You are on page 1of 59

16

TINJAUAN PUSTAKA

A. Monopoli

1. Pengertian Monopoli

Secara etimologi, kata monopoli berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘monos’

yang artinya satu atau sendiri, dan ‘polein’ yang artinya yang menjual atau penjual.

Dari etimologi monopoli tersebut dapat diartikan bahwa monopoli adalah kondisi di

mana hanya ada satu penjual yang menawarkan suatu barang atau jasa tertentu 2.

Monopoli dianggap bersifat buruk bagi ekonomi karena membatasi perdagangan

bebas yang memperbolehkan pasar dalam menentukan harga. Karena hanya ada satu

penjual yang menguasai pasar, maka penjual tersebut dapat menetapkan harga yang

diinginkannya, harga yang dapat memberikan keuntungan maksimal, tanpa

mempedulikan konsumen, karena penjual tersebut tahu bahwa konsumen tidak punya

pilihan lain. Penjual tersebut juga dapat menyediakan produk yang mutunya lebih

rendah. Hal ini juga merupakan sifat buruk monopoli karena penjual tidak memiliki

dorongan untuk berinovasi dan menyediakan produk yang baru dengan kualitas yang

lebih baik.

Dalam perkembangannya, istilah monopoli sering dipakai orang untuk

menunjuk tiga titik berat yang berbeda. Pertama, istilah monopoli dipakai untuk

menggambarkan suatu struktur pasar (keadaan korelatif permintaan dan penawaran).

Roger E. Meiners memberikan definisi monopoli, yaitu: “Struktur pasar yang mana
2
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm.18.
17

keluaran produksi dari suatu industri dikendalikan oleh penjual tunggal (hanya satu

penjual saja) atau sekelompok penjual yang membuat keputusan bersama mengenai

produksi dan harga”3. Dari pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa monopoli pun

bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual. Pendapat Meiners tersebut sedikit keluar

dari definisi etimologis yang menjabarkan hanya satu penjual di dalam pasar

monopoli. Kedua, istilah monopoli juga sering dipergunakan untuk menggambarkan

suatu posisi. Yang dimaksudkan di sini adalah posisi penjual yang memiliki

penguasaan dan kontrol eksklusif atas barang atau jasa tertentu. Ketiga, istilah

monopoli juga digunakan untuk menggambarkan kekuatan (power) yang dipegang

oleh penjual untuk menguasai penawaran, menentukan harga, serta memanipulasi

harga. Dari ketiga pengertian ini, istilah monopoli sering digunakan dalam

hubungannya dengan menguasai pangsa pasar yang relatif cukup besar. Dengan

demikian, konsumen hanya mempunyai pilihan terbatas dengan suatu produk yang

ditawarkan, dengan harga melebihi dari yang ditawarkan oleh monopolis. Pasar

monopoli tidak terikat pada jumlah permintaan, namun monopolis akan dapat

menjual harga pokoknya sesuai dengan kemauannya kepada konsumen atau

masyarakat. Hal ini terjadi karena monopolis memiliki penguasaan dan kontrol

eksklusif atas produk, serta mempunyai kekuatan (power) dalam hal penguasaan

penawaran, bahkan sekaligus menentukan harga.

Meskipun ada titik berat yang berbeda-beda dalam penggunaan istilah,

monopoli secara umum menggambarkan fakta yang sama, yakni pemusatan kekuatan
3
Ibid., hlm.19.
18

penawaran eksklusif pada pihak penjual dalam suatu pasar. Dengan bertitik tolak

pada pengertian sederhana ini, orang memperhadapkan monopoli dengan persaingan.

Berbeda dengan persaingan yang bersifat mendesentralisasikan kekuatan ekonomi, di

dalam monopoli justru terkandung pengertian adanya pemusatan kekuatan ekonomi

atau sentralisasi ekonomi.

R.B. Suhartono dalam “Jurnal Hukum Bisnis” mengatakan bahwa monopoli

terbentuk jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol ekslusif terhadap pasokan

barang atau jasa di suatu pasar, dan dengan demikian juga terhadap penentuan

harganya4. Karena dalam pasar terdapat transaksi pembelian di samping penjualan,

maka dapat dibedakan antara adanya monopoli berupa penjual tunggal dan

monoposoni yang menyangkut pembeli tunggal. Sehingga menjadikan hak monopoli

dan aset-aset produksi semakin terpusat kepada segelintir orang, yang merupakan

cikal bakal lahirnya konglomerasi.. Dengan tidak adanya pesaing, monopoli

merupakan pemusatan kekuatan pasar di satu pihak. Bila di samping kekuatan

tunggal itu ada pesaing-pesaing lain namun peranannya kurang berarti, maka

pasarnya bersifat monopolistis. Dalam praktiknya sebutan monopoli juga

diberlakukan bagi pelaku yang menguasai bagian terbesar pasar. Secara lebih

longgar, pengertian monopoli juga mencakup struktur pasar di mana terdapat

beberapa pelaku, namun karena peranannya yang begitu dominan, maka dari segi

praktis, pemusatan kekuatan pasar sesungguhnya ada di satu pihak saja.

4
Suhasril, dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat di Indonesia, 2010, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm.28
19

Menurut George J. Stigler5, monopoli adalah suatu perusahaan yang merupakan

satu-satunya penjual barang atau jasa. Dalam keadaan tidak adanya campur tangan

dari pemerintah, monopoli bebas untuk menetukan harga yang diinginkan oleh

penjual tersebut dan biasanya akan menetapkan harga yang kemungkinan dapat

memberikan keuntungan yang paling besar. Monopoli tidak memerlukan suatu

keadaan yang membuat suatu perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih dari

perusahaan lainnya dalam menghadapi persaingan. Yang terjadi adalah kondisi pasar

yang kemungkinan amat sempit atau terbatas sehingga hampir tidak mungkin bagi

suatu perusahaan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut. Monopolis menetapkan

harga di atas harga yang seharusnya, harga apabila adanya persaingan, sehingga

konsumen membayar lebih banyak dan monopolis (dan kemungkinan juga karyawan-

karyawannya) mendapatkan keuntungan. Saat pelaku pasar monopoli menaikkan

harga di atas level harga persaingan dengan tujuan memperoleh keuntungan dari

kegiatan monopoli yang dilakukannya, maka konsumen akan membeli lebih sedikit

dari produknya, Hal ini berarti sedikit pula produk yang diproduksi. Walaupun

tingkat permintaan naik dan konsumen menginginkan harga yang lebih rendah atau

harga yang normal (dalam kondisi kompetitif), namun perusahaan biasanya tidak

akan memilih untuk mengikuti permintaan konsumen tersebut. Perusahaan dapat saja

menjual lagi produknya dengan harga yang lebih murah dari harga yang telah

ditetapkan sebelumnya terhadap produk yang telah terjual habis di pasar tanpa

5
http://www.econlib.org/library/Enc/Monopoly.html, by George J. Stigler, Copyright ©2008 Liberty
Fund, Inc.
20

mengalami kerugian. Akan tetapi, dengan begitu perusahaan juga tidak akan

mendapatkan keuntungan apapun. Perusahaan dalam pasar monopoli cenderung

mencari keuntungan sebesar-besarnya, keuntungan maksimal yang dapat

diperolehnya. Ini disebabkan karena sempitnya wilayah persaingan dalam pasar

barang atau jasa yang bersangkutan.

Dalam pasar monopoli, jika tidak ada barang atau jasa substitusi yang

bersangkutan, maka perusahaan akan dapat menetapkan tingkat output dan harga

pada tingkat tertentu untuk memaksimalkan keuntungan. Jika permintaan, untuk

barang atau jasa yang dijual oleh perusahaan monopoli, tinggi, maka harga dan

tingkat keuntungan dalam industri akan cenderung lebih tinggi (dan output yang lebih

rendah) daripada saat kondisi kompetitif. Sebagai penentu harga (price-maker),

monopolis dapat menaikkan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah

barang yang akan diproduksi. Artinya adalah semakin sedikit barang yang diproduksi,

semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian,

penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan

harga terlalu mahal, maka masyarakat akan menunda pembelian atau berusaha

mencari atau membuat barang substitusi dari produk tersebut atau lebih buruk lagi,

beberapa konsumen akan mencarinya di pasar gelap (black market)6.

