You are on page 1of 12

Mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi Jum’at, 26 Maret 2011

EKOSISTEM AKUATIK (RAWA) SEBAGAI SUMBER


DAYA PANGAN IKAN PROTEIN HEWANI

Kelompok 10:
Irani Rachmawati I14104012
Anna Febritta Intan Sari I14104023
Maharani Julfrina Rahma I14104035

Asisten Praktikum:
A’immatul Fauziyah
Yulia Puspita

Penanggung Jawab Praktikum:


Dr. Ir. Yayuk F.Baliwati, MS

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam
pembangunan ekonomi bangsa. Status ketahanan pangan juga sering dipakai
sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk
pemenuhan ketahanan pangan tersebut dapat dilakukan dengan membangun
suatu kawasan yang bertujuan menciptakan atau meningkatkan daya guna
kawasan tersebut secara berkelanjutan. Menciptakan dayaguna dapat dilakukan
pada kawasan alami, contohnya dengan mengembangkan rawa lebak dan rawa
pening untuk usaha perikanan budidaya dan tangkap (Muthmainah 2009).
Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari
komunitas. atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan
lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Menurut Undang-undang
Lingkungan Hidup (UULH, No 23 Tahun 1997) ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup. Zat-zat anorganik dalam suatu ekosistem tetap konstan atau
seimbang karena unsur-unsur kimia esensial pembentuk protoplasma beredar
dalam biosfer melalui siklus biogeokimiawi. Contoh siklus biogeokimiawi adalah
siklus carbon, siklus oksigen, siklus nitrogen, siklus fosfor, dan siklus sulfur
(Irwan 1997).
Jumlah rawa di Indonesia luasnya sekitar 34 juta ha, dari jumlah
tersebut yang berpotensi sebesar 60 persen. Rawa adalah perairan yang cukup
luas terdapat di dataran rendah dengan sumber air berasal dari air hujan atau air
laut dan berhubungan atau tidak berhubungan dengan sungai, relatif tidak dalam,
mempunyai dasar lumpur atau tumbuhan membusuk, terdapat vegetasi baik
yang mengapung atau mencuat maupun tenggelam. Rawa memiliki berbagai
macam peran dan manfaat. Ditinjau dari aspek ekologi, rawa berperan sebagai
sumber cadangan air, menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah
sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah
sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, sumber energi, dan sumber
makanan nabati maupun hewani (Susanto 2000).
Pemahaman dalam mengelola rawa sangatlah penting. Sebaiknya
dengan mempertahankan fungsi ekologis kawasan tersebut dalam
penggunaannya untuk keperluan kehidupan seperti pemukiman, pertanian,
perikanan dan lain-lain. Pengelolaan yang bijaksana dengan melakukan
penataan ruang, dan pengawasan yang ketat dari pihak pemerintah dapat
ditentukan mana kawasan rawa yang dapat dikelola dan yang harus
dipertahankan fungsi ekologisnya. Saat ini perikanan Indonesia dalam waktu
yang relatif singkat telah mampu memberikan sumbangan yang substansial
dalam pembangunan perekonomian. Secara keseluruhan, perikanan mempunyai
peranan dan posisi vital dalam pemenuhan kebutuhan gizi protein, kesempatan
kerja, penerimaan devisa dan pengembangan wilayah (Baharsyah 1990).

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Menjelaskan tentang ciri-ciri ekosistem air tawar, yaitu rawa.
b. Menjelaskan tentang komponen dari ekosistem rawa.
c. Menjelaskan fungsi ekologi ekosistem rawa.
d. Menjelaskan potensi pangan yang terdapat pada ekosistem rawa.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri-ciri Ekosistem Rawa Terhadap Pangan


Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang
sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan pH sekitar 6, kondisi
permukaan air tidak selalu tetap. Ekosistem air tawar berupa rawa memiliki
habitat dengan ciri-cirinya adalah variasi temperatur atau suhu rendah, kadar
garam rendah, penetrasi cahaya yang kurang, dipengaruhi iklim dan cuaca di
sekitar, dan memiliki tumbuhan tumbuhan tingkat tinggi (dikotil dan monokotil),
tumbuhan tingkat rendah (alga, jamur, gulma, ganggang hijau) yang berfungsi
sebagai produsen, serta memiliki ikan air tawar yang dapat dijadikan sebagai
sumber pangan protein hewani (Irwan 1997).
Rawa pening merupakan salah satu rawa yang ada di wilayah
Kabupaten Semarang dengan luas genangan kurang lebih 2020 ha. Rawapening
terletak pada ketinggian kurang lebih 463 meter dpl, dan berada di antara
wilayah Kecamatan Banyubiru, Ambarawa, Bawen dan Tuntang. Pemanfaatan
Rawa pening selain untuk perikanan, juga untuk kegiatan irigasi, wisata dan
pembangkit tenaga listrik. Ekosistem rawa ini termasuk ekosistem air tenang
(letik) berbeda dengan hutan rawa gambut, yaitu tidak terdapatnya kandungan
gambut yang tebal dan sumber airnya berasal dari air hujan dan air sungai.
Ekosistem yang ada di rawa condong ke arah ekosistem yang subur, fluktuasi
ketinggian air dapat menjaga stabilitas dan fertilitas air. Nutrisi yang terlarut
dalam air meningkatkan produktivitas. Bila terjadi pendangkalan, maka rawa
cenderung untuk ditumbuhi vegetasi berkayu. Oleh karena itu peranan manusia
penting didalam mengendalikan pendangkalan rawa (Arika 2005).
Rawa lebak di Sumatera Selatan yang dibudidayakan untuk
pengembangan pertanian, termasuk perikanan. Luas rawa lebak yang digunakan
untuk perikanan yaitu 92171 ha, terdiri dari lebak pematang, lebak tengahan,
lebak dalam dan lebak lebung. Lebak pematang yaitu berupa sawah di belakang
perkampungan yang merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan
wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan umumnya kurang dari 1-3 bulan
dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Lebak tengahan
adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan yang memiliki
genangannya lebih dalam antara 50-100 cm selama 3-6 bulan (Muthmainnah
2009).
Bagian rawa lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah lebak
dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan dan kondisi airnya relatif masih
tetap dalam walaupun di musim kemarau. Hal ini sesuai untuk budidaya
perikanan air tawar. Sedangkan lebak dangkal dan lebak tengahan hanya sesuai
untuk pertanian tanaman pangan. Rawa lebak yang airnya sukar mengering
kecuali pada musim kemarau panjang dan disebut juga lebak lebung. Biasanya
dijadikan tempat memelihara ikan yang tertangkap. Tinggi air genangan
umumnya lebih dari 100 cm selama 3-6 bulan atau lebih dari 6 bulan
(Muthmainnah 2009).

Komponen Ekosistem Rawa


Komponen pembentuk ekosistem rawa ini terdiri dari abiotik dan biotik.
Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang berupa
medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan atau lingkungan tempat
hidup. Komponen abiotik dapat berupa suhu, air, garam, cahaya matahari, tanah
dan batu, serta iklim. Komponen biotik atau disebut dengan komponen hidup
adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen
abiotik (tidak bernyawa). Misalnya pada perairan rawa lebak lebung di Sumatera
Selatan terdapat ikan nila (Oreochromis niloticus), betok (Anabas testudineus),
sepat siam (Trichogaster pectoralis), gabus (Channa striata), ikan lele (Clarias
spp), belut (Monopterus albus), dan berbagai jenis vegetasi air dari familia
Graminae dan berbagai jenis pepohonan besar yang merupakan sumberdaya
hayati yang sangat menentukan kehidupan hewan-hewan air (Irwan 1997).
