You are on page 1of 17

PERMASALAHAN HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF (ZEE)

DAN LANDAS KONTINEN


DALAM KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Oleh : Ratih Destarina

Perkembangan hukum laut internasional modern dimulai sejak berakhirnya Perang


Dunia II yang dirumuskan secara fragmentaris dalam Konferensi Hukum Laut PBB I dan II di
Jenewa pada tahun 1958 dan 1960. Karena dirasa masih terdapat kekurangan pada hukum laut
internasional yang dicanangkan sebelumnya, diadakan Konferensi Hukum Laut PBB III yang
dimulai Tahun 1973. Dengan memakan waktu 9 (sembilan) tahun akhirnya pada 10 Desember
1982 Konferensi Hukum Laut PBB III menghasilkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS
1982) yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi ini dinyatakan berlaku 16 Nopember
1994, yaitu 12 (dua belas) bulan setelah ratifikasi negara ke 60 (pasal 308 KHL 1982).
UNCLOS 1982 memuat ketentuan-ketentuan baru yang dianggap sebagai perkembangan
dari Hukum Laut Internasional, antara lain diterimanya hukum zona ekonomi eksklusif dan
hukum Negara kepulauan. Selain memuat ketentuan-ketentuan baru ternyata memuat juga
ketentuan lama, yaitu konsepsi landas kontinen yang telah mendapat pengaturan dalam
Konvensi Hukum Laut 1958, tetapi dalam perkembangannya memberi rumusan yang lebih
jelas karena telah mendapat kepastian dalam menentukan batas terluar landas kontinen.
Demikian juga mengenai eksploitasi terhadap kekayaan alamnya lebih menjamin kepentingan
negara-negara “land-locked states” terutama negara-negara yang sedang berkembang dan
negara yang secara geografis pantainya tidak beruntung.
Diterimanya hukum zona ekonomi eksklusif dalam UNCLOS 1982 mempengaruhi
hukum landas kontinen, karena kedua hukum ini mempunyai kaitan permasalahan dalam
pengaturan eksploitasi kekayaan alamnya yang memerlukan pemecahan atau pengaturan lebih
lanjut dalam pelaksanaannya.

I. YURISDIKSI NASIONAL NEGARA PANTAI ATAS LAUT LEPAS YANG


BERBATASAN DENGAN PANTAINYA

Pembagian laut atas dua bagian, yaitu laut lepas dan laut teritorial yang berada di bawah
kedaulatan Negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk semua negara berlaku
cukup lama, yang dalam perkembangannya telah mendapat permusan dalam Konvensi Den
Haag 1930. Perumusan ini dapat dianggap sebagai rekaman dari hukum kebiasaan
internasional yang didasarkan pada praktek negara-negara pada waktu itu, meskipun
Konferensi Den Haag sendiri tidak berhasil merumuskan lebar laut teritorial, namun praktek
negara-negara di Eropa Barat pada umumnya menetapkan 3 mil laut teritorial.
Keadaan berubah setelah Perang Dunia II. Beberapa faktor yang menyebabkan
perubahan itu yaitu :
1. banyaknya jumlah negara yang merdeka sehingga mengakibatkan perubahan peta bumi
politik yang tidak kecil artinya di dalam dunia internasional setelah Perang Dunia II.
2. faktor kemajuan dalam bidang teknologi yang terjadi dengan pesatnya selama Perang
Dunia II
3. makin bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam mineral
termasuk minyak dan gas bumi.
Semakin bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber alam baik kekayaan
hayati maupun non hayati termasuk mineral dan gas bumi serta kemungkinan pengambilannya
dengan kemajuan teknologi kelautan telah mendorong terjadinya tindakan sepihak dari
negara-negara untuk melindungi, memelihara dan mencadangkan sumber-sumber kekayaan
alamnya tidak saja di laut teritorial, tetapi juga menghendaki hak berdaulat yang lebih luas
lagi, yaitu di laut lepas yang berada di luar yurisdiksinya dan berbatasan dengan laut
teritorialnya.
Tindakan sepihak negara-negara tersebut akhirnya membawa pengaruh yang penting
sekali terhadap perkembangan hukum laut internasional, yaitu diantaranya lahirlah konsepsi
landas kontinen dan dalam perkembangan kemudian disusul dengan lahirnya konsepsi zona
ekonomi eksklusif.

I. 1. Konsepsi Landas Kontinen.


Latar belakang lahirnya konsepsi landas kontinen ditandai dengan tindakan sepihak
Amerika Serikat memperluas yurisdiksinya atau laut lepas yang berbatasan dengan pantai
Amerika Serikat yang dinyatakan dalam Proklamasi Truman pada tanggal 28 September
1945 tentang “Continental Shelf” yang menyatakan sebagai berikut :
“..........The Goverment of the United States regards the natural recources of the subsoil
and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts
of the United States are appertaining to the United States, subjecct toc its yurisdiction
and control .....”.
Tindakan Amerika Serikat ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam dasar
laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat. Diperoleh
keyakinan bahwa “continental shelf” seluas 760.000 mil persegi yang dalamnya tidak
lebih 100 fathom (kedalaman 200 meter) di bawah permukaan laut yang berbatasan
dengan pantai Amerika Serikat mengandung cadangan-cadangan minyak bumi dan
mineral lainnya, dan disertai dengan teknik pengorbanan lepas pantai telah mencapai
tingkat untuk memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam tersebut.
Sebagai alasan dari tindakan Amerika Serikat untuk mengamankan kekayaan alam
tersebut dikemukakan, bahwa sudah selayaknya diambil tindakan demikian oleh Negara
pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (“natural
prolongation”) dari pada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk
mengelola kekayaan alam yang terdapat di dalamnya memerlukan kerjasama dan
perlindungan dari pantai. Dalam hal ini Amerika Serikat menegaskan tidak menuntut
“continental shelf” sebagai wilayahnya, melainkan hanya menuntut kekayaan alamnya,
kedaulatan penuh tetap 3 mil laut teritorial. Amerika Serikat tidak bermaksud untuk
mengurangi kebebasan berlayar melalui perairan diatas “continental shelf” yang
statusnya tetap sebagai laut lepas.
Proklamasi Truman tentang “continental shelf” ini dalam waktu relatif singkat
diikuti oleh negara-negara pantai di Amerika Latin dan juga diikuti oleh Negara-negara
dibelahan bumi lainnya, seperti Negara-negara pantai di Eropa, Asia dan Afrika serta
Autralia. Dapat dikatakan menjelang Konperensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958 di
Jenewa lembaga “continental shelf” ini telah menjadi lembaga hukum laut internasional.
Karena itu negara-negara peserta Konperensi tidak banyak menemui kesukaran dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak dan kekuasaan serta
kewajiban Negara pantai atas “continental shelf” yang kemudian ketentuan hukum ini
dituangkan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 tentang “Continental Shelf”.
Dengan diterimanya Konsepsi “continental shelf” dalam Konferensi Hukum Laut
PBB I Tahun 1958 di Jenewa, maka konsepsi “continental shelf” telah menjadi bagian
Konvensi Hukum Laut 1958. Tetapi perumusan pengertian “continental shelf” yang
terdapat dalam Konvensi Laut 1958 berbeda dengan pengertian “continental shelf”
aslinya (pengertian “continental shelf” dalam arti geologis) menurut Proklamasi Truman
1945.
Untuk membedakan dua pengertian “continental shelf” yang berlainan isinya ini,
oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “dataran
kontinen” untuk “continental shelf” dalam arti geologis yang pada pantai di dunia ini
kira-kira sampai kedalaman 200 meter. Sedangkan istilah “landas kontinental shelf”
dalam arti yuridis (hukum) sebagaimana dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958.

