You are on page 1of 5

OPINI

WASPADA

APA KABAR SERTIFIKASI GURU?


Oleh Gelora Mulia Lubis, S.Pd., M.Si

Apa kabar sertifikasi guru? Tidak terasa, program ini sudah empat tahun
bergulir. Sejak ditetapkannya Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen, program ini begitu gencar bahkan menggegerkan dunia pendidikan khususnya
guru. Heboh memang, seheboh musim penerimaan CPNS. Para guru seperti kebakaran
jenggot dipusingkan dengan program peningkatan mutu dan kesejahteraan ini. Sibuk
mempersiapkan berkas portofolio dengan mengoleksi surat-surat pengalaman mengajar,
memburu sertifikat dengan harapan tercapainya skor maksimal penilaian. Meskipun
ujung-ujungnya mengikuti pendidikan latihan profesi guru (PLPG) yang memakan waktu
kurang lebih sepuluh hari. Tapi, ya jadi-lah. Ujung-ujungnya lulus – dinyatakan telah
profesional dan terima tunjangan profesi dalam bentuk rapelan.
Masih lekat di ingatan kita, begitu ambisinya para guru menginginkan dipanggil
sertifikasi. Uniknya di awal-awal pemberlakuan program ini, acara-acara seminar bagai
jamur di musim hujan digelar di mana-mana. Segmen pasarnya sudah jelas, guru-guru
sudah pasti memburu sertifikatnya. Tidak peduli jauhnya jarak tempat seminar digelar,
bila perlu rela mengeluarkan biaya ekstra menginap di hotel. Seiring dengan ambisi guru
yang berapi-api ingin cepat dipanggil sertifikasi, tidak tertutup pula peluang terjadi “main
mata” antara oknum panitia dan guru berbuat kolusi dan nepotisme. Hal ini terindikasi
tidak sedikitnya guru yang dipanggil sertifikasi tidak berdasarkan lamanya pengabdian
lagi dan kuota.

Motivasi
Sekadar mengingatkan bahwa tujuan pelaksanaan sertifikasi guru merupakan
implementasi Undang Undang Guru dan Dosen adalah peningkatan mutu guru. Namun
dari beberapa penelitian yang dilakukan, sertifikasi guru belum secara signifikan
membangkitkan profesionalitas guru itu sendiri. Konsekuensi program sertifikasi berupa
award tunjangan profesi sebulan gaji pokok PNS yang dibayarkan setiap bulan belum
menjadi variabel stimulan yang mendorong peningkatan kinerja.
Sebagaimana melansir pernyataan rektor Universitas Negeri Medan (Unimed)
dalam Seminar Nasional bertema “Kinerja Guru Profesional” yang digelar LP2AI
Unimed (6/11) bahwa saat ini guru harus mampu mengubah paradigm bahwa guru adalah
profesi. Mengajar tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan, tetapi mengajar adalah ibadah.
Jika profesi mengajar dijalankan sebagai bentuk ibadah maka akan lebih hati-hati
mejalankan profesinya.Ketika sertifikasi diluncurkan mestinya mengubah guru menjadi
professional (Waspada, 9/11/10).
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta mengenai dampak sertifikasi profesi guru terhadap
kinerja guru, hasilnya menunjukkan kurang memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi
justru ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos
sertifikasi, dengan harapan segera mendapat sertifikasi berikut uang tunjangan profesi.
Hal ini disebabkan bahwa guru-guru yang sudah lolos sertifikasi sudah mulai enggan
mengikuti seminar atau pelatihan untuk meningkatkan kualitas diri.
Ekspektasi pemerintah terhadap program sertifikasi guru dapat kita acungkan
jempol. Hal ini mengingat betapa urgensinya pendongkrakan kualitas pendidikan secara
nasional melalui sisi tenaga pendidiknya.
Pola pikir (mindset) para guru seringkali tidak sejalan dengan roh yang
disampaikan dalam Undang Undang Guru dan Dosen. Pemberian tunjangan profesi
sesungguhnya dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi atau profesionalitas guru.
Namun pada kenyataannya tidak sedikit guru yang memandang dari sudut pandang yang
keliru bahwa tunjangan profesi itu merupakan hak guru dan kewajiban pemerintah.
Sebagaimana menyetir pendapat Giri Suryatmana, sekjend Peningkatan Mutu
Tenaga Pendidik dan Kependidikan (PMPTK), bahwa ia mengkawatirkan duit triliunan
rupiah yang dikucurkan pada guru dalam bentuk tunjangan profesi, jika hal itu
dipersepsikan sebagai hak mereka dan kewajiban pemerintah pada para guru tanpa
dikedepankan tanggung jawab terhadap mutu, maka tidak berdampak secara signifikan
bagi peningkatan kualitas pendidikan. Ibarat kita mau membangun mesin berkekuatan
6000 cc tetapi kalau tidak ada sistem transmisi penggerak tenaga, maka jadinya hanya
meraung-raung saja tetapi jalan di tempat alias tetap di landasan.
Oleh karena itu di masa yang akan datang perlu diadakan sistem transmisi yang
menggerakkan tunjangan profesi sebagai pendorong peningkatan mutu. Hal ini
dimaksudkan agar jangan sampai tunjangan profesi guru sudah dikantongi tapi tidak
berimplikasi bagi peningkatan mutu. Hemat penulis dirjend PMPTK perlu terus
merancang formulasi teknis yang di dalamnya antara lain mencakup pemantauan
terhadap kinerja guru, pemberian reward dan punishment. Pemerintah mulai merisaukan
jika gelontoran tunjangan profesi tanpa disertai pemantauan terhadap kinerja guru,
termasuk pemberian reward dan punishmentnya dikawatirkan akan berdampak pada
bleeding anggaran, sementara mutunya masih dipertanyakan. Bayangkan jika sekitar 2,7
juta jiwa guru nanti semuanya sudah lulus sertifikasi profesi pada tahun 2015, maka
setahun menelan anggaran sekitar 93 triliun rupiah di luar gaji, jika anggaran pendidikan
pada tahun 2015 sekitar 250 triliun, maka yang hampir 100 triliun saja untuk tunjangan
profesi guru (Guru, 2010).
Idealnya setiap periode tertentu, misalnya lima tahun sekali diadakan uji
kompetensi terhadap guru yang sudah lulus sertifikasi sehingga menjadi tantangan untuk
tetap berbuat lebih profesional. Uji kompetensi bisa dijadikan check lock atau portal
untuk mengontrol mutu guru. Jika ternyata tidak baik, tentu tidak boleh meneruskan.

Terjebak mindset
Fenomena yang kental di kalangan guru yang berstatus telah lulus sertifikasi dan
konon dinobatkan sudah profesional justru menimbulkan sebuah ironi. Mereka masih
belum sungguh-sungguh menjalankan tuntutan sebuah profesionalitas dalam menjalankan
peran. Bahkan belum terlihat secara signifikan perubahan bila kita bandingkan antara
sebelum disertifikasi dan setelah disertifikasi. Hal ini bisa kita ambil model dari guru-
guru yang telah memperoleh manfaat kesejahteraan berupa rapelan tunjangan profesi.
Mendapat pendidikan dan latihan profesi guru dengan pola karantina dan asupan
tunjangan profesi bulanan senilai besaran gaji pokok PNS semestinya menjadi variabel
motivasi untuk memperbaiki kualitas mengajar. Guru semakin memacu diri melakukan
perubahan perbaikan seperti konsisten meng-update kemampuan pedagogik, metode dan
media pembelajaran, menampilkan semangat dan kualitas kerja yang cukup tinggi,
disiplin mengajar, tidak menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan nyambi yang
mengurangi fokus perhatian terhadap tugas misalnya berjualan, atau mengurangi
kesibukan atas banyaknya jam mengajar, mata pelajaran dan jumlah sekolah.
Fenomena yang terlihat mindset mengikuti program sertifikasi semata-mata
mengejar tunjangan profesi, sehingga kerap muncul stetmen yang keliru; guru tidak perlu
repot-repot mengejar sertifikasi, toh pada waktunya akan dipanggil, ikuti petunjuk
panitia melengkapi portofolio, jika tidak lulus portofolio pastilah mengikuti PLPG,
menjadi peserta yang budiman selama mengikuti diklat pastilah lulus dan mendapat
sertifikat sebagai guru profesional. Habis cerita, dapat tunjangan profesi... Ujung-
ujungnya duit juga yang diburu...
Jika hal tersebut menjadi domain pola pikir, wajar saja mereka yang sudah
bergelar tinggi profesional masih ’ompong’ berbuat profesional. Kebiasaan jelek seperti
kurang disiplin, menyuruh siswa mencatat materi di papan tulis, sang guru masih sibuk
nyambi berjualan, atau menjadi guru serabutan dengan total jumlah jam mengajar di atas
70 per minggu dengan mata pelajaran ’gado-gado’ dan mengoleksi sekolah tempat
mengajar, dapat dipastikan tujuan sertifikasi guru masih ’mandul’.

Penutup
Untuk mengatasi fenomena di atas, pemerintah memang perlu terus mengkaji dan
mengevaluasi mekanisme serta pola sertifikasi guru. Penilaian guru sebagai guru
profesional tidak semata-mata berdasarkan pada lulus portofolio dan menjadi peserta
budiman mengikuti ceramah selama PLPG, tetapi lebih jauh guru-guru terus dievaluasi
kinerjanya, dibina secara berkelanjutan (continuously professional development) serta
diberikan motivasi pemberdayaan (empowerment). Selain itu, jika memang sasaran
akhirnya adalah meningkatkan kualitas mengajar guru, pemanggilan sertifikasi
diharapkan tidaklah semata-mata dilihat dari masa pengabdian mendekati pensiun, sebab
usia mendekati pensiun secara umum menampilkan kinerja yang semakin menurun. Hal
tersebut bisa dilakukan bila memang orientasi tujuannya sebagai penghargaan terhadap
pengabdian guru.
Empat tahun sudah program sertifikasi berjalan. Guru-guru yang telah melewati
proses program ini pun telah mendapat kompensasi berupa tunjangan profesi. Meski
masih sebagian kecil guru yang telah disertifikasi, namun setidaknya mereka diharapkan
dapat mewarnai upaya peningkatan kinerja bagi guru-guru yang belum. Empat tahun
bukanlah waktu yang singkat untuk mengevaluasi diri sendiri. Empat tahun juga
bukanlah waktu yang singkat bagi pemerintah dalam mengevaluasi sudah tepat dan
maksimalkah program ini.
Akhirnya penulis mengimbau kepada kita yang sudah digelari guru profesional,
mari tunjukkan diferensiasi konstruktif sebagai model bagi guru-guru yang belum
disertifikasi. Sebab jika hal ini bisa diwujudkan dapat dipastikan peningkatan kualitas
pendidikan di negara ini bisa tercapai. Sayang kan begitu besar anggaran yang
digelontorkan pemerintah, namun tidak berdampak positif terhadap peningkatan kualitas
pembelajaran dan pendidikan di negeri ini....

(Penulis adalah Guru Swasta SMK Istiqlal Delitua dan Honorer SMK Negeri 1 Patumbak Kabupaten
Deliserdang, penulis buku ”Bangganya Jadi Guru” dan novel ”Sepotong Janji”)

Medan, 9 November 2010


Hal : Pengiriman Artikel OPINI
Apa Kabar Sertifikasi Guru

Yth. Bapak/Ibu
Dewan Redaksi Harian Waspada
Jln. Brigjen Katamso No. 1
Medan

Assalamu’alaikum wr.wb,
Senang sekali saya dapat kembali mengirim artikel berupa opini ke hadapan Bapak/Ibu
Dewan Redaksi. Artikel saya kali ini berjudul ”Apa Kabar Sertifikasi Guru”. Bersama
surat pengantar ini saya kirimkan print out dan softcopy dalam bentuk CD, dengan
harapan semoga Bapak/Ibu dapat memuatnya di harian Waspada kolom OPINI.

Demikian surat pengantar ini, atas perhatiannya saya haturkan terima kasih.

Wassalam,

Gelora Mulia Lubis, S.Pd., M.Si

You might also like