You are on page 1of 15

PEREMPUAN DI PARLEMEN

Analisa Perbandingan antara Indonesia dengan Finlandia

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
Dosen: Rizky Damayanti

Oleh:
Siti Octrina Malikah
209000061

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sejak zaman mesolitikum dimana manusia sudah tidak lagi nomaden dan mulai menetap, sering
terjadi perburuan yang mengakibatkan tewasnya manusia yang satu karena manusia yang lainnya
dan tanpa terkecuali kaum perempuan. Setelah itu manusia berpikir apabila semua kaum
perempuan terbunuh maka spesies mereka akan habis karena tidak ada kesempatan untuk
bereproduksi. Oleh karena itu kaum perempuan cenderung dilindungi di rumah untuk melahirkan
dan mengurus anak-anaknya. Hal ini menciptakan sistem pembagian kerja yang mencolok, kaum
laki-laki cenderung melindungi dan kaum perempuan dilindungi, kaum laki-laki berburu
binatang dan kaum perempuan mengutip buah-buahan, dan tentunya dalam dunia perpolitikan
kaum laki-laki juga sudah lebih dahulu berkecimpung.

Zaman dahulu, sudah dikenal pemilihan kepala suku yang diharuskan berjenis kelamin laki-laki,
karena stigma yang berkembang di masyarakat laki-laki yang mampu menaklukkan binatang
lebih tangguh dan lebih kuat untuk melindungi masyarakat sukunya daripada kaum perempuan
yang hanya mampu mengurus anak dan mengutip buah-buahan. Sebenarnya bukan perempuan
tidak mampu, hanya saja sejak awal kaum perempuan telah tertinggal dari kaum laki-laki dalam
hal kekuasaan. Termasuk dalam dunia perpolitikan, bisa dikatakan perempuan adalah pendatang
baru. Berdasar sosiologi, yang menyebabkan diskriminasi ini timbul adalah beban kerja yang
diberikan kepada perempuan itu sendiri di mana perermpuan mempunyai peran ganda.

Kegiatan manusia dibagi menjadi dua lingkup, yaitu :

1. Lingkup publik : terkait peran serta seorang individu dalam bersosialisasi dengan
lingkungan dan masyarakat luas
2. Lingkup privat : disebut juga lingkup pribadi, terkait peran seorang individu dengan
pribadi dan keluarganya.

2
Untuk dua jenis lingkup di atas, perempuan selalu ditempatkan di lingkup privat yang
dihubungkan dengan reproduksi dan pemeliharaan anak dan dalam semua lapisan masyarakat
kegiatan tersebut dianggap kegiatan inferior (tidak berpengaruh banyak kepada masyarakat).
Sebaiknya, kehidupan publik yang dihormati dan disanjung di mana mencakup kegiatan yang
lebih luas jika dibandingkan dengan kegiatan lingkup privat, secara historis telah ditempati dan
didominasi oleh kaum laki-laki dan menerapkan sebuah kekuasaan untuk menempatkan
perempuan dalam kedudukan termarjinalisasi lingkup privat.

Walaupun perempuan berperan penting dalam kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat dan
kontribusi mereka bagi pembangunan, mereka sudah terlanjur dikucilkan dalam dunia politik dan
pengambilan keputusan. Di semua bangsa, faktor-faktor paling signifikan yang menghambat
kemampuan perempuan untuk ikut serta dalam kehidupan publik adalah kerangka budaya dari
nilai-nilai kepercayaan agama, adanya pengabaian laki-laki dalam pembagian beban kerja di
rumah tangga serta mengurus anak-anak. Di hamper semua bangsa, tradisi budaya dan
kepercayaan agama telah mengekang perempuan di lingkup privat dan memperkecil
kemungkinan mereka untuk berkecimpung di dunia public.

Meringankan perempuan dari sebagian beban pekerjaan rumah tangga akan memungkinkan
mereka untuk terlibat lebih penuh dalam kegiatan bermasyarakat. Ketergantungan ekonomi
perempuan kepada laki-laki seringkali menghalangi mereka untuk mengambil keputusan-
keputusan politik yang penting dan partisipasi aktif dalam kehidupan public. Beban kerja ganda
mereka dan ketergantungan ekonomi, dibarengi dengan jam kerja yang lama dan tidak fleksibel
baik dalam kerja public ataupun politik telah menghalangi perempuan menjadi lebih aktif.