Mengutip dari Black’s Law Dictionary mengenai monopoli, dijelaskan bahwa

monopoli adalah suatu keistimewaan (hak istimewa) atau keuntungan tertentu yang

didapat oleh satu atau lebih orang atau perusahaan, karena adanya hak eksklusif (atau
6
http://en.wikipedia.org/wiki/Monopoly, this page was last modified on 3 February 2011 at 02:10.
21

kekuasaan) untuk menjalankan suatu bidang usaha tertentu atau perdagangan,

menghasilkan barang atau jasa tertentu, atau mengendalikan penjualan keseluruhan

produksi dari komoditas barang atau jasa tertentu 7. Bentuk dari stuktur pasar yang

mana satu atau hanya beberapa perusahaan yang mendominasi keseluruhan penjualan

atas suatu barang atau jasa. Berbeda dari definisi yang diberikan dalam Undang-

Undang yang secara langsung menunjuk pada penguasaan pasar, dalam Black’s Law

Dictionary, penekanan lebih diberikan pada adanya suatu “hak istimewa” (priviledge)

yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan

menciptakan penguasaan pasar. Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary,

dikatakan “Monopoli sebagaimana dilarang oleh Section 2 Sherman Antitrust Act,

memiliki dua elemen, yaitu:

1) Kepemilikan atas kekuatan monopoli dalam pasar yang bersangkutan;

2) Akuisi yang disengaja atau pengelolaan dari kekuatan monopoli

tersebut”.

Dalam hal ini jelas bahwa monopoli yang dilarang oleh Section 2 Sherman Act

adalah monopoli yang bertujuan untuk menghilangkan kemampuan untuk melakukan

persaingan, dan/atau untuk tetap mempertahankannya. Hal ini memberikan

konsekuensi dimungkinkan dan diperkenankannya monopoli yang terjadi secara

alamiah, tanpa adanya kehendak dari pelaku usaha tersebut untuk melakukan

monopoli. Section 2 Sherman Act memang lebih menekankan pada proses terjadinya

7
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, 2006, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, hlm. 12.
22

monopolisasi dan bukan pada monopoli yang ada. Ada beberapa argumen yang dapat

dikemukakan sehubungan dengan proses terjadinya monopoli secara almiah. Hal-hal

tersebut antara lain meliputi hal-hal berikut di bawah ini:

1) Monopoli sebagai akibat terjadinya “superior skill”, yang salah

satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh

negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas

teknologi tertentu. Selain itu ada juga dikenal dengan istilah “trade

secret”, yang meskipun tidak memproleh eksklusifitas pengakuan oleh

negara, namun dengan teknologi “rahasia”-nya mampu membuat suatu

produk superior.

2) Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia, hal ini sangat

jelas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang isinya

adalah sebagai berikut:

a. Pasal 33 ayat (2):

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara


dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara”.

b. Pasal 33 ayat (3):

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung


di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
23

3) Monopoli merupakan suatu ”historical accident”8. Dikatakan sebagai

“historical accident” karena monopoli tersebut terjadi karena tidak

sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh

berbagai faktor terkait di mana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal

ini penilaian mengenai pasar yang bersangkutan yang memungkinkan

terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa yang terpenting dari Section 2

Sherman Act adalah proses terjadinya monopolisasi, dan bukan monopoli yang telah

ada. Untuk menilai berlangsungnya suatu proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi

suatu bentuk monopoli yang dilarang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

yaitu:

1) Penentuan mengenai pasar bersangkutan (the relevant market).

Pengertian mengenai pasar yang bersangkutan menjadi sangat

penting artinya dalam menentukan ada tidaknya monopolisasi,

meskipun penentuan dari pasar yang bersangkutan bersifat sangat

relatif. Dalam undang-undang, pasar bersangkutan didefinisikan

sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu oleh para pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama

atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Untuk

menentukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan

pada umumnya orang mencoba untuk mendekatinya melalui


8
Ibid., hlm. 14.
24

pendekatan sensifitas produk tersebut dalam wilayah pemasaran

produk yang sudah berjalan. Salah satu yang dapat dipakai adalah

pendekatan “elasticity of demand” atau permintaan elastis. Dari

pendekatan tersebut, dapat diketahui sampai seberapa jauh sensifitas

suatu produk terhadap perubahan harga, yang dinyatakan dengan

persentase perubahan kebutuhan atau persentase perubahan harga.

Meskipun tidak sederhana, untuk menilai relevansi dan keterkaitannya

dengan produk pesaing, diperkenalkanlah konsep “cross elasticity

demand” (CED) antara kedua produk yang saling dikaitkan. Nilai CED

yang diperoleh dari nilai persentase perubahan harga dari produk

lainnya yang sedang dibandingkan. Jika nilai CED-nya negatif berarti

kedua produk tersebut dalam pasar tersebut saling melengkapi. Dan

jika nilai CED-nya positif dengan angka yang relatif besar, maka

berarti kedua produk tersebut merupakan produk yang saling

berkompetisi dalam pasar yang ada. Adakalanya penentuan pasar

bersangkutan tidak dapat diterapkan secara riil. Berbagai

pertimbangan, khususnya yang berhubungan dengan karakteristik

pasar yang berbeda satu dengan yang lainnya juga sangat

mempengaruhi. Oleh karena itu, dikenal pula istilah penentuan pasar

geografis yang relevan untuk menilai kompetisi produk yang ada

dalam pasar tersebut. Berbagai hal yang dapat dianggap cukup relevan

berpengaruh adalah sebagai berikut:


25

a) struktur pasar, adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk

tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap

perilaku usaha dan kinerja pasar. Aspek-aspek tersebut antara

lain adalah jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan

keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan

penguasaan pasar.

b) perilaku pasar, adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku

usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang

dan/atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan. Tindakan

perusahaan yang dimaksud antara lain adalah pencapaian laba,

pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang

digunakan.

c) pangsa pasar, adalah persentase nilai jual atau beli barang

dan/atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar

yang bersangkutan dalam waktu tertentu.

d) harga pasar, adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang

dan/atau jasa sesuai dengan kesepakatan antara para pihak di

pasar bersangkutan.

2) Penilaian terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.

Untuk dapat menilai apakah telah terjadi pelanggaran terhadap

ketentuan monopoli menurut Section 2 Sherman Act, harus diketahui

secara pasti apakah pelaku usaha tersebut memiliki kekuasaan


26

monopoli di pasar bersangkutan tersebut. Memang tidak mudah untuk

melukiskan adanya kekuasaan monopoli tersebut. Namun sebagai

gambaran sedarhana, secara umum dapat dikatakan bahwa pelaku

usaha dianggap telah menguasai pasar secara monopoli jika ia

mempunyai pangsa pasar lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 ayat (2) juga secara

tegas menyatakan bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap

secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau

pemasaran barang dan/atau jasa, jika dua (2) atau tiga (3) pelaku usaha

atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh

lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3) Ada tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha

tertentu tersebut.

Tidak ada suatu halangan bagi individu maupun badan hukum

yang menjalankan usaha untuk mengembangkan usahanya menjadi

besar. Walau demikian, hendaknya pengembangan usaha tersebut

harus diikuti dengan cara-cara yang layak dan benar. Pada dasarnya

naluri dunia usaha memiliki “general intent” untuk menjadi besar dan

cenderung monopolistik. Pada pasar bersangkutan yang sudah jenuh,

kehendak untuk menjadi besar terkadang dilaksanakan dengan cara-

cara yang tidak wajar dan tidak sehat. Hal ini jelas tidak dikehendaki

oleh dunia usaha pada umumnya. Jika kita kembali pada makna yang
27

terkandung pada Section 2 Sherman Act, di mana penekanan diberikan

pada proses terjadinya monopoli, maka jelas usaha yang tidak sehat

merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan monopoli.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada pasal 1 huruf

(a), monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau

atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku

usaha. Pada pasal 1 huruf (b) diterangkan pula mengenai praktik monopoli, yaitu

pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan

dikuasainya produksi dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher

Pass dan Bryan Lowes, monopoli adalah suatu jenis struktur pasar (market structure)9

yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Satu perusahaan dan banyak pembeli, yaitu suatu pasar yang terdiri

dari satu pemasok tunggal dan menjual produknya pada pembeli-

pembeli kecil yang bertindak secara bebas tetapi berjumlah besar;

b. Kurangnya produk substitusi, yaitu tidak adanya produk substitusi

yang dekat dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan monopoli

(elastisitas silang permintaan / cross elasticity demand adalah nol);

9
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha, 2008, Jakarta: Kencana, hlm. 39.
28

c. Pemblokiran pasar untuk dimasuki, yaitu hambatan-hambatan untuk

masuk (barriers to entry) begitu ketat sehingga tidak mungkin bagi

perusahaan baru untuk memasuki pasar yang bersangkutan (pasar

persaingan yang sehat). Hambatan-hambatan yang dimaksud antara

lain10:

1) Rintangan alamiah untuk masuk (natural barriers to entry). Pada

rintangan ini, yang terpenting adalah skala ekonomi dan pasar

keuangan dan modal kurang sempurna. Pasar finansial yang

kurang sempurna disebabkan oleh persepsi para investor bahwa

suatu perusahaan baru yang ingin memasuki suatu pasar tertentu

menghadapi resiko bisnis yang lebih besar daripada perusahaan

mapan yang sudah bergerak di pasar tersebut, sehingga

perusahaan baru akan menghadapi biaya investasi yang lebih

tinggi.

