You are on page 1of 11

Nama : Cristina G Silalahi

NIM : 090701035
Tugas : Kajian Drama Indonesia I

TEATER TRADISIONAL DAN PERKEMBANGANNYA

Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat


Indonesia. Hal ini terbukti dengan sudah adanya teater tradisional di
seluruh wilayah tanah air. Fungsi teater pada saat itu adalah
sebagai:

1. pemanggil kekuatan gaib,


2. menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
3. memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat,
4. peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan
kegagahan/kepahlawanan,
5. pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat
hidup seseorang, dan
6. pelengkap upacara untukk saat tertentu dalam siklus waktu.

Teater yang berkembang di kalangan rakyat disebut teater


tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer.
Teater tradisional bersifat improvisasi yang sifatnya supel , artinya
dipentaskan di sembarang tempat. Teater tradisional oleh Kasim
Ahmad di klasfikasikan menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut :

1. Teater Rakyat
Teater tradisional atau teater rakyat, lahir di tengah-tengah
rakyat dan masih menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan
keagamaan. Artinya pertunjukan hanya dilaksanakan dalam kaitan
dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan, selamatan
dan sebagainya. Yang menanggung semua pembiayaan adalah
yang punya hajat dan dapat ditonton gratis oleh undangan dan
masyarakat. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman
rumah, kebun, balai desa, tanah lapang dan seterusnya.
Sifat teater rakyat ini sama seperti halnya teater tradisional.
Contoh teater rakyat adalah:
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu
di Jawa Barat,
6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan
Jemblung di Jawa Timur,
8) Cekepung di Lombok,
9) Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya.

2. Teater Klasik (keraton)


Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah
teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan
yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat
(penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan. Sifat
feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Para seniman dihidupi oleh
raja dengan menjadi pegawai kerajaan yang mendapat tugas
religius dan tugas mengangkat kebesaran atau kemuliaan sang raja.
Contohnya Wayang Kulit, Wayang Orang, Wayang Golek, dan
Langendriya. Ceritanya statis, tetapi memiliki daya tarik berkat
kreatifitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupkan
lakon.

Teater ini mempunyai arti segala sesuatunya sudah teratur, dengan


cerita, pelaku yang terlatih , gedung pertunjukkan yang memadai.
Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan dengan sifat feodalistik.
Contoh-contohnya wayang kulit, wayang orang, dan wayang golek .

3. Teater Transisi
Merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional,
tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Jenis
teater ini adalah Komidi Stambul, Sandiwara Dardanella, Sandiwara
Srimulat.

Kecenderungan Mutakhir
Ada beberapa kecenderungan mutakhir drama di Indonesia
yaitu Drama Eksperimental seperti karya Rendra berikut ini :
a. Drama non-konvensional seperti karya Akhdiat dan Putu
Wijaya.
b. Drama absurd, seperti karya-karya Iwan Simatupang dan
Arifin C. Noer.
c. Eksisitensialisme, eperti karya-karya Iwan Simatupang,
Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya.
d. Kehidupan gelandangan, seperti karya-karya Iwan
Simatupang dan Arifin C. Noer.
e. Teater lingkungan dan warna daerah, seperti karya Akhdiat
yang memadukan teater modern dengan kentrung (Bengkel Muda
Surabaya) ; Wisran Hadi yang mengetengahkan ciri dari teater
tradisional Minangkabau; Teater Jeprik Yogya yang memasukkan
tarian ketoprak dan gamelan Jawa dalam teater lingkungan yang di
eksperimenkan.
f. Kritik sosial, baik yang keras (seperti karya-karya Rendra)
ataupun yang halus (seperti karya-karya N. Riantiarno akhir-akhir
ini).

