You are on page 1of 8

kriteria diagnostik penyakit jantung koroner

Kriteria Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cor (jantung) adalah organ yang sangat penting bagi kehidupan karena berfungsi sebagai
pemompa darah ke seluruh tubuh. Walaupun banyak berisi darah, cor tidak mampu menyerap
nutrisi dari darah tersebut. Nutrisi cor disuplai oleh arteri coronaria yang merupakan cabang
pertama dari aorta ascendens. Kelainan pada arteri ini dapat mengganggu aktivitas cor
bahkan dapat mengakibatkan kerusakan pada cor tersebut.

Banyak penyakit yang menyerang cor, berikut ini tujuh penyakit cor terpenting :
1. Penyakit jantung koroner (penyebab 80% kematian yang disebabkan penyakit jantung)
2. Penyakit jantung akibat hipertensi (9%)
3. Penyakit jantung rernatik (2-3%)
4. Penyakit jantung kongenital (2%)
5. Endokarditis bakterialis (1-2%)
6. Penyakit jantung sifilitik (1%)
7. Cor pulmonale (1%),
8. dan lain-lain (5%) (Santoso dan Setiawan; 2005).

Pada tahun 1997, penyakit jantung koroner (PJK) menyebabkan 466.101 kematian dan
sampai saat ini tetap merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat. Begitu pula di
Indonesia, diperkirakan jumlahnya akan bertambah dari tahun ke tahun. Melihat fakta
tersebut, sangat dibutuhkan untuk mengetahui kriteria diagnostik PJK agar dapat menegakkan
diagnosis dengan tepat.

B. Definisi Kasus

Laki-laki 40 tahun dengan keluhan utama nyeri dada. Pada anamnesis tidak didapatkan sesak
napas, lekas capek, maupun dada berdebar. Pasien adalah perokok 2 bungkus perhari, jarang
olahraga, tidak DM, dan ayahnya menderita PJK. Pada pemeriksaan fisik : kesadaran compos
mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, irama reguler, isian cukup, RR 18
x/menit, JVP tidak meningkat.

Inspeksi : tidak ada heaving, apeks di linea medioclavikularis sinistra SIC IV. Palpasi : apeks
di linea medioclavicularis sinistra SIC IV, tidak ada thrill. Perkusi : pinggang jantung normal,
apeks di linea mediovlacicularis sinistra SIC IV. Auskultasi : BJ 1 normal, BJ 2 normal,
splitting normal, bising -, gallop -, ronkhi -. Pemeriksaan laboratorium normal, EKG normal,
foto thorax : CTR = 0,49, vascularisasi perifer normal, aorta tidak menonjol, pinggang
jantung normal, apex tidak bergeser, exercise test normal, echo cardiografi normal.

C. Tujuan Penulisan

Dengan tulisan ini diharapkan agar dapat mempermudah dalam menegakkan diagnosis PJK
berdasar data-data dan dapat menetapkan pemeriksaan penunjang lainnya.
D. Hipotesis

Pasien pada contoh kasus di atas, memiliki jantung yang normal.

INJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Cor

Cor terdiri atas (1) endocardium, (2) miokardium, (3) epicardium yang melipat keluar
menjadi pericardium, (4) sistem konduksi khusus yang terdiri atas nodus sinoatriaum (NSA)
dan nodus atrioventrikel (NVA), berkas his, dan serat purkinje. Cor terdidi dari empat ruang,
yaitu atrium dextrum, ventricel dexter, atrium sinistrum, dan ventricel sinister. Antara kedua
atrium dipisahkan oleh septum interatriale, dan antara kedua ventricel dipisahkan oleh septum
interventriculare. Antara atrium dan ventricel terdapat lubang yang ditutupi oleh katup, yaitu
antara atrium dextrum dan ventricel dexter oleh valva tricuspidalis dan valva mitralis
membatasi atrium sinistrum dan ventricel sinister. Ventricel dexter merupakan pangkal dari a.
pulmonalis dengan katupnya valva semilunaris pulmonalis, sedang ventricel sinister pangkal
dari aorta dengan katupnya valva aortae (Budianto, 2005; Chandrasoma, 2006).