2) Rintangan yang diciptakan oleh pemerintah (policy-generated

barriers to competition). Ini merupakan rintangan artifisial yang

dibuat oleh kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

persaingan domestik (dalam suatu negara) bukan tingkat

konsentrasi pasar yang tinggi, akan tetapi rintangan artifisial

yang dibuat oleh kebijakan pemerintah. Rintangan artifisial ini

dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan proteksi yang


10
Suhasril, dan Mohammad Taufik Makarao, op. cit. hlm 41.
29

tinggi bagi perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Hal ini

mengakibatkan biaya ekonomis yang tinggi bagi masyarakat

berupa rente ekonomi, yaitu laba monopolis yang diperoleh

perusahaan yang mapan berkat proteksi pesaing-pesaing

potensial, baik perusahaan-perusahaan baru maupun barang-

barang impor yang tidak bisa dimasuki pasar tersebut karena

rintangan yang didirikan pemerintah. Rintangan yang diciptakan

oleh kebijakan pemerintah atau rintangan artifisial ini antara lain

adalah dengan didirikannya kartel-kartel, pemberian lisensi

secara eksklusif, peraturan-peraturan ad hoc, rintangan

perdagangan antar daerah, dan pengaturan pemasaran hasil

pertanian. Contoh pemberian lisensi eksklusif adalah pemberian

lisensi kepada BPPC (Badan Penyanggah dan Pengawasan

Cengkeh) di tahun 1991 lalu, yang memonopoli pembelian dan

penjualan cengkeh sehingga mengakibatkan anjloknya harga

cengkeh sampai tingkat terendah. Juga dalam hal mendirikan

beberapa kartel yang dibuat oleh asosiasi industri dengan izin

implisit dari pemerintah, seperti kartel di industri semen, industri

kayu lapis, dan industri pulp dan kertas. Dalam iklim usaha yang

monopolistik dan tidak sehat, akan melahirkan inefisiensi

ekonomi yang tinggi dan mengakibatkan terjadinya pemborosan

terhadap sumber daya ekonomi, sehingga merugikan


30

kepentingan umum. Apalagi hal tersebut diciptakan oleh

pemerintah. Hal ini mematikan jalannya mekanisme pasar yang

sehat dan bersaing.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut dengan monopoli adalah

situasi pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional)

sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok,

sehingga harganya dapat dikendalikan11.

Dalam kegiatan monopoli, meskipun merupakan suatu bentuk kegiatan

ekonomi yang dilarang dan merupakan salah satu bentuk dari kegagalan pasar dalam

sistem ekonomi, namun terkadang monopoli diperlukan untuk memastikan

penyaluran atas produk yang memiliki tingkat biaya yang tinggi dan tingkat

permintaan yang tinggi karena kebutuhan masyarakat akan produk tersebut. Misalnya

saja dengan pemanfaatan listrik dan air. Karena biaya yang sangat mahal untuk

membangun bendungan baru atau gardu listrik baru, maka hal tersebut membuat

kebijakan pemerintah, dalam hal ekonomi, memperbolehkan kegiatan monopoli

untuk wilayah usaha tertentu. Dalam hal ini, wilayah usaha yang berkaitan dengan

kebutuhan penting masyarakat, yaitu listrik dan air. Untuk melindungi konsumen, dan

menjaga kepuasan konsumen, industri-industri, seperti industri listrik dan air diatur

oleh pemerintah dan undang-undang yang berlaku. Perusahaan-perusahan tersebut

diperbolehkan menentukan harga untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dan

mendapatkan keuntungan yang wajar.


11
Hermansyah, op. cit., hlm. 3.
31

2. Faktor-Faktor Terjadinya Monopoli

Monopoli dapat terjadi karena beberapa faktor berikut ini:

1) Tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti dari produk

yang bersangkutan (produk yang dimonopoli) disebabkan tingginya

tingkat diferensiasi produk tersebut. Tingkat diferensiasi produk di sini

dapat berupa, misalnya fanatisme konsumen terhadap merek-merek

tertentu, cita rasa atau selera konsumen yang berbeda-beda, bentuk

atau desain produk yang bersangkutan, dan lain-lain.

2) Adanya lisensi atau izin khusus dari pemerintah yang hanya diberikan

kepada beberapa pelaku usaha tertentu, atau hanya kepada satu pelaku

usaha tertentu, atau bahkan hanya kepada satu pelaku usaha saja.

Misalnya lisensi impor sebagai import tunggal.

3) Adanya penutupan atau hambatan terhadap akses pasar produk sejenis

bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha pendatang baru. Penutupan

akses ini mungkin dilakukan oleh para pelaku usaha itu sendiri (pelaku

usaha lama) atau dapat dilakukan oleh pemerintah melalui misalnya

keputusan-keputusan eksekutif yang menutup izin usaha baru untuk

sektor-sektor tertentu.

4) Demi tercapainya efisiensi industri tertentu, mengakibatkan hanya satu

atau beberapa pelakuusaha yang berskala besar saja yang mampu

mengelola usaha tersebut. Monopoli yang terjadi karena faktor seperti

ini sering disebut juga sebagai monopoli alamiah (natural monopoly).


32

5) Kebijakan kepentingan publik atau nasional yang menyebabkan

pemerintah harus mengalokasikan sektor-sektor usaha tertentu hanya

bagi pelaku-pelaku usaha tertentu saja, utamanya pelaku usaha Negara

seperti BUMN. Misalnya, sektor-sektor usaha yang berkaitan dengan

pengelolaan sumber daya alam diserahkan hanya kepada BUMN

tertentu saja.

3. Ciri-Ciri Monopoli

Ciri-ciri dari monopoli adalah sebagai berikut:

a. Hanya ada satu penjual. Dalam monopoli, hanya ada satu penjual

barang atau jasa yang menguasai produksi keseluruhan komoditi

tertentu. Oleh karena itu, keseluruhan pasar dilayani oleh perusahaan

tunggal, dan untuk tujuan praktis, perusahaan disamakan dengan

industri.

b. Kekuatan penjual atau produsen untuk menentukan harga.

Kemampuan untuk memberikan dampak pada syarat dan kondisi dari

kegiatan jual-beli sehingga harga dari produk ditetapkan oleh

perusahaan (harga tidak ditentukan oleh pasar seperti yang terjadi pada

pasar persaingan sempurna). Walaupun kekuatan pasar monopoli

tinggi, tetapi tetap dibatasi oleh permintaan dari pasar. Konsekuensi

dari monopoli adalah peningkatan harga akan mengakibatkan

hilangnya sebagian konsumen.


33

c. Tidak ada barang pengganti terdekat atau mirip (close subtitute). Ini

dikarenakan perusahaan menguasai produksi komoditas tertentu, dan

barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan merupakan barang dan/atau

jasa yang masih jarang.

d. Tidak ada atau sangat sedikit perusahaan lain yang dapat memasuki

pasar tersebut karena banyaknya hambatan atau rintangan berupa

keunggulan perusahaan.

e. Diskriminasi harga: penetapan harga kepada satu konsumen yang

berbeda dari harga kepada konsumen lain di dalam segmen pasar yang

berbeda atas suatu barang dan/atau jasa yang sama dengan alasan yang

tidak terkait dengan biaya produksi.

Pada dasarnya, persaingan dalam dunia usaha merupakan suatu syarat mutlak

(condition sine qua non) bagi terselenggaranya suatu perekonomian yang berorientasi

pasar (market economy). Peranan hukum dalam persaingan usaha adalah dari

terselenggaranya suatu persaingan yang sehat dan adil (fair competition), sekaligus

mencegah munculnya persaingan yang tidak sehat (unfair competition) karena

persaingan yang tidak sehat hanya akan bermuara pada matinya persaingan usaha

yang pada gilirannya akan melahirkan monopoli. Dalam bentuk lain, monopoli juga

dapat diartikan sebagai penguasaan lebih dari 50% pangsa pasar atas suatu jenis

komoditi tertentu oleh satu atau gabungan beberapa perusahaan. Artinya bahwa jika

suatu perusahaan menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atas komoditi tertentu maka

perusahaan tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan monopoli.


34

4. Jenis-Jenis Monopoli

Eksistensi monopoli dalam suatu kegiatan ekonomi dapat terjadi dalam

berbagai jenis, ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan perekonomian dan

masyarakatnya. Oleh karena itu, pengertian masing-masing jenis monopoli perlu

dijelaskan untuk membedakan mana monopoli yang dilarang karena merugikan

masyarakat dan mana yang ikut memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan

masyarakat. Adapun jenis-jenis monopoli tersebut adalah sebagai berikut:

1) Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh undang-

undang (monopoly by law).

Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara

untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat

hidup orang banyak. Selain itu, undang-undang juga memberikan hak

istimewa dan perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu

terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat tertentu atas hasil riset

dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan teknologi

yang bermanfaat bagi umat manusia. Pemberian hak-hak eksklusif atas

penemuan baru, baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual

seperti hak cipta (copyright), dan hak atas kekayaan industri

(industrial property) seperti paten (patent), merek (trademark), desain

produk industri (industrial design), dan rahasia dagang (trade secret)


35

pada dasarnya adalah merupakan bentuk lain monopoli yang diakui

dan dilindungi oleh undang-undang.

2) Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh

iklim dan lingkungan usaha yang sehat (monopoly by nature).

Monopoli bukanlah merupakan suatu perbuatan jahat atau

terlarang apabila kedudukan tersebut diperoleh dengan

mempertahankan posisi tersebut melalui kemampuan prediksi dan

naluri bisnis yang profesional. Kemampuan sumber daya manusia

yang professional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam

mempertahankan posisinya dalam pasar akan membuat suatu

perusahaan memiliki kinerja yang unggul (superior skill) sehingga

tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara

kualitas dan harga barang dan jasa serta pelayanan sebagaimana

dikehendaki oleh konsumen. Dalam posisinya tersebut, perusahaan

mampu beroperasi dan mengelola sedemikian rupa berbagai komponen

masukan (input) sehingga dalam industri di mana ia berada, biaya rata-

rata per unit produksi menurun tajam (decreasing cost industry) pada

tingkat-tingkat produksi selanjutnya dan semakin besar skala produksi

perusahaan tersebut. Dalam hal ini perusahaan dapat menyediakan

keluaran (output) yang lebih efisien daripada yang dihasilkan oleh

perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan seperti itu mampu

mengelola secara tepat lima faktor persaingan yang menentukan


36

kemampuan industri sebagaimana dikemukakan oleh Michael Porter,

yaitu daya tawar menawar pemasok, ancaman pendatang baru, daya

tawar menawar pembeli, ancaman produk atau jasa substitusi, dan

persaingan di antara perusahaan yang ada. Pelaku usaha atau

perusahaan yang memiliki kinerja unggul seperti itu sering memiliki

jurus-jurus rahasia dagang (trade secret) yang meskipun tidak

memperoleh hak eksklusif dan pengakuan dari negara, namun dengan

teknologi rahasianya tersebut, perusahaan mampu menempatkan

posisinya sebagai perusahaan monopoli. Perusahaan seperti ini jelas

memiliki kontribusi terhadap efisiensi ekonomi dan kesejahteraan

konsumen (consumer welfare). Adanya Undang-Undang Anti

Monopoli hanyalah untuk memastikan bahwa kekuatan yang dimiliki

oleh perusahaan seperti itu tidak disalahgunakannya untuk mematikan

persaingan usaha. Monopoli alamiah juga dapat terjadi bila untuk suatu

ukuran pasar (market size) akan lebih efisien bila hanya ada satu

pelaku usaha atau perusahaan yang melayani pasar tersebut.

Perusahaan kedua yang memasuki arena persaingan akan menderita

rugi dan tersingkir secara alamiah, karena ukuran pasar yang tidak

memungkinkan adanya pendatang baru. Dalam bentuk lain, monopoli

alamiah juga akan muncul jika pelaku usaha memiliki kekhususan

yang ditawarkan pada konsumen, misalnya karena rasa dan selera

tertentu yang tidak dapat ditiru oleh pelaku usaha yang lain. Fenomena
37

seperti misalnya terjadi pada produk makanan, atau rancangan gaya

berpakaian yang eksklusif.

3) Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan

mekanisme kekuasaan (monopoly by lisence).

Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi

antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya

menimbulkan distorsi ekonomi karena mengganggu bekerjanya

mekanisme pasar yang efisien. Umumnya monopoly by lisence

berkaitan erat dengan para pemburu rente ekonomi (rent seekers) yang

mengganggu keseimbangan pasar untuk kepentingan mereka. Berbagai

kelompok usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam

pemerintahan pada umumnya memiliki kecenderungan melakukan

perbuatan-perbuatan tercela seperti itu, meskipun tidak semuanya

memiliki rent seeking behavior. Perburuan rente (rent seeking) sangat

mencederai semangat persaingan usaha (fair competition) karena

dianggap sebagai pelaku usaha yang melakukannya tidak berani

mengambil resiko. Dengan jaminan lisensi yang diperoleh dari

pemerintah, mereka tinggal menunggu laba masuk saja.

4) Monopoli karena terbentuknya struktur pasar akibat perilaku dan sifat

serakah manusia.

Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar

dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang
38

sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal

(capital) yang sangat besar untuk memperoleh posisi dominan guna

menggusur para pesaing yang ada. Unsur-unsur yang mempengaruhi

perilaku para pelaku usaha tersebut manifestasinya dalam praktik

bisnis sehari-hari adalah sedapat-dapatnya menghindari munculnya

pesaing baru, karena munculnya pesaing atau rivalitas dalam berusaha

akan menurunkan tingkat keuntungan. Hal ini dapat terjadi karena

keputusan tentang kualitas, kuantitas, dan kebijakan harga tidak lagi

ditentukan oleh satu pelaku usaha atau satu perusahaan saja, tetapi juga

dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh para pesaingnya. Itulah

sebabnya para pelaku usaha cenderung melakukan hal-hal yang

bersifat antipersaingan dalam menjalankan usahanya dan yang lebih

ekstrem lagi, melakukan praktik bisnis yang tidak jujur. Praktik bisnis

yang bersifat antipersaingan dan tidak jujur tersebut dapat dilakukan

secara sendiri atau bekerja sama dengan para pelaku usaha lainnya.

Jelasnya, monopoli yang menghambat persaingan adalah monopoli

yang melakukan penyimpangan struktur pasar karena menyebabkan

terjadinya pembentukan pasar, pembagian pasar, dan

menyalahgunakan kekuatan pasar (market power) guna menyingkirkan

para pesaing keluar dari arena pasar. Setelah para pesaing tersingkir

dari arena, dengan sesukanya pelaku usaha tersebut melakukan kontrol

atas harga. Pada jenis monopoli seperti itu, konsumen akan sangat
39

dirugikan karena tidak lagi memiliki alternatif lain pada saat akan

membeli barang dan/atau jasa tertentu dengan kualitas yang andal serta

harga yang wajar dan bersaing. Kondisi sepeerti itu akan melahirkan

inefisiensi ekonomi dan memiliki potensi pemborosan sumber daya,

terutama sumber daya alam. Kerugian masyarakat tersebut dinamakan

dead weight loss.

Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat mengganggu

bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu, jenis monopoli pada

poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan

ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.

Selain bentuk-bentuk monopoli sebagaimana diuraikan di atas, menurut Arie

Siswanto, ada pula beberapa kriteria yang bisa ditemukan terhadap beberapa variasi

monopoli, yaitu sebagai berikut:

a. Berdasarkan pada siapa yang memegang atau memiliki kekuasaan

monopoli, monopoli dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Monopoli publik (public monopoly)

Monopoli publik adalah jika monopoli dipunyai oleh badan publik

(BUMN)

2) Monopoli swasta (private monopoly)

Monopoli swasta adalah jika monopoli dipegang oleh pihak non

publik / bukan BUMN, misalnya: perusahaan swasta, koperasi dan

perorangan.
40

b. Berdasarkan keadaan yang menyebabkan, monopoli dibagi menjadi

dua, yaitu:

1) Monopoli alami (natural monopoly)

Monopoli alami adalah monopoli yang disebabkan oleh faktor-

faktor alami yang eksklusif, yaitu jika di suatu daerah terdapat

barang tambang yang tidak dijumpai di daerah lain, pengelola

sumber daya alam di wilayah itu akan memiliki natural ekonomi.

Misalnya: RRC dalam pengelolaan tanah langka.

2) Monopoli sosial (social monopoly)

Monopoli sosial adalah monopoli yang tercipta dari tindakan

manusia atau kelompok sosial.

Misalnya: monopoli hak cipta yang diberikan kepada negara kepada

seorang pencipta.

c. Berdasarkan sistem hukum, monopoli dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Monopoli legal

Monopoli legal adalah monopoli yang tidak dilarang oleh hukum

suatu negara.

2) Monopoli ilegal

Monopoli ilegal adalah monopoli yang dilarang oleh hukum suatu

negara. Mengingat banyaknya sistem hukum yang berbeda-beda,

maka kriteria legal dan ilegal antara negara yang satu dan negara

lainnya juga berlainan.


41

Kwik Kian Gie, menulis dalam bukunya yang berjudul “Praktik Bisnis dan

Orientasi Ekonomi Indonesia”12, mengemukakan bentuk-bentuk monopoli yang pada

hakekatnya berbeda-beda seperti berikut ini:

1) Monopoli yang diberikan begitu saja oleh pemerintah kepada swasta

berdasarkan nepotisme.

2) Monopoli yang terbentuk karena beberapa pengusaha yang

bersangkutan membentuk kartel ofensif.

3) Monopoli yang tumbuh karena praktik persaingan yang nakal,

misalnya pengendalian produk dari hulu sampai hilir. Lalu yang hilir

lainnya didiskriminasi dalam memperoleh bahan baku yang

dikuasainya juga.

4) Monopoli yang dibentuk untuk pembentukan dana yang pengunaannya

adalah untuk sosial dan dipertanggungjawabkan kepada publik, hal ini

baik tujuannya namun jelek dalam prosedurnya. Ini artinya adalah

memungut pajak tanpa melalui undang-undang, jadi dapat dikatakan

monopoli tersebut melanggar undang-undang dasar.

5) Monopoli adalah yang diberikan kepada innovator dalam bentuk oktroi

dan paten untuk jangka waktu yang terbatas.

6) Monopoli yang terbentuk karena perusahaan yang bersangkutan selalu

menang dalam persaingan yang sudah dibuat wajar dan adil. Monopoli

12
Suhasril dan Prof. Mohammad Taufik Makarao, op. cit., hlm. 31.
42

seperti ini justru muncul karena unggul dalam segala bidang produktif

dan efisien.

7) Monopoli yang dipegang oleh negara dalam bentuk BUMN. Karena

barangnya dianggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak.

8) Monopoli yang disebabkan karena pembentukan kartel defenitif, agar

persaingan yang sudah saling mematikan dapat dihentikan. Caranya

adalah dengan pembentukan kartel defenitif, agar perusahaan-

perusahaan tidak bangkrut. Sifatnya harus sementara dan dijaga agar

jangan sampai berkembang menjadi kartel ofensif. Maka jelas bahwa

monopoli merupakan pemusatan kekuatan tunggal di pasar, dan

cenderung menghambat alokasi sumber daya secara efisien.

5. Aspek Positif dan Aspek Negatif Monopoli

Monopoli, meskipun secara umum lebih sering dikemukakan bahwa monopoli

itu negatif, namun apabila ditelusuri lebih dalam lagi memiliki aspek positif dan

negatif dalam pelaksanaannya. Aspek positif dari monopoli adalah sebagai berikut:

1) Monopoli dapat memaksimalkan efisiensi pengelolaan sumber daya

ekonomi tertentu. Apabila sumber daya alam minyak bumi dikelola

oleh salah satu unit usaha tunggal yang besar, maka ada kemungkinan

bahwa biaya-biaya tertentu akan bisa dihindari.

2) Monopoli juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan pelayanan

terhadap konsumen dalam industri tertentu. Dalam bidang usaha


43

pelayanan telekomunikasi, misalnya, para pengguna jasa akan bisa

saling berhubungan tanpa kesulitan karena hubungan itu difasilitasi

oleh satu perusahaan yang memiliki basis teknologi yang bisa

dimanfaatkan oleh semua konsumen. Hal ini mungkin saja tidak terjadi

jika usaha pelayanan telekomunikasi dibuka bagi persaingan. Dalam

hal terjadi persaingan, ada kemungkinan perusahaan-perusahaan yang

saling bersaing itu mengembangkan sendiri teknologi mereka bagi

konsumen mereka sendiri. Dengan demikian, ada kemungkinan

mereka memiliki basis teknologi yang saling berbeda yang akan

menyulitkan konsumen perusahaan yang satu untuk berhubungan

dengan konsumen perusahaan lainnya.

3) Monopoli bisa menghindarkan duplikasi fasilitas umum. Adakalanya

bidang usaha tertentu akan lebih efisien bagi publik apabila dikelola

hanya oleh satu perusahaan. Jika distribusi air minum diberikan pada

lebih dari satu perusahaan yang saling bersaing, yang mungkin terjadi

adalah bahwa mereka akan membangun sendiri instalasi

(penampungan, pipa-pipa) air minum mereka. Dari sisi kepentingan

publik, duplikasi fasilitas air minum itu bisa dianggap sebagai sesuatu

yang kurang efisien.

4) Dari sisi produsen, monopoli bisa menghindarkan biaya iklan serta

biaya diferensiasi. Jika terjadi persaingan, setiap perusahaan yang

bersaing akan saling mencoba merebut konsumen dengan banyak cara.


44

Iklan tampaknya menjadi cara yang cukup penting untuk menjangkau

konsumen. Setiap perusahaan juga akan berkecenderungan untuk

membuat produk mereka bisa dibedakan dari produk perusahaan lain.

Dalam hal terjadi monopoli, kedua macam biaya tersebut tidak

relevan. Dalam pasar monopoli, perusahaan akan selalu berada pada

pihak yang lebih dibutuhkan oleh konsumen. Perusahaan tidak perlu

bersusah-susah mendapatkan konsumen melalui iklan maupun

diferensiasi produk.

5) Dalam monopoli, biaya kontraktual bisa dihindarkan. Persaingan

membuat kekuatan ekonomi tersebar (dispersed). Dengan demikian,

maka para pelaku ekonomi akan memiliki kekuatan relatif yang tidak

jauh berbeda. Konsekuensinya, jika mereka akan saling bertransaksi,

waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan menjadi lebih besar. Kondisi

ini tidak dijumpai dalam kondisi monopoli di mana peluang untuk

bernegosiasi tidak terlalu besar.

6) Monopoli bisa digunakan sebagai sarana untuk melindungi sumber

daya tertentu yang penting bagi masyarakat luas dari eksploitasi yang

semata-mata bersifat “profit-motive”.

Adapun aspek negatif dari monopoli adalah sebagai berikut:

1) Monopoli membuat konsumen tidak mempunyai kebebasan memilih

produk sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka. Jika penawaran

sepenuhnya dikuasai oleh seorang produsen, secara praktis para


45

konsumen tidak punya pilihan lain. Dengan kata lain, mau tidak mau ia

harus menggunakan produk satu-satunya itu.

2) Monopoli membuat posisi konsumen menjadi rentan di hadapan

produsen. Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang lebih

dibutuhkan daripada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen

untuk merugikan konsumen melalui penyalahgunaan posisi

monopolistiknya. Ia, antara lain, menjadi bisa menentukan harga

secara sepihak, secara menyimpang dari biaya produksi riil.

3) Monopoli juga berpotensi menghambat inovasi teknologi dan proses

produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen lantas tidak

memiliki motivasi yang cukup besar untuk mencari dan

mengembangkan teknologi dan proses produksi baru. Akibatnya,

inovasi teknologi dan proses produksi akan mengalami stagnasi.

B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Sebagai Sumber Hukum Anti Monopoli

1. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Sebelum Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum persaingan usaha yang bersifat
46

komperhensif ternyata bukan satu-satunya instrumen hukum yang mengatur

persaingan usaha. Di dalam hukum lain ternyata dapat pula ditemukan pasal-pasal

tertentu yang berkenaan dengan persaingan usaha. Beberapa ketentuan yang

menyangkut persaingan usaha sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat

ditemukan tercantum dalam instrument-instrumen hukum berikut:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Meskipun dirumuskan secara umum, di dalam KUHP dapat

ditemukan pasal yang mengatur persaingan usaha. Pasal 382 bis

KUHP mengancam pidana bagi orang yang melakukan persaingan

curang. Bunyi Pasal 382 bis KUHP tersebut adalah sebagai berikut ini:

“Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan, atau


memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri
atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam,
jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi
konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain
karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga
belas ribu lima ratus rupiah.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Di dalam Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa


kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
megganti kerugian tersebut.”
47

Pasal ini sebenarnya merupakan pasal yang cakupannya sangat

luas karena hanya meletakkan prinsip bahwa orang yang menimbulkan

kerugian pada orang lain karena perbuatan melanggar hukum wajib

mengganti kerugian. Dengan bunyi pasal seperti itu, siapa pun yang

merasa dirugikan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hukum

dapat memiliki akses untuk menuntut ganti rugi secara hukum. Jelas

pasal ini tidak mengatur persaingan usaha secara khusus, namun hanya

karena keluasan dari cakupan pasal ini, orang dapat menjadikan pasal

ini sebagai dasar mereka yang menderita kerugian akibat perbuatan

curang di dalam persaingan usaha.

3) Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960)

Khusus untuk bidang yang berkenaan dengan agraria, Pasal 13

ayat (2) UUPA menentukan bahwa:

“Pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-


organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli
swasta”.