I. 2. Landas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut 1958.


Sebagaimana telah disebutkan di atas pengertian “continental shelf” dalam Konvensi
Hukum Laut 1958 adalah pengertian dalam arti hukum (landas kontinen) yang berbeda
dengan pengertian aslinya menurut Proklamasi Truman. Secara lengkap pengertian
landas kontinen di muat dalam Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen,
yaitu pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut :
“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as refering (a) to
the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but autside the area
of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the
superjecent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas
to seabed and subsoli of similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.
Batasan pasal 1 tersebut menentukan batas landas kontinen, yaitu :
(1) dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter
untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya;
(2) dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas kedalaman 200 meter sampai di mana
kemampuan teknologi dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan
alamnya (kriteria “technical exploitability”).
Batasan tersebut di atas jelas berbeda dengan batasan pengertian “continental shelf”
dalam arti geologis semata-mata sebagaimana yang terdapat dalam Proklamasi Truman.
Ternyata dengan kemajuan teknologi di bidang kelautan yang sangat pesat,
interprestasi ketentuan pasal 1 tersebut di atas hanya ditekankan pada ukuran “technical
exploitability”, sehingga batas yang dicapai oleh teknik pengambilan kekayaan di laut.
Karena itulah ketentuan landas kontinen dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958
tersebut (kriteria “technical exploitability”) sudah tidak memuaskan lagi terutama bagi
Negara-negara yang sedang berkembang dan tidak mempuyai kemampuan dan teknologi
untuk memanfaatkannya. Ketentuan inilah yang merupakan salah satu diantara alasan-
alasan untuk meninjau kembali Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958 agar mengenai
landas kontinen diberikan batas terluar yang jelas.
Dalam perkembangannya pada tahun 1970 PBB menerima Resolusi 2750 (XXV)
yang menetapkan diadakannya Konperensi Hukum Laut PBB III pada Tahun 1973. Sejak
diadakannya sidang pertama Tahun 1973, maka pada tanggal 10 Desember 1982 di Teluk
Montego, Yamaica ditandatangani Konvensi Hukum Laut PBB III oleh wakil-wakil dari
119 negara, di mana satu Indonesia turut menandatangani Konvensi tersebut. Konvensi
Hukum Laut PBB III ini lebih dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982.

I. 3. Landas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut 1982.


Konvensi Hukum Laut 1982 memuat ketentuan-ketentuan baru yang dapat dianggap
sebagai perkembangan progresif dari Hukum Laut Internasional, juga memuat ketentuan-
ketentuan lama yang telah mendapat perumusan dalam Konvensi Hukum Laut 1958
diantaranya ketentuan mengenai landas kontinen.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 ada empat alternatif cara mengukur luas landas
kontinen, yaitu :
(1). Sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”).
(2). Sampai jarak 200 mil dari garis pangkal laut teritorial, apabila tepian kontinen tidak
mencapai batas tersebut.
(3). Dan apabila tepian kontinen melebihi 200 mil ke arah laut maka batas terluar landas
kontinen tidak boleh melebihi 350 mil.
(4). Boleh melebihi 100 mil dari kedalaman (“isobath”) 2500 meter.
Cara mengukur luas landas kontinen tersebut telah memberikan batas terluar landas
kontinen, yaitu tergantung dari konfigurasi tepian kontinen dari suatu Negara pantai.
Oleh karena itu suatu Negara pantai dapat menetapkan batas terluar landas kontinennya
yang berbeda-beda disekeliling wilayahnya.
Jika dibandingkan dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, perumusan yang
terdapat dalam pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut di atas memberikan
batasan-batasan yang lebih jelas dengan memberikan kepastian batas terluar landas
kontinen. Demikian juga pengertian landas kontinen selain mencakup pengertian yuridis
juga mencakup pengertian geologis yang merupakan penyempurnaan dari pengertian
landas kontinen itu sendiri.
Tetapi perumusan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, selain
merupakan penyempurnaan dari pengertian landas kontinen yang dapat dianggap sebagai
perkembangan hukum laut masa kini, perumusan tersebut dapat menimbulkan kekaburan
atau ketidak jelasan dalam menafsirkan pengertian “continental shelf”.
Jika ditinjau dari pengertian yuridis, alternatif-alternatif yang digunakan untuk
menentukan batas terluar “continental shelf” (landas kontinen - dalam bahasa Indonesia)
hingga pinggiran luar tepian kontinen atau melampaui batas itu. Cara pengukuran ini
sudah jauh meninggalkan pengertian “contonental shelf” dalam arti geologis semata-
mata.
Secara geofisik dasar laut yang berbatasan dengan pantainya umumnya terdiri dari 3
bagian yang terpisah, yaitu “continental shelf”, “continental slope” dan “continental
sise”, yang secara keseluruhan disebut “continental margin” atau tepian kontinen.
Sedangkan “continental shelf” bukan merupakan keseluruhan dari “continental margin”.
Sehingga menurut penulis penggunaan istilah “continental shelf” sudah tidak relevan lagi
dan dapat menimbulkan kekaburan atau ketidak jelasan pengertian dari “continental
shelf”, karena sudah mencapaui batas terluar “continental margin” atau dapat juga
melampaui batas itu.
Kalau dalam bahasa Indonesia dibedakan pengertian dari “continental shelf” dalam
arti geologis, yaitu dataran kontinen dan “continental shelf” dalam arti yuridis disebut
landas kontinen, kiranya perlu juga dipikirkan oleh ahli hukum laut internasional untuk
memberikan istilah yang lebih tepat untuk “continental shelf” dalam arti yuridis sehingga
tidak menimbulkan kekaburan pengertian “continental shelf” tersebut.

