You are on page 1of 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kebanyakan petani dan pecinta tumbuhan sering dipusingkan dengan
adanya hama yang menjadi pengganggu tanaman mereka, misalnya gulma
atau rumput pengganggu (alang-alang), serangga, tikus, bakteri, maupun
jamur. Masing-masing hama memiliki cara tersendiri dalam menanganinya.
Untuk hama jenis tumbuhan digunakan herbisida untuk membasminya, untuk
jenis serangga digunakan insektisida, untuk jenis jamur digunakan fungisida,
untuk jenis hama hewan pengerat seperti tikus digunakan rodentisida, untuk
menmberantas bakteri digunakan bakterisida.
Dalam makalah ini, kami secara khusus membahas tentang insektisida,
yaitu salah satu jenis dari pestisida yang digunakan untuk menanggulangi
hama dari jenis serangga.
Penggunaan obat-obatan tanaman telah dimulai sejak tahun 900 dengan
memunculkan insektisida anorganik. Sampai sekarang ini, telah terdapat
berbagai macam insektisida, antara lain insektisida anorganik, insektisida
botani, insektisida organik sintetis (hidrokarbon berkhlor), hingga akhirnya
muncul juga fungisida.
Insektisida sendiri memiliki beberapa macam, yaitu insektisida
hidrokarbon berkhlor, insektisida organofosfat, insektisida karbamat,
insektisida tiosianat, dinitrofenol, insektisida organik campuran, insektisida
anorganik, insektisida botani, dan insektisida mikroba. Dan masing-masing
jenis memiliki sifat yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Insektisida dapat berfungsi sebagai pengusir hama tanaman, namun
penggunaan pestisida yang berlebih juga dapat menyebabkan kerusakan pada
tanaman, dan bahkan dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dapat
berakibat pada kematian. Contoh yang mudah adalah DDT
(dichlorodiphenyltrichloroetane (1,1,1,trichloro-2,2-bisethane)). DDT dapat
2

membunuh hama dalam stadium larva, namun pada manusia dapat juga
menyebabkan penyakit (toksisitas 10 mg/kg), kekejangan (toksisitas 16
mg/kg), dan kematian (toksisitas 285 mg/kg). DDT juga menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Penggunaan insektisida harus memperhatikan efek jangka panjang,
tidak boleh terlalu berlebihan, karena selain mengganggu keseimbangan alam
juga akan berefek tidak baik bagi tanaman itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin menjabarkan tentang
lingkup insektisida yang meliputi kajian tentang insektisida, jenis-jenis
insektisida serta kelebihan dan kekurangannya. Untuk kemudian makalah ini
diberi judul “Insektisida Kimia dan Alami”.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari
makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian dari insektisida?
2. Apa sajakah klasifikasi dari insektisida?
3. Bagaimana sifat insektisida terhadap spesifikasi cara kerjanya?
4. Apa sajakah jenis insektisida kimia?
5. Apa kelebihan dan kekurangan dari insektisida kimia?
6. Apa sajakah akibat pemakaian insektisida kimia yang berlebihan?
7. Apa sajakah jenis insektisida alami?
8. Apa kelebihan dan kekurangan dari insektisida alami?

C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang dapat
dirumuskan dalam pemkimia makalah ini antara lain untuk mengetahui:
1. Pengertian dari insektisida
2. Klasifikasi dari insektisida
3. Sifat insektisida terhadap spesifikasi cara kerjanya
4. Jenis insektisida kimia
5. Kelebihan dan kekurangan dari insektisida kimia
3

6. Akibat pemakaian insektisida kimia yang berlebihan


7. Jenis insektisida alami
8. Kelebihan dan kekurangan dari insektisida alami

D. MANFAAT PENULISAN
Dari segenap pembahasan yang telah dipaparkan, harapan yang ingin
diwujudkan dalam makalah ini tercakup secara teoretis dan secara praktis
yang meliputi:
1. Secara teoretis
Makalah ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan terhadap
usaha peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan.
2. Secara praktis
Tujuan praktis dari makalah ini adalah: meningkatkan pengetahuan
mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri
Yogyakarta insektisida yang meliputi kajian tentang insektisida, jenis-jenis
insektisida serta kelebihan dan kekurangannya.

E. METODOLOGI PENULISAN
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan makalah ini antara lain:
1. Studi kepustakaan
Dengan memanfaatkan Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta
Kampus 1 dan Kampus 2 guna memperoleh referensi utama.
2. Studi elektromedia
Dengan memanfaatkan fasilitas Internet dan situs-situs pendukung guna
memperoleh referensi sekunder.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN TENTANG INSEKTISIDA


a. Pengertian Insektisida
Kata insektisida secara harfiah berarti pembunuh serangga, yang
berasal dari kata “insekta” = serangga dan kata latin “cida”= pembunuh.
Insektisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan
untuk membunuh serangga pengganggu (hama serangga). Insektisida
merupakan salah satu jenis dari pestisida (pembunuh hama) sedangkan
kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (racun binatang
pengerat), akarisida (racun tungau dan caplak), fungisida (racun
cendawan), herbisida (racun gulma / tumbuhan pengganggu), dan lain-lain.

b. Klasifikasi Insektisida
Menurut cara kerja atau distribusinya didalam tanaman dibedakan menjadi
tiga macam sebagai berikut:
1. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh bagian-bagian tanaman melalui
stomata, meristem akar, lentisel batang dan celah-celah alami.
Selanjutnya insektisida akan melewati sel-sel menuju ke jaringan
pengangkut baik xylem maupun floem. Insektisida akan meninggalkan
residunya pada sel-sel yang telah dilewatinya. Melalui pembuluh
angkut inilah insektisida ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman
lainnya baik kearah atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk
ke tunas yang baru tumbuh. Serangga akan mati apabila memakan
bagian tanaman yang mengandung residu insektisida.
2. Insektisida Non-sistemik
Insektisida non sistemik tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman,
tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman. Lamanya residu
5

insektisida yang menempel pada permukaan tanaman tergantung jenis


bahan aktif (berhubungan dengan presistensinya), teknologi bahan dan
aplikasi. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang
permukaannya terkena insektisida. Residu insektisida pada permukaan
tanaman akan mudah tercuci oleh hujan dan siraman, oleh karena itu
dalam aplikasinya harus memperhatikan cuaca dan jadwal penyiraman.
3. Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida ini hanya mampu diserap oleh jaringan daun, akan tetapi
tidak dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (efek
translaminar). Insektisida yang jatuh ke permukaan atas daun akan
menembus epidermis atas kemudian masuk ke jaringan parenkim pada
mesofil (daging daun) dan menyebar ke seluruh mefosil daun (daging
daun) hingga mampu masuk kedalam sel pada lapisan epidermis daun
bagian bawah (permukaan daun bagian bawah).