Teater Modern
Teater modern merupakan teater yang bersumber dari teater
tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater
Barat. Jenis teater seperti Komedi Stambul, Sandiwara Dardanela,
Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater
modern. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama
dengan Ludruk atau Ketoprak, jenis ceritanya diambil dari dunia
modern. Musik, dekor, dan properti lain menggunakan teknik Barat.
Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa teater sudah
membudaya dalam kehidupan bangsa kita. Dalam teater, penonton
tidak hanya disuguhi pengetahuan tentang baik/buruk, dan
indah/jelek, tetapi ikut menyikapi dan melihat action. Kalau
mungkin, jika siswa-siswa berteater, mereka melaksanakan tiga
matra tujuan mengajar menurut Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Sebab itulah penggunaan teater dalam media
pendidikan semakin populer.
Menurut Sumardjo (2004:101) periodisasi teater modern
adalah:
1. Masa perintisan (1885-1925)
a. Teater bangsawan (1885-1902)
b. Teater stamboel (1891-1906)
c. Teater opera (1906-1925)
2. Masa kebangkitan (1925-1941)
a. Teater Miss Riboet’s Oreon (1925)
b. Teater Dardanela opera (1926-1934)
c. Awal teater modern di Indonesia (1926)
3. Masa perkembangan (1942-1970)
a. Teater zaman Jepan
b. Teater tahun 1950-an
c. Teater tahun 1960-an
4. Masa Teater mutakhir (1970-1980-an)
Akhir-akhir ini banyak keluhan karena bengkrutnya grup-grup
teater tradisional. Di zaman modern ini para pengelola grup
kesenian dituntut kemampuan yang lebih canggih, tidak hanya
kemampuan dalam bidang kesenian atau penyutradaraan.
Kemampuan manajemen perusahaan, kemampuan pemasaran,
kemampuan psikologi massa untuk membaca selera penonton
sangat diperlukan. Seniman-seniman teater tradisional kini juga
sudah semakin sedikit jumlahnya karena ditinggalkan oleh mereka
yang senior. Nama-nama besar seperti Cokro Jiyo, Markuat,
Atmonadi, Basiyo, Narto Sabdo, dan sebagainya kini telah tiada.
Siswo Budoyo dengan Siswondo dan Jusuf Agil juga mengalami
kehancuran karena dua tokoh itu telah tiada.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang
menggunakan naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam
kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern.
Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra
Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita
kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer,
Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya.
Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk
menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan
organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup grup-grup
teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan
impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang
masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater
meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di
Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh
dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak,
dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari
perguruan tinggi lain di Surakarta.
Teater-teater sekolah marak tumbuh. Begitu juga teater di
perguruan tinggi. Setiap fakultas biasanya memiliki group teater
karena ditunjang oleh dana kemahasiswaan yang memadai. Hal ini
menyebabkan lahirnya dramawan-dramawan muda yang penuh
idealisme dan banyak berpikir pentas yang disertai dengan diskusi-
diskusi tentang drama dan teater. Pertanyaannya, seberapa besar
peran kita (teater kampus) dalam dunia perteateran Indonesia?
Teater Modern di Indonesia hingga saat ini dipahami
sebagai teater yang menggunakan naskah tertulis untuk
membedakannya dengan teater tradisional yang
menggunakan naskah lisan secara turun temurun. Itu
pulalah sebabnya, mengapa Bakdi Sumanto menyebut teater
Gandrik sebagai teater “post-tradisi”. Pengertian ini
menjadi sangat tidak memadai lagi, karena teater
tradisional sejak dilaksanakan berbagai festival teater
rakyat-tradisional pertengahan tahun tujuh puluhan
memuncak di tahun delapan puluhan, dan berkembangnya
media televisi, mulai memberlakukan naskah-naskah yang
bukan berasal dari sastra lisan, tetapi mengembangkan
naskah-naskah yang aktual dari persoalan-persoalan sosial
ada. Untuk itu, tidak pada tempatnya lagi untuk memandang
konsepsi teater dari bagaimana teks lakon dipergunakan.

