You are on page 1of 18

Problema Hukum Waria (Khuntsa) dan Operasi Kelamin

Oleh Drs.H.Dja’far Abd.Muchit, SH, MHI.

1. Pendahuluan
Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal
manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan
semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin
antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah
dalam berbagai ayat dalam Al Quran seperti ayat 1 surah Annisa, ayat 13 surah Al
Hujurat, ayat 49 -50 surah As Syura, ayat 45 surah An Najm dan lain sebagainya
Menurut ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan
manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai
lelaki atau perempuan.
Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada
sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam
statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut.
Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana
jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%
Mereka itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa (Waria). Mereka
sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada
habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka
seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau
diperlukan untuk suatu kepertingan atau tujuan sesaat.
Berbagai Al Quran dan Hadits Rasul telah banyak menjelaskan aturan
hukum yang berkaitan dengan lelaki dan perempua, tapi tidak menjelaskan suatu
hukumpun yang berkaitan dengan waria (khuntsa). Hal ini menunjukkan ketidak
mungkinan adanya 2 (dua) alat yang berlawanan dan berkumpul pada seseorang.
Untuk itu harus ada ketentuan status hukumnya lelaki atau perempuan.
Mengingat semakin semarak dan pesatnya perkembangan waria seperti
sekarang ini dan untuk menghindari ekses negatif, kiranya perlu penelitian khusus
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan khuntsa termasuk aturan hukum dan
solusinya. Contoh kongkrit seperti yang ditayangkan. Televisi swasta dibulan suci
Ramadhan, ada sebagian waria sholat Tarawih dengan memilih pakaian lelaki dan
sebagian yang lain memilih busana muslimat. Ini menunjukkan bahwa waria ingin
mencari jati dirinya lelaki atau perempuan.

1
2. Pengertian Khuntsa

Khuntsa menurut ahli bahasa Arab seperti tersebut dalam kamus Al Munjid
dan Kamus Al Munawir, Khuntsa berasal dari kata khanitsa-khanatsan yaitu lemah
dan pecah. Khuntsa ialah orang yang lemah lembut, padanya sifat lelaki dan
perempuan. Jamaknya khunatsa dan khinatsun.
Menurut Muhammad Ali Ash Shobuni dalam kitabnya al Mawarits fis Syariatil
Islamiyah, disebut Khuntsa karena ia dalam ucapan dan suaranya lemah lembut
seperti perempuan atau dalam tingkah polahnya, jalannya dan cara berpakaian
menyerupai gaya orang perempuan.
Khuntsa menurut Istilah, hampir semua ulama sama pendapatnya dalam
mendefinisikan khuntsa. Menurut Ash Shobuni dan menurut Dr. Yasin Ahmad
Ibrahim Daradikah, Khuntsa ialah :
‘Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita
(farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya.
Menurut penulis kitab Syarah Ar Rahbiyah yaitu Syaikh Muhammad bin
Muhammad Dimasqi, kiranya sulit atau tidak mungkin bila tidak ada sama sekali alat
dari keduanya, sehingga diartikan baginya lubang yang berfungsi untuk kencing atau
lainnya.
Imam An Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa waria itu ada 2
(dua) macam, yaitu orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin lelaki dan
kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi
baginya lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang
keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya.
Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada
bagian luar tidak sama dengan bagian dalam ; misalnya jenis kelamin bagian dalam
adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan
memiliki penis atau memiliki keduanya ( penis dan vagina), ada juga yang memiliki
kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya.
Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu
tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lobang vagina dan hanya lubang
kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis.
Dr.Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah dalam kitabnya Al Waris fis Syariatil
Islamiyah, menjelaskan bahwa oleh karena keadaannya seperti diatas, maka urusan
statusnya juga menjadi samar tidak jelas apakah lelaki atau perempuan. Karena
pada asalnya jenis manusia itu lelaki atau perempuan. Dan masing-masing

2
mempunyai hak dan kewajiban hukum sendiri-sendiri. Yang membedakan ia lelaki
perempuan adalah alat kelamin. Bagaimana halnya bila ia mempunyai dua alat
kelamin bersamaan atau tidak ada sama sekali. Disitulah letak kemusykilannya.
Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat
fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai
dewasa tetap musykil.

3. Khuntsa di Zaman Nabi SAW.

Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani dalam kitabnya Nailul
Authar juz VI halaman 124-125 menjelaskan bahwa pada zaman Nabi sudah ada
waria dan yang dikenal namanya antara lain Hita, Matik dan Hinaba.
Waria di zaman Nabi SAW ada yang memang asli banci dan ada yang buat-
buatan. Orang banci asli pada umumnya tingkah lakunya tidak kelihatan
membahayakan kepada kaum wanita. Dan oleh sebab itu istri-istri nabi menganggap
mereka (banci asli) sebagai Ghoiru Ulil Irbah (tidak punya butuh dan tidak punya
syahwat). Namun meskipun begitu Nabi melarang mereka bebas masuk )bergaul)
dengan kaum wanita dan antara mereka harus ada hijab/tabir. Bagi mereka yang
tidak mematuhi, oleh Nabi dilarang masuk dan tidak boleh kembali kecuali sekali
dalam seminggu yaitu setiap hri Jumat untuk menerima jatah makan, selebihnya
mereka hidup di Baida’ (tanah lapang) atau di Badiyah (perkampungan terpencil).
Menurut Asy Syaukani diantara pertimbangan dikeluarkannya waria dari
rumah dan diisolir atau direlokalisasi karena beberapa hal sebagai berikut :
a. Orang banci diduga orang yang tidak punya butuh dan syahwat, tapi ternyata
tidak demikian keadaannya atau semuanya;
b. Mereka selalu bertingkah polah dihadapan lelaki dengan memamerkan aurat dan
keindahannya, pada hal itu dilarang kecuali terhadap atau bagi suami istri;
c. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau bahaya yang lebih
besar dengan menjalankannya sifat fasiq ;

4. Cara Menentukan Status Lelaki atau Perempuan.

Muhammad Ali Ash Shobudi dalam kitabnya al Mawarits fis Syariatil


Islamiyah ala Dhauil Kitab was Sunnah halaman 186 dan Dr. Yasin Ahm ad Ibrahim
Daradikah dalam kitabnya al Miras fis Styariatil Islamiyah halaman 256-257
menjelaskan bahwa orang yang pertama kali memutuskan masalah khuntsa (banci)
pada masa jahiliyah ialah Amir bin Ad Dharab ( salah satu hukamaul Arab).

3
Orang jahiliyah bila menghadapi permasalahan yang sulit mereka mendatangi
Amir bin Ad Dharab untuk memperoleh putusan; dan biasanya mereka menerima dan
merasa puas atas putusannya. Kemudian pada suatu saat ia didatangi sekelompok
kaumnya menanyakan kejadian seorang perempuan yang melahirkan seorang anak
yang mempunyai 2 (dua) alat kelamin atau khuntsa, apakah statusnya lelaki atau
perempuan. Amir menjawab ; statusnya ya lelaki dan perempuan. Mendengar
jawaban seperti itu orang Arab tidak mau menerima dan tidak puas. Melihat
gelagatny seperti itu ia berkata. Berilah aku waktu (kesempatan). Ternyata malam itu
Amir hampir tidak bisa tidur (istirahat), gelisah memikirkan masalah khuntsa.
Kebetulan ia punya jariyah (pembantu perempuan) yang terkenal cerdas bernama
Sakhilah. Ia terbangun dari tidurnya dan ia ceriterakan kejadian yang baru
menimpanya. Lantas jariyah menyampaikan pendapaytnya ; (tinggalkanlah putusan
yang barusan dan jadikanlah alat kencing sebagai penentu status hukum khuntsa
lelaki atau perempuan). Setelah ia menganggap baik dan rasional, ia kemudian
menemui kaumnya dan memutuskan status orang itu dengan al Mabal (alat kencing).
Lihatlah dan perhatikan bila ia kencing dengan dzakar (penis) berarti ia lelaki dan bila
ia kencing dengan farji (vagina) berarti ia perempuan. Dan setelah mendengar
putusan ini mereka semua menerima dan merasa puas.
Sejak zaman Nabi Muhammad dan juga sebelumnya (zaman Jahiliyah),
zaman sekarang dan yang akan datang, ternyata alat kelamin itu mempunyai peran
utama (penting) dan menentukan untuk mengetahui dan menetapkan status
seseorang itu lelaki atau perempuan, dan mungkin belum ditemukan cara lain yang
lebih canggih dan akurat sebagai penentu status seseorang lelaki atau perempuan
selain alat kelamin.
Muhammad Makhluf (ahli fiqh Kontemporer Mesir) menyatakan bahwa
apabila seorang khuntsa (waria) mempunyai indikasi yang lebih cenderung
menunjukkan jenis lelaki –lakiannya atau jenis keperempuannya, maka ia disebut
Khuntsa ghairu musykil (banci yang tidak sulit ditentukan jenis kelaminnya) ;
Misalnya, khuntsa yang mempunyai kelamin ganda jika kencing melalui penis dan
berkumis seperti layaknya lelaki, maka ia dikatagorikan sebagai lelaki, sebaliknya
jika ia memiliki vagina dan punya payudara serta indikasi perempuan lainnya, maka
ia dikatagorikan sebagai perempuan, akan tetapi jika tidak ada indikasi seperti itu,
dalam arti tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu, atau tidak konstan ( selalu
berubah), maka ia dikatagorikan khuntsa Musykil’(banci yang sulit ditentukan jenis
kelaminnya).

4
Meskipun penentuan status hukum khuntsa sepertinya sudah jelas, yaitu
dengan melihat cara alat kencingnya tapi dalam prakteknya masih mengalami
kesulitan. Untuk itu tidak heran bila diantara pakar Hukum Islam seperti Imam As
Suyathi dalam kitabnya al Asybah Wan Nadhoir dan Kitab Faraidl yang lain
ditentukan beberapa uraian penjelasan yang sifatnya imajinasi. Hal ini untuk
memberikan jawaban bila hal ini untuk memberikan jawaban bila hal itu terjadi, atau
mungkin terjadi.

Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :


4.1. Cara kencing/keluarnya air kencing.
Bila ia kencing dan air kencingnya keluar lewat dzakar /penis berarti status
hukumnya ia lelaki ; dan bila ia kencing dengan alat kencing perempuan
(farji/vagina) berarti statusnya ia perempuan. Dan bila air kencing itu keluar dari
kedua alatnya maka harus dilihat dan diteliti mana yang lebih dulu keluarnya
bila selesainya bersamaan; atau mana yang lebih akhir bila awal keluarnya
bersamaan.
Bila dari yang satunya mendahului dan dari yang satunya keluar akhir, maka
tentukanlah dengan alat mana yang duluan air kencingnya itulah yang
menentukan statusnya ia lelaki atau perempuan, bila awal dan akhirnya
bersamaan, maka itu namanya khuntsa munsykil (banci yang sulit).
4.2. Keluarnya sperma atau air mani.
Bila sperma keluar dari alat kelamin lelaki berarti status hukumnya lelaki dan
bila keluar dari farji (vagina) berarti statusnya perempuan. Demikian ini bila
keadaannya normal stabil, dan bila sering berubah-ubah maka hukumnya
sebagai khuntsa munsykil.
4.3. Keluarnya darah haidl.
Bila mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya
perempuan, sebab lelaki menurut kudratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi
air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya
khuntsa musykil.
Bilah sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi
kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka
status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haidl
teratur pada waktunya sampai umur monopose.
4.4. Kehamilan dan melahirkan.

5
Bila ia hamil dan atau melahirkan berarti statusnya perempuan sebab menurut
kudratnya lelaki tidak hamil atau melahirkan. Dan bila terjadi kelainan seperti di
atas maka statusnya sebagai khuntsa musykil;
4.5. Pertumbuhan organ tubuh.
Bila ia berkumis atau tumbuh lihyah (jenggotnya) dan cirri-ciri spesifik lainnya
bagi seorang lelaki seperti adanya kecendrungan mendekati atau jatuh hati
dengan wanita berarti statusnya lelaki.
Bila Tsadyaiha (payudara) tumbuh montok, ia haidl dan kecendrungannya
mendekati/jatuh cinta pada lelaki dan cirri-ciri spesifik lainnya bagi perempuan
berarti statusnya perempuan.
Bila ia berkencan dengan perempuan dan perempuan itu menjadi hamil
karenanya, berarti statusnya lelaki, dan bila berkencan dengan lelaki dan
kemudian ia hamil maka statusnya perempuan.
Menurut pakar hukum Islam seperti Dr. Yasin Ahmad Daradikah dalam
kitabnya al- Mirats fis syariatil Islamiyah, menyatakan bahwa khuntsa (banci/waria) itu
ada 2 (dua) macam, yaitu
a. Khuntsa ghairu musykil yaitu (waria yang tidak sulit diketahui statusnya lelaki
atau perempuan lewat tanda-tanda seperti diatas ;
b. Khuntsa musykil yaitu (waria yang sulit mengenal statusnya, karena sulit, samar
dan unik tidak seperti waria pada umuamnya).
Jika seorang khuntsa, tampak tanda-tanda lelakianya seperti kencingnya
hanya keluar dari penisnya dan sperma juga demikian serta mampu menghamili
perempuan, maka ia dikatakan sebagai orang lelaki, dan hukum yang lain juga
diberlakukan kepadanya sama dengan lelaki normal. Demikian juga khuntsa yang
ada tanda-tanda haidl yang keluar dari vaginanya atau ia hamil, maka ia dikatakan
sebagai orang perempuan dan sejak hukum yang diberlakukan khuntsa terhadapnya
sama dengan perempuan normal. Kedua jenis inilah yang dikatagorikan sebagai
khuntsa ghairun musykil sedang khuntsa yang tidak tampak suatu tanda apapun
sebagaimana disebutkan diatas, maka itulah yang disebut dengan khuntsa musykil,
yang status hukumnya dapat diberlakukan atas dasar kecenderungan atau perkiraan
yang menonjol lelaki atau perempuan.

5. Beberapa permasalahan hukum orang banci.


5.1. Perkawinan orang banci
Menurut hukum Islam, perkawinan yang disyariatkan oleh Allah adalah
perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dari jenisnya sendiri

6
yaitu jenis manusia (Q.S.Asy Surah 50, An.Najm 45 ; An.Nisa’ 1 dsb).Penyimpangan
dari hal diatas seperti perkawinan manusia dengan Jin miskipun lelaki dengan
perempuan terdapat perbedaan pendapat, dan yang jelas tidak disyariatkan.
Dengan adanya perkawinan tersebut menjadi sah/halal hubungan seksual
antara mereka dan mereka mendapat anak keturunan yang sah, lelaki maupun
perempuan. Dan Allah mengutuk penyimpangan hubungan seksual yang tidak sah
(pelacuran) dan hubungan seksual yang tidak wajar seperti penyimpangan sek kaum
Luth yang melampiaskan nafsunya dengan melkukan homo seksual ( lelaki sesama
lelaki) dan mereka menjauhi perempuan sebagai isterinya yang sah yang seharusnya
digauli. Demikian juga terkutuk wanita melampiaskan seksualnya dengan sesama
wanita atau lesbi, dan juga penyimpangan hubungan seksual lainnya yang dianggap
tidak wajar seperti sodomi dan lain sebagainya.
Diciptakannya jenis lelaki dan perempuan yang dilengkapi dengan berbagai
perasaan akan menimbulkan daya tarik dan saling tertarik antara dua jenis lelaki dan
perempuan. Jadi rasa tertarik dan mencintai lawan jenisnya adalah normal dan
berarti rasa tertarik atau mencintai sesama jenisnya adalah abnormal atau suatu
penyimpangan.
Disyariatkannya perkawinan tersebut disamping hal diatas, ada hikmah
lainnya yaitu agar mahluk manusia sebagai khalifah Allah dibumi tidak punah begitu
saja sampai waktu yang digariskan. Sehingga bumi tidak terlalu sepi karena manusia
tidak berketurunan. Dengan demikian dapat tercipta kehidupan yang sejahtera,
rumah tangga yang bahagia, jiwa dan pikiran menjadi tenteram, jasmani rohani
menjadi segar serta menatap kehidupan dengan penuh optimistis dan damai tidak
gersang dan gelisah
Semua itu sebagai tanda kebesaran Allah menentukan pasangan lelaki dan
perempuan sebagai suami istri ‘ Wajaalnakum azwajan’. Dan seperti firmannya dalam
Q.S Ar Ruum 21 :
‘Dan diantara tanda (kekuasaan) Allah, bahwa dia telah menciptakan istrimu dari
jenismu (manusia), agar kamu bisa tenang bersamanya dan dia telah menjadikan
mesra dan sipat kasih sayang diantara kamu. Dalam hal ini adalah sebagai
pertanda bagi orang-orang yang mau berpikir.’
Oleh karena perkawinan antara lelaki dengan perempuan itu sebagai
peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa perkawinan itu mesti dilakukan
antara lelaki dan perempuan.
Hukum perkawinan Amerika menyebutkan bahwa perkawinan adalah bentuk
persetujuan yang melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu calon suami, calon istri dan Negara

7
atau pemerintah. Dan hukum perkawinan di Indonesia pasal 1 UU No.1 Tahun 1974
menjelaskan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang peris dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Hukum perkawinan bagi khuntsa sama hukumnya dengan yang lainnya, yaitu
terkait dasar hukum perkawinan itu sendiri ; yaitu
a. Wajib, jika sudah mampu dan dikhawatirkan akan berbuat maksiat jika tidak
kawin
b. Sunah, jika sudah mampu tetapi masih bisa menahan diri tidak terjerumus
maksiat.
c. Mubah, bagi yang belum ada minat kuat serta dapat pula menahan diri dari
maksiat.
d. Haram, bagi orang yang dapat menimbulkan ketidak hamonisan dalam keluarga
atau bisa menyakini pasangannya secara lahir maupun batin, karena jiwa dan
perilakunya cenderung menyamai pasangannya.
e. Makruh, bagi orang tidak punya kemampuan untuk kawin.
Jika khuntsa akan terjerumus kedalam perbuatan maksiat, seperti homo
seksual, lesbian semburit dan sejenisnya maka ia termasuk dalam katagori wajib
untuk kawin. Menurut sebagian ulama, perbuatan khuntsa musykil maupun ghoiru
musykil yang lebih terdorong untuk melakukan hubungan seksual dengan orang-
orang sejenis kecenderungan pungsi kelaminnya dengan yang memilikinya, seperti
homoseksual dan lesbian, maka termasuk tindak pidana dalam islam.
Jika ada khuntsa yang kawin dengan pasangan yang tidak sejenis atau
berjenis kelamin beda seperti yang terdapat pada khuntsa ghoiru musykil, maka
setatus perkawinan seperti manusia normal.
Oleh sebab itu orang banci sebaiknya tidak melangsungkan pernikahan
dengan sesama banci, kecuali bila status hukumnya sudah jelas lelaki atau
perempuan Hal ini untuk menghindari perkawinan sesama jenis kelamin.
Bila terjadi seseorang lelaki mengawini banci, tapi kemudian ternyata sibanci
itu lelaki, atau seorang perempuan kawin dengan banci tetapi ternyata sibanci itu
perempuan, maka hukumnya diperselisihan antara sah dan tidak sah. Menurut Drs.
Fathur Rahman, nikanya tidak sah karena banci itu khuntsa musykil. Dan menurut
Fuqaha nikahnya fasid karena bertentangan dengan yang disyariatkannya nikah dan
menyalahi kudrat.

8
5.2. Kewarisan orang orang banci (khuntsa)

Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang


khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan
terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya
khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri
dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.
Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka
anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah
laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti
lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi
wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia
bertingkah seperti lelaki
Cara menentukan status khuntsa lelaki atau perempuan dapat dilihat dari alat
kencingnya (mabal),. Penemuan cara oleh amir bin Adi Dharahal Al Jahilly ini
ternyata diberlakukan juga oleh Islam, sebagaimana hadis danAtsar dibawah ini :
a. Hadits riwayat Baihaqi dari Al Kalaby dari Abi Saleh dai Ibnu Abbas berkara :
Nabi pernah ditanya cara kewarisan seseorang yang baginya alat kelamin lelaki
dan alat kelamin perempuan, nabi menjawab : ia mewarisi dari jalan / caranya ia
kencing.
b. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nabi pernah ditanya kaum tentang seseorang
khuntsa dari Ansor, nabi menjawab kepada mereka :
tetapkanlah kewarisannya dari alat mana lebih dulu air kencing keluar.
c. Diceritakan dari Ali, Jabil bin Zaid, Qatadah, Said bin Al Musayab bahwa nabi
menetapkan kewarisan banci dari caranya ia kencing.
d. Said bin Mansur menjelaskan dalam sunannya bercerita kepda Hasyim dari
Mughira dari Asy Syaiby dari Ali r.a.berkata :
Muawiyah pernah berkirim surat kepadaku dan menanyakan status hukum
khuntsa, maka kubalas suratnya : Ia mewarisi berdasarkan cara ia kencing.
Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara
/ jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan
juga faradliyun.
Bila orang banci talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau
perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala
hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan
sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan

9
Pengadilan tentang status hukumnya lelaki atau perempuan agar ada kepastian
hukumnya dan menghindari sifat mendua dalam pergaulan dan j enis kelamin yang
sudah jelas ini kemudian ditegaskan dalam kartu identitas seperti KTP, SIM, ATM,
dsb.
Jadi pada perinsifnya tidak sulit menentukan bagian warisan yang harus
diterima oleh khuntsa ghoiru musykil, karena akan ditentukan oleh jenis kelamin atau
cirri-cirinya yang dominan, jika yang dominant adalah laki-laki ,maka ia mendapat
bagian warisan sama seperti lelaki yang lain, demikian juga sebaliknya. Jadi status
kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik bukan kepada jiwa, sepanjang
cara tersebut tidak sulit dilakukan.
Bila banci itu sebagai khuntsa musykil maka para ulama berbeda
pendapatnya tentang hukum kewarisannya. Menurut kitab Al Mawaris hal 186-187,
kitab Al Mirats fis Syariatil Islamiyah hal. 260-262 dan Ilmu Waris hal 486-688
pendapat tersebut pada garis besarnya ada 3( tiga) macam, sebagai berikut :
1. Khuntsa mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian
lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari
dua perkiraan tersebut diatas ;
Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf
dalam salah satu pendapatnya ;.
2. Khuntsa mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada
si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan
dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian
bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan) .
Demikian pendapat ulama Syafiiyah, Abu Dawud, Abu Tsaur dan Ibnu Janir Ath
Thobary dan ulama Hanabilah.
3. Khuntsa mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan
demikian juga ahli waris lainnya;
Demikian pendapat ulama Malikiyah, Hanabilah dalam satu pendapatnya, ulama
Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam satu pendapatnya.
Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya sama dengan pendapat
gurunya tetapi dalam pendapat yang lain ia sependapat dengan pendapat
Malikiyah dan Hanabilah yakni khuntsa mendapat bagian separoh dari jumlah
bagian dua perkiraan lelaki atau perempuan.
Pendapat pendapat tersebut diatas pada dasarnya hampir ada
persamaannya dalam tekhins/tahapan pembagian sebagai berikut ;

10
a. Pembagian harta waris hendaknya ditahan dulu sampai persoalan khuntsa
menjadi jelas;
b. Setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang telah meyakinkan,
kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai persoalan
khuntsa menjadi jelas. Bila persoalan khuntsa jelas, penerimaan semua ahli
waris disempurnakan dengan menambahkan bagian kepada mereka yang
berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.
c. Bila sampai waktu cukup tapi status khuntsa belum jelas maka semua ahli
waris mengadakan perundingan damai (islah) untuk saling memberikan
terhadap sisa yang ditahan. Sebab tanpa perundingan tidak ada jalan /cara
yang dapat mengesahkan/ menghalalkan. Dan perundingan semacam ini
adalah boleh/ sah, kendatipun menurut syarat hibah itu harus diketahuinya
secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlararat.
d. Bila khuntsa diperkirakan dengan salah satu perkiraan menjadi terhalang,
maka khuntsa itu dilarang menerima warisan ( mahrum /mahjub). Dan bila
salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau
perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.

5.3. Cara Menghitung bagian Khuntsa.

Para ulama sepakat dalam cara menghitung bagian khuntsa yakni dengan
memperhatikan dan menghitung sebagai orang lelaki dan kemudian sebagai
perempuan. Tapi mereka berbeda pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa
setelah diketahui hasil dari kedua perkiraan tersebut dan juga mengenai bagian ahli
waris.
Untuk mengetahui hal diatas dibawah ini beberapa contoh yang sekiranya
dapat menambah pemahaman uraian diatas :
1. Seorang mati meninggalkan Ibnun dan anak khuntsa.
a.Khuntsa diperkirakan lelaki ; b.Khuntsa diperkirakan perempuan
Fard AM = 2 Fard AM = 3
Ibnun Ubn 1 Ibnun Ubg 2
Khuntsa 1 Khuntsa 1
Karena kedua masalah ini belum sama besarnya, maka harus dicari asal
masalah yang dapat mencakup kedua-duanya yang disebut asal masalah Jamiah
(gabungan) hingga nilai dari kedua perkiraan itu sama. Untuk mencari asal masalah
jumlah itu harus dilihat lagi ketentuan Tamatsul (beberapa suku bilangan) yang

11
bersamaan maqaam) Tabayun (dua angka yang berlebih kurang tapi keduanya
tidak bisa habis dan harus dikalikan ) Tawafuq ( usaha menyamakan dua angka
yang berlebih kurang) danTadakhal memasukkan bilangan kecil pada bilangan yang
besar agar ada persamaan. Karena disini ada 2 dua asal masalah yakni 2 dan 3
tabayu, maka asal masalah Jamiah adalah 6 sebagai perkalian 2 x 3 = 6 jelasnya
sebagai berikut :
a. Khuntsa diperkirakan lelaki
Fard AM = 2 Nisab AM AM Jamiah Bagiannya
Ibnun Ubn 1 3: 2 3 x2=6 1 x 6/2 = 3
Khuntsa 1 Tabayun 1 x 6/2 = 3
b. Khuntsa diperkirakan perempuan :
Fard AM = 3 Nisab AM AM Jamiah Bagiannya
Ibnun Ub 2 3: 2 3 X2= 6 2 X 6/3 = 4
Khuntsa 1 Tabayun 1 x 6/2 = 2
Dengan demikian dalam perkiraan lelaki Ibnun mendapat mendapat 1 x 6/2 =
3 dan Khuntsa menerima 1 x 6/2 = 3, dan dalam perkiraan perempuan Ibnun
mendapat 2x/6/8 = 4 dan Khuntsa menerima 1x 6/3 = 2. Jadi bagian yang diberikan
kepada ahli waris menurut pendapat diatas adalah sebagai berikut :
1. Hanafiah 2. Syafiiyah 3. Malikiyah
Ibnun =4 Ibnun =3 Ibnun = (3+4 ) / 2 = 3,5
Khuntsa = 2 Khuntsa = 2 Khuntsa = (3+2) /2 = 2,5
6 5 6
Pas tidak ada sisa sisa 1 ditahan Pas tidak ada sisa
Untuk lebih meyakinkan validitas pendapat-pendapat tersebut diatas, kiranya perlu
contoh lain dari bentuk khuntsa yang lalin, yakni selain sebagai anak seperti khuntsa
sebagai saudara dan sebahgainya , lebih jelas lihat kitab waris seperti Fatchur
Rahman dsb.

6 Hal-hal yang berkaitan dengan khuntsa.

Sesuai dengan sifat yang ada pada khuntsa dan status hukumnya yang masih
samar, para ulama mnghimbau kepada khuntsa (orang banci) beberpa hal sebagai
berikut :
a. Khuntsa sebaiknya tidak makmum dibelakang khuntsa lainnya atau dibelakang
perempuan.
b. Khuntsa sebaiknya tidak menjadi wali nikah;

12
c. Khuuntsa sebaiknya tidak dihitung sebagai bilangan shalat jumat dan demikian
juga sejumlah 40 orang khuntsa didalam suatu tempat tidak perlu mendirikan
jumatan sendiri.
d. Khuntsa sebaiknya tidak menjadi hakim/imam;
e. Khuntsa sebaiknya tidak usah dikhitan (sunat);
f. Bila khuntsa meninggal dunia sebaiknya tidak dimandikan oleh orang perempuan
atau lelaki lain kecuali kerabatnya;
g. Khuntsa yang haidnya tidak normal dianjurkan pada waktunya datang bulan untuk
berhati-hati dalam beberapa hal seperi tidak beriktikaf di masjid, tidak melakukan
hubungan seksual dengan suaminya dan wajib mandi setiap akan sholat wajib.
i. dan lain sebagainya

7. Dari segi kemasslahatan umum (operasi kelamin).

Pada prinsifnya Allah Swt menciptakan manusia hanya 2 dua jenis kelamin,
yakni lelaki dan perempuan. Karena itu Allah menjelaskan hukum perkawinan dan
hukum kewarisan orang lelaki dan perempuan sejelas-jelasnya didalam ayat al
Quran maupun hadits, keberadaan orang banci atau khuntsa adalah juga ciptaan
Allah yang tidak sia-sia dan pasti ada hikmanya, dan baru sedikit yang bisa
diungkapkan
Tidak seorang pun didunia ini yang menginginkan hidupnya sedih menderita
tidak sejahtera bahagia, baik lelaki maupun perempuan, dan termasuk khuntsa yang
keadaannya tentunya tidak dikehendaki olehnya. Demikian juga kedudukannya
sebagai mahkluk sosial dan dimuka hukum adalah sama yakni lelaki atau
perempuan.
Untuk menghindari kevakuman hukum ini para sarjana hukum Islam (Ulama)
berusaha dan berijtihad untuk mengatasi hukumnya. Ijtihad mereka bertitik tolak
kepada ketentuan yang ada yaitu dengan mengidentikannya dengan lelaki atau
perempuan, dengan cara :
a. Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.
b. Meneliti tanda kedewasaannya, seperti cirri-ciri yang spesifik bagi orang lelaki dan
atau cirri-ciri yang spesifik bagi perempuan.
Bila dengan 2 (dua) cara seperti diatas tidak bisa jelas, maka ia disebut
munsykil. Ini berarti munsykil juga status hukumnya.
Dengan demikian timbul pertanyaan bagaimana usaha dan cara yang baik agar
kehidupan damai tenang, dan jelas hukumnya, bahwa khuntsa itu lelaki atau

13
perempuan dan pergaulan hidupnya juga jelas, hukumnya jelas perkerjaan dan
profesinya jelas dan hak kewajiban juga jelas
Dalam hal seperti ini, maka alternatif lain seperti operasi kelamin patut
dipertimbangkan untuk kemaslahatan umat, yakni untuk khuntsa itu sendiri,
keluarganya dan masyarakat serta bangsanya, dan ini lebih baik dari pada
membiarkan keadaanya seperti sekarang ini, yang tidak jelas statusnya sehingga
dalam pergaulan mereka disiang hari kadang berbeda dengan dimalam hari dan cara
berpakaian serta berhias yang selalu berpindah dari laki keperempuan dan atau
sebaliknya, yang hal semacam ini dibenci Allah dan RasulNya, sebagaimana Nabi
sabda. Artinya :
Allah mengutuk orang lelaki yang bertingkah laku seperti perempuan dan
mengutuk perempuan yang bertingkah laki seperti lelaki H.R. Ahmad.
Kaidah hukum menjelaskan bahwa boleh tidaknya sesuatu hal tergantung
juga pada besar kecilnya nafsadah atau maslahah yang ada. Bila operasi kelamin
(contoh) ternyata lebih besar membawa kebaikan (manfaat) dari pada madharatnya
(keburukan) seperti tentang kejiwaannya, agamanya, sosial kemasyarakatannya, jati
dirinya dan kehormatan dirinya, maka dalam hal ini operasi kelamin boleh
hukumnya, dan demikian sebaliknya, bila ternyata operasi kelamin akan membawa
dampak negative yang besar dari pada keadaannya sekarang, maka operasi
kelamin dilarang hukumnya.
Oleh karena masalah operasi kelamin itu adalah masalah kedokteran maka
untuk hal ini harus didengar pendapat ahli kedokteran tentang operasi kelamin.
Operasi kelamin adalah tindakan perbaikan atau penyempurnaan kelamin
seseorang karena terjadinya kelainan sejak lahir atau karena penggantian jenis
kelamin.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 (tiga) bentuk operasi kelamin yaitu :
a. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang
yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti penis atau vagina yang tidak
berlubang.
b. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki 2 (dua) jenis kelamin yaitu penis dan vagina.
c. Operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki kelamin normal
Permasalahan penggantian kelamin yang muncul di abad modern ini belum
dikenal dalam abad klasik dan pertengahan, sehingga pembahasan hukumnya tidak
dijumpai dalam kitab kitab fiqih tempo dulu. Jenis operasi yang dijumpai dalam kitab

14
fiqih klasik, menurut Nuruddin Atar (guru besar hadits di Al Azhar Cairo) hanyalah
pembedah perut mayat yang semasa hidupnya tertelan uang (koin). Pembahasan
operasi kelamin baru dijumpai dalam fiqih Zaman modern sejalan dengan
perkembangan dan tehnologi.
Menanggapi masalah operasi kelamin diatas pendapat pakar hukum Islam
sebagai berikut :
Hasanain Muhammad Makhluf ( ahli Fiqih Mesir), operasi kelamin yang
bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) diperbolehkan secara
hukum bahkan dianjurkan jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang
berfungsi untuk pembuangan air seni, baik penis maupun vagina, maka operasi
untuk memperbaiki atau menyempurnakannya menjadi kelamin yang normal
hukumnya boleh dilakukan karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit
yang harus diobati
Menurut Prof Drs.Masyfuk Zuhdi (ahli Fiqih Indonesia) orang yang lahir
dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan fsihis dan sosial,
sehingga biasanya tersisih dari kehidupan masyarakat normal serta mencari jalan
sendiri, seperti melacurkan diri, menjadi wanita atau melakukan homo seksual,
padahal perbuatan tersebut sangat dikutuk oleh Islam.
Untuk menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin
boleh dilakukan karena kaidah Fiqih. Artinya ; Menolak bahaya harus didahulukan diri
pada mengupayakan manfaat.
Maksudnya, upaya untuk menghindari bahaya yang akan diakibatkan oleh
kelainan kelamin tersebut lebih baik dari pada mengusahakan suatu kemaslahatan,
karena menghindari atau menolak bahaya termasuk suatu kemaslahatan juga.
Jadi apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu penis dan
vagina, maka untuk memperjelas dan mempungsikan salah satu alat kelaminnya, ia
boleh melakukan operasi untuk memiliki salah satu alat kelamin dan menghidupkan
/memfungsikan yang lainnya sesuai dengan keadaan bagian dalam kelaminnya;
Misalnya, jika seseorang mempunyai penis dan vagina, sadang pada bagian dalam
kelaminnya ada rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan utama kelamim
perempuan, maka ia boleh mengoperasikan penisnya untuk mempungsikan
vaginanya, dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai seorang
perempuan, dan demikian sebaliknya.
Hal diatas menurut Syaikh Ahmad Syaltut (Rektor al Azhar) dianjurkan oleh
syariat Islam, karena keberadaan penis yang berbeda dengan keadaan bagian
dalamnya bisa merugikan dirinya sendiri, baik dari segi hukum agama maupun dari

15
segi kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu operasi yang dilakukan harus sejalan
dengan keadaan bagian dalam kelamin dan tidak boleh yang berlawanan dengan
bagian dalam kelamin. Sebab operasi kelamin yang berbeda dengan bagian dalam
kelamin bukanlah Tahsin (perbaikan), tapi termasuk Taghyir atau Tabdil yakni
mengubah ciptaan Allah, dan ini dilarang karena bertentangan dengan Firman Allah
ayat 30 surah al Rahman.
Operasi perbaikan (Tashih) atau penyempurnaan (Takmil) kelamin sesuai
dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin pada orang yang mempunyai
kelainan kelamin atau kelamin ganda, adalah juga sesuai keputusan Nahdlatul
Ulama Jawa Timur yang diadakan di Pondok Pesanteren Nurul Jadid Probolinggo
tanggal 26-28 Desember 1989.
Oleh sebab itu ulama sepakat mengharamkan seseorang baik lelaki atau
perempuan yang dilahirkan dengan alat kelamin normal yaitu lelaki yang memiliki
penis dan wanita memiliki vagina, rahim dan ovarium untuk melakukan operasi
penggantian kelamin (Tabdil atau Taghyir), dengan alasan sebagai berikut :
1. Ayat 13 surah al Hujurat, tentang ketentuan ciptaan Allah lelaki dan perempuan,
adalah ketentuan yang tidak boleh diubah, dan seseorang harus menjalani
hidupnya sesuai dengan kudratnya.
2. Ayat 119 surah an Nisa, yang menjelaskan syaithon akan suruh manusia
merubah ciptaan Allah ; bahwa ayat ini menyatakan bila mengubah ciptaan Allah
termasuk perbuatan syaiton.
3. Hadits riwayat Ahmad tentang larangan dan kutukan terhadap al Mukhonitsin, dan
al Mutarajilat, menyatakan bahwa gambaran minimal penyerupaan itu dalam segi
berpakaian dan bertingkah laku, apalagi jika sampai pada penggantian kelamin
maka lebih keras lagi larangannya
Menurut Wahbah Az- Zuhaili (guru besar Fiqh di Universitas Damascus), jika
selama ini penentuan bagi khuntsa (waria) hak waris didasarkan atas indikasi atau
kecendrungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi
lelaki atau perempuan, maka hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas/
jelas, yakni hak warisnya diberikan sama seperti hak lelaki atau perempuan yang
normal, tidak lagi lebih kecil dari bagian lelaki dan perempuan, dan berarti ia boleh
kawin seperti lelaki atau perempuan yang normal.

16
8. Penutup.
Demikianlah problema hukum khuntsa yang dapat dikemukakan disini dan
masih banyak hal yang belum terungkap. Semoga pembahasan yang singkat ini
dapat menambah wacana keilmuan dan wawasan hukum tentang khuntsa. Dan hal
ini akan lebih mantap dan mendekati sempurna bila masalah khuntsa ini dilihat dari
berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, sosial, agama, hukum dan sebagainya
secara terpadu.
Dari pembahasan diatas, kiranya ada beberapa hal yang dapat disarankan
/diusulka sebagai solusi dari permasalahan khuntsa sebagai berikut :
1. Khuntsa ( orang banci) hendaknya menentukan atau diberi pilihan tentang
status hukumnya lelaki atau perempuan, sebab dia yang lebih tahu tentang
dirinya itu apakah dekat kepada lelaki atau lebih dekat /wajar ke perempuan.
Dalam hal ini dapat meminta bantuan ahli kedokteran (fisik dan kejiwaan dengan
tidak melupakan kelamin bagian dalam dan diproses ditetapkan oleh hakim
/pengadilan.
2. Penetapan status hukum (identitas) oleh pengadilan tersebut setelah yang
bersangkutan melakukan operasi kelamin (perbaikan/ penyempurnaan) dan
bukan Taghyir, dan selanjutnya diperintahkan untuk memenuhi hak /kewajiban
sebagai lelaki atau perempuan.
3. Atau hendaknya khuntsa dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan
(qonun) seperti di Mesir (UU No.77 Th.1943 tentang kitab UU Hukum Waris).
yang diperbaharui dengan UU No.71 Tahumn 1976, agar lebih ada kepastian
hukum baginya dan jelas. Sebab bila tidak diatur niscaya mereka akan tetap
pada habitatnya, bebas hidup dan bergaul tanpa beban sentuhan hukum.
4. Bila sudah jelas status hukum khuntsa lelaki atau perempuan maka berlakulah
baginya hak-hak dan kewajiban seperti lelaki atau perempuan. Bila ia melanggar
dari status tersebut ia haru dikenakan sanksi diisolir /direlokalisasi.

Palembang, 12 Juni 2008 M.


08 J.Akhir 1429 H.
.
Penulis,

Dja’far Abd. Muchit, S.H. MHI

17
Daftar bacaan :

1. Departemen Agama RI Al Quran dan tTafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab


Suci Al Quran, 1995/1996.
2. Asy Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad , Nailul Authar, Matbaah Al
Halaly, Mesir 1952/1371
3 Ash Shobuny, Muhammad Aly, Al Mawarist fis Syariatil Islamiyah Ala Dlauil Kitab
Was Sunnah, Syirkah Iqolatuddin, Makkah Al Mukarromah, 1388 H.
4. Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Badaruddin Ad Dimasqi Al
Mishry, Syarah Ar Rahbiyah, Maktabah Muhammad Ali As Shobih
5. As Suyuthy, Jalaluddin Abdur Rahman, Al Asybah wan Nadhoir, Beirut, Darul
Kutub al Ilmiyah, 19979
6. Asy Syaafi’I, Muhammad bin Idris, Al Um, Darul Marifah Kitabiyah wan Nasyr,
Beirut;
7 Fatchur Rahman, Drs, Ilmu waris, PT. Al Ma’arif, Bandung;
8. A Hasan , Al Faraidl, Pustaka Progresif, Surabaya;
9 Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah Dr, Al Mirats fis Syariatil Islamiyah,
Muassassatul Risalah, Beirut, 1986/1407 H.
10 Kamus Bahasa Arab Al Munjid dan Al Munawir;.
11 .Peraturan perundang undangan dalam lingkungan Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi SAgama, Surabaya 1992;
12. Ensiklopedi Hukum Islam.
13. Dan lain sebagainya;.

18

You might also like