You are on page 1of 54

LAPORAN KERJA LAPANGAN

REKLAMASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN BAHAN


GALIAN C DI KECAMATAN TURI SLEMAN

Disusun oleh :
AKBAR AFDILLA FADLI
06/194424/PN/10661

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
KATA PENGANTAR

Kegiatan atau penambangan bahan galian C terus meningkat seiring


dengan perkembangan pembangunan di segala sektor. Dilihat dari aspek
penggunaan lahan yang merupakan fungsi sosial mewajibkan penambang harus
melakukan reklamasi terhadap lahan bekas penambangannya, sehingga setelah
kegiatan penambangan tersebut selesai, lahan yang ditinggalkan tidak menjadi
rusak sehingga dapat dimanfaaatkan untuk keperluan sektor lain.
Kegiatan penambangan seringkali berdampak pada lahan yang dibuka
untuk kegiatan penambangan tersebut. Masalah utama yang timbul pada wilayah
bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama
berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan
morfologi dan topografi lahan.Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang
disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan
fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau
gundul.
Oleh karena itu perlu dilakukan usaha reklamasi lahan untuk
mengembalikan ekosistem lahan yang telah dibuka untuk keperluan penambangan
seperti semula. Agar habitat untuk makhluk hidup yang telah rusak dapat
dikembalikan lagi demi keseimbangan ekosistem dan mengembalikan habitat
makhluk hidup yang telah dirusak untuk kegiatan penambangan khususnya bahan
galian C.

Yogyakarta, 30 November 2010


Penyusun

Akbar Afdilla Fadli

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Dasar Teori ................................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 5

BAB II KONDISI UMUM LOKASI KERJA LAPANGAN....................................................... 6


2.1. Deskripsi Badan Lingkungan Hidup ......................................................................... 6
2.2. Bagan Struktur Organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta................................................................................................................. 7
2.3. Lokasi dan kondisi umum daerah reklamasi ............................................................. 8

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN REKLAMASI ............................................................ 17


3.1 Pembuatan peta rencana reklamasi............................................................................ 17
3.2 Perijinan, sosialisasi dan mobilisasi peralatan tenaga kerja ...................................... 18
3.3 Perataan lahan............................................................................................................ 18
3.4 Pembuatan teras ......................................................................................................... 19
3.5 Penyediaan bibit......................................................................................................... 20
3.6 Penanaman bibit......................................................................................................... 21
3.7 Pemeliharaan.............................................................................................................. 24

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................................ 25


4.1. Bahan galian .............................................................................................................. 25
4.2. Pertambangan rakyat ................................................................................................. 26
4.3. Pengukuran kriteria kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian C
jenis lepas di dataran.................................................................................................. 27
4.4. Kegiatan reklamasi .................................................................................................... 37
4.5. Kriteria keberhasilan rekalamsi ................................................................................. 38
4.6. Sejara pertambangan Indonesia ................................................................................. 40
4.7. Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan......................... 41
4.8. Pelaksanaan perijinan penambangan di lapangan...................................................... 42
4.9. Hasil reklamasi lahan di desa Girikerto..................................................................... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 46


5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 46
5.2 Saran .......................................................................................................................... 46

LAMPIRA - LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Blok Diagram Reklamasi
Lampiran 2 Peta Topografi Reklamasi dan Penanaman

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Masalah yang dihadapi hampir diseluruh wilayah Indonesia akibat
meningkatnya jumlah penduduk adalah tingginya permintaan akan sumber alam.
Permintaan akan sumberdaya lahan digunakan untuk pertanian, perumahan,
pertambangan, perkebunan, industri maupun kegunaannya lainnya. Eksploitasi tanah
yang mengandung bahan tambang dan memiliki nilai ekonomi tinggi mengalami
peningkatan akhir-akhir ini.
Kegiatan atau penambangan bahan galian C terus meningkat seiring dengan
perkembangan pembangunan di segala sektor. Dilihat dari aspek penggunaan lahan
yang merupakan fungsi sosial mewajibkan penambang harus melakukan reklamasi
terhadap lahan bekas penambangannya, sehingga setelah kegiatan penambangan
tersebut selesai, lahan yang ditinggalkan tidak menjadi rusak sehingga dapat
dimanfaaatkan untuk keperluan sektor lain.
Kegiatan – kegiatan penambangan bahan galian golongan C umumnya banyak
dilakukan oleh penduduk sekitar lokasi namun ada juga yang dilakukan oleh para
investor yang sengaja setempat – setempat dan ladang berpindah – pindah (sporadis).
Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan kemudahan dalam mendapatkan bahan
galian secara cepat, mudah dan dapat menggunakan peralatan sederhana.
Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan
lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air
permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan.Lebih
jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin,
gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah
dengan akibat menjadi tandus atau gundul.
Reklamasi ialah mengembalikan fungsi lahan lebih baik, setelah endapan
bahan galiannya ditambang. Untuk memperbaiki dan memanfaatkan lingkungan yang
telah ditambang semaksimal mungkin, dapat dilakukan dengan cara menanami

1
kembali areal yang telah ditambang menjadi kawasan hijau dan menjadi lahan lain
yang lebih bermanfaat.
Kabupaten Sleman sebagai daerah tangkapan air hujan bagi pasokan air tanah
di Porpinsi DIY khususnya wilayah kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan
Kabupaten Bantul sampai saat ini luasan lahan yang mengalami kerusakan akibat
penambangan mencapai lebih kurang 200 hektar dan tersebar di berbagai lokasi.
Adapun penyebab kerusakan lahan akibat penambangan tersebut adalah keterbatasan
pengetahuan para penambang tentang teknik penambangan yang baik, pengetahuan
yang kurang tentang fungsi lingkungan serta keterbatasan peralatan penambangan
yang dimiliki.Lokasi bekas penambangan yang telah mengalami kerusakan terutama
terjadi di Dusun Tegalpanggung, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman.

1.2. Dasar teori


Tambang atau bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang
dikategorikan sebagai bahan galian non strategis (tidak vital). Bahan galian golongan
C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Daerah bahan galian C
digunakan untuk mengeruk keperluan bangunan seperti pasir dan kerikil. Dibeberapa
tempat sudah terlihat hamparan danau mini yang terjadi akibat galian tersebut, dan
ditakutkan akan terjadi kerusakan ekosistem dan rawan longsor, bila unsur tanah
tidak lagi kuat atau labil (Anonim, 2010).
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan rumit,
sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, serta aturan regulasi yang
dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya
ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang
sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus
dipahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat
progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Perencanaan tambang, sejak
awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan
lingkungan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).

2
Penambangan bahan galian C merupakan kegiatan penambangan yang paling
sederhana dan karena itu dapat diusahakan secara perorangan dan keluarga.Kegiatan
penambangan berupa penggalian tanah untuk bahan mentah dalam pembuatan
genting, bata, dan barang tembikar, serta penggalian batu dan pasir untuk bangunan.
Meskipun tampak sederhana namun dampaknya atas lahan tidak dapat diabaikan
(Notohadiprawiro, 2006).
Operasional kegiatan pertambangan pada tahap penambangan dan pengolahan
umumnya tidak mendapatkan perolehan 100%, yang berarti masih ada bahan galian
yang tertinggal dalam kondisi in situ, sebagai waste atau pada tailing.Bahan galian
tertinggal pada wilayah bekas tambang tersebut pada beberapa kasus, kembali
ditambang, baik oleh pelaku usaha pertambangan atau oleh masyarakat (Suprapto,
2006).
Pola penambangan yang dilakukan oleh masyarakat pun mengalami
perubahan, begitu para pemodal besar masuk. Kegiatan penambangan mengalami
pergeseran sistem pengelolaan, dari masyarakat ke pengusaha modal besar, seiring
dengan terbitnya ijin dari Pemerintah kepada para pengusaha yang memiliki modal
besar untuk melakukan kegiatan usaha penambangan di daerah. Masuknya
perusahaan ke wilayah tersebut, tentu saja diiringi pula oleh masuknya alat - alat
berat,dan seperangkat alat modern lainnya. Cara penambanganpun berubah dan hasil
yang dikeruk semakin banyak. Kegiatannya bukan lagi menggunakan cangkul, sekop
dan linggis, tetapi sudah mempergunakan alat berat. Situasi ini semakin mempercepat
kerusakan lingkungan sekitarnya (Sudardja, 2007).
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar
dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas
tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca
tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan
menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal (Subeno, 2009).

3
Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan
lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air
permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan.Lebih
jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin,
gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah
dengan akibat menjadi tandus atau gundul.Mengacu kepada perubahan tersebut perlu
dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi
kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak
labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan untuk menghasilkan nilai
tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya (Suprapto, 2008).
Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian
dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi.
Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi
buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi kemampatan,
kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat
pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu
diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak
terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara
merehabilitasi ekosistem yang rusak. Kegiatan rehabilitasi tersebut diharapkan akan
mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau
bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).

