Professional Documents
Culture Documents
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak -anak itu untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh eg osentrisnya yaitu ia tidak menyadari
orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum -
hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh
karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat
hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal -hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan
kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak
tesebut.
Taxonomy SOLO
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori
belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan
dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan
÷÷
(SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara
³ ÷
÷
´ atau struktur kognitif umum anak dengan ³actual
respon´ atau respon langsung anak ketika diberikan perintah -perintah. Mereka
menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini
bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada
sebuah ³ ÷
´ (HCS) atau struktur kognitif hipotesis.
Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari
pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat
penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan
seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas
lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi
ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun
berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari
siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada
pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya ³pertukaran´ dalam perkembangan kognitif yang
berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
,
pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih
menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon
anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini
tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya
dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini
ditunjukkan oleh kegiatan -kegiatan fisik ketika diperolehnya ÷ .
2. Mode ÷
3. Mode C÷
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat
memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan li ngkungan fisik di
sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika
dan bahasa. Mode ÷
adalah mode terbesar sebagai target dari
matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan
mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir
pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan mem buat penalaran yang
proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa -mahasiswa
di Perguruan Tinggi.
5. Mode
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di
berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan
tidak saling berhubungan, sehingga tida k membentuk sebuah kesatuan konsep
sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap ÷
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu
konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belu m
dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini
adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap !
.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih
bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara
komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian
kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata
kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain;
membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan,
membuat daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap
÷.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta
tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa
komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian -bagian bagi
keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan -
keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada
tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab
akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap" ÷ #
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-
konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep -konsep diluar
itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah
perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta
membangun suatu konsep.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar
geometri yaitu;
a.Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mu lai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat -sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan
sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh
kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi -sisi yang berupa bujur
sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat -sifat yang dimiliki benda
geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat
pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia
telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua
pasang sisi tersebut saling sejaja r. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui
hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya.
Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang,
bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagai nya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang
dikenal dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang
secara penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia
sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah
ketupat adalah layang -layang. Demikian pula dalam pengenalan benda -benda
ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan
keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berben tuk bujursangkar. Pola pikir
anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu
persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah
ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Mereka juga telah mengerti peranan unsur -unsur yang tidak didefinisikan, di
samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu
memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat
atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun
belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan
sebagai postulat dalam cara -cara pebuktian dua segitiga yang sama dan
sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui
pentingnya aksioma -aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap
akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku
sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selai n itu masih banyak
teori belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom,
Freudenthal dan lain -lain.
Teori belajar kognitif bisa di aplikasikan kedalam konsentrasi belajar apa saja
karena sebenarnya dasar dari teori tersebut ada 3 hal yaitu :
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh gage dan
berlier tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhada p stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberik an oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon
akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikur angi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau ge rakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjela skan bagaimana cara mengukur tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal -hal tertentu dapat memperkuat resp on
ë
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri -ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Vygotsky berpendapat tidak jauh dengan Piaget, bahwa tiap siswa membentuk
pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran dan kegiatan siswa itu sen diri melalui
bahasa. Teori Vygotsky lebih menekankan pada aspek social dari pembelajaran.
Menurutnya, proses pembelajaran akan terjadi bila anak beekrja atau menangani
tugas yang belum dipelajari, namun tugas tersebut masih dalam jangkauan anak
yang disebut dengan zone of proximal development (daerah tingkat perkembangan
sedikit di atas aerah perkembangan seseorang sendiri. Vygotsky yakin bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama
antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap dalam individu
tersebut.
Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka sendiri
tentang semua hal, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika pemahaman
dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak di tangani dengan baik, pemahaman atau
kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka
mungkin memberi jawapan seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahawa
pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai
proses menyusun atau membina pengalaman secara lanjut/kontinyu. Beliau juga
menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran
dan pembelajaran.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Oleh
karenanya, seorang guru ha rus memahami maksud dan tujuan siswa belajar,
selanjutnya guru juga mampu mengarahkan siswa untuk memfungsikan hasil
pengetahuan yang diperolehnya.
Guru menyampaikan pengantar materi pada siswa di dalam kelas. guru mengajak
siswa untuk keluar kelas dan menuju lab sekolah.Di dalam lab, guru menegaskan
dasar pengertian hambatan, fungsi, dan berbagai penjelasan tentang hambatan.
Guru selanjutnya menyuruh siswa untuk tetap berada di lab dan mengintruksikan
agar siswa mencari solusi apa saja yang dapat mencegah panasnya hambatan
(resistor) seperti yang mereka rasakan di lapangan (Discovery).Siswa diajak kembali
ke kelas dan disuruh membacakan hasil pemikirannya satu per satu mengenai solusi
panas dan mengintruksikan agar siswa lain mencatat solusi yang belum ditulisnya
(Asimilasi).Guru menyimpulkan hasil pengamatan siswa, kemudian siswa disuruh
merangkum hasil pembelajaran materi tersebut sesuai yang dipahaminya.Guru
memberikan kesempatan pada siswa untuk menanyakan s ecara kritis berkenaan
dengan hasil pengamatannya.Pada kegiatan penutup guru mengintruksikan agar
setiap siswa mendemonstrasikan hasil penelitian tadi kepada warga sekitar dan
mencatat respon warga tersebut sebagai tugas di rumah (Akomodasi).
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
manusia. \proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun
ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, ialah :
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode -metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.