Impuls cor (sebagai sistem konduksi) berasal dari NSA yang terletak di dinding posterior
atrium dextrum, disebut juga sebagai ”pace maker”. Impuls kemudian menyebar menuju jalur
konduksi khusus atrium dan ke otot atrium. Impuls kemudian mencapai NVA yang terletak di
sebelah kanan interatrial dalam atrium dextrum. Penghantaran menjadi diperlambat karena
tipisnya serat di daerah ini dan konsentrasi taut selisih yang rendah. Perlambatan ini berguna
agar pengisian ventricel lebih optimal. Kemudian impuls dilanjutkan ke berkas his dan
bercabang menjadi serabut kanan dan kiri. Berkas ini kemudian menjadi serabut purkinje.
Serabut kiri berjalan melalui septum interventriculare dan bercabang menjadi bagian anterior
dan posterior. Penyebaran hantaran melalui serabut purkinje dimulai dari permukaan
endocardium, lalu ke miokardium, kemudian berlanjut ke epicardium. Struktur ini
menyebabkan aktivasi segera dan kontraksi ventricel yang terjadi hampir bersamaan (Linda
dan Lilavati, 2009; Price dan Wilson, 2005).

Efisiensi cor sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot cor melalui sirkulasi
koroner. A. coronaria merupakan percabangan pertama dari aorta. A. coronaria bercabang
menjadi a. coronaria dextra dan a. coronaria sinistra. A. coronaria dextra mempercabangkan
r. nodi sinoatrialis, r. coni arteriosi, r. artrialis, r. marginalis dextra, dan r. interventricularis
posterior. Sedangkan a. coronaria sinistra memparcabangkan r sircumflexus (rr marginalis, rr
arterialis, r interventricularis septalis, r atrioventricularis) dan r interventricularis anterior (r
interventricularis septalis, r lateralis) (Linda dan Lilavati, 2009).

Etiologi Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner dapat disebabkan oleh beberapa hal :

1. penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) a coronaria, akan tetapi penyempitan


bertahap akan memungkinkan berkembangnya kolateral yang cukup sebagai
pengganti.
2. aterosklerosis, menyebabkan sekitar 98% kasus PJK.
3. penyempitan a coronaria pada sifilis, aortitis takayasu, berbagai jenis arteritis yang
mengenai a coronaria, dll. (Chandrasoma, 2006; Kusmana dan Hanafi, 2003).

Faktor Risiko

Faktor risiko ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
risiko penting yang dapat dimodifikasi adalah merokok, hiperlipoproteinemia dan
hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes melitus, dan obesitas. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan aterosklerotik (Kusmana
dan Hanafi, 2003).

Risiko aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia; penyakit yang serius
jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit
mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor- faktor
aterogenik. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti pria; diduga oleh adanya efek perlindungan
estrogen. Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap ateros-klerosis daripada orang kulit
putih. Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara atau orang
tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya pengaruh genetik dan lingkungan masih
belum diketahui. Komponen genetik dapat diduga pada beberapa bentuk aterosklerosis yang
nyata, atau yang cepat per-kembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi,
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti
misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas (Santoso dan Setiawan, 2005).

Merokok dapat merangsang proses ateriosklerosis karena efek langsung terhadap dinding
arteri, karbon monoksida menyebabkan hipoksia arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi
katekolamin yang dapat menimbulkan reaksi trombosit, glikoprotein tembakau dapat
menimbulkan reaksi hipersensitifitas dinding arteri. DM, obesitas, dan hiperlipoproteinemia
berhubungan dengan pengendapan lemak. Hipertensi merupakan beban tekanan dinding arteri
(Kusmana dan Hanafi, 2003).

