You are on page 1of 20

Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan


Penjelasan Tentang BPHTB

A. Pengertian Umun

Ada beberapa pengertian dintaranya :


* Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
* Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak aas tanah dan atau bangaunan oleh orang atau pribadi
atau badan.
* Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
berserta bangunannya di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 tentang peraturan dasar-dasar pokok agraria, undang-undang Nomor 16
tahun 1985 tentang rumah susun dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
* Surat Tagihan Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
* Surat Ketetapan Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang turutang., jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang
masih harus dibayar
* Surat Ketetapan Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah di tetapkan.
* Surat Ketetapan Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat
ketetapan yang menyatakan kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang seharusnya terhutang
* Surat Ketetapan Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang.
* Surat Setoran Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh wajib pajak
yang digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara
melalui kantor pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Miliki Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data hak
atas tanah dan atau bangunan.
* Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalah
hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakkan
yang terdapat dalam surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
* Surat keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan Bea
Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, , Surat Ketetapan Bea perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan lebih bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil yag diajukan oleh wajib pajak.
* putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas bading teradap surat keputusan
keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.

B. Objek Pajak BPHTB


Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi:
a.    Pemindahan hak karena:
* jual beli;
* tukar-menukar;
* hibah;
* hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
* waris;
* pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya
sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
* pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan
atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
* penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana
yang tercantum dalam Risalah Lelang;
* pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari
orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut;
* penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung;
* peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
* pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
*hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.

  b.   Pemberian hak baru karena:


1. kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;

2. di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak atas tanah adalah :
*hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan
hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
* Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka
waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku
* Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
* Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
* Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut
kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.  
• Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah.
Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.

C. Bukan Objek Pajak BPHTB

* objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

• objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
• objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan
tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;

yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-
Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah.
Contoh : hak guna bangunan menjadi hak milik tanpa adanya perubahan nama.
objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf.

D. Subjek BPHTB

Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi
Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

E. Nilai Perolehan Objek Pajak

Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. NPOP tersebut terdiri dari harga transaksi dan
nilai pasar. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak yang bersangkutan.
Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi disekitar letak tanah atau
bangunan. Pemakaian harga transaksi dan nilai pasar sebagai berikut :

Harga Transaksi
* Jual beli
* Penunjukan pembeli dalam lelang ( harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang )
Nilai Pasar :
* Tukar menukar
* Hibah
* Hibah Wasiat
* Waris
* Pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainnya
* Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
* Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap
* Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
* Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak
* Penggabungan usaha
* Peleburan usaha
* Pemekaran usaha
•Hadiah

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

ditetapkan secara regional paling banyak;


a. Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal perolehan hak Rumah Sederhanan Sehat
(RSH) dan Rumah Susun Sederhana;
b. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang
diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam dalam rangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk
memperkuat penjaminan kredit bagi usaha Mikro dan kecil;
c. Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami;
d. Paling banyak Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dalam hal selain a, b dan c.
Besarnya NPOPKP ditetapkan :
NPOP -/- NPOPTKP

Pajak terutang dihitung dengan cara :


Tarif Pajak x Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

Contoh penghitungan pajak terutang :


Tn. Arlando membeli tanah dan bangunan di wilayah Jakarta Selatan dengan :
NPOP sebesar Rp 100.000.000,00
NPOPTKP Rp 50.000.000,00 -
NPOPKP Rp 50.000.000,00
Pajak terutang 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00

F. Tarif Pajak

Sesuai pasal 5 UU BPHTB, tarif BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5 %.


Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan perhitungan.

G. Saat Terutang Pajak

Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
* jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
.*pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
. * pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
* putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
* hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan;
* pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani
dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
* pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
* penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
* pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
• hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

H. Tempat Terutang Pajak

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan
bangunan.
Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan
pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank
BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

I. Tata Cara Perhitungan BPHTB

Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;
BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)
Contoh;
1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX”
dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat
NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan
sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka
perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)
= 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).
2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di
Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp.
100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk
perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk
Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00
sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta
= 5 % x ( Rp. 40) juta
= Rp. 2 juta .
3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang
terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan
hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya
NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp.
100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta
= Rp. 2,5 juta.

