You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Transportasi merupakan pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Di masa
lalu, transportasi begitu penting peranannya agar manusia bisa pergi ke tempat tujuannya atau
membawa barang-barang untuk diperdagangkan dan begitu juga saat ini. Sifat manusia yang
tidak pernah puas dan kebutuhan akan peningkatan kualitas transportasi membuat manusia
berusaha untuk mengembangkan teknologi transportasi. Pada masa revolusi industri di
Inggris, penemuan mesin uap oleh James Watt dikembangkan kembali dengan kreativitas
yang menghasilkan peralatan yang makin memudahkan kehidupan manusia, seperti alat
transportasi. Penemuan mesin uap melahirkan mesin penggerak kereta api, mobil, mesin
penggerak kapal laut, bahkan pesawat terbang. Peralatan transportasi tersebut makin
berkembang seiring berjalannya waktu yang meningkatkan efisiensi waktu tempuh, bahan
bakar, kapasitas muatan, dan tingkat keamanannya.

Alat transportasi menjadi sangat penting peranannya di era modern untuk pemenuhan
kebutuhan manusia yang makin kompleks. Transportasi secara umum memiliki peranan
penting dalam mendukung pembangunan nasional, yaitu sebagai penunjang, penggerak dan
pendorong serta berperan sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan
pertahanan keamanan. Sebagai sektor pendukung pembangunan perekonomian, peranan
transportasi adalah dalam melayani mobilitas manusia maupun distribusi komoditi
perdagangan dan industri dari satu tempat ke tempat lainnya. Transportasi juga berfungsi
untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan
antarwilayah, antarperkotaan dan antarperdesaan serta untuk mempercepat pengembangan
wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah NKRI, sehingga dapat mempererat keutuhan
bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan.

Salah satu alat transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat ialah kereta api.
Kereta Api merupakan salah satu moda transportasi dengan multi keunggulan komparatif:
hemat lahan & energi, rendah polusi, besifat massal, adaptif dengan perubahan teknologi,
yang memasuki era kompetisi, potensinya diharapkan dapat dimobilisasi dalam skala
nasional, sehingga mampu menciptakan keunggulan kompetitif terhadap produksi dan jasa

1
domestik dipasar global. Dengan tugas pokok dan fungsi memobilisasi arus penumpang dan
barang diatas jalan rel, maka ikut berperan menunjang pertumbuhan ekonomi nasional.1
Untuk itu, mengingat betapa pentingnya peran serta transportasi kereta api dalam
pembangunan, maka PT.KAI dituntut untuk terus melakukan inovasi dan perubahan guna
meningkatkan pelayanan.

Akhir-akhir ini banyak sekali keluhan dari masyarakat, khususnya yang datang dari
kaum wanita, terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam angkutan umum. Untuk
menjawab keluhan masyarakat tersebut, PT.KAI membuat suatu kebijakan, yakni kebijakan
mengadakan Kereta Khusus Wanita. Pelaksanaan kebijakan ini berupa pengadaan dua
gerbong, satu di gerbong pertama,dan yang kedua di gerbong terakhir, pada setiap KRL
Ekonomi AC dan KRL Ekspress.

Sebelumnya, kebijakan ini sudah pernah diujicoba pada tahun 2008, namun
sayangnya gagal karena tidak tegas implementasinya. Tidak ada mekanisme pengawasan
ketat dan konsisten dari petugas kereta api agar penumpang laki-laki tidak masuk ke gerbong
khusus perempuan. Selain itu, gagalnya kebijakan gerbong khusus ini menurut PT. Kereta
Api Indonesia adalah karena penumpang perempuan pun ada yang tidak bersedia untuk
duduk di gerbong khusus karena mereka tidak mau dipisahkan dari keluarga dan anak-
anaknya.2 Pada tanggal 19 Agustus 2010 yang lalu, pemerintah kembali
mengimplementasikan kebijakan pengadaan gerbong khusus wanita. Untuk itu, penulis ingin
mengetahui lebih lanjut, bagaimana pengimplementasian kebijakan ini, apakah kejadian pada
tahun 2008 akan terulang kembali atau mungkin pengimplementasian kebijakan ini berjalan
dengan lancar.

I.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana implementasi kebijakan pengadaan gerbong khusus wanita?