Patofisiologi

1. Penyakit jantung aterosklerotik

Pembuluh arteri mengikuti proses penuaan yang karakteristik seperti penebalan tunika intima,
berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium terutama di arteri-arteri besa menyebabkan
fibrosis yang merata menyebabkan aliran darah lambat laun berkurang. Manifestasi penyakit
jantung koroner disebabkan ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium
dengan suplai yang masuk. Masuknya oksigen untuk miokardium sebetulnya tergantung dari
oksigen dalam darah dan arteria koronaria. Di kenal dua keadaan ketidakseimbangan
masukan terhadap kebutuhan oksigen yaitu : hipoksemi (iskemi) yang ditimbulkan oleh
kelainan vaskular dan hipoksi (anoksi) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah.
Perbedaannya ialah pada iskemi terdapat kelainan vaskular sehingga perfusi ke jaringan
berkurang dan eleminasi metabolit yang ditimbulkannya menurun juga, sehingga gejalanya
akan lebih cepat muncul.

2. Angina pektoris
Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium
dibandingkan kebutuhan. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan oksigen
juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteria koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih
banyak darah dan oksigen ke otot jantung; namun jika arteria koroner mengalami kekakuan
atau menyempit (akibat arterosklerosis, dll.) dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemi miokardium; sel-sel miokardium
mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini
tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH
miokardium dan menimbulkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila
kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel
otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak
menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina
pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan yang
berlangsung singkat.

3. Infark miokardium

Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung.
Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner; prosesnya mula-mula
berawal dari rupturnya plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh
trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan
aliran darah kolateral.

Gambaran Klinis, Laboratorium, dan Pemeriksaan Penunjang

1. Penyakit jantung aterosklerotik

Sesak napas yang makin lama makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan; nyeri
dan keram di ekstremitas bawah, terjadi selama atau setelah olah raga. Laboratorium : kadar
kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200
mg/dl untuk mereka yang berusia lebih dari 30 tahun, dianggap beresiko khusus mengidap
penyakit arteri koroner.

2. Angina pektoris

Nyeri dada di daerah sternum, substernal atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar
ke lengan kiri, punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan; dapat timbul di tempat lain
seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu. Nyeri dada biasanya seperti tertekan
benda berat, atau seperti di peras atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan
tidak enak di dada. Nyeri timbul pada saat melakukan aktivitas dan mereda bila aktivitas
dihentikan. Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit. Gambaran EKG saat
istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal. Foto rontgen dada sering
menunjukkan bentuk jantung yang normal. Perlu dilakukan exercise test, positif bila EKG
menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat terbalik.

3. Infark miokardium

Nyeri dada kiri seperti ditusuk-tusuk atau diiris-iris menjalar ke lengan kiri, lebih intensif dan
lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Pada
EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang T;
kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di 2 sadapan. Peningkatan kadar enzim
atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark miokard akut yaitu kreatinin fosfoskinase
(CPK/CK), SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB. Yang
paling awal meningkat adalah CPK tetapi paling cepat turun.

Penatalaksanaan

Dibagi menjadi 2 : umum dan mengatasi iskemia. Penatalaksanaan umum meliputi edukasi
pada pasien seperti penjelasan mengenai penyakit, aktivitas yang harus dihindari,
pengendalian faktor risiko, pencegahan sekunder (cth : memberi penghambat aterosklerosis),
pemberian oksigen bila perlu. Penatalaksanaan iskemia dengan memberi nitrat, berbagai jenis
penyekat beta, antagonis kalsium, untuk revaskularisasi diberi trombolitik, operasi.

Angina Pektoris, penatalaksanaannya : pengobatan pada serangan akut : nitrogliserin


pencegahan serangan lanjutan : Long acting nitrate, Beta blocker, Calcium antagonist;
mengobati faktor presdiposisi dan faktor pencetus, memberi penjelasan perlunya aktivitas
sehari-hari untuk meningkatkan kemampuan jantung.