Perlakuan stereotype, seperti yang dilakukan media, membatasi perempuan dalam kehidupan
berpolitik pada isu-isu seperti lingkungan, kesehatan, dan kurang melibatkan mereka dalam
tanggung jawab keuangan serta resolusi konflik di suatu pemerintahan. Di negara-negara di
mana perempuan memiliki dan memegang kekuasaan kebanyakan bisa terjadi karena pengaruh
bapak, suami, atau saudara laki-laki mereka yang telah memiliki power lebih dahulu, bukan
murni karena terpilihnya mereka melalui pemilu.

Prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki telah ditegaskan dalam konstitusi dan hukum
sebagian besar negara di dunia dan di dalam semua instrument hukum internasional. Namun,

3
bagaimana pun juga, dalam 50 tahun terakhir, perempuan masih belum mencapai kesetaraan itu,
dan ketidaksetaraan mereka telah diperkuat oleh tingkat partisipasi mereka yang rendah dalam
lingkup politik dan publik. Kebijakan dan keputusan yang cenderung hanya diambil dan dikuasai
oleh laki-laki mencerminkan hanya segelintir kecil perempuan yang baru menunjukkan taringnya
di dunia perpolitikan.

Indonesia adalah sebuah negara yang nasib perempuan di dunia perpolitikannya sama persis
dengan apa yang telah kami jabarkan sejak awal tadi. Di mana persentase keaktifan perempuan
di Indonesia masih sangat rendah dan terikat dengan stereotype masyarakat Indonesia pada
umumnya, yaitu perempuan “ujung-ujungnya ke dapur”. Sungguh miris sekali jika perempuan
Indonesia tidak mampu membuat suatu gebrakan atau bahkan sekedar kemajuan di era modern
sekarang ini. Pemerintah memberikan rangsangan berupa kuota 30% kepada kaum perempuan di
Indonesia, dengan tujuan bisa member keleluasaan lebih pada perempuan untuk mengeksplor
diri. Semoga system pemerintahan yang baru ini yaitu dengan memberikan perlakuan khusus
kepada kaum perempuan dapat merangsang perkembangan perempuan di parlemen Indonesia
sampai nanti tiba masanya perempuan Indonesia dapat mandiri bersaing tanpa perlunya
rangsangan dari pemerintah.

Namun ternyata ada juga negara di dunia ini di mana partisipasi perempuan di perpolitikan
negaranya sudah sangat aktif bahkan mendominasi kursi-kursi yang tersedia di parlemen lebih
dari laki-laki, yaitu Finlandia. Dan negara ini juga berjalan dengan baik walaupun partisipasi
perempuan lebih aktif daripada perempuan. Inillah tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk
mengupas perbedaan dan persamaan antara kedua negara sehingga dapat menimbulkan suatu
perbedaan yang sangat signifikan terkait partisipasi perempuan di perpolitikan masing-masing
negara.

4
BAB II
PEREMPUAN DI PERPOLITIKAN
INDONESIA-FINLANDIA

A. Perempuan di Perpolitikan Indonesia

Kesetaraan gender di Indonesia antara laki-laki dengan perempuan belum semuanya merata
dalam artian hanya segelintir dari seluruh wanita di Indonesia yang mempunyai jabatan penting
seperti kebanyakan laki-laki di Indonesia, contohnya adalah perempuan yang menduduki kursi
parlemen di Indonesia. Tercatat keterwakilan perempuan hasil pemilu 2004 masih minim (hanya
11%), padahal telah ada ketentuan affirmative action berupa kuota 30%, namun keterwakilan
perempuan justru mengalami penurunan, dan pada periode 1992-1997 keterwakilan perempuan
sebesar 12,5%1. Dari data tersebut telah membuktikan kesetaraan gender di Indonesia belum di
praktekan secara benar dan adil. Jika terdapat lebih banyak laki-laki dalam parlemen maka
kebijakan-kebijakan politik yang di ambil akan memprioritaskan kepentingan laki-laki di
bandingkan perempuan, seperti selalu terjadi di Negara Indonesia ini sejak kemerdekaan hingga
reformasi.