4
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai reklamasi suatu lahan.
2) Sinergitas dan penerapan antara ilmu (teori) dan aplikasi ilmu tanah di
lapangan terutama yang berkaitan dengan aspek reklamasi lahan.
3) Mahasiswa dapat lebih terampil dalam melakukan pengamatan,
pengumpulan, dan analisis data.

1.3.2. Tujuan khusus


1) Mengetahui dan mempelajari kegiatan reklamasi bahan galian C.
2) Mengetahui dan mempelajari kegiatan yang dilakukan Badan
Lingkungan Hidup DIY dalam reklamasi daerah penambangan galian C
di Kecamatan Turi Sleman.
3) Mengetahui dan mempelajari pengaruh dari kegiatan reklamasi terhadap
lahan bekas tambang bahan galian C.

5
BAB II
KONDISI UMUM LOKASI KERJA LAPANGAN
2.1. Deskripsi Badan Lingkungan Hidup
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan lembaga pemerintahan yang menangani masalah lingkungan hidup di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Badan Lingkungan Hidup (BLH) tingkat
provinsi membawahi 5 BLH di tiap kabupaten atau kota di Provinsi Yogyakarta yaitu
Kabupaten Sleman, Kodya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul
dan Kabupaten Kulonprogo. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi D.I.
Yogyakarta beralamatkan di Jalan Tentara Rakyat Mataram 53 Yogyakarta.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
berdiri berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 55
Tahun 2008. Untuk melaksanakan tugasnya, Badan Lingkungan Hidup mempunyai
fungsi:
a. Penyusunan program di bidang lingkungan hidup;
b. Perumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup;
c. Pengendalian pencemaran dan/kerusakan lingkungan, pemulihan kualitas
lingkungan hidup, konservasi lingkungan;
d. Penyelenggaraan pembinaan pengendalian lingkungan;
e. Penyelenggaraan koordinasi perijinan bidang lingkungan hidup;
f. Penyelenggaraan kajian dan penataan lingkungan;
g. Pembinaan dan pengembangan laboratorium lingkungan hidup;
h. Pemberian fasilitasi penyelenggaraan pengendalian lingkungan hidup Pemerintah
Kabupaten/Kota;
i. Pemberdayaan sumberdaya dan mitra kerja di bidang lingkungan hidup;
j. Penyelenggaraan kegiatan ketatausahaan;
k. Pelaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengantugas dan
fungsinya.

6
2.2. Bagan Struktur Organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KEPALA BAGIAN
Dra. Harnowati

KELOMPOK SEKRETARIS
JABATAN Dra. Puji Astuti, MSi
FUNGSIONAL

SUB. BAGIAN PROGRAM, SUB. BAGIAN UMUM SUB. BAGIAN KEUANGAN


DATA DAN TEKNOLOGI Dra. Sri Mulyani Dra. Siti Nurhayati
INFORMASI 1. Priyono. KS, SH 1. Thamrin Tuan Tanah, S. Pd
Drs. Setiawan Rineksa, MM 2. Y. Suseno 2. Drs. Ig. Danang Siwi Nugroho
1. Siswanto, SH 3. Rubiyatman 3. Mujiono, SH
2. Andri Listyanto, ST 4. Sudarti 4. Sugiyanti
3. Dra. RR Sutrawati S 5. Banar Basuki 5. Sugiarto
4. Meria Fifiani, ST 6. Maryati 6. Anie Rochyati
5. Slamet Supriyanto 7. Surya Widada 7. Suliandari Budi Rahayu
8. Mulyo Rujito 8. Sumarjiono
9. Mulyana 9. Ashanah Budiarti
10. Purwanto
11. Karpana

BIDANG PENGENDALIAN PENCEMARAN BIDANG PENGENDALIAN PERUSAKAN BIDANG PENGEMBANGAN KAPASITAS BIDANG PENATAAN DAN KAJIAN
LINGKUNGAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN Ir. Kuncara HP, M. MA LINGKUNGAN
Drs. Agus Setianto Surya Purba, SH Sarjuni, SH

SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG SUB BIDANG
PENGENDALIAN PENGENDALIAN PENGENDALIAN KONSERVASI PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENATAAN KAJIAN
PENCEMARAN UDARA PENCEMARAN AIR PERUSAKAN LINGKUNGAN SDM DAN LABORATORIUM LINGKUNGAN LINGKUNGAN
Ir. Tuti Anuriyah DAN TANAH SERTA LINGKUNGAN Drs. Bambang, WI KELEMBAGAAN LINGKUNGAN Ag. Ruruh Haryata., Ir. Reni Anggraeni
1. Ninik Sri B3 Ir. Heny Nursilawati 1. Cahyani LINGKUNGAN Ir. Sri Lestari, M. Si SH. ST, M. Kes 1. Drs. Jito
Handayani, S.Si Ir. Endro Waluyo, 1. Y. Harnowo Alfiah, S. Si -------------------I 1. Triening Ani 1. Budi Edi, SH 2. MR. Sultoni, S,
2. Riyanto, ST M. Si Budi SE 2. Suharto, BE 1. Cahyo A., ST 2. Titik Si
3. Sudijati 1. Sugita 2. Wahyudi DL 3. Bledug Widayat, SH, 2. Sugiarto, BE Tursilowati S. 3. Supriyana
4. Nuzulia Kurniasih, 2. Sjamsu Agung 3. Bambang Benanti M. Si 3. Florida Taty S, Pd
S. Si W, SE Sudaryono, Dwisiwi, S. Si 2. Barul Budiarti, ST 3. Waliman, BE
3. Cahyadi B.Sc 4. Yanuar CC SE 4. Sudarjo
Imran, ST, MT 4. Puranti Wiji 3. Siswanto
4. Eny Yniarti, ST Rahayu S. Hut Budiadi
7
2.3. Lokasi dan kondisi umum daerah reklamasi
Kecamatan Turi merupakan satu dari 17 kecamatan yang berada di
wilayah administrasi Kabupaten Sleman yang memiliki luas wilayah 43,09 km2.
Lokasi reklamasi terletak di Dusun Tegalpanggung, Desa Girikerto, Kecamatan
Turi, Kabupaten Sleman, secara geografis berada pada koordinat 07º36’ 50” LS -
07º36’ 55” LS dan 110º 24’ 40’’ BT - 110º 24’ 50” BT. Dari kota Sleman lokasi
pekerjaan tersebut berjarak ± 10 km ke arah timur laut, dan dapat ditempuh
dengan menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat
melalui jalan beraspal. Secara administratif, batas – batas wilayah Kecamatan Turi
adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa
Tengah;
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman,
Propinsi D.I.Yogyakarta;
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sleman, Kabupaten
Sleman, Porpinsi D.I.Yogyakarta, dan
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman,
Propinsi D.I.Yogakarta.
Kecamatan Turi memiliki 4 desa, yaitu, Desa Bangunkerto, Desa
Donokerto, Desa Girikerto dan Desa Wonokerta. Desa Girikerto dipilih sebagai
lokasi pekerjaan reklamasi lahan karena dari pengamatan dilapangan, Desa
Girikerto merupakan salah satu desa yang memiliki kerusakan parah akibat
penambangan pasir batu dengan luas areal tambang 20.000 m2.

2.3.1. Iklim dan curah hujan


Kecamatan Turi termasuk daerah yang beriklim tropis basah
dengan musim hujan antara bulan November – April dan musim kemarau
antara bulan Mei – Oktober. Pada tahun 2007 banyaknya hari hujan 28
hari terjadi pada bulan Maret, namun demikian rata – rata banyaknya curah
hujan terdapat pada bulan Februari sebesar 18,4 mm dengan banyak hari
hujan 20 hari.

8
Adapun kelembaban nisbi udara pada tahun 2007 terendah pada
bulan mei - Agustus sebesar 74 % dan tertinggi pada bulan Maret dan
November masing – masing sebesar 87 %, sedangkan suhu udara terendah
sebesar 26,1º C pada bulan Januari dan November dan suhu udara yang
tertinggi 27,4º C pada bulan September.

2.3.2. Ketinggian
Ketinggian wilayah kecamatan Turi berkisar antara 400 s/d 1000 m
dari permukaan laut. Ketinggian tanahnya dapat dibagi menjadi tiga kelas,
yaitu ketinggian 100 - 499 m, 500 - 999 m dan > 999 m dari permukaan
laut. Ketinggian 100 - 499 m dari permukaan laut seluas 1444 ha atau
33,53% dari luas wilayah, terdapat di Desa Bangunkerto dan Desa
Donokerto. Ketinggian 500 - 999 m dari permukaan laut meliputi luas
2848,6 ha atau 66,14 % dari luas wilayah, meliputi Desa Wonokerto dan
Desa Girikerto. Ketinggian > 999 m dari permukaan laut seluas 14,60 ha
atau 0,33 % dari luas wilayah meliputi Desa Girikerto. Untuk lokasi
pekerjaan (Tegalpanggung) mempunyai ketinggian 720 – 743 m dari
permukaan laut.