Maka, teater modern di Indonesia dapat ditelusuri dari


bagaimana aktor dan sutradara memposisikan dirinya dalam
teater. Teater modern di Indonesia adalah teater dengan
posisi aktor dan sutradara tidak lagi memiliki penafsir
tunggal. Hal ini telah dimulai oleh Putu Wijaya yang
membangun kepengarangan bersama dalam melahirkan
teaternya. Hal ini tidak terdapat pada Rendra (Bengkel
Teater), Arifin C Noer (Teater Kecil), Teguh Karya (Teater
Populer), Nano Riantiarno (Teater Koma) maupun Suyatna
Anirun (Studiklub Teater Bandung). James Roose-Evans,
menyebut Jacques Copeau sebagai bapak teater modern.
Copeau dalam manifesto terakhirnya (1913), mengatakan
“Pour l’oeuvre nouvelle qu’on laisse un treteau nu!”.
Sebuah panggung yang terang, sebuah ruang kosong. Lima
puluh tahun kemudian diikuti oleh Peter Brook. Apakah
telah terjadi penyeragaman?
Istilah penyeragaman dengan munculnya teater-teater
yang tidak lagi memperlakukan tubuh seperti apa adanya,
tubuh yang distilisasi, non verbal dan seterusnya, bukanlah
bentuk penyeragaman. Semua itu proses yang lazim, yakni
sebuah penguatan atas suatu mainstream dalam
pertumbuhan teater. Pekerja teater mencoba untuk merebut
hati publiknya dengan cara yang hampir sama dengan apa
yang dilakukan teater pendahulunya. Atau, melakukan
semacam percobaan untuk sesuatu yang dipandang dapat
dieksplorasi lebih jauh. Tapi, semua itu tidak akan
berlangsung lama. Karena setiap esensi bentuk yang
dilakukan memiliki dasar historisnya sendiri. Tidak semua
orang bisa melakukannya. Memang, di sebuah festival
teater SMU di Yogyakarta pernah terjadi bentuk
penyampaian yang nyaris seperti Gandrik, tapi semua orang
tahu, bahwa itu bukan Gandrik. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari pola pertumbuhan semacam ini.

Khusus mengenai teater SAE yang dianggap melahirkan


sejumlah “pengekor”, saya sangat tidak sepakat dengan
asumsi ini. Teater SAE yang lebih dari sepuluh tahun
membangun teater, dan lahir dari Festival Teater Remaja,
lalu tidak berproduksi lagi harus dilihat sebagai suatu
persoalan alami dalam suatu gagasan teater. Saya
kebetulan berada di tengah-tengah teater ini ketika
mengalami krisis “ideologis” yang menajam. Pada waktu itu
sedang berlangsung penggarapan teater dengan judul Ayah
Telah Berwarna Hijau. Beberapa tahun kemudian, sejumlah
penggiat teater inipun sempat memainkan satu lakon yang
dipimpin oleh Bustro Q. Yoga, dipentaskan di Jakarta,
Bandung dan Surakarta. Pertanyaannya, apakah suatu
teater harus berproduksi setiap hari, setiap bulan atau
setiap tahun untuk mengatakan bahwa teater tidak
mengalami stagnasi estetik atau artistik? Disnilah persoalan
mendasar dari kekeliruan berpikir dalam teater.

Di Indonesia, boleh dikatakan ratusan teater lahir


setiap tahun. Kelahiran artistik dan estetik juga sangat luar
biasa. Ada teater dari Kalimantan dalam Pekan Seni
Mahasiswa Nasional dua tahun lalu, bermain dari tali ke tali,
bergelantungan untuk mengatakan bahwa tidak ada lagi
tanah yang bisa mereka pijak, karena seluruh hutan di
Kalimantan telah dirampas oleh para pemegang HPH. Saya
menyarankan sdr. Indra Tranggono menyaksikan teater-
teater di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta itu, teater memang
sangat sulit berkembang disebabkan oleh kuatnya pengaruh
paham sastra dalam memandang teater. Teater dilihat dari
kaca mata sastra, bukan kaca mata teater itu sendiri.
Sejarah teater di Indonesia telah berubah jauh dari apa yang
kini ditulis di buku-buku berbahasa Indonesia. Sedangkan
sejumlah buku terjemahan yang ada, mengalami kesulitan
interpretasi karena bukan merupakan bagian dari eksplorasi
teater kebayakan para pekerja teater di Indonesia. Memang
sulit bagi seorang sastrawan untuk membaca teater pada
saat sekarang ini, termasuk sdr. Shoim Anwar. Bahkan,
masyarakat secara umum pun merasa ditinggalkan oleh
gagasan teater satu dasawarsa terakhir. Kita memang
membutuhkan para kritikus teater yang mampu
menjembatani jurang yang semakin lebar tersebut.

