Professional Documents
Culture Documents
NIM : 090701035
Tugas : Kajian Drama Indonesia I
1. Teater Rakyat
Teater tradisional atau teater rakyat, lahir di tengah-tengah
rakyat dan masih menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan
keagamaan. Artinya pertunjukan hanya dilaksanakan dalam kaitan
dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan, selamatan
dan sebagainya. Yang menanggung semua pembiayaan adalah
yang punya hajat dan dapat ditonton gratis oleh undangan dan
masyarakat. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman
rumah, kebun, balai desa, tanah lapang dan seterusnya.
Sifat teater rakyat ini sama seperti halnya teater tradisional.
Contoh teater rakyat adalah:
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu
di Jawa Barat,
6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan
Jemblung di Jawa Timur,
8) Cekepung di Lombok,
9) Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya.
3. Teater Transisi
Merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional,
tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Jenis
teater ini adalah Komidi Stambul, Sandiwara Dardanella, Sandiwara
Srimulat.
Kecenderungan Mutakhir
Ada beberapa kecenderungan mutakhir drama di Indonesia
yaitu Drama Eksperimental seperti karya Rendra berikut ini :
a. Drama non-konvensional seperti karya Akhdiat dan Putu
Wijaya.
b. Drama absurd, seperti karya-karya Iwan Simatupang dan
Arifin C. Noer.
c. Eksisitensialisme, eperti karya-karya Iwan Simatupang,
Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya.
d. Kehidupan gelandangan, seperti karya-karya Iwan
Simatupang dan Arifin C. Noer.
e. Teater lingkungan dan warna daerah, seperti karya Akhdiat
yang memadukan teater modern dengan kentrung (Bengkel Muda
Surabaya) ; Wisran Hadi yang mengetengahkan ciri dari teater
tradisional Minangkabau; Teater Jeprik Yogya yang memasukkan
tarian ketoprak dan gamelan Jawa dalam teater lingkungan yang di
eksperimenkan.
f. Kritik sosial, baik yang keras (seperti karya-karya Rendra)
ataupun yang halus (seperti karya-karya N. Riantiarno akhir-akhir
ini).
Teater Modern
Teater modern merupakan teater yang bersumber dari teater
tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater
Barat. Jenis teater seperti Komedi Stambul, Sandiwara Dardanela,
Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater
modern. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama
dengan Ludruk atau Ketoprak, jenis ceritanya diambil dari dunia
modern. Musik, dekor, dan properti lain menggunakan teknik Barat.
Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa teater sudah
membudaya dalam kehidupan bangsa kita. Dalam teater, penonton
tidak hanya disuguhi pengetahuan tentang baik/buruk, dan
indah/jelek, tetapi ikut menyikapi dan melihat action. Kalau
mungkin, jika siswa-siswa berteater, mereka melaksanakan tiga
matra tujuan mengajar menurut Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Sebab itulah penggunaan teater dalam media
pendidikan semakin populer.
Menurut Sumardjo (2004:101) periodisasi teater modern
adalah:
1. Masa perintisan (1885-1925)
a. Teater bangsawan (1885-1902)
b. Teater stamboel (1891-1906)
c. Teater opera (1906-1925)
2. Masa kebangkitan (1925-1941)
a. Teater Miss Riboet’s Oreon (1925)
b. Teater Dardanela opera (1926-1934)
c. Awal teater modern di Indonesia (1926)
3. Masa perkembangan (1942-1970)
a. Teater zaman Jepan
b. Teater tahun 1950-an
c. Teater tahun 1960-an
4. Masa Teater mutakhir (1970-1980-an)
Akhir-akhir ini banyak keluhan karena bengkrutnya grup-grup
teater tradisional. Di zaman modern ini para pengelola grup
kesenian dituntut kemampuan yang lebih canggih, tidak hanya
kemampuan dalam bidang kesenian atau penyutradaraan.
Kemampuan manajemen perusahaan, kemampuan pemasaran,
kemampuan psikologi massa untuk membaca selera penonton
sangat diperlukan. Seniman-seniman teater tradisional kini juga
sudah semakin sedikit jumlahnya karena ditinggalkan oleh mereka
yang senior. Nama-nama besar seperti Cokro Jiyo, Markuat,
Atmonadi, Basiyo, Narto Sabdo, dan sebagainya kini telah tiada.
Siswo Budoyo dengan Siswondo dan Jusuf Agil juga mengalami
kehancuran karena dua tokoh itu telah tiada.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang
menggunakan naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam
kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern.
Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra
Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita
kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer,
Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya.
Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk
menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan
organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup grup-grup
teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan
impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang
masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater
meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di
Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh
dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak,
dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari
perguruan tinggi lain di Surakarta.
Teater-teater sekolah marak tumbuh. Begitu juga teater di
perguruan tinggi. Setiap fakultas biasanya memiliki group teater
karena ditunjang oleh dana kemahasiswaan yang memadai. Hal ini
menyebabkan lahirnya dramawan-dramawan muda yang penuh
idealisme dan banyak berpikir pentas yang disertai dengan diskusi-
diskusi tentang drama dan teater. Pertanyaannya, seberapa besar
peran kita (teater kampus) dalam dunia perteateran Indonesia?
Teater Modern di Indonesia hingga saat ini dipahami
sebagai teater yang menggunakan naskah tertulis untuk
membedakannya dengan teater tradisional yang
menggunakan naskah lisan secara turun temurun. Itu
pulalah sebabnya, mengapa Bakdi Sumanto menyebut teater
Gandrik sebagai teater “post-tradisi”. Pengertian ini
menjadi sangat tidak memadai lagi, karena teater
tradisional sejak dilaksanakan berbagai festival teater
rakyat-tradisional pertengahan tahun tujuh puluhan
memuncak di tahun delapan puluhan, dan berkembangnya
media televisi, mulai memberlakukan naskah-naskah yang
bukan berasal dari sastra lisan, tetapi mengembangkan
naskah-naskah yang aktual dari persoalan-persoalan sosial
ada. Untuk itu, tidak pada tempatnya lagi untuk memandang
konsepsi teater dari bagaimana teks lakon dipergunakan.