You are on page 1of 24

>>>Memiliki sifat Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mengharap

ridho Allah semata :)

Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya
terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya.
Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud
adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin
awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak
dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.

Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang
didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya.
Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus
menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah
terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa
yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Makna dan Hakikat Zuhud

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya
surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.”

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan
hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat
akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih
ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.

Selanjutnya Allah menyebutkan tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan
Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. Sikap yang
benar adalah agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari
jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang
kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Qur’an ketika berbicara
tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.

Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali
dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan
bahayanya ketika manusia mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik
kenikmatannya maupun penderitaannya.

Demikian juga ketika Rasulullah saw., ingin membawa para sahabatnya pada sikap zuhud,
beliau memberikan panduan bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi
kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing
atau musafir.”(HR Bukhari). Selanjutnya Rasulullah mencontohkan langsung kepada para
sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin
bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad.
Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia
berupa harta dan kenikmatan dunia. Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana dan
bersahaja. Beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah swt.
Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga
membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya
ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu!
Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon,
kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna
mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata,
”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta.
Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah
ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat
berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun
berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah
menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang
ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”

Keutamaan Zuhud terhadap Dunia

Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala
kelezatannya baik harta, wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia.
Tapi, orang beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk
kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas dan
kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak tertipu pada dunia.
Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih
kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan
hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan
surga-Nya di akhirat.

Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud
terhadap dunia:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu
apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada
Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta
keridhaan Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 14-15).

Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air
hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di
muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 45-46)

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-
Ankabut: 64).

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi
aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat
sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba,
dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di
dunia sedang dia adalah ahli neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali
celupan. Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan
kebaikan? Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak,
demi Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia
dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya, ”Wahai Anak
Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu suatu kesusahan
(di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah aku
mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR Muslim)

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang
menyelupkan tangannya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa.” (HR Muslim)

Tanda-tanda Zuhud

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira
dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya
orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga,
hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan.
Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau cinta dunia. Dan
keduanya tidak dapat bersatu.

Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan
dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad
bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”

Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan,
dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak
mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar
harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka adalah
tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia.
Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu
Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud
terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah
saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang
mereka?”

Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang
harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta
tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”

Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan
memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk
meraihnya. Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw.,
khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan
keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan
dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling
zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi
orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.

Tingkatan Zuhud

Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap
yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang
tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.

Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau
meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman,
bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak
berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya
dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-
orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-
Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)

Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang
haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap
yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu
yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan
zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah),
kedudukan (kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian,
ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki banyak harta, wanita, dan
kedudukan.

Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari
satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin
Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang
paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah,
Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat
yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21
wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.

Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan
memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-
orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih
banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan
lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman
yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang
yang zuhud.

Sedangkan orang kafir, karakteristiknya adalah rakus terhadap kehidupan dunia dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi mereka tidak ada istilah halal dan
haram. Mereka tidak mengenal perbedaan antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan
suap, antara bisnis dengan riba, antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan pada hal
yang dianggap tabu saja orang-orang kafir berupaya menghalakan semuanya. Perzinaan
mereka menghalalkan dengan dalil hak asasi manusia.

Berawal dari kebebasan hak untuk membuka aurat dalam berbusana. Permisif dalam
pergaulan dengan membolehkan berduaan di tempat sepi. Berciuman di tempat umum
dijadikan hal lumrah. Sehingga, perilaku perzinaan menjadi berita yang selalu dipertontonkan
di teve dan dikabarkan di tabliod. Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang belum
menikah, perzinaan lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai perzinaan sejenis:
lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari perzinaan inces sampai perzinaan
yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah kehidupan orang kafir. Mereka seperti
hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang kafir itu
bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan
neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah,
dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam
sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”

Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga,
kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pola hidup materialisme
mendominasi di hampir semua lapangan kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh
mana berhasil meraup sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan
moral. Maka berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih
sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu.
Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah kerusakan yang sangat dahsyat.
Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya
dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta dunia dan takut mati) dan berpola hidup
materialisme hampir sama dengan orang kafir.

Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang paling berbahaya. Segala bentuk
kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan
dan seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya.
Karenanya, Rasulullah saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua
serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan
seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)

Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia dan akhirat sangat penting.
Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip yang harus terus menerus diingat dan
ditanamkan kepada umat Islam sehingga motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan
semakin zuhud. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan
semakin jahat dan semakin rakus.

Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq
Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa yang Anda ketahui tentang dunia?”
Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda, bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami
tidak mendapatkanya, maka kami harus bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami
harus bersyukur.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh
(sebuah kota di Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana
menurut pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami
bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya untuk orang lain).”
Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.

Kesalahpahaman terhadap Zuhud

Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah
meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak
demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan
pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran
sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah
dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah
saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan
menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang
syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan. Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang
zuhud dan diberi kita pemimpin zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia.
>>Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa besar, sifat riya (mencari nama),
dengki, permusuhan, perselisihan dll yang merupakan bagian dari sifat tercela

Imam Ibnu Al Qayyim mengklasifikasikan ibadah dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Amalan Hati, seperti : Tawakkal kepada Allah SWT., mahabatullah, tawadhu`, khusyû`, niat
ikhlash, raja` dan lain sebagainya.

2. Amalan Lisan, seperti : Mengucapkan dua kalimat syahadatain, tasbîh, istighfar, bersumpah atas
nama Allah SWT. , berdo`a dan lain sebagainya.

3. Amalan Anggota Badan, seperti : Shalat, puasa, jihad, menuntut ilmu, berdagang, berladang, dan
lain sebagainya.

Amalan yang paling diprioritaskan atau paling afdhal di antara 3 (tiga) jenis amalan tersebut adalah
amalan hati yang dilakukan oleh hati manusia beriman. Ada beberapa alasan asasi (dasar) yang
menjadi dasar dari prioritas ini:

1. Amalan hati merupakan penentu sah atau tidaknya suatu amalan

Sesungguhnya amalan lahiriyah yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh lainnya tidak akan
diterima oleh Allah SWT., selama tidak disertai dengan amalan hati (niat) yang merupakan dasar bagi
diterimanya suatu amal lahiriah. Sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya seluruh amalan harus disertai dengan niat." (Muttafaqun `Alaihi dari Umar bin al-
Khaththab ra.)

Karena itu suatu amal atau pekerjaan atau aktifitas (apapun bentuknya) sangat bergantung dan
terkait dengan niatnya. Suatu amal tanpa disertai dengan suatu niat yang benar, seperti halnya badan
tanpa ruh atau seperti pohon tanpa buah, tidak berfungsi, dan tidak menguntungkan sedikitpun.

Hatilah yang dinilai oleh Allah SWT, karena bila bersih niatnya, maka Allah SWT. akan menerima
amalannya dan apabila kotor hatinya (niatnya tidak benar atau berbau syirik atau tidak ikhlash), maka
dengan sendirinya amal tersebut akan ditolak, sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada bentuk tubuh dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada
hatimu sambil Beliau mengarahkan jari-jariNya ke dadanya" (H.R. Muslim dari Abû Hurairah ra ).

2. Hati merupakan cerminan hakikat pemiliknya

Dalam shahîh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabî SAW bersabda:

"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka
baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa
segumpal darah itu ialah hati." (Muttafaqun `Alaihi, dari Nu`man bin Basyîr).

Untuk lebih memperjelas pemahaman hadîts di atas marilah kita mengingat kembali firman Allah
SWT yang termuat dalam surat Asy-Syams, ayat 8 - 10 :
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:8)
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9) dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam hati manusia terdapat dua jenis "bibit penentu", yang satu kita sebut saja sebagai "bibit
kebaikan" yang merangsang dan mendorong manusia untuk melakukan amal kebaikan atau
perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT., sedang yang lainnya kita sebut dengan
"bibit kejahatan" yang merangsang manusia untuk melakukan melakukan perbuatan fahsya (keji) atau
kemungkaran kepada Allah SWT.

Al-Fujûr merupakan "benih kejahatan" yang dengan istilah lainnya dikenal sebagai nafsu syahwat
syaithaniyah yang senantiasa membisiki dan menghembusi manusia untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan tercela lagi berdosa yang akan mengantarkannya ke jalan kefasikan dan berhilir di neraka.
Sedang at-Taqwa merupakan "benih kebaikan" yang senantiasa memotifasi dan memobilisasi
manusia untuk melakukan amal kebajikan dan pekerjaan yang mendekatkan dirinya kepada Allah
SWT.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pada hati manusia terdapat 2 (dua) kekuatan yaitu kekuatan
"Fujur" dan "Taqwa" (sebagaimana yang dipaparkan dalam surat Asy-Syams di atas) yang selalu
bertempur untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya sehingga salah satu dari keduanya
menjadi pemenang atau lebih mempunyai pengaruh dalam menentukan perilaku kehidupan
"tuannya". Apabila setiap rangsangan "benih kebaikan (At-Taqwa)" ini yang timbul dalam diri manusia
selalu direspon dalam bentuk amal shalih secara benar dan kontinue (berkesinambungan) maka
dengan sendirinya "benih kebaikan" akan semakin berkembang dan akan mendominasi atau
mengusai hati "tuannya". Sehingga ide, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan
menjadi baik karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih
kebaikan". Maka jadilah "tuannya" ini termasuk orang-orang beruntung yang mampu membersihkan
jiwanya dari nafsu syahwat syaithaniyah karena ia hanya mau merespon bisikan dan panggilan
kebaikan (taqwa) saja. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9)

Dan sebaliknya bagi manusia yang lebih sering merespon tuntutan nafsu syahwat syaithaniyahnya
maka tindakan tercela lagi berdosa itu dengan otomatis memberikan kontribusi dan mempercepat
pertumbuhan serta peluasan "benih-benih kejahatan (fujûr)" sehingga benih ini akan mendominasi
hatinya. Dari Abû Hurairah ra bahwa Rasûlullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya orang mukmin, ketika ia berbuat dosa maka (saat itu juga) akan menempel titik hitam
di hatinya, jika ia bertaubat dan mencabut (dirinya dari perbuatan dosa tersebut) dan memohon
ampunan maka hatinya (kembali) bersih, jika ia menambahinya (dengan perbuatan dosa lagi) maka
titik hitam itu bertambah pula di dalam hatinya. Selanjutnya itulah "ran" yang disebutkan dalam firman
Allah SWT:

"(Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka)."

Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam "Kitab Az-Zuhd, bab Dzikru Adz-Dzunûb.

Pada saat hati manusia dikuasai oleh "benih-benih kejahatan (fujûr)" maka ide, pola fikir,
keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi buruk karena mengikuti instruksi-instruksi
yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kejahatan", sehingga jadilah ia termasuk orang-
orang yang merugi karena ia telah mengotori dan mencemari jiwanya dengan selalu menuruti nafsu
syahwat syaithani, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam kitab Minhajul Qashidîn dikatakan:


Bahwa sesuatu yang paling berharga, paling bernilai dan paling mulia pada diri manusia adalah
hatinya. Sedang anggota tubuh hanya sekedar mengikuti dan menjadi pelayan hati, sebagaimana
seorang tuan yang memerintahkan hamba sahayanya sebagai pelayannya

>>>Ikhlas dalam kepercayaan. Keikhlasan dan kejujuran seorang guru dalam pekerjaannya
merupakan jalan terbaik menuju kesuksesannya dalam menjalaknka tugasnya dan kesuksesan
murid-muridnya ^_^

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya,
yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw.
bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh
tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu
adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para
ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada
kepentingan dunia.”
Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah
pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam
satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar
jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5
menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah
saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali
dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan
ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas
tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak
diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza
wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada
firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika
engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha
(suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena
Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi
tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal,
maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak
kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk
Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya
dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa
menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat
dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu
kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah,
dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan
menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya
tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau
kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia
dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu
Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan
mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan
sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya,
“Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di
hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya
di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah
melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa
berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata
Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk
mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari
akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri
atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a.
berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di
hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin
berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal.
Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang
akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang
munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam
cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak
ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang
bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka
selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau
jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari
umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih,
tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-
saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu.
Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR
Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi
sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka
yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika
kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa
senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu
mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan
syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan
Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau
lembaganya semata.

>>>jujur

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan
tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh
pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara
yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun
muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli,
utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat
jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah
jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang
terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,

“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada


kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan
berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur.
Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan
kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta,
hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Definisi Jujur

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita
sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka
dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana
seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya.
Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya).
Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia
menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama
berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi,
tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang
beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.

Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya
adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan
melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang
bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali
kejujurannya (kebenarannya).

Allah berfirman,

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.”
(QS. al-Maidah: 119)

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

Keutamaan Jujur

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah
akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi,

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan
berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda
kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan
akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia
dan selamat dari segala keburukan.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang


diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,

“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya
mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka
akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan
merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang
diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”

Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang
jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain
berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya
dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya
kebahagian dunia dan akherat.

Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya.
Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya
sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan
seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau
kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat
menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun
terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan.
Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam
berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar),
membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia
dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya
merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya
memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan
perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya,
diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki
dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima
kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak
mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul
dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan
keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang
wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan
ditunaikan kepada orang yang berhak.

Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan.
Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana
firman-firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah
keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab:
23)

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih
baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu,
sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan)
keraguan.”

Macam-Macam Kejujuran

1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal
tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan
pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang
dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang
dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka
tetapi pada niat dan maksud mereka.
2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata
kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran
yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau
Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan
Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga
ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya
jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan
bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah
Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan
karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah
berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif,
“Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan
berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana
jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-
perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat
dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan
dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman


kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang
benar.” (QS. al-Hujurat: 15)

Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai
kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan
(kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula
menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada
setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi
di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan
dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

Khatimah

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan
keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk
memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran
sebagaimana firman Allah,

“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang
benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari
sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan
buah tutur yang baik.

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS.
asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada
Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan
akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji
mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran.
Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah:
177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini
merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya
merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.

Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua:
mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara
keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut
hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman
Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)

Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,

“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali
Imran: 61)

Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila
berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-
Iman: 32)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan


ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah
dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah
kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan
mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta.
Waallahu A’lam.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam
tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka
memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan
orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka
perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)
>>Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap murid-muridnya. Ia sanggup menahan
diri, menahan kemarahan, lapang dada dan sabar, berkepribadian yang baik dan
mempunyai harga diri.

Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang mampu
menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh emosional sulit
orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap kesalahan pihak lain.
Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan hasil penataan dari keimanan
seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan dalam Al-Quran: "...dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan." (QS.3:134).
Begitu urgensinya seorang mukmin harus mampu menahan amarahnya disertai sikap suka
memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam sabdanya:
"Jangan engkau mudah marah." Maka diulangi beberapa kali, sabdanya: "Janganlah engkau mudah
marah." (HR.Bukhari,Muslim). Jelas sekali Islam memandang pentingnya untuk memasyarakatkan
pemaaf disertai berupaya mampu menahan amarah, bila sudah membudaya maka niscaya akan
diikuti orang di sekitarnya.

>>Seorang guru harus mencintai murid-muridnya layaknya terhadap anak mereka sendiri. Bahkan
seharusnya ia lebih mencintai murid-muridnya dari pada anaknya sendiri :) ^.^

Menjadi guru yang dicintai muridnya bukan persoalan mudah. Ada sederet persyaratan yang
harus dimiliki jika ingin mencapai itu. Dari hasil survey, seorang guru yang ingin dicintai
muridnya harus melakukan banyak hal, beberapa diantaranya adalah…

1. menjadikan pengajaran sebagai sesuatu yang dirindukan


2. menguasai materi pelajaran yang menjadi spesifikasinya
3. memberikan motivasi dan support pada muridnya
4. penuh perhatian
5. memberikan kesempatan kepada murid untuk bertanya
6. menghargai pendapat murid
7. memberikan jawaban yang masuk akal
8. mampu berinteraksi dengan baik
9. sabar, penuh kasih-sayang dan peka terhadap lingkungan
10. adil dalam bersikap
11. humoris
12. penampilannya rapi dan bersih

Hancurnya peradaban bangsa dimulai dari lemahnya karakter seorang pemimpin. Akibatnya,
secara beruntun melahirkan generasi yang lemah mental, moral dan kepribadian. Pengabaian
moral yang menyebabkan perilaku tidak berkarakter, lambat laun akan membentuk budaya
dan peradaban yang menunjukkan penurunan harkat dan martabat manusia.

”Banyak nilai-nilai kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan,” tegas Dr. H.
Furqon Hidayatullah, M. Pd selaku Dekan FKIP UNS (Surakarta) dalam pembukaan ”Kajian
Akbar Dengan Ilmu Menumbuhkan Khasanah Cinta”. Nilai-nilai pendidikan yang seharusnya
menjadi modal untuk membenahi diri dan masyarakatnya ke arah yang lebih baik, kini
berbalik arah pada nilai-nilai kehidupan yang mencoreng nama baik pendidikan itu sendiri.
Menumbuhkan karakter yang positif pada anak didik menjadi salah satu tujuan
dilaksanakannya kajian tersebut. Dan guru sebagai objek utama yang perlu digembleng, agar
pendidikan karakter ditanamkan pada anak didik secara efektif dan efisien.

Salah satu sumbernya ialah ketika pengetahuan yang dimiliki tidak seimbang dengan
tindakannya. Kenyataannya, tindakan anarkis yang selalu terjadi pada masyarakat tertentu,
merambat pada masyarakat terpelajar. Sehingga, benih-benih pendidikan yang disemai, yang
seharusnya menciptakan bibit unggul, hanya tumbuh sebagai generasi yang tak berpendidikan
dan tak berkarakter kuat. Di sinilah letak pentingnya pendidikan karakter untuk menciptakan
manusia yang memiliki keseimbangan antara kualifikasi pikir, zikir dan amalnya. *(Tujuan
pendidikan menurut Syekh Naquib Al-Attas)

Pengertian Pendidikan Karakter

Secara bahasa karakter dapat dipahami sebagai kebiasaan yang berpola. American Dictionary
of the English Language mendefinisikan karakter sebagai,”Kualitas-kualitas yang teguh dan
khusus yang dibangun dalam kehidupan seorang yang menentukan responnya tanpa pengaruh
kondisi-kondisi yang ada”. Karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan/tingkah laku.

Karakter yang kuat dibentuk oleh penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarkter sebagai sifat alami seseorang
dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata
melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta
karakter mulia lainnya. Seperti yang diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat
kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus -menerus. Jadi konsep
yang dibangun dari model ini adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the
hands.

Pendidikan karakter perlu dikembangkan karena akan mendorong kebiasaan dan perilaku
yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal, tradisi budaya, kesepakatan sosial dan
religiositas agama. Selain itu mampu memupuk ketegaran dan kepekaan mental anak
terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang,
baik secara individu maupun sosial. Serta meningkatkan kemampuan menghindari sifat
tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Metode Pendidikan Karakter

Mengenai metode pendidikan karakter yang akan digunakan oleh guru, Dr. Wijayanto, MA
sebagai pembicara mengutarakan beberapa metode klasikal nan praktis. Yakni metode
pembiasaan, keteladanan, doa (God Spot) dan cerita. Metode cerita, hanyalah sebagai
tambahan inisiatif penulis untuk berbagi kepada pembaca. Tetapi hal yang tak kalah
pentingnya adalah tentang kepribadian guru. Penekanan pada guru ditekankan, karena guru
adalah fondasi keberhasilan atas terbentukanya karakter siswa. Oleh karena itu, setidaknya
guru harus mempunyai sifat/sikap Ar Rahman dan Ar Rahim.

Guru harus punya sikap Ar-Rahman dan Ar-Rahim


Ar Rahman dan Ar Rahim adalah dua nama/sifat dari Asmaul Husna. Keberadaannya di awal
”Asmaul Husna” memperlihatkan betapa strategis dan pentingnya kedua sifat tersebut. Ar
Rahman secara bahasa diterjemahkan dengan kata Pengasih sedangkan Ar Rahim diartikan
Penyayang. Banyak pendapat yang dijelaskan oleh para ahli (Cendikiawan Muslim) dalam
persamaan atau perbedaan antara keduanya. Tetapi dengan berbagai penafsiran tersebut tak
membuat berkurangnya keagungan sifat-sifat Allah. Bahkan sebaliknya, rahmat Allah
melimpah ruah dan semakin tampak dibalik persamaan dan perbedaan semua ciptaanNya.

Kemudian, bagaimana jika sifat Ar Rahman dan Ar Rahim melekat pada manusia, yang
dalam bahasan ini adalah guru? Dr. Wijayanto, MA menjelaskan, bahwa Ar-Rahman
sifat/sikap untuk menerima segala hal, sedangkan Ar-Rahim terbatas pada yang mereka
prioritaskan. Sebagai guru, kedua sikap tersebut harus dimiliki dan diaplikasikan di kelas
dalam bentuk pengajaran. Sayangi dan didiklah mereka sebagaimana anakmu sendiri. Dengan
pendekatan emosi yang tinggi, seorang guru secara tidak langsung telah mengajarkan kepada
mereka bagaimana cara bersikap dengan penuh kasih sayang terhadap sesama manusia. Jika
anak hidup dengan cinta dan persahabatan, ia akan belajar untuk menemukan cinta di muka
bumi ini. Anak selalu belajar dari kehidupan, termasuk kehidupan dalam kelas.

Ar Rahman (Pengasih) apabila dipahami sebagai Pemberian

Pertama harus dipahami apabila Maha Pengasih, maka maknanya ialah segala sesuatunya
diberi atau dikasih oleh Allah. Sesuatu yang sudah diberikan akan menjadi milik si penerima.
Sebagai contoh, bila A memberikan Kue kepada B, maka kue tersebut menjadi milik B.
Terserah pada B apakah kue itu hendak dimakan, B mempunyai kebebasan atas kue tersebut
(karena kue tersebut sudah menjadi miliknya). A tidak dapat turut campur lagi atas
kepemilikan kue tersebut dan tidak berhak mengambil kembali apalagi dilakukan secara
paksa.

Pemberian guru dalam pembelajaran tidak lagi berupa benda, tetapi nilai-nilai pendidikan.
Entah itu berwujud pengetahuan mata pelajaran, pengetahuan umum maupun nilai-nilai
moral. Dalam implikasi sifat Ar Rahman, guru tidak seharusnya berharap imbalan, apapun
bentuknya. Imbalan yang dimaksud di sini bisa saja berupa penghormatan dari anak didiknya.
Sehingga ketika murid tidak menghormati gurunya, guru tidak dengan mudahnya melakukan
kekerasan psikis atau fisik terhadap muridnya. Dan ini bisa menjadi suatu ukuran seberapa
besar keikhlasan pemberian guru terhadap anak didiknya.

Keikhlasan, merupakan kunci bagi guru untuk bisa memberikan kontribusi dan hasil yang
maksimal bagi anak didiknya. Semakin tinggi rasa ikhlas dalam mendidik, maka semakin
besar pemberiannya, dan semakin besar pula hasil yang akan diterima anak didik. Lakukanlah
dengan hati.

Ar Rahman (Pengasih) apabila diartikan sebagai Perasaan sayang atau cinta

Bila seseorang meng-kasihi seseorang atau sesuatu maka ia akan melakukan apa saja bahkan
memberikan apa saja untuk orang yang di-kasihinya. Begitu juga dengan guru, selain
mempunyai kewajiban atas profesinya, keberhasilan dalam proses pembelajaran merupakan
bagian penting untuk diperhatikan. Tidak hanya ilmu, bahkan bantuan waktu, tenaga hingga
finansial yang mengarah pada tercapainya tujuan pendidikan sangat melekat pada guru yang
memiliki sifat Ar Rahman.

Dalam asma Ar Rahmaan ada 4 hal yang menjadi indikator bahwa sesuatu dapat digolongkan
menteladani Ar Rahmaan atau tidak yaitu:
1. Ilmu
2. Akal
3. Iman
4. Islam

Hamam Faizin membedakan, Ar-Rahman adalah cinta sosial, cinta meluas, cinta horizontal
sedangkan ar-Rahim adalah cinta pribadi, mendalam dan vertikal.

Metode Pembiasaan

Di Baghdad ada sebuah lembaga pendidikan (PAUD/Play Group) yang memiliki pintu masuk
berukuran besar tidak selazimnya pintu masuk. Sehingga siswa yang sekolah di sana tidak
bisa membuka pintu secara mandiri. Harus ada yang membantu membukanya. Dan setiap
dibantu dibukakan pintunya, setiap anak dibiasakan untuk mengucapkan terima kasih kepada
orang tadi. Entah berapa kali mereka keluar masuk dari pintu itu, yang pasti mereka
dibiasakan mengucapkan terima kasih setiap kali ada yang membantu mereka. Keren kan
lingkungan pendidikan seperti itu. Hal ini merupakan salah satu contoh pembiasaan dalam
bertingkah laku melalui pembiasaan. Konsep aplikasi yang berbasis metode pembiasaan
dirasakan sangat perlu dikembangkan oleh pendidik.

Pembiasaan seperti ini sekaligus menjadi ajang pembelajaran bagi anak dan berlangsung
sampai kira-kira masuk SD. Setelah itu, berbagai sumber belajar, misalnya lingkungan atau
pembiasaan baca buku, akan ikut membentuk karakter anak selain contoh-contoh dari si ibu.

Metode Keteladanan

Pembangunan karakter membutuhkan model yang menjadikan anak meniru dengan bangga.
Peserta didik lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat untuk ditiru. Keteladanan
memang menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter.
Guru yang patut digugu dan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter.

Tumpuan pendidikan karakter ada di pundak guru. Konsistensi dalam pendidikan karakter
tidak sekadar melalui apa yang dikatakan di dalam kelas. Perilaku guru dalam keseharian
tentu menjadi model. Guru dalam arti luas tentu termasuk orangtua, tokoh masyarakat,
maupun aparatur pemerintah. Perilaku-perilaku mereka akan ikut membentuk karakter
peserta didik. Tindak-tanduknya sedikit-banyak akan ditiru oleh anak. "Guru itu digugu dan
ditiru" bukan "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".

Contoh sederhana yang sering terjadi adalah ketika guru terlambat masuk kelas. Hal yang
sangat wajar dinilai jika keterlambatan itu terjadi dengan frekuensi yang sedikit. Masalahnya,
guru yang datang terlambat tidak pernah mau menyadari kesalahannya. Kemudian, timbul
pertanyaan bagi murid tentang perilaku guru yang sering terlambat dengan nasehat yang
pernah diajarkan kepada muridnya. Dari sini timbul pertanyaan, apakah semudah
membalikkan telapak tangan untuk menciptakan generasi ”ontime”?

Masyarakat ”Jam Karet” sering kita dengar. Masyarakat Indonesia memiliki julukan negatif
tersendiri dalam hal kedisplinan.

Metode Cerita

Cerita bisa sangat menggugah dan melibatkan berbagai emosi, mempengaruhi perilaku, dan
menentukan pengambilan keputusan seseorang manakala disampaikan dengan efektif. Oleh
karena itu, cerita bisa digunakan sebagai salah satu metode sosialisasi karakter kepada anak
didik sejak dini.

Kekuatan cerita dapat tergali melalui serangkaian perilaku berkarakter dan menanamkan
konsep diri positif. Sosialisasi karakter kepada anak usia dini dilakukan melalui serangkaian
kegiatan berikut ini:
Serangkaian kegiatan tersebut melibatkan kemampuan eksplorasi, studi kasus dan pemecahan
masalah, analisa manfaat berperilaku, berkarakter dan kerugian tidak berperilaku berkarakter,
serta penanaman konsep diri.

Tujuan dari kegiatan sosialisasi karakter melalui penggalian kekuatan cerita adalah:

1. menanamkan tokoh tersembunyi ”hidden model” dalam benak anak. Sang tokoh yang
identik/secara kuat mempresentasikan karakter tertentu. Tokoh tersembunyi tersebut
diharapkan dapat memberi kekuatan, arahan dan panduan perilaku karakter anak
sehari-hari.
2. meningkatkan kemampuan ekplorasi anak melalui pencarian contoh lain seperti
karakter tokoh cerita, dalam kehidupan sehari-hari.
3. membangun kemampuan analisa dan keterampilan pemecahan masalah berkaitan
dengan perilaku karakter.
4. meningkatkan kemampuan anak untuk mengimplementasikan konsep karakter dalam
kehidupan sehari-hari. Anak diharapkan menunjukkan secara nyata konsep dan
perbuatan berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.
5. membangun kemampuan analisa dan evaluasi manfaat perilaku berkarakter dan
dampak negatif perilaku tidak berkarakter, serta menarik kesimpulan terhadap hasil
analisa.
6. menanamkan konsep diri positif melalui kekuatan kalimat afirmatif.

Kekuatan Doa

Doa itu senjata orang beriman, yang berarti merupakan bekal dan sekaligus tameng untuk
menghadapi kesulitan hidup yang ditemui. Doa itu percakapan antara seorang hamba kepada
Tuhannya. Para ahli pun mengatakan bahwa rintihan, percakapan dan bentuk-bentuk kalimat
bebas lainnya yang berisikan dialog dengan Tuhan tidak lain merupakan doa. Bahkan shalat
pun sesungguhnya adalah doa. Sebab hampir seluruh bacaan di dalamnya merupakan
permintaan kepada Allah. “Dan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan
shalat” (QS:2:45)

Bahkan secara ilmiah keampuhan doa/kata-kata/sugesti dapat dibuktikan. Seperti kesimpulan


yang bisa dipetik dalam buku ”The Power of Water” karangan Dr. Masaru Emoto dari
Universitas Yokohama sebagai berikut:

Air ternyata mampu merespon terhadap kata-kata, gambar serta musik baik secara positif
ataupun negatif. Jika kita mengatakan pada air kata-kata “cinta dan terima kasih” maka hasil
foto kristal airnya sungguh dahsyat yakni membentuk kristal air heksagonal yang indah.
Sebaliknya, jika kita mengatakan pada air kalimat “kamu bodoh” maka tidak akan
membentuk kristal bahkan gambarnya jelek sekali.

Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya,
keputusan akhir tentang hasil usaha kita tetap bergantung kepada Allah SWT. Oleh karena
itu, sebagai bentuk syukur dan rendah hati terhadap Allah, berdoa dalam memulai dan
mengakhiri proses pembelajaran sangat diperlukan. Agar hasil dari proses pembelajaran
bermanfaat bagi dirinya, anak didik dan masyarakat.

Doa termasuk hal penting yang harus selalu kita pegang teguh. Melalui doa, rasa cinta dan
kasih sayang kepada anak didik akan bertambah mekar di dalam hati. Untuk itu, hendaklah
guru senantiasa memohon kepada Allah agar Dia meluruskan anak didiknya dan masa
depannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ada tiga macam doa yang tidak diragukan
lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua
(guru) kepada anaknya.” (HR. Tirmidzi).

>>>Seorang guru harus mengetahui tabi'at pembawaan, adat, kebiasaan,


rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mengambil
langkah mendidik murid-muridnya. <3

>>Seorang guru haruslah menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya,


serta memperdalam pengetahuannya tentang itu, sehingga mata pelajaran
itu tidak bersifat dangkal. :)
Dalam al-Qur'an ada beberapa ayat yang secara langsung menjelaskan hal-hal yang harus dimiliki
oleh seorang murabbi, dengan melalui penafsiran tematik yang berkaitan dengan kompetensi guru
maka ada tiga hal besar yang seyogyanya dimiliki oleh seorang pendidik, ketiga hal itu adalah :
pertama, Kompetensi ‘ilmiyyah kompetensi ini adalah kemampuan seorang guru atau pendidik
dalam hal penalaran, pemahaman artinya seorang guru harus menguasai materi-materi dan metode
yang akan diajarkan kepada anak didik. Dengan mengetahui materi dan metode pendidikan tentu
seorang guru akan lebih mampu dan layak dalam melaksanakan proses pendidikan terhadap anak
didik. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak mengetahui banyak materi dan metode
pengajaran akan mampu melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran dengan baik. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SuratAl-Baqarah ayat 247 :
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rahamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?”
(Nabi mereka) berkata: “Sesunguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepda
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-
Baqarah [2] : 247)

Guru merupakan suatu komponen yang paling dalam penyelenggaraan pendidikan yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar melatih, meneliti mengembangkan, mengelola dan
memberikan petunjuk dalam bidang pendidikan. Dengan demikian guru harus menguasai ilmu
pengetahuan yang akan dia ajarkan kepada anak didik juga harus mengetahui metode-metode apa
yang harus dipraktikan dalam pengajarannya. Dalam ayat itu Allah mengisyaratkan tentang
kompetensi ilmiyyah ini dengan kalimat basthathan di al-‘ilm artinya Allah menganugerahkan kepada
Nabi Daud keluasan dalam pengetahuan. Kata basthathan berasal dari kata basatha yang berarti
luas, lapang, lebar dan mendalam. Maksud basthathan pada ayat tersebut adalah adanya keluasan
pada sosok Nabi Daud dalam hal pengetahuan. Dia adalah Nabi yang sangat mendalam, luas dalam
pengetahuannya. Sedangkan kata al-‘ilm berasal dari kata kerja ‘alimaya’lamu yang berarti
mengetahui. Jadi kata ‘ilm adalah semua jenis pengetahuan yang ada di alam ini baik pengetahuan
agama, filsafat maupun sains. Dalam hal ini yang dikatakan orang alim adalah orang yang mendalam
pengetahuannya. Berarti seorang guru harus benar-benar kompeten dalam hal pengetahuannya
sebab dia yang akan mengajarkan, mentransformasi pengetahuan kepada anak didiknya baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Dalam ilmu pendidikan Islam, guru tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada anak didik saja
tapi harus mampu mengarahkan kemana seharusnya bakat dan kemampuan anak didik itu
dikembangkan. Hal ini menunjukan betapa pentingnya posisi guru dalam proses belajar mengajar dn
merupakan pemegang utama serta penentu keberhasilan dalam proses belajar mengajar yang
kondusif sehingga akan menghasilkan out put yang baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Karena itu guru harus mampu mengelola proses belajar-mengajar dengan baik.
Kedua. kompetensi khuluqiyyah, kompetensi ini berkaitan dengan aspek penghayatan seorang guru
terhadap seluruh materi yang diajarkan. Kompetensi ini bersifat abstrak karena berkaitan dengan
hati. Kompetensi ini paling banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an karena meliputi seluruh sikap, minat
dan penghayatan seseorang terhadap ilmu. Kompetensi ini diambil dari ayat Al-Qur’an surat Al-
Qalam ayat 4 yaitu :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-Qalam [68] : 4)

“(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (Q.S. Al-Syu’araa [26] : 137)
Kata khuluq adalah bentuk mufrad (tunggal) bentuk pluralnya adalah akhlaq. Kata khuluq seakar
dengan kata kholq yang berarti ciptaan. Kesemuanya berasal dari akar kata yang sama yaitu dari kata
kerja khalaqa yang berarti menciptakan, membuat, mendesain, mengadakan sesuatu dari yang tiada.
Dalam hal ini kata khuluq sudah memiliki arti khusus yaitu tingkah laku, perilaku, karakter, sifat dan
lain sebagainya. Kalau direnungkan kata khuluq masih memiliki kaitan dengan kata asalnya yaitu
ciptaan, yang berarti khuluq adalah semua tingkah laku, sifat atau perbuatan yang telah Allah
ciptakan pada diri manusia yang muncul dengan perasaan reflektif (kebiasaan yang sudah terjiwai).
Kompetensi khuluqiyah ini adalah kompetensi yang paling banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebab
kompetensi ini meliputi semua sikap, tingkah laku, perbautan, perasaan dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan ranah rasa.
Ketiga, kompetensi jismiyyah. Kompetensi ini berkaitan dengan fisik. Seorang guru harus memiliki
kemampuan dalam hal yang berkaitan dengan fisik artinya penerapan dan praktek dari setiap materi
yang ada. Maka dalam kompetensi ini seorang guru dituntut untuk sehat jasmaninya. Kompetensi ini
diisyaratkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 247 :
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rahamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?”
(Nabi mereka) berkata: “Sesunguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepda
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-
Baqarah [2] : 247)

Kata jism bermakna organ, badan dan raga suatu makhluk. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa
Dia telah menganugrahkan kepada Nabi Daud semua kemampuan yang berkaitan dengan jasmani
agar sebagai seorang raja dia dapat memimpin rakyatnya dengan baik. Dalam hal ini bisa diambil
pelajaran untuk seorang guru atau pendidik bahwa sebagai seorang guru dia harus sehat dan kuat
jasmaninya agar dalam pelaksanaan proses pendidikan berjalan maksimal dan seorang pendidik
harus menguasai keterampilan yang berkaitan dengan jasmani.
Berkaitan dengan ketiga kompetensi di atas guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan
faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan, itulah sebabnya seorang guru harus mempunyai
dalam berbagai kompetensi. Hal ini menunjukan betapa pentingnya peranan guru dalam pendidikan.
Selanjutnya dalam proses pendidikan Islam yang berintikan hubungan antara pendidik dan anak
didik berarti seorang pendidik harus memahami hakikat pendidikan dan relevansinya dengan tujuan
pendidikan, yaitu terbentuknya insan kamil yang beriman senantiasa siap bersedia mengabdi kepada
Allah SWT., di samping itu pendidikpun harus memiliki kompetensinya yang dijelaskan di dalam Al-
Qur’an. Salah satu ayat yang berkaitan dengan pendidikan adalah Al-Qur’an surat shaad ayat 17,
ayat ini pula pada dasarnya mempunyai esensi bahwa Allah SWT. Telah menjadikan Nabi Daud
sebagai pemimpin umat, pada dirinya terdapat kemampuan yang dianugrahkan Allah kepadanya
sebagai bekal dalam menyampaikan risalah dan petunjuk Allah SWT. dengan baik.

You might also like