I. 4. Konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif.


Latar belakang lahirnya konsepsi zona ekonomi eksklusif tidak terlepaskan dari
tindakan sepihak Amerika Serikat dalam bentuk Priklamasi Truman Tahun 1945. Klaim
Negara-negara Amerika Latin dalam mengikuti tindakan Amerika Serikat ini, seperti
Chili, Peru Dan Equador sudah jauh menyimpang dari pengertian “:continental shelf”
dalam arti geologis. Negara-negara ini bukan saja menuntut perluasan yurisdiksi yang
ditujukan kepada penguasaan kekayaan alamnya yang terdapat di dasar laut dan tanah di
bawahnya, tetapi juga meliputi perairan diatasnya. Pada waktu berlangsungnya
Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa Tahun 1958, Peru (Negara-negara Amerika
Latin) mengajukan suatu usul yang dinamakannya “economic zone”. Tetapi usul Peru ini
tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan karena pada waktu itu negara-negara
peserta mengangagapnya sebagai terlalu ekstrim. Dan oleh Peru usul “economic zona” ini
mendapat dukungan Negara-negara Afrika dan pada waktu Negara-negara Afrika
mengadakan seminar di Yaounda salah satu keputusannya berisi dukungan terhadap
“economic zona”. Selain mendapat dukungan Negara-negara sedang berkembang,
konsepsi “economic zone” mulai menarik dukungan Negara-negara maju, seperti Kanada
dan Norwegia. Walaupun pada mulanya Negara Amerika Serikat, Uni Soviet dan
Negara-negara tak berpantai (“land locked countries”) serta negara-negara yang secara
geografis tidak beruntung (“geographically disadvantages”) menentang konsepsi ini,
tetapi pada kenyataannya konsepsi “oconomic zone” dianggap sebagai usul yang
dikompromikan dengan diterimanya konsepsi ini sebagai suatu rejim hukum baru dalam
Hukum Laut Internasional yang terdapat pengaturannya dalam Konvensi Hukum Laut
1982.
Adapun pengertian dari zona ekonomi eksklusif (“eksklusive economic zone”)
adalah suatu jalur laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial dari
suatu Negara pantai yang lebarnya 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial untuk
tujuan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alamnya baik hayati maupun non hayati di
perairan, di dasar laut dan tanah di bawahnya.
Sebagaimana halnya dengan landas kontinen, maka zona ekonomi eksklusif adalah
juga merupakan perluasan yurisdiksi Negara pantai atas laut lepas yang diterima dalam
Kovensi Hukum Laut 1982.

I. 5. Status Hukum Landas Kontinen Dan Zona Ekonomi Eksklusif.


Mengenai status hukum perairan di atas landas kontinen tidak dinyatakan secara
jelas baik dalam Konvensi Hukum Laut 1958 maupun dalam Konvensi Hukum Laut
1982, tetapi dari pengertian landas kontinen yang dirumuskan dalam Konvensi-konvensi
tersebut memberi petunjuk tentang hal ini.
Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas
Kontinen dan pasal 76 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, antara lain menyatakan
bahwa, di landas kontinen mempuyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya untuk tujuan
eksplorasi dan eksploitasi, dan hak berdaulat ini dinyatakan sebagai hak eksklusif, dalam
arti apabila Negara pantai tidak mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan tersebut tanpa persetujuan Negara pantai yang
bersangkutan. Dengan demikian status hukum landas kontinen merupakan “sovereign
right” atas kekayaan alamnya yang bersifat eksklusif dari negara pantai.
Sedangkan mengenai status perairan di atas landas kontinen berbeda menurut
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 dan 1982. Di dalam pasal 3 Konvensi Hukum laut
1958 tentang Landas Kontinen menyatakan, bahwa hak Negara pantai di landas kontinen
tidak mempengaruhi status hukum perairan di atasnya sebagai laut lepas dan ruang udara
di atasnya. Oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas.
Berbeda dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, dengan diterimanya
konsepsi zona ekonomi eksklusif, maka terdapat dua rejim hukum di perairan di atas
landas kontinen 200, yaitu perairan zona ekonomi eksklusif 200 mil dari garis pangkal
laut teritorial dan perairan di atas landas kontinen diluar 200 mil sebagai laut lepas.
Dapat disimpulkan bahwa perairan di atas landas kontinen 200 mil yang berhimpit
dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif. Di perairan ini
Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi terhadap
kekayaan alamnya di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya yang meliputi
kekayaan hayati dan nonon hayati dan juga mineral. Sedangkan perairannya tetap
merupakan laut lepas yang dapat dilalui oleh kapal-kapal dari semua negara. Di perairan
di atas landas kontinen di luar 200 mil sesuai dengan statusnya sebagai laut lepas, maka
pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas yang dapat dinikmati oleh semua
negara-negara baik terhadap pelayarannya maupun sumber-sumber kekayaan alam hayati
maupun nin hayati termasuk sumber mineral di perairan tersebut.