Berdasarkan, peran dan fungsinya, makhluk hidup dalam ekosistem air
tawar ini dibedakan menjadi tiga macam, yaitu autotrof, heterotrof, dan
decomposer. Autotrof merupakan komponen produsen yang terdiri dari
organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan organik dengan
bantuan energi seperti sinar matahari dan bahan kimia. Autotrof berperan
sebagai produsen. Pada ekositem rawa ini yang tergolong autotrof adalah
tumbuhan berklorofil seperti gulma dan eceng gondok. Heterotrof adalah
komponen yang terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan–bahan
organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen
heterotrof disebut juga konsumen makro karena makanan yang dimakan
berukuran lebih kecil. Golongan heterotrof adalah manusia, hewan, jamur dan
mikroba. Dekomposer atau disebut juga pengurai adalah organisme yang
menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-
bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Golongan
pengurai pada ekosistem ini adalah bentos yang berupa cacing darah atau larva
chironomid (Susanto 2000).
Penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos tidak jauh berbeda
dengan komponen biotik lainnya yaitu ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan
biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan
arus, warna, kekeruhan atau kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara
lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor
biologi yang berpengaruh adalah komposisi biotik jenis hewan dalam perairan
diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan
bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos
penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisika,
kimia dan biologi perairan (Irwan 1997).
Menurut penelitian tentang plankton di Rawa pening menyebutkan
bahwa fitoplankton lebih banyak ditemukan di bagian permukan dan tengah . hal
ini karena fitoplankton suka terhadap cahaya untuk proses fotosintesis.
Sedangkan zooplankton lebih banyak ditemukan pada semua kedalaman air,
karena mereka memiliki kemampuan untuk bergerak. Organisme di Rawa
pening misalnya Caridina laevis Heller (Udang air tawar) dan ikan nila.
Pertumbuhan ikan misalnya sangat tergantung pada ketersediaan pakannya
khususnya pakan alami. Pakan alami merupakan pakan hidup bagi larva ikan
yang mencakup fitoplankton, zooplankton, perifiton, dan bentos (Arika 2005)
Pada ekosistem ini, maka terbentuklah suatu rantai makanan. Rantai
makanan adalah peristiwa makan dan dimakan antara makhluk hidup dengan
urutan tertentu. Dalam rantai makanan ada makhluk hidup yang berperan
sebagai konsumen, dan produsen. Rantai makanan ini dimulai dari gulma atau
lumut sebagai peghasil atau produsen yang dapat dimakan oleh komponen
heterotrof berupa ikan nila. Pakan Alami dapat mempercepat pertumbuhan ikan
nila, seperti pitoplankton dan zooplankton. Selain itu ikan nila adalah jenis ikan
pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivore). Komponen heterotrof yang mati
diuraikan oleh dekomposer yang ada di air tawar berupa cacing dengan bantuan
sinar matahari membentuk komponen baru autotrof berupa gulma. Keberadaan
dekomposer sangat penting dalam ekosistem. Oleh dekomposer, hewan atau
tumbuhan yang mati akan diuraikan dan dikembalikan ke tanah menjadi unsur
hara (zat anorganik) yang penting bagi pertumbuhan tumbuhan. Aktivitas
pengurai juga menghasilkan gas karbondioksida yang penting bagi fotosintesis.
Proses rantai makanan ini selalu berjalan untuk mempertahankan kehidupan
pada ekositem air rawa. Akan tetapi, siklus dalam rantai makanan dapat berjalan
seimbang apabila semua komponen tersedia. Apabila salah satu komponen
didalamnya tidak ada maka akan terjadi ketimpangan dalam urutan makan dan
dimakan dalam rantai makanan tersebut (Susanto 2000).