Menurut cara masuknya insektisida kedalam tubuh serangga dibedakan


menjadi 3 kelompok sebagai berikut:
1. Racun Lambung (racun perut)
Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh serangga
sasaran dengan cara masuk ke pencernaan melalui makanan yang
mereka makan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga
dan diserap oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat
sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida.
Misalkan menuju ke pusat syaraf serangga, menuju ke organ-organ
respirasi, meracuni sel-sel lambung dan sebagainya. Oleh karena itu,
serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida
yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk membunuh.
2. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk kedalam tubuh serangga
melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh (trachea) atau langsung
mengenai mulut si serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan
6

langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun


kontak juga berperan sebagai racun perut.
3. Racun Pernafasan
Racun pernafasan adalah insektisida yang masuk melalui trachea
serangga dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara.
Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam
jumlah yang cukup. Kebanyakan racun pernafasan berupa gas, asap,
maupun uap dari insektisida cair.

c. Sifat Insektisida Terhadap Spesifikasi Cara Kerjanya


1. Untuk mengendalikan hama yang berada didalam jaringan tanaman
(misalnya hama penggerek batang, penggorok daun) penanganannya
dilakukan dengan insektisida sistemik atau sistemik lokal, sehingga
residu insektisida akan ditranslokasikan ke jaringan di dalam tanaman.
Akibatnya hama yang memakan jaringan didalam tanaman akan mati
keracunan. Hama yang berada didalam tanaman tidak sesuai bila
dikendalikan dengan aplikasi penyemprotan insektisida kontak, karena
hama didalam jaringan tanaman tidak akan bersentuhan (kontak)
langsung dengan insektisida.
2. Untuk mengendalikan hama-hama yang mobilitasnya tinggi
(belalang, kutu gajah dll), penggunaan insektisida kontak murni akan
kurang efektif, karena saat penyemprotan berlangsung, banyak hama
tersebut yang terbang atau tidak berada di tempat penyemprotan.
Namun, selang beberapa hari setelah penyemprotan, hama tersebut
dapat kembali lagi. Pengendalian paling tepat yaitu dengan
menggunakan insektisida yang memiliki sifat kontak maupun sistemik
dengan efek residual yang agak lama. Dengan demikian apabila hama
tersebut kembali untuk memakan daun, maka mereka akan mati
keracunan.
7

B. INSEKTISIDA KIMIA
a. Jenis Insektisida Kimia
Insektisida dapat kita bagi menurut sifat dasar senyawa
kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur
karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur karbon.
Insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya
merupakan insektisida anorganik sedangkan insektisida modern setelah
DDT ditemukan umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida
organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan
insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami merupakan
insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan bahan
alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil kimia
pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi. Insektisida modern pada
umumnya merupakan insektisida organik sintetik.
Pembagian menurut sifat kimia yang lebih tepat adalah menurut
komposisi atau susunan senyawa kimianya. Pembagian insektisida organik
sintetik menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat
racun) terdiri dari 4 kelompok besar, antara lain:
1. Organoklorin (OC)
Organoklorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan
kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai
dengan ditemukannya DDT oleh Paul Mueller (Swiss) pada tahun
1940-an. DDT dalam sejarah kemanusiaan menjadi insektisida yang
paling kontroversial karena di satu pihak merupakan insektisida sintetik
pertama yang diproduksi besar-besaran dan jasanya sangat besar bagi
kemanusiaan. PM Churchill pernah menyebut DDT sebagai “Serbuk
Ajaib”. Di sisi lain karena dampaknya yang membahayakan kepada
lingkungan hidup, Rachel Carson pada tahun 1962 menyebut DDT
sebagai “Minuman Kematian”.
8

Setelah DDT, kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis


insektisida yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan
dalam golongan Hidrokarbon Klor. Semua insektisida dalam kelompok
ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon. Kadang-kadang ada
juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur.
Insektisida OC merupakan racun kontak dan racun perut, efektif
untuk mengendalikan larva, nimfa dan imago dan kadang-kadang untuk
pupa dan telur. Cara kerja (Mode of Action) OC belum diketahui secara
lengkap. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan serangga oleh
insektisida tersebut ditandai dengan terjadinya gangguan pada sistem
syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas, gemetaran,
kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta
kematian.
Insektisida golongan OC pada umumnya memiliki toksisitas
‘sedang” untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang
sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di dalam jaringan
tanaman dan dalam tubuh hewan. Misalnya DDT di daerah Subtropis
dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39% di dalam tanah,
sedangkan residu Endrin setelah 14 tahun masih dijumpai 40%.
Persistensi OC di lingkungan menimbulkan dampak negatif seperti
perbesaran hayati dan masalah keracunan kronik yang membahayakan
kesehatan masyarakat. Masalah lain yang timbul adalah
berkembangnya sifat resistensi serangga hama sasaran seperti nyamuk
dan lalat terhadap DDT.
Oleh karena bahayanya insektisida golongan Organoklorin sejak
tahun 1973 dilarang penggunaannya untuk hama pertanian di Indonesia
kecuali Endosulfan dan Dieldrin yang diijinkan secara terbatas untuk
pengendalian rayap, namun sayangnya penggunaan DDT untuk sektor
kesehatan masih dianjurkan secara terbatas sampai akhir tahun 1991.
9

Kelompok Organoklorin masih dapat dibagi menjadi 3


subkelompok yaitu, pertama DDT dan senyawa dekatnya seperti
Metoksiklor, Dikofol, BHC, atau HCH; kedua adalah Siklodien yang
terdiri dari Aldrin, Endrin, Dieldrin, Klordan, Heptaklor dan
Endosulfan. Ketiga, adalah terpene Klor seperti Toksafena.