Infark Miokardium, penatalaksanaannya : istirahat total, diet makanan lunak serta rendah
garam, pasang infus dekstrosa 5 % emergency, atasi nyeri : morfin 2,5 – 5 mg iv atau petidin;
lain - lain: nitrat , antagonis kalsium; oksigen 2 – 4 liter/menit; sedatif sedang seperti
diazepam; antikoagulan : heparin 20000 – 40000 U/24 jam; diteruskan dengan asetakumarol,
streptokinase / trombolisis (Santoso dan Setiawan, 2005).

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas didapatkan seorang laki-laki berumur 40 tahun dengan keluhan utama
nyeri dada. Dia khawatir terkena penyakit jantung koroner karena ayahnya dengan keluhan
yang sama dinyatakan menderita PJK. Beberapa tahun yang lalu, kebanyakan pasien takut
menderita tuberkulosis bila merasa sakit dalam dadanya. Namun, sekarang yang lebih
ditakutkan adalah penyakit jantung. Kertohoesodo (1987) mengatakan bahwa nyeri dada
dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit seperti flu, salah tidur, ketegangan batin,
penyakit pada tulang rusuk, pada otot dan atau saraf sela iga, bronkhitis, pleuritis,
perikarditis, dan lain-lain.

Masing-masing penyakit tersebut menimbulkan manifestasi nyeri dada dengan sifat yang
berbeda-beda. Pada angina dan infark miokard sudah dijelaskan di atas. Pada pleuritis, nyeri
dirasakan saat inspirasi dan batuk. Perikarditis, nyeri dengan lokasi di tengah dada, menusuk
ke belakang dan ke pinggir trapezius. Chandrasoma dan Taylor (2006) mengatakan bahwa
nyeri dada pada penyakit jantung diyakini disebabkan oleh stimulasi ujung-ujung saraf oleh
asam laktat yang dihasilkan selama glikolisis anaerobik. Pada kasus, sifat nyeri dada tidak
disebutkan, kemungkinan nyeri dada tidak bersifat khas.

Pasien juga tidak memilki keluhan penyerta seperti sesak napas, lekas capek, maupun dada
berdebar (palpitasi). Rakhman (2003) mengatakan bahwa sesak napas memberikan petunjuk
adanya gangguan pada sistem respirasi. Pada penyakit jantung menunjukan bahwa gangguan
juga mengenai paru, contohnya pada stenosis mitral, infark miokard. Lekas capek terjadi bila
suplai nutrisi dan oksigen tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Palpitasi (dada berdebar,
merasakan denyut jantung sendiri) terjadi karena perubahan kecepatan, keteraturan, atau
kekuatan kontraksi jantung. Karena keluhan tersebut tidak ada pada pasien berarti penyakit
pasien cenderung tidak mengenai paru, tidak terjadi hambatan distribusi nutrisi dan oksigen,
serta tidak terjadi perubahan denyut jantung.

Berdasar hasil anamnesis, pasien meiliki beberapa faktor risiko PJK, yaitu merokok 2
bungkus sehari, jarang olahraga, dan riwayat keluarga (ayah) menderita PJK. Berarti dalam
kasus ini, pasien berisiko besar menderita PJK.

Dari hasil pemeriksaan fisik (keadaan umum) didapatkan data bahwa kesadaran, tekanan
darah, denyut nadi, irama, isian sekuncup, frekuensi napas, dan JVP, pada pasien semuanya
normal. Tekanan darah yang tinggi (hipertensi) juga merupakan faktor risiko PJK. Denyut
nadi menggambarkan aktivitas pompa jantung maupun keadaan pembuluh darah itu sendiri.
Bila pada penderita penyakit jantung mengalami bradikardi, denyut nadi perlu dicocokan
dengan denyut jantung karena kemungkinan jantung berdenyut lebih sering dari pada nadi.
Hal ini terjadi pada isian sekuncup yang kecil. Bila isian cukup maka selisih denyut nadi dan
jantung sangat sedikit bahkan tidak ada.

Peningkatan frekuensi napas (takipneu) merupakan pertanda gagal jantung dan asidosis
karena penyakit jantung sianotik. JVP memberikan gambaran tentang aktivitas (faal) jantung
bagian kanan. Bila terdapat bendungan, tekanan vena jugularis akan meningkat. Dengan
demikian berdasarkan pemeriksaan keadaan umum, jantung pasien sementara ini adalah
normal.