I.3 Tujuan Penulisan


 Untuk mengetahui bagaimana pengimplentasian kebijakan pengadaan gerbong
khusus wanita

1
Redaksi. http://www.keretaapi.com/ , diunduh pada tanggal 7 Desember 2010
2
Redaksi, 2010, “Gerbong Kereta Api Khusus Perempuan: Terobosan Kebijakan yang Sensitif Gender”,
http://kalyanamitra.or.id, diunduh pada tanggal 7 Desember 2010

2
I.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini, yakni pada Bab 1 Pendahuluan terdiri atas latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan. Bab 2
Kerangka Teori Bab 3 Pembahasan. Sedangkan pada Bab 4 merupakan penutup yang
terdiri atas simpulan dan saran.

I.5 Metode Penelitian


Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka.

3
BAB II

KERANGKA TEORI

II.1 Konsep Kebijakan Publik

Thomas R. Dye mendefinisikan bahwa "Public policy is whatever government chose


to do or not to do" (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan).3 Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Di samping itu, kebijakan publik adalah
juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah.4

Pandangan lain dari kebijakan publik yaitu melihat kebijakan publik sebagai
keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan
pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara
mencapai tujuan. Dengan mengikuti paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat, maka M. Irfan Islamy
menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik, yaitu: 5

1.) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk Perdanya berupa penetapan tindakan-
tindakan pemerintah;

2.) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam
bentuk yang nyata;

3.) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan
sesuatu itu, mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu; dan

4.) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh
anggota masyarakat.

3
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Englewood Cliffs, Prentice Hall, Inc., 1978, hal.3.
4
James E. Anderson, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979, hal.3
5
lrfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 1997

4
II.1.1 Proses Pembuatan Kebijakan Publik

Salah satu hal penting yang berkaitan dengan kebijakan publik adalah proses
pembuatan kebijakan publik. Menurut Thomas R. Dye Proses pembuatan kebijakan publik
merupakan proses politik yang melibatkan berbagai kepentingan dan sumber daya sehingga
akhir dari proses politik tersebut adalah produk subyektif yang diciptakan oleh pilihan-pilihan
sadar dari pelaku kebijakan:6 Proses atau tahap-tahap yang perlu dilalui untuk membuat
kebijakan adalah:7

1.AGENDA 2. FORMULA- 3.ADOPSI


SETTING SI KEBIJAKAN KEBIJAKAN
(PENYUSUNAN
AGENDA)

5. PENILAIAN 4.IMPLEMENT
KEBIJAKAN ASI
KEBIJAKAN

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut
sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut
juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Isu kebijakan biasanya muncul karena telah
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut
6
Redaksi, ”Proses Politik dalam Kebijakan Publik”, www.simpuldemokrasi.com, diunduh pada tanggal 14 Maret
2010 pukul 15.45
7
William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1999, hal.
44

5
William Dunn, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun
tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

Hanya ada beberapa kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik, di
antaranya: 1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang
serius; 2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis; 3. menyangkut
emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan
media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas; dan 5. mempermasalahkan kekuasaan
dan keabsahan dalam masyarakat. Salah satu isu yang paling mendesaklah yang akan terpilih
dalam agenda kebijakan publik.

Tahap kedua ialah tahap formulasi kebijakan. Masalah yang masuk ke dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut
didefinisikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Dalam tahap perumusan kebijakan
ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain”
untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

Tahap ketiga merupakan tahap adopsi kebijakan. Tahap ini merupakan tahap lanjutan
dari tahap formulasi kebijakan, yakni memilih kebijakan. Dari sekian banyak alternatif
kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari
alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

Tahap selanjutnya ialah implementasi kebijakan. Suatu program hanya akan menjadi
catatan-catatan elit jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan
saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana,
namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelakasana.

Tahap yang terakhir ialah tahap penilaian kebijakan, kebijakan yang telah dijalankan
dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diiinginkan.
Oleh karena itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar
untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

6
II.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones secara sederhanan,


implementasi adalah "getting the job done" dan "doing it". Artinya, implementasi kebijakan
merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi dalam
pelaksanaannya menuntut adanya syarat: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan
organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Lebih lanjut, Jones merumuskan
batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat
mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.8

Berbeda dengan Charles O. Jones, Ripley dan Franklin berpendapat bahwa


implementasi adalah apa yang terjadi setelah Undang-Undang ditetapkan yang memberikan
otoritas program, kebijakan, keuntungan atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Menurutnya, istilah implementasi merujuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti
pernyataan maksud tentang tujuan program dan hasil yang diinginkan oleh pejabat
pemerintah.

