You are on page 1of 6

Cara Belajar di Universitas dan Pembentukan Karakter1

Doni Koesoema A

Konteks Belajar
Sebelum bertanya bagaimana cara belajar di Universitas? Ada satu pertanyaan yang diandaikan:
untuk apa belajar di Universitas? Mempertanyakan alasan keberadaan para dosen, program-
program yang ditawarkan, dan kehadiran mahasiswa. Untuk apa itu semua? Dengan kata lain,
kita bertanya yang fundamental, apa tujuan sebuah universitas? Karena dari pemahaman dasar
inilah kita bisa menentukan cara belajar yang efektif yang berlaku di Universitas. Jadi, dari
tujuannya, kita menentukan sarana-sarana, cara belajar, serta sikap-sikap apa yang ditumbuhkan
agar tujuan yang diarah itu tercapai.

Kita bertanya tentang keberadaan UMN sebagai lembaga pendidikan, karena setiap orang yang
bernaung di bawah UMN mesti menghidupi visi dan misi Universitas. Sekedar mengingatkan
kembali, visi dan misi UMN adalah (saya rangkum dari website):

Visi
1. Unggul di bidang tekonologi komunikasi informasi (ICT)
2. Lulusan berwawasan internasional
3. Kompeten dalam bidangnya
4. Jiwa wirausaha
5. Berbudi pekerti luhur

Misi
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan
Penelitian
Pengabdian pada Masyarakat

Secara umum, tujuan pendidikan tinggi bisa dirangkum dalam 4 hal:

1. Knowledge (teaching, learning, pedagogy, research)


2. Skills (professionalism and competence)
3. Service (the betterment of the Society and improvement human dignity)
4. Integrated person (to be fully human)

4 Dasar Pengembangan

Karena di Universitas, tujuan belajar adalah untuk mengembangkan ilmu, kompetensi, pelayanan
masyarakat dan pembentukan karakter menjadi pribadi yang utuh, kita mesti melihat bahwa
memiliki cara belajar yang efektif hanyalah sebagian dari tujuan besar Universitas.

1
Makalah disampaikan di Universitas Media Nusantara, 15 Desember 2010.

1
Logikanya: memiliki cara belajar yang efektif, akan dapat meningkatkan pengetahuan
(knowledge), jika knowledge kita bagus, kompetensi kita akan meningkat sehingga kita menjadi
semakin ahli di bidangnya. Untuk itu, sekedar mengingat, menghafal, tidak akan mencukupi
sebagai sebuah cara belajar di Universitas. Perlu latihan, latihan, latihan terus menerus agar
pengetahuan itu menjadi milik kita. Pengetahuan yang dikuasai, disertai praksis atasnya akan
melahirkan ketrampilan (skill). Ada yang menyebut ketrampilan seperti ini sebagai hard skill.
Ketrampilan yang dilatih terus menerus akan melahirkan kompetensi. Namun, skill saja tidak
cukup. Skill yang dibutuhkan memiliki tujuan agar masyarakat itu dapat terbantu dengan
kehadiran para akademisi dan cerdik pandai. Skill itu tidak memiliki arti banyak jika tidak dapat
digunakan bagi pelayanan kepada komunitas, masyarakat, dan kemanusiaan. Agar mampu
memberikan pelayanan yang baik terhadap dunia dibutuhkan individu yang dewasa,
bertanggungjawab dan utuh (memiliki integritas moral adalah salah satu syarat bagi terciptanya
ilmu dan ketrampilan yang berguna bagi kebaikan masyarakat).

Jadi, apakah sebenarnya ada banyak tujuan di Universitas? Kita bisa mengatakan bahwa tujuan
universitas itu sebenarnya hanya satu, yaitu belajar. Bowdan dan Marton (1998) menyebutnya
university of learning. “The university does not have three aims, it has one. Teaching, research
and service are all supposed to yield learning: for the individuals (through knowledge being
formed which is new to a particular person), for humanity (through knowledge being formed
which is new in an absolute sense) and for communities (through knowledge being formed for
specific purposes) (hlm. ix).

Flash back

Berbeda dengan cara belajar di SMA. Umumnya, karena tujuan berbeda. Ada anak yang pintar di
SMA, saat kuliah hancur, karena cara berpikir tentang belajar tidak berubah. Tujuan belajar
SMA, lulus ujian nasional, lulus ujian sekolah, dapat ijasah. Tidak berarti bahwa mereka yang
memiliki tujuan di atas tidak dapat bertahan di Universitas. Itu sangat tergantung pada
bagaimana dia memahami arti belajar.