2.3.3. Genesa pasirbatu di lokasi reklamasi


Genesa pasirbatu di lokasi reklamasi disebabkan adanya aktivitas
gunung berapi yang banyak sekali mengeluarkan material – material lepas
dari dalam. Meterial – material tersebut kemudian mengalir menuju daerah
cekungan dan sungai – sungai yang kemudian terendapkan. Proses
pengendapan ini terjadi terus – menerus, sehingga terjadi pelapisan pada
pasirbatu tersebut. Akumulasi dari endapan pasirbatu terdapat pada derah
reklamasi dan sekitar, penyebarannya merata dan sangat luas, mempunyai
lapisan yang sangat jelas dengan arah horizontal.

9
2.3.4. Kondisi hidrogeologi daerah pekerjaan
2.3.4.1. Karakteristik air
Sumber air tanah perlu dikendalikan dan dimanfaatkan
untuk pelestarian lingkungah hidup, agar produktivitasnya air
tanah dapat lebih bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup
masyarakat setempat. Kualitas sumber air di Sleman (air tanah,
mata air, dan sungai) sebagian besar berkualitas baik dengan nilai
Daya Hantar Listrik (DHL) antara 0,182 – 0,499 mmho
berdasarkan harga SAR (PPLH UGM, 1987).

2.3.4.2. Tatanan dan sistem akuifer


Pembahasan mengenai lapisan pembawa air (akuifer) di
Kabupaten Sleman tidak bisa terlepas dari sistem akuifer yang
dipengaruhi oleh Cekungan Yogyakarta, yang sering disebut
sebagai Sistem Akuifer Merapi (SAM). Menurut M. Macdonald
(1984), Formasi Volkanik Merapi Muda dapat dibedakan menjadi
dua formasi berdasarkan ciri litologinya, yaitu formasi Sleman
dan formasi Yogyakarta yang berfungsi sebagai lapisan pembawa
air utama yang sangat potensial di dalam cekungan (Mac Donald,
1984 dalam Hendrayana 1983).
Sistem Akuifer Merapi (SAM) secara umum dibedakan
menjadi Sistem Akuifer bagian atas yang didominir oleh Formasi
Yogyakarta dan Sistem Akuifer bagian bawah yang dibentuk oleh
Formasi Sleman. Kedua formasi tersebut merupakan Akuifer
Utama dalam cekungan dan membentuk satu Sistem Akuifer.
Sebagai dasar SAM adalah Formasi batuan Tersier serta Endapan
Volkanik Merapi Tua di bagian utara yang berumur Kuarter.
Formasi – formasi tersebut dianggap sebagai dasar SAM.

10
2.3.5. Stratigrafi
Batuan tertua adalah batuan tersier pegunungan Menoreh yang
terususn oleh tuffa, napal, lava andesit, dasit (formasi andesit tua) yang
berkembang di daerah barat daya-barat, dan batuan tersier pegunungan
selatan yang tersusun oleh tuffa, gamping, napal, lava andesit, dasit
(Formasi Andesit Tua) yang berkembang di bagian tenggara.
Secara tidak selaras diatas batuan tersier tersebut terdapat batuan
berumur kuarter hasil kegiatan Gunung Merbabu, satuan ini tersusun atas
selang – seling lava andesit bertekstur halus kasar, mengandung lubang –
lubang gas dengan piroklastik yang berupa batu apung dan “lithic andesit”
yang terkonsolidasi kuat. Satuan ni menempati bagian utara Gunung
Merapi.
Diatas batuan hasil kegiatan Gunung Merbabu terdapat satuan
batuan hasil erupsi Gunung Merapi Tua yang terdiri dari aliran lava
andesit piroksen yang berwarna abu – abu gelap, afanitik-porfiritik, massif,
berselang-seling dengan breksi lava. Satuan tersebut berkembang di bagian
selatan dan timur. Diatas satuan tersebut terdapat aliran lava piroksen yang
berwarna abu – abu gelap, berstruktur massif, porfiritik dengan fenokris
piroksenn, plagioklas, yang berkembang di bagian utara dan timur.
Bersamaan dengan terbentuknya satuan tersebut, terdapat endapan aliran
piroklastik merapi tua sebagai hasil guguran awan panas yang tersusun
oleh fragmen krikil – bongkah andesit dan terkonsolidasi kuat, juga
terdapat satuan endapan lahar merapi tua yang tersusun atas fragmen krikil
– bongkah piroksen, massif, membulat tanggung sampai membulat,
terkonsolidasi kuat yang menempati bagian timur, selatan dan barat.
Bersamaan dengan satuan – satuan tersebut juga mulai terbentuk satuan
endapan jatuhan piroklastik merapi dan satuan fluvial yang berupa
endapan tuffa, pasir, breksi yang terkonsolidasi lemah sampai kuat
menempati bagian barat, selatan dan timur.
Diatas satuan batuan hasil erupsi gunung merapi didapatkan satuan
batuan hasil erupsi gunung merapi muda yang juga berumur kuarter, terdiri
dari aliran lava andesit piroksen yang berwarna abu – abu agak lapuk.

11
Satuan ini menempati bagian utara, selatan dan barat. Diatas satuan
tersebut terdapat aliran lava andesit piroksen yang berwarna abu – abu
gelap, segar, terubah sebagian, porfiritik dengan fenokris berupa
plagioklas, piroksen yang menempati sekeliling pusat erupsi. Bersamaan
dengan kedua satuan ini juga terdapat satuan endapan aliran prioklastik
mudan dan guguran merapi yang tersusun atas endapan awan panas,
berwarna kemerahan, berukuran pasir – bongkah, menyudut terdapat
sisipan endapan piroklastik merapi secara setempat dengan penyebaran
dari pusat erups kearah barat daya dan satuan endapan lahar muda merapi
yang tersusun atas lempung, pasir, kerikil dan bongkah andesit, menyudut
tanggung – membulat, lepas sampai terkonsolidasi, terbentuk dalam
beberapa periode, dengan penyebaran mengikuti lembah – lembah sungai
pada bagian barat, selatan dan timur.

2.3.6. Litologi
Wilayah Sleman tersusun atas berbagai macam batuan yang
sebagian besar merupakan hasil rombakan gunung api yang melingkupi
sebagian besar wilayah utara dan tengah Yogyakarta, Kabupaten Sleman
sendiri dan sebagian Kabupaten Bantul. Khusus di wilayah perbukitan
Prambanan dan wilayah Berbah-Kalasan, bagian Selatan-Tenggara
tersusun oleh batuan sedimen vulkaniklastik seperti batupasir pumis,
breksi pumis, batupasir tufan.

2.3.7. Morfologi
Lahan kegiatan reklamasi berdasarkan beda tinggi dan
kemiringannya dapat dikategorikan sebagai dataran tinggi. Morfogenesa
lokasi kajian dapat dibagi menjadi 2 satuan geomorfik, yaitu:

12
2.3.7.1 Satuan geomorfik dataran tinggi volkanik
Mencakup 96 % dari seluruh luas, membentang dari barat
ke timur, tersusun oleh material hasil endapan material volkanik
merapi muda yang dominan berupa hasil pelapukan tuf, abu dan
breksi dengan ukuran lempung sampai boulder.

2.3.7.2 Satuan geomorfik dataran alluvial


Mencakup 4 % dari seluruh luas, dapat dibagi menjadi
tubuh sungai dan dataran limpah banjir. Satuan ini menempati
bagian limpasan sungai, tersusun oleh material lepas berukuran
pasir halus sampai kerakal.
Endapan pasir batu tersebut tertutup oleh lapisan tanah
penutup dengan ketebalan rata – rata 1,1 m. Pola aliran yang
berkembang di daerah ini adalah pola aliran sub paralel – paralel
dimana sungai – sungainya dipasok oleh air bawah tanah.

2.3.8. Kondisi sosial ekonomi daerah pekerjaan


2.3.8.1. Industri
Industri dipisahkan menjadi sektor-sektor yaitu industri
rumah tangga, sektor indsutri kecil, sektor sedang dan sektor
indsutri besar. Penyerapan terbesar tenaga kerja di sektor industri
adalah dari sektor industri rumah tangga yaitu sebesar 34.879
tenaga kerja, diikuti sektor industri besar sebanyak 12.998 tenaga
kerja dan industri kecil sebesar 4.825 tenaga kerja kemudian
industri sedang sebanyak 3.907 tenaga kerja. Sementara
kecamatan yang terbanyak menampung tenaga kerja adalah
Kecamatan Moyudan yaitu sebesar 6.000 tenaga kerja atau 17,52
% dari total kerja sektor industri rumah tangga.
Banyaknya industri besar sedang (IBS) di Kabupaten
Sleman 144 perusahaan, Kecamatan Depok merupakan
kecamatan yang mempunyai kontribusi terbesar yaitu sebanyak
36 perusahaan. Sementara jika dilihat dari perusahaan yang

13
menyerap tenaga kerja terbesar adalah Kecamatan Sleman yaitu
3.880 tenaga kerja atau 22,95 % terhadap total tenaga kerja yang
diserap IBS di Kabupaten Sleman (Anonim, 2007).