Lebih lanjut Pasal 13 ayat (3) UUPA menentukan bahwa:

“Monopoli pemerintah dalam lapangan agrarian dapat


diselenggarakan asal dilakukan dengan undang-undang”.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah undang-undang atau ketentuan khusus (lex

spesialis) dalam hal menanggulangi tindak kejahatan di bidang “praktik monopoli


48

dan persaingan usaha tidak sehat” yang saat ini telah digunakan sebagai pengganti

dari perundang-undangan yang telah dijabarkan di atas (lex generalis). Dengan

demikian dalam penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berlaku asas lex spesialis de

rogaat lex generalis, yaitu ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum.

2. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Keikutsertaan Indonesia di dalam forum ASEAN Free Trade Area (AFTA),

WTO, maupun Asia Pasific Economic Coorperation (APEC) sesungguhnya

merupakan komitmen Indonesia terhadap perdagangan bebas. Kemandirian negara-

negara Asia Pasifik secara drastis lenyap ketika kawasan ini dilanda krisis ekonomi

sejak tahun 1997. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bermula ketika Indonesia mengalami

krisis moneter (krisis ekonomi) pada pertengahan 1997 hingga mencapai puncaknya

pada tahun 1998. Kondisi perekonomian Indonesia saat itu betul-betul terpuruk,

hampir semua bidang usaha mengalami kemacetan. Ketika krisis moneter muncul

yang menggoncangkan roda pemerintahan dan sistem perekonomian, inflasi

meningkat, pemerintah kesulitan di sektor keuangan, maka untuk mengatasinya

pemerintah mencari sumber dana lain untuk menghidupi perekonomian dan

pemerintahannya. Hampir semua lembaga keuangan di dunia dilobi agar bisa

mengucurkan dana ke Indonesia. International Monetary Fund (IMF) mau

mengucurkan bantuannya dengan berbagai persyaratan. Salah satu syarat yang

ditentukan IMF adalah bahwa Indonesia harus membuat legislasi untuk menjamin
49

persaingan usaha yang sehat. Syarat tersebut dipandang perlu karena ketiadaan

perangkat hukum persaingan usaha yang dianggap memungkinkan bagi tumbuhnya

monopoli swasta yang tidak terkendali dan mengakibatkan praktek-praktek usaha

yang bersifat anti persaingan. Kebutuhan akan perangkat hukum persaingan usaha

juga ditangkap oleh DPR yang segera membuat RUU persaingan usaha. RUU yang

disusun oleh DPR dan sempat disosialisasikan melalui beberapa forum diskusi itu

pada akhirnya disetujui oleh pemerintah dan secara formal dikeluarkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Kebijakan menegakkan persaingan yang wajar dan sehat dalam dunia usaha

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antara lain ditujukan untuk:

a. Menjamin persaingan di pasar yang sepadan dengan pencapaian

efisiensi ekonomi di semua bidang kegiatan usaha dan perdagangan;

b. Menjamin kesejahteraan konsumen serta melindungi kepentingan

konsumen; dan

c. Membuka peluang pasar yang seluas-luasnya dan menjaga agar tidak

terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada kelompok tertentu.

Walaupun judul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bersifat negasi atau larangan,

tetapi substansinya positif untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat di

Indonesia. Untuk mencermati Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang


50

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka harus kembali

pada tiga aspek yang mendasar, yaitu ekonomi, hukum, dan internasional, yang

dijabarkan sebagai berikut:

1) Aspek Ekonomi

Dari sudut pandang ekonomi, pengaturan persaingan usaha

diharapkan dapat mewujudkan:

a. Peningkatan daya saing produk lokal sehingga mampu bersaing

dengan produk impor dan mendorong pangsa pasar internasional;

b. Efisiensi manfaat sumber daya yang dimiliki suatu bangsa;

c. Peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan

d. Pendorong inovasi.

2) Aspek Hukum

Dari sudut pandang hukum, pengaturan persaingan usaha

diharapkan dapat mewujudkan keadilan, bukan hanya bagi pelaku

usaha, tetapi juga bagi konsumen produk yang dihasilkan para pelaku

usaha tersebut. Konsumen dan pelaku usaha berhak mendapatkan

keadilan dan situasi persaingan yang sehat agar tidak ada pihak-pihak

yang dirugikan. Jadi pada aspek hukum ini yang perlu diperhatikan

secara integral dalam prinsip keadilan, yaitu sebagai berikut:

a. Pelaku Usaha
51

Dari sudut pelaku usaha, prinsip ini berarti pelaku usaha

memiliki kesempatan yang sama (tidak ada diskriminasi) dan

adil dalam mengembangkan potensi-potensinya.

b. Kepentingan Konsumen

Kepentingan konsumen berarti memiliki kebebasan untuk

menentukan pilihan terhadap produk yang sesuai dengan

kebutuhannya berdasarkan kualitas yang baik, harga wajar, dan

layanan yang prima.

3) Aspek Internasional

Bukan hanya masalah pertimbangan globalisasi tetapi juga aspek

yuridis formalnya, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1995 tentang

Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

(Agreement Establishing The World Trade Organization). Dengan

demikian, Indonesia telah turut meratifikasi hasil Final Act Uruguay

Round. Atas dasar hukum internasional seperti yang tercantum dalam

Konvensi Wina 1969, ratifikasi tersebut memiliki akibat hukum

eksternal dan internal bagi negara yang melakukannya.

Akibat hukum eksternal yaitu bahwa melalui tindakan tersebut

berarti negara penandatangan telah menerima segala kewajiban yang

dibebankan oleh persetujuan internasional tersebut. Sedangkan akibat

hukum internal yaitu kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk

mengubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan


52

persetujuan internasional yang bersangkutan. Tentu saja harus pula

disertai dengan jaminan bahwa hukum nasional tersebut diterapkan

secara konsisten.

3. Asas dan Tujuan Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Suatu undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat yang efektif merupakan syarat mutlak (absolute prerequisite) bagi berjalannya

ekonomi pasar. Adapun asas dan tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

tercantum secara implisit dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tersebut. Pasal 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:

“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan


usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.”

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi: Tujuan Pembentukan Undang-undang

ini adalah untuk:

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi


ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
53

Adanya asas demokrasi ekonomi di dalam perekonomian Indonesia artinya para

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya harus memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum yang mana

ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak. Memperhatikan kepentingan

umum artinya pelaku usaha menghormati kepentingan lain yang menyangkut

kepentingan orang banyak. Pada dasarnya tujuan undang-undang larangan persaingan

usaha tidak sehat adalah menciptakan efisiensi terhadap ekonomi pasar dengan

mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan demokrasi, dan terutama

menerapkan sanksi terhadap pelanggaran dari ketentuan undang-undang, baik sanksi

administratif maupun sanksi pidana. Menurut Sutan Remy Syahdeni 13, S.H, tujuan

undang-undang persaingan usaha atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah

efisiensi, di mana dijelaskan sebagai berikut:

1. Efisiensi bagi para produsen (productive efficiency), yaitu efisiensi bagi

perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa. Perusahaan dikatakan

efisien apabila dalam menghasilkan barang dan jasa perusahaan tersebut

dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya karena dapat

menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin.

2. Efisiensi bagi masyarakat (allocative efficiency) adalah efisiensi bagi

masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisien apabila para

13
Ibid., hlm. 106.
54

produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen

dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk

membayar harga barang yang dibutuhkan.

Pada prinsipnya, tujuan undang-undang persaingan usaha adalah untuk

menciptakan efisiensi dan keadilan terhadap pelaku pasar dengan cara menghilangkan

distorsi pasar, antara lain:

a. Memberi kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk

menjalankan kegiatan usaha,

b. Menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif,dan

c. Meningkatkan kesejahteraan rakyat (kepentingan umum) sebagai

konsumen.

Untuk usaha kecil, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan perlakuan khusus

berupa pengecualian dari ketentuan dalam undang-undang tersebut, yaitu dalam Pasal

50 h Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan demikian, larangan dan sanksi dalam undang-

undang ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil (UKM).

Alasan UKM dikecualikan adalah karena UKM tidak memiliki kemampuan yang

kuat untuk bersaing dengan pelaku usaha besar. Hal ini disebabkan antara lain oleh

permodalan UKM yang lemah dan kemampuan sumber daya manusia UKM yang

sangat terbatas. Dengan dikecualikannya UKM pada undang-undang ini, maka UKM

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang


55

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat antara lain dapat

melakukan diskriminasi harga, kartel (harga produksi dan wilayah), perjanjian

tertutup, dan boikot dalam melakukan usahanya.

4. Jenis-Jenis Perjanjian Yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha

Jenis-diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, sebagai berikut:

1) Oligopoli

Oligopoli diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Pasal 4 ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut menyatakan adanya

larangan perjanjian bersama dan kegiatan yang mengarah pada

penguasaan pangsa pasar.