Selanjutnya Van Meter dan Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai


berikut: “Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals
(and groups) that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior
policy decisions“. Definisi tersebut memberikan makna bahwa implementasi kebijakan
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah
dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusan-
keputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk
mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil, yang diamanatkan oleh keputusan
kebijakan.

Van Meter dan Van Horn juga merumuskan model pendekatan implementasi
kebijakan yang disebut dengan a model of policy implementation. Model ini mengandaikan
bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana, dan
kinerja kebijakan publik. Selain itu, model ini juga menjelaskan bahwa kinerja kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling terkait, yaitu:

8
Djadja Sardjana, 2010, ”Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan-Proses
Pembuatan Kebijakan Publik, www.edukasi.kompasiana.com, diunduh pada tanggal 19 Mei 2010 pukul 23.00
WIB

7
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur keberhasilannya dari ukuran dan tujuan
kebijakan yang realistis dengan sosio kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.
Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis) maka akan sulit direalisasikan.
Van Meter dan Van Horn mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi
kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Standar dan tujuan kebijakan memiliki
hubungan erat dengan disposisi para pelaksana. Arah disposisi pelaksana terhadap
standar dan tujuan merupakan hal yang penting sebab bila meraka menolak atau tidak
mengerti apa yang menjadi kebijakan, bisa jadi mereka gagal dalam melaksanakan
kebijakan.

2. Sumber daya

Van Meter dan Van Horn menegaskan bahwa:

“Sumber daya suatu kebijakan tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber
daya kebijakan ini juga harus tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi
implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang
dapat memperlancar suatu kebijakan. Kurang atau terbatasnya dana atau insentif lain
dalam implementasi kebijakan merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya
implementasi kebijakan”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang
akan terlibat dalam implementasi kebijakan. Hal ini penting karena implementasi
kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen
pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada
beberapa kebijakan menuntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks
lain, diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu cakupan
wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

8
Agar kebijakan dapat dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Meter,
apa yang menjadi standar kebijakan harus dipahami oleh para individu. Yang
bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan adalah pelaksana sehingga harus
ada komunikasi yang dilakukan dengan baik. Komunikasi dalam kerangka penyampaian
informasi kepada pelaksana kebijakan tentang apa yang menjadi standar dan tujuan harus
seragam dan konsisten dari berbagai sumber informasi.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut Van Meter dan Van Horn, sikap penerimaan atau penolakan dari agen
pelaksana kebijakan atau kegagalan implementasi kebijakan publik sangat mungkin
terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukan hasil warga setempat yang mengenal
betul permasalahan dan persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi, kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin pengambil keputusan tidak mengetahui
bahkan tak mempu menyentuh kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang harus
diselesaikan”

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang harus diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan
adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan
publik. Lingkungan yang kondusif, sebaliknya lingkungan yang tidak kondusif dapat
menjadi masalah dalam kinerja implementasi kebijakan.

Dengan demikian implementasi yang baik dapat dicapai apabila mencakup enam
unsur model implementasi kebijakan yang dipaparkan di atas.

II.2.1 Tahap-tahap Implementasi Kebijakan Publik

Selain itu untuk mencapai implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan
adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn,9
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja
kebijakan publik. Variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah aktivitas

9
Budi Winarno, Kebijakan publik: teori dan proses, Yogyakarta, Media Pressindo, 2008, hal. 155

9
implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik agen pelaksana atau
implementor, kondisi ekonomi, sosial, politik, kecenderungan pelaksana atau implementor.

Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:

a. Tahapan interpretasi.

Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat


abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat
manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk
peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa
berbentuk Undang-Undang ataupun Perda. Kebijakan manajerial biasanya tertuang
dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan presiden maupun
keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa keputusan pejabat
pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas
terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan
abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan
sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak maupun operasional –
kepada para pemangku kepentingan.

b. Tahapan pengorganisasian.

Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy


implementor) yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi
pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen
masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan maka dilakukan penentuan
prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi
pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana
tersebut menghadapi masalah.