Begitu pula pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, hasilnya
adalah normal. Hal mana tidak ditemukan heaving, pemebesaran jantung, thrill, bising,
gallop, maupun ronkhi. Letak apex cor, bunyi jantung I dan II, serta splitting adalah normal.
Heaving adalah getaran jantung yang teraba seperti gelombang atau kursi goyang, ditemukan
pada hipertrofi ventricel dexter. Thrill adalah getaran dinding thorax di daerah prekordial
yang terjadi karena adanya aliran turbulensi, ditemukan pada penyempitan katup, dilatasi
segmen arteri. Bising adalah desiran yang berlangsung lebih lama dari suatu bunyi, penyebab
sama seperti pada thrill. Gallop ialah bunyi kembar dari bunyi jantung yang terdengar
berurutan seperti derap kaki kuda, ditemukan pada bundle branche blok, dekompensasi cor
dengan hipertrofi venrticel sinister. Ronkhi ditemukan pada kelainan saluran napas.

Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, EKG, foto thorax, exercise
stress test, echocardiografi, pemeriksaan vascularisasi perifer, juga didapatkan hasil yang
normal. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan rutin dan spesifik. Pemeriksaan
laboratorium rutin meliputi 2 unsur, yaitu pemeriksaan darah rutin dan urin. Pemeriksaan
darah tepi seperti hemoglobin, hematokrit, apus darah tepi, ureum, gula darah, laju endap
darah, merupakan pemeriksaan rutin yang penting dan efektif. Pemeriksaan analisis urin rutin
untuk mendeteksi dan memantau kelainan intrinsik dari ginjal, saluran kencing, atau
perubahan sekunder akibat penyakit lain. Hematuria dapat merupakan petunjuk adanya infark
ginjal yang terjadi sekunder akibat emboli dari jantung bagian kiri atau suatu endokarditis
bakterialis. Proteinurea atau urobilinogen dalam urin ditemukan pada gagal jantung.

Pemeriksaan laboratorium spesifik hanya dilakukan pada penyakit jantung untuk menegakan
diagnosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan adalah memeriksa enzim jantung, CK,
isoenzim CK-MB, troponin T, SGOT, LDH, alfa HBDH, CRP, ASTO, tes fungsi hati, sistem
koagulasi, kultur darah, kadar digitalis dalam darah, pemeriksaan CES, dan lain-lain.
Pemeriksaan tersebut disesuaikan dengan indikasi suatu penyakit untuk menegakkan
diagnosis.
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu alat pencatat grafis aktivitas listrik jantung yang
direkam pada permukaan tubuh melalui elektroda. EKG memberikan informasi yang berguna
untuk penilaian hipertrofi jantung, aritmia dan hambatan konduksi, iskemia dan infark
mikard, penyakit perikardium, dan kelainan elektrolit dan beberapa efek obat. EKG normal
belum tentu menyingkirkan adanya suatu angina. EKG pada angina biasanya memperlihatkan
kelainan khas berupa elvasi segmen ST. Sedangkan pada infark miokard, timbul gelombang
Q yang besar, elevasi segmen ST, dan inversi gelombang T.

Pada foto thorax, kontur jantung sangat kontras dengan paru yang terisi udara yang berwarna
radiolusen. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui pembesaran jantung secara umum,
pembesaran lokal salah satu ruang jantung, kalsifikasi katup atau arteri coronaria, kongesti
vena pulmonalis. Jota (2002) mengatakan bahwa metode yang lazim dipakai untuk
mengetahui adanya pembesaran jantung adalah dengan Cardiothoracic ratio (CTR), yaitu
perbandingan antara lebar maksimal jantung dengan thorax, normalnya < 0,5.

Exercise stress test ialah suatu tes dengan cara memberikan beban pada jantung sehingga
kebutuhan oksigen otot jantung meningkat, bila terjadi insufisiensi koroner akan
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut yang dapat direkam dengan EKG
berupa perubahan segmen ST.