2) Penetapan Harga (Price Fixing)

Penetapan harga diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada dasarnya yang

diatur mengenai penetapan harga adalah larangan perjanjian

bersama untuk menetapkan harga. Perjanjian penetapan harga

dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:

a. Penetapan harga (price fixing)

Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang

disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes,

penetapan harga diartikan sebagai penentuan suatu harga


56

(price) umum untuk suatu barang atau jasa oleh suatu

keolmpok pemasok yang bertindak secara bersama-sama,

sebagai kebalikan atas pemasok yang menetapkan

harganya sendiri secara bebas. Perjanjian penetapan harga

(price fixing) diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Diskriminasi harga (price discrimination)

Diskriminasi harga adalah harga kepada satu konsumen

berbeda dari harga kepada konsumen lain atau suatu

barang dan/atau jasa yang sama dengan alasan yang tidak

terkait dengan biaya produksi. Diskriminasi harga diatur

dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

c. Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing)

Penetapan harga di bawah harga pasar adalah suatu

strategi yang biasa dilakukan perusahaan yang dominan

untuk menyingkirkan pesaingnya di suatu pasar dengan

cara menetapkan harga atau harga penjualan yang sangat

rendah dan umumnya di bawah biaya variabel. Apabila

perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar ini tidak


57

dilarang, maka pihak atau pelaku usaha yang tidak kuat

modal dapat tersingkir dari persaingan. Penetapan harga di

bawah harga pasar diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

d. Penetapan harga jual kembali (resale price maintenance)

Penetapan harga jual kembali adalah kesepakatan antara

pemasok dan distributor tentang pemasokan barang

dan/atau jasa tertentu yang didasarkan pada kondisi

kesepakatan bahwa pihak distributor akan menjual kembali

pada harga yang ditetapkan (secara sepihak) atau

ditentukan oleh pihak pemasok. Penetapan harga jual

kembali diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3) Pembagian Wilayah

Pembagian wilayah adalah melarang pelaku usaha membuat

perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bertujuan untuk

membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang

dan/atau jasa. Aturan mengenai pembagian wilayah tercantum

dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


58

4) Pemboikotan

Pemboikotan yang secara tegas diatur oleh Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) adalah

pemboikotan yang dilakukan dengan perjanjian, padahal sebenarnya

pemboikotan itu bisa dilakukan secara sepihak (unilateral) berupa

kegiatan atau tindakan, tanpa perlu mengadakan perjanjian dengan

pihak lain. Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua, disusun

oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, boikot14 mengandung arti

penghentian pasokan barang oleh produsen untuk memaksa

distributor menjual kembali barang tersebut dengan ketentuan

khusus.

5) Kartel

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu

pengertian kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan

dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu.

Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang

disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, kartel adalah

suatu bentuk kolusi atau persengkongkolan antara suatu kelompok

yang bertujuan untuk mencegah persaingan sesama mereka secara

keseluruhan atau sebagian. Kartel diatur dalam Pasal 11 Undang-


14
Ibid., hlm 125.
59

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

6) Trust

Mengenai trust diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Jika dalam kartel anggota-anggotanya hanya

diikat oleh perjanjian atau kesepakatan, maka dalam trust anggota-

anggotanya diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.

7) Oligopsoni

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oligopsoni adalah

situasi pasar yang sebagian pembelinya dapat mempengaruhi pasar

secara tidak seimbang. Sedangkan menurut Kamus Lengkap

Ekonomi Edisi Kedua oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes,

oligopsoni diartikan sebagai suatu bentuk dari pemusatan pembeli

(buyer concentration), yaitu situasi pasar di mana beberapa pembeli

besar berhadapan denngan banyak pembeli-pembeli yang kecil.

Oligoposoni diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

8) Integrasi Vertikal

Yang dimaksud integrasi vertikal adalah suatu penguasaan

dengan serangkaian cara atau proses produksi atas barang tertentu


60

dilakukan mulai dari hulu sampai hilir. Integrasi vertikal diatur

dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

9) Perjanjian Tertutup (Exclusive Dealing)

Pada pokoknya pelaku usaha berhak menentukan sendiri

pihak penjual atau pembeli atau pemasok di pasar sesuai dengan

kebutuhan dan berlakunya sistem atau mekanisme pasar. Ada aturan

yang membatasi kebebasan tersebut untuk menghindari terjadinya

persaingan usaha tidak sehat, yaitu pada Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada Pasal 15 tersebut menyatakan

bahwa adanya larangan perjanjian tertutup yang hanya menerima

dan memasok kepada pihak tertentu.

10) Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri

Perjanjian dengan pihak luar negeri diatur dalam Pasal 16

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada pasal tersebut

diatur adanya larangan perjanjian dengan pihak luar negeri yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli.

5. Kegiatan Yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha

1) Monopoli
61

Pasal yang mengatur ketentuan larangan monopoli ada pada

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di mana secara

garis besar berisi larangan kegiatan yang mengarah pada penguasaan

pangsa pasar.

2) Monopsoni

Kegiatan monoposoni dimengerti sebagai kegiatan yang

dilakukan seseorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa

pasar yang besar untuk membeli produk tertentu. Larangan kegiatan

monopsoni dilarang pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

3) Penguasaan Pasar

Berdasarkan ketentuan yang diatur pada Pasal 19 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, penguasaan pasar meliputi:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu


untuk melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang
bersangkutan,
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu,
c. membatasai peredaran dan/atau penjualan barang dan atau
jasa pada pasar yang bersangkutan,
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.
62

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

menyatakan bahwa melakukan jual rugi juga termasuk dalam kategori

penguasaan pasar. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat menyatakan bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya

produksi atau biaya lain dapat dimasukkan dalam kategori penguasaan

pasar.

4) Persengkongkolan

Persangkongkolan atau konspirasi adalah segala bentuk kerja

sama di antara pelaku usaha, dengan atau tanpa melibatkan pihak

selain pelaku usaha, untuk memenangkan persaingan secara tidak

sehat. Terdapat beberapa jenis persengkongkolan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:

1. persengkongkolan untuk mengatur pemenang tender (Pasal 22),

2. persengkongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan (Pasal

23),

3. persengkongkolan untuk menghambat pasokan produk (Pasal 24).

Isi Undang-Undang Anti Monopoli sesuai dengan standar internasional, yaitu

sebagai berikut:
63

a. Melarang perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli atau persaingan tidak sehat;

b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga konsumen,

perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi dan knowhow;

c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang

menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan

usaha tidak sehat;

d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima

barang dengan cara menyalahgunakan posisi dominan di pasar atau

persaingan di pasar;

e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan

diskriminasi, baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau

penolakan melakukan hubungan usaha.

C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terdapat suatu lembaga independen

yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, yaitu Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dapat menjamin pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Untuk menjamin independensi kerja komisi

dari pengaruh pemerintah dan pihak lain ditentukan bahwa anggota komisi diangkat

dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.


64

Menurut UU No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat ini, setiap orang dimungkinkan untuk memberikan

laporan kepada komisi jika mengetahui ada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap undang-undang tersebut (Pasal 38 ayat (1)). Pihak yang

dirugikan sebagai akibat pelanggaran terhadap undang-undang ini juga berhak untuk

melaporkan secara tertulis kepada komisi mengenai telah terjadinya pelanggaran serta

kerugian yang ditimbulkan. Komisi ini juga secara proaktif melakukan pemeriksaan

terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran terhadap undang-

undang ini. Artinya komisi tidak harus menunggu laporan dari masyarakat untuk

memulai melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang telah melakukan

pelanggaran.

Menurut Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha atau pihak lain yang diperiksa wajib

menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyidikan atau pemeriksaan. Artinya

adalah pelaku usaha dilarang untuk menolak diperiksa, menolak memberikan

informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan pemeriksaan atau menghambat

proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan. Meskipun demikian, komisi tidak

memiliki kewenangan secara hukum untuk menindak (memaksa) pelaku usaha yang

menolak untuk diperiksa atau menolak memberikan informasi kepada komisi. Kalau

ada pelaku usaha yang menolak untuk diperiksa atau menolak memberikan informasi

maka pelaku usaha tersebut oleh komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan
65

penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

1. Status Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

KPPU bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI, oleh karenanya komisi

ini memperoleh sumber dana dari APBN ataupun sumber-sumber keuangan lainnya.

Dalam Pasal 30 bagian pertama, status KPPU adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi

Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutanya disebut komisi.

b. Komisi adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan

kekuasaan serta pihak lain.

c. Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.

Komisi adalah lembaga independen, oleh karenanya KPPU bebas dari pengaruh

dan kekuasaan pemerintah. KPPU tidak hanya terlepas dari kekuasaan pemerintah

melainkan juga dari pengaruh pihak lain, seperti misalnya lembaga kemasyarakatan

atau kelompok masyarakat yang memgang kekuasaan keuangan atau ekonomi.