Mengenai akar teater di Indonesia, Akhudiat mungkin


benar. Tapi, teater Indonesia tetap memiliki akar. Sedikitnya
ada tiga akar yang menjalar dalam tubuh teater modern di
Indonesia. Pertama, akar “stambulan” yang membangun
teater tradisional. Kedua, akar teater “Barat” yang
membangun prinsip teater ATNI, Asdrafi dan teater-teater
yang bercorak realisme, naturalisme, dan romantisme.
Ketiga, akar eksperimental yang melawan prinsip legitimasi
teks lakon. Ketiga akar ini bisa tumbuh secara sepihak,
tetapi dapat pula merupakan gabungan dari dua akar,
bahkan ketiga akar itu dapat berjalan beriringan. Inilah
keunikan teater modern Indonesia bila dibandingkan dengan
teater di Eropa dan Amerika, maupun teater di Asia, Afrika,
dan Australia. Khusus teater di Eropa, mereka memiliki akar
historis yang lebih jelas, terutama dengan kuatnya
hubungan mereka dengan perjalanan teater sejak era klasik
(Yunani Kuno). Diaspora teater modern Indonesia pun juga
unik, karena kebudayaan itu memang berdiri bebas tanpa
ada yang bisa menguntitnya --termasuk rezim otoriter Orde
Baru sekalipun, sampai ke akar-akarnya. Lalu, siapa bilang
terjadi “pembusukan sejarah” atau pelapukan?

Indra Tranggono mengatakan, "artinya, ide-ide estetik


maupun ide-ide sosial yang terkemas dalam kreativitas
teater, akhirnya gagal menjawab tantangan zaman,
sehingga tak terhindar untuk menjadi usang, lapuk dan
busuk". Sungguh ironis bila teater dituntut untuk mampu
menjawab tantangan zaman melalui ide-ide estetik maupun
ide-ide sosial. Ini merupakan pemikiran yang mengada-ada.
Teater tidak lahir untuk mengubah masyarakat. Di Jerman,
para salesman, tukang parkir, pegawai percetakan, politikus
mengikuti latihan teater tidak untuk mengubah masyarakat
Jerman. Mereka masuk ke teater untuk mengubah diri
mereka sendiri, agar mereka mampu menjalankan tugasnya
dengan baik. Teater yang membesar-besarkan dirinya untuk
dapat melakukan revolusi sosial atau mengubah keadaan
masyarakat adalah teater-teater omong kosong. Sama
omong kosongnya dengan teater-teater yang menyibukkan
diri dengan drama-drama yang bukan presentasi dirinya.
Peter Brook mengatakan teater dengan drama-drama
semacam itu sebagai “teater sampah”. Karena perbudakan
teks lakon itu juga melahirkan diktatoritas sutradara, dan
hilangnya otoritas aktor sebagai manusia juga dalam teater.
Seni teater adalah seni peran, pertama, terakhir dan
selamanya, jelas Granville-Barker. Atau, Jerzy Grotowski
menegaskan teater adalah pertemuan aktor dan penonton,
tidak perlu ada tata rias bahkan panggung sekalipun.

Modal dasar teater adalah manusia yang memandang


dan menjalani kehidupannya. Bukan yang lain. Kalau modal
manajemen teater itu soal lain. Selama ini memang terjadi
juga kerancuan dalam membedakan mana yang teater, dan
mana yang manajemen teater. Karena pekerja teaternya
merangkap untuk mencari uang, mencari penonton, mencari
sponsor, dan mencari penulis untuk membicarakan
teaternya. Sehingga, teater tidak dilihat dari kemungkinan
eksploratif yang terjadi, tetapi bagaimana perburuan untuk
menghidupi para pekerja teater tersebut. Hal ini memang
tidak terpisahkan dengan kebijakan besar negara dalam
memandang kesenian, termasuk teater. Pemerintah tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk membangun
kehidupan teater.

Akhirnya, memang cukup menarik bila memandang


gejala yang baru saja tumbuh di Indonesia dengan ikut
sertanya sejumlah artis menjadi aktor dalam teater. Rendra
pernah melakukannya di tahun 1987, ketika menampilkan
Zoraya Perucha dalam lakon Oidipus Rex karya Sophocles di
Balai Sidang Senayan Jakarta. Namun demikian, gejala yang
baru saja muncul di Jakarta itu, lebih merupakan suatu tarik
menarik dan upaya menghilangkan kesan, bahwa artis yang
bermain di sinetron itu hanya jual tampang. Mereka ingin
mengatakan, bahwa gue juga bisa akting lho. Dan, itu belum
merupakan tradisi baru, atau pengaruh teater instan. Bila
Royal Theatre Shakespeare London di pertengahan tahun
delapan puluhan juga memainkan para artis dalam
pertunjukannya, barangkali seperti yang dikatakan
Akhudiat, yakni adanya kejenuhan dari penonton. Tapi, di
Indonesia, penonton tidak mengalami kejenuhan. Yang
terjadi adalah ketidaktahuan. Begitu pula dalam
memandang teater modern di Indonesia yang penuh
ketidaktahuan. Dan, itulah teater modern Indonesia.

You might also like