II. KAITAN PERMASALAHAN KONSEPSI LANDAS KONTINEN DAN ZONA EKONOMI


EKSKLUSIF DALAM KONVENSI HUKUM LAUT 1982

Dalam pembahasan diatas telah disebutkan bahwa faktor teknologi dan daya guna laut
bagi kehidupan manusia telah menimbulkan tindakan sepihak Negara-negara pantai untuk
meluaskan yurisdiksinya atas laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang
terkenal di antaranya adalah tindakan dari Amerika Serikat dan terkenal dengan Proklamasi
Truman dengan “Continental Shelf” pada tahun 1945.
Proklamasi Truman tentang “Continental Shelf” ini ternyata dalam waktu relatif singkat
telah melembaga dalam Hukum Laut Internasional melalui hukum kebiasaan. Sehingga pada
waktu konsepsi “continental shelf” ini dirumuskan dalam Konferensi Hukum Laut PBB I
Tahun 1958 di Jenewa tidak menemui kesukaran, dan kemudian konsepsi hukum ini
dituangkan dalam Konvensi Laut 1958 tentang “Continental Shelf”, yang lebih dikenal
dengan “continental shelf” dalam arti yuridis atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan
“landas kontinen”.
Dalam perkembangannya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 konsepsi landas kontinen
ini dirumuskan kembali dengan memberikan pengertian yang lebih jelas dengan
ditetapkannya kepastian batas terluar landas kontinen. Ternyata dengan kehadiran konsepsi
hukum zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat kaitan
permasalahan, karena kedua konsepsi hukum tersebut mengatur hal yang sama, yaitu
mengenai hak berdaulat Negara pantai atas sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di
bawahnya. Berdasarkan hasil penelitian ini akan dijelaskan kaitan permasalahannya dalam
pembahasan berikut ini.
II.1. Hak Eksplorasi Dan Eksploitasi.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai hak eksplorasi dan eksploitasi
Negara pantai di landas kontinen pengaturannya di jumpai dalam pasal 77 ayat (1) yang
menyatakan sebagai berikut :
“Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan
mengeksplorasi dan mengeksploiasi sumber kekayaan alamnya”.
Ketentuan ini merupakan pembatasan kepada Negara pantai dalam menjalankan hak
berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi kekayaan alamnya. Dalam hal ini
landas kontinen tidak dianggap sebagai wilayah Negara pantai. Hak Negara pantai di
landas kontinen dinyatakan sebagak hak eksklusif dalam arti apabila Negara pantai tidak
mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukannya tanpa persetujuan tegas dari
Negara pantai tersebut.
Di Zona Ekonomi Eksklusif kepada Negara pantai diberikan hak-hak berdaulat
yang lebih luas lagi, yaitu selain untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber
kekayaan alam hayati di perairan zona ekonomi eksklusif juga meliputi kekayaan alam
non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya.
Selain itu juga hak berdaulat berkenaan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi sepertui produksi energi dari air, arus dan angin
serta wewenang untuk pembuatan dan pemakaian pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan, riset ilmiah serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Dari penjelasan di atas dapat dilihatkaitan permasalahan antara dua konsepsi
hukum, yaitu landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif dalam mengatur hal yang
sama mengenai hak berdaulat Negara pantai atas sumber kekayaan alam di dasar laut
dan tanah di bawahnya. Dalam hal ini seolah-olah konsepsi zona ekonomi eksklusif
sebagai pendatang baru dalam hukum laut internasional akan melenyapkan konsepsi
landas kontinen yang telah mendapat perumusan untuk pertama kalinya dalam Konvensi
Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen. Tetapi tentang hal ini dipertegas oleh pasal
56 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif
pengaturannya tunduk pada ketentuan hukum landas kontinen. Demikian juga mengenai
hak berdaulat atas kekayaan alamnya di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona
ekonomi eksklusif, meskipun tidak dinyatakan sebagai hak eksklusif, tetapi sejalan
dengan ketentuan pasal 56 ayat (3) tersebut di atas hak-hak tersebut tetap dianggap
sebagai hak eksklusif Negara pantai.
Di Indonesia dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam pasal 4 ayat (1) mengatakan hak berdaulat
Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas kekayaan alam di zona
ekonomi eksklusif Indonesia. Mengikat kegiatan dasar laut dan tanah di bawahnya
merupakan wewenang hukum landas kontinen, maka oleh pasal 4 ayat (2) dipertegas
bahwa kegiatan atas yang dinyatakan dalam pasal 4 ayat (1) tersebut dilaksanakan
menurut peraturan perundang-undangan landas kontinen Indonesia, yaitu Undang-
undang No. 1 Tahun 1973.
Menurut penulis pasal 4 ayat (2) tersebut tidak sesuai untuk diterapkan dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1973. Penulis melihat dari keberadaan pasal 4 ayat (2)
adalah pengimplementasian ketentuan pasal 56 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982.
Kiranya perlu mendapat perhatian Pemerintah Indonesia untuk meninjau Undang-
undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia untuk disesuaikan dengan
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982. Hal ini penting karena Undang-undang No. 1
Tahun 1973 berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1982 yang mempunyai pengertian
landas kontinen yang berbeda dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982.
Perbedaannya yaitu dalam cara mengukur luas landas kontinen, dimana dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 dinyatakan minimal 200 mil dari garis pangkal laut teritorial dan
maksimal 350 mil atau 100 mil dari kedalaman 2500 meter, sedangkan dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1973 luas landas kontinen sampai kedalaman 200 meter yang
berbatasan dengan laut teritorial atau mempergunakan kriteria “technical exploitability”.

II.2. Kewajiban Yang Berhubungan Dengan Kegiatan Eksplorasi Dan Eksploitasi.


Pasal 82 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa bagi Negara pantai
diwajibkan untuk membayar sumbangan bertalian dengan kegiatan eksploitasi di landas
kontinennya di luar 200 mil. Sumbangan ini diberikan melalui Otorita Dasar Laut
Internasional yang kemudian disampakan kepada Negara-negara yang sedang
berkembang terutama yang masih terkebelakang dan tidak mempunyai pantai.
Pembayarannya diberikan setelah produksi 5 tahun pertama pada tempat itu sebesar 1 %
dari jumlah produksi di tempat itu kemudian akan naik 1 % untuk tiap tahun berikutnya
hingga tahun ke 12 akan tetap 7 %.
Perlu dijelaskan sumbangan ini hanya menyangkut kegiatan eksploitasi sumber
mineral dan tidak dikenakan pada kegiatan landas kontinen 200 mil dari garis pangkal
yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif. Keadaan ini menunjukkan bagian
landas kontinen di luar 200 mil, baik fisik maupun ketentuan hukumnya ada
hubungannya dengan zona ekonomi eksklusif, kedua konsepsi ini berlaku secara
terpisah dan berdampingan.
Sebagai dua konsepsi yang berlaku secara terpisah atau berdampingan, masing-
masing konsepsi mempunyai latar belakang kelahirannya yang berbeda. Konsepsi landas
kontinen yang kelahirannya mendahului konsepsi zona ekonomi eksklusif perluasan
Negara pantai atas laut teritorial ingin mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di
dasar laut dan tanah dibawahnya, sedangkan dizona ekonomi eksklusif Negara pantai
ingin mendapatkan hak berdaulat yang lebih luas lagi, yaitu meliputi kekayaan alam
dasar laut dan tanah di bawahnya dan kekayaan alam yang terdapat di perairan (water
column) nya.
Bagi Indonesia yang masih tetap berlaku Undanh-undang No. 1 Tahun 1973 tentang
landas kontinen, yang mempergunakan kriteria kedalaman 200 meter atau kriteria
“technical exploitability”, oleh karenatidak diwajibkan membayar konstribusi atau
sumbangan berkenaan kegiatan di landas kontinen di luar 200 mil. Terhadap masalah ini
kiranya Indonesia perlu untuk menyesuaikan diri dengan Konvensi Hukum Laut 1982
untuk lebih memberikan kepastian dalam menentukan batas-batas terluar kontinen
Indonesia.