BAB III
10
PEMBAHASAN

III.1 Implementasi Kebijakan Pengadaan Gerbong Khusus Wanita

Pada hari Kamis, 19 Agustus 2010 yang lalu, PT. Kereta Api Indonesia meluncurkan
gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) kelas Pakuan Ekspres dan Ekonomi AC khusus
perempuan. Gerbong khusus yang disediakan untuk perempuan masih terbatas, yaitu hanya 2
gerbong (gerbong 1 dan gerbong 8), dengan kapasitas setiap gerbong untuk 150 orang,
sedangkan untuk gerbong 2 sampai gerbong 6 merupakan gerbong umum.

Gerbong KRL khusus perempuan ini merupakan salah satu contoh terobosan
kebijakan yang sensitif gender. PT. Kereta Api Indonesia mengaku sering mendapatkan
pengaduan tindakan pelecehan seksual dari penumpang kereta api perempuan. Setidaknya
melalui kebijakan gerbong khusus perempuan ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan
pelecehan seksual yang kerap terjadi akibat penumpang kereta api laki-laki dan perempuan
terpaksa harus berdesak-desakan dalam satu gerbong karena terbatasnya jumlah dan daya
tampung KRL. Akan tetapi perlu digarisbawahi bersama bahwa kebijakan gerbong khusus
perempuan ini lahir berdasarkan kondisi kereta api yang saat ini tidak aman dan nyaman bagi
perempuan. Kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk memaksa adanya pemisahan atau
segregasi antara perempuan dan laki-laki.  Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap perempuan, jadi tidak ada paksaan bagi wanita untuk harus naik
gerbong khusus wanita, melainkan bagi wanita yang merasa sudah nyaman berada di gerbong
umum,berbaur dengan kaum laki-laki,maka hal tersebut sah-sah saja.

Pelaksanaan kebijakan ini sudah pernah diujicoba pada tahun 2008, akan tetapi
sayangnya pada saat itu, kebijakan ini gagal diimplementasikan. Tidak adanya mekanisme
pengawasan yang ketat dari petugas kereta api agar penumpang pria tidak masuk ke gerbong
khusus wanita dan juga karena menurut PT.KAI, penumpang wanita tidak bersedia
dipisahkan dengan keluarga dan anak-anaknya sehingga mereka tidak bersedia naik gerbong
khusus wanita. Akan tetapi, sebenarnya hal ini merupakan anggapan salah dari PT.KAI,
dimana seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kebijakan ini bukan merupakan
kebijakan yang bersifat memaksa untuk memisahkan antara kaum laki-laki dengan kaum
wanita, melainkan kebijakan ini ditujukan untuk melindungi kaum wanita dari tindakan
pelecehan. Jadi wanita bisa memilih apakah mereka mau masuk gerbong khusus wanita atau
tidak.

11
Pelaksanaan kembali kebijakan pada tahun ini, tepatnya pada bulan Agustus kemarin,
belajar dari kegagalan pada pelaksanaan kebijakan pada tahun 2008. Kini, tiap gerbong
khusus wanita dilengkapi dengan penjaga yang juga wanita. Penjaga ini bertugas untuk
menegur kaum laki-laki yang naik ke gerbong khusus wanita. Selain itu, kesadaran dari para
penumpang wanita yang naik gerbong khusus wanita untuk menegur penumpang pria yang
naik gerbong tersebut juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sosialisasi dan
komunikasi dari pelaksana kebijakan tersebut kepada masyarakat pengguna KRL,khususnya
gerbong khusus wanita yang cukup intensif, serta peran media dalam memperkenalkan
adanya kebijakan tersebut, membuat masyarakat terutama kaum wanita tahu dan sadar akan
haknya sebagai wanita dalam gerbong khusus wanita tersebut. Dengan begitu, penumpang
wanita dalam gerbong khusus wanita tidak akan ragu lagi untuk menegur laki-laki yang
masuk ke gerbong tersebut, sehingga tidak terlalu mengandalkan petugas yang berjaga di
dalam gerbong tersebut.

Akan tetapi, sayangnya kebijakan ini baru diimplementasikan pada KRL Ekonomi
AC dan KRL Ekspress, yang jumlah penumpangnya lebih sedikit dibanding jumlah
penumpang KRL Ekonomi non AC. Padahal, justru kondisi memprihatinkan biasanya
terlihat dalam KRL ekonomi Non AC, dimana kondisi penumpang serta kereta sangatlah
tidak manusiawi karena padat dan penuh sesak. Bahkan pada jam-jam kerja, penumpang sulit
untuk dapat menggerakkan anggota badan. Kondisi penumpang yang sangat penuh sesak
tersebut, tidak jarang mengundang kaum laki-laki untuk melakukan tindakan pelecehan
seksual terhadap kaum wanita.