2.3.8.2. Jumlah penduduk


Desa Girikerto memiliki tingkat kepadatan penduduk
relative lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepadatan
penduduk di Desa lainnya yaitu 7.582 jiwa. Sedangkan Desa
Bangunkerto adalah 8.684 jiwa, Desa Donokerto adalah 8.974
jiwa dan Desa Wonokerto adalah 8.756 jiwa. Disamping itu
kepadatan penduduk di Desa Girikerto adalah 580 /km2.Mata
pencaharian utama masyarakat adalah bertani dan beternak
hewan. Lahan pertanian seperti sawah dan ladang perkebunan
masih menjadi tumpuan hidup mereka. Disamping itu, ada juga
yang bekerja sebagai buruh pabrik, penambang pasir batu,
berdagang dan sektor jasa lainnya.

2.3.9. Kegiatan penambangan dan pengolahan pasir batu saat ini


Untuk bahan galian industri termasuk pasir batu, sistem
penambangan yang benar dan sesuai adalah tambang terbuka dengan
metode Quarry. Digunakan metode Quarry karena bahan galian industri
letak endapannya relatif dekat dengan permukaan sehingga biaya
pengupasan tanah penutup tidak lebih besar dari nilai bahan galiannya.
Tetapi kenyataannya dilapangan adalah kegiatan penambangan
tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang benar. Kegiatan
penambangan yang dilakukan di Desa Giriterto adalah tambang rakyat
dengan menggunakan peralatan tradisional, misalnya linggis, gancu dan
palu yang dilakukan disekitar sungai sehingga yang tadinya terdapat aliran
airnya, sekarang sudah tidak ada aliran airnya. Pengangkutan pasir batu
yang dilakukan oleh penambang setempat menggunakan truk. Metode
penambangan yang dilakukan adalah mengikuti arah penyebaran pasir batu
yang mudah dibongkar yaitu melebar ke sisi – sisi sebelah sungai dan

14
memanjang kearah hulu. Akibat dari metode ini adalah
ditimbulkan/dihasilkan lubang – lubang yang dalam dengan diameter yang
lebar (± 7 m) serta jenjang – jenjang tinggi yang agak vertikal. Hal ini
sangat membahayakan bagi para pekerja tambang/ penggali, jika tidak hati
– hati dalam melakukan penggalian akan terjadi kelongsoran, lebih – lebih
pada musim penghujan.
Kegiatan penambangan pasir batu yang dilakukan oleh rakyat pada
umumnya tidak mempunyai ijin penambangan. Kegiatan penambangan ini
dapat berdampak tidak baik, terutama untuk mengatasi permasalahan–
permasalahan yang timbul kemudian, misalnya masalah keselamatan
kerja.Lokasi bekas penambangan merupakan lahan yang tidak hanya
dimiliki oleh satu orang tetapi oleh beberapa orang yaitu tanah Sultan
Ground (SG) dan tanah – tanah penduduk.
Instalasi pengolahan pasirbatu di Desa Girikerto umumnya berada
di sekitar lokasi penambangan. Secara umum kegiatan pengolahan
pasirbatu masih tradisional, yaitu dengan mengayak material sehingga
didapat ukuran material yang lebih seragam. Karena kegiatan
penambangan pasirbatu di Desa Girikerto berada di sekitar pemukiman
penduduk, maka kegiatan penambangan dan pengolahan pasirbatu
menimbulkan gangguan pada penduduk sekitar. Gangguan ini berupa
kebisingan mesin pengangkut (truk), debu hasil kegiatan pengangkutan
yang tumpa dan tercecer. Pada daerah bekas penambangan terdapat
jenjang yang tinggi, lubang – lubang dan cekungan yang dalam yang
secara sengaja ditinggalkan karena para penambang tidak menambang
mulai dari atas sungai tetapi dari dasar/lereng sungai. Sehingga apabila
dirasa sudah tidak memungkinkan/membahayakan untuk digali dengan
alat tradisional maka penambang akan meninggalkannya begitu saja. Dari
bentuk topografinya yang ada di daerah ini adalah perbukitan, cara
penambangannya adalah tambang terbuka. Tetapi ada pula yang
menggunakan cara tambang bawah tanah tetapi hanya sampai kedalaman
kurang lebih 4 – 6 meter kemudian ditinggalkan oleh penggalinya.

15
2.3.10. Flora dan fauna daerah sekitar
Keadaan flora dan fauna di Kecamatan Turi sangat bervariasi,
namun dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok yang umum
dijumpai di Indonesia yang beriklim tropis. Kelompok flora yang ada di
daerah pekerjaan adalah rumput – rumputann, ilalang, salak, pisang, nanas,
mahoni, dan sengon. Sedangkan kelompok fauna yang ada di daerah kerja
adalah berbagai jenis burung, ayam, ular, dan monyet.

16
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN REKLAMASI
Tahapan kegiatan reklamasi yang dilakukan Badan Lingkungan Hidup
D.I.Yogyakarta yaitu, pembuatan peta rencana reklamasi, sosialisasi reklamasi,
mobilisasi alat berat dan tenaga kerja, perataan lahan, pembuatan terasering, penyediaan
bibit, penanaman bibit, serta pemeliharaan dan perawatan tanaman.
Alat yang digunakan antara lain, excavator back hoe Komatsu PC 200 LC,
kendaraan pengangkut, theodolith, GPS, alat ukur meter, sekop, cangkul, patok, bambu,
tali, dan lain - lain. Bahan yang digunakan antara lain, bibit manga (150 batang), bibit
rambutan (150 batang), bibit klengkeng (150 batang), bibit petai (150 batang), bibit
sengon (750 batang), bibit mahoni (300 batang), bibit gayam (100 batang), bibit aren (50
batang), bibit glirisidae (150 batang), pupuk kandang (30 ton/ha), pupuk urea (90 kg/ha),
dan pupuk TSP (90 kg/ha). Secara umum pelaksanaan kegiatan reklamasi bahan galian
golongan C di Desa Girikerto meliputi beberapa tahapan antara lain:

3.1 Pembuatan peta rencana reklamasi


Penataan lahah sebelum reklamasi dilakukan dengan pengumpulan data
luasan dan leveling daerah pasca tambang yang akan dilakukan reklamasi. Kegiatan
tersebut dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan
perlatan theodolith, Global Positioning System (GPS) dan kompas. Dalam kegiatan
ini dilakukan pengumpulan data luasan, jumlah lubang-lubang yang terbentuk
akibat kegiatan penambangan.
Dari kegiatan pengambilan data luasan serta leveling kemudian diolah untuk
memperoleh data yang kemudian digunakan untuk membuat peta perencanaan
perataan yang akan diserahkan kepada kontraktor yang akan melakukan pekerjaan
reklamasi (PB. Jarak Raya). Pengolahan data yang dilakukan antara lain adalah
penentuan titik-titik acuan di lapangan, penghitungan luas area total berdasarkan
titik acuan yang diambil di lapangan, penetuan letak dan luasan lubang yang
terbentuk, dan penggambaran peta.

17
3.2 Perijinan, sosialisasi dan mobilisasi peralatan tenaga kerja
Setelah dilakukan pembuatan peta awal untuk keperluan perataan lahan
kemudian dilakukan perizinan dan sosialisasi reklamasi. Sosialisasi tersebut
dilakukan di daerah dimana kegiatan reklamasi dilaksanakan. Sosialisasi ditujukan
kepada masyarakat yang diwakilkan oleh perangkat desa serta tokoh-tokoh
masyarakat desa.
Kemudian dilakukan mobilisasi alat berat berupa excavator/back hoe
Komatsu tipe PC200 LC yaitu kendaraan pengangkut/truk untuk membuang
kelebihan tanah/batu sisa urug keluar area reklamasi. Kemudian mobilisasi tenaga
manusia untuk membantu alat berat dalam pembuatan terasering dan pemindahan
sisa batu/tanah urug dari lokasi ke kendaraan pengangkut.

3.3 Perataan lahan

Kegiatan reklamasi lahan yang dilakukan secara bertahap. Kegiatan


reklamasi yang pertama kali dilakukan adalah kegiatan perataan lahan. Perataan
lahan dilakukan dengan cara menimbun lubang-lubang yang masih mungkin untuk
ditutup dengan tanah. Kegiatan perataan dialkukan dengan menggunakan alat berat
antara lain excavator. Alat berat digunakan karena kondisi medan yang luas dan
berat.