II.3. Sumber Kekayaan Alam di Landas Kontinen


Mengenai sumber kekayaan alam di landas kontinen pengaturannya tunduk pada
ketentuan pasal 77 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu :
“.........Sumber kekayaan alam terdsiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber
kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan
organisme hidup yang pada tingkat sudah dapat dipanen tidak tetap dengan dasar laut
atau tanah di bawahnya”.
Di dalam zona eksklusif yang mengatur mengenai sumber kekayaan alam di dasar
laut dan tanah di bawahnya terdapat pada pasal 56 ayat (1)(a). Adapun yang termasuk
sumber kekayaan mineral dalam pembahasan ini seperti minyak dan gas bumi,
sedangkan termasuk sumber organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain
termasuk koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara, sacred dari India
dan Ceylon, rumput laut dan trocus.
Termasuk juga ke dalam jenis sedenter, yaitu tiram, kepiting, udang dan remis.
Untuk jenis udang dan kepiting masih terdapat pertentangan untuk dimasukkan ke dalam
jenis sedenter, dan telah menimbulkan pertentangan antara Amerika Serikat dan Jepang
mengenai penangkapan kepiting besar di bagian Timur Laut Behring dan juga
pertentangan antara Prancis dan Brazilia. Tetapi di landas kontinen 200 mil dimana zona
ekonomi eksklusif berhimpit dengan zona Ekonomi Eksklusif berhimpit pertentangan
semavcam itu hanya merupakan historis saja.
Menurut penulis permasalahan tersebut bukan berarti jenis udang dan kepiting
termasuk pada jenis perikanan di “water Column” zona ekonomi eksklusif, karena jenis
ikan ini tidak juga dinyatakan termasuk dalam jenis ikan di perairan tersebut. Hanya saja
ketidak jelasan status hukum dari jenis ikan tersebut masih tetap berada diantara dasar
laut dan “water column”nya zona ekonomi eksklusif yang berada di bawah yurisdiksi
Negara pantai.
Sebenarnya katagorisasi dari pada sumber-sumber hidup dasar laut ini dapat di
dasarkan pada berbagai jenis hubungan antara organisme hidup tersebut dengan
lingkungannya. Sekurang-kurangnya ada empat macam yang telah diidentifisir yaitu :
Pertama, ketergantungan mahkluk-mahkluk hidup pada dasar laut lokasi dan gerak,
yang dapat dibagi atas mahluk hidup di bawah dasar laut, menempel pada
dasar laut, dalam air langsung di atas dasar laut dan bergerak pada dasar laut;
Kedua, ketergantungan mahluk hidup pada dasar laut untuk fungsi phisiologis mereka
yang tepat yang dapat meliputi berbagai faktor, termasuk kondisi-kondisi
kimia sesuai dengan metabolisme mahluk-mahluk hidup, seperti cahaya,
suhu, salinitas, itensitas cahaya dan gerak air ;
Ketiga, ketergantungan mahluk-mahluk hidup, seperti pada dasar laut untuk tujuan
reproduksi, yang hanya bertelur di dasar laut dan menganggap hal ini sebagai
syarat pengembangan larva ;
Keempat, ketergantungan mahluk-mahluk hidup pada dasar laut untuk tujuan makanan.
Atas dasar katagorisasi tersebut kiranya dapat dihindari pertentangan antar
negara mengenai status udang dan kepiting, terutama yang hidup di landas
kontinen di luar 200 mil laut. Karena untuk jenis sedenter yang hidup di
landas kontinen di luar 200 mil laut pengaturannya tunduk pada rejim hukum
landas kontinen yang merupakan yurisdiksi Negara pantai. Sedangkan jenis
yang bukan sedenter yang hidup di perairan di atas landas kontinen di luar
200 mil pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Hal ini penting
diketahui untuk menentukan apakah jenis udang dan kepiting tunduk pada
rejim hukum landas kontinen dari suatu Negara pantai, mengingat jenis ikan
udang mempunyai arti ekonomis yang penting bagi perekonomian Negara
pantai.
Mengenai status hukum dari organisme hidup jenis sedenter yang hidup di dasar
laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif dalam pasal 68 menyatakan :
“The part does not apply to sedentary species defined is article 77, paragraph 4”.
Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa persediaan jenis ikan di zona ekonomi
eksklusif, tidak termasuk jenis ikan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 77 ayat (4).
Dengan demikian jenis ikan sedenter di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan
landas kontinen termasuk jenis ikan di dasar laut. Oleh karenanya sesuai dengan
ketentuan pasal 56 ayat (3) pengaturannya tunduk pada rejim hukum landas kontinen. Di
Indonesia ketentuan demikian ini dinyaakan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.
5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, bahwa sepanjang bertalian
dengan dasar laut dan tanah di bawahnya dilaksanakan menurut peraturan perundang-
undangan Landas Kontinen Indonesia, yaitu Undang-undang N0. 1 Tahun 1973.

