Professional Documents
Culture Documents
Metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari meta dan hodos. Kata meta berarti
“menuju, melalui, mengikuti, sesudah’, dan kata hodos berarti ‘jalan, cara, arah’. Jadi metode
kritik sastra adalah cara sistematis untuk memahami karya sastra. Dalam metode terkandung
kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi
berikutnya. Metode sosiologi sastra jelas berbeda dengan psikologi sastra, metode ekspresif
berbeda dengan pragmatik disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendala-
kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian dan kemungkinan penerimaan masyarakat
terhadap hasil penelitian.
Menurut Rachmat Djoko Pradopo terdapat metode kritik sastra yang secara umum
digunakan oleh kritikus satra : yakni metode struktural, metode perbandingan, metode sosiologi
sastra, dan metode estetika resepsi.
1. Metode Struktural
Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna
sendiri terlepas dari yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antarunsur dalam
keseluruhanya (Hawkes, 1978:17-18). Hubungan tersebut tidak hanya bersifat positif seperti
keselarasan dan kesesuaian, tetapi juga bersifat negative seperti konflik dan pertentangan.
Relasi antarunsur merupakan motivator yang menghasilkan makna-makna baru.
Sebuah struktur harus merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, artinya bagian-
bagian atau unsure-unsur yang membentuk struktur itu tidak dapat berdiri sendiri. Unsur
yang satu dengan unsure yang lainnya harus saling berhubungan atau saling kait-mengait.
Sebuah struktur itu berisi gagasan transformasi, dalam arti struktur tersebut tidak
statis, tetapi dinamis. Sebuah struktur mampu melakukan prosedur-prosedur transformasi,
dalam arti bahan-bahan baru dapat diolah melalui prosedur tersebut.
Sebuah struktur itu mampu mengatur dirinya sendiri. Artinya struktur itu tidak
memerlukan pertolongan atau bantuan dari luar dirinya untuk mengesankan prosedur
transformasinya. Berdasarkan teori struktur di atas, seorang kritikus dapat melakukan
kritiknya dengan menggunakan metode tersebut meliputi struktur global, struktur fisik,
dan struktur mental.
Contoh kritik sastra dengan menggunakan metode structural semacam itu pernah dilakukan
oleh Herman J. Waluyo (1991) dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi yang menjabarkan
teori Boulton (1979). Subagio Sastrowardjo yang dimuat dalam majalah sastra Horizon
nomor 2 tahun II halaman 51, Februari 1967.
Bagi strukturalisme, New criticsm hanya mengandalkan akal sehat atau common
sense dan karena itu, sebetulnya New criticsm tidak mempunyai landasan yang kuat. Akal
sehat atau common sense semata, menurut strukturalisme, tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Strukturalisme tampil untuk member landasan pertanggungjawaban
yang tidak diberikan oleh New criticsm.
Cara kerja New criticsm tampaknya tidak lain merupakan pertanggungjawaban atas
kebenaran kajian mereka. Di satu pihak, kata Cleanth Brooks, puisi adalah aktivitas alamiah,
yang tidak lain merupakan salah satu aktivitas fundamental manusia dank arena itu bukan
merupakan aktivitas yang esoteric (hanya diketahui dan dipahami orang-orang tertentu).
Karena itu, menurut Cleanth Brooks, pandangan bahwa puisi dapat dikaji dengan common
sense memang benar, tapi hanya sampai pada tahap-tahap tertentu saja. Apabila kajian
terhadap puisi diperdalam sampai ke hakikat puisi yang esensial, common sense tidak dapat
diandalkan lagi.
Clent Brooks juga sudah berkali-kali menekankan bahwa kajian sastra tidak lain
adalah kajian humaniora. Namun, cara Kerja New criticsm terbatas pada puisi dan tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar puisi itu sendiri, sedangkan strukturalisme
sangat memperhatikan kaitan antara sastra dengan humaniora. Dari memperhatikan kaitan
antara sastra dengan humaniora. Dari titik ini kemudian tampak adanya perpisahan antara
New criticsm dan Strukturalisme. Perpisahan ini terjadi karena kajian sastra berasal dari
sastra sendiri, sedangkan strukturalisme menganggap bahwa sastra adalah sebuah bagian
humaniora.
Asal-usul para tokoh New criticsm tidak lain adalah sastra sendiri, sedangkan asal-
usul para tokoh strukturalisme dari berbagai disiplin ilmu humaniora. Berbagai bidang ilmu
itu antara lain antropologi, mitologi, kepercayaan, ritual, dan cerita rakyat. Tokohnya adalah
Claude Levi Strauss (Prancis), Michel Foucault (Prancis), Roland Barthes (Prancis), dan
Jacques Lacan (Prancis). Sebagai sebuah studi interdisipliner dengan sendirinya
strukturalisme mempergunakan pendekatan ekstrinsikl. Jika, strukturalisme menjadi sebuah
studi monodispliner, maka strukturalisme dapat pula mempergunakan pendekatan instrinsik.
Salah satu contoh penggunaan pendekatan instrinsik tampak dalam studi Jonathan Culler,
seorang tokoh strukturalisme Amerika dalam menghadapi sajak William Blake, “Ah
Sunflower”.