4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari
orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp.
250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih
kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).
Penetapan, Pembayaran, dan Penagihan

Setiap Wajib Pajak mempunyai kewajiban membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan
pada adanya Surat Ketetapan Pajak. Sistem pemungutan BPHTB adalah Self Assessment. Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran BPHTB, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Pembayaran pajak yang terutang dibayar di Kas Negara melalui Bank Pemerintah ( BUMN atau BUMD )
atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak
dan atau PT Pos Indonesia dengan SSBP.

Dasar Penagihan Pajak

UU No 6 Tahun 2000 tentang perubahan Ketiga UU No 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan merupakan acuan dan kaitan dalam pembentukan UU BPHTB. Ketentuan
penagihan yang ada di UU KUP juga diacu oleh UU BPHTB dan penagihan pajaknya tentu berupa STB,
SKBKB, SKBKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang belum dibayar bertambah.

STB dan penerapan sanksi administrasinya


Surat Tagihan BPHTB ( STB ) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda. Kondisi yang dimungkinkan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan STB apabila :
* Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar
* Dari hasil pemeriksaan kantor ternyata Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
* Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga
Terhadap butir 1 dan 2 diatas yaitu jumlah pajak yang terutang, yang tidak atau kurang bayar dan dari hasil
pemeriksaan ternyata Surat Setoran BPHTB menghasilkan pajak kurang bayar karena terdapat salah
tulis dan atau salah hitung, dalam STB ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan
untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya Pajak. STB ini mempunyai kekuatan
hokum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Dengan demikian penagihannya dapat dilanjutkan
dengan menerbitkan Surat Paksa. Pajak terutang yang digunakan sebagai dasar penagihan harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak Surat Paksa diterima oleh Wajib Pajak.

Contoh penghitungan STB dan sanksi :


Dari perolehan tanah dan bangunan yang dilakukan pada tanggal 21 September 2003, Wajib Pajak “A”
terutang BPHTB sebesar Rp 9.000.000,00. Pada saat terjadinya perolehan tersebut, pajak dibayar
sebesar Rp 8.000.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan tanggal 23 Desember 2003 dengan penghitungan sebagai berikut :
Kekurangan bayar Rp 1.000.000,00
Bunga = 4 x 2% x Rp 1.000.000,00 Rp 80.000,00 +
Jumlah Rp 1.080.000,00
Jumlah yang harus dibayar dalam STB adalah Rp 1.080.000,00.

Tn. Badawi memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 2003. Berdasarkan pemeriksaan STB
yang disampaikan Tn. Badawi, ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan pajak kurang bayar
sebesar Rp 1.500.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan STB pada tanggal 23 September
2003 dengan penghitungan sebagai berikut :
Kekurangan bayar Rp 1.500.000,00
Bunga = 4 x 2% x Rp 1.500.000,00 Rp 120.000,00 +
Jumlah Rp 1.620.000,00
Jumlah yang harus dibayar dalam STB adalah Rp 1.620.000,00.
2. SKBKB dan penerapan sanksi adminidtrasinya
Sesuai dengan ketentuan pasal 12 UU BPHTB bahwa dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya
pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKBKB, apabila dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Kekurangan pajak yang terutang tersebut ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan yang
dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai diterbitkannya SKBKB.

Contoh penghitungan SKBKB dan sanksi :


Tn. Hambali memperoleh tanah dan bangunan yang dibeli diwilayah Jakarta Barat Pada tanggal 29 Maret
2003
NPOP Rp 110.000.000,00
NPOPTKP Rp 50.000.000,00 -
NPOPKP Rp 60.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp 60.000.000,00 = Rp 3.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 2003 ternyata ditemukan data
yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa NPOP sebenarnya Rp 200.000.000,00 maka pajak yang
seharusnya terutang sebagai berikut :
NPOP Rp 200.000.000,00
NPOPTKP Rp 50.000.000,00 –
NPOPKP Rp 150.000.000,00

Pajak yang seharusnya terutang =


5% x Rp 150.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
Pajak yang telah dibayar Rp 3.000.000,00 –
Pajak yang kurang dibayar Rp 4.000.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2003 sampai dengan 30
Desember 2003 = 10 x 2% x Rp 4.500.000,00 = Rp 900.000,00
Jumlah pajak yang harus dibayar Rp 4.500.000 + Rp 900.000,00= Rp 5.400.000,00
SKBKBT dan penerapan administrasinya