II.4. Hak Membangun Dan Mempergunakan Pulau-Pulau Buatan, Instalasi-Instalasi Dan


Bangunan.
Dalam pasal 60 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan Negara pantai
mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan, dan termasuk yurisdiksi (kewenangan) bertalian dengan peraturan bea-cukai,
fiskal, keselamatan, kesehatan dan imigrasi.
Selain hak dan yurisdiksi tersebut, dalam pelaksanaan membangun dan
mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan sehubungan
dengan kegiatan dasar laut dan tanah di bawahnya, Negara pantai berkewajiban
memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut dan
hak-hak serta kewajiban negara lain seperti pemasangan pemeliharaan kabel dan pipa
bawah laut, instalasi-instalasi dan bangunan dan juga keselamatan pelayaran.
Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif Negara pantai berhak untuk
menetapkan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan.
Penetapan zona keselamatan ini tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut yang
diakui penting bagi pelayaran internasional.
Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan
tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila ditinggalkan atau tidak dipakai lagi,
untuk keselamatanpelayaran, Negara pantai berkewajiban untuk membongkar pulau-
pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Demikian juga mengenai kewenangan
eksklusif Negara pantai yang berkaitan dengan fiskal, kesehatan, keselamatan dan
keimigrasian tidak berlaku untuk seluruh zona ekonomi eksklusif, tetapi hanya terbatas
pada pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif,
karena sudah mendapat pengakuan internasional sebagai daerah tidak tetap Negara
pantai.
Demikian penjelasdan mengenai hak eksklusif pantai untuk membangun dan
mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi
eksklusif.
Di landas kontinen pengaturan mengenai hak-hak untuk membangun dan
mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, yaitu pasal 80 yang
menyatakan sebagai berikut :
“Article 60 applies mutatis mutandis to artificial island, instalations and strutures on the
continental shelf”.
Pasal 80 tersebut memberi petunjuk bahwa pasal 60 yang mengatur pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan banguna zona ekonomi eksklusif, berlaku secara mutatis
muatandis untuk pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas
kontinen. Pengaturan ini menunjukkan bahwa kedua konsepsi hukum yaitu landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif hidup berdampingan dalam Konvensi Hukum Laut
1982 dan saling melengkapi dalam pengaturan mengenai kegiatan dasar laut dan tanah
di bawahnya tanpa yang satu melenyapkan yang lainnya.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi
dan bangunan diatur dalam pasal 4 ayat (1.b). Sedangkan di landas kontinen Indonesia
pengaturannya terdapat dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun
1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang berlandasan Konvensi Hukum Laut 1958
dibuat jauh sebelum konsepsi zona ekonomi eksklusif diterima dalam Hukum Laut
Internasional, atau jauh sebelum kelahiran Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

II.5. Kewajiban Untuk Menentukan Batas/Delimitasi Landas Kontinen Menurut Ketentuan


Konvensi Hukum Laut 1982.
Dalam pasal 83 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan, bagi negara-
negara yang landas kontinennya berhadap atau berdampingan dalam menetapkan garis
batas landas kontinen harus dilakukan dengan persetujuan atau atas dasar hukum
internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. Ketentuan ini berarti bahwa
untuk mencapai suatu keadilan dalam penetapan garis batas landas kontinen harus
berpedoman atau dilandasi oleh pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu :
“(1). Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
negara yang bersengketa ;
(2). Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang
telagh diterima sebagai hukum ;
(3). Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab ;
(c). Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah
hukum”.
Cara penentuan garis batas tersebut berarti Konvensi menunjuk pada dua pilihan,
yaitu menunjuk kepada dua pilihan, yaitu menunjuk pada penyelesaian yang adil dan
menunjuk kepada hukum internasional yang disebut dalam pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional.
Tidak diaturnya secara tegas prinsip yang digunakan dalam menetapkan garis batas
landas kontinen antara negara-negara yang berdampingan dan berhadapan dalam
ketentuan tersebut, sebab ketentuan Konvensi ini merupakan kompromi antara negara-
negara yang berpandangan bahwa penetapan garis batas landas kontinen diselesaikan
berdasarkan “equidistance prinsiple” dengan negara-negara yang menghendaki
berdasarkan keadilan (“equitable solution”).
Apabila dalam penyelesaian ini tidak tercapai dalam waktu yang layak, negara
bersangkutan harus menggunakan cara-cara yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (1)
Piagam PBB, seperti negosisasi, penyelidikan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian secara
hukum melalui badan-badan regional atau persetujuan, atau dengan cara-cara yang
dipilih. Selain cara-cara ini dapat juga dilakukan menurut ketentuan pasal 287, yaitu
melalui :
(1). Mahkamah Internasional Hukum Laut yang dibetuk berdasarkan Lampiran VI.
(2). Mahkamah Internasional.
(3). Mahkamah Arbitrase yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VII.
(4). Mahkamah Arbitrase Khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII.
Selanjutnya dalam pasal 83 ayat (3) menyatakan, sambil menunggu persetujuan,
negara-negara yang bersangkutan dengan saling pengertian dan kerjasama untuk
mengadakan pengaturan sementara dengan tidak boleh merugikan penetapan garis batas
yang akan ditentukan dalam persetujuan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu kehadiran zona
ekonomi eksklusif dalam Hukum Laut 1982 seolah-olah akan melenyapkan konsepsi
landas kontinen, namun kecenderungan akan terjadi hal itu dilenyapkan oleh ketentuan
pasal 56 ayat (3) yang menyatakan bahwa sepanjang yang berkaitan dengan kegiatan di
dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif tunduk pada ketentuan
landas kontinen. Dengan demikian semua pengaturan dalam penetapan garis batas di
dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan
landas kontinen diatur oleh pasal 83 tersebut di atas.
Di Indonesia penetapan garis batas/delimitasi landas kontinen Indonesia diatur
dalam pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1973, yaitu dilakukan dengan cara
mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1973 ini berlandaskan Konvensi Hukum
Laut 1958 tentang Landas Kontinen dengan menggunakan cara pengukuran sampai
kedalaman 200 meter yang berbatasan dengan laut teritorial dan atau kriteria “technicak
exploitability”. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1973 menambah
dasar laut seluas 0,8 juta KM². Jika dibandingkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomu Eksklusif Indonesia menambah wilayah yurisdiksi sumber
kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya seluas 1.577.300 mil bujur sangkar.
Pertambahan wilayah dasar laut yang demikian besar setelah diundangkannya
Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tersebut jelas menunjukkan wilayah dasar laut
Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tidak menjangkau luas wilayah dasar laut dari
Undang-undang No. 5 Tahun 1983 sebagai pengimplementasian Konvensi Hukum Laut
1982 yang mengatur mengenai zona ekonomi eksklusif dari stau Negara pantai.
Terhadap masalah ini kiranya Undang-undang No. 1 Tahun 1973 sudah tidak relevan
lagi dengan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 dalam menetapkan
batas/delimitasi wilayah dasar laut Indonesia.

II.6. Kaitan Permasalahan Yang Menyangkut Kepentingan Negara Lain.