2. Organophosphat (OP)
Insektisida OP dengan unsur P sebagai inti yang aktif saat ini
merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi
jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200 ribu senyawa OP
yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga
dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan.
Berbeda dengan OC, senyawa OP di lingkungan kurang stabil sehingga
lebih cepat terdegredasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun.
Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dh cepat,
persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara bertahap dapat
menggantikan insektisida OC. Sampai saat ini OP masih merupakan
kelompok insektisida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
Kebanyakan insektisida OP adalah penghambat bekerjanya
enzim asetilkolinesterase. Kita ketahui bahwa dalam sistem syaraf
serangga antara sel syaraf atau neuron dengan sel-sel lain termasuk sel
otot terdapat “celah” yang disebut Sinapse. Enzim Asetilkolin yang
dibentuk oleh sistem syaraf pusat berfungsi untuk mengantarkan pesan
atau impuls dari sel syaraf ke sel otot melalui sinapse. Setelah impuls
diantarkan ke sel-sel otot proses penghantaran impuls tersebut
dihentikan oleh karena bekerjanya enzim lain yaitu enzim
asetilkolinestarase. Dengan enzim tersebut asetilkolin dipecah menjadi
asam asetat dan kolin. Adanya asetilcolin-esterase menyebabkan
sinapse menjadi kosong lagi sehingga pengantaran impuls berikutnya
dapat dilakukan.
10

Insektisida OP menghambat bekerjanya enzim


asetilkolinesterase yang berakibat terjadi penumpukan asetilkolin dan
terjadilah kekacauan pada sistem penghantaran inpuls ke sel-sel otot.
Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat
diteruskan, otot kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralisis) dan
kematian.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-
atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini
mempunyai kombinasi oksigen, karbon, sulfur dan Nitrogen. OP yang
dikembangkan dari kombinasi ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok
derivat yaitu : Alifatik, Fenil, dan Heterosiklik.
Derivat Alifatik strukturnya ditandai oleh senyawa dengan rantai
karbon yang lurus dan tidak berbentuk cincin. Derivat Alifatik meliputi
insektisida-insektisida antara lain TEPP, Malathion, Dimetoat,
Dikrotofos, Mitamidofos, Asefat, dan lain-lain.
Derivat Fenil terlihat dari adanya cincin-cincin fenil dimana
salah satu H ditempati oleh “moiety” P sedangkan lainnya (satu atau
lebih) diganti oleh CH3, Cl, CN, NO2 atau S. Stabilitas derivat ini lebih
besar daripada derivat Alifatik sehingga residunya dapat lebih lama di
lingkungan. Insektisida OP yang termasuk derivat fenil adalah Metil
Parathion, Paration, Fention, Fonofos, dan lain-lain.
Derivat Heterosiklik seperti fenil mereka memiliki bangunan
rantai tetapi perbedaannya satu atau beberapa atom C ditempati oleh O,
N atau S. Juga bangunan rantai dari kelompok ini mempunyai 3,5 atau
6 atom. Senyawa-senyawa kelompok ini paling stabil dan lama
bertahan di lingkungan. Yang termasuk derivat ini antara lain
Klorpirifos, Fention, Temephos, metidation dan lain-lain.

3. Carbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan
telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama.
Golongan ini relatif baru jika dibandingkan 2 kelompok insektisida
11

sebelumnya (OC dan OP). Semua insektisida Karbamat mempunyai


bangunan dasar asam karbamat. Cara karbamat mematikan serangga
sama dengan golongan OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim
kolinesterase pada sistem syaraf. Perbedaannya bahwa pada karbamat
penghambatan enzim kolinesterase-nya bersifat bolak-balik (resersible)
sedangkan pada OP tidak bolak balik. Insektisida tersebut cepat terurai
dan hilang daya racunnya dari tubuh binatang sehingga tidak
terakumulasi dalam jaringan lemak atau susu seperti OC. Beberapa
karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang
sangat beracun.
Contoh insektisida golongan karbamat adalah Aldikarb,
Metiokarb, Metomil, Propoxur, dan lain-lain.

4. Piretroid Sintetik (SP)


Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik
konvensional yang paling baru, digunakan secara luas sejak tahun
1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan SP
karena memiliki pengaruh “knock down” atau mematikan serangga
dengan cepat. Tingkat toksisitas rendah bagi manusia.
Kelompok SP merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida
botani Piretrum yaitu Sinerin I yang berasal dari bunga Chrysanthenum
cinerariaefolium. Sebagai insektisida botani piretrum memiliki
keunggulan yaitu daya knockdown yang tinggi tetapi sayangnya di
lingkungan bahan alami ini tidak bertahan lama karena mudah terurai
oleh sinar ultraviolet. Kecuali itu penggunaan di lapangan kurang
praktis dan mahal karena piretrum harus dahulu diekstrasi dari bunga
chrisantenum. Dari rangkaian penelitian kimiawi dengan melakukan
sintesis terhadap susunan kimia piretrum dapat diperoleh bahan
kimiawi yang memiliki sifat insektisidal mirip dengan piretrum dan
bahan tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih lama di
lingkungan serta dapat diproduksi di pabrik. Jenis insektisida kimia
12

yang mirip piretrum diberi nama pirethrin yang kemudian menjadi


modal dasar bagi pengembangan insektisida golongan SP lainnya.
Insektisida SP seringkali dikelompokkan menurut generasi
perkembangannya di laboratorium. Biasanya, generasi yang lanjut
merupakan perbaikan sifat SP generasi sebelumnya. Sasaran
perkembangan SP kecuali sifat-sifat yang disebutkan diatas juga
mencari dosis aplikasi yang sekecil mungkin dengan kemampuan
mematikan serangga hama setinggi mungkin sehingga diperoleh
efisiensi ekonomis yang tinggi. Sampai saat ini sudah dikenal 4
generasi SP. Salah satu anggota generasi pertama adalah
Allethrin.Generasi kedua adalah Resmethrin. Generasi ketiga adalah
Fenvalerate dan Permethrin. Generasi keempat adalah cypermethrin,
fluvalinat dan Deltamethrin dan lain-lain.
Meskipun daya mematikan SP sangat tinggi dan sangat sedikit
menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida ini
menghadapi masalah utama yaitu percepatan perkembangan strain
hama baru yang tahan terhadap insektisida SP.