18
3.4 Pembuatan teras

Pengaturan lahan dilakukan dengan membuat teras atau jenjang sebanyak


empat buah menggunakan back hoe. Pengerukan dilakukan pada lereng bagian atas
dan samping, hasil pengerukan digunakan untuk menimbun lubang bekas tambang
dan pembuatan jenjang/teras. Pemangkasan bagian atas dimulai dari ujung lereng
sebelah utara. Material pemangkasan akan ditimbun dan diratakan searah jalan back
hoe yaitu dari utara ke selatan sehingga hasil timbunan dapat digunakan sebagai
akses jalan dan sebagai pijakan untuk melakukan penggarukan sekaligus terbentuk
teras bagian atas. Pembentukan teras kedua dan ketiga dilakukan dengan menutup
bukaan tambang, material hasil kupasan ditarik kearah selatan memanjang sejajar
dengan teras bagian atas. Proses pembentukan teras keempat dilakukan dengan
mengupas lahan di area teras keempat, kemudian dilakukan perataan dan
mengurangi ketinggian lereng, hasil kupasan ditarik ke arah utara ke bagian yang
lebih rendah dari teras. Proses perataan dilakukan dengan cara meratakan timbunan
material serta mengurangi tinggi timbunan supaya jarak masing – masing teras
tidak terlalu tinggi. Sisa hasil pengerukan digunakan untuk menimbun bekas –
bekas lubang tambang dan pembuatan jenjang teras pada bagian bawah.
Untuk mengurangi kelebihan dari tanah/batu sisa bahan urug maka
dilakukan pengangkutan material dengan alat angkut truk ke luar area reklamasi
untuk menghindari hasil timbunan yang terlalu tinggi. Penyempurnaan akhir
dilakukan dengan tenaga manusia sekaligus dilakukan pembuatan
guludan/pematang pada setiap teras dengan dengan lebar dan tinggi 20-30 cm. Pada

19
teras juga dibuat saluran teras yang dibentuk dengan dimensi lebar rata-rata 0,5 m
dan tinggi 0,5 m serta dinding diberi penguat berupa batu-batu secukupnya. Saluran
teras ini dimaksudkan untuk menahan laju air yang jatuh ke saluran teras di
bawahnya, sehingga tidak menimbulkan erosi. Sedangkan untuk mengalirkan air
limpasan yang berasal dari kumpulan air yang disalurkan oleh paritan/saluran pada
tiap teras, maka dibuat saluran pembuangan air induk dengan ukuran kedalaman
sekitar 1 m, lebar dasar saluran 1-3 m dan lebar permukaan 3 m dengan panjang
sekitar 300 m. Ukuran saluran ini sudah dilebihkan mengingat di deareah tersebut
mulanya adalah sungai yang selama ini tertutup oleh longsoran material
penambangan. Jadi selain sebagai saluran pembuangan air di lahan penataan
tersebut juga berfungsi sebagai saluran sungai kecil.
Geometri teras yang terbentuk adalah Teras 1 (paling atas) dengan panjang
teras 37 m, lebar rata – rata 20 m dan tinggi teras 2 m; Teras 2 dengan panjang teras
75 m, lebar rata–rata 20–40 m, tinggi 1 m; Teras 3 dengan panjang 25 m, lebar 4-25
m, tinggi 2 m; Teras 4 dengan panjang teras 35 m, lebar teras rata-rata 15 m,
dengan tinggi 2 m. Sudut kemiringan rata – rata pada masing-masing teras berkisar
antara 70-80°.

3.5 Penyediaan bibit


Dalam penyediaan bibit Badan Lingkungan Hidup melakukan kerjasama
dengan tempat yang di rekomendasikan oleh Departemen Kehutanan RI dengan
tujuan memperoleh bibit bersertifikasi baik. Kemudian untuk pengadaan bibit
diserahkan kepada kontraktor pelaksana kegiatan reklamasi.

3.6 Penanaman bibit


Kegiatan penanaman merupakan puncak kegiatan reklamasi pasca tambang,
Dalam kegiatan tersebut bibit yang telah disiapkan dipindahkan untuk dilakukan
penanaman di lapangan. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor (PB.Jarak Raya),
yang memiliki tanggung jawab dari mulai persiapan lubang tanam sampai kegiatan
penanaman bibit ke lapangan.

20
3.6.1. Pembuatan lubang tanam

Bibit ditanam dalam lubang tanam dengan ukuran berkisar


40x40x40 cm. Jarak tanam unuk masing – masing jenis tanama adalah
sebagai berikut, bibit manga dengan jarak tanam 8-10 m, bibit rambutan
dengan jarak tanam 8-10 m, bibit klengkeng dengan jarak tanam 8-10 m,
bibit petai dengan jarak tanam 8-10 m, bibit sengon dengan jarak tanam 3-5
m, bibit mahoni dengan jarak tanam 5-6 m, bibit gayam dengan jarak tanam
2-5 m, bibit aren dengan jarak tanam 5-10 m.

3.6.2. Pemupukan

Pupuk kandang dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan dosis


kurang lebih 3 kg per lubang tanam. Pada awal tanam pupuk kandang

21
adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak, baik berupa padatan
(feces) yang bercampur sisa makanan, ataupun air seni (urine). Pupuk
kandang mempunyai kandungan unsur hara mikro yang sangat lengkap
tetapi jumlah masing – masing hara mikro yang terkandung sangat sedikit.
Kelebihan lain yang didapat dari pupuk kandang dan pupuk organik lain
yaitu kemampuannya untuk memperbaiki struktur tanah dengan
menambahkan pupuk kandang dan pupuk organik lainnya, mempunyai
keuntungan, memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki sifat kimia tanah,
memperbaiki biologi tanah. Pupuk kimia yang juga akan diberikan yakni
Urea dan TSP juga diberikan dengan dosis masing – masing 90 kg/ha
setelah masa tanam 2 bulan.
3.6.3. Penanaman

Bibit dilepas dari polybag secara hati – hati dengan memadatkan


tanah dalam polybag agar akar tanaman tidak rusak. Kemudian ditutup
dengan pupuk kandang dan humus di lapisan atas baru kemudian disiram
sampai kapasitas lapangan agar tidak terjadi stress pada tanaman.
Bibit aren dan gayam ditanam di bagian pinggir teras, mengikuti
saluran sungai sebagai penguat dinding sungai. Sedangkan bibit glirisidae
ditanam pada pematang teras. Bibit tanaman pohon juga ditanam pada area
atau lahan sekitar.

22
3.6.4. Pemberian ajir
jir

Pemberian ajir pada masing-masing


masing masing lubang tanam dilakukan setel
setelah
lubang tanam siap, Pengajiran
Pengajiran dilakukan untuk menjaga bibit tanaman agar
tumbuh dengan lurus dan tidak
dak rusak apabila terkena angin maupun
gangguan lainnya.
Sistem
m pengawasan pembuatan lubang tanam dilakukan dengan cara
mengirim tim dari divisi pengendalian perusakan dan konservasi lingkungan
langsung ke lapangan untuk pengecekan kelayakan lubang ttanam yang telah
dibuat.

3.6.5. Pengawasan penanaman


enanaman

23
Pengawasan penanaman dilakukan dengan cara peninjauan langsung
kelapangan oleh tim dari divisi divisi pengendalian perusakan dan
konservasi lingkungan. Lubang tanam yang telah ditanami di cek kembali
apakah sesuai dengan spesifikasi teknis. Ketika ditemukan ukuran lubang
tanam yang tidak wajar kontraktor akan diminta untuk membenahi. Selain
itu dilakukan juga pengecekan pemberian pupuk dan humus pada setiap
lubang tanam dilakukan dengan menggali beberapa lubang secara acak
apakah terdapat humus di dalamnya apabila tidak ditemukan humus dan
kompos maka harus dibenahi.

3.7. Pemeliharaan
Pada tahapan ini dilakukan pemupukan tanaman baik dengan pupuk
kandang, urea maupun TSP. Kemudian pencegahan dan pemberantasan hama
penyakit (jika ada) dengan pemberian pestisida. Pembersihan lahan dari tanaman
pengganggu atau rumput liar dilakukan secara rutin setiap 2 bulan sekali.
Penyulaman tanaman dilakukan apabila terdapat bibit yang mati di
lapangan. Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti tanaman yangmati dengan
tanaman baru. Dalam penyulaman dilakukan juga pemberian pupuk untuk
meningkatkan persen hidup dari bibit yang ditanam.
Penjarangan dilakukan apabila terdapat individu yang berpenyakit sehingga
berpotensi untuk menularkan penyakit ke tanaman lain sehingga harus segera
ditebang agar tidak menular pada tanaman yang lain.