Perbedaan cara memahami arti belajar melahirkan cara berbeda dalam belajar, dan cara belajar
berbeda menentukan sukses tidaknya seseorang menjalani kehidupan di Universitas dan
kehidupan profesional selanjutnya.

Kisah Klasik Susan dan Robert (Biggs & Tang, 2007:8-9)

Marilah kita lihat dua mahasiswa yang sedang mengikuti kulian. Susan memiliki komitmen
secara akademik. Dia anak yang cerdas, begitu berminat terhadap apa yang sedang dipelajarinya
dan dia menginginkan yang terbaik dalam studinya. Dia memiliki rencana akademik dan karir
yang jelas, dan apa yang sedang ia pelajari sangatlah penting bagi dirinya. Ketika dia belajar, dia
mempergunakan cara-cara ‘akademik’. Dia datang di ruang kuliah dengan membawa
pemahaman dan pengetahuan yang kurang lebih telah disiapkan, ia sudah memahami beberapa
tema yang akan dibahas, mungkin juga dengan beberapa pertanyaan yang ingin ia temukan
jawabannya dalam kuliah. Selama kuliah ia dapat menemukan jawaban dan menciptakan
pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan, yang membentuk konsep-konsep dasar pemahaman
bagi sebuah pengetahuan yang sedang dipelajarinya. Atau, mungkin justru bukan jawaban yang

2
ia temukan dan ia mulai memikirkan, membuat spekulasi, mengapa bukan itu jawaban yang ia
dapatkan, dan ia mulai berminat mendalaminya karena rasa heran tadi. Dia mampu menemukan
makna materi pelajaran yang ia pelajari bagi dirinya. Mahasiswa seperti Susan, secara virtual
telah mengajar dirinya sendiri. Dia tidak butuh bantuan banyak dari dosen dalam belajar.

Sekarang kita lihat mahasiswa lain, yang bernama Robert. Dia ikut kuliah bukan karena
terdorong oleh rasa ingin tahu tentang subjek tertentu, atau memiliki semangat membara untuk
mendalami prosesi tertentu, namun ia sekedar ingin memperoleh ijasah untuk dapat pekerjaan
seadanya. Dia kurang memiliki komitmen dibandingkan dengan Susan. Mungkin ia bukan anak
yang cemerlang secara akademik. Dia hanya memiliki pengetahuan dasar yang pas-pasan yang
relevan untuk studinya. Dia datang kuliah dengan mempersiapkan sedikit pertanyaan. Bagi dia
cukup kalau ia dapat lulus pada mata kuliah itu. Robert mendengarkan kuliah dari dosen yang
sama seperti yang didengarkan oleh Susan. Namun, ia tidak membuat ringkasan, catatan, atau
mencatat hal-hal dasar yang penting. Dia percaya bahwa jika ia dapat mencatat kumpulan-
kumpulan gagasan itu, dan mengingatnya secara luar kepala, dia akan menghindari kesulitan
yang lebih jauh pada saat ujian.

Mahasiswa seperti Robert ada banyak di dalam ruang kuliah Universitas kita. Kita bisa
mengatakan, Robert kurang memiliki motivasi. Namun, mengatakan seperti itu tidak cukup.
Sebab, dia memiliki motivasi, meski sedikit, hanya saja, metode belajarnya tidak sama dengan
apa yang dilakukan Susan. Dia sesungguhnya membutuhkan bantuan. Untuk itu, tahu metode
belajar saja tidak cukup. Dosen memiliki peranan penting di sini. Jadi, dalam proses belajar,
bukan saja mahasiswa atau si pembelajar yang perlu mengembangkan diri, tapi juga cara dosen
mengajar perlu diperbaiki, agar mahasiswa seperti Robert memperoleh pengalaman maksimal
dan optimal dalam belajar.

Belajar Tidak Berdiri Sendiri

Dari pemetaan itu sangat jelas bahwa pembicaraan tentang cara belajar, merupakan salah satu
porsi dari keempat tujuan umum pendidikan, terutama membidik pengembangan pengetahuan
(knowledge).

Untuk pengembangan ini pun, ada faktor lain yang memengaruhi sukses tidaknya pembelajaran
mahasiswa, yaitu, ada hubungan timbal balik antara pengajaran (teaching) dan pembelajaran
(learning).

Jadi, pengembangan cara belajar yang baik tidak dapat disjustifikasi sebagai melulu masalah
individu mahasiswa, melainkan terkait dengan kultur pengajaran yang ada di Universitas.
Dengan kata lain, cara mahasiswa belajar bisa tergantung dari cara dosen mengajar, atau
sebaliknya, cara dosen mengajar bisa tergantung dari cara mahasiswa belajar.