5. Fumigan
Fumigan sangat mudah menguap, kebanyakan mengandung satu
atau lebih gas halogen yaitu Cl, Br dan F. Banyak yang sangat beracun
bagi serangga hama sehingga dapat membunuh serangga di ruang
tertutup. Oleh karena itu fumigan banyak digunakan untuk
mengendalikan hama simpanan/gudang, hama rumah kaca, dan rayap.
Beberapa fumigan juga digunakan untuk perlakuan tanah.
Beberapa contoh fumigan antara lain : CH3Br, Kloropikrin,
Naftalena, dan lain-lain.

6. Minyak
Minyak tanah sejak abad ke 18 telah digunakan untuk
mengendalikan serangga yang merugikan manusia antara lain untuk
nyamuk dan hama buah-buahan. Masalah utama yang dihadapi dalam
13

penggunaan minyak tanah adalah fitotoksisitasnya yang tinggi. Oleh


karena itu sebelum digunakan minyak tanah harus disuling lebih dahulu
dengan tehnik tertentu. Minyak tanah yang telah disuling efektif untuk
pengendalian tungau, aphid dan kutu-kutu tanaman.

7. Insektisida Lain
Masih banyak kelompok insektisida lain di luar yang telah
disebutkan sebelumnya seperti Formamidin, Tiosianat, Organotin dan
lain-lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah insektisida Anorganik
yang sudah lama tidak digunakan lagi setelah adanya insektisida
organik sintetik. Termasuk dalam Anorganik adalah Kalium Arsenat,
Pb Arsenat, Kriolid dan Belerang. Umumnya insektisida tersebut adalah
racun perut. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi
untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan persisten,
ftotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama terhadap insektisida dan
efisikasinya lebih rendah bila dibandingkan insektisida organik sintetik.

b. Kelebihan dan Kelemahan Insektisida Kimia


A. Kelebihan
1. Mudah didapatkan di berbagai tempat
2. Insektisida dapat dibeli dimana saja bahkan pemerintahpun
memberi subsidi biaya penggunaan pestisida.
3. Zatnya lebih cepat bereaksi pada tanaman yang diberi pestisida
4. Kemasan lebih praktis
5. Bersifat tahan lama untuk disimpan
6. Daya racunnya tinggi (langsung mematikan bagi serangga)

B. Kekurangan
1. Hama menjadi kebal (resisten)
2. Peledakan hama baru (resurjensi)
Penggunaan insektisida yang berlebihan justru mengakibatkan
hama kebal terhadap insektisida sehingga terjadi resurjensi.
14

3. Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen


4. Terbunuhnya musuh alami
Musuh-musuh alami seperti tikus yang mampu membunuh
serangga justru mati karena insektisida buatan. Hal itu membuat
eksistensi serangga meningkat sedangkan jumlah musuh alami
menurun.
5. Pencemaran lingkungan (air dan tanah ) oleh residu bahan kimia
Residu yang tertinggal menyebabkan turunnya populasi hewan
tanah. Hal itu berakibat pada berkurangnya tingkat kesuburan
tanah. Tak jauh berbeda, lingkungan perairan yang tercemar
menyebabkan satwa yang hidup di dalam dan sekitarnya turut
tercemar bahkan insektisida yang dikonsumsi oleh ikan membuat
manusia yang memakan ikan-ikan tersebut terserang penyakit
atau kematian. Contoh : kematian 13 orang di Aceh Utara akibat
mengkonsumsi tiram (Ostrea culcullata) yang tercemar pestisida.
Pencemaran itu menurut Kompas 10 Mei 1993 berasal dari
tambak udang yang menggunakan Brestan untuk membunuh siput
dan hama yang memakan benur.
6. Tidak ramah lingkungan
7. Harganya mahal
8. Membahayakan kesehatan manusia
Jika manusia mengkonsumsi makanan yang mengandung residu
pestisida dengan kadar 100 g setiap hari maka dalam setahun
manusia mengkonsumsi bahan aktif pestisida sekitar 5,5-12,75 g
setara dengan ¾ liter atau ½ kaleng racun nyamuk yang jika
diminum dapat menimbulkan kematian. Contoh: Widjanarka dari
kelompok relawan anti penyalahgunaan pestisida menuturkan
bahwa kubis di daerah Cipanas mengandung pestisida sejenis
paration 20-29 ppm serta kubis dan sawi di daerah Sukabumi juga
mengandung pestisida jenis paration 20-29 ppm.
9. Matinya organisme yang berguna
15

Insektisida dapat membunuh hewan-hewan tanah yang


bermanfaat dalam proses menyuburkan tanah.

c. Akibat Pemakaian Insektisida Kimia Yang Berlebihan


Memang kita akui, insektisida banyak memberi manfaat dan
keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu
tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan
praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta
mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain, secara ekonomi
penggunaan insektisida relatif menguntungkan. Namun, bukan berarti
penggunaan insektisida tidak menimbulkan dampak buruk.
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian insektisida, khususnya
insektisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang
besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang
mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya insektisida semakin nyata
dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan insektisida yang tidak
bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan
insektisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian, antara lain:

1. Pengaruh Negatif Insektisida Terhadap Kesehatan Manusia


Insektisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari
kata pest dan sida. Pest meliputi hama penyakit secara luas,
sedangkan sida berasal dari kata “caedo” yang berarti membunuh.
Pada umumnya insektisida, terutama insektisida sintesis adalah
biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu
sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad
bukan target termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna
lainnya.
Apabila penggunaan insektisida tanpa diimbangi dengan
perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering
16

berhubungan dengan insektisida, secara lambat laun akan


mempengaruhi kesehatannya. Insektisida meracuni manusia tidak
hanya pada saat insektisida itu digunakan, tetapi juga saat
mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.
Kecelakaan akibat insektisida pada manusia sering terjadi,
terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan
penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang
menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata
berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang,
pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian
tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan
kerja dan kurangnya kesadaran bahwa insektisida adalah racun.
Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang
menyadari daya racun insektisida, sehingga dalam melakukan
penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi
keselamatan. Insektisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat
menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa
kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak
mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara
penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga
cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah
tempat insektisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di
sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis
aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang
dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang
disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi
mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Secara tidak sengaja, insektisida dapat meracuni manusia atau
hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa
disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh
seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan
17

mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita


keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah
berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat insektisida saat ini
paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat carsinogenic
(pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan
genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran
anak cacad dari ibu yang keracunan).
Insektisida dalam bentuk gas merupakan insektisida yang paling
berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat
berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh
melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO),
paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan
insektisida. Diperkirakan 5.000-10.000 orang per tahun mengalami
dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat
tubuh, kemandulan dan penyakit liver.
Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan
peringatan keras untuk produksi insektisida sintesis. Saat itu, bahan
kimia Metil Isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang
memproduksi insektisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan
lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang
dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk
dalam sejarah produksi insektisida sintesis.
Selain keracunan langsung, dampak negatif insektisida bisa
mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang
yang sama sekali tidak berhubungan dengan insektisida.
Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun (residu) insektisida
yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi
manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi
produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun insektisida
melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis
insektisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan
18

membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman


tersebut. Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.
Dewasa ini, residu insektisida di dalam makanan dan lingkungan
semakin menakutkan manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat
pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang,
cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya
disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi,
bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa
hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi insektisida.
Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang
dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang
disemprot insektisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi
menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental.
Belakangan ini, masalah residu insektisida pada produk
pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara
importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu
insektisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya.
Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar
negeri karena residu insektisida yang berlebihan. Media massa pernah
memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat
diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu insektisida yang
melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari
Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri.
Tetapi kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan
kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara
ditolak konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu
insektisida yang tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang
batas..
Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian
sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas
19

maksimum residu insektisida pada hasil pertanian. Namun pada


kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang
perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita
ditolak oleh negara importir, akibat residu insektisida yang tinggi.
Diramalkan, jika masih mengandalkan insektisida sintesis sebagai alat
pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam
era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak
mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global.

2. Dampak Negatif Insektisida Terhadap Kualitas Lingkungan


Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program
pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah
pencemaran yang diakibatkan penggunaan insektisida di bidang
pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan.
Pencemaran insektisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di
lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan
kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun.
Insektisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar
yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran
dapat terjadi karena insektisida menyebar melalui angin, melalui
aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya.
Residu insektisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan
untuk beberapa jenis insektisida, residunya dapat bertahan hingga
puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang
dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu insektisida hampir
ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara
tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap
organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta
relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada
lingkungan menjadi masalah.
Residu insektisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air
minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling
20

berbahaya racun insektisida kemungkinan terdapat di dalam makanan


yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi insektisida dari udara jauh memperbesar resiko
pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran insektisida
di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi insektisida. Sebab
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar
insektisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke
tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan
biota bukan sasaran.
Pencemaran insektisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi
sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke
sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi
pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap
persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap
mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar
insektisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran
air irigasi.
Di dalam air, partikel insektisida tersebut akan diserap oleh
mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena insektisida itu persisten,
maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat
sampai puluhan kali dibanding dengan insektisida yang mengambang
di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan
dimakan zooplankton. Dengan demikian insektisida tadi ikut
termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki insektisida,
menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi
hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di
dalam air. Bila zooplankton-zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-
ikan kecil, konsentarsi insektisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut
lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi insektisida di dalam
tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen
21

yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan


menerima konsentrasi tertinggi dari insektisida tersebut.
Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui
rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju
aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga
terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang
menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah
sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat.
Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikan-
ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan insektisida
dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan
dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat
dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer,
dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies
tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies
dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang
yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh
oleh penggunaan insektisida adalah spesies serangga yang
menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan
bangsa burung.
Di daerah Simalungun, diketahui paling tidak dua jenis spesies
burung yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini
sulit diketemukan dan mungkin saja sedang menuju kepunahan.
Penyebabnya, salah satu adalah akibat pengaruh buruk insektisida
terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.
Spesies burung Anduhur bolon, disamping pemakan biji-bijian,
juga dikenal sebagai predator serangga, khususnya hama Belalang
(famili Locustidae) dan hama serangga Anjing Tanah (famili
Gryllotalpidae). Untuk mencegah gangguan serangga Gryllotalpidae
yang menyerang kecambah padi yang baru tumbuh, pada saat
22

bertanam petani biasanya mencampur benih padi dengan insektisida


organoklor seperti Endrin dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh
mematikan hama serangga. Jenis insektisida ini hingga tahun 60-an
masih diperjual-belikan secara bebas, dan belum dilarang
penggunaaanya untuk kepentingan pertanian.
Akibat efek racun insektisida, biasanya 2-3 hari setelah
bertanam serangga-serangga Gryllotalpidae yang bermaksud
memakan kecambah dari dalam tanah, mengalami mati massal dan
menggeletak diatas permukaan tanah. Bangkai serangga ini tentu saja
menjadi makanan yang empuk bagi burung-burung Anduhur bolon,
tetapi sekaligus mematikan spesies burung pengendali alami tersebut.
Satu lagi, spesies burung Tullik. Burung berukuran tubuh kecil
ini diketahui sebagai predator ulat penggerek batang padi (Tryporiza
sp). Bangsa burung Tullik sangat aktif mencari ulat-ulat yang
menggerek batang padi, sehingga dalam kondisi normal
perkembangan serangga hama penggerek batang padi dapat terkontrol
secara alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring dengan
pesatnya pemakaian insektisida, terutama penggunaan insektisida
sistemik, populasi burung tersebut menurun drastis. Bahkan
belakangan ini, spesies tersebut sulit diketemukan. Hilangnya spesies
burung ini, akibat efek racun yang terkontaminasi dalam tubuh ulat
padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai makanan utamanya.
Belakangan ini, penggunaan insektisida memang sudah diatur
dan dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis
insektisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk.
Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah banyak terjadi degradasi
lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan
insektisida yang tidak bijaksana. Salah satu contohnya adalah
hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan
diatas.
23

3. Insektisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad


Penganggu Tanaman
Tujuan penggunaan insektisida adalah untuk mengurangi
populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan
sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga
tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi,
karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak
penggunaan insektisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat
dikemukakan mengapa insektisida menjadi tidak efektif, dan malahan
sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad
pengganggu tanaman.
Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan insektisida,
khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi
hama.
a. Munculnya Ketahanan (Resistensi) Hama Terhadap
Insektisida
Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian insektisida yang
terus menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang
umum dan logis.
Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi
suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan
oleh insektisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama
mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap insektisida
tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah
penggunaan insektisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang
resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500 spesies
serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok
insektisida.
Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai
berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak
individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya
24

penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu


populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak
individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan
hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin
disebabkan terhindar dari efek racun insektisida, atau sebahagian
karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini,
mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi
yang mampu menetralkan daya racun insektisida. Keturunan individu
tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis.
Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan
terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap insektisida.
Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten.
Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu
memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap insektisida. Hanya saja,
waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh
jenis hama, jenis insektisida yang diberikan, intensitas pemberian
insektisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat
resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi
adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis
serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup
lama, serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi
menjadi serangga yang peka terhadap insektisida.
Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten
terhadap insektisida antara lain hama Kubis Plutella xylostella, hama
Kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi Kentang
Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera litura.
Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat
(Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan
ulat penggerek batang (Chilo suppressalis) dilaporkan mengalami
peningkatan ketahanan terhadap insektisida. Dengan semakin tahannya
hama terhadap insektisida, petani terdorong untuk semakin sering
25

melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat


dosis. Penggunaan insektisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi
peningkatan populasi hama.
Ketahanan terhadap insektisida tidak hanya berkembang pada
serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah
banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman
terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan
nematode terhadap nematisida.

b. Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan
aplikasi insektisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara
tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi
sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi
pengendalian dengan insektisida.
Resurjensi hama terjadi karena insektisida, sebagai racun yang
berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang
terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan insektisida, sering kali
mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu
sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi
demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk
mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada
kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia
dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas
pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya populasi
hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.
Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh
alami, ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibuktikan bahwa
ada jenis-jenis insektisida tertentu yang memacu peningkatan telur
serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research
Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens).
26

c. Ledakan Populasi Hama Sekunder


Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama
utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya
tujuan penggunaan insektisida adalah untuk mengendalikan hama
utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi,
apabila setelah perlakuan insektisida menghasilkan penurunan populasi
hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada
spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang
merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh
alami, akibat penggunaan insektisida yang berspektrum luas.
Insektisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi
sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan
normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.
Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di
Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan
persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut
disemprot intensif insektisida Dimecron dari udara untuk memberantas
hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian
dirumah kaca membuktikan, dengan menyemprotkan Dimecron pada
tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang dengan baik,
karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat
Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama
penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin
disebabkan penggunaan insektisida golongan khlor secara intensif
untuk mengendalikan hama sundep dan weluk.
27

C. INSEKTISIDA ALAMI
a. Jenis Insektisida Alami
1. Mimba (Azadirachta indica)
Tanaman ini telah lama dikenal dan mulai banyak digunakan
sebagai pestisida nabati menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini
dapat digunakan sebagai insektisida, bakterisida, fungisida, acarisida,
nematisida dan virisida. Senyawa aktif yang dikandung terutama
terdapat pada bijinya yaitu azadirachtin, meliantriol, salannin, dan
nimbin.
Tanaman ini dapat mengendalikan OPT seperti : Helopeltis sp,;
Empoasca sp.; Tungau jingga (Erevipalpis phoenicis), ulat jengkal
(Hyposidra talaca), Aphis gossypii, Epilachna varivestis, Fusarium
oxyporum, Pestalotia, sp.; Phytophthora sp.; Heliothis armigera,
pratylenchus sp.; Nilaparvata lugens, Dasynus sp.; Spodoptera litura,
Locusta migratoria, Lepinotarsa decemlineata, palnoccocus citri,
Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis,
Alternaria tenuis, Carpophilus hemipterus, kecoa, Crysptolestes
pussillus, Corcyra cephalonnomia, Crocidolomia binotalis, Dysdercus
cingulatus, Earias insulana, Helycotylenchus sp.; Meloidogyne sp.;
Musca domestica, Nephotettix virescens, Ophiomya reticulipennis,
Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Sogatella
furcifera, Tribolium sp.; tungro pada padi, Tylenchus filiformis.
28

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan


dengan:
1. Biji nimba dikupas / daun dimba ditumbuk lalu direndam dalam air
dengan konsentrasi 20 – 25 gram/l.
2. Endapkan selama 24 jam kemudian disaring agar didapat larutan
yang siap diaplikasikan;
3. Aplikasi dilakukan dengan cara disemprotkan atau disiramkan.
4. Sedangkan untuk pengendalian hama gudang dilakukan dengan cara
membakar daun atau batang hingga didapatkan abu, lalu
sebarkan/letakkan didekat sarang atau dijalur hama tersebut mencari
makan.

