Professional Documents
Culture Documents
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan
agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali
dikenal di India. Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya
dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana,
Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala
di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal
di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah
satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan
perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran
Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap
Dewa-dewa.
1. Jaman Weda–>Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di
Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum
Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke
dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka
menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan
sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah
manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal
dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang
disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana,
Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
4.Jaman Budha–>pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana
yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan
mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu makin lama semakin menyebar mulai dari India Selatan hingga
keluar dari India dengan berbagai cara, sterutama melalui perdagangan bebas
Internasional.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana
yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan
mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui
beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga
di Nusantara
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa
Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja
Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti
sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu
berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di
lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf
Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang
menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan
Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng
dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi
dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan
bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping
itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa
sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang
pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun
760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para
pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan
Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah
Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana
Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat
dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti
Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang
memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut
Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab
Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana.
Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman
kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi
Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan
Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan
masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan
Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran,
yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya
buku Negarakertagama.
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada
membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan
suci dari Beliau.
Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam
respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan
globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir
terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian,
mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa
kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004)
seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan
bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki
kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya
global.
The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless
onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the
rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern
context.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya
Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran
sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan
untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber
nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan
dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai
dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan
berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi
masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan
pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu
menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa
3. IMPLEMENTASI AGAMA HINDU YANG BERSIFAT UNIVERSAL
Hindu memang dikenal dengan banyaknya Upacara, banyak umat Non-Hindu
yang mengangap bahwa itu tidaklah praktis. Tapi bagi Umat Hindu itulah cara
mereka menunjukan rasa cinta dan kekaguman mereka pada sang pencipta. Hindu
percaya dalam menjaga dunia ini Tuhan juga berkorban untuk kita, dan bukan
Hindu saja yang percaya hal itu, umat Kristen percaya bahwa Yesus berkorban
untuk umatnya, Budha pun berkorban untuk kedamaiaan pengikutnya. Bagi Umat
Hindu tidak ada upacara yang ribet atau tidak praktis, karena semua dilakukan
dengan rasa bahagia dan keiklasan. Bukanya hanya berdoa pada Tuhan lalu
meminta berkahnya. Dalam mantra Hindu seperti maha mantra Hare Krisna dan
lain-lain jika diartikan disebutkan pada awalnya bukan meminta berkah sesuatu
seperti doa-doa ajaran yang lain, melainkan meminta untuk mengabdi dan
berbakti pada beliau.
Dalam Hindu tidak ada namanya perwakilan Tuhan di dunia, sunguh tidak
sempurnanya Tuhan jika harus memiliki perwakilan di dunia. Aneh bukan jika itu
ada, secara logika saja sudah agak aneh. Tapi memang agama tidak bisa
dilogikakan. Seperti kebayakan Non-Hindu mengatakan bahwa umat Hindu
mengangap Sri Satya Sai Baba sebagai wakil tuhan di dunia. Itu salah, karena
Umat Hindu tidak pernah mengangap seperti itu, umat Hindu mengangap Sri
Satya Sai Baba yang memiliki tidak saja pengikut dari Hindu melainkan juga
Umat Non-Hindu sebagai Guru Besar Spritual dalam Hindu. Umat Hindu percaya
bahwa beliau adalah Guru yang patut dihormati dan bukan berarti beliau diangap
sebagai tangan tuhan di dunia ini, karena walau beliau itu penuh dengan keajaiban
namun beliau tetap tidak sesempurna tuhan.
Hindu merupakan agama yang universal, yang mampu berdampingan dengan
agama lain. Agama Hindu tidak pernah mempersalahkan agama lain yang ada di
dunia ini.
Satu lagi mungkin juga yang membedakan Hindu dari agama yang lainya, Hindu
bukanlah agama yang membenarkan penghapusan Dosa, bagi Hindu dosa tidak
bisa hapus, dengan cara apapun. Namun perbuatan dosa bisa diimbangi dengan
perbuatan Baik. Tidak ada dalam Hindu memberi secarik kertas dari sebuah
perwakilan yang menyebut dirinya perwakilan Tuhan di dunia, kemudian dosa
bisa dikurangi, lalu masuk sorga, atau dengan membunuh orang dengan atas nama
Jihad kemudian masuk sorga. Dalam Hindu itu tidaklah ada, dan juga dalam
Hindu sorga bukanlah tujuan utama mereka, melainkan Moksha atau menyatu
dengan Tuhan (Brahma) . sekarang mungkin kita sedikit melihat bagaimana ke
agungan Hindu itu sendiri, Minoritas bukan berarti tidak berkualitas. Banggalah
kita menjadi Hindu. Jangan pernah kita merasa kita ini minoritas, karena
sebenarnya kita adalah mayoritas dalam ajaran keagamaan.
Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa
kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan
pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam kontek pembicaraan kita
saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama
dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh
orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah
sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan
masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan
kemudian orang-orang Barat yang datang kemudian menyebutnya dengan India.
Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang
kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa
yang disebut juga Jambhudvìpa.
Kata Sanàtana Dharma berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu
dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama asli dari agama ini masa,
karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal,
merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya
tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran
agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa
(Mahadevan, 1984: 13).
Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu.
Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu
telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-
Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya
langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman
para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya).
Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-
orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh
karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda,
1988: 4)
Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh
pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda,
1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka
(Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu kebenaran
Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Úaýkara-math
yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan
pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam
atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut
Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila
Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta
(karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima
wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi
(kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran Veda, bukan
dalam pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang
mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah
ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison
dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah
ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian pula para maharsi diakui sebagai
penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada
sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi
agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-
Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena
kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu
menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa
dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang
Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda).
Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan
kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai
membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).
Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-
agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4
kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda
(Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra
ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu
diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa
Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang
didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui
kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan
kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf)
dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi
Agung, yakni Vyàsa yang disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya
menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada
berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.
Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti)
yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki
sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu
adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla
(yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah)
dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang
juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni
kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi
dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu
dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang
berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan
sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber ajaran Hindu yang
kedudukannya lebih tinggi.
Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini
Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar
dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan : Hindu Dharma
sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gaambaran indah tentang
Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar
tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma;
tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe
pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam
pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu
Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran
dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi
mereka (1984: 34).
Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma
mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma
merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan
Dr.K.M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan
kesulitan lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan
dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar padaa saat
tertentu (Natih: 1994: 116)
Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih
dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa yang bisa menandingi
'usia' bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Hitit. Kata
Sansekerta, dalam bahasa Sanskerta Saṃskṛtabhāsa artinya adalah bahasa yang
sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat.
Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis
dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa
resmi India. Bahasa ini juga memiliki status yang sama di Nepal.
Posisinya dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara mirip dengan posisi
bahasa Latin dan Yunani di Eropa. Bahasa Sanskerta berkembang menjadi banyak
bahasa-bahasa modern di anakbenua India. Bahasa ini muncul dalam bentuk pra-
klasik sebagai bahasa Weda. Yang terkandung dalam kitab Rgweda merupakan
fase yang tertua dan paling arkhais. Teks ini ditarikhkan berasal dari kurang lebih
1700 SM dan bahasa Sanskerta Weda adalah bahasa Indo-Arya yang paling tua
ditemui dan salah satu anggota rumpun bahasa Indo-Eropa yang tertua.
Khazanah sastra Sanskerta mencakup puisi yang memiliki sebuah tradisi yang
kaya, drama dan juga teks-teks ilmiah, teknis, falsafi, dan agamis. Saat ini bahasa
Sansekerta masih tetap dipakai secara luas sebagai sebuah bahasa seremonial pada
upacara-upacara Hindu dalam bentuk stotra dan mantra. Bahasa Sanskerta yang
diucapkan masih dipakai pada beberapa lembaga tradisional di India dan bahkan
ada beberapa usaha untuk menghidupkan kembali bahasa Sanskerta.
7. ETIKA HINDU
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat
(Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-
hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya
akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan
memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu
mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang
memegang teguh sendi-sendi kesusilaan. Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan
bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup
seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan
budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi
tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata:
"Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata
laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin
obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku
hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan
alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang.Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran
1. Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala
makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya
menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian
diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar
pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai
upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
2 Tri Kaya Parisudha Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang
merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap
individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya
Lima Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang.
4 Tri Mala
Tiga sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan
diredam sampai sekecil- kecilnya.
5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda,
yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.
6. Catur Asrama
8. Catur Warna
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.
9. Catur Guru
Empat kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.
Sradha berarti "yakin", "percaya", yang melandasi umat Hindu dalam meyakini
keberadaan-Nya. Umat Hindu mendasari keyakinannya berjumlah lima, yang
disebut dengan panca Sradha. Panca Sradha meliputi:
Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat
Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau
Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
1. DewaYadnya.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa
dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha
Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha
Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan
persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta
Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut
dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang
tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya
Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain-
lain.
2. PitraYadnya.
lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh
suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan
menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan
sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari
pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus
ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam
surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa
bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat
hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut
dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang
kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
a. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
b. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
c. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3. Manusa Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan,
di antaranya ialah:
a. Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi
yang baru lahir.
b. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur
3 bulan (105 hari).
c. Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
d. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/
Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
4. ResiYadnya.
Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan
kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di
dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara
Diksa.
b. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
c. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada
Sulinggih.
d. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para
Sulinggih.
e. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi
pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5. BhutaYadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu
makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak
terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis
makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara
Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam
semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan
tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan
diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di
Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata
itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses
mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja
agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di
Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak
dipaksa harus ikut ini atau itu.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa
lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno
yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman
sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang
berbeda sistem penekanan beragamanya.
Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus
dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus
dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap
maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran
Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan
fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-
indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang
terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar
kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah
muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan
pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila
berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara
Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu
didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik
hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah
Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari
perbedaan yang dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu
dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya
keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda
apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa
Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang
berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi
ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu
sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan
sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk
memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai
dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan
hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa).
Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.
Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama dan Tilem dapat ditemui
dalam Sundarigama yang mana disebutkan: 'Muah ana we utama parersikan
nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal
we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan
ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh
tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-
wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar,
Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"Ada hari-hari utama
penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai
keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan
dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan
Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi.
Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan
semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan
upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang
Widhi.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan
lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti
kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya
melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan
batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran,
perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting
dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan
kepada Hyang Widhi.
Kerja yang dilakukan orang tanpa mengharapkan pahala bagi kepentingan diri
pribadi adalah mulia. Pekerjaan akan juga mulia bila dilakukan disertai tanda
bakti daripada yang mengangkat orang pada penyucian dan kesempurnaan
pikiran dan jiwanya. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dan
kegiatan kerja, namun dewasa ini orang bekerja hanyalah untuk memenuhi
kebutuhan materi. Materi itu perlu dan harus diusahakan untuk memilikinya
asalkan dengan jalan yang benar dan ditujukan untuk memperkokoh dharma.
Dalam agama Hindu ada dua pemikiran yaitu untuk kesejahteraan rohani dan
jasmani makhluk (“Bhukti & mukti”). Kesejahteraan jasmani sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup, namun harus diusahakan dan ditujukan
untuk dharma. Maksudnya harta yang diusahakan ditujukan bagi
kesejahteraan umum disamping untuk kepentingan diri sendiri. Namun karena
pengaruh ahamkara (ego) manusia lupa diri dan menjadi serakah, sehingga
mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta.
Seperti apa yang terjadi saat ini, orang lebih memikirkan hasil daripada
pekejaannya. Sehingga mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya dengan mencuri, merampok, menjual narkoba atau juga
korupsi. Mereka tidak lagi menghiraukan apakah pekerjaannya merugikan
orang lain atau tidak, yang penting mereka bisa hidup mewah. Lagi-lagi
agama menanggung beban tanggung jawab untuk memperbaiki moral manusia
yang bobrok tersebut. Pada dasarnya agama telah memberikan patokan-
patokan terhadap perbuatan baik atau buruk, benar atau salah, sebagai
pedoman hidup. Namun ego (ahamkara) manusia telah menutup nurani kita
untuk berbuat jujur, berbuat sesuai kaidah-kaidah agama, sehingga tak ada
yang ditakuti. Mereka tanpa merasa bersalah untuk berbuat dosa, yang mereka
pikirkan hanyalah masalah keduniawian. Dalam ajaran Hindu bekerja
merupakan salah satu jalan untuk mencapai Tuhan yang biasa dikenal dengan
Karma Yoga. Karma Yoga merupakan bagian dan Catur Yoga (empat cara
menghubungkan diri dengan Tuhan) terdiri dari :
1) Karma Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan kerja,
2) Bhakti Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan Bakti,
3) Jnana Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan
mempelajari ilmu pengetahuan kerohanian dan
4) Raja Yoga cara menghubungkan diri dengan jalan penghayatan spiritual.
Apabila kerja merupakan salah satu cara menghubungkan diri dengan Tuhan
tentunya tujuan dan kerja itu adalah suci.
Karena pengaruh ahamkara tadi maka tujuan kerja pun menjadi bersifat
duniawi. Mereka terlalu berharap dan kerjanya sehingga ketika bekerja
mereka berpikir tentang apa yang akan mereka perbuat dengan hasil keijanya.
Dengan demikian kita hanya akan berpikir kuantitas bukan kualitas, bukankah
dengan hasil yang banyak uLaka imbalannya pun banyak. Menurut Karma
Yoga, tindakan yang dilakukan seseorang tidak dapat dihancurkan sebelum
tindakan itu mengeluarkari buahnya; tak ada kekuatan alam yang dapat
menghent.ikan tindakan itu mengeluarkan buahnya; tak ada kekuatan alam
yang dapat menghentikan tindakan itu hingga tidak menibawa akibat. Bila kita
berbuat sesuatu perbuatan jahat, maka kita harus menderita karenanya. Sama
juga bila kita berbuat hal-hal baik, maka tak ada kekuatan dalam alam yang
akan menghentikan keluarnya buah kebaikan. Sesuatu sebab membawa akibat,
tak ada yang dapat menghalangi atau menahannya. (Swami Vivekananda).
Mereka tertipu sifat guna Terikat pada keinginan yang dihasilkan olehnya
Tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan Mereka yang
pengetahuannya tiada sempurna (Bhagavadgita III. 29)
Sloka 29 menjelaskan mereka yang terikat guna akan tertipu karena harapan
yang berlebihan terhadap kerjanya. Guna sebagai batas kebehasan manusia
yang diperoleh dari kelahiran dan lingkungan yang mempunyai kekuatan
membelenggu. Bila manusia dapat menguasai kekuatan guna tersebut maka
mereka dapat bekerja giat tanpa memikirkan hasil, itulah idealnya karma
yoga. Tentunya untuk dapat menguasai guna tersebut didapat dari pengalaman
kerja sehingga kita menemukan rahasia kerja.
Tujukan pekerjaan kita untuk Tuhan, karenanya kita akan bekerja tanpa terikat
akan hasil. Apa yang dirasa, dilihat, didengar dan dibuat adalah untuk Tuhan.
Dengan demikian kita akan bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Dengan tanpa memikirkan hasil pekerjaan kita akan berdaya guna, sebagai
ilustrasi dapat saya contohkan seorang pelukis yang bekerja hanya untuk
menghasilkan lukisan yang indah, dia tidak akan memikirkan apakah
dikerjakan berbulan-bulan, memakan bahan yang mahal, tapi yang dia
pikirkan adalah melukis untuk membuat karya seni. Dan tentunya orang-orang
mengerti akan hal seni tersebut akan memberikan harga yang mahal untuk
sebuah karya seni tersebut, tetapi si seniman pun tidak akan gusar apabila
hasil lukisannya tidak ada yang membeli. Kita sebagai manusia tidak dapat
lepas dari kegiatan kerja, namun untuk mencapai tujuan tertinggi kita harus
mampu mengendalikan ke-aku-an. Sesuatu yang bersifat ke-aku-an adalah
menyalahi kesusilaan (immoril) dan sesuatu yang bersifat tidak ke-aku-an
adalah bersusila (moral) [Swami Vivekananda]. Bekerjalah untuk mencapai
hasil sebaik-baiknya dengan memperhatikan moral. Bersabarlah karena
bekerja dengan tekun maka hasilpun akan mengikuti, tak perlu mencari jalan
pintas yang hanya akan menyebabkan penderitaan.ºWHD No. 510 Juni 2009.
Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Widhi) yaitu:
Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Yoga (Raja) Marga.
BHAKTI MARGA. Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti digunakan untuk
menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi statusnya, atau
lebih luas lingkupnya misalnya: orang tua, negara, bangsa, Tuhan (Hyang
Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan, istri/
suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang
Widhi disebut Bhakta.
Maksud dari sloka itu adalah: jika benar-benar kita bhakti kepada Hyang
Widhi, janganlah terpengaruh oleh kesenangan karena ketakutan itu timbul
bilamana kesenangan terancam. Juga jangan membenci karena kebencian
menimbulkan amarah dan irihati atau sebaliknya, amarah, iri hati dan nafsu
yang tidak tercapai bisa menimbulkan kebencian. Itulah hal-hal yang
menjauhkan rasa kasih sayang kepada semua mahluk ciptaan-Nya. Bila kita
cinta dan kasih kepada Hyang Widhi berarti juga kita harus cinta dan kasih
kepada semua ciptaan-Nya. Seorang bhakta juga tidak boleh berduka dan
kecewa jika ia yakin bahwa apapun yang kita alami di dunia ini semata-mata
adalah atas kehendak-Nya. Bebaskanlah dari kebathilan, karena itu
bertentangan dengan hakekat bhakti, dan bebaskanlah dari rasa berbuat
kebaikan karena itu sudah kewajiban seorang bhakta. Pengampunan akan
diberikan oleh Hyang Widhi kepada para Bhakta.
Itihāsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-
kisah epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu di masa lampau dan
dibumbui oleh filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Itihāsa
berarti “kejadian yang nyata”. Itihāsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana
dan Mahābhārata.
Kitab Itihāsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti
misalnya Rsi Walmiki dan Rsi Vyāsa. Cerita dalam kitab Itihāsa tersebar di
seluruh daratan India sampai ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan
di Indonesia, kedua kitab Itihāsa diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuna
dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal. Cerita dalam kitab Itihāsa
diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi kakawin.
Kitab Ramayana merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Ramayana
terdiri dari 24.000 sloka dan memiliki tujuh bagian yang disebut Sapta Kanda.
Setiap Kanda merupakan buku tersendiri namun saling berhubungan dan
melengkapi dengan Kanda yang lain. Kitab Ramayana disusun oleh Rsi
Walmiki
Sad Darśana. Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna
"melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan".
Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran.
Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya sastra
mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di
tulis oleh Īśvarakṛṣṇa sekitar 200 SM. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua
umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra
Śruti, smrti, itihasa dan purana. Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah
tidak eksis lagi, tapi ajaran ini banyak membawa pengaruh pada ajaran Yoga
dan Wedanta.
Orang yang melakukan tapa yoga disebut yogi, yogin bagi praktisi pria dan
yogini bagi praktisi wanita.
Sastra Hindu yang memuat ajaran Yoga, diantaranya adalah Upaishad,
Bhagavad Gita, Yogasutra, Hatta Yoga serta beberapa sastra lainnya.
3. Mimamsa juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat
Hindu.
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama
lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan
sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian
pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang
dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi
kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut
Veda.
4. Nyaya (Logic), juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat
Hindu.
5.Vaisesika juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.
6.Wedanta Védānta) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu. Ajaran
Wedanta sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa, yaitu "penyelidikan yang
kedua", karena ajaran ini mengkaji salah satu bagian kitab Weda, yaitu kitab
Upanisad. Kata Wedanta berakar kata dari wedasya dan antah yang berarti "akhir
dari Weda". Sumber ajaran ini adalah kitab Wedantasutra atau dikenal juga
dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharesi Byasa, atau
dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwaipayana.
Pada sari bunga padma yang suci itu didirikan Padma Agung (Padma Tiga) yang
merupakan Linggih Beliau sebagai Paramashva, Sadasiwa, dan Siwa. Sementara
itu, Pura Panataran Agung Besakih masih memiliki dala pada posisi dik, masing-
masing Pura Gelap (Timur, Sadyojata, atau Iswara), Pura Kiduling Kreteg
(Selatan, Bhamadewa ahui Brahma), Pura Ulun Kulkul (Barat, Tatpurusa atau
Mahadewa), Pura Batu Madeg (Ulara. Aghora atau Wisnu) yang disebut Pura
Catur Lokaphala atau Catur-Dala. Secara holistik, maka Padma Tiga Pura
Penataran Agung Besakih, pertama-tama disangga oleh pura catur-dala, selanjutnya
ditopang lagi oleh pura Sad Kahyangan (pura utama) yang terletak di delapan
penjuru Pulau Bali atau asta-dala. Pura Kahyangan Jagat yang didirikan di seluruh
Nusantara dapat berfungsi sebagai sahasra-dala, seribu kelopak bunga padma.
• Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4
sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat
pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik dengan cepat,
dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah
denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut
Ganapatya, (Sanskerta: गाणपतय; gāṇapatya), yang menganggap Ganesa sebagai
dewa yang utama, muncul selama periode itu.[4] Kitab utama yang didedikasikan
untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati
Atharwashirsa.
Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan
Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan,
yaitu Sri (Sanskerta: शी; śrī, juga dieja Shri atau Shree) seringkali ditambahkan di
depan namanya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesa adalah
dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah doa pengucapan "seribu
nama Ganesa". Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda
dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua
versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu
sastra Hindu untuk menghormati Ganesa.
Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari
kata gana (Sanskerta: गण; gaṇa), berarti kelompok, orang banyak, atau sistem
pengelompokan, dan isha (Sanskerta: ईश; īśa), berarti penguasa atau pemimpin.[5]
Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para
gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Siwa.[6] Istilah itu
secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau
perserikatan.[7] Ganapati (Sanskerta: गणपित ; gaṇapati), nama lain Ganesa, adalah
kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti "kelompok", dan pati,
berarti "pengatur" atau "pemimpin".[7] Kitab Amarakosha, yaitu kamus bahasa
Sanskerta, memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja
(sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama
dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba,
Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya
bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka gajah).[8]
Winayaka (Sanskerta: िवनायक ; vināyaka) adalah nama umum bagi Ganesa yang
muncul dalam kitab-kitab Purana Hindu dan Tantra agama Buddha.[9] Nama ini
mencerminkan sebutan terhadap delapan kuil Ganesa yang terkenal di
Maharashtra yang mahsyur sebagai astawinayaka. Nama Wignesa (Sanskerta:
िवघ्नेश; vighneśa) dan Wigneswara (Sanskerta: िवघ्नेश् वर; vighneśvara)
(Penguasa segala rintangan) merujuk kepada tugas utamanya dalam mitologi
Hindu sebagai pencipta sekaligus penyingkir segala rintangan (vighna).
Nama yang mahsyur bagi Ganesa dalam bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar
("anak kecil"). A. K. Narain membedakan arti istilah-istilah tersebut dengan
mengatakan bahwa pille berarti seorang "anak" sementara pilleyar berarti seorang
"anak yang mulia". Dia menambahkan bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam
bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti "gigi atau gading gajah", namun lebih
lazim diartikan "gajah".[10] Seorang penulis buku yang bernama Anita Raina
Thapan menambahkan bahwa akar kata pille pada nama Pillaiyar mungkin
aslinya berarti "gajah muda", karena kata pillaka dalam bahasa Pali berarti "gajah
muda".[11]
Penggambaran
Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa
menjamur di berbagai penjuru India sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-dewi
lainnya, penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan
pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala
digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis,
bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap
manis dalam suatu keadaan.
Atribut umum
Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada
gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah.
Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting
di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang
mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta. Perut
buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung sejak zaman
dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI).[16] Penampilan ini
amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang
berbeda memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara
harfiah, perut bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).[17] Kedua nama
tersebut merupakan kata majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan
bagaimana keadaan perutnya. Kitab Brahmandapurana mengatakan bahwa
Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta (yaitu "telur alam semesta";
IAST: brahmāṇḍa) di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang ada di dalam
tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal memiliki
sekitar dua sampai enam belas lengan.[18] Banyak penggambaran tentang Ganesa
yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan
ditetapkan sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi.
Wujudnya pada masa awal memiliki dua lengan.[19] Wujud dengan 14 dan 20
lengan muncul di India Tengah selama abad ke-9 dan abad ke-10.[20] Ular adalah
tampilan yang umum dalam penggambaran tentang Ganesa dan muncul dalam
beragam bentuk.[21] Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan ular Basuki di
lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai benang
suci (IAST: yajñyopavīta) yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk,
dipegang di tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota.
Pada dahi Ganesa kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa
(Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan
bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu
dari Ganesa yang disebut Bhalachandra (IAST: bhālacandra; "Bulan di dahi")
memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna lain yang spesifik
dihubungkan dengan wujud tertentu.[22] Beberapa contoh mengenai hubungan
warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah
buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan
dengan wujud Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati
(Ganapati yang membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan
berwarna biru selama bermeditasi dalam wujud itu.
Wahana
Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai dengan wahana (tunggangan).[23] Pada
delapan penjelmaan Ganesa yang dinyatakan dalam Mudgalapurana, Ganesa lima
kali menggunakan tikus dalam lima penjelmaannya, menggunakan singa saat
menjelma sebagai Wakratunda, seekor merak saat menjelma sebagai Wikata, dan
menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada
empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar dalam Ganesapurana, Mohotkata
menunggangi singa, Mayureswara menunggangi merak, Dumraketu menunggangi
kuda, dan Gajanana menunggangi tikus. Dalam pandangan agama Jaina terhadap
Ganesa, wahananya ada bermacam-macam, seperti misalnya tikus, gajah, penyu,
domba, atau merak.[24]
Asosiasi
Rintangan
Ganesa adalah Wigneswara atau Wignaraja, dewa segala rintangan, baik yang
bersifat material maupun spiritual. Ia mahsyur dipuja sebagai penyingkir segala
rintangan, meski ia juga memasang rintangan pada umatnya yang perlu diberi
cobaan. Paul Courtright mengatakan, "pekerjaannya adalah menempatkan dan
menyingkirkan rintangan. Itu merupakan kekuasaannya yang utama..."[28]
Buddhi
Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta,
kata buddhi adalah kata benda feminin yang banyak diterjemahkan menjadi
kecerdasan, kebijaksanaan, atau akal.[32] Konsep buddhi erat dikaitkan dengan
kepribadian Ganesa, khususnya pada zaman Purana, ketika banyak kisah
menonjolkan kepintarannya dan cinta terhadap kecerdasan. Salah satu nama
Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama adalah Buddhipriya.
Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang
menurut Ganesa amat penting. Kata priya bisa berarti "yang tercinta", dan dalam
konteks suami-istri bisa berarti "kekasih" atau "suami",[33] maka nama
Buddhipriya bisa saja berarti "Yang dicintai oleh kecerdasan" atau "Suami
Buddhi".[34]
Aum
Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (Simbol: ॐ, juga
dieja 'Om'). Istilah oṃ(ng)kāraswarūpa (Aum adalah wujudnya), ketika
diidentikkan dengan Ganesa, merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia
menjelma sebagai bunyi yang utama.[35] Kitab Ganapati Atharwashirsa memberi
penjelasan mengenai hubungan ini. Swami Chinmayananda menerjemahkan
pernyataan yang relevan berikut ini:
Cakra pertama
Mitologi
Kelahiran
Meski Ganesa terkenal sebagai putera dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam
Purana memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan
oleh Siwa, atau oleh Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara
misterius dan ditemukan oleh Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai versi
mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling terkenal berasal dari kitab
Siwapurana.
Dalam kitab Siwapurana dikisahkan, suatu ketika Parwati (istri Dewa Siwa) ingin
mandi. Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia
berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya
selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati
saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak dengan baik.
Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk
karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut
melarangnya karena ia ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa
menjelaskan bahwa ia suami Parwati dan rumah yang dijaga si bocah adalah
rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau mendengarkan perintah Siwa,
sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun.
Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri.
Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisulanya dan
memenggal kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati
puteranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar
anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi
permohonan istrinya.
Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal
kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara.
Ketika turun ke dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara.
Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya
Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa
Keselamatan.
Dalam keluarga Ganesa ada saudaranya yang bernama Skanda, yang juga disebut
Kartikeya, Murugan, dan lain-lain. Perbedaan wilayah memberikan versi berbeda
tentang jenjang kelahiran mereka. Di India Utara, Skanda biasanya dianggap yang
lebih tua, sementara di India Selatan, Ganesa dianggap yang lebih dahulu lahir.
Skanda merupakan dewa perang yang mahsyur sekitar tahun 500 SM sampai 600
M, ketika pemujaan terhadapnya berkurang secara signifikan di India Utara.
Seiring dengan memudarnya Skanda, Ganesa mulai berkembang. Beberapa kisah
menceritakan persaingan antara kedua bersaudara tersebut dan bisa saja
mencerminkan ketegangan yang terjadi antar sekte (pemuja Ganesa dan pemuja
Skanda).[40]
Status orangtua Ganesa, subjek pembicaraan yang luas bagi para sarjana,
memiliki beragam versi dalam cerita-cerita mitos. Salah satu pola dalam mitos
mengidentifikasi Ganesa sebagai seorang brahmacarya yang tak menikah.[41]
Pandangan ini biasa terdapat di India Selatan dan di beberapa wilayah India
Utara. Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan konsep Buddhi (kecerdasan),
Siddhi (kekuatan spiritual), dan Riddhi (kemakmuran); tiga kualitas ini
kadangkala dipersonifikasikan sebagai para dewi, yang konon menjadi para istri
Ganesa. Dia bisa juga digambarkan dengan satu pasangan saja atau seorang
pelayan tanpa nama (Sanskerta: daşi). Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan
dewi kebudayaan dan kesenian, yaitu Saraswati atau Śarda (umumnya di
Maharashtra).[42] Dia juga disangkutpautkan dengan dewi keberuntungan dan
kemakmuran, Laksmi.[43] Contoh lainnya, terutama yang menonjol di wilayah
Benggala, menghubungkan Ganesa dengan pohon pisang, Kala Bo.[44]
Ganesa bukan dewa bagi sekte tertentu, dan umat Hindu dari seluruh denominasi
memanggil namanya saat memulai persembahyangan, memulai usaha yang
penting, dan upacara keagamaan. Penari dan musisi, khususnya di India Selatan,
memulai pertunjukkan seni seperti misalnya tari Bharatnatyam dengan terlebih
dahulu memuja Ganesa. Mantra-mantra seperti misalnya Om Shri Gaṇeshāya
Namah (Om, hormat pada Hyang Ganesa yang mahsyur-mulia) seringkali
dipakai. Salah satu mantra paling terkenal yang diasosiasikan dengan Ganesa
adalah Om Gaṃ Ganapataye Namah.
Festival yang dikaitkan dengan Ganesa adalah Winayaka caturti (Ganesa Caturti)
pada śuklapakṣa (hari keempat bulan purnama) di bulan bhadrapada
(Agustus/September) dan Ganesa jayanti (ulang tahun Ganesa) dirayakan pada
cathurthī dalam kṛṣṇapakṣa (hari keempat bulan mati) di bulan magha
(Januari/Februari).
Ganesa Caturti
Festival tahunan untuk memuja Ganesa yang berlangsung selama sepuluh hari,
dimulai pada Ganesa Caturti, yang jatuh pada akhir bulan Agustus atau awal
September. Festival memuncak pada hari Ananta Caturdasi, ketika arca (murti)
Ganesa dicelupkan ke dalam air. Pada tahun 1893, Lokmanya Tilak mengubah
festival tahunan ini dari perayaan keluarga secara pribadi menjadi acara bagi
masyarakat luas.[47] Ia melakukannya untuk mengatasi kesenjangan antara
golongan Brahmana dan non-Brahmana dan menemukan konteks tak lazim yang
dimaksud untuk membangun akar persatuan di antara mereka, dalam cita-cita
nasional menentang penjajahan Inggris di Maharashtra.[48] Karena Ganesa dipuja
secara luas sebagai "dewa bagi semua orang", Tilak memilihnya sebagai tempat
menampung protes rakyat India terhadap pemerintahan Inggris.[49] Tilak adalah
orang pertama yang memasang citra Ganesa yang besar bagi masyarakat umum di
sebuah paviliun, dan menetapkan tradisi untuk mencelupkan semua citra Ganesa
pada hari kesepuluh.[50] Di masa kini, umat Hindu di penjuru India merayakan
festival Ganapati dengan semangat menyala, meskipun hal itu paling populer di
negara bagian Maharashtra. Festival itu juga mendapat proporsi yang besar di
Mumbai dan di sekitar kuil-kuil Astawinayaka.
Kuil
Dalam tempat suci Hindu, Ganesa dapat diuraikan beraneka macam: sebagai
dewa bawahan (parswadewata); sebagai dewa yang erat dengan dewa utama
(pariwaradewata); atau sebagai dewa utama di sebuah kuil (pradhana), dijamu
bagaikan dewa tertinggi di antara dewa-dewi Hindu.[51] Sebagai dewa keluar-
masuk, dia banyak ditempatkan di pintu gerbang kuil Hindu untuk menghalau hal-
hal buruk, yang sama dengan perannya sebagai penjaga pintu rumah Parwati. Dan
juga, beberapa kuil didedikasikan untuk Ganesa sendiri, misalnya Astawinayaka
(Sanskerta: अष्टिवनायक; aṣṭavināyaka; "delapan (kuil) Ganesa") di
Maharashtra yang paling mahsyur. Terletak di jarak sekitar 100 kilometer dari
kota Pune, masing-masing dari delapan kuil ini memuliakan wujud utama
Ganapati, lengkap dengan cerita dan legendanya; bersama-sama mereka
membentuk sebuah mandala, menandai wilayah suci Ganesa.
Ada banyak kuil Ganesa yang penting di tempat-tempat berikut ini: Wai di
Maharashtra; Ujjain di Madhya Pradesh; Jodhpur, Nagaur dan Raipur (Pali) di
Rajasthan; Baidyanath di Bihar; Baroda, Dhokala, dan Balsad di Gujarat dan Kuil
Dhundiraj di Benares, Uttar Pradesh. Kuil Ganesa yang utama di India Selatan
yaitu sebagai berikut: Kuil Jambukeśvara di Tiruchirapalli; di Rameshvaram dan
Suchindram di Tamil Nadu; Hampi, Kasargod, dan Idagunji di Karnataka; dan
Bhadrachalam di Andhra Pradesh.
Kemunculan pertama
Ganesa muncul dalam wujud klasiknya sebagai dewa yang mudah dikenali
dengan atribut-atribut yang tergambar dengan baik pada permulaan abad ke-4
sampai abad ke-5. Shanti Lal Nagar mengatakan bahwa arca paling awal, yang
diketahui sebagai wujud Ganesa ada dalam sebuah ceruk di kuil Siwa di Bhumra,
yang ditafsir berasal dari zaman kerajaan Gupta.[53] Pemujaan tersendiri
terhadapnya muncul sekitar abad ke-10.[54] Narain mengikhtisarkan kontroversi
antara pemuja Ganesa dan pandangan akademis terhadap perkembangan Ganesa
sebagai berikut:
[A]pa yang selama ini tak terduga adalah kemunculan Ganesa yang agak dramatis
menurut pandangan sejarah. Pelopornya tak jelas. Keterbukaan dan ketenarannya
yang luas, yang melampaui batas mahzab dan teritorial, sungguh menakjubkan.
Di satu sisi ada kepercayaan bagi umat yang ortodoks terhadap asal-usul Ganesa
dari zaman Weda dan dalam Purana terdapat penjelasan yang membingungkan,
namun merupakan mitologi yang cukup menarik. Di sisi lain terdapat keraguan
mengenai adanya gagasan dan arca tentang dewa ini sebelum abad keempat
sampai kelima Masehi. ...[54]
Pengaruh memungkinkan
Dua sloka dalam kitab yang termasuk Yajurweda hitam, yaitu Maitrayaniya
Samhita (2.9.1) dan Taittiriya Aranyaka (10.1), menyatakan permohonan kepada
dewa yang "bertaring satu" (Dantih), "bermuka gajah" (Hastimuka), dan
"berbelalai bengkok" (Wakratunda). Nama-nama ini mengingatkan kita pada
Ganesa, dan seorang komentator dari abad ke-14 bernama Sayana dengan tegas
memastikan identifikasi ini.[64] Deskripsi tentang Dantin, yang memiliki belalai
bengkok (wakratunda) dan memegang jagung, tebu, dan gada, merupakan
karakteristik Ganapati yang utama secara Purana, seperti yang dikatakan Heras,
"tidak bisa dibantahkan lagi untuk menerima identifikasinya (ciri-ciri Ganesa)
dengan (ciri-ciri) Dantin ini".[65] Tapi, Krishan menganggap bahwa himne-himne
ini adalah tambahan (carangan) pasca zaman Weda.[66] Thapan menambahkan
bahwa pernyataan-pernyataan itu lazimnya dianggap sebagai sebuah sisipan.
Dhavalikar mengatakan, "referensi mengenai dewa berkepala gajah di Maitrayani
Samhita telah terbukti sebagai sisipan paling akhir, maka tidak begitu berguna
dalam menentukan informasi paling awal mengenai sang dewa (Ganesa)".[67]
Ganesa tidak muncul dalam wiracarita India pada zaman Weda. Sebuah sisipan
pada wiracarita Mahabharata mengatakan bahwa Resi Byasa meminta Ganesa
untuk membantunya sebagai seorang penulis untuk mencatat wiracarita yang
didikte oleh sang resi kepadanya. Ganesa setuju namun dengan syarat bahwa
Byasa harus membeberkan wiracarita itu tanpa diselingi, yaitu, tanpa berhenti.
Sang resi setuju, namun sadar bahwa untuk melakukan jeda, ia perlu
menceritakan suatu pernyataan yang sangat kompleks sehingga Ganesa akan
bertanya untuk mengklarifikasi. Kisah tersebut tidak dianggap sebagai sebuah
bagian dalam kitab orisinilnya oleh editor dalam kitab Mahabharata edisi
kritikan. Hubungan antara Ganesa dengan ketangkasan pikiran dan pembelajaran
adalah salah satu alasan sehingga ia ditampilkan sebagai penulis dikte yang
dijabarkan Byasa tentang Mahabharata dalam sisipan tersebut.[68] Richard L.
Brown memperkirakan waktunya terjadi sekitar abad ke-8, dan Moriz Winternitz
menyimpulkan bahwa kisah itu dikenal pada awal th. 900, namun tidak
ditambahkan ke dalam Mahabharata sampai sekitar 150 tahun kemudian.
Winternitz juga menambahkan bahwa versi berbeda dalam naskah Mahabharata
di India Selatan adalah penghapusan terhadap legenda Ganesa tersebut.[69] Istilah
winayaka ditemukan dalam beberapa resensi dalam Santiparwa dan
Anusasanaparwa yang dianggap sebagai sisipan.[70] Sebuah referensi tentang
Wignakartrinam ("Pencipta rintangan") dalam Wanaparwa juga dipercaya
sebagai sebuah sisipan dan tidak muncul dalam edisi kritikan.[71]
Zaman Purana
Ketika Ganesa diterima sebagai salah satu dari lima dewa utama dalam
Brahmanisme, beberapa brahmana memilih untuk memuja Ganesa sebagai dewa
utama mereka. Mereka mengembangkan tradisi Ganapatya, seperti yang dapat
disimak dalam Ganeshapurana dan Mudgalapurana.
Hubungan dagang dan budaya telah memperluas pengaruh India di Asia Barat dan
Tenggara. Ganesa adalah salah satu dari banyaknya dewa-dewi Hindu yang
menjamah negeri asing sebagai akibatnya.[80]
Ganesa khususnya disembah oleh para pedagang dan rombongannya, yang pergi
ke luar India untuk malakukan hubungan dagang. Periode dari sekitar abad ke-10
sampai seterusnya ditandai oleh perkembangan jaringan-jaringan baru terhadap
hal pertukaran, pembentukan serikat dagang, dan bangkitnya sirkulasi keuangan.
Selama masa ini, Ganesa menjadi dewa utama yang dikaitkan dengan para
pedagang.[81] Tulisan paling awal yang mengandung seruan kepada Ganesa
sebelum memanggil dewa-dewi lainnya dikaitkan dengan komunitas rombongan
pedagang.[82]
Sebelum kedatangan Islam, Afganistan memiliki ikatan budaya yang erat dengan
India, dan pemujaan terhadap dewa-dewi Hindu maupun Buddha sama-sama
dijalankan. Beberapa contoh arca dari abad ke-5 sampai abad ke-7 telah bertahan,
mencerminkan bahwa pemujaan Ganesa adalah hal yang populer di wilayah itu.[85]
Ganesa muncul dalam agama Buddha Mahayana, tidak hanya dalam wujud dewa
Vināyaka dalam agama Buddha, namun juga sebagai wujud raksasa dengan nama
yang sama.[86] Citranya muncul dalam arca-arca agama Buddha selama akhir masa
kerajaan Gupta. Sebagai dewa Vināyaka dalam agama Buddha, ia seringkali
digambarkan sedang menari. Wujud ini, disebut Nṛtta Ganapati, dan termahsyur
di wilayah India Utara, kemudian diadopsi di Nepal, lalu di Tibet.[87] Di Nepal,
wujud Ganesa secara Hindu, dikenal sebagai Heramba, sangat terkenal; ia
memiliki lima kepala dan menunggangi singa. Penggambaran Ganesa di Tibet
menunjukkan pandangan yang bertentangan terhadapnya.[88] Ganapati versi Tibet
adalah tshogs bdag.[89] Dalam versi Tibet, Ganesa digambarkan sedang diinjak
oleh kaki Mahākāla, yaitu dewa bangsa Tibet yang terkenal. Penggambaran lain
menampilkan wujudnya sebagai pemusnah segala rintangan, kadangkala dalam
wujud sedang menari. Ganesa muncul di Cina dan Jepang dalam wujud yang
menampilkan karakter wilayah yang berbeda. Di Cina Utara, ada patung batu dari
zaman awal yang dikenal sebagai Ganesa, disertai tulisan yang berangka tahun
531.[90] Di Jepang, pemujaan terhadap Ganesa pertama kali disebutkan pada tahun
806.[91]
Sastra agama Jaina (Jainisme) tidak menyebutkan adanya pemujaan terhadap
Ganesa. Namun, Ganesa dipuja oleh banyak umat Jaina, muncul sebagai
pengambil alih fungsi Kubera.[92] Hubungan Jaina dengan komunitas perdagangan
mendukung gagasan bahwa Jainisme mengambil tradisi pemujaan Ganesa sebagai
akibat dari hubungan perdagangan.[93] Patung Ganesa tertua versi Jaina ditaksir
berasal dari abad ke-9.[94] Sebuah kitab Jaina dari abad ke-15 memaparkan
prosedur untuk memasang citra Ganapati.[95] Citra Ganesa muncul dalam kuil
Jaina di Rajasthan dan Gujarat.[96]
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti,
peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau,
khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya
peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di
tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada
goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh
masyarakat setempat.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas,
bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa
dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat,
poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601).
Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga
diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak
jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa
lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah
terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai
penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah
terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan
ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada
peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus
bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan.
Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari
abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa
Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter
dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini
dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102).
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana
dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan
sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam
sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya
dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat
kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak
terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada
Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi
oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang
bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa.
Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin
memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada
hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam
wujudnya sebagai Siwa.
Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan
mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada
Dewa Siwa atau sering disebut sebagai ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap
sebagai sumber siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai
kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga
pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi
lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma,
Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu
bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas.
Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah
yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat
carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian
lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian
tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas
berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan
konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya
dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah.
Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha.