dibanding yang tidak DM.29 Kerusakan DNA empat kali lebih banyak
terjadi pada pasien DM.35 Hiperglikemi berperan terhadap terjadinya stres oksidatif
dengan memproduksi ROS pada saat terjadi auto oksidasi glukosa. Peningkatan
akut kadar gula darah dapt menekan produksi antioksidan dan natural seperti
glutathione eritrositik. Penurunan glutathione eritrositik berkorelasi negatif terhadap
pengontrolan gula darah (penurunan HbA1c). Dua Scavenger : SOD dan katalase,
dapat mencegah terjadinya disfungsi endotel akibat hiperglikemia dan penurunan respon
vasodilatasi terhadap NO. SOD mempotensiasi efek NO dan melawan efek negatif
hiperglikemi pada fungsi endotel.29,35
218
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ini belum ada data yang dipublikasikan mengenai efek potensiasi tindakan keperawatan
terhadap terjadinya stres oksidatif.1 Dibutuhkan lebih banyak penelitian agar bisa
menjadi panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan keperawatan, agar tidak
memicu atau menambah stres oksidatif pada pasien-pasien kritis. Juga diperlukan
penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuat panduan pemberian nutrisi yang dapat
membantu pasien kritis melawan stres oksidatif yang terjadi. Salah satu yang sangat
penting dan kritis adalah pemakaian ventilator. Pemakaian ventilator yang lama
menyebabkan fatigue diaphragma. Fatigue diaphragma dapat dicegah dan diperbaiki
dengan memberikan vasodilator (Dopamin dosis rendah) untuk memperbaiki aliran
darah ke diafragma.53 Pemberian suplemen vit E dapat mencegah terjadinya
aterosklerosis; sehingga bisa juga dipakai mencegah dan memperbaiki fatigue
diaphragma; terutama pada pasien-pasien defisiensi vit E (pemakai alkohol, malnutrisi,
ikterik kronik).1,53
Diperlukan penelitian penelitian klinis lebih lanjut dan lebih banyak untuk dapat
menentukan jenis suplementasi dan kombinasi suplemen apa yang dibutuhkan; berapa
dosis yang tepat untuk membantu pasien-pasien kritis mencegah dan memperbaiki
stres oksidatif; agar tidak terjadi terlalu banyak obat/suplemen yang akhirnya dapat
memicu terjadinya stres oksidatif. Bila telah diteliti dan dipublikasikan dapat dijadikan
standar antioksidan (berdasar evidence based) terapi antioksidan untuk pasien sepsis,
syok, ARDS, luka bakar yang luas dlll penyakit kritis.
Penelitian lain memberikan terapi SOD dan katalase pada tikus-tikus sepsis
karena meningoencefalitis. Ternyata pemakaian SOD dan catalase dapat memperbaiki
kondisi sepsis dan menurunkan angka kematian secara bermakna bila dibanding
plasebo.54
Obat-obat lain seperti beta bloker, ACE inhibitor dan statin tenyata juga mempunyai
efek antioksidan pada penyakit-penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan DM.1
Penelitian Bela dkk (2001) telah membuktikan pada pasien-pasien kritis yang
masuk ICU mempunyai kadar oksidan yang sangat tinggi dan kadar SOD yang sangat
rendah. Penelitian ini membuktikan pemberian SOD dapat menurunkan angka kematian
dan mengurangi LOS (Long of Stay) di ICU.
Kesimpulan
Konsep ROS menujukkan peran yang sangat penting pada patofisiologi pada
pasien-pasien kritis. Pada pasien-pasien kritis stres oksidatif dapat menimbulkan
respon inflamasi yang berat dan membuat kerusakan sel yang pada akhirnya
meningkatkan angka kematian. Berbagai penelitian menujukan korelasi positif antara
stres oksidatif dan terjadinya pemburukan/kematian pasien-pasien kritis di ICU.
Scavenger-Scavenger seperti SOD, katalase, Glutathion peroxidase dan antioksidan
alami (vit C, vit E, vit A) mempunyai peranan yang sangat penting untuk menghentikan
proses stres oksidatif dan menurunkan angka kematian.
Pengertian yang lebih dalam mengenai pembentukan ROS dan akibat dari stres
oksidatif sangat dibutuhkan dan penting untuk para perawat/dokter yang berdinas di
ICU; agar mencegah terjadinya stres oksidatif akibat tindakan-tindakan di ICU.
219
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
220
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Daftar pustaka
1. Bruch CD, Pierce JD. Oxidative stress in critically patients. Am J Crit Care 2002;11
:543-61.
2. Gutteridge J, Mitchell J. Redox imbalance in the critically ill. Br Med Bull. 1999;55:49-
75.
3. Supinski G. Free radical induced respiratory muscle dysfunction. Mol Cell Biochem.
1998;179:99-110.
4. Bernard GR, Wheeler AP, Arons MM, et al. A trial of antioxidants Nacetylcysteine and
procysteine in ARDS. The Antioxidant in ARDS Study Group. Chest. 1997;112:164-72.
5. Laurent T, Markert M, Feihl F, Schaller MD, Perret C. Oxidant-antioxidant balance in
granulocytes during ARDS: effect of N-acetylcysteine. Chest. 1996;109:163-166.
6. Ortolani O, Conti A, De Gaudio AR, Masoni M, Novelli G. Protective effects of N-
acetylcysteine and rutin on the lipid peroxidation of the lung epithelium during the
adult respiratory distress syndrome. Shock. 2000;
7. De Rosa SC, Zaretsky MD, Dubs JG, et al. N-acetylcysteine replenishes glutathione in
HIV infection. Eur J Clin Invest. 2000;30:915-929.
8. Kasielski M, Nowak D. Long-term administration of N-acetylcysteine decreases
hydrogen peroxide exhalation in subjects with chronic obstructive pulmonary disease.
Respir Med. 2001;95:448-456.
9. Heller A, Groth G, Heller S, et al. N-acetylcysteine reduces respiratory burst but
augments neutrophil phagocytosis in intensive care patients. Crit Care Med.
2001;29:272-276.
10. Pugliese P. The skin, free radicals, and oxidative stress. Dermatol Nurs. 1995;7:316-
369.
11. Fuhrman MP, Herrmann VM, Smith GS. Reactive oxygen species and glutathione:
potential for parenteral nutrition supplementation? Nutr Clin Pract. 1999;14:254-263.
12. Lawler JM, Powers SK. Oxidative stress, antioxidant status, and the contracting
diaphragm. Can J Appl Physiol. 1998;23:23-55.
13. Halliwell B. Antioxidants in human health and disease. Annu Rev Nutr. 1996;16:33-
50.
14. Espat NJ, Helton, WS. Oxygen free radicals, oxidative stress, and antioxidants in critical
illness. Support Line. April 2000;22:11-20.
15. Oldham KM, Bowen PE. Oxidative stress in critical care: is antioxidant supplementation
beneficial? J Am Diet Assoc. 1998;98:1001-1008.
16. Schorah CJ, Downing C, Piripitsi A, et al. Total vitamin C, ascorbic acid, and
dehydroascorbic acid concentrations in plasma of critically ill patients. Am J Clin Nutr.
1996;63:760-765.
221
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
17. Metnitz PGH, Bartens C, Fischer M, Fridrich P, Steltzer H, Druml W. Antioxidant status in
patients with acute respiratory distress syndrome. Intensive Care Med. 1999;25:180-
185.
18. Ehlers R, Hernandez A, Bloemendal L, et al. Mitochrondrial DNA damage and altered
membrane potential in pancreatic acinar cells induced by reactive oxygen species.
Surgery. 1999;126:148-155.
19. Cotran R, Kumar V, Collins T. Pathologic Basis of Disease. Philadelphia, Pa: WB
Saunders; 1999:12-14.
20. Parkinson D. Oxygen free radicals: in search of a unifying theory of disease. Intensive
Crit Care Nurs. 1995;11:336-340.
21. Montuschi P, Corradi M, Ciabattoni G, Nightingale J, Kharitonov SA, Barnes PJ.
Increased 8-isoprostane, a marker of oxidative stress, in exhaled condensate of asthma
patients. Am J Respir Crit Care Med. 1999;160:216-220.
22. Pugliese PT. The skin’s antioxidant systems. Dermatol Nurs. 1998;10:401-416.
23. Shindoh C, DiMarco A, Thomas P, Manubay P, Supinski G. Effect of Nacetylcysteine on
diaphragm fatigue. J Appl Physiol. 1990;68:2107-2113.
24. Repine JE, Bast A, Lankhorst I. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary
disease. The Oxidative Stress Study Group. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:341-
357.
25. Fenech AG, Ellul-Mechallef R. Selenium, glutathione peroxidase and superoxide
dismutase in Maltese asthmatic patients: effect of glucocorticoid administration. Pulm
Pharmacol Ther. 1998;11:301-308.
26. Corbucci GG, Gasparetto A, Candiani A, et al. Shock-induced damage to mitochondrial
function and some cellular antioxidant mechanisms in humans. Circ Shock.
1985;15:15-26.
27. Griendling K, Ushio-Fukai M. Redox control of vascular smooth muscle proliferation. J
Lab Clin Med. 1998;132:9-15.
28. Schoonover LL. Oxidative stress and the role of antioxidants in cardiovascular risk
reduction. Prog Cardiovasc Nurs. Winter 2001;16:30-32.
29. Giugliano D, Ceriello A, Paolisso G. Oxidative stress and diabetic vascular
complications. Diabetes Care. 1996;19:257-267.
30. Hafez HM, Berwanger CS, McColl A, et al. Myocardial injury in major aortic surgery. J
Vasc Surg. 2000;31:742-750.
31. Siciarz A, Weinberger B, Witz G, Hiatt M, Hegyi T. Urinary thiobarbituric acid-reacting
substances as potential biomarkers of intrauterine hypoxia. Arch Pediatr Adolesc Med.
2001;155:718-722.
32. Weinstein T, Chagnac A, Korzets A, et al. Haemolysis in haemodialysis patients:
evidence for impaired defence mechanisms against oxidative stress. Nephrol Dial
Transplant. 2000;15:883-887.
222
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
223
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
48. Diaz PT, She ZW, Davis WB, Clanton TL. Hydroxylation of salicylate by the in vitro
diaphragm: evidence for hydroxyl radical production during fatigue. J Appl Physiol.
1993;75:540-545.
49. Lawler JM, Cline CC, Hu Z, Coast JR. Effect of oxidative stress and acidosis on
diaphragm contractile function. Am J Physiol. 1997;273 (2 pt 2): R630-R636.
50. Supinski G, Nethery D, Stofan D, Hirschfield W, DiMarco A. Diaphragmatic lipid
peroxidation in chronically loaded rats. J Appl Physiol. 1999;86:651-658.
51. Nishina K, Mikawa K, Shiga M, et al. Attenuation of hyperoxia-induced diaphragmatic
dysfunction with lidocaine in hamsters. Crit Care Med. 2000;28:1973-1978.
52. Kodama S, Mikawa K, Nishina K, Maekawa N, Kagawa T, Obara H. Lidocaine
attenuates sepsis-induced diaphragmatic dysfunction in hamsters. Crit Care Med.
2000;28:2475-2479.
53. Pierce JD, Clancy RL, Smith-Blair N, Kraft R. Treatment and prevention of diaphragm
fatigue using low-dose dopamine. Biol Res Nurs. 2002;3:140-149.
54. Warner A,Bedosne A,Healy D,Verme C. Prognostic role antioxidant in sepsis :
Preliminary assessment.Clin Chem 1995 ;567-75.
