You are on page 1of 19

EPISTEMOLOGI ILMU KALAM

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas untuk
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Bersama
Mohammad Muslih, MA

Oleh :

Anwar Ma’rufi
NIM: 31.21.028

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSALAM (ISID)
PONDOK MODERN GONTOR
2011
EPISTEMOLOGI ILMU KALAM

A. Pendahuluan
Dalam Dirasat Islamiyah, ilmu kalam merupakan kajian yang pokok
dan sentral. Karena begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat
Islamiyah mampu mewarnai bahkan dalam taraf tertentu ‘mendominasi’
corak muatan materi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, tafsir,
filsafah Islam dan lain sebagainya. Meski disiplin ini banyak menuai kritik
dari ulama klasik, namun ia masih tetap kokoh dan eksis sampai sekarang.
Bahkan terlihat lebih kokoh dari sebelumnya.
Karenanya menarik untuk dibahas dari sisi bangunan epistemologinya.1
Melihat ilmu kalam dari sisi epistemologi, secara umum akan ditemukan tiga
persoalan pokok, yaitu (1) apa sumber-sumber ilmu kalam itu? (2) bagaimana
pengetahuan itu dapat diketahui? (3) dan apa ukurannya bahwa pengetahuan
itu disebut benar (valid)? Tiga pertanyaan ini yang akan memandu uraian dan
ulasan penulis berikut ini. Namun, sebelum membahas lebih jauh akan
penulis ulas tentang definisi ilmu kalam terlebih dahulu.

B. Definisi Ilmu Kalam

Ilmu kalam bisa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, ilmu akidah, atau fiqh al-Akbar. Disebut ilmu
ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama semisal iman
kepada Allah swt, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, iman kepada wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, iman kepada hari kebangkitan dll.
Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah. Dinamakan

1
Epistemologi adalah suatu cabangn filsafat yang bersangkut paut dengan teori
pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunanu, yang terdiri dari dua kata,
yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). lihat, Jan
Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 37
ilmu akidah karena ia banyak membahas tentang ilmu-ilmu akidah agama
Islam atau membahas hukum-hukum akidah yang berkaitan dengan iman.2
Fiqh al-Akbar sendiri adalah istilah khusus yang dikemukakan oleh
Imam Abu Hanifah, menurutnya hukum Islam yang dikenal dengan istilah
fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama fiqh al-akbar yang membahas
keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar,
membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-
pokok agama melainkan cabang (furu’) saja.3
Banyak kalangan orientalis yang menyamakan ilmu kalam dengan
istilah teologi. Seperti William L. Resse yang mendefinisikan dengan
“discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang
Tuhan). Namun, sebenarnya penyamaan ini juga tidak terlalu tepat.
Alasannya karena istilah teologi berarti hanya diskursus mengenai Tuhan
saja. Sesuai dengan asal katanya, ia berasal dari bahasa Yunani kuno ‘theos’
(dewa, Tuhan) dan ‘logos’ (wacana, perbincangan). Sedangkan dalam
literature Islam, ilmu kalam tidak sesederhana sebagaimana definisi
orientalis. Ia mencakup prinsip-prinsip keimanan dan pokok-pokok ajaran
agama berdasarkan dalil-dalil naqli (wahyu) maupun ‘aqli (rasio logika).4
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang iman yang diperkuat dengan dalil-
dalil rasional.5 Sementara menurut al-Iji ilmu kalam adalah ilmu yang mampu
mengukuhkan akidah Islam dengan memaparkan argumentasi-argumentasi
dan menyanggah atas beberapa kekeliruan dan keraguan. Dan menurut al-
Farabi, ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah
beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan

,‫ تاريخ المذاھب اإلسالمية وقضاياه الكالمية‬:‫ علم الكالم‬,‫ أمل فتح  زركشي‬2
٢ .‫ ص‬,(٢٠٠٦ ,‫ جامعة دار السالم‬:‫)فونوروكو‬
3
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt), hal. 13
4
Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia,
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember 2005, hal. 11-12
‫ مكتبة‬:‫ )القاھرة‬،‫ مدخل ودرسة‬:‫ الفرق الكالمية اإلسالمية‬،‫ على عبد الفتاح المغربى‬5
 .‫ ص‬،(١٩٩۵ ,‫وھبة‬
masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan ajaran Islam,
dan tujuan akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.6
Ilmu kalam baru menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah
tokoh-tokoh Mu’tazilah mempelajari buku-buku filsafat yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya disinergikan dengan
nalar keislaman. Momen ini terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun (w. 218
H.). 7 Tahap penamaan Kalam sebagai ilmu dapat juga dirujuk dari fakta
sejarah ketika Ibnu Sa’ad (288 H./845 M.) menggunakan istilah mutakallimun
untuk mereka yang terlibat dalam diskusi pelaku dosa besar yang diangkat
oleh kaum Murjiah. Namun, istilah kalam yang merujuk kepada disiplin ilmu
pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke-4 Hijriyah, di dalam karya
Ibnu Nadim, Kitab Fihrits. 8 Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri,
ilmu kalam masih dalam rumpun kajian fiqih. Imam Abu Hanifah
menamainya dengan fiqh al-Akbar.

C. Sumber Pengetahuan Ilmu Kalam

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu (al-


Qur’an dan Hadits) sebagai sumber pokok, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung artinya memahami wahyu sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran;
secara tidak langsung berarti memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran dengan merujuk kepada ayat-ayat yang
lain.9 Untuk kasus pertama sering diistilahkan dengan muhkam sedang yang
kedua dinamakan dengan mutasyabih. Contoh untuk yang muhkam adalah
ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.

،(١٩٩١ ،‫ مكتبة وھبة‬:‫ )القاھرة‬،‫ المدخل إلى دراسة علم الكالم‬،‫ حسن محمود الشافعي‬6
١٨-١٧ .‫ص‬
7
Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi Mengais
Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2008), hal. 164
8
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam
ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No. 5/April-Juni 2005, hal. 20
9
A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 233
Sementara untuk yang mutasyabih contohnya adalah ayat-ayat tentang Asma’
Allah dan sifat-sifatnya. 10 Kenyataan adanya ayat muhkam dan mutasyabih
ini memberikan pengertian bahwa meski al-Qur’an sebagai sumber utama,
tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.11
Secara hirarkis, al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama dari semua
argumentasi dan dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran
risalah Nabi Muhammad saw dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya
suatu ajaran. Sedangkan Hadits menempati urutan kedua. Namun tidak semua
Hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah.12 Semua aliran kalam
sepakat untuk mengamalkan Hadits mutawatir.13 Namun, mereka berselisih
pendapat dalam mengamalkan Hadits ahad. 14 Alasan yang menolak Hadits
ahad sebagai rujukan akidah, sebab akidah adalah berkenaan dengan
keyakinan; dan apa yang berhubungan dengan keyakinan haruslah dalil yang
bersetatus qath’i. Jadi menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan
akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir.15
Mereka itu adalah ulama dari kalangan Mu’tazilah.16
Sementara ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membedakan antara
masalah akidah dengan masalah lainnya. Setiap Hadits shahih yang datang
dari Nabi saw mereka terima dan pakai, serta mereka mengharamkan untuk
menyalahinya. Menurut Imam Ibnul Qayyim, walaupun Hadits ahad tidak

10
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir AS,
(Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009), hal. 306
11
A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam Buku
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal. 234
12
Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?: Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya: Khalista, 2009), hal. 183-184
13
Hadits mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
sehingga tidak mungkin seluruhnya sepakat untuk berdusta. Sedangkan Hadits ahad adalah
Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya tidak mencapai derajat
mutawatir. Lihat Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits,
(Jakarta: Hikmah, 2009), hal. 35
14
Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i
Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam
Syafi’i, tt), hal. 140
15
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 95
16
Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan
Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 103
menunjukan kepada ilmu yakin, namun ia menunjukan kepada zhann ghalib
(dugaan kuat) sehingga boleh bagi kita untuk menetapkan asma dan sifat-sifat
Allah dengannya.17
Seluruh aliran kalam, baik yang mempunyai corak rasional dan semi
liberal maupun yang bercorak hadisi (tradisional) menggunakan akal sebagai
sarana menyelesaikan persoalan kalam.18 Selanjutnya perbedaan yang muncul
adalah sejauh manakah posisi akal diperhatikan sebagai sumber pengetahuan
untuk merumuskan akidah Islam. 19 Perbedaan ini, pada akhirnya memberi
corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu semakin kokoh dalam
bentuk aliran-aliran kalam. Mazhab kalam yang mengedepankan akal atau
rasional dalam menjelaskan berbagai persoalan akidah Islam banyak
menggunakan pendekatan filsafat meski tidak serta merta mengabaikan
wahyu. Menurutnya akal memiliki kedudukan tinggi bagi manusia. Karena
tingginya kedudukan akal itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu
mengenal Tuhan, mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, memilih perbuatan
baik dan buruk, dan mengakui wajibnya berbuat baik dan menjauhi yang
jahat.20 Kelompok ini diwakili oleh ulama Mu’tazilah.
Di lain pihak, terdapat golongan yang menentang kaum rasionalis
Mu’tazilah. Kelompok ini ada yang menamainya dengan ulama tradisionalis
atau ulama salaf shalih. Menurut mereka akal hanya mampu mengenal bukti
keberadaan Tuhan. Adapun kewajiban mengenal Tuhan, memilah baik dan
buruk, dan mengetahui wajibnya berbuat baik dan menjauhi larangan hanya
dapat diketahui berdasarkan wahyu. 21 Terkait dengan persoalan akidah,
mereka (khususnya kelompok Asy’ari dan salaf) lebih mengutamakan teks al-

17
Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i
Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, (Tangerang: Pustaka Imam
Syafi’i, tt), hal. 141
18
Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
(Jakarta: Erlangga, tt), hal. 12
19
A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah Alternatif
Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif
terhada Hedonisme dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai), hal. 59
20
Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 3-4
21
Afrizal M., Ulama…, hal. 5
Qur’an dan Sunnah (naql) daripada akal (‘aql). Maksudnya akal harus tunduk
kepada ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka menyebut
dirinya sebagai kelmpok ahlusunnah wal jama’ah.22
Abu Manshur al-Maturidi, yang juga termasuk pembela ahlu sunnah,
nampaknya menangkap kekurangan Imam Asy’ari dan Imam Ahmad bin
Hanbal yang terlalu tekstual. Imam al-Maturidi lebih mengacu pada
pendekatan yang moderat antara penafsiran rasional model Mu’tazilah dan
penafsiran harfiah model salaf (Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah)
dan Imam Asy’ari. Bagaimanapun juga, sambil tetap berpegang teguh dengan
wahyu, menurut Imam Maturidi, dengan anugrah akal yang khas itu, manusia
mampu menangkap mana yang baik dan mana yang buruk.23
Dari paparan di atas mengenai posisi akal, dapat dipahami bahwa Imam
al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah dalam hal baik dan buruk dapat
ditemukan oleh akal berdasarkan implikasi bahaya atau manfaat yang
ditimbulkan. Dan di sisi lain terjadi silang pendapat dalam menetapkan akal
sebagai sumber pengetahuan, serta ketidakharusan bagi syariat bersesuaian
dengan penilaian akal. Di lain pihak, Imam Maturidi sepakat dengan Imam
Asy’ari tentang sumber penngetahuan al-Qur’an dan Hadits. Dan
bertentangan perihal ketentuan baik dan buruk dengan Imam Asy’ari.

D. Hakikat Ilmu dan Metodologi Pencapaian Ilmu

Sebagaimana yang dilaporkan oleh Saiful Anwar dalam sebuah


desertasinya, terdapat perbedaan persepsi di kalangan ulama ahli kalam
mengenai definisi ilmu. Menurut Qadli ‘Abd al-Jabbar (325-415 H.), ulama
Mu’tazilah, ilmu adalah “Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan
dada, dan ketentraman hati.” Menurut defines Badzawi (427-493 H.), ulama
kalangan Maturidiyah: “Ilmu adalah menangkap objek ilmu sesuai
kenyataannya.” Sedang menurut Juwaini (419-478 H.) dan Baqilani (338-403

22
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih bahasa:
Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009), hal. 19
23
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006), hal. 324
H.) keduanya dari kalangan ulama Asy’ariyah: “Ilmu adalah mengetahi objek
ilmu sesuai realitasnya.” Lebih lengkapnya seperti yang didefiniskan oleh
Imam al-Ghazali (Ulama dari kalangan Asy’ariyah): “Maka ilmu adalah
rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan
kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada
akal.”24
Meski terdapat perbedaan persepsi mengenai ilmu, tapi pada dasarnya
semua ilmu itu datangnya dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa melalui sarana-
sarana yang dianugrahkan oleh-Nya. Maka definisi yang tepat untuk hakikat
ilmu dengan Allah sebagai sumbernya, ialah tibanya (husul) makna (ma’na)
sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan memandang jiwa
sebagai penafsir, maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa) kepada makna
sesuatu hal atau objek ilmu.25
Secara prinsipil, pembagian ilmu menurut para mutakalimin tidak
berbeda satu sama lain. Sebagian besar, mereka membagi ilmu pengetahuan
menjadi dua yakin ilmu Allah yang qadim dan ilmu manusia yang hadits
(baharu). Dan ilmu hadits (baharu) ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yang
bersifat dharuri dan ilmu yang bersifat nadzari (penalaran). Hanya
Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya ilmu Allah yang qadim, sesuai
dengan prinsip mereka yang tidak mengakui adanya sifat bagi Allah.26
Ilmu dharuri adalah ilmu yang cara perolehannya tidak perlu untuk
dipikirkan secara mendalam seperti satu itu adalah setengah dari dua.
Sedangkan ilmu nadzari adalah jenis ilmu yang cara perolehannya
memerlukan pikiran dan penalaran yang sungguh-sungguh seperti air itu
terdiri dari dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen.27

24
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 90 dan 103
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future, (New York: 950 University Avenue, 1985), hal. 177
26
Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
(Jakarta: Erlangga, tt), hal. 47
27
Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan
Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008), hal. 132
Perbedaan posisi akal sebagai sumber ilmu merupakan faktor kesulitasn
tersendiri untuk mengungkap metode pencapaian ilmu. Bagi pendukung akal
(Mu’tazilah), mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini
mereka pergunakan untuk menghukumi berbagai hal dan berjalan begitu jauh.
Mereka berpendapat bahwa alam alam punya hukum kokoh yang tunduk
kepada akal. Mereka tidak mengingkari naql (teks al-Qur’an dan Hadits),
tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal (taqdim
al-‘aql ‘ala naql). Untuk itu mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat,
menolak Hadits-hadits yang tidak diakui oleh akal. Secara umum, mereka
menghindari Hadits ahad.28
Berbeda dengan rivalnya, Mazhab Asy’ariyah bertumpu pada al-Qur’an
dan Hadits. Mereka amat teguh memegangi al-Ma’tsur. Di dalam kitab al-
Ibanah sebagaimana yang dikutip oleh Ibrahim Madkour, al-Asy’ari berkata:
“Pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi
adalah sikap berpegang teguh kepada Kitab Allah, Sunnah Nabi SAW
dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan Imam-imam
Hadits. Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat
Ahmad bin Hanbal, mengangkat drajatnya dan meneguhkan
kedudukannya. Sebaliknya kami menjauhi orang-orang yang menyalahi
pendapatnya.”29
Kaum Asy’ariyah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional. Pada prinsipnya, mereka tidak memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, sehingga mereka
tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql. Bahkan sebaliknya
mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal
mereka anggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling
membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana
mata yang sehat. Akal digunakan untuk meneguhkan naql dan membela
agama.30 Demikian juga ulama kalangan Maturidiyah.

28
Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 48
29
Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 66
30
Ibrahim Madkour, Alilran…, hal. 67-68
Meskipun mereka berbeda pendapat dalam memposisikan akal, namun
sebagian besar dari ulama tradisional juga menggunakan logika atau mantiq
sebagaimana ulama Mu’tazilah, yang menurut perkembangannya merupakan
adopsi dari filsafat Yunani, khususnya logika Aristoteles.31 Bedanya, dalam
mengeksploralis ilmu logika Mu’tazilah lebih berani menundukkan naql di
atas akal. Karenanya mereka banyak melakukan pendekatan ta’wil atau
interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sebaliknya, kalangan
Asy’ariyah, maturidiyah atau Hanabilah lebih banyak menggunakan logika
yang berpegang pada makna teks atau rasional-deduktif.
Perbedaan di atas, seperti yang dilaporkan oleh Abid al-Jabiri dan yang
dikutip oleh Mohammad Muslih adalah persoalan makna dan lafadz. Para ahli
pikir Mu’tazilah sepakat bahwa makna itu berdasar konteks. Sedangkan
kalangan Asy’ariyah berpendapat bahwa makna lafadz itu berdasarkan
tauqifi. Pandangan Asy’ariyah ini kemudian berkonsekuensi, bahwa makna
yang dimaksud dari teks itu perlu dijaga. Dari sinilah kemudian lahirlah ilmu
bahasa, khususnya nahwu yang menjaga dari kemungkinan terjadinya
penyimpangan makna. Adanya kenyataan bahwa syariah diturunkan dalam
Bahasa Arab, persoalan berikutnya adalah apakah makna ditentukan oleh
kebudayaan Arab atau menggunakan pendekatan lain. Dalam kasus ini
terdapat dua pendapat, pertama, karena al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa
Arab maka makna lafadz ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab;
kedua, membolehkan memaknai lafadz dengan ta’wil sebagaimana dipegangi
oleh Mu’tazilah.32
Penggunaan logika Yunani atau mantiq yang sudah disinergikan dengan
nalar keislaman tidaklah berjalan mulus tanpa kecaman. Imam asy-Syafi’i,
peletak dasar mazhab Syafi’i, dikenal sebagai penentang logika Aristoteles

31
Perumusan logika aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan
secara epistemology bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai
pengetahuan tentang kenyataan semesta baik sepenuhnya atau tidak, serta mengungkap
sebuah kebenaran. Lihat Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah
tidak diterbitkan, hal. 13
32
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 187-188
ini. Kritik Imam asy-Syafi’i sebagaimana yang sering dikutip oleh para
pengikutnya adalah ungkapan kebodohan dan diskusi kontroversial di antara
mereka hanyalah disebabkan oleh karena mereka tidak mendalami Bahasa
Arab dan karena kecenderungan mereka untuk memperlajari Bahasa
Aristoteles. Imam asy-Syafi’i juga berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh
menafsirkan teks-teks berbahasa Arab menurut bahasa orang-orang Yunani
dan menurut logika Aristoteles yang memiliki sistem bahasa dan logika yang
berbeda dengan sistem Bahasa Arab.33
Suhrawardi (549-587 H.) 34 juga tercatat sebagai penentang logika
Paripatetik atau Aristoteles. Bagi Suhrawardi problem yang mendasar di
dalam logika Paripatetik adalah soal “validitas pengetahuan”, di mana
pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika Paripatetik ini. Ciri
paling menonjol dari model pengetahuan ini adalah kebenaran silogisme,
proposisi, konsep, dan problem definisi. Makanya pengetahuan itu dapat
dicari meski terkait “objek yang tidak dapat dicerap.” Bagi Suhrawardi,
model pengetahuan rasionalitas seperti itu banyak terjadi kelemahan.35

E. Validitas Pengetahuan dalam Studi Ilmu Kalam

Secara umum, dalam persoalan filsafat ilmu dikenal tiga teori klasik
tentang kebenaran. Pertama, teori kebenaran korespondensi, maksudnya
ialah kesesuaian atau kesepadanan antara pernyataan (ide) dengan kenyataan
(realitas). Teori ini menekankan bahwa kebenaran ialah saling kesesuaian
antara ide atau kepercayaan dengan realitas atau fakta, yakni dengan
membandingkan atau menyamakan dengan realitas. Teori ini bersifat empiris,
karena suatu ide dianggap benar jika ia cocok dengan realitas, bukan realitas

33
Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah
Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3 (September-Desember) 2007, hal.
319-320
34
Nama lengkapnya adalah Syihab ad-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, lahir di
Suhraward, Mediterania Kuno, Iran Barat Laut. Lihat Mohammad Muslih, Pengetahuan
Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi, (Ponorogo: CIOS, 2010), hal. 12
35
Ibid., hal. 19
yang harus sesuai dengan ide.36 Teori ini juga telah lama diperkenalkan oleh
Ibnu Sina, menurutnya, suatu perkataan dianggap benar jika perkataan dan
keyakinan itu sesuai dengan kenyataannya.37
Kedua, teori kebenaran koherensi. Pengetahuan yang memiliki
kebenaran koherensi adalah pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti
hukum-hukum logika, karenanya tidak terjadi tumpang tindih dan
inkonsistensi. Pengetahuan ini tidak terdapat pertentangan dalam dirinya
(contradiction in terminis), juga tidak bertentangan dengan pengetahuan
terdahulu. Pengetahuan ini menekankan pada ketepatan berpikir.38
Yang ketiga adalah teori kebenaran pragmatisme. Teori ini
dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatisme dari Amerika, seperti
Charles S. Peirce dan William James. Bagi mereka, kebenaran sama artinya
dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar
adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan sesorang -berdasarkan ide itu- melakukan sesuatu secara
paling berhasil atau tepat guna. 39 Dengan kata lain pengetahuan dianggap
benar jika bernilai praktis.40
Dari tiga macam teori klasik tentang kebenaran di atas, Ilmu Kalam
sering menggunakan teori kebenaran koherensi. Sebagian besar ulama ahli
kalam berpendapat bahwa akidah dan hukum akal harus meyakinkan dan
bersifat qath’i. Bagi kalangan rasionalis, dalam hukum akal tidak boleh ada
perberbedaan pendapat, nafi dan istbat, dengan kontradiksinya sekiranya
dipertentangkan dengan yang lainnya melalui dalil yang berbeda pada saat
ditetapkan. Jika tidak dilakukan demikian maka akan terjadi keseimbangan
antara kebenaran dan kesalahan, yang benar dan yang salah sama. Sementara

36
Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-Konsep
Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing Corporation SDN BHD, 2005), hal. 66
٤٨ .‫ ص‬،(١٩٦٠ ،‫ دون طبع‬:‫ )القاھرة‬،‫ في اإللھيات‬:‫ الشفاء‬،‫ إبن سينا‬37
38
Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity
Press, 2008), hal. 9
39
A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 71
40
Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity
Press, 2008), hal. 10
masalah yang diperselisihkan tidak mungkin mengandung kebenaran dan
kesalahan secara bersamaan. 41 Seperti ucapan seseorang, “Ahmad ada di
dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kemudian ada orang lagi yang berkata,
“Ahmad tidak ada di dalam rumah pada jam tujuh pagi.” Kedua pernyataan
tersebut tidak mungkin benar semua.
Kebenaran koherensi ini mengharuskan adanya konsistensi berpikir
logik. Teori koherensi ini menjadi alur yang cukup kuat dalam sistem berpikir
kaum Mu’tazilah. Seperti ‘Abd al-Jabar dengan penekanannya pada
konsistensi antara premis mayor (mujmal), premis minor (mufashshal), dan
konklusi (ta’amul). Ia memiliki system berpikir logika yang sangat ketat.
Contohnya: (a) Berbuat dzalim adalah jahat (premis mayor); (b) Perbuatan ini
adalah dzalim (premis minor); (c) Jadi perbuatan ini adalah jahat (konklusi).42
Menurut teori ini kebenaran suatu proposisi hanya dapat diterima jika
sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.
Sebagai contoh, problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah
berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan.
Mereka memandang bahwa keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang
dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan,
atau ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Keadilan Allah
menuntut bahwa manusia harus bebas berkehendak. Karena tanpa adanya
kebebasan ini, kenabian dan risalahnya tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi
syari’ah atau taklif bahkan untuk apa pengutusan para Rasul kepada orang
yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan
43
dakwah mereka. Dan lain lagi dengan kalangan Asy’ariyah yang
menekankan kekuasaan mutlak Tuhan.

41
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah
Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal. 183
42
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal.
70
43
Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi
Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 161-162
Jika demikian kebenaran hanya milik mujtahid.44 Karenanya, menurut
Abu al-Hasan al-Anbari sebagaimana yang dikutip oleh asy-Syahrastani,
beliau menyatakan setiap mujtahid yang meneliti masalah akidah
memperoleh pahala karena ia telah mengarahkan daya pikirnya terhadap apa
yang ditelitinya, sekalipun hasil penelitiannya itu masih mengandung
kemungkinan benar atau salah. Dari sisi ijtihad mereka memperoleh pahala
dan semua ini berlaku untuk kalangan umat Islam.45
Karena kebenaran diasumsikan milik mujtahid, maka para ulama
memberikan syarat-syarat yang ketat bagi seorang mujtahid. Disebutkan oleh
Syahrastani, seorang ulama Asy’ariyah, syarat-syarat seorang mujtahid ada
lima perkara: Pertama, mujtahid adalah orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan cukup dalam bidang Bahasa Arab yang memungkinkannya
dapat memahami nash secara baik. Kedua, seorang mujtahid harus memiliki
pengetahuan tentang al-Qur’an dan tafsirnya. Ketiga, memiliki pengetahuan
tentang Sunnah, baik dari isi ataupun sanadnya, pengetahuan tentang keadaan
para perawinya, baik dari sisi sikap adil dapat dipercaya, kritik dan
penolakannya. Keempat, pengetahuannya tentang ijmak sahabat, tabi’in dan
tabi’i tabi’in agar jangan sampai terjadi pertentangan antara ijtihadnya dengan
ijtihad orang terdahulu. Dan yang terakhir adalah memiliki pengetahuan
tentang qiyas.46

F. Kritik terhadap Epistemologi Ilmu Kalam

Dewasa ini, banyak terjadi kegelisahan akademik yang menimpa para


pemikir muslim kontemporer, khususnya berkaitan dengan studi ilmu kalam
berikut metodologinya. Kritik mereka sangat mendasar, langsung kepada
epistemologi studi ilmu kalam. Mereka beranggapan bahwa bangunan

44
Menurut Ali Syari’ati mujtahid adalah seorang yang ‘tercerahkan’ dan ‘peneliti
bebas’ yang mencari jawaban-jawaban baru berdasarkan ‘semangat dan orientasi agama,
logika ilmiah dan empat sumber syariat yakni al-Qur’an, Hadits, ijmak (kesepakatan) dan
akal. Lihat Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta:
Erlangga, 2002), hal. 465
45
Asy-Syahrastani, Al-Milal…, hal. 184
46
Ibid., 181-182
keilmuan kalam tidak cukup kokoh untuk menyediakan seperangkat teori dan
metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang
baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut
agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.47

Sebagaimana yang dikutip oleh Amin Abdullah, berdasarkan


pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak
berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi
keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah
dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam
batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat
dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos
kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.48

Untuk keperluan itu, dalam sebuah artikelnya, Amin Abdullah


mengemukakan beberapa pertanyaan yang mendasar, diantaranya:

“Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan


disiplin dan metodologi “filsafat” dan “kalam” dalam pemikiran Islam
kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal?
Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai
body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia
terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan
dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang
maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang
dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan
modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya
sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan
metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan
adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan
tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan
yang mengitarinya?” Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan
kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual
dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya,
barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama

47
Amin Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin-
suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=152, diambil pada 23 Januari
2011
48
Ibid
ini disebut-sebut sebagai “doktrin”, “dogma” atau “akidah” digagas
sebagai teori” keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan
intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha,
mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan
mensistematisasikannya?”
Mereka mengkritik betapa studi ilmu kalam itu sangat melangit dan
tidak membumi, dalam artian menurut bahasa Hasan Hanafi, Ilmu Kalam
adalah milik kaum elit intelektual yang tidak banyak bermanfaat untuk
kalangan bawah. Pandangan demikian sekaligus mencerminkan paradigma
yang ada dalam benak mereka, yaitu paradigma materialistis sebagaimana
telah diperkenalkan oleh kaum Marxis. Dan dapat ditebak, mereka
menghendaki untuk beralih kepada teori kebenaran pragmatisme yang
diimpor dari Amerika, sebagai ganti dari teori kebenaran koherensi. Meski
demikian, sebagai pemeharti keilmuwan, kajian kritis mereka terhadap
metodologi ilmu kalam perlu diapresiasi dan dipertimbangkan sekaligus
dianalisa secara mendalam untuk kemashlahatan Islam di dunia dan akherat,
bukan di dunia semata.

G. Penutup

Membaca Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang


menjadikan seseorang akan lebih arif dalam melihat perbedaan. Terlepas dari
keabsahan epistemologi masing-masing aliran ilmu kalam, penulis
beranggapan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan akidah
merupakan suatu keniscaayaan. Dari perbedaan epistemologi di atas,
nampaknya kalangan ulama ahlusunnah wal jama’ah (salafi, asy’ariyah dan
maturidiyah) yang masih kuat berpegang kepada wasiat Nabi saw untuk
senantiasa berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan
berpikir dan beramal. Lain halnya dengan Mu’tazilah, meski mereka terlalu
ekstrim dalam menggunakan akal, namun mereka banyak menolong agama
Islam dari serangan-serangan pemikiran agama lain dan kaum atheis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahasa Indonesia

A. Khudori Soleh, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, dalam


Buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003)

A. Qadri Abdillah Azizy, Dimensi Praktis Ilmu Ushuluddin: Sebuah


Alternatif Pengembangan Ilmu Ushuluddin, dalam Buku
Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipasif terhada Hedonisme
dan Kehidupan Modern, (Tiga Serangkai)

A. Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan


Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)

Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-


Konsep Asas Filsafah, (Kuala Lumpur: Sanon Printing
Corporation SDN BHD, 2005)

Afrizal M., Ulama dan Cendekiawan Muslim Ibnu Rusyd: Tujuh


Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga,
2006)

Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme


Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Erlangga, 2006)

Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner,


(Jakarta: Erlangga, 2002)

Amin Abdullah, Kajian Ilmu Kalam di UIN, lihat http://uin-


suka.info/fdak/index.php?option=com_content&task=view&id=1
52,

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam


Sejarah Umat Manusia, alih bahasa: Asywadie Syukur,
(Surabaya: Bina Ilmu, 2003)

Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam


ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II No.
5/April-Juni 2005
Ibrahim Madkour, Alilran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian
Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)

Jim dan Zam, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Mantiq, makalah tidak
diterbitkan

Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits,


(Jakarta: Hikmah, 2009)

Kamarul Shukri Mohd The, Pengantar Ilmu Tauhid, (Kuala Lumpur: Utusan
Publication dan Distributors Sdn Bhd, 2008)

M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan


Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, alih bahasa: Mudzakir


AS, (Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009)

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigam


dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar,
2008)

--------------, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam Unniversity


Press, 2008)

--------------, Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi,


(Ponorogo: CIOS, 2010)

Mufti Ali, Aristotelianisme dalam Kacamata Para Tokoh Abad Tengah


Penentang Logika, dalam jurnal Al-Qalam, vol. 24 NO. 3
(September-Desember) 2007

Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah


Wal-Jama’ah? : Jawaban terhadap Aliran Salafi, (Surabaya:
Khalista, 2009)

Muhammda bin A. W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i


Rahimahullah, alib bahasa: Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri,
(Tangerang: Pustaka Imam Syafi’i)

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, alih


bahasa: Agus Efendi, (Jakarta: Mizan, 2009)
Omar Bakri Muhammad, Ahlus-sunnah wal Jama’ah: Keimanan, Sifat, dan
Kualitasnya, alih bahasa: Ummu Fauzi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005)

Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, tt)

Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,


(Bandung: Pustaka Setia, 2007)

Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam: Sketsa Awal, dalam Islamia,
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. 3, Desember
2005

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of


the Future, (New York: 950 University Avenue, 1985)

Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: Refleksi


Mengais Keheningan Tauhid, (Lirboyo: Tamatan Aliyah
Lirboyo Angkatan 2005, 2008)

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,


(Jakarta: Erlangga, tt)

Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS,


2003)

2. Bahasa Arab

،‫ مدخل ودرسة‬:‫ الفرق الكالمية اإلسالمية‬،‫على عبد الفتاح المغربى‬


(١٩٩۵ ,‫ مكتبة وھبة‬:‫)القاھرة‬

‫ تاريخ المذاھب اإلسالمية وقضاياه‬:‫ علم الكالم‬,‫أمل فتح  زركشي‬


(٢٠٠٦ ,‫ جامعة دار السالم‬:‫ )فونوروكو‬,‫الكالمية‬

‫ مكتبة‬:‫ )القاھرة‬،‫ المدخل إلى دراسة علم الكالم‬،‫حسن محمود الشافعي‬


(١٩٩١،‫وھبة‬

(١٩٦٠ ،‫ دون طبع‬:‫ )القاھرة‬،‫ في اإللھيات‬:‫ الشفاء‬،‫إبن سينا‬

You might also like