Pada dasarnya, peranan perempuan di parlemen tidak kalah pentingnya dengan laki-laki, yakni
seperti dalam urusan pembiayaan (budgeting), perempuan mempunyai kelebihan tersendiri
dalam hal urusan manajemen keuangan parlemen yang mungkin tidak dimiliki laki-laki, faktor
seperti ini yang belum terpikirkan oleh masyarakat Indonesia. Faktor lain yang mungkin tidak
kalah penting adalah permasalahan penyampaian aspirasi. Seperti yang kita ketahui bahwa
jumlah masyarakat di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan, maka jika keterwakilan
perempuan di parlemen memadai akan mempermudah penyampaian, pendistribusian,
pemprosesan aspirasi perempuan di Indonesia, karena yang paling mengerti perempuan adalah
perempuan juga. Hal ini dapat membuat progress pembangunan bangsa kea rah yang lebih baik.

1
Sumber : http://bemstpn.org/Latifah%20Iskandar%203.pdf

5
Contoh kasusnya adalah seperti perdagangan dan eksploitasi kepada kaum perempuan, dalam hal
tersebut perempuan akan lebih memiliki perasaan empati terhadap kondisi kaumnya sendiri.

Akan muncul masalah-masalah yang harus dihadapi apabila terjadi ketidakseimbangan dalam
pendudukan kursi di parlemen antara laki-laki dan perempuan2 yaitu sebagai berikut :

1. Pendominasian oleh laki-laki dalam lembaga-lembaga politik yang berimplikasi terhadap


kebijakan-kebijakan politik, yaitu kebijakan politik tersebut juga akan didominasi oleh
aspirasi, kepentingan, dan memprioritaskan laki-laki,
2. Jumlah perempuan dalam partai politik belum signifikan akan memarjilanisasikan
aspirasi perempuan di masyarakat luas yang kemungkinan besar tidak diprioritaskan
dalam partai politik tersebut,
3. Keterwakilan perempuan hasil pemilu 2004 masih minim (hanya 11%), padahal telah ada
ketentuan “seruan” kuota 30%. Namun keterwakilan perempuan justru mengalami
penurunan. Pada periode 1992-1997, keterwakilan perempuan sebesar 12,5%,
4. Jumlah perempuan yang minim dalam lembaga politik, semakin menyulitkan perempuan
untuk terlibat lebih jauh dalam proses pembangunan,
5. Sistem demokrasi yang ada belum memberikan kemudahan kepada perempuan untuk
menambah kuantitas dalam lembaga-lembaga politik formal,
6. Belum ada ketentuan hukum yang mengikat untuk meningkatkan presentase perempuan
dalam lembaga-lembaga politik formal, sehingga peningkatan keterwakilan perempuan
masih sekedar retorika.

Hal-hal di atas hanya segelintir dari sekian banyak masalah yang kemungkinan besar timbul
akibat terjadinya ketidakseimbangan antara kursi laki-laki dan perempuan dalam menduduki
kursi di parlemen.

Tugas-tugas yang akan di lakukan oleh perempuan yang tidak kalah penting dan tidak kalah
banyaknya dari laki-laki, yaitu3 :
1. Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen,

2
www.bemstpn.org/latifah
3
www.bemstpn.org/latifah

6
2. Memperjuangkan sistem politik yang menunjang peningkatan keterwakilan perempuan
dalam parlemen karena sistem proporsional yang diterapkan sepertinya masih setengah
hati. Sekarang perempuan harus bersiap menyongsong agenda pembahasan Paket RUU
Politik yang harus diperbaharui,
3. Mempertegas pasal tentang kuota kursi di parlemen untuk perempuan,
4. Memperjuangkan undang-undang yang menjamin peran perempuan di ranah publik dan
perlindungan kepada perempuan.
Dari data-data yang tercantum di atas itu merupakan bukti-bukti yang dapat dijadikan introspeksi
bagi pemerintah kita yang belum mempraktekan secara benar tentang kesetaraan gender di
Indonesia. Dalam UUD juga telah membuat peraturan tentang keharusan keterlibatan perempuan
dalam pemerintahan atau yang lebih khususnya di parlemen seperti dalam UU politik no 12/2003
tentang Pemilu DPR/DPRD pasal 65(1)4.