55. Cloarec M, Caillard P et al. Glisodin, a vegetal SOD with gliadin,as preventive agent
vs atherosclerosis, as comfirmed with carotd altrasound b-imaging. European Annals
of Alergy, 2007 ;11 : 657-61.
224
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
225
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
ini tidak menentu. Perubahan serupa telah dikaitkan dengan gejala dispepsia dan
nyeri kramp pada pasien irritable bowel syndrome dan juga berperan pada bacterial
overgrowth syndrome yang lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut.
Disfagia
Disfagia adalah salah satu keluhan esofageal yang sering ditemukan pada usia
lanjut dan terdiri dari 2 tipe yaitu;
a. Disfagia orofaringeal: kesulitan memulai menelan. Kelainan ini disebabkan oleh
berbagai macam kondisi neuromuskular dan kelainan struktural lokal.
b. Disfagia esofageal: adalah kelainan disebabkan oleh gangguan yang mengenai
esofagus sendiri misalnya gangguan motilitas, obstruksi mekanis dan efek obat-
obatan.
Anamnesis yang baik tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat
penting untuk diagnosis. Konsul bagian THT untuk mencari penyebab di bidang tersebut
226
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
dan pemeriksaan dengan Barium enema, endoskopi dan manometri dapat membantu
menentukan penyebab yang mendasari keluhan tersebut. Terapi sesuai dengan
penyebab yang ditemukan.
GERD
Gerd adalah gangguan kronik pada usia lanjut dengan prevalensi sekitar 20%.
Gejala-gejala atipik /tidak khas seperti muntah, nyeri dada, batuk kronik, sesak mengi
(wheezing) dan disfagia bisa terjadi. Esofagitis terutama sekali memberat pada usia
lanjut. Pemeriksaan untuk investigasi meliputi; barium swallow, endoskopi saluran
cerna atas, pemeriksaan PH 24 jam ambulatoir dan manometri. Pengelolaan meliputi;
modifikasi gaya hidup, farmakoterapi dengan antasida, H2 reseptor bloker, penghambat
pompa proton dan obat prokinetik. Pembedahan dilakukan pada kasus yang tidak
respon/intractable misalnya adanya striktura.
Konstipasi
Konstipasi adalah masalah yang umum terjadi dengan prevalensi 24-40% pada
usia lanjut di populasi. Konstipasi fungsional bisa disebabkan oleh disfungsi kolon
yang berkaitan dengan proses menua, transit time kolon yang memanjang, obat-
obatan dan lain-lain. Rectal outlet delay bisa disebabkan oleh hilangnya fungsi sfingter,
kelemahan otot dasar panggul (pelvis) dan penyakit-penyakit saraf seperti parkinson
dan penyakit mengenai korda sakralis. Anamnesis riwayat penyakit dengan baik
sangat penting dalam mengevaluasi penyebab konstipasi pada usia lanjut, terutama
227
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
frail elderly. Pemeriksaan laboratorium meliputi foto polos abdomen, barium enema,
kolonoskopi dan tes fungsi anorektal.
Komplikasi konstipasi pada usia lanjut meliputi; inkontnesia fekal, impaksi fekal,
stercoral ulcer dengan perforasi, tretensio urin, volvulus sigmoid, dan prolaps rektal.
Pengelolaan dengan diet, edukasi, aktifitas fisik dan kebiasaan tidak menunda BAB.
Farmakoterapi dengan bulk laksatif, senna, hiperosmoler laksatif seperti sorbitol,
laktulosa mungkin diperlukan. Rektal outlet delay diobati dengan manual disimpaksi;
supositoria, seperti gliserin dan enema juga bisa membantu. Inkontinence fekal di
rawat dengan mengatasi impaksi fekal jika ada, training untuk kebiasaan BAB, enema
dan supositoria.
Daftar pustaka
1. Karen E Hall, John W Wiley. Age-associated changes in gastrointestinal function,
Principles of geriatric medicine and gerontology, eds, William R Hazzard, et al, 4th
edition, Mc Graw-Hill, 1999, 835-842.