Dalam kurun waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, seperti pada contoh perhitungan SKBKB di
atas berarti dalam kurun waktu sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, Direktu Jenderal Pajak
dapat menerbitkan SKBKBT apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap
berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah diterbitkannya SKBKB.
Penerbitan SKBKBT paling lama 5 tahun setelah saat terutangnya pajak. Dengan asumsi contoh
yang lalu dimaksudkan tanggal 29 Maret 2003 bukan 30 Desember 2003. Apabila terjadi kekurangan
pajak yang terutang dalam SKBKBT sebagaimana disebut di atas, maka akan ditambah sanksi
administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak, kecuali Wajib Pajak melaporkan
sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Contoh penghitungan jumlah pajak terutang dalam SKBKBT sebagai berikut :


Bea atau Pajak yang terutang = 5% x Rp 170.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Bea atau Pajak yang harus dibayar = 50% x Rp 8.500.000,00 = Rp 4.250.000,00
Badan hukum tertentu dikenakan 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang, sebagai contoh
penghitungan, yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu “Putra Bangsa” memperoleh hibah wasiat
berupa tanah dengan NPOP Rp 200.000.000,00 seperti contoh di atas. Besarnya NPOPKP Rp
170.000.000,00 dan Bea atau pajak terutang Rp 8.500.000,00.
Besarnya Bea atau Pajak yang harus dibayar 50% x Rp 8.500.000,00 = Rp 4.250.000,00
Pengenaan BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan

Pemberian Hak Pengelolaan dikenakan BPHTB dengan mendasarkan pada Peraturan


Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997.
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan pada pemegang hak untuk merencanakan peruntukan dan
penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga

Besarnya BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan


Pengaturan besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan sebagai berikut :

1. Sebesar 0% dari BPHTB seharusnya terutang.


Apabila penerima Hak Pengelolaan yaitu Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemda
Tingkat I atau Pemda Tingkat II. Lembaga Pemerintah lainnya dan Perumnas. Contoh
penghitungannya, sebagaimana digambarkan pada contoh yang lalu ( Hibah Wasiat ).

2. Sebesar 25% dari BPHTB yang seharusnya terutang, apabila penerima Hak Pengelolaan selain pada
butir 2 di atas. Seperti contoh sebelumnya, besarnya Bea atau pajak terutang 5% x Rp
170.000.000,00 = Rp 8.500.000,00.
Bea atau pajak yang harus dibayar = 25% x Rp 8.500.000,00 = Rp 2.125.000,00 .

Ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya hanya
melakukan pendaftaran Hak Pengelolaan setelah Wajib Pajak menyerahkan salinan SSB. Namun
khusus departemen dan lain-lain menggunakan Surat Keterangan Bebas BPHTB.
J. Keberatan , Banding dan Pengurangan

Keberatan atas BPHTB


1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang BayarTambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.

2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasanalasan yang jelas.

3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3)
tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

5. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

6. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

8. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

9. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.

10. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

11. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Banding

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap
keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.

4. Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Pengurangan

Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh
Menteri karena:
1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh;
a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di
bidang pertanahan;
b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyaihubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atausatu derajat ke bawah.

2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh;
a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang
nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh
pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan
perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang
usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak
untuk mencari keuntungan, contohnya : Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain,
untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari
keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.
K. Pengembalian Kelebihan Pembayaran

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada
Direktur Jendral Pajak.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonanpengembalian kelebihan pembayaran pajak , antara lain dalam
hal :
a. pajak yang dibayar lebih besar dari pada yag seharusna terhutang,
b. pajak yang terhutang yang dibayar oleh Wajib pajk sebelum akta ditandatangani, namun perolahan hak
atas tanah dan atau bagunan tersebut batal.
Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan
harus memberikan keputusan.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan :
a. Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, aabila juimlah pajak yang
dibayar ternyata lebih besar dari pada jumlah pajak yang terhutang atau dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terutang.
b. Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang terutang.

Apabila dalam jangka waktu telah terlampaui dan Direktur Jendral Pajak tidak memberi keputusan,
permohonan kelebihan pembayran pajak dianggap dikabulkan serta Surat ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1
bulan. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling laa 2 bulan
sejak di terbitkannya surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.
Apabila pengembalian kelebihan Pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan,
Direktur Jendral Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulanatas keterlambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

You might also like