Tugas-tugas Aktivis Politik Perempuan5 antara lain :


1. Mempromosikan program-program yang dapat menarik pemilih perempuan untuk
memilih kandidat perempuan,
2. Mendorong kader perempuan politik untuk memasuki posisi-posisi strategis di partai
sehingga dapat memperjuangkan perempuan,
3. Memperjuangkan metode zig-zag (selang-seling) antara laki-laki dan perempuan dalam
penentuan daftar caleg,
4. Pendidikan dan sosialisasi politik untuk perempuan agar tidak enggan masuk dalam
kancah politik karena menganggap politik adalah kejam, kotor, dan stereotip maskulin
yang lain, sehingga seolah tidak cocok untuk perempuan,
5. Memetakan kembali kendala/kelemahan dan kekuatan/peluang bagi perempuan sehingga
kebijakan dan strategi yang tepat dapat diambil dan dilaksanakan.

Dalam beberapa tugas-tugas yang telah disebutkan di atas terdapat kepentingan-kepentingan


yang tidak kalah pentingnya dari tugas seorang aktivis politik laki-laki, tetapi mengapa tetap saja

4
“Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi, dan DPRD kabupaten/kota
untuk setiap dapil dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”
5
www.bemstpn.org/latifah

7
dalam parlemen Indonesia masih banyak didominasi oleh aktivis politik laki-laki, inilah beberapa
fakta yang terjadi di parlemen Indonesia saat ini.

Ada juga beberapa fakta yang terjadi di parlemen Indonesia tentang peranan wanita Indonesia
yang masih sedikit6, yaitu antara lain :
1. Pasal 65 tidak berimplikasi pada peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen pada
tahun 2004 karena hanya sejumlah 11,3%. Ini lebih sedikit dibandingkan dengan pada
periode 1992/1997 yaitu 12,5% padahal pada periode tersebut tidak ada pasal seruan
affirmatif action,
2. Tanpa mengetahui sebab yang berkemungkinan hanya sebuah kebetulan saja, yaitu
dengan adanya realitas pada tahun 1992/1997 dapat dikatakan bahwa pasal 65 tidak
berkontribusi untuk peningkatan keterwakilan perempuan di DPR, maka hal ini harus
diperbaiki.

Perjuangan wanita di Indonesia masih harus kita bantu agar terbentuk kesetaraan gender seperti
yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju, sudah sepantasnya lah kita dapat menghargai
apa yang telah para wanita Indonesia kerjakan. Dengan adanya usaha dan kemauan para wanita
di Indonesia, bangsa yang kita cintai ini juga bisa memiliki kesempatan untuk maju seperti para
wanita di negara-negara maju.

B. Perempuan di Perpolitikan Finlandia

Perpolitikan di Finlandia terkenal lebih berbeda dengan politik di negara -negara lainnya . Bukan
dikarenakan yang menyangkut mengenai masalah sistem politiknya tetapi mengenai anggota
parlemen perpolitikan di Finlandia yang lebih didominasi oleh Perempuan . Selama ini parlemen
di Indonesia maupun negara lainnya biasanya lebih didominasi oleh kaum laki-laki, tapi beda
halnya dengan Finlandia yang anggota parlemennya lebih didominasi oleh kaum Hawa
(Perempuan ).

Finlandia adalah negara pertama yang memilih wanita untuk parlemen, dengan 19 kursi
kemenangan dalam pemilihan 100 tahun lalu, ketika negara Nordik itu masih bagian dari
6
www.bemstpn.org/latifah

8
kekaisaran Rusia7. Seorang wanita ditunjuk sebagai wakil menteri pada 1926, tapi tidak sampai
tahun 1990-an wanita benar-benar masuk eselon teratas politik Finlandia. Elisabeth Rehn
ditunjuk sebagai menteri pertahanan wanita pertama pada 1990.

Perdana Menteri Matti Vanhanen memiliki 12 wanita dalam kabinet koalisi kanan-tengahnya
yang beranggotakan 20 menteri, salah satu proporsi terbesar wanita dalam satu pemerintah di
dunia. Kabinet itu ditunjuk secara resmi oleh Tarja Halonen yang adalah presiden wanita
pertama Finlandia dan yang memimpin negara itu sejak 2000. Seluruhnya 84 wanita memperoleh
kursi di parlemen Finlandia yang memiliki 200 anggota. Namun jabatan penting kabinet
termasuk perdana menteri dan kementerian keuangan, urusan luar negeri dan pertahanan tetap di
tangan pria.