1.3 Struktural-Semiotik
Dalam pengertian struktur ini, terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga
ide dasar yaitu, (1) merupakan satu totalitas (kesatuan); (2) dapat bertransformasi
(susunannya dapat berubah); dan (3) dapat mengatur dirinya sendiri jika terjadi perubahan
pada susunan antarkomponen (Piaget via Hawkes, 1978:16). Dalam rangka membangun
totalitas, strukturalisme menolak peranan faktor-faktor lain yang da di luranya termasuk
pengarang sendiri. Dalam hal ini, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis.
Strukturalisme dianggap mementingkan objek. Penganut aliran strukturalisme berkiblat pada
stukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure dengan dua konsep
yakni: penanda (signifier, significant) dan petanda (signified, signifie).
Prinsip struktural memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna
sendiri yang lainnya, melainkan ditentukan oleh hubungan antar unsur dalam keseluruhannya
(Hawkes, 1978:17-18).
Karya sastra sebagai gejala semiotik, menurut Culler pertama-tama dapat dianggap
sebagai ragam pemaknaan dan komunikasi, asalkan uraian yang memperhatikan makna karya
sastra tersebut sesuai bagi pembaca; kedua, setiap orang harus mengidentifikasikan pengaruh
pemaknaan yang dikehendakinya. Ditegaskan Culler bahwa seseorang dapat mempelajari
signifikasi sastra dengan jalan menguraikan konvensi-konvensi dan kerja semiotik yang
berhubungan dengan penafsiran-penafsiran tersebut(1981:49).
Dalam proses signifikasi sastra, struktur bermakna dalam karya sastra terbentuk
berdasarkan susunan bahasa. Seperti dinyatakan Teeuw, karya sastra sebagai tanda (kode)
sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa
itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan
bahasa dalam sstra nerupakan sistem semiotik tingkat kedua yang meknanya ditentukan
bersama-sama berdasarkan konvensi sstra (Pradopo, 1987:122). Arti dalam bahasa sastra
disebut makna (significance).
Karya sastra sebagai tanda (kode) sekunder sebagian maknanya ditentukan oleh
sistem bahasa tingkat pertama (primer). Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat
pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam sastra merupakan sistem semiotik
tingkat kedua yang maknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sastra
(Pradopo, 1987: 122). Bahasa dalam sastra dapat memiliki arti lain dari arti itu sendiri
(meaning of meaning) dan untuk membedakannya, arti dalam bahasa sastra disebut makna
(significance). Dalam hal ini, Riffaterre (1978: 3) menempatkan istilah arti (meaning) bagi
informasi yang disampaikan teks pada taraf mimetik. Berdasarkan sudut pandang arti itu, teks
(karya sastra) merupakan unit-unit informasi yang berurutan, sedangkan dari sudut pandang
signifikansi karya sastra merupakan satuan unit semantik.
Makna karya sastra cenderung ditentukan oleh kehadiran atau peranan pembaca
sebagai pemberi makna. Kenyataan tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra
sebagai artefak akan menjadi penuh setelah melewati kegiatan pembacaan (Mukarovsky vis
Fokkema, 1977:31-32). Kegiatan pembacaan dalam rangka interpretasi merupakan partisipasi
pembaca dalam menciptakan makna. Berkaitan dengan hal tersebut. Riffaterre (1978:4-6)
mengklasifikasikan dua tingkat atau tahap pembacaan yaitu heuristik dan hermeneutik.
Proses semiotik merupakan hasil pembacaan tahap kedua yang bersifat hermeneutic.
Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang lebih rumit dan bervariasi yaitu
pembacaan ulang disertai penafsiran dengan jalan menguraikan (decoding) terhadap unsur-
unsur ketidakgramatikalan kedalam ekuivalensi sehingga membentuk varian dari matrik
struktural yang sama.
Dalam konteks strukturalisme, primitivisme mengandung makna masa lampau pada waktu
manusia masih primitive sebagaimana yang tercerminkan dalam antropologi, sedangkan di
luar konteks strukturalisme, primitivisme merupakan bagian dari proses kreatif. Dalam proses
kreatif, setiap penulis mempunyai tendensi untuk mundur ke pengabadian kebiasaan-
kebiasaan masa lampau yang sudah kuno dan tidak dipakai lagi. Sadar atau tidak, setiap
penulis pada hakikatnya kembali ke primitivisme. Pengabdiaan kebiasaan-kebiasaan masa
lampau ini tampak antra lain, dalam penggunaan bahasa, dan penciptaan suasana sublime
yang hanya mungkin terjadi di masa lampau. Salah satu contoh primitivisme terdapat pada
novel pendek Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea.
1.6 Formalisme
Pada dasarnya, kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki
dunianya sendiri.Artinya, terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita
alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis, mempertentangkan metode kritisis meformalis
dengan teori seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman
manusia di luar seni. Menurut pendapatnya Art is to be art, must be independent and self
sufficient.