Tiga Teori Mengajar

Hubungan antara Mengajar dan Belajar, adalah timbal balik. Karena itu, untuk dapat memahami
cara belajar yang baik, kita akan melihat sekilas hubungan antara model pengajaran, dengan

3
model pembelajaran yang terjadi. Lalu kita akan belajar menyimpulkan pembelajaran yang baik
itu seperti apa.

1. Teori Kambing Hitam Siswa


Intinya, tugas guru adalah mengajar, tugas siswa adalah belajar. Jika guru sudah belajar secara
maksimal, dan siswa tetap tidak dapat mengerti, maka kesalahan ada pada siswa, bukan pada
guru. Fokus persoalan ada dalam diri siswa. Faktanya, ada siswa seperti Susan, ada siswa seperti
Robert. Perbedaan dalam pembelajaran tergantung dari minat, motivasi, ketekunan, dari siswa.
Model pengajaran ini mengutamakan transfer ilmu, karena itu bentuk kuliah tatap muka menjadi
penting. Ungkapan guru yang menganut aliran ini biasanya seperti ini, “saya sudah mengajar,
tapi dasar anak itu bebal, dia aja yang tidak bisa mengerti. Padahal, yang lain bisa. Cuma dia
sendiri aja yang tidak bisa.”

2. Teori Guru Jagoan


Intinya, semuanya berpusat pada guru. Fokus pada apa yang dilakukan oleh guru. Guru memiliki
berbagai macam metode pengajaran, memakai film, power point, diskusi kelompok, latihan
pemecahan persoalan, dll. Meski terlihat dinamis, semua ini terpusat pada apa yang dilakukan
guru, dan siswa tinggal mengikuti apa yang dikehendaki guru. Siswa bisa saja menguasai materi,
dan mengerjakan ujian, tapi itu semua masih merupakan pembelajaran satu arah, semua
tergantung pada guru. Guru yang baik adalah yang memiliki kompetensi mengajar secara baik.

3. Teori Berfokus pada Siswa


Intinya, memperhatikan dinamika belajar siswa. Guru hadir membantu siswa dalam belajar.
Fokusnya adalah bukan materi, bukan metode mengajar, tapi apakah proses pembelajaran itu
terjadi atau tidak. Belajar tidak sekedar memahami konsep, fakta, dll, melainkan siswa sampai
tahap ‘mengerti’ isi materi sesuai dengan hasil yang ingin dicapai. Serta, mencari metode dan
cara belajar yang memungkinkan siswa meningkatkan pemahamanannya.

Relevansi teori Mengajar dengan Cara Belajar

1. Kultur pengajaran yang didominasi oleh teori kambing hitam mahasiswa, membuat
mahasiswa akan belajar sesuai dengan apa yang ingin ditanyakan atau apa yang
diinginkan oleh dosen. Belajar yang baik adalah apa yang diminta dosen, yang
ditanyakan dosen, lalu dijawab sesuai dengan apa yang diinginkan dosen. Belajar model
ini membuat si pembelajar memenuhi hanya minimal tuntutan, asal lulus, dan tidak
bermasalah dalam ujian.
2. Kultur pengajaran yang didominasi teori guru jagoan, membuat pembelajaran menarik,
namun tetap saja, tidak menyertakan si pembelajar dalam proses pembelajaran. Cara
belajar mahasiswa akan cenderung tetap mengikuti apa yang diinginkan guru. Tidak ada
ruang bagi siswa untuk terlibat aktif.
3. Kultur pengajaran yang berfokus pada siswa, menempatkan proses pembelajaran
mahasiswa sebagai pusat, di mana di satu sisi ada target sasaran jelas yang mau dicapai,
tetapi juga di satu sisi, ada pencarian metode yang lebih mengarahkan pada tercapainya
tujuan. Model ini sering disebut dengan Learning Based Outcome.

Keutamaan Akademik

4
Cara belajar yang khas di Universitas adalah mengembangkan keutamaan akademik (intellectual
virtue). Universitas bukan melahirkan gagasan, melainkan melahirkan para pembelajar.
Melahirkan sebuah generasi yang mengerti apa artinya sebagai pembelajar, membekalinya
dengan ketrampilan, dan pembentukan keutamaan yang memungkinan individu itu terlibat aktif
dalam pembangunan tatanan masyarakat. Untuk itu, cara belajar di universitas bisa dikatakan
sebagai pengembangan kemampuan sebagai pembelajar yang mampu berpikir secara kritis.