Jika dikaitkan dengan teori, pengimplementasian kebijakan pengadaan gerbong


khusus wanita dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori dari
Van Meter dan Van Horn. Van Meter dan Horn mendefinisikan implementasi kebijakan
sebagai berikut:

“Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals


(and groups) that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior
policy decisions”.

Definisi diatas berarti tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan


kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan. Van Meter dan Van Horn juga merumuskan model pendekatan

12
implementasi kebijakan, yang menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh
beberapa variabel yang saling terkait, yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan

Sasaran dari diberlakukannya kebijakan ini ialah untuk melindungi kaum perempuan
dan juga anak-anak dari tindakan kejahatan maupun pelecehan seksual yang akhir-akhir ini
marak terjadi dalam angkutan umum, khususnya angkutan KRL Jabodetabek. Dengan kereta
khusus ini pelecehan seksual bisa diantisipasi agar tidak terjadi serta menggugah partisipasi
masyarakat untuk menyadari permasalahan itu.

Akan tetapi, sayangnya jika sasaran atau tujuan dari kebijakan ini ialah untuk
mengurangi kasus pelecehan seksual terhadap kaum wanita, kebijakan ini belum berjalan
sepenuhnya. Hal tersebut dikarenakan, kebijakan gerbong khusus wanita ini baru terdapat
pada KRL Ekonomi AC dan KRL Ekspress saja,sedangkan untuk kereta Ekonomi Non AC,
kebijakan ini belum diterapkan. Padahal mengingat jumlah penumpang paling banyak ada
pada kereta Ekonomi Non AC, maka kasus pelecehan seksual juga paling banyak terdapat di
KRL tersebut.

2. Sumber daya

Sumber daya disini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar suatu
kebijakan. PT.KAI sudah menganggarkan dana sebesar Rp.50 Miliar untuk pembelian
gerbong baru. PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) menyiapkan anggaran sekitar Rp50
miliar sampai akhir tahun 2010 untuk mendatangkan 50 unit gerbong kereta rel listrik (KRL),
dengan harga per satu unit gerbong KRL sekitar Rp1 miliar. Sumber pendanaan Rp50 miliar
untuk pengadaan gerbong baru tersebut, didapatkan dari setoran modal induk perusahaan (PT
KA). 10

Meskipun gerbong khusus wanita tidak membutuhkan gerbong baru, melainkan hanya
perlu perombakan sedikit saja dari gerbong yang lama, akan tetapi demi mendukung
kelancaran sistem transportasi khususnya perkereta-apian, perlu adanya upaya penambahan
gerbong, sehingga dapat lebih banyak mengangkut masyarakat. Hal ini juga turut berdampak
pada kesuskesan pelaksanaan kebijakan ini, dimana jika jumlah kereta api sudah mampu

10
Kam, 2010, “Beli Gerbong, KAI Commuter Anggarkan Rp50 Miliar”, http://www.neraca.co.id, diunduh pada
tanggal 7 Desember 2010

13
mengangkut seluruh penumpang, maka tidak akan ada lagi penumpukan penumpang di
kereta, dan tindakan pelecehan seksual juga akan terhindarkan.

Selain sumberdaya dalam bentuk dana untuk pengadaan gerbong baru khusus wanita,
sumber daya manusia juga dibutuhkan dalam mensukseskan kebijakan ini. Penerapan
kebijakan ini, membutuhkan adanya penambahan karyawan, dimana setiap gerbong khusus
wanita dijaga oleh satpam wanita yang bertugas memberitahu penumpang pria yang masuk
ke dalam gerbong khusus wanita untuk pindah ke gerbong lain, yakni gerbong 2 sampai
gerbong 6 yang merupakan gerbong umum.