2. Michael firth, Charlene M Prather. Gastrointestinal motility problems in the elderly
patient, Gastroenterology 2002; 122:1688-1700
3. A L D’Souza. Ageing and the gut. Postgad Med J 2007;83:44-53.
4. Christopher K Rayner and Michael Horowitz. Changes in gastrointestinal motor and
sensory function associated with aging. Medicine in old age . Gastro disorders. Priciples
and practice of geriatric medicine, 4th edition. Edited by MS John Pathy, Alan J Sinclair,
John E Morley, 2006 John Wiley & Sons.LTD, 357-369.
5. Kenneth Ingram, Philip O Katz, Richard H Davis. Geriatric GERD: Maximising outcomes
for a unique patient population. A supplement to the journal of the american academy
of physician assistants. Oktober 2007; 1-14.
228
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Hirlan
229
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
230
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
penahan bila bila terapi dengan dosis 2 kali sehari memberikan perbaikan. Kegagalan
terapi dengan dosis 2 kali sehari mengharuskan dokter meninjau kembali diagnosis
awal. Pilihan terakhir adalah menambahkan obat-obat analgetik pada terapi PPI, setelah
pengulangan evaluasi terhadap diagnosis awal tetap memberikan kesimpulan NERD.
EGD ulangan biasanya tidak dianjurkan. Esofagitis erosif ringan sampai sedang
diperlakukan sama seperti NERD, hanya saja evaluasi dengan EGD dimungkinkan.
Esofagitis erosif berat dan esofagus Barret biasanya menggunakan PPI dosis 2
kali sehari sebagai terapi initial, selama 12 minggu. Dilanjutkan dengan terapi penahan
bila pada evaluasi 12 minggu terjadi perbaikan. Kadang-kadang diperlukan tindakan
operatif bila tidak dijumpai perbaikan pada akhir terapi initial. Akhir-akhir ini
dikembangkan terapi endoskopi tetapi belum banyak dilaksanakan di pusat-pusat
pelayanan kesehatan karena terapi endoskopi tidak sesuai dengan tujuan dan
patofisiologi GERD. Menurunkan kadar keasaman dan bila mungkin menghilangkan
sensitivitas mukosa esofagus merupakan sesuatu yang amat penting.
GERD pada orang tua mempunyai beberapa hal khusus yang agak berbeda
dengan GERD pada dewasa muda. GERD merupakan kelainan mukosa esofagus
yang paling sering terjadi pada orang tua dan kejadian GERD pada orang tua lebih
tinggi bila dibandingkan populasi normal. Keluhan GERD pada orang tua biasanya
tidak nyata. Selain itu GERD pada orang tua lebih sering diikuti dengan penyakit
komorbid sehingga lebih sulit dikenali. Pada sisi yang lain, di antara populasi usia
tua kejadian keganasan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan populasi
dewasa muda. Berdasar pada pemikiran tersebut, sebaiknya diagnosis GERD pasien
usia tua selalu berdasarkan pada hasil pemeriksaan EGD. Perbedaan lain antara
GERD pada dewasa muda dan usia tua terdapat pada pengelolaan. PPI sebaiknya
tidak diberikan untuk jangka lama pada setiap pasien tua. Terapi penahan dengan
PPI jangka lama tidak dianjurkan.
Daftar pustaka
1. Chan MS, Yeh RW, Triadafilopoulos G. GERD in the elderly. In. Fass R (edt). Hot topic
GERD/dyspepsia: 2004: pp143-160
2. Dekel R, Fass R. Non erosive reflux disease. In. Fass R (edt) Hot Topic. GERD/
Dyspepsia; 2004 pp 101-118
3. Gross DP, Cruz-Correa M, Canto MI et al. The adoption of ablation therapy for Barrett’s
esophagus: A cohort study of Gastroenterologist. Am J Gastroenterol. 2002; 97: 279-286
4. Oviedo JA and wolfe MM. Erosive esophagitis. In Fass R. edt. Hot topic GERD/dyspepsia;
2004: pp83-100
5. Sonnenberg A. Epidemiologic Aspects in the occurrence and natural History of
Gastroesophageal Reflux disease. In Fass R edt. Hot Topic GERD/Dyspepsia; 2004:
pp 1-22
6. Joseph S and Hirano I. Gastroesophageal reflux disease: Diagnosis. In. Fass R edt.
Hot Topic GERD/Dyspepsia; 2004: pp 41-54.