Echokardiografi adalah suatu pemriksaan dengan menggunakan alat yang dapat


membangkitkan suara ultrasound dengan frekuensi sangat tinggi, yaitu > 20.000 Hz.
Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengetahui informasi tentang anatomi, morfologi, serta
fungsi ruang jantung, dinding jantung, katup-katup, dan pembuluh darah besar.

Setelah menganalisis semua hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa hasilnya normal semua.
Dengan demikian, jantung pasien dalam keadaan normal. Namun, bila memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan tambahan seperti skintigrafi talium-201 dan angiografi koroner.

Walaupun saat ini jantung pasien masih dalam keadaan normal, pasien memiliki
kemungkinan besar dapat terkena PJK. Hal ini dikarenakan pasien memiliki beberapa faktor
risiko. Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pada pasien ini adalah memberikan
edukasi pada pasien agar dapat mengurangi faktor risiko dengan berhenti merokok,
melakukan olahraga yang rutin dan teratur, serta mengatur pola makan. Selain itu, pasien
diberi koborantia atau vitamin.

PENUTUP
KESIMPULAN

1. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit yang menyerang arteri coronaria
dengan tiga kelompok utama, yaitu penyakit aterosklerotik, angina pektoris, dan
infark miokard.
2. Penyakit aterosklerotik coroner dapat ditegakan diagnosis apabila sesak napas yang
makin lama makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan; nyeri dan keram
di ekstremitas bawah, terjadi selama atau setelah olah raga. Laboratorium : kadar
kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang berusia 30 tahun atau kurang, atau di
atas 200 mg/dl untuk mereka yang berusia lebih dari 30 tahun.
3. Nyeri dada di daerah sternum, substernal atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang
menjalar ke lengan kiri, punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.Gambaran
EKG, foto rontgen dada, exercise stress test positif adalah gambaran pada angina
pektoris.
4. Untuk menegakan diagnosis infark miokard berikut ini gambarannya. Nyeri dada kiri
seperti ditusuk-tusuk atau diiris-iris menjalar ke lengan kiri, lebih intensif dan lama
serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Pada
EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang
T; kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di 2 sadapan. Peningkatan
kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark miokard akut yaitu
kreatinin fosfoskinase (CPK/CK), SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat dehidrogenase,
dan isoenzim CK-MB. Yang paling awal meningkat adalah CPK tetapi paling cepat
turun.
5. Pasien pada kasus ini memiliki jantung yang normal berdasar hasil pemeriksaan, baik
itu dari pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, pasien
memiliki kemungkinan besar terkena PJK, mengingat pasien memiliki beberapa
faktor risiko terkena PJK.
6. Penatalaksanaan pada pasien tersebut adalah memberikan edukasi dan memberi
vitamin.

SARAN

1. Mengingat PJK adalah penyakit pertama yang menimbulkan kematian, dan salah satu
sebabnya adalah rokok, hal mana rokok adalah faktor risiko yang dapat dihindari.
Maka sebaiknya setiap orang harus mau untuk tidak merokok.
2. Selain itu, sebaiknya setiap orang mengatur pola makan dan mengurangi makanan
yang mengandung terlalu banyak lemak dan kolesterol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga Besar Asisten
Anatomi FKUNS.
2. Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta :
EGC.
3. Joto, Santa. 2001. Diagnosis Penyakit Jantung. Jakarta : Penerbit Widya Medika.
4. Kertohoesodo, Soeharto. 1987. Pengantar Kardiologi. Jakarta : Penerbit UI.
5. Kusmana dan Hanafi. 2003. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Dalam : Buku
Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
6. Linda dan Lilavati. 2009. Hanout Anatomi Blok Cardiovasculer. Surakarta : Keluarga
Besar Asisten Anatomi FKUNS.
7. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-
6. Jakarta: EGC.
8. Rakhman, Otte. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung.
Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
9. Santoso dan Setiawan. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Jakarta : Cermin Dunia
Kedokteran.

You might also like