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bekerjasama dengan PT.KA dan PT.KCJ


(KA COMMUTER JABODETABEK) dalam mewujudkan kebijakan pengadaan gerbong
khusus wanita guna mengurangi kasus tindakan pelecehan yang banyak dialami oleh
penumpang wanita. Pengadaan KA ini idenya datang dari para pengguna angkutan KRL, dan
merupakan respons bersama terhadap permintaan pengguna kereta api, dan yang
berkewajiban dalam mewujudkan respon tersebut ialah pihak-pihak yang sebelumnya telah
penulis sebutkan, yakni PT. KCJ, dimana PT. KCJ yang sangat mengetahui kondisi
perkereta-apian COMMUTER JABODETABEK yang selama ini seringkali sering
diperbincangkan terjadi kasus pelecehan seksual. Dengan bekerjasama dengan pemerintah
pusat dan PT. KA, KKW merupakan salah satu program PT. KCJ dalam rangka peningkatan
pelayanan kepada publik pengguna KA, khususnya kaum perempuan.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Dalam mensukseskan kebijakan ini, diperlukan adanya komunikasi-komunikasi dari


organisasi terkait kepada masyarakat berupa sosialisasi mengenai pengadaan gerbong khusus
wanit. Perlu digaribawahi kembali, bahwa kebijakan ini bukan merupakan paksaan yang
mengharuskan penumpang wanita untuk naik ke gerbong khusus wanita, petugas hanya perlu
mensosialisasikan bahwa sekarang ada gerbong khusus wanita dan masalah pemanfaatan
gerbong tersebut, itu kembali kepada kemauan para wanita pengguna jasa kereta api, mau
atau tidak memanfaatkan fasilitas yang ada.

Sosialisasi tersebut sampai saat ini sudah dilakukan melalui media cetak dan juga
media elektronik yang mempublikasikan berita mengenai kebijakan tersebut. Selain itu, di
stasiun pun sudah banyak terpampang pamflet-pamflet tentang adanya gerbong khusus

14
wanita. Akan tetapi, sayangnya sosialisasi mengenai gerbong khusus wanita ini masih kurang
terlalu digencarkan. Hal ini dapat terlihat dimana, selama ini bentuk sosialisasi kebijakan ini
hanya melalui berita-berita, namun masih belum ada suatu iklan yang khusus
memperkenalkan mengenai keberadaan gerbong khusus wanita ini, sehingga masih ada saja
masyarakat yang belum mengetahui keberadaan gerbong khusus wanita ini.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Pemerintah terutama Departemen Pemberdayaan Perempuan sangat mendukung


pelaksanaan kebijakan pengaadaan gerbong khusus wanita. Banyaknya keluhan dari
pelanggan terhadap perilaku pelecehan seksual pada saat jam sibuk atau tingkat kepadatan
pelanggan yang tinggi di dalam kereta semakin mendukung terlaksananya kebijakan ini.
Keluhan-keluhan dari masyarakat serta dukungan dari pemerintah akan perlindungan wanita
dan anak-anak, mendorong PT.KAI untuk melakukan inovasi baru terkait hal tersebut. Dari
sinilah kebijakan pengadaan gerbong khusus wanita dibuat.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Pelaksanaan kebijakan ini masih terbentur dengan sikap masyarakat yang masih acuh
tak acuh terhadap kebijakan yang ada. Misalnya masih banyaknya kaum pria yang masuk
gerbong khusus wanita, meskipun ia tahu bahwa gerbong tersebut diperuntukkan khusus
untuk wanita,karena di dalam gerbong ditempel banyak stiker bergambar seorang wanita
serta tulisan gerbong khusus wanita. Selain itu,penumpang wanita dalam gerbong khusus
wanita juga masih enggan untuk menegur penumpang pria yang melanggar aturan tersebut.

Selain budaya masyarakat yang masih belum peduli dengan kebijakan yang dibuat
pemerintah, kondisi lingkungan eksternal yang juga mempengaruhi pelaksanaan kebijakan ini
ialah lingkungan ekonomi. Untuk dapat melaksanakan kebijakan ini secara optimal, pastinya
dibutuhkan sumber daya, baik dalam bentuk sumber daya manusia, dana, serta waktu, maka
lingkungan ekonomi merupakan faktor kunci dalam pengadaan sumber daya tersebut. Jika
lingkungan ekonomi sedang tidak stabil, pemasukan PT.KAI berkurang, dan nilai kurs rupiah
melemah, maka akan sulit bagi PT.KAI untuk menambah unit gerbong untuk
pengimplementasian kebijakan ini. Selain itu, kondisi keuangan PT.KAI yang tidak terlalu
untung, mengingat PT.KAI merupakan organisasi publik yang tidak berorientasi pada laba,
juga merupakan kendala bagi terlaksananya kebijakan ini.

