You are on page 1of 14

Bab I

Latar Belakang

Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, golongan, ras, warna kukit
dan juga agama. Selain agama, di Indonesia juga berkembang berbagai jenis
kepercayaan seperti kejawen dan bentuk-bentuk animisme dan dinamisme lainnya
yang terus terpelihara. Agama dan kepercayaan ini telah tumbuh dan berkembang
sejak jaman kerajaan. Di mana pada awalnya masyarakat Indonesia melalukan
penyembahan terhadap terhadap benda-benda mati seperti pohon, batu, laut bahkan
mereka juga membuat patung, arca dan tugu sebagai sarana penyembahan terhadap
pencerminan Tuhan mereka. Seiring dengan waktu dan akibat mulai terbentuknya
aliran perdagangan yang membuka akses terjadinya pertukaran budaya dengan dunia
luar. Perlahan namun pasti kepercayaan animisme dan dinamisme mulai tergantikan
oleh agama Hindu dan Budha. Peradaban Hindhu-Budha itu cukup bertahan di
Indonesia dan menghasilkan kerajaan-kerajaan bercorak Hindhu-Budha yang cukup
terkenal dan juga menghasilkan karya-karya seni yang indah serta bertahan hingga
sekarang seperti Candi Borobudur , Candi Prambanan, dan benda-benda lainnya. Tapi
seiring berkembangnya waktu, peradaban Hindhu-Budha itu mulai tergeser oleh
agama Islam yang nyatanya menjadi agama mayoritas sampai sekarang. Peradaban
Islam juga melhairkan kerajaan-kerajaan yang cukup dikenal seperti Samudra Pasai,
Demak, Banten, dll. Serta peninggalan-peninggalan yang cukup terkenal seperti Masjid
Demak, Masjid Kudus , dll. Pada jaman penjajahan, agama Kristiani mulai masuk ke
dalam peta agama bangsa Indonesia.
Berdasarkan paragraf di atas, kita bisa melihat bahwa unsur agama tidak bisa
dipisahkan dari unsur-unsur lainnya dalam kehidupan bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan agama menjadi suatu unsur mandiri yang membentuk peradaban bangsa
kita. Unsur agama tak bisa jelas tak bisa dipisahkan dari unsur sejarah karena agama
telah menjadi suatu inti yang menentukan dalam pembentukkan sejarah kita. Selain itu
agama juga tak bisa dipisahkan dari unsur kesenian bangsa kita seperti yang telah
dijelaskan dalam paragraf di atas tentang peninggalan-peninggalan bersejarah yang
menjadi warisan budaya bangsa kita ini. Agama juga telah menjadi penentu corak
politik serta kiblat perdagangan dan hubungan internasional negara kita seperti yang
terlihat dalam di atas. Agama jugalah yang membuat bangsa kita kaya dan beraneka
ragam namun tetap terikat dalam sartu kesatuan.
Melihat pentingnya peran agama dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam
berbagai aspek, maka sangat penting dijaganya peran agama sebagai pemersatu
bangsa dan memberikan arahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bukan seperti yang terjadi sekarang ini di mana agama menjadi kambing hitam
pemecah belah kerukunan bangsa dan negara. Konflik berasaskan agama yang terjadi
di Poso, Cikeusik, Temanggung dan daerah-daerah lainnya menjadi suatu bukti nyata
bahwa fungsi agama sebagai penambah kekayaan bangsa justru telah berubah menjadi
faktor-faktor pemecah belah bangsa. Plurarisme yang diharapkan baik justru menjadi
bumerang dalam kehidupan bangsa.