(1). Kepentingan Pelayaran.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa terdapat dua perairan di atas landas
kontinen, yaitu perairan di atas landas kontinen 200 mil yang merupakan perairan
zona ekonomi eksklusif dan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil yang
merupakan laut lepas. Tetapi menyangkut kepentingan negara lain dalam hal ini
kepentingan pelayaran tetap dijamin keberadaannya di perairan tersebut.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 56 dan 58, bahwa di zona ekonomi
eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun
non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya, namun terhadap kebebasan
pelayaran bagi kapal-kapal asing tetap di jamin keberadaannya di perairan zona
ekonomi eksklusif sebagai laut lepas.
Pernyataan demikian dijumpai juga dalam pasal 78, bahwa Negara pantai atas
landas kontinen tidak mempengaruhi status perairan di atasnya dalam hal ini tidak
boleh mengurangi ataupun mengakibatkan gangguan apapun terhadap pelayaran
yang dimiliki negara lain sesuai dengan ketentuan pasal 67 yaitu kebebasan di laut
lepas.
Dengan demikian terlihat kaitan permasalahan konsepsi zona ekonomi
eksklusif dengan landas kontinen, yaitu secara terpisah dalam mengatur masalah
kebebasan pelayaran bagi kapal-kapal asing di perairan yang sama, yaitu di perairan
zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan perairan di atas landas kontinen 200
mil. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil atau diluar
perairan zona ekonomi eksklusif diatur oleh rejim hukum landas kontinen
(2). Kepentingan Untuk menangkap Ikan Di Perairan Di Atas Landas Kontinen.
Sebenarnya kebebasan menangkap ikan di perairan di atas landas kontinen
pengaturannya tidak tunduk pada yurisdiksi Negara pantai. Mengingat perairan di
atas landas kontinen adalah perairan laut lepas, maka semua negara berhak untuk
menangkap ikan di perairan tersebut. Namun dengan diterimanya konsepsi zona
ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 hak menangkap ikan oleh
negara lain di atas kontinen 200 mil berbeda dengan si perairan di atas landas
kontinen di luar 200 mil.
Di perairan di atas landas kontinen 200 mil yang berhimpit dengan zona
ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk
pada rejim hukum zona ekonomi eksklusif. Sedangkan di perairan di atas landas
kontinen di luar 200 mil adalah laut lepas yang tunduk pada pengaturan rejim
hukum laut lepas.
Dengan tunduk pada pengaturan rejim hukum zona ekonomi eksklusif, maka
sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1)(a) Konvensi Hukum Laut 1982 di
perairan di atas landas kontinen yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif
adalah perairan zona ekonomu eksklusif di mana Negara pantai tidak saja
mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya,
tetapi juga mempunyai hak berdaulat atas kekayaan hayati (ikan) di perairan
tersebut. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil hak
menangkap ikan di perairan tersebut sesuai dengan statusnya sebagai laut lepas
maka dapat dinikmati oleh semua negara.
Lebih lanjut mengenai jenis ikan sedenter di dasar laut di zona ekonomi
eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen 200 mil untuk jenis ikan ini tidak
termasuk jenis ikan di perairan zona ekonomi eksklusif maka pengaturannya tunduk
pada rejim hukum landas kontinen. Menyangkut jenis ikan sedenter ini jelas terlihat
keterkaitan antara konsepsi hukum zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
Ketentuan ini jelas dinyatakan dalam pasal 68 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa
untuk jenis ikan sedenter di zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada
pasal 77 mengenai landas kontinen.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia mengenai status jenis ikan sedenter tidak jelas dinyatakan, tetapi
sebagaimana telah disebutkan menurut ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang
tersebut bahwa hak berdaulatn atas kekayaan alam hayati dan non hayati di dasar
laut dan tanah di bawahnya pengaturannya tunduk pada rejim hukum landas
kontinen Indonesia, yang sampai saat ini masih tetap dengan Undang-undang No. 1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
(3). Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan Di Zona Ekonomi Eksklusif
Dan Di Landas Kontinen.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pengaturannya mengenai riset ilmiah
kelautan di laut teritorial, di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen di atur
dalam BAB XIII dari pasal 238 sampai dengan pasal 265.
Negara pantai berkewajiban memberikan ijin riset ilmiah kelautan kepada
negara lain atau organisasi yang berkompeten dalam zona ekonomi eksklusif
maupun di landas kontinen hanya untuk tujuan damai dan menambah pengetahuan
ilmiah kelautan demi untuk kepentingan ummat manusia (pasal 246 ayat (5). Dalam
pelaksanaan riset ilmiah ini disertai persyaratan-persyaratan sebagaimana
disebutkan dalam pasal 246 ayat (5), bahwa tidak boleh mempunyai arti langsung
bagi sumber alam dan tidak boleh memasukkan bahan peledak, tidak boleh meliputi
konstruksi, operasi dan penggunaan pulau-pulau buatan serta instalasi lainnya.
Selain itu juga informasi yang disampaikan kepada Negara mengenai tujuan dan
sifat-sifat tujuan ilmiah tersebut harus tepat.
Selain persyaratan tersebut, kepada pihak penyelenggara dituntut untuk
melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang disebut dalam pasal 248 yaitu ;
a. Kewajiban untuk memberikan informasi kepada Negara pantai mengenai sifat
dan tujuan serta metoda yang digunakan dalam peneltian tersebut. Lain dari pada
itu mengenai penentuan wilayah yang tepat, tanggal pemunculan pertama dan
penyidikan kenderaan dan alat-alat riset serta nama lembaga sponsor, direkturnya
dan orang-orang yang bertanggung jawab atas proyek penelitian tersebut.
b. Kewajiban untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu menjamin
Negara pantai untuk turut berperan serta, memberikan laporan sementara,
memberikan data contoh yang diperoleh dari riset tersebut kepada Negara pantai.
Lai dari pada itu juga memberikan hasil dan bantuan interprestasinya,
memberitahu kepada Negara pantai setiap perubahan utama dalam program riset
dan apabila disepakati lain, memindahkan instalasi-instalasi dan peralatan-
peralatan riset lainnya manakala riset dimaksud telah selesai.
Terhadap pelanggaran persyaratan-persyaratan dan kewajiban tersebut Negara
pantai dapat memberhentikan atau menangguhkan riset ilmiah yang sedang
berjalan.
Kewajiban lain, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 253 untuk membayar
ganti rugi oleh penyelenggara riset kepada Negara pantai terhadap kerusakan-
kerusakan akibat dari tindakan atau kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran
laut yang timbul akibat riset ilmiah kelautan tersebut. Pembayaran ganti rugi ini
harus dilakukan segera dan memadai.
Di Indonesia ketentuan mengenai riset ilmiah kelautan di zona eksklusif
Indonesia diatur dalam pasal 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, bahwa untuk terselenggaranya riset ilmiah di zona
ekonomi eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebuh dahulu dari
dan dilaksanakan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan di landas kontinen Indonesia
pelaksanaan riset ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang masing-
masing. Demikian dinyatakan dalam pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia.
Dibandingkan dengan pengaturan riset ilmiah kelautan menurut ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982, ternyata pengaturan yang terdapat dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1973 maupun dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983
kiranya masalah pengaturan riset ilmiah ini dalam banyak hal masih harus
disesuaikan dengan ketentuan Konvensi tersebut.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