Fungsi Ekologi Ekosistem Rawa


Pengelolaan sumber daya di Rawa pening, terjadi pembagian wilayah
(zonasi), pembagian wilayah bertujuan agar semua kegiatan pemanfaatan
sumber daya tidak merusak kelestarian dan tidak merugikan karena berbagai
kepentingan. Rawa pening merupakan waduk tertua di Indonesia, yang semula
merupakan rawa gambut tetapi dibendung pada tahun 1916 dan setelah
diperbesar pada tahun 1930 dibendung sekali lagi (Arika 2005). Berikut ini
merupakan gambar Rawa pening dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rawa Pening, Semarang

Luas genangan Rawapening sekitar 24,5 persen atau 613 hektar


ditumbuhi eceng gondok dan gulma lainnya. Luasan tutupan eceng gondok ini
lebih luas lagi karena kemampuan berkembangnya 2,6 kali lipat lebih cepat di
perairan bebas, hal ini menyebabkan nelayan semakin sulit mencari ikan karena
laju perahu terhambat eceng gondok. Penetrasi cahaya ke perairan terhambat
dan populasi ikan menjadi menurun karena konsentrasi oksigen menurun. Akan
tetapi sedimentasi akibat gulma air bisa dijadikan pupuk yang diambil dari dasar
danau. Gulma air secara ekologis berperan sebagi tempat berlindung dari fauna-
fauna dibawahnya dan sebagai penyerap logam berat sehingga ekosistem rawa
tersebut dapat mengurangi bahan pencemar (Arika, 2005).
Perairan Rawa pening mempunyai fungsi hidrologis sebagai kawasan
penyangga untuk menampung air dalam jumlah besar yang berasal dari curahan
hujan lebat agar tidak langsung membanjiri daratan rendah di hilir rawa. Dalam
hal ini rawa berfungsi untuk mengurangi besarnya fluktuasi aliran air yang
mengalir di perairan.sama seperti fungsi hutan di daerah pegunungan, rawa
adalah regulator aliran air tetapi daya tampung rawa jauh lebih besar. Fungsi
regulator kontuinitas aliran air ini sangat penting bagi makhluk hidup termasuk
manusia yang berdiam di hilir rawa (Arika 2005).
Rawa lebak di Sumatera Selatan memiliki berbagai jenis vegetasi air
Vegetasi air ini melalui proses fotosintesis merupakan penghasil energi untuk
metabolisme dalam kehidupan sehari-hari serta merupakan sumber energi untuk
produksi sekunder. Dalam proses fotosintesa dihasilkan oksigen untuk
pernafasan hewani yang hidup dalam ekosistem tersebut. Sumberdaya hayati
dalam ekosistem perairan lebak merupakan sumberdaya terbaru, dimana dalam
proses pembaruan diri materi mengalami daur ulang. Dengan pendauran itu
menjadikan proses pemurnian diri lingkungan karena bahan sisa dari suatu
proses akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses yang lain yang
menghasilkan zat yang berguna bagi organism yang bersangkutan. Apabila
dinamika ini terjaga dengan baik akan selalu menghasilkan energi yang dapat
dimanfaatkan untuk kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan
sepanjang tahun (Gaffar 1998).
Perubahan musim hujan dan musim kemarau yang terjadi sepanjang
tahun mengakibatkan perairan rawa lebak terdapat beberapa tipe sub habitat
penting antara lain talang rawang dan lebak kumpai. Di dalam talang rawang dan
lebak kumpai terdapat lagi tipe habitat yang disebut lebung. Lebung merupakan
sub habitat penting karena merupakan tempat perlindungan dan penyelamatan
ikan-ikan ekonomis penting tertentu pada saat datangnya musim kemarau
(Gaffar 1998).
Perikanan sebagai Sumber Daya Pangan
Perikanan perairan rawa lebak sebagai suatu kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam yang bersifat terbuka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
baik sebagai produsen mapun sebagai konsumen sebagai sumber pangan
protein hewani. Pengelolaan perikanan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pembinaan dan melindungi sumberdaya untuk kebutuhan
generasi mendatang. Perairan rawa lebak dimanfaatkan selain untuk bidang
pertanian, juga budidaya perikanan karena dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan daya jual yang bernilai tinggi. Jenis ikan yang dapat dibudidayakan
pada ekosistem ini adalah ikan nila (Gaffar 1998).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas
perikanan air tawar yang memperoleh perhatian cukup besar dari pemerintah
dan pemerhati masalah perikanan didunia, terutama berkaitan dengan usaha
peningkatan gizi masyarakat dinegara-negara yang sedang berkembang. Ikan
nila termasuk kedalam Eurihaline yaitu ikan yang mampu hidup dalam kisaran
salinitas yang luas antara 5-45 ppm dan mempunyai alat pernapasan tambahan
(abyrinthichi) berfungsi untuk mempertahankan diri untuk hidup didalam air yang
kandungan oksigennya rendah. Ikan nila juga mempunyai kelebihan antara lain
mudah berkembang biak, mempunyai tingkat toleransi terhadap lingkungan
sangat tinggi sehingga tahan terhadap perubahan lingkungan dan serangan
penyakit, dan pemakan segala (Omnivora) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
pengendali gulma air (Afliyah 1993).
Ikan nila adalah salah satu komoditas perikanan yang sangat popular
dimasyarakat, karena harganya murah rasanya enak dan kandungan proteinnya
cukup tinggi. Kandungan zat gizi ikan nila dalam 100 gram menghasilkan energi
113 Kal, protein 17 gram, lemak 4,5 gram dan vitamin A 150 SI. Asam lemak
tidak jenuh ganda pada ikan nila menyebabkan ikan menjadi sangat mudah
mengalami proses oksidasi atau hidrolisis dan enzim yang dapat menguraikan
protein menjadi putresin, isobutilamin, kadaverin sehingga menyebabkan
timbulnya bau tidak sedap atau tengik. Bentuk tubuh ikan nila secara umum
adalah memanjang dan pipih kesamping, warna agak putih kehitaman, semakin
kebagian ventral atau perut makin terang. Berikut ini merupakan gambar ikan nila
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan Nila Betina

Menurut Badan Pusat Statistika Sumatera Selatan (2008), Jumlah


masyarakat sekitar rawa lebak di Sumatera Selatan adalah 365.333 orang. Hasil
produksi ikan nila yang dihasilkan setiap 3 bulan sekali dengan berat berkisar
23043 ton (@350 gram) yaitu jumlah panen dibagi jumlah waktu panen dan
dikalikan 30 per hari, sehingga hasil produksi sehari diperoleh 192000 kg atau
549 ekor ikan nila. Kandungan energi dan protein ikan nila dalam ekosistem rawa
lebak di Sumatera Selatan sebagai sumber daya pangan dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan Energi dan Protein Ikan Nila Per Kapita Per Hari
Energi &
Produksi Energi Kap/ Hari
Jumlah BDD Protein /100g
Pangan sehari
orang % E P (g)
(Kg) E (Kal) P (g)
(Kal)
Ikan
192000 365.333 0,80 113 17 475 71
Nila

Berdasarkan hasil tabel 1, kandungan energi per kapita per hari adalah
475 kalori dan kandungan protein per kapita per hari adalah 71 gram. Daya
dukung ekosistem rawa lebak di Sumatera Selatan tersebut dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut.