2. Piretrum (Chysanthemum cinerariaefolium VIS)


Bahan ini berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum
cinerariraefolium. Pertama kali ditemukan pada abad 19 di jaman
perang Napoleon untuk mengendalikan kutu manusia. Sifat piretrum
jaman sekarang ditiru untuk formulasi insektisida jenis aerosol.
Piretrum mempunyai 6 bahan aktif yang secara kolektif dikenal dengan
piretrin.
Sifat piretrin sebagai insektisida kontak, tetapi nyaris tidak
meninggalkan bekas (non-residual) bila permukaan yang diolesi
terpapar oleh cahaya. Namun, bila permukaan di tempat gelap, zat ini
akan bertahan maksimal 2 minggu. Tapi dikarenakan jumlah ekstrak
bunga dari bahan alami ini terbatas, maka peneliti mensintetiskan
piretrin dengan senyawa mirip piretrin yang sekarang dikenal dengan
piretriod (oid = mirip dan pire = piretrin). Jadi, yang termasuk
insektisida golongan piretroid saat ini adalah pensintetisan dari piretrin.
29

Negara penghasil piretrin di dunia adalah Kenya, Tasmania dan


Australia. Di Indonesia sebelum maraknya piretroid digunakan piretrin
dari ekstrak Pyrethrum marc. Produsen sangat menyukai menggunakan
piretrin dikarenakan harganya murah dan biaya produksinya pun
rendah. Tapi, zat piretrin ini jumlahnya terbatas, sehingga pemakiaan
bahan ini persentasinya kecil sampai sekarang.
Cara kerja piretrin adalah dengan dua tahap yaitu dengan
meracuni serangga kemudian mengganggu syaraf (blockade) serangga.
Serangga biasanya lumpuh (knock down) tetapi dapat normal kembali
bila tahap pertama bisa di atasi. Di sini, serangga tidak akan mati, tetapi
bila serangga tidak bisa menetralkan tahap pertama maka jaringan
syaraf akan terganggu dan akhirnya mati.
Aplikasi dari tanaman ini dapat digunakan untuk mengendalikan
Aphis fabae, Aphis gossypii, Helopeltis sp,; Cricula trifenestrata,
Plutella xylostella, Hyalopterus pruni, Macrosephum rosea,
Drosophilla spp.; Empoasca fabae, ulat jengkal, Thrips Choristoneuro
pinus, Doleschallia polibete, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis,
Carpophilus hemipterus, kecoa Crysptolestes pussillus, Corcyra
cephalonica, Crocidolomia binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias
insulana, Epilachna varivestis, Fusarium sp; Locusta migratoria,
Musca domestica, Nephotettix virescens, Nilaparvata lugens,
Ophiomya reticulipennis, Planococcus citri, Rhizoctonia solani,
Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Spodoptera litura, Tribolium sp,
Helycotylenchus sp.; Meloidogyne sp.; Pratylenchus sp.; Tylenchus
filiformis.
30

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat


dilakukan dengan:
1. Mahkota bunga dikeringkan lalu ditumbuk.
2. Hasil penumbukan direndam dalam air dengan konsentrasi
20 gram/l selama 24 jam.
3. Hasil endapan kemudian disaring agar didapatkan larutan
yang siap diaplikasikan.
4. Aplikasi dilakukan dengan cara penyemprotan.
5. Aplikasi dapat dilakukan dalam bentuk tepung yang
dicampur dengan bahan pembawa seperti kapur dan bedak atau
menggunakan alkohol, aceton atau minyak tanah sebagai pelarut.

3. Bakung (Crinum asiaticum L.)


Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tardisional
depresan sistem syarat pusat. Tanaman ini dapat digunakan sebagai
pengganti pestisida yang berfungsi sebagai bakterisida, dan virisida.
Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari
likorin, hemantimin, krinin dan krianamin.
Tanaman ini bermanfaat untuk menekan /menghambat
pertumbuhan Fusarium oxyporum.

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan


dengan:
1. Menumbuk daun dan atau umbi lalu direndam dalam air
dengan konsentrasi 25 – 50 gram/l selama 24 jam.
2. Larutan hasil perendaman ini disaring agar didapat larutan
yang siap diaplikasikan.
3. Aplikasi dilakukan dengan cara penyemprotan.
31

4. Sirih (Piper betle L.)


Tanaman sirih dengan banyak nama daerah merupakan tanaman
yang telah lama dikenal sebagai bahan baku obat tradisional, dapat
digunakan sebagai bahan pestisida alternatif karena dapat
digunakan/bersifat sebagai fungisida dan bakterisida. Senyawa yang
dikandung oleh tanaman ini antara lain profenil fenol (fenil propana),
enzim diastase tanin, gula, amilum/pati, enzim katalase, vitamin A,B,
dan C, serta kavarol. Cara kerja zat aktif dari tanaman ini adalah dengan
menghambat perkembangan bakteri dan jamur.

Tanaman ini walaupun belum secara efektif dapat mengendalikan


Phytophthora sp,; Fusarium oxyporum, Streptococcus viridans dan
Staphylococcus aureus.
Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan
dengan:
1. Daun sirih ditumbuk lalu direndam dalam air dengan
konsentrasi 25 – 50 gram/l selama 24 jam.
2. Setelah itu disaring agar didapatkan larutan yang siap
diaplikasikan.
3. Aplikasi dilakukan dengan cara penyiraman larutan
semprot ke sekitar tanaman yang sakit atau dengan mengoleskan
larutan pada bagian yang terserang (sakit).

5. Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)


32

Tanaman cengkeh telah lama dikenal masyarakat, baik sebagai


bumbu dapur maupun bahan baku industri (rokok, kosmetik, obat)
dengan nilai komersial yang tinggi. Sejak jaman kolonial tanaman ini
banyak ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia terutama di
Maluku dan Sulawesi. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pestisida
nabati karena dapat digunakan sebagai insektisida, fungisida,
bakterisida, dan nematisida. Senyawa aktif yang dikandung oleh
tanaman ini dapat menghambat/menekan pertumbuhan/perkembangan
cendawan penyebab penyakit, hama, nematoda dan bakteri.
OPT yang dapat dikendalikan antara lain: Fusarium sp.;
Phytophthora sp.; Rigidoporus sp.; Sclerotium sp.; Dacus sp.;
Stegobium panicum. Pseudomonas solanacearum, Radopholus similis,
Meloidogyne incognita.