24
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Bahan galian
Bahan galian merupakan mineral asli dalam bentuk aslinya yang dapat
ditambang untuk keperluan manusia. Mineral-mineral dapat terbentuk menurut
berbagai macam proses, seperti kristalisasi magma, pengendapan dari gas dan uap,
pengendapan kimiawi dan organik dari larutan pelapukan, metamorfisme,
presipitasi dan evaporasi, dan sebagainya (Katili, 1966).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 1980, bahan galian
dibagi menjadi tiga golongan. Penggolongan bahan-bahan galian didasari pada:
1. Nilai strategis/ekonomis bahan galian terhadap Negara
2. Terdapatnya sesuatu bahan galian dalam alam
3. Penggunaan bahan galian bagi industri
4. Pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat banyak
5. Pemberian kesempatan pengembangan pengusaha
6. Penyebaran pembangunan di Daerah

Bahan-bahan galian tersebut digolongkan sebagai berikut :


1. Bahan galian golongan A
Golongan bahan galian yang strategis, bahan galian strategis berarti
strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara.Golongan
ini terdiri dari minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat,
aspal. antrasit, batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium dan bahan-
bahan galian radioaktip lainnya, nikel, kobalt, dan timah.

2. bahan galian golongan B


Golongan bahan galian yang vital, bahan galian vital berarti dapat
menjamin hajat hidup orang banyak. Golongan ini terdiri dari besi, mangan,
molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng,
emas, platina, perak, air raksa, intan, arsen, antimon, bismuth, ytrium,
rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya, berillium, korundum,

25
zirkon, kristal kwarsa, kriolit, fluorpar, barit, yodium, brom, khlor, dan
belerang.

3. Bahan galian golongan C


Golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan A atau B, bahan
galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital berarti karena
sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional.
Golongan ini terdiri dari Nitrat, pospat, garam batu (halite), asbes, talk, mika,
grafit, magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah
permata, pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit, batu apung, tras,
obsidian, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), marmer, batu tulis, batu
kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, dan pasir
sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A mupun
golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi
pertambangan.

Bahan galian yang ditambang di daerah Desa Girikerto adalah bahan galian
golongan C yang berupa pasir. Bahan galian pasir mudah untuk ditambang karena
terletak di permukaan tanah, sehingga untuk mengambil bahan galian tersebut
tidak memerlukan peralatan berat dan canggih. Menggunakan cangkul, sekop,
atau sejenisnya cukup untuk dapat mengekstraksi bahan galian pasir.

4.2. Pertambangan rakyat


Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No.
11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Dalam pasal ini
disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-
bahan galian dari semua golongan A, B dan C yang dilakukan oleh rakyat
setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat
sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan rakyat bertujuan memberikan
kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk
turut serta membangun negara dibidang pertambangan dengan bimbingan

26
pemerintah.Pertambangan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat setempat yang
memegang kuasa pertambangan (izin) pertambangan rakyat.
Daerah penambangan pasir di Desa Girikerto merupakan daerah
pertambangan rakyat. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup, daerah ini
merupakan daerah penambangan bahan galian golongan C yang tidak mempunyai
izin, sehingga pekerjaan penambangan tidak terkontrol dan tidak diperhatikan
langkah – langkah reklamasi yang akan dilaksanakan setelah kegiatan
penambangan selesai. Daerah ini juga dikategorikan daerah pasca penambangan
yang memiliki tingkat kerusakan berat.
Permasalahan yang kerap dihadapi pada daerah pertambangan rakyat
adalah tidak adanya surat izin penambangan daerah pertambangan rakyat (SIPD-
PR), masyarakat sekitar daerah penambangan lebih memilih melakukan kegiatan
penambangan secara mandiri dan gotong royong tanpa mengurus perizinan
kepada pemerintah daerah setempat sehingga tidak dapat dilakukannya pemantaun
secara berkala akan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah sekitar. Kegiatan reklamasi pasca penambangan juga tidak diperhatikan
oleh masyarakat pelaku kegiatan penambangan. Setelah lokasi selesai ditambang,
pelaku penambangan kemudian meninggalkan lahan tanpa adanya usaha
reklamasi.

4.3. Pengukuran kriteria kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan


galian C jenis lepas di dataran
4.3.1. Topografi
Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi permukaan bumi,
yaitu: keadaan yang menggambarkan permukaan terutama mengenai
keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan,
dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-lainnya.
Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah
satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas
penambangan bagi suatu peruntukan aspek – aspek topgrafi. Indikator
daya dukung lahan bekas penambangan antara lain:

27
4.3.1.1. Lubang galian
Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat
penambangan galian golongan C. Parameter lubang galian yang
digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan
ini adalah:

4.3.1.2.1. Kedalaman
Kedalaman lubang galian adalah jarak vertical
dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang
galian.Permukaan
.Permukaan disini adalah permukaan awal pada
tepi lubang atau garis lurus yang menghubung
menghubungkan tepi
galian sebelum ada galian, sedangkaan dasar galian
adalah lubang galian yang terdalam.
Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan
dengan mengukur jarak dari permukaan aw
awal dengan
dasar lubang terdalam (Gambar 1).

gambar 1. Pengukuran Kedalaman

Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini


dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode
penambangan. Penentuan batas kedalaman galian yang

28
ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh
letak muka air tanah.
Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang
belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung
pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran
rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di
daerah yang lebih tinggi letak muka air tanah lebih
dalam.Pada musim penghujan letak muka air tanah
biasanya lebih dangkal dibandingkan dengan musim
kemarau.
Pengukuran letak muka air tanah dapat
diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur
pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh
permukaan air sumur gali. Cara pengukuran letak muka
air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air
pada sumur gali permukaan lahan (gambar 2).

gambar 2. Pengukuran Muka Air Tanah dengan Sumber Galian

Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada


prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian
(Gambar 3).

29
gambar 3. Pengukuran Muka Air Tanah dengan Pemboran

Batas kedalaman lubang galian selalu


ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya
persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk
kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan
yang telah ditetapkan.
Areal-areal yang memenuhi persyaratan
kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah
areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat
menyerap air sehingga permukaan tanahnya tetap
kering. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi
minimum 1 m diatas muka air tanah pada musim
penghujan.
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman
tahunan adalah areal yang berdrainase baik, minimum
sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman
galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai
letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan
adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan
tanah lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal
bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.

30
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman
pangan lahan basah adalah areal berdrainase buruk
tetapi sewaktu-waktu dapat harus dapat dikeringkan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman
galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di
bawah permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan
adanya pengembalian tanah tertutup ke permukaan
lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi
perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman
pangan lahan kering/peternakan adalah areal
berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman
galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai
letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan
adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan
lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi
perkembangan perakaran tanaman tersebut akan
terpenuhi.

4.3.1.2.2. Jarak
Jarak yang dimaksud merupakan jarak antara
titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas Surat
Ijin Penambangan Daeah (SIPD). Pengukuran dapat
dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut.
Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona
penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak
terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini
jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas
aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan
tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.

31
Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan
galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara
regular sepanjang periode penambangan. Jika ada dua
atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang
galian dimasing-masing SIPD dapat mencapai batas
SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedang jarak
lubang galian pada batas SIPD yang tidak
berdampingan/bersinggungan minimal 5 meter dari
batas SIPD (Gambar 4b).

gambar 4A.Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan

gambar 4B.Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan


yang Bersinggungan

32
4.3.1.2. Dasar galian
Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian.
Parameter dasar galian ada 2(dua), yaitu:

4.3.1.2.1. Perbedaan relief dasar galian


Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak
pernah rata karena selalu terdapat tumpukan atau
onggokan material sisa galian.
Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan
ketinggian permukaan onggokan/tumpukan tersebu
tersebut
dengan permukaan dasar galian disekitarnya.
Pengukuran dilakukan dengan mengukur permukaan
tersebut (Gambar 5).

gambar 5.. Relief Dasar Galian Maksimum

Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat


dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi
penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya
dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.
Adanya tumpukan tersebut akann menyulitkan
pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya,
karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan

33
relief tersebut dibatasi maksimum 1 m. Tumpukan
kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan
sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk
pemanfaatan lahan selanjutnya.

4.3.1.2.2. Kemiringan dasar galian


Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor
yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu
peruntukan. Persyaratan kelayakan lahan untuk
pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8%
sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar
galian dibatasi maksimum 8%. Persyaratan kelayakan
lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari
15% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan
dasar galian dibatasi maksimum 15%.
Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah
adalah tidak lebih dari 3% sehingga untuk peruntukan
tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum
3%. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering
adalah tidak lebih dari 8%, sehingga untuk peruntukan
tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum
8%.Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan
dengan menggunakan leveling atau waterpass.
Pemantauan kemiringan dasar galian dapat
dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai
dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan
kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan
pada akhir masa penambangan.