Vanhanen, yang Partai Tengah-nya memilih lima wanita di antara delapan menterinya,
mengatakan ketika melakukan penunjukan itu bahwa pemerintahnya telah menunjukkan
penghormatan pada kesetaraan jender. Partai Koalisi Nasional yang konservatif memilih empat
pria dan empat wanita untuk kursinya, sementara partai Hijau mengambil dua wanita dan Partai
Rakyat Swedia satu pria dan satu wanita untuk menterinya dalam kabinet empat partai itu.

Secara historis ini merupakan hal yang sangat menentukan, Kerja jangka panjang telah
membuahkan hasil dan aktivitas serta keahlian wanita telah diakui. 8 Namun jumlah menteri
wanita tidak dengan sendirinya mempertunjukkan kesetaraan, katanya, dan menambahkan bahwa
akan ada keseimbangan antara kompetensi, keahlian, dan popularitas. Saat ini finlandia sudah
memasuki 100 tahun keberadaan kaum wanita di parlemen .

Dunia politik identik dengan dunia pria9, karena lebih banyak kaum pria daripada wanita
memegang posisi politik. Tapi sebaliknya di Finlandia, wanita justru menguasai politik. Politik
Finlandia justru didominasi wanita. presidennya wanita. 12 dari 20 menterinya wanita. 42 Persen
anggota parlemen diisi wanita. Ini merupakan sesuatu yang menandakan bahwa wanita juga bisa
bersaing dengan pria di dunia perpolitikan yang biasanya diidetikkan dengan sesuatu yang

7
Ramdhan Muhaimin. Wanita Kuasai Politik Finlandia. Detik News : Jumat, 20/04/2007
8
Kata peneliti Aura Korppi-Tommola, dari TSV, federasi seni dan sains Finlandia
9
Helsinski

9
berbau keras, kasar, kecurangan atau apapun yang bisa di maksudkan sebagai politik harus lebih
dipegang atau dikendalikan oleh Pria .

Pada tahun 2003 lalu, dominasi wanita lebih terasa lagi ketika seorang wanita bernama Anneli
Jaeaetteenmaeki menjadi perdana menteri10. Pada saat yang sama, presidennya sudah dijabat oleh
Halonen sejak tahun 2000. Namun sayangnya, Jaeaetteenmaeki hanya menjabat selama 73 hari.
Pimpinan partai beraliran tengah itu terkena skandal Pemilu. Posisinya kemudian digantikan
seorang pria, Matti Vanhanen. Namun kabinet menteri Finlandia tetap mayoritas wanita. Walau
pos-pos kementerian penting dan bergengsi seperti menteri keuangan, luar negeri maupun
pertahanan dipegang oleh pria. Kaum wanita di negeri itu hanya menempati posisi menteri
seperti pertanian, transportasi, kesehatan, lingkungan, dalam negeri, pendidikan, kehakiman,
tenaga kerja, urusan Eropa dan imigrasi, urusan kota, sosial, dan telekomunikasi.

Finlandia menempati tiga negara teratas dengan anggota wanita terbanyak dalam parlemen 11.
Jumlah legislator perempuan mencapai 84 orang atau 42 persen dari total jumlah anggota
parlemen keseluruhan. Finlandia berada diposisi ketiga setelah Rwanda (48,8 %) dan Swedia
(47,3%). Pada 1906, saat negeri itu masih dibawah kekuasaan Rusia, kaum wanita Finlandia
telah memiliki hak suara dan akses di pemerintahan. Hak itu diperoleh tujuh tahun sebelum
kaum wanita di Norwegia mendapatkan hak serupa, 38 tahun sebelum Perancis, dan 66 tahun
sebelum Swiss. Sungguh sangat menakjubkan bahwa kaum wanita Finlandia hanya didahului
oleh saudara-saudara mereka di Selandia Baru dan Australia. Selandia Baru memberikan kaum
wanitanya hak suara pada 1839, tapi tanpa akses di pemerintahan. Sedangkan Australia
memberikan hak suara terbatas untuk kaum wanitanya sejak 1902.