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan


dengan:
1. Daun, bunga atau tangkai bunga ditumbuk hingga menjadi
tepung, dapat juga diekstrak (laboratorium).
2. Sebarkan tepung/minyak tersebut pada tanaman atau sekitar
perakaran yang terserang dengan dosis 50 gram/pohon, jika
menggunakan serasah daun cengkeh dosis yang digunakan 100
gram/pohon.
3. Pada tanaman dengan serangan ringan dapat dilakukan
penyayatan pada akar kemudian diolesi dengan tepung/ minyak
cengkeh.

6. Rotenon
33

Bahan ini dibuat dari akar dua genus tanaman kacang-kacangan


(Legume). Yakni berupa Derris elliptica dari Asia Tenggara dan
Lonchocarpus sp. dari Amerika Selatan. Di Indonesia rotenon dikenal
sebagai racun ikan pada tambak udang. Rotenon spesifik hanya
membunuh ikan liar pada kolam-kolam atau tambak udang. Sebagai
insektisida, rotenon ini merupakan racun kontak dan perut yang akan
membuat serangga berhenti makan dan akhirnya mati. Cara kerja dari
rotenon ini adalah menghambat enzim pernafasan dan metabolisme
serangga.

7. Limonene/ d-limonene
Limonene/d-limonene adalah nama latin dari ekstrak kulit jeruk.
Insektisida ini paling efektif untuk mengendalikan hama hewan
peliharaan, seperti membunuh tungau, pinjal dan caplak. Cara kerja dari
Limonene/d-limonene ini mirip dengan piretrin, yaitu menggangu
sistem syaraf namun tidak mengambat enzim.

8. Azadirachtin
Bahan ini merupakan ekstrak dari biji tanaman mimna/neem
(Azadirachta Indica). Zat ini efektif digunakan sebagai insektisida,
fungisida, dan bakterisida. Cara kerja dari Azadirachtin adalah
mengganggu pergantian kulit dengan menghambat metabolisme atau
biosintesis ekdison.

9. Nikotin
Nikotin adalah ekstrak yang berasal dari tembakau. Nikotin
sangat efektif pada serangga-serangga berkulit lunak, seperti aphid dan
ulat. Zat ini bahkan dibuat bubuknya (Tobacco dust) yang digunakan
untuk repelen anjing dan kelinci. Cara kerja dari nikotin adalah dengan
membuat serangga menjadi kejang tetapi hanya terjadi di syaraf-syaraf
pusatnya saja.
34

b. Kelebihan dan Kekurangan Insektisida Alami


A. Kelebihan
1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau
yang menyengat.
2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah
disemprot.
3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4. Menghambat reproduksi serangga betina.
5. Racun syaraf bagi hama.
6. Mengacaukan sistem hormone di dalam tubuh serangga.
7. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada
perangkap serangga.
8. Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri.
9. Dapat menyebabkan gangguan dalam proses metamorfosa dan
gangguan makan (anti feedant) bagi serangga.
10. Merupakan pengendalian hama yang ramah lingkungan.
11. Tidak mengeluarkan biaya yang besar.
12. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam
tanah maupun pada aliran air alami.
13. Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman
14. Insektisida alami merupakan bahan yang mudah terurai di alam
sehingga tidak dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya residu
yang besar.
15. Mengurangi resistensi hama
16. Mengurangi kematian musuh alami hama,
17. Mengurangi resiko terjadinya letusan hama kedua.
18. Mengurangi bahaya bagi manusia dan ternak.
19. Tidak mencemari alam.
20. mengurangi ketergantungan petani terhadap agrokimia.
21. Biaya lebih murah.

B. Kekurangan
35

1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga


aplikasinya harus lebih sering
2. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena
keterbatasan bahan baku
3. Kurang praktis
4. Tidak tahan disimpan
5. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan bagi serangga)
6. Cara kerjanya (efek mortalitasnya) lambat
7. Harus disemprotkan secara berulang-ulang
8. Kelebihan musuh alami dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan yang baru
9. Dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem
10. Daya tahan singkat (mudah terdegradasi) sehingga memerlukan
frekuensi penggunaan yang lebih banyak daripada pestisida
sintetik
11. Ketersediaan bahan baku yang musiman
12. Bahan nabati alami terkandung dalam kadar yang rendah
sehingga untuk mencapai efektivitas yang memadai diperlukan
jumlah bahan tumbuhan yang banyak dan diperlukan standar
pengolahan untuk tiap tanaman dan standar aplikasi pengguanaan
bagi pengendalian OPT.
36

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan, maka kesimpulan dari makalah ini
antara lain :
1. Kata insektisida secara harfiah berarti pembunuh serangga, yang berasal
dari kata “insekta” = serangga dan kata latin “cida”= pembunuh.
2. Insektisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh serangga pengganggu (hama serangga). Insektisida merupakan
salah satu jenis dari pestisida (pembunuh hama) sedangkan kelompok
pestisida lainnya antara lain rodentisida (racun binatang pengerat),
akarisida (racun tungau dan caplak), fungisida (racun cendawan), herbisida
(racun gulma..
3. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif
(senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar, yaitu
organoklorid, organophosphat, carbamat, piretroid sintetik, fumigan,
minyak, dan insektisida lain.
4. Pemakaian insektisida kimia secara berlebihan dapat menimbulkan
dampak bagi kesehatan, lingkungan, dan pelestarian plasma nuftah.
37

5. Senyawa kimia yang digunakan membunuh serangga yang terbuat dari


bahan-bahan alami seperti tumbuhan yang mudah terurai di alam
(biodegradable) sehingga tidak mencemarkan lingkungan dan relatif aman
bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.
6. Bahan-bahan non kimia yang digunakan seperti : jamur (ceolomomyces),
tanaman air, sari bunga, sari tanaman, bakteri, protozoa (nosema),
nematoda, dan virus.

B. HARAPAN
Melalui pembahasan dalam makalah ini diharapkan mahasiswa
Pendidikan Guru Sekolah Dasar mampu dan mau mengetahui dan memahami
pengetahuan tentang lingkup insektisida yang meliputi kajian tentang
insektisida, jenis-jenis insektisida serta kelebihan dan kekurangannya.

You might also like