You are on page 1of 9

c

j  j 
j  
j 
Filed under: kebijakan publik by Kertya Witaradya ² 4 Comments
January 26, 2010

Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik yaitu nilai, kebutuhan
atau peluang yang tak terwujudkan. Meskipun masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi
hanya mungkin dicapai lewat tindakan publik yaitu melalui kebijakan publik (Dunn dalam
Nugroho, 2003:58). Karakteristik masalah publik yang harus diatasi selain bersifat
interdependensi (berketergantungan) juga bersifat dinamis, sehingga pemecahan masalahnya
memerlukan pendekatan holistik (holistic approach) yaitu pendekatan yang memandang
masalah sebagai kegiatan dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan atau diukur secara
terpisah dari yang faktor lainnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan publik sebagai instrumen
pencapaian tujuan pemerintah.

Kebijakan publik adalah salah-satu kajian dari Ilmu Administrasi Publik yang banyak
dipelajari oleh ahli serta ilmuwan Administrasi Publik. Berikut beberapa pengertian dasar
kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Dye (1981:1): ³Public
policy is whatever governments choose to do or not to do´. Dye berpendapat sederhana
bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Sementara Anderson dalam Public Policy-Making (1975:3) mengutarakan lebih
spesifik bahwa: ³Public policies are those policies developed by government bodies and
official´.

Berhubungan dengan konteks pencapian tujuan suatu bangsa dan pemecahan masalah publik,
Anderson dalam Tachjan (2006i:19) menerangkan bahwa kebijakan publik merupakan
serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu
permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan. Seiring dengan pendapat tersebut Nugroho
(2003:52) menjelaskan bahwa kebijakan publik berdasarkan usaha-usaha pencapaian tujuan
nasional suatu bangsa dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang dikerjakan untuk
mencapai tujuan nasional dan keterukurannya dapat disederhanakan dengan mengetahui
sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita telah ditempuh.

Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang berorientasi pencapian tujuan
maupuan pemecahan masalah ataupun kombinasi dari keduanya. Secara padat Tachjan
(Diktat Kuliah Kebijakan Publik, 2006ii:31) menjelaskan tentang tujuan kebijakan publik
bahwa tujuan kebijakan publik adalah dapat diperolehnya nilai-nilai oleh publik baik yang
bertalian dengan public goods (barang publik) maupun public service (jasa publik). Nilai-
nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh publik untuk meningkatkan kualitas hidup baik fisik
maupun non-fisik.

Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan (2006ii:17), kebijakan publik
memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level,
organizational level, operational level.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif,
sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level
dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Pada
masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement
atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Sementara pattern
interaction adalah pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level
bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola
pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil
suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan ditinjau kembali
(assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang
diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan.

Adapun proses kebijakan publik adalah serangkian kegiatan dalam menyiapkan, menentukan,
melaksanakan serta mengendalikan kebijakan. Efektivitas suatu kebijakan publik ditentukan
oleh proses kebijakan yang melibatkan tahapan-tahapan dan variabel-variabel. Jones
(1984:27-28) mengemukakan sebelas aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam kaitannya
dengan proses kebijakan yaitu: ³perception/definition, aggregation, organization,
representation, agenda setting, formulation, legitimation, budgeting, implementation,
evaluation and adjustment/termination´.

Tachjan (2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik terdiri
dari tiga kegiatan pokok, yaitu:

1. Perumusan kebijakan


2. Implementasi kebijakan serta
3. Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.

Jadi efektivitas suatu kebijakan publik sangat ditentukan oleh proses kebijakan yang terdiri
dari formulasi, implementasi serta evaluasi. Ketiga aktivitas pokok proses kebijakan tersebut
mempunyai hubungan kausalitas serta berpola siklikal atau bersiklus secara terus menerus
sampai suatu masalah publik atau tujuan tertentu tercapai.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu
kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya
diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai:

´Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-
tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-
tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-
usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan´.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan
terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi
kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa:
´Policy implementation is the application by government`s administrative machinery to the
problems. Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: ³policy implementation,« is
the stage of policy making between establishment of a policy«And the consequences of the
policy for the people whom it affects´.

Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi


kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan
ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan
atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang
bersifat konkrit atau mikro.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan.
Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana
tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: ³The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams
or blue prints jackets unless they are implemented´.

Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan


yaitu:

³Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan pendekatan the market
approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and control
dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-keputusan
diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-
keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street level
bureaucrat)´.

Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti
implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang
diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat
dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu
kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.

Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang


mutlak harus ada yaitu:

1. Unsur pelaksana


2. Adanya program yang dilaksanakan serta
3. Target group atau kelompok sasaran.
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam
Tachjan (2006i:28) sebagai berikut:

´Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari
penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi
organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian,
penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian´.

Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang
dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ´Pureaucracies are dominant
in the implementation of programs and policies and have varying degrees of importance in
other stages of the policy process. In policy and program formulation and legitimation
activities, bureaucratic units play a large role, although they are not dominant´. Dengan
begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang
berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai
peranan besar namun tidak dominan.

Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang
dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam
Tachjan (2006i:31) bahwa ´Implementation is that set of activities directed toward putting
out a program into effect´. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan;

³A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different
resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can
include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets´.

Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah


menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan.
Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet.
Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Sasaran yang dikehendaki ,


2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari
sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85)

Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;


³kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat
perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site of
decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang
tersedia (resources commited)´.

Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan
yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan
personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang
tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)

Masih membahas mengenai unsur-unsur implementasi kebijakan publik. Unsur yang terakhir
dalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa:
´target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan
menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan´. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks
implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti:
besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial
ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui
variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau
faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna
penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan.
Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa
keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Pureaucraitic structure(struktur birokrasi)


2. †esouces (sumber daya)
3. £isposisition (sikap pelaksana)
4. 3ommunication (komunikasi)

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji
implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:

1. îhat is the precondition for successful policy implementation?


2. îhat are the primary obstacles to successful policy implementationË

George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat
faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya , komunikasi,
disposisi.

c

j     


 !"j  !
Filed under: kebijakan publik by Kertya Witaradya ² 4 Comments
April 13, 2010

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn
disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini
merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada
dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi
yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja
kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa
variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan


2. Sumber daya
3. Karakteristik organisasi pelaksana
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn
dijelaskan sebagai berikut:

#$%

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan
kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.
Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan
(Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk
mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu
yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya
merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting.
Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana
(officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan
tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors).
Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga
merupakan hal yang ³crucial´. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan
kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu
kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

$ "

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan


sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut
adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan
oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber
daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi
kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn,
1974) bahwa: ´New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a
major contributor to the failure of the program´.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

´Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.
Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar
administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif
lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan
sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.´

º$ &

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang
akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja
implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para
agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada
beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain
diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas
wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-
prosedur kerja standar (SOP = "tandard Operating Procedures) dan fragmentasi.

1. "tandard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon internal
terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar
luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin
mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau
program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan
baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk
mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP
menghambat implementasi (Edward III, 1980).
2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit
birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-
pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap
suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. ³fragmentation is the
dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units.´
(Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam
suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka,
semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa
secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).

$  &&'&

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater
(dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu
(implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan,
karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi
dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa
menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan
kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan
kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan
tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya,
komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita
kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke
komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak.
Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent)
terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi
yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan
akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara
intensif.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh
komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and
consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi
merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi
komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka
kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

Ñ$(

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ´sikap penerimaan
atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat
top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak
mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan´.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat
pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-
kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa
implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari
pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam
elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan
suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan
pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon
mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan
ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting.
Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated)
ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan
kebijakan juga merupakan hal yang ³crucial´. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam
melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu
kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan
diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah
merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman
dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana
(implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

¦$&&) 

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah
sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah
dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan
mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat
dijelaskan dalam gambar berikut ini:

MODEL A POLICY IMPLEMENTATION PROCESS

Sumber: (Agostino, 2006)

You might also like