Kisah Susan dan Robert menunjukkan sikap keterlibatan dalam belajar yang berbeda.

Tingkat keterlibatan tinggi


--------------------------------------------------------------------------------------------------
Teori (Theorizing)

Penerapan(applying) Susan
Aktifitas belajar yang
Menghubungkan (relating) dibutuhkan untuk
mencapai hasil
Menerangkan (explaining) yang diinginkan
Robert
Menggambarkan (describing)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Mencatat (note taking)

Mengingat (memorizing)

Tingkat keterlibatan rendah

Pasif Tingkat keterlibatan siswa Aktif


(kuliah standard) (problem based learning)

Tujuh Disposisi Cara berpikir yang baik:

1. Sikap terbuka dan advonturir (The disposition to be broad & adventurous)


Memiliki sikap terbuka (The tendency to be open-minded); mau mengeksplorasi pandangan
alternative (to explore alternative views); kewaspadaan terhadap cara berpikir yang sempit (an
alertness to narrow thinking); kemampuan untuk menemukan banyak pilihan untuk solusi
pemecahan masalah (the ability to generatemultiple options or solutions).

2. Sikap kagum, mau menemukan-persoalan, dan menyelidikan (The disposition toward


wondering,problem-finding, and investigating)
Kecenderungan untuk senantiasa menemukan dan merasakan hal-hal yang mengagumkan (The
tendency to wonder), mau mencari bukti (probe), menemukan persoalan (find problems),
semangat untuk bertanya (a zest for inquiry), kesadaran untuk melihat adanya banyak teka-teka
(alertness to puzzles), serta kemampuan untuk merumuskan pertanyaan (the ability for formulate
questions)

5
3. Sikap untuk senantiasa membangun penjelasan dan pemahaman (The disposition to
build explanations & understandings).
Keinginan untun mengekslporasi bagian-bagian dan berfungsinya sesuatu (A desire to explore
the parts and function of things), mencari hubungan dan penjelasan (to seek connections and
Explanations); dan kemampuan untuk membangun konsep yang kompleks (an ability to build
complex conceptualizations).

4. Sikap untuk membuat perencanaan dan menjadi strategis (The disposition to make plans
and be strategic.)
Mau menentukan tujuan (The drive to set goals), membuat dan mengevaluasi rencana-rencana
(to make and evaluate plans), memiliki kejelasan tentang hasil yang ingin diraih (to envision
outcomes), kewaspadaan akan adanya salah arah untuk sampai pada tujuan (alertness to lack of
direction); kemampuan untuk merumuskan tujuan-tujuan dan rencana-rencana (the ability to
formulate goals and plans.)

5. Sikap untuk selalu berhati-hati secara intelektual (The disposition to be intellectually


careful).
Mengutamakan ketepatan, keteraturan, dan pemahaman secara keseluruhan (The urge for
precision, organization, thoroughness); waspada terhadap akan adanya kesalahan dan
ketidaktepatan (an alertness to error or inaccuracy), kemampuan untuk memproses informasi
secara tepat (the ability to process information precisely).

6. Sikap untuk mencari dan mengevaluasi argumentasi (The disposition to seek & evaluate
reasons)
Kecenderungan untuk mempertanyakan apa yang diandaikan (The tendency to question the
given), menuntut penilaian secara benar (to demand justification); kewaspadaan tentang perlunya
mencari bukti-bukti pendukung (an alertness to the need for evidence); kemampuan untuk
menimbang dan menilai alasan-alasan yang ditemukan (an ability to weigh and assess reasons)

7.Sikap mau mencari terus dalam proses belajar ( The disposition to be metacognitive)
Kemampuan untuk menyadari dan memonitor kesalahan diri dalam berpikir (The tendency to be
aware of and monitor the flow of one’s own thinking); waspada terhadap situasi berpikir yang
kompleks (alertness to complex thinking situations); kemampuan untuk mengontrol proses
mental dan berpikir refleksif (the ability to exercise control of mental processes and to
be reflective). Mengerti kekurangan dan kelemahan dalam berpikir serta dapat mencari cara
untuk memperbaiki kelemahan ini.

Referensi

Biggs, John & Catherine Tang. 2007. Teaching for Quality Learning in University. What the
student does. New York, NY: Open University Press.

Bowden, John & Ference Marton. 1998. University of Learning. Beyond Quality and
Competence. New York, NY: RoutledgeFalmer.

You might also like