Berdasarkan hasil perhitungan, rawa lebak di Sumatera Selatan memiliki


daya dukung ekosistem sebesar 193 persen. Ini menunjukkan bahwa ekosistem
rawa tersebut memiliki potensi pangan bagi masyarakat sekitar rawa lebak bagi
sumber daya pangan protein hewani.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Ekosistem rawa memiliki ciri-ciri antara lain suhu rendah, kadar garam
rendah, penetrasi cahaya yang kurang, dipengaruhi iklim dan cuaca di sekitar,
dan memiliki tumbuhan seperti jamur, gulma, alga yang berfungsi sebagai
produsen, serta memiliki ikan air tawar yang dapat dijadikan sebagai sumber
pangan protein hewani. Rawa pening dan lebak tergolong ekosistem air tenang
(letik) dan sumber airnya berasal dari air hujan dan air sungai.
Komponen pembentuk ekosistem rawa terdiri dari abiotik dan biotik.
Komponen abiotik dapat berupa suhu, air, garam, cahaya matahari, tanah dan
batu, serta iklim. Komponen biotik seperti gulma, eceng gondok, mikroorganisme
pengurai, udang dan ikan nila. Setiap komponen tersebut membentuk suatu
rantai makanan.
Rawa pening sebagai kawasan penyangga untuk menampung air dalam
jumlah besar yang berasal dari curahan hujan lebat dan sebagai regulator aliran
air tetapi daya tampung rawa jauh lebih besar. Fungsi regulator untuk kontuinitas
aliran air, sehingga sangat penting bagi makhluk hidup termasuk manusia yang
berdiam di hilir rawa. Peningkatan jumlah gulma seperti eceng gondok di rawa
pening menyebabkan penurunan jumlah ikan air tawar. Akan tetapi, Gulma air
secara ekologis berperan mengurangi bahan pencemar. Perubahan musim di
Rawa Lebak menyebabkan ada bagian tipe habitat yaitu lebung yang digunakan
sebagai tempat perlindungan ikan.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekosistem rawa lebak digunakan
sebagai sumber pangan dalam ekosistem rawa yaitu dalam 100 gram
menghasilkan energi 113 Kal, protein 17 gram, lemak 4,5 gram dan vitamin A
150 SI. kandungan energi per kapita per hari adalah 475 kalori dan kandungan
protein per kapita per hari adalah 71 gram. Rawa lebak di Sumatera Selatan
memiliki potensi pangan bagi masyarakat sekitar rawa lebak karena daya dukung
ekosistemnya sebesar 193 persen.

Saran
Jumlah eceng gondok yang meningkat di ekosistem rawa pening yang
menggangu keseimbangan ekosistem sehingga perlu adanya penanganan
seperti konservasi rawa atau memberi kontrol biologis seperti memberi ikan
grass capr yang memakan eceng gondok.
DAFTAR PUSTAKA

Afliyah S. 1993. Laporan Tahunan Perikanan Tahun 1992. Dinas Perikanan


Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Palembang.

Arika, Y. 2005. Rawapening dan Berubahnya Ekosistem. http://www. Kompas.


Com/kompas-cetak/0505/27/tanah air/1767459.html. [27 Maret 2011]

Baharsyah S. 1990. Pidato Pengarahan Menteri Muda Pertanian dalam Forum I


Perikanan, Sukabumi, 19-20 Juli 1990. Badan Litbang Pertanian-
Puslitbangkan-USAID/FRDP.

BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2008. Sumatera Selatan dalam Angka 2008.
BPS Sumatera Selatan.

Gaffar AK. 1998. Pengelolaan Perikanan Perairan Umum. Makalah disampaikan


pada Seminar Sehari Pengelolaan Lebak Lebung Berbasis Komunitas.
Palembang. 10 hal.

Irwan D. 1997. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem & Komunitas


Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.

Muthmainah D. 2009. Pendekatan Holistik dalam Pencegahan dan Pengendalian


Pencemaran Pada Perikanan Rawa Lebak. Http://dinamuthmainah.
blogspot.com/2009/12/pendekatan-holistik-dalam-pencegahan.html. [27
Maret 2011].

Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan


Nasional.

You might also like