Berdasarkan kenyataan di lapangan yang telah melanda bangsa kita sekarang
ini, maka pembelajaran studi agama tentang multikulturalis pluralis sangatlah penting
dan harus digalakkan kembali pada semua generasi yang ada. Tak hanya terbatas pada
kaum-kaum tertentu, tapi menyeluruh kepada semua pihak. Studi ini bertujuan untuk
menumbuhkan kembali rasa toleransi yang benar-benar toleran. Maksudnya rasa
toleransi yang ada tak hanya sekedar ucapan atau semboyan semata namun benar-
benar dilaksanakan dalam dalam kehidupan nyata dengan bersikap toleran terhadap
segala perbedaan yang ada dan menerima setiap perbedaan yang ada sebagai suatu
keberagaman yang indah.
Studi ini diharapkan juga tak hanya terbatas pada kalangan-kalangan tertentu
atau hanya sekedar formalitas semata dalam bentuk politis, namun benar-benar
menyeluruh terhadap semua agar pemahaman penerimaan terhadap agama dan
kepercayaan lain bisa menjangkau seluruh rakyat Indonesia dan benar-benar riil. Selain
itu pemahaman tentang hal ini juga tak bisa lewat pelajaran formil atau pendekatan
politis saja. Namun harus fleksibel dan menyeluruh sehingga perlu dilalukan lewat
beberapa pendekatan di mana dalam makalah ini difokuskan menjadi 3 poin yaitu
filosofis, sosiologis, dan yuridis .
Poin pertama, secara filosofis, pendidikan agama sangat diperlukan karena
semboyan Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun satu,
dimana sebagai perseorangan yang mandiri, kita perlu memahami hal itu secara baik
sehingga benar-benar mengetahui manfaat dari pendidikan agama ini dan betul-betul
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Poin Kedua yaitu secara sosiologis, dimana pendidikan agama secara sosiologi
perlu dipahami dan disesuaikan dengan kondisi sosial di Indonesia yang masyarakatnya
mendiami daerah-daerah yang berbeda dengan adat istiadat yang berbeda pula. Kita
harus memahami hal tersebut dengan baik dimana agama di Indonesia tentunya juga
melebur dengan adat dan budaya yang beraneka ragam disetiap daerah di Indonesia.
Poin ketiga adalah secara yuridis atau hukum, dimana kita harus memahami
tentang agama yang tercantum pada hukum Negara Indonesia yaitu terdapat pada
Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 sehingga kita sebagai bangsa Indonesia
harus mengamalkan agama secara baik sesuai dengan maksud Pancasila dan juga
Undang - Undang Dasar1945.
Oleh karena itu sekali lagi ditegaskan kembali bahwa tujuan pembelajaran
pendidikan agama adalah membentuk pribadi warna Negara Indonesia yang paham
mengenai perbedaan agama dan dapat mengamalkannya secara tepat, baik, dan
benar. Selain itu, untuk mempersiapkan pribadi-pribadi Indonesia untuk siap
menghadapi era globalisasi dimana akan semakin banyak nilai-nilai budaya luar yang
akan mempengaruhi perkembangan agama di Indonesia. Terakhir, sebagai mahasiswa,
agama dapat menjadi sarana peluang bisnis yang baik dan membantu mahasiswa
untuk bertindak secara baik dan benar dalam berbisnis.
Demikianlah latar belakang dari makalah ini, semoga dapat membantu
pembaca untuk memahami sekilas mengenai tujuan dan latar belakang mengenai
penulisan makalah ini. Sekian dan terimakasih
BAB II
Pembahasan