231
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
232
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Makalah Bebas
233
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
234
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
Djoko Trihadi
Background. Recent clinical trials have shifted attention away from estrogens and toward
androgens and sex hormone-binding globulin (SHBG) as potential mediators of increasing
cardiovascular (CV) risk in elderly and women at midlife.
Methods. The correlation between reproductive hormones and CV risk factors was
evaluated in Elderly >60 year old (Chinese, and Javanese) sample of 329 premenopausal
and perimenopausal women. Testosterone and estradiol (E2) were evaluated along with
SHBG and the free androgen index (FAI), the amount of testosterone not bound by SHBG.
Results. Low SHBG and high FAI were strongly and consistently related to elevated CV risk
factors (higher insulin, glucose, and hemostatic and inflammatory markers and adverse
lipids) even after controlling for body mass index (P< 0.001 for all). Low levels of E2 were
associated with elevated CV risk factors to alesser degree. These observations were
consistent across the 5 previous studies. Compared with adults and perimenopausal women,
the Elderly had higher levels of SHBG and higher levels of FAI (p <0,001).
Conclusions. Low SHBG and high FAI are strongly associated with CV risk factors in man
elderly diverse women and Adults, and thus, androgens likely play a role in the CV risk
profile of perimenopausal women and elderly
Key word: sex hormone, free androgen, elderly, cardiovascular risk.
235
Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011
1
STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
2
Geriatric Division of Internal Medicine Department ,
Medical Faculty Diponegoro University / Dr. Kariadi Hospital Semarang
Background. Elderly community health care (posyandu lansia) plays an important role as
the basis of holistic and continuous care for the elderly. Visitations of the elderly to the
elderly community health care are influenced by predisposing factors, enabling factors and
reinforcing factors. Number of elderly at the Tamantirto Village’s many as 11.3%, but have
not been accompanied by a high coverage of the utilizations, whereas 6 of 9 posyandu still
have coverage below 50%.
Purpose. This study aimed to prove that the predisposing factors (age, education, occupation,
socio-economic conditions, knowledge, and attitudes), enabling factors (facilities, access,
cadre and health workers services), reinforcing factors (social role of the elderly, family
role) affected on elder people visitations to the elderly community health care.
Methods. The study design is an analytic observational with case-control method. The
cases are the elderly members of the elderly community health care (aged >60 years old)
who actively visited the elderly community health care during the last 3 months. The controls
are elderly members of the elderly community health care (aged >60 years old) who did
not actively visit during the last 3 months. The research sample is 52 cases and 52 controls.
The quantitative data was gathered by interviews, while the qualitative data was gathered
by Focus Group Disscussion.
Results. The result of research shows that factors influenced on elder people visitations to
the elderly community health care are age of >71 years old, OR: 4.6 (95% CI 1.5 to 14.1),
not working, OR: 8.1 (95% CI 2.1 to 31.1), good attitude, OR: 3 (95% CI 1.1 to 8.8), good
facilities, OR: 5.4 (95% CI 1.4-21), good service of cadres and health workers, OR: 6.5
(95% CI 1.9 to 21.6), and a good family role, OR: 3.2 (95% CI 1.1 to 9, 6). Factors that did
not affect on elder people visitations to the elderly community health care are the level of
education, socio-economic conditions, knowledge, access, and social role of the elderly.
Conclusions. The factors that have been proved influenced on elder people visitations to
the elderly community health care are age of >71 years old, not working, good attitude,
good facilities, good service of cadres and health workers, and a good family role.
Key words: the elderly community health care, actively visit, factors influenced.
236