34
4.3.1.3. Dinding galian
Dinding galian adalah pinggiran lubang secara
menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga
stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara
umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras – teras.
Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar – dasar sebagai
parameter yang diamati (Gambar 6).
Tinggi tebing teras dibatasi maksimum 3 m sehingga batas
toleransi bagi keamanan lingkungan adalah 3 m. Sedangkan lebar
dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar
kemiringan galian tidak lebih curam dari 50%.
Pemantauan tebing dasar teras dapat dilakukan sepanjang
periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya,
tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat
ditentukan pada akhir masa penambangan pengukuran tebing dan
dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran.

DASAR LUBANG GALIAN

gambar 6.Tinggi dan Lebar Teras

35
4.3.2. Tanah
Tanah adalah batuan lunak hasil pelapukan batuan atau bahan
organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan.Tanah yang
dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah
– tanah yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas
dan diamankan sebelum arel tersebut ditambang.Akan tetapi
karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu
mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya,
baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan
tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap
peruntukan lahannya.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan
lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan
sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk
peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan
sebagai penutup ini minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah
untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga
untuk peruntukan lahan tanaman pangan basah dan peternakan ini
ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup
ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan,
tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini hanya
dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan.

36
4.3.3. Vegetasi
Pertumbuhan vegetasi di atas lahan bekas penambangan
menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang
layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi
tidak hanya membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga
membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai
peruntukannya.
Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman
adalah 20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan
pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal
pertambangan.
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50
persen merupakan indicator yang menjamin bahwa tanah yang
dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesaui
dengan peruntukannya.
Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas
penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan dengan
menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang.
Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat
dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi
penetuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan
setelah akhir masa penambangan.

4.4. Kegiatan Reklamasi


Reklamasi ialah mengembalikan fungsi lahan lebih baik, setelah endapan
bahan galiannya ditambang. Untuk memperbaiki dan memanfaatkan lingkungan
yang telah ditambang secara maksimal dapat dilakukan dengan cara menanami
kembali areal yang telah ditambang menjadi kawasan hijau dan menjadi lahan lain
yang lebih bermanfaat.
Untuk melaksanakan reklamasi diperlukan perencanaan yang baik, agar
dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.Dalam hal
ini reklamasi harus disesuaikan dengan tata ruang. Perencanaan reklamasi harus

37
sudah disiapkan sebelum melakukan operasi penambangan dan merupakan
program yang terpadu dalam kegiatan operasi penambangan. Hal-hal yang harus
diperhatikan di dalam perencanaan reklamasi antara lain mempersiapkan rencana
reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan, luas areal yang direklamasi sama
dengan luas areal penambangan, memindahkan dan menempatkan pucuk pada
tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan vegetasi,
mengembalikan/memperbaiki kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat
yang aman sebelum dapat dibuang ke tempat pembuangan, mengembalikan lahan
seperti keadaan semula dan sesuai dengan tujuan penggunaannya, memperkecil
erosi selama dan proses reklamasi, permukaan yang padat harus digemburkan
namun bila tidak memungkinkan, ditanami tanaman perintis yang akarnya mampu
menembus tanah yang keras, serta memantau dan mengelola areal reklamasi
sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

4.5. Kriteria keberhasilan reklamasi


Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan
bekas tambang berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pertambangan Umum,
tahun 1993 mengenai pedoman teknis reklamasi lahan bekas tambang, perlu
mengacu pada kriteria sebagai berikut:
4.5.1. Penataan lahan
1. Pengisian kembali lahan bekas tambang
a. Luas areal yang diisi kembali (ha), > 90 % dari areal yang
seharusnya diisi.
b. Jumlah bahan/material pengisi (m3), > 90 % dari jumlah tanah
penutup yang digali

2. Pengaturan permukaan lahan (regarding)


a. Luas areal yang diatur (ha), > 90 % dari luas areal yang ditimbun
kembali
b. Kemiringan lereng (%), < 8 % untuk tanaman pangan
c. Tinggi, lebar dan panjang teras (m), disesuaikan dengan bentuk teras
dan kemiringan lereng

38
3. Penaburan/penempatan tanah pucuk
a. Luas daerah yang diatur (ha), > 90 % dari areal yang harus diisi
b. Jumlah tanah pucuk yang ditabur, > 90 % dari tanah pucuk yang
digali dan disimpan
c. Ketebalan tanah pucuk (cm), > 80 % dari ketebalan tanah pucuk
semula pada areal tersebut

4.5.2. Pengendalian erosi dan pengelolaan tambang


1. Pembuatan bangunan pengendali erosi, jenis, jumlah, dan kualitasnya
sesuai dengan rencana.
2. Pengelolaan limbah, Pelaksanaannya sesuai dengan rencana

4.5.3. Revegetasi
1. Pengadaan bibit/benih
a. Jenis, Asli setempat atau sesuai dengan kondisi atau fungsi lahan
b. Jumlah (batang/kg) sesuai dengan rencana
2. Penanaman
a. Jumlah areal yang ditanamai (ha), > 90 % dari areal yang telah
diatur kembali
b. Jumlah yang ditanam (batang) sesuai dengan rencana
c. Jarak tanam (m x m) sesuai dengan rencana
3. Pemeliharaan
a. Jumlah dan jenis tanaman sulaman sesuai dengan jumlah yang mati
b. Pemupukan, Jenis dan dosis pupuk serta frekuensi pemupukan
sesuai dengan rencana
c. 90 % tanaman bebas dari gulma, hama dan penyakit
4. Tingkat pertumbuhan tanaman
a. Tanaman tumbuh subur (tidak merana)
b. Jumlah tanaman yang ditanam prosentasi jadinya > 80 %

39
4.6. Sejarah pertambangan Indonesia
Sejak abad ke 7 pertambangan skala kecil telah dilakukan untuk bahan
galian intan pada endapan-endapan aluvial di Kalimantan. Pada mulanya usaha ini
merupakan kegiatan kelompok-kelompok keluarga masyarakat setempat, tetapi
karena peningkatan perolehan bahan galian tersebut, Pemerintah Belanda
mengupayakan ditingkatkan untuk pertambangan skala besar. Walaupun
dilaporkan secara tidak lengkap, tercatat bahwa peningkatan kegiatan
pertambangan berlangsung mulai abad ke 18. Dalam perjalanannya dari masa 350
tahun pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda hingga setelah kemerdekaan
Indonesia, usaha pertambangan berskala besar dilakukan secara terbatas terutama
untuk bahan galian emas, batubara dan timah. Sedangkan pertambangan berskala
kecil mengalami perkembangan signifikan sejalan dengan peningkatan kebutuhan
ekonomi masyarakat.
Usaha pertambangan skala kecil (terutama untuk bahan galian emas)
menjadi tidak terkendali hingga tahun 1996, dikenal sebagai pertambangan emas
tanpa izin atau PETI yang cenderung terutama menimbulkan kerusakan
lingkungan. Pertambangan tanpa izin (PETI) dapat diartikan sebagai usaha
pertambangan atas segala jenis bahan galian dengan pelaksanaan kegiatannya
tanpa dilandasi aturan atau ketentuan hukum pertambangan resmi Pemerintah
Pusat atau Daerah. Pertambangan skala kecil menurut Keputusan Bersama
Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi,
Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor : 2002.K/20/MPE/1998, Nomor : 151A
Tahun 1998, Nomor : 23/SKB/M/XII/1998, dan lain-lain. Pada mulanya
pertambangan tanpa izin dihampir sebagian besar wilayah Negara Indonesia
dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang, sebagai usaha tambahan di
daerah-daerah yang diyakini berpotensi mengandung bahan galian intan, emas,
dan timah. Kebutuhan ekonomi yang makin meningkat dan hasil usaha tambang
yang diperkirakan dapat memberikan harapan kehidupan lebih baik, membuat
pelaku-pelaku penambangan mengalihkan usaha sekunder ini menjadi usaha
utama.
Terdapat beberapa faktor yang kemungkinan besar memengaruhi
berkembangnya pertumbuhan PETI, di antaranya usaha tersebut telah berjalan

40
cukup lama secara turun temurun, sehingga menimbulkan anggapan bahwa lahan
pertambangan merupakan warisan yang tidak memerlukan izin usaha. modal
usaha relatif kecil dan pelaksanaan penambangan dilakukan secara
sederhana/tradisional tanpa menggunakan peralatan berteknologi tinggi.
Keterbatasan keahlian pelaku usaha dan sempitnya lapangan kerja, menyebabkan
usaha pertambangan ini menjadi pilihan utama; kemudahan pemasaran produk
bahan galian; lemahnya pemahaman pelaku usaha PETI terhadap hukum/peraturan
pertambangan; pelaku usaha beranggapan bahwa prosedur pengurusan izin usaha
pertambangan melalui jalur birokrasi yang rumit dan memerlukan waktu panjang,
sehingga cenderung menimbulkan biaya tinggi.