C. Perbandingan Perempuan di Perpolitikan Indonesia-Finlandia

10
Presiden Finlandia Tarja Halonen seperti yang di Lansir AFP pada hari Kamis (19/4/2007).
11
Berdasarkan pemilihan legislatif pada 18 Maret 2007.

10
Setelah dilihat dari informasi-informasi dan fakta-fakta yang kami tuliskan di atas, kita bisa
menarik suatu perbandingan yang sangat nyata. Tujuan kami melakukan perbandingan di sini
bukanlah untuk membentuk struktur superior dan inferior di antara kedua negara tetapi lebih
kepada suatu pemahaman yang dapat membuka pikiran kita untuk melakukan perubahan-
perubahan yang dianggap perlu demi terwujudnya suatu kesetaraan jender antara perempuan dan
laki-laki di Indonesia.

Perbandingan yang paling menonjol adalah adanya perbedaan yang sangat signifikan antara
jumlah kaum perempuan yang menjadi anggota parlemen di negara Finlandia dan di Indonesia.
Di finlandia, hampir 43 persen kursi parlemen diduduki oleh perempuan dikarenakan finlandia
sangat mendukung sekali atas kemajuan dan peran serta wanita dalam parlemen dan
pemerintahan. Beda sekali dengan Indonesia, yang masih menomorduakan partisipasi wanita
dalam parlemen dibandingkan laki-laki. Seharusnya hak-hak perempuan dan laki-laki tidak boleh
mempunyai perbedaan sama sekali agar tidak terjadi kesenjangan, baik di ranah public maupun
privat. Laki-laki dan perempuan akan lebih baik jika bisa bekerjasama dengan baik sebagai
perwakilan masyarakat di parlemen untuk mewujudkan kemaslahatan umum.

Perempuan di Indonesia cenderung menutup diri dari hal-hal yang berbau politik dan
pemerintahan. Padahal banyak sekali perempuan Indonesia yang memiliki pengetahuan dan
wawasan yang luas tetapi mereka lebih ingin berkecimpung dalam bidang lain selain politik dan
pemerintahan. Ini disebabkan karena adanya stigma yang berkembang di masyarakat yang
cenderung mengintimidasi kapasitas perempuan di dunia perpolitikan dan juga disebabkan
kurangnya sosialisasi tentang pentingnya poltik kepada para perempuan di Indonesia. Jika
perempuan telah menyadari hak dan kewajiban mereka dalam dunia perpolitikan, seperti
Finlandia, maka tidak akan sulit untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen. Hal
lain yang juga membuat kurangnya jumlah perempuan dalam parlemen di indonesia adalah
sedikitnya jumlah partisipasi pemilih perempuan yang memilih calon legislatif wanita. Hal ini
mungkin karena perempuan sendiri masih kurang percya diri, oleh karena itu sekali lagi kami
menyarankan untuk dilakukan segala bentuk sosialisasi agar perempuan aktif memilih dan
mencalonkan diri.

11
Perempuan di Finlandia telah menyadari hak-haknya terkait dengan permasalahan politik, karena
mereka telah menyadari hak-hak tersebut pada akhirnya mereka berpatisipasi aktif dalam dunia
perpolitikan di Finlandia. Proses perempuan pada akhirnya menyadari hak mereka ini bukanlah
secepat membalikkan telapak tangan, namun telah dihabiskan waktu puluhan hingga ratusan
tahun bagi mereka untuk menyadari hak ini. Jadi tidak heran jika partisipasi perempuan di
parlemen Finlandia sangat antusias jika dibandingkan dengan Indonesia yang partisipasi
perempuan di parlemen masih sangat dini atau bahkan belum menemukan apa sebenarnya
kepentingan perempuan di perpolitikan itu sendiri.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejak zaman dahulu kala, memang telah berkembang suatu pemahaman terhadap pembagian
beban kerja antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya menghasilkan suatu intimidasi
kapasitas baik di ranah publik maupun ranah privat. Hal ini menyebabkan kaum pria telah lebih
dahulu berkecimpung dan menguasai dunia perpolitikan, sehingga untuk masalah politik
perempuan telah tertinggal beberapa langkah dari laki-laki. Jadi tidak heran jika stigma yang
cukup lama berkembang ini berpengaruh kuat terhadap tidak singkronnya jumlah antara laki-laki
dan perempuan di parlemen yang masih dapat kita saksikan secara nyata melalui struktur
parlemen di Indonesia.