III.1. Kesimpulan:
Dari keseluruhan yang telah dikemukakan dalam pemhasan terdahulu, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
(1). Konsepsi zona ekonomi eksklusif yang merupakan rejim hukum baru dalam
hukum laut internasional dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tepatnya
pada BAB V, pasal 55 sampai dengan pasal 75.
(2). Di zona ekonomi eksklusif ini Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk
tujuan eksplorasi, eksploitasi, juga pelestarian dan pengelolaan sumber kekayaan
alam (“natural resources”), baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas
dasar laut dan dasar laut dan tanah di bawah dasar laut.
(3). Dengan kehadiran konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut
1982 terdapat dua rejim hukum, yaitu rejim hukum zona ekonomi eksklusif dan
rejim hukum landas kontinen dalam mengatur masalah yang sama mengenai
pengaturan hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut dan
tanah di bawahnya. Seolah-olah menunjukkan kesan rejim hukum zona ekonomi
eksklusif sebagai pendatang baru dalam konvensi hukum laut internasional ingin
melenyapkan rejim hukum landas kontinen yang telah mendapat pengaturan
dalam Konvensi Hukum Laut 1958. Tetapi sebagaimana dijelaskan dalam pasal
56 ayat (3), bahwa hak-hak berdaulat Negara pantai yang berkenaan dengan dasar
laut dan tanah di bawahnya pengaturannya tunduk pada rejim hukum Landas
Kontinen.
(4). Ketentuan-ketentuan lain yang menunjukkan bahwa kedua konsepsi hukum
tersebut, yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus berlaku secara
terpisah atau berdampingan tanpa yang satu melenyapkan yang lainnya, yaitu :
a. Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara
mutatis mutandis di landas kontinen.
b. Pasal 68 Konvensi Hukum Laut 1982 ketentuan mengenai jenis “sedentary
species” dan semacamnya di zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk
pada rejim hukum landas kontinen, tepatnya pada BAB VI pasal 77.
c. Mengenai penetapan garis batas dasar laut dan tanah di bawahnya di zona
ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen sesuai dengan
ketentuan pasal 56 ayat (3), maka pengaturannya tunduk pada rejim hukum
landas kontinen yaitu pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982.
(5). Beberapa kaitan permasalahan yang diatur secara terpisah dan berdampingan yang
menyangkut kepentingan negara lain, yaitu :
a. Kepentingan Pelayaran
Di perairan di atas landas kontinen 200 mil yang merupakan perairan zona
ekonomi eksklusif negara lain tetap dijamin keberadaannya untuk melakukan
pelayaran sesuai dengan status perairan tersebut sebagai laut lepas yang
dinyatakan dalam pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan kebebasan
pelayaran ini diatur juga dalam pasal 78 dalam Konvensi yang sama.
b. Kepentingan Untuk Menangkap Ikan
Sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1)(a), Negara pantai mempunyai
hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan
hayati dalam hal ini ikan di perairan zona ekonomi eksklusif yang berhimpit
dengan perairan di atas landas kontinen 200 mil. Hak menangkap ikan tersebut
hanya dapat diberikan kepada negara lain atas surplus penangkapan ikan dari
Negara pantai. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil
sesuai dengan status perairan tersebut sebagai laut lepas, maka setiap negara
dapat melakukan penangkapan ikan diperairan tersebut sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982.
c. Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan
Pengaturan mengenai riset ilmiah kelautan di landas kontinen dan dalam
zona ekonomi eksklusif yang diselenggarakan oleh negara asing atau
organisasi internasional yang berkompeten diatur secara berdampingan
tepatnya pada BAB XIII, pasal 238 sampai dengan 265. Untuk dapat
terselenggaranya riset ilmiah tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditentukan dalam Konvensi dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
Negara pantai.
(6). Di Indonesia mengenai hubungan landas kontinen dengan zona ekonomi eksklusif
dijumpai dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1983 mengenai hak berdaulat
atas kekayaan alam dasar laut dan tanah dibawahnya pengaturannya tunduk pada
pengaturan hukum landas kontinen. Sedangkan yang menyangkut kepentingan
negara lain seperti perikanan, pelayaran dan riset ilmiah kelautan diatur secara
terpisah.
(7). Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diketahui bahwa dengan
diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konperensi Hukum Laut
PBB III tidak bermaksud untuk melenyepkan konsepsi landas kontinen, kedua
rejim hukum tersebut masing-masing bersiri sendiri dan berlaku secara terpisah
dan berdampingan. Dalam beberapa hal ketentuan hukum yang terdapat di zona
ekonomi eksklusif mempunyai keterkaitan dengan ketentuan hukum yang terdapat
dalam resjim hukum landas kontinen dan bersifat melengkapi pengaturan hukum
satu sama lainnya. Adanya hubungan ini menunjukkan bahwa konsepsi zona
ekonomi eksklusif dalam mengatur masalah yang sama, yaitu masalah kegiatan
dasar laut dan tanah di bawahnya serta hak-hak lainnya dan kewajiban-kewajiban
yang ditentukan dalam Konvensi sehubungan dengan kegiatan tersebut.

III.2. Saran-saran.
Dari kesimpulan tersebut di atas dapat diambil saran untuk Indonesia sebagai
berikut :
(1). Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang
berpedoman kepada Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen, dalam
beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut
1982. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali terutama mengenai batas terluar
landas kontinen. Penyesuaian ini penting agar dapat saling berco-eksistensi
dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Rksklusif
Indonesia.
(2). Untuk dapat mengembangkan segala kemampuan nasional perlu ditata kembali
Undang-undang tentang Landas Kontinen Indonesia, untuk membuat peraturan-
peraturan hukum bidang sumber-sumber kekayaan alam, bidang pelayaran,
bidang riset ilmiah kelautan dan bidang penegakan hukum.

You might also like