4.7. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan


(UPL)
Eksplorasi dan eksploitasi merupakan kegiatan pertambangan sumber daya
alam yang terkait dengan pengelolaan aspek lingkungan hidup dan memiliki
dampak penting terhadap kelestarian lingkungan hidup. Instrumen pengelolaan
lingkungan dalam tahap eksplorasi migas adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) yang diatur
berdasarkan PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL Pasal 3 ayat (4), Kepmen
ESDM No.: 1457 K/28/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi Pasal 4, 5, serta Kepmen LH
No.: 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan UKL & UPL.
Dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa arah pembangunan jangka
panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada
pembangunan industri yang diantaranya menggunakan berbagai jenis bahan kimia
dan zat radioaktif. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya
limbah yang apabila dibuang ke lingkungan akan dapat mengancam lingkungan
hidup itu sendiri, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Upaya Pengelolaan lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) adalah salah satu instrument pengelolaan lingkungan yang

41
merupakan salah satu persyaratan perizinan bagi pemrakarsa yang akan
melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai sektor. UKL-UPL telah berjalan
selama bertahun-tahun, namun sampai saat ini masih ditemukan banyak kendala
dalam pelaksanaannya.
Dokumen UKL-UPL dibuat pada fase perencanaan proyek sebagai
kelengkapan dalam memperoleh perizinan. UKL-UPL diwajibkan pula bagi
usaha/kegiatan yang telah berjalan namun belum memiliki UKL-UPL. UKL-UPL
dibuat untuk proyek-proyek yang dampak lingkungannya dapat diatasi, skala
pengendaliannya kecil dan tidak kompleks.

4.8. Pelaksanaan periijan penambangan di lapangan


Daerah reklamasi di Desa Girikerto merupakan lokasi pertambangan
rakyat yang tidak memiliki izin. Lahan penambangan merupakan lahan yang
dimiliki oleh pribadi, sehingga pelaku penambangan adalah pemilik dari lahan
tersebut. Pelaku penambangan merasa tidak perlu mengurus perijinan
penambangan bahan galian C dikarenakan sudah merasa memiliki lahan dan
berhak melakukan kegiatan apapun terhadap lahan miliknya. Akibatnya pelaku
kegiatan penambangan tidak memperhatikan kriteria kriteria penambangan yang
benar sehingga kerusakan lahan tidak terhindarkan ditambah tidak dilakukannya
reklamasi lahan oleh pemilik lahan setelah kegiatan penambangan selesai.
Pedoman pembuatan perizinan penambangan dan teknis pelaksanaan
kegiatan penambangan dapat mengacu pada, peraturan menteri pertambangan dan
energi nomor 03/PM/Pertamben/1981 tentang pedoman pemberian surat izin
pertambangan daerah untuk bahan galian yang bukan strategis dan bukan vital
(bahan galian golongan C), keputusan menteri dalam negeri nomor 32 tahun 1991
tentang pedoman usaha pertambangan bahan galian golongan C, dan keputusan
gubernur Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 63 tahun 2003
tentang kriteria baku kerusakan lingkungan bagi usaha dam atau kegiatan
penambangan bahan galian golongan C di wilayah provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.

42
4.9. Hasil reklamasi lahan di Desa Girikerto

Kegiatan
egiatan reklamasi dilaksanakan pada pertengahan tahun 2008, kemudian
ditinjau kembali pada pertengahan tahun 2010 untuk melihat kondisi lahan pasca
reklamasi. Berdasarkan hasil
h pengamatan dilapangan terlihat teras terasering yang
telah dibentuk sesuai dengan kriteria pembentukan teras
teras untuk keperluan
reklamasi. Tujuan dari pembuatan terasering adalah mengurangi panjang lereng
sehingga dapat memperkecil aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi
erosi.

Vegetasi yang ditanam pada lubang tanam dengan dimensi 40x40x40 telah
menutupi seluruh permukaan lahan reklamasi. Pada
ada tanaman petai terdapat gejala
penyakit berupa hiperplastis dimana batang tanaman membengkak
membengkak. Gejala
penyakit ini dikenal dengan nama busung (Intumesensia), sekumpulan sel pada
daerah yang agak luas pada daun atau batang memanjang sehing
sehingga bagian itu

43
tampak membengkak, gejala ini disebut juga busung yang disebabkan oleh Jamur.
Penyakit ini muncul karena kondisi udara yang lembab sehingga membuat habitat
yang cocok untuk patogen jamur untuk hidup. Pengendalian gulma dilakukan
dengan mencabut tanaman gulma yang mengganggu. Pengendalian dilakukan oleh
masyarakat sekitar daerah reklamasi.
Pada lubang tanam belum ditambahkan dengan pupuk kimia, sehingga
pupuk yang baru diberikan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang adalah pupuk
organik yang berasal dari kotoran ternak, baik berupa padatan (feces) yang
bercampur sisa makanan, ataupun air seni (urine). Pupuk kandang mempunyai
kandungan unsur hara mikro yang sangat lengkap tetapi jumlah masing – masing
hara mikro yangterkandung sangat sedikit. Kelebihan lain yang didapat dari pupuk
kandang dan pupuk organik lain yaitu kemampuannya untuk memperbaiki
struktur tanah dengan menambahkan pupuk kandang dan pupuk organik lainnya,
mempunyai keuntungan, memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki sifat kimia
tanah, memperbaiki biologi tanah. Kurangnya pasokan unsur hara pada tanaman
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan yang lebih parah
menyebabkan kematian pada tanaman.
Pemantauan daerah reklamasi perlu dilakukan secara berkala untuk
memastikan pertumbuhan tanaman baik sampai keadaan vegetasi di daerah
rekalamasi menyerupai habitat aslinya. Masyarakat di sekitar daerah reklamasi
dapat diberdayakan untuk memudahkan proses pemantauan karena masyarakat
daerah sekitar lokasi reklamasi paling dekat kedudukannya sehingga dapat dengan
mudah memantau keadaan vegetasi di daerah reklamasi.

44
4.10. Pasca reklamasi

Pemeliharaan tanaman di lokasi hasil reklamasi selanjutnya diserahkan


kepada penduduk sekitar daerah reklamasi dengan cara bergotong royong
royong. Proses
pemeliharaan tanaman meliputi, pembersihan gulma, pemberian pestisida jika
terdapat hama penyakit yang menyerang pada tanaman,
tanaman, dan penyulaman tan
tanaman
yang mati. Pemeliharaan tanaman dilakukan sampai keadaan kanopi vegetasi di
sekitar daerah reklamasi hampir menutupi separuh dari daerah yang direklamasi
direklamasi.
Untuk tanaman buah – buahan di daerah reklamasi dapat diambil hasilnya oleh
masyarakat sekitar untuk
ntuk di konsumsi.

45
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pelaksanaan kegiatan penambangan rakyat khususnya bahan galian C(pasir)
tanpa diurusnya perijinan terlebih dahulu akan menyulitkan pemerintah dalam
pemantauan kegiatan penambangan untuk reklamasi lahan setelah kegiatan
penambangan selesai.
2. Hasil reklamasi yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup D.I.Yogyakarta
telah memenuhi Standard Operational Procedure (SOP) yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, tahun 1993 mengenai pedoman teknis
reklamasi lahan bekas tambang.
3. Jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam di lahan reklamasi Desa Girikerto
yaitu, rambutan, klengkeng, petai, sengon, mangga, mahoni, gayam, aren, dan
gilirisidae merupakan tanaman asli dari daerah tersebut dan berpotensi untuk
dikembangkan oleh penduduk sekitar daerah reklamasi.

5.2 Saran
1. Sebaiknya Badan Lingkungan Hidup D.I.Yogyakarta melakukan sosialisasi
kepada warga mengenai daerah yang tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan
penambangan pasir sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Penentuan lokasi reklamasi sebaiknya diserahkan kepada warga sekitar daerah
reklamasi agar pekerjaan pemantauan kegiatan reklamasi lebih optimal.
3. Perlu adanya peran perangkat desa setempat untuk memantau daerah
penambangan agar tidak keluar dari batas SIPD (Surat Izin Penambangan
Daerah).

46
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Tambang Galian C Saatnya diatur dengan Ketat. <http://susiafm.com/>.


Diakses tanggal 6 Juni 2010.

Arif, I. 2007. Perencanaan Tambang Total sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan


Lingkungan Dunia Pertambangan. Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan lahan dan lingkungan pasca penambangan..


Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada : 1 – 12.

Rahmawaty.2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi.


Universitas Sumatera Utara, Medan.

Subeno, S. B. 2009. Revitalisasi Penambangan Galian C. <http://sinarmedia-


news.com>. Diakses 12 Mei 2010.

Sudardja, D. 2007. Penambangan Galian C di Jawa Barat


Mengancam.<http://uwadadang.blogspot.com>. Diakses tanggal 2 Maret 2010.

Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan permasalahan endapan mineral sulfida pada
kegiatan pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No. 2.

Suprapto, S. J. 2008. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi
Bahan Galian.<http://www.dim.esdm.go.id/>. Diakses tanggal 2 Maret 2010.

47
LAMPIRAN

You might also like