Indonesia, sama seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, adalah sebuah negara dimana
stigma ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan masih berkembang di masyarakat.
Sehingga perempuan hampir selalu menjadi makhluk sekunder di ranah publik dan privat,
sementara laki-laki mempunyai peran yang lebih signifikan cenderung mendominasi kedua ranah
tersebut yang pada akhirnya mengintimidasi kaum perempuan. Indonesia masih cenderung
memiliki pemikiran perempuan hanya mempunyai peran di rumah saja, itu terbukti dari
sedikitnya perempuan di Indonesia yang berpolitik, hanya kurang dari 30% perempuan yang
menduduki kursi-kursi di parlemen dan selebihnya perempuan di Indonesia hanya sebagai ibu
rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada suaminya, dengan situasi yang seperti ini
sulit bagi perempuan Indonesia untuk berkembang seperti perempuan di negara finlandia yang
telah memperdayakan perempuan dengan semaksimal mungkin.

Sementara Finlandia adalah salah satu negara yang cukup menarik perhatian dunia dan kelompok
kami, yaitu sebuah negara dimana perempuan memiliki jumlah yang banyak untuk dapat ikut
berkontribusi di dunia politik. Perempuan di Finlandia telah menyadari pentingnya peranan
perempuan di dunia politik sejak 100 tahun lalu, sehingga ini menjadi sebuah pemikiran dan
stigma yang berkembang dari 100 tahun hingga sekarang di Finlandia bahwa perempuan harus

13
selalu ikut berpartisipasi dalam dunia politik. Jadi tidak heran jika perempuan di Finlandia tidak
asing lagi terhadap dunia politik.

B. Saran
Di Indonesia, perempuan yang telah masuk ke dunia politik didorong oleh faktor eksternal
berupa lingkungan pergaulan mereka biasa berkecimpung, namun jika ditinjau dari segi internal
individual perempuan itu sendiri sebenarnya kesadarannya untuk bergabung di dunia politik
masih minim. Oleh karena itu, keinginan secara internal inilah yang perlu dirangsang oleh
pemerintah agar partisipasi perempuan mengalami peningkatan sekaligus kinerja perempuan
yang bergabung di parlemen juga terjamin baiknya.

Kita bisa membangun pemikiran-pemikiran yang mendasar tentang pentingnya peranan


perempuan di dunia perpolitikan dengan dukungan dan partisipasi dari pemerintah dan media
massa , contohnya pemerintah membuat seminar dikampus-kampus yang mengangkat tema
tentang pentingnya partisipasi dan peranan perempuan didunia politik. Didalam seminar itu bisa
dihadirkan pembicara atau narasumber politisi wanita yang bisa merangsang atau membuat
perempuan peserta seminar tersebut berfikir untuk mulai meningkatkan partisipasinya di dunia
perpolitikan .

Saran terakhir dari kelompok kami adalah jangan pernah takut untuk mulai meningkatkan
partisipasi di dunia politik, karena Finlandia sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang
hingga pada akhirnya partisipasi perempuan di negaranya menjadi tinggi. Rangsangan partisipasi
ke dunia politik terhadap perempuan merupakan long term policy, dan memang akan memakan
waktu yang cukup panjang kecuali terjadi revolusi terhadap struktur masyarakat, karena untuk
merubah stigma yang telah berkembang memang tidak mudah. Oleh karena itu, jangan pernah
menyerah dan teruslah berkontribusi terhadap permasalahan ini.

14
DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Susan. Gradualisme Versus <Lompatan Demokratik : Keterwakilan Politik
Perempuan di Australia dan Indonesia. 2005. Granit : Jakarta

Kelompok Kerja Convention Watch. 2007. Hak Asasi Perempuan. Yayasan Obor Indonesia

Ramdhan Muhaimin. Wanita Kuasai Politik Finlandia. Detik News : Jumat, 20/04/2007

Soetjipto, Ani W. Partisipasi Politik Perempuan dan Demokratisasi Indonesia. 2005. Granit :
Jakarta

Tommola, Korppi. Federasi Seni dan Sains Finlandia. TSV : Helsinski

www.bemstpn.org/latifah

15

You might also like