Kriteria kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form,
yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni. Menurut Bell
untuk memahami dan merasakan significant form, dan ruang tiga dimensional. Dengan
maksud yang sama Roger Fry menggunakan istilah plastic drama, yakni sintesis permainan
garis dan volume dalam karya seni rupa. Unsur desain menurut Fry terdiri atas garis, volume,
cahaya, bayang, dan warna.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adalah aliran kritik sastra yang lebih
mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai
struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka
adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka
sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya
psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang
dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk
meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari
pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui
penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Ketika New criticsm secara resmi dianggap sudah mati pada tahun (1950-an dan
1960-an), muncullah kemudian dua perkembangan baru, yaitu Formalisme Rusia dan
Strukturalisme Praha yang dalam banyak hal dianggap identik. Formalisme Rusia sendiri
sebetulnya terdiri atas dua kelompok, yaitu The Moscow Linguistic Circel dan Opojaz
(masyarakat untuk kajian bahasa puitik). Dalam perkembanganya, keduannya dianggap satu,
yaitu Formalisme Rusia. Para tokoh Formalisme Rusia dianggap sebagai orang-orang yang
anti kajian sastra Marxis dank arena itu banyak di antara mereka yang melarikan diri dari
Rusia. Lahirnya kajian sastra Marxis antara lain melahirkan Realisme Sosial, yang di
Indonesia kemudian dijadikan pedoman mutlak para seniman Lekra (Lembaga Kesenian
Rakyat).
Para tokoh Formalisme Rusia tidak lain adalah juga tokoh strukturalisme Praha.
Mereka anatara lain adalah Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Boris Tomashevsky, dan
Yuri Tynjanov. Beberapa di antara mereka kemudia lari dari negara-negara komunis Uni
Soviet dan Chekoslovakia, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Vladimir Proop dengan
bukunya yang sangat berpengaruh, Morphology of the Folktale, dan Roman Jakobson,
seorang linguis Rusia yang kemudian melarikan diri ke New York menjelang Perang Dunia
II. Karena peran dan sumbangan mereka sangat besar, masing-masing mereka dianggap
berdiri sendiri seolah mereka tidak ada kaitannya dengan mazhab tertentu.
c. Integrasi antara bunyi dan makna dalam suatu kesatuan yang tidak mungkin
dipisahkan
Ketika strukturalisme sedang tumbuh dengan pesat di Prancis, ada seorang filsuf
Perancis terkemuka, Louis Althusser, yang berusaha untuk memasukkan gagasan-gagasan
Marxism eke dalam strukturalisme. Gagasan utamannya adalah kembali ke Marxisme tulen,
dengan jalan mempelajari kembali karya Marx dengan cermat. Pemikirannya mempunyai
pengaruh yang sangat cermat. Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat cermat.
Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat luas di Eropa Barat dan Amerika Latin pada
tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan masuknya Louis Althusser ke dalam jajaran
strukturalisme, maka cakrawala strukturalisme menjadi bertambah luas, dank arena itu peran
strukturalisme dalam kajian sastra menjadi lebih sempit.
Gagasan Althusser, memang lebih banyak mengaju pada ideologi, yaitu Marxisme
khususnya Historisme Materialisme suatu kajian mengenai pergeseran kelas menurut
idealism Marxisme. Salah satu simpulan pemikiran Althusser yang Marxist dan Derrida yang
non-ideologis serta beberapa tokoh strukturalisme yang lain, akhirnya melahirkan
pascastrukturalisme. Salah satu gagasan pokok pascastrukturalisme adalah dekonstruksi.
2. Metode Perbandingan
Menurut Robert J. Clementa, sastra bandingan adalah suatu disiplin ilmu yang
memiliki metode yang mencangkup berbagai aspek yaitu tema, jenis/bentuk, keterhubungan
sastra dengan disiplin dan media seni lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam kajian
sastra bandingan diperlukan pendekatan dalam mengkaji karya sastra yang satu dengan
lainnya. Dengan membanding-bandingkan karya sastra dengan menggunakan suatu
pendekatan, akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan
perbedaan.
2.1 Intertekstual
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam
interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan
dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks
yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Prinsip dasar intertekstualitas (Pradopo, 1997: 228) adalah karya hanya dapat
dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram.
Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran dalam berkarya. Hipogram
tersebut bisa sangat halus dan bisa sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir
berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka
selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya
sendiri, dengan horizon atau harapannya sendiri.
Metode sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan
pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat
dan memberi pengaruh terhadap masyarakat.
3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan
suatu jaman dalam karyanya.
3.1 Poskolonial
Awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial literature) yang
dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan
pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada
hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek
etnisitas. Teori postkolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu
sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi
imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material
maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropolog menjadi dua macam,
yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam
kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia,
seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hokum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya
sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia,
yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra
memudatkan perhatian pada kompleks ide.
3.3 Posmodernisme
Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata
recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan
pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian
makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan)
yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya
sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara
pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan
periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon
atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang
pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini sebagai konsep awal yang
dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu
adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki
pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu
akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.
Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika
(1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga
dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
1. norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
2. pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
3. pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk
memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam
horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.