I. BERDASARKAN LITERATUR POKOK

A. Pdt. Victor I. Tanja, MTh, PhD

Seperti yang diungkapkan Pdt. Victor I. Tanja, MTh, PhD dalam makalahnya
Agama dalam Masyarakat Bangsa yang Pluralistik ada beberapa poin penting yang
diungkapkan. Di mana makalah ini merupakan suatu usaha secara relatif membahas
jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang diberikan oleh masing-masing agama
di Indonesia sebagai konsesi untuk yang lain sehingga keutuhan bangsa yang
dipertahankan. Pertanyaan itu muncul karena realita Indonesia yang berazazkan
Pancasila yang di dalamnya hadir berbagai agama dan kepercayaan yang secara hukum
diakui keberadaannya di Indonesia. Kandungan Pancasila itu sendiri yang tercermin
dalam corak hakiki hidup bangsa kita adalah majemuk dalam segala aspek yang
terwujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity = kesatuan dalam
kepelbagaian ) khususnya dalam masalah agama. Dengan semboyan ini juga walaupun
terjadi berbagai konflik di negara kita ini, semboyan ini mampu menjadi pedoman
dasar dalam mengatasi konflik-konflik yang muncul dan berhasil menjaga keutuhan
negara kita.
Tapi bukan berarti dengan adanya hal itu, bangsa Indonesia menjadi bisa berdiri
sendiri tanpa memerlukan bantuan dari pihak lain sehingga tak memerlukan bantuan
atau kerja sama dari negara lainnya. Namun dengan adanya penguatan secara internal
ini, diharapkan bangsa kita menjadi lebih mandiri maka semakin banyak sumbangan
bermutu yang bisa kita berikan untuk menjalin kerjasama yang lebih baik dengan
pihak-pihak lain.
Selain itu dalam makalah ini juga ditegaskan bahwa ajaran agama yang
diberikan oleh Tuhan bukan sebagai pembenaran diri kelompok tertentu yang
menjurus pada fanatisme berlebihan, namun diharapkan agar manusia bisa mengelola
hidupnya secara lebih baik untuk memuliakan Allah yang sekaligus untuk memberikan
yang terbaik dalam hidup kita demi terciptanya kesejahteraan bangsa.
Poin penting lain yang diungkapkan dalam makalah ini juga tentang
penempatan agama secara strategis dalam kehidupan berbangsa. Di mana agama
menjadi landasan dalam menentukan arah dan tujuan hidup bangsa kita. Sehingga
agama membantu membimbing dan mengarahkan bangsa kita ke tujuan yang baik.
Selain itu dengan adanya agama, maka membantu menghindarkan diri dari hal-hal
yang tidak diharapkan seperti mengatasi hal-hal negatif yang mampu menghancurkan
bangsa seperti kesenjangan sosial dan kejahatan.
Berdasarkan Pancasila, semua agama adalah sama karena pada dasarnya
mereka pun menyembah Tuhan yang satu. Sikap seperti ini patut ditolak karena akan
bermuara pada terjadinya kompromi aqidah. Yang dimaksudkan di atas justru
sebaliknya yakni bahwa walaupun agama kita itu berbeda-beda, namun kita satu
dalam hal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa menurut pengertian agama kita
masing-masing. Di sini tidak ada pengertian bahwa semua agama itu satu dan Tuhan
yang kita sembah itu adalah satu. Yang sama di sini adalah pengakuan adanya Tuhan
yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Pengertian ini yang patut kita terima dan tak akan bermuara pada kompromi
agama karena sesuai semboyan Bhineneka Tunggal Ika yakni kesatuan yang berakar
dari kepelbagaian dan bukan sebaliknya. Dalam naungan Pancasila agama menjadi
berkarakter yang relatif sehingga dalam kebersamaan hidup berbangsa dirasakan perlu
adanya sikap interaktif antar umat beragama.
Selain itu juga ditekankan dengan think globally act locally yang bernaksud
ajaran agama universal itu harus diberlakukan sesuai kondisi setempat, tentunya tanpa
kompromi aqidah. Hal ini baru bisa terlaksana jika kita melihat pada ajaran dan peran
agama secara nisbi. Akibatnya agama bisa memnberi sumbangan yang sangat
menentukan dalam usaha persatuan bangsa.
Dalam makalah ini juga disebutkan peran manusia di dunia sebagai mandataris
Alllah. Manusia adalah gambaran Allah dan pengemban mandat Allah di dunia,
sehingga manusia berkewajiban menciptakan hidup yang beriman, aman dan tertib di
dunia.Kuasa ini harus digunakan dengan baik untuk mengukuhkan persatuan bangsa.
Pada akhirnya, sikap hidup keagamaan yang baik adalah mengakui perbedaan
dalam hidup beragama yang merupakan satu-satunya solusi dari segala masalah
perpecahan antar agama sehingga agar bangsa Indonesia dapat hidup bersama secara
lebih baik.
B. KH. Ali Yafie

KH. Ali Yafie menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis
dan religius yang dibuktikan dalam sejarah, konstitusi, dan realita kehidupan sehari-
hari rakyatnya.Sejarah perkembangan agama dimulai dengan tumbuhnya kepercayaan
animisme dan dinamisme, lalu berkembang dengan menganut agama Hindhu Budha,
setelah itu menganut agama Islam dan agama Kristiani mulai membaur di bangsa
Indonesia.
Konstitusi Republik Indonesia menandai tegaknya suatu kehidupan kebangsaan
yang baru yang mencerminkan keanekaragaman rakyat Indonesia yang sudah berabad-
abad dilukiskan oleh pena sejarah. Pena sejarah yang beraneka ragam coraknya kini
dihadapkan pada realita kehidupan beragama di Indonesia. Oleh karena itu diharapkan
dengan pemahaman tentang agama dan pluralitas secara benar maka agama akan
lebih mantap dan memberi arti dan nilai dalam mengarahkan kehidupan bangsa kita
Kehidupan bangsa Indonesia sudah cukup berpengalaman dalam kehidupan
bernegara selama ini. Pola kehidupannya telah dituangkan dalam GBHN dan suratan
konstitusi (UUD 1945).
Pada akhirnya KH. Ali Yafie menekankan bahwa bila iman dan takwa itu telah
berfungsi dalam kehidupan kita sehari-hari dalam semua aspek maka pertanyaan
tentang agama dapat menjadi pembawa rahmat sekaligus pembawa malapetaka tentu
tak akan dipermasalahkan lagi.
II. BERDASARKAN HASIL PENGEMBANGAN LITERATUR

Literatur di atas telah sangat baik dalam mendukung keberagamaan agama


yang ada. Bahwa agama yang berbeda-beda itu tidak dianggap sebagai suatu ancaman
tapi lebih dianggap sebagai kekayaan bangsa dan perbedaan itu justru diharapkan
dapat menyatukan seluruh bangsa.
Pendapat para ahli di atas juga jelas mendukung bahwa agama yang ada jangan
dijadikan permasalahan ataupun halangan dalam berinteraksi. Namun, para pakar
berkeinginan bahwa perbedaan agama yang ada bisa menjadi pedoman bagi masing-
masing pemeluknya dalam menjalankan. Bisa menjadi suatu arahan bagi pemeluknya
untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan sesuai ajaran agamanya masing-
masing. Ajaran keagamaan yang ditekankan bertujuan agar bangsa kita bisa
menjalankan hidup dan kehidupannya sesuai norma dan etika yang benar dan akhirnya
menjadi bangsa yang makmur. Dengan menjadi bangsa yang makmur, bangsa
Indonesia diharapkan bisa memberikan sumbangsih ke luar.
Para ahli juga di atas telah jelas-jelas menulis tentang pentingnya masalah
keagamaan beserta pluraritasnya. Hal ini bisa dilihat dari sejarah Indonesia bahwa
darui dahulu bangsa kita adalah bangsa yang religius. Selain itu agama juga memberi
peran penting dalam aspek-aspek kehidupan yang lain seperti budaya, sosial, sejarah
bahkan politik. Pluraritas keberagamaan juga dijunjung tinggi, hal bisa tercermin dalam
Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Yang berusaha untuk melindungi seluruh
agama yang ada dan menyatukannya dalam wujud satu kesatuan bangsa. Di mana
para pakar berpendapat bahwa walaupun berbeda agamanya, namun kita tetap
berada di bawah naungan Tuhan Yang Maha Esa serta para pakar di atas juga
berpendapat bahwa akar yang bisa membimbing bangsa kita menuju satu kesatuan
yang utuh dan kokoh adalah keberagaman itu sendiri bukan sebaliknya.
Sayangnya hal itu hanya sekedar lip service semata. Hal itu hanya merupakan
ungkapan formalitas dan niat baik semata. Karena nyatanya harapan dan pendapat
para pakar di atas sayangnya tidak dibarengi dengan penerapaannya dalam kehidupan
sehari-hari. Coba saja kita tengok beberapa waktu belakangan kemarin, hampir seluruh
pemberitaan di media massa dipenuhi dengan kasus kekerasan berbasis agama yang
terus merajalela. Pertama tentang penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di
Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan tiga orang. Tak lama berselang
perusakan terhadap Gereja di Temanggung. Bila kita mau melihat ke belakang maka
banyak kekerasan beragama yang terjadi antar pemeluk agama yang sama misalnya
kita bisa melihat pemulukan yang dilakukan FPI di Monas terhadap sesama pemeluk
agama Islam juga . Hal itu memimbulkan keresahan tersendiri di kalangan umat
beragama dan mengusik relasi untuk bisa berinteraksi dalam perbedaan itu.
Hal ini menimbulkan kecaman terhadap masalah kehidupan beragama kita
berbagai pendapat dilontarkan mulai dari yang memberikan pendapat, saran, protes,
kritik sampai pesimisme tentang kelanjutan pluraritas keberagamaan di Indonesia.
Oleh karena itu diharapkan setelah membaca dan memberikan sedikit
penjabaran tentang pendapat para ahli dan berikutnya membaca kritik dan sedikit
solusi yang sampai pada bab berikutnya maka pelajaran agama dan teori-teori yang
diberikan tak hanya sebatas tulisan mati semata, namun bisa benar-benar diamalkan
dalam kegiatan sehari-hari.
BAB III
Kritik dan Kesimpulan

A. KRITIK

Pluralisme yang harusnya bisa menjadi faktor yang menambah kenakeragaman


dan kekayaan bangsa Indonesia. Hal ini harusnya bisa menjadi suatu aspek yang bisa
menjadi nilai tambah dari bangsa Indonesia. Namun walaupun banyak pakar telah
memberikan pendapatnya tentang peran agama yang harusnya menjadi pemersatu
bangsa, namun pendapat dan gembar-gembor yang ada hanya isapan jempol semata
saja. Bisa dikatakan bahwa teori yang ada memang hanya sebatas teori saja, namun
implementasi di lapangannya nol besar.
Dari artikel di atas kita bisa melihat bahwa permasalahan kekerasan atas nama
agama terus terjadi sampai sekarang. Yang paling gres mungkin dalam ingatan kita
adalah tentang penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dilanjutkan
dengan perusakan Gereja di Temanggung oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab.
Kekerasan ini menelan korban jiwa dan juga merusak infrastuktur yang ada. Namun
bahaya yang plaing menyeramkan adalah tentang terusiknya kerukunan umat
beragama secara keseluruhan karena hal ini. Rakyat yang walaupun tak ikut terlibat
dalam peristiwa ini merasa khawatir akan meluasnya konflik ini sehingga bisa menjadi
konflik keagamaan secara luas. Dalam menjalankan kegiatan keagamaannya mereka
akan merasa cemas. Sehingga bisa dikatakan bahwa NEGARA GAGAL MELINDUNGI
WARGANYA seperti yang dikutip dalam harian Kompas beberapa waktu yang lalu.
Negara yang walaupun telah mengeluarkan banyak sekali peraturan tentang kegiatan
keagamaan ternyata gagal melindungi hak dan kewajiban dalam melaksanakan ibadah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Akar dari semua masalah ini sebenarnya ada beberapa hal yang paling
mendasar sehingga semua peraturan menjadi kelihatan encer saat berhadapan dengan
masalah-masalah riil yang ada. Agama dan berbagai jenis peraturan yang mengaturnya
terlihat kalah saat harus dihadapkan pada peran utamanya sebagai pemersatu dan
pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Pertama, kita harus melihat bahwa pendidikan yang rendahlah yang memicu
terjadinya terjadinya banyak kekerasan berbasis agama. Akibatnya rendahnya
pendidikan, maka mereka tak memiliki pandangan yang luas dan logis dalam
menanggapi suatu masalah. Mereka sangat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak
tertentu tanpa berpikir hal itu benar atau salah dan memikirkan tentang konsekuensi
ke depannya. Hal ini bisa dikuatkan dari contoh-contoh yang kita lihat selama ini
bahwa seringkali terjadi kekerasan berbau SARA di daerah-daerah terpencil yang
tertinggal pendidikannya seperti misalnya di Desa Cikeusik, Lombok dan Temanggung.
Meskiupun demikian hal ini tak bisa dianggap absolut bahwa hanya di daerah-daerah
terpencil saja yang kekerasan berbau agama mungkin terjadi karena pendidikan
bukanlah satu-satunya faktor pemicu kekerasan berbau agama.
Kedua faktor lain yang memperparah terjadinya kekerasan berbau agama
adalah tentang sering terjadinya salah tafsir tentang ajaran-ajaran agamanya. Semua
ajaran agama yang pada dasarnya adalah baik, namun sering ditafsirkan secara pribadi
dan akhirnya salah. Akibatnya akan terjadi konflik yang mengganggu kerukunan
beragama. Hal ini bisa dilihat contohnya lewat Fatwa MUI tentang Pluraritas Agama di
mana harusnya agama apa pun harus bisa menghargai perbedaan agama yang ada.
Ketiga faktor tak jelasnya peraturan dan penegakan hukum memperparah
terjadinya konflik berbasis agama. Kehidupan beragama sungguh tak jelas. Misalnya
saja kita bisa melihat dalam konflik Ahmadiyah, sampai sekarang pemerintah sangat
tidak jelas dalam menetapkan status Ahmadiyah. Hal ini juga berlaku terhadap banyak
sekte agama lain yang masih tak jelas statusnya sehingga memicu terjadinya perlakuan
semena-mena karena tak memiliki perlindungan hukum yang jelas. Selain itu kasus
penyerangan yang telah dilakukan oleh FPI sepertinya tak mendapat tindakan tegas
dari aparat yang berwenang sehingga FPI makin merajalela bahkan FPI sampai ingin
menurunkan pemerintah. Keinginan beberapa kelompok yang ingin mendirikan syariat
Islam juga tak ditanggapi secara serius. Selain itu diskriminasi terhadap salah satu
kelompok agama sering terjadi.
Ketiga, faktor kecumburuan sosial juga ikut memberi sumbangsih dalam
memperburuk keadaan yang ada. Seringkali terdapat rasa cemburu antara satu
kelompok dengan yang lain. Rasa curiga juga mewarnai kehidupan beragama kita.
Sehingga interaksi kehidupan beragama dalam negeri kita sulit untuk dilaksanakan
dengan rasa tulus hati tanpa rasa curiga. Misalnya saja dengan isu Kristenisasi dan
Islamisasi. Selain seringkali suatu kelompok sering merasa curiga akan ditindas oleh
kelompok agama lain karena pemerintah seringkali berpihak pada salah satu kelompok
agama dan mendiskriminasi kelompok agama yang lain. Kelompok-kelompok agama
yang minoritas akan merasa terancam dan curiga terhadap kelompok agama lain.
Suatu kelompok yang mayoritas akan seringkali bertindak sewenang-wenang. Suatu
kelompok agama juga seringkali iri terhadap kelompok agama lain karena kelompok
yang lain terlihat lebih makmur kemudian memicu terjadinya konflik berkepanjangan.
Faktor keempat dan terakhir yang paling penting yang memperburuk konflik
keagamaan yang ada adalah penyelesaian konflik yang dilakukan hanya sebatas di
meja perundingan saja (hanya di kulitnya saja), namun tak terjun langsung ke dalam
inti permasalahan. Penyelesaian yang ada hanya bersifat politis saja, penyelesaian ini
hanya melibatkan para petinggi politis yang pada faktanya tak terlibat langsung dalam
konflik itu. Sehingga terkadang mereka tak tahu inti masalahnya itu apa. Mereka yang
terlibat konflik masih menyimpan masalah sehingga seperti api dalam sekam saja, bila
diprovokasi sedikit saja langsung meledak. Aturan-aturan yang dibuat juga tak
menyelesaikan masalah secara konkrit karena tak menyelesaikan inti masalah yang ada
tapi hanya bersifat formalitas belaka.
Pada akhirnya kira-kira itulah gambaran masalah yang dihadapi oleh bangsa
kita ini dalam kehidupan beragama dan perannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara

B. KESIMPULAN
Pendapat dan penjelasan tentang pemahaman keagamaan yang diberikan oleh
Pdt. Victor I. Tanja, MTh, PhD. Dan KH. Ali Yafie memang benar kedua-duanya.
Keduanya bersama-sama menegaskan untuk berprilaku menurut ajaran agamanya
masing-masing secara baik serta sungguh-sungguh taat terhadap ajaran agama yang
dianutnya namun tetap harus menerima perbedaan dengan pemeluk agama lain
dengan lapang dada. Karena walaupun kita berbeda namun kita tetap satu dalam
naungan Negara Kesatuan republik Indonesia. Dan dengan bersatu dan memiliki akhlak
dan etika yang baik, maka kita baru bisa mencapai kemakmuran.
Tetapi sayangnya pemahaman yang diberikan masih terlalu jauh seprti
berangan-angan semata karena kurangnya pemberian aplikasi yang tepat terhadap
keadaan di lapangan. Pemahaman yang diberikan sulit dijangkau oleh masyarakat
untuk bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan melihat segala
permasalahan termasuk tantangan yang ada. Peraturan dan teori-teori yang ada
kurang mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang ada di realita
sesungguhnya dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu maka untuk bisa merelisasikan konsep tentang interaksi
beragama perlu dilakukan berbagai perbaikan-perbaikan secara menyeluruh di
antaranya :
a. Meningkatkan dan melalukan pemerataan pendidikan terhadap seluruh
masyarakat Indonesia
b. Meningkatkan pemahaman agama terhadap semua masyarakat
c. Menerapkan pendidikan multikultural secara bertahap di seluruh jenjang
pendidikan
d. Meningkatkan dialog-dialog dan pelatihan lintas agama agar penghargaan
tentang pluraritas dijunjung tinggi
e. Membuat peraturan secara tegas di mana peraturan tak memihak
kepentingan tertentu dan benar-benar melindungi segenap umatnya dalam
melaksanakan kewajiban agama
f. Menindak tegas pelaku kejahatan berbasis agama. Misalnya saja tidak
segan-segan membubarkan ormas-ormas tertentu yang dianggap
menimbulkan keresahan.
g. Menyelesaikan konflik-konflik keagamaan secara tuntas dan memberikan
solusi yang tidak hanya bersifat formalitas atau politis semata namun
memberikan penyelesaian yang bisa menjangkau semua pihak yang secara
riil terlibat dan berlaku untuk jangka panjang.
Pada akhirnya semua solusi dan pembahasan tak mungkin bisa berjalan jika tak
adanya kesadaran dari semua pihak untuk mau memperbaiki kondisi kehidupan
keagamaan kita. Untuk melakukan perubahan hendaknya dimulai dari diri sendiri yaitu
dengan memahami pelajaran agama dari berbagai sisi dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja sebagai seorang mahasiswa kita mengikuti UKM
keagamaan yang disediakan secara baik dan mau bergaul dan menghormati siapa pun
tanpa memandang latar belakang keagamaannya. Oleh karena itu, marilah kita bersatu
dan bergandengan tangan sebagai satu keluarga dan memajukan negeri kita tercinta
ini.

You might also like