Kemandirian komisi yang termuat dalam UU No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah hak istimewa yang

diperlukan untuk dapat melaksanakan undang-undang secara efisien. Dengan

demikian, KPPU berkewajiban memelihara ketidaktergantungan tersebut dan tidak

membuka diri terhadap pengaruh dari luar.

2. Syarat dan Keanggotaan KPPU

Bentuk keanggotaan KPPU adalah sebagai berikut:


66

a. Komisi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, wakil ketua

merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang

anggota.

b. Anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas

persetujuan DPR.

c. Masa jabatan anggota komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat

diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

d. Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan

dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota dapat

diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Persyaratan sebagai anggota komisi adalah sebagai berikut:

a. Warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30

(tiga puluh) tahun dan setingi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada

saat pengangkatan;

b. Setia kepada Pancasila dan UUD RI 1945;

c. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. Jujur, adil, dan berkelakuan baik;

e. Bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;

f. Berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan

dan keahlian di bidang hukum dan/atau ekonomi;

g. Tidak pernah dipidana; dan


67

h. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; tidak terafiliasi

dengan suatu badan usaha.

Anggota komisi dapat berhenti kerna hal-hal sebagai berikut:

a. Meninggal dunia.

b. Mengundurkan diri atas pemintaan sendiri.

c. Bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia.

d. Sehat jasmani dan rohani terus-menerus.

e. Berakhirnya masa jabatan keanggotaan komisi.

f. Diberhentikan.

3. Tugas dan Wewenang KPPU

Pembentukan komisi serta susunan organisasi, tugas dan fungsinya ditetapkan

dengan Keputusan Presiden. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, komisi dibantu

oleh sekretariat. Komisi dapat membentuk kelompok kerja. Ketentuan mengenai

susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih

lanjut dengan keputusan komisi.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 UU No. 5 tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tugas dari Komisi

Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.


68

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur

dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24.

c. Melakukan penilaian terhadap ada tidaknya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam

Pasal 25 sampai dengan Pasal 28.

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana

diatur dalam Pasal 36.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan

pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan

undang-undang ini.

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada

Presiden dan DPR.

Adapun wewenang Komisi adalah sebagai berikut:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau pelaku usaha tentang

dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.
69

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus

dugaan terjadinya terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat dan atau pelaku

usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap

orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f yang tidak

bersedia memenuhi panggilan Komisi.

d. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya

dengan pemyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

e. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna pemyelidikan dan atau pemeriksaan.

f. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.

g. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

melakukan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat.

h. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrative kepada pelaku

usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

4. Cara Penanganan Perkara oleh KPPU


70

Penanganan perkara oleh KPPU dimulai dari dilakukannya pemeriksaan

pendahuluan untuk kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan

dilakukan KPPU apabila:

a. Adanya laporan dari pihak ketiga yang mengetahui terjadinya

pelanggaran,

b. Laporan dari pihak yang dirugikan, dan

c. Atas inisiatif sendiri dari KPPU tanpa adanya laporan (Pasal 40).

Pembuktian dalam hukum persaingan usaha sama dengan pembuktian yang

berlaku secara umum, yaitu menganut asas minimal dua alat bukti. Artinya jika hanya

satu alat bukti tidak bernilai sebagai alat bukti, sesuai dengan asas unus testis nullus

testis yaitu seorang saksi bukan saksi. Suatu tindakan dapat dikatakan terbukti jika

didukung oleh dua alat bukti yang memiliki persesuaian satu sama lain. Alat-alat

bukti yang dapat digunakan oleh KPPU untuk melakukan pemeriksaan yaitu

petunjuk; keterangan saksi; keterangan ahli; surat dan/atau dokumen; dan keterangan

pelaku usaha.

Kemudian dilakukan penyelidikan terhadap kasus yang bersangkutan. Komisi

pengawas juga dapat memberikan putusan bersalah atau tidaknya pelaku usaha yang

melakukan persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan bahwa komisi ini dalam

tugas-tugasnya dapat bertindak sekaligus sebagai penyelidik, jaksa, dan hakim yang

memutus. Walaupun demikian tugas dan wewenang tersebut semata-mata hanya

wewenang bersifat administratif, tidak serta-merta bersifat perdata atau pidana.

Pelaku usaha dilarang menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan.


71

Pelaku usaha tidak boleh menolak memberikan informasi, yang menurut komisi

diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

Dalam hal sudah diputuskan perkara oleh komisi, maka pelaku usaha wajib

melaksanakan putusan tersebut dalam waktu tiga puluh hari sejak diterimanya

pemberitahuan. Pelaku usaha yang bersangkutan juga dapat mengajukan banding

dengan permohonan agar putusan komisi tersebut diperiksa oleh hakim. Pelaku usaha

dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya empat

belas hari setelah menerima pemberutahuan. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan

keberatan, maka putusan komisi mempunyai kekuatan hukum tetap dan pelaku usaha

bersangkutan dianggap menerima putusan tersebut. Bila pada tingkat banding di

Pengadilan Negeri masih ada pihak yang tidak setuju dengan putusan Pengadilan

Negeri, baik komisi ataupun pelaku usaha, maka dapat mengajukan keberatan untuk

kemudian kasus tersebut diadili pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Salah satu tindakan yang dapat diambil oleh KPPU terhadap pelaku usaha yang

melakukan persaingan usaha tidak sehat adalah berupa tindakan atau sanksi

administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu

dapat berupa: penetapan pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk

menghentikan integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan

kegiatan yang terbukti menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, perintah kepada

pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, penetapan

pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan


72

saham, penetapan pembayaran ganti rugi, atau pengenaan denda serendah-rendahnya

Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Di samping sanksi administratif, sanksi juga dapat berupa sanksi pidana yang

diatur pada Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:

1) Pidana pokok yang meliputi pidana denda, dan

2) Pidana tambahan yang dapat berupa pencabutan izin usaha, larangan

kepada pelaku usaha untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris

dalam jangka waktu tertentu, atau penghentian kegiatan atau tindakan

tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

KPPU dalam melakukan kegiatan-kegiatannya, dapat melihat kombinasi 2

(dua) aspek pendekatan yang mendasar, yaitu:

a. pendekatan struktur pasar, dan

b. pendekatan pelaku pasar.

Mengenai pendekatan struktur pasar, artinya melalui kedua pendekatan tersebut

bukti-bukti dari kedua aspek tersebut dapat menjadi bahan analisis untuk menentukan

terjadi atau tidak terjadinya suatu pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

dilakukan oleh pelaku usaha hingga menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat. Aspek struktur ini juga dapat dilihat dari tingkat

penguasaan pada pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tingkat penguasaan atas
73

barang dan/atau jasa tertentu dijadikan bahan analisis yang pertama, apakah pelaku

usaha cenderung melakukan pelanggaran hukum persaingan usaha yang sehat. Secara

alamiah, penguasaan pasar yang besar berkorelasi positif dengan kecenderungan

praktis bersaing secara tidak sehat pada umumnya.

Pendekatan kedua adalah aspect conduct of business yang berarti KPPU harus

melihat apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha sampai bisnisnya berjalan

besar dilakukan dengan melanggar undang-undang atau tidak. Semangat undang-

undang dapat dilihat bahwa proses untuk menjadi besar tercipta karena

perusahaannya efisien, inovatif, dan bisa menciptakan barang dan/atau jasa terbaik

kualitasnya untuk masyarakat dengan harga bersaing. Dengan aspek perilaku ini

ditelusuri berbagai bentuk praktek yang tidak lazim dilihat dari standar persaingan

yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya secara tidak sehat untuk

menyingkirkan pelaku usaha lain (misalnya: trust, kartel, penetapan harga,

diskriminasi harga, pembagian wilayah dan lainnya) dapat dikategorikan sebagai

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pendekatan KPPU terhadap

praktek-praktek persaingan usaha tidak sehat ini dilihat dari 2 (dua) jenis rumusan

pasal-pasal yang memperlihatkan:

a. asas per-se-ilegal, dan

b. asas rule of reason.

Asas per-se-ilegal adalah suatu prinsip untuk melihat apakah yang dilakukan

oleh pelaku usaha dalam memulai bisnis sampai berjalannya bisnis tersebut dilakukan

dengan cara bertentangan dengan substansi dalam pasal-pasal Undang-Undang


74

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat atau ilegal. Dalam konsepsi asas per-se-ilegal, substansinya dapat

terlihat terhadap berbagai bentuk perjanjian atau kegiatan yang dilarang dalam

undang-undang tersebut.

Asas rule of reason adalah hukum sebab akibat, di mana tindakan pelaku usaha

secara langsung maupun tidak langsung telah berakibat merugikan pelaku usaha lain

dan/atau masyarakat konsumen pada umumnya.

You might also like