15
BAB IV

PENUTUP

16
IV.1 Kesimpulan

Kebijakan yang resmi dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2010 kemarin


merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh PT.KAI menjawab keluhan-keluhan dari
masyarakat, khususnya kaum wanita terkait dengan maraknya kasus pelecehan yang terjadi di
angkutan umu, dalam hal ini ialah KRL Jabodetabek. Kebijakan ini sebelumnya pernah
dilaksanakan pada tahun 2008, namun dalam pengimplementasiannya, kebijakan ini dinilai
gagal, karena kurang ketatnya pengawasan dalam implementasi kebijakan tersebut, sehingga
masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pengimplementasiannya,
contohnya yakni masih banyaknya penumpang pria yang masuk ke gerbong tersebut. Akan
tetapi, saat ini, kasus pelecehan seksual semakin marak terjadi. Hal inilah yang mendorong
PT.KAI untuk kembali mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan untuk melindungi
keselamatan penumpang wanita tersebut. Sejauh ini, pelaksanaan kebijakan ini cukup efektif,
dimana pengawasan terhadap adanya penumpang laki-laki dalam gerbong khusus wanita ini
lebih diperketat. Akan tetapi, sayangnya kebijakan ini baru diterapkan pada KRL Ekonomi
AC dan KRL Ekspress saja, sedangkan untuk KRL Ekonomi Non AC, kebijakan ini belum
diterapkan. Padahal mengingat jumlah penumpang KRL Ekonomi Non AC yang lebih
banyak, maka kasus pelecehan seksual akan lebih sering terjadi dalam KRL Ekonomi Non
AC.

IV.2 Saran

Saran untuk pemerintah terkait kebijakan pengadaan gerbong khusus wanita ialah:

1. Lebih tingkatkan pengawasan dalam pengimplementasiannya, sehingga pelanggaran


akan implementasi kebijakan ini dapat diminalisir.

2. Penerapan kebijakan gerbong khusus wanita jangan hanya di KRL Ekonomi AC dan
KRL Ekspress saja, tapi juga di KRL Ekonomi Non AC. Mengingat kasus pelecehan
seksual paling banyak terjadi di KRL Ekonomi Non AC, karena padatnya penumpang
dalam kereta tersebut.

3. Perbanyak armada keretanya, sehingga penumpang tidak menumpuk di satu kereta


saja. Karena penumpukan penuhnya penumpang dalam kereta lah yang memicu
terjadinya kasus pelecehan seksual terhadap kaum wanita.

17
4. Perbaiki signal perkereta-apian. Gangguan signal seringkali mengakibatkan gangguan
perjalanan kereta, sehingga jadwal keberangkatan kereta menjadi terlambat, dan akan
terjadi penumpukan kereta di stasiun. Hal tersebut, akan langsung terkait dengan
penuhnya penumpang dalam satu kereta, sehingga akan memungkinkan terjadinya
kasus pelecehan seksual

DAFTAR PUSTAKA

Daftar buku:

Budi Winarno. 2008. Kebijakan publik: teori dan proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

18
lrfan Islamy. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara.

James E. Anderson. 1979. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Thomas R. Dye. 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffsl: Prentice Hall,
Inc.

William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press, 1999, hal. 44

Daftar Internet:

Djadja Sardjana, 2010, ”Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi


Manajemen Pendidikan-Proses Pembuatan Kebijakan Publik, www.edukasi.kompasiana.com,
diunduh pada tanggal 19 Mei 2010 pukul 23.00 WIB

Kam, 2010, “Beli Gerbong, KAI Commuter Anggarkan Rp50 Miliar”,


http://www.neraca.co.id, diunduh pada tanggal 7 Desember 2010

Redaksi, ”Proses Politik dalam Kebijakan Publik”, www.simpuldemokrasi.com, diunduh


pada tanggal 14 Maret 2010 pukul 15.45

Redaksi. http://www.keretaapi.com/ , diunduh pada tanggal 7 Desember 2010

Redaksi, 2010, “Gerbong Kereta Api Khusus Perempuan: Terobosan Kebijakan yang
Sensitif Gender”, http://kalyanamitra.or.id, diunduh pada tanggal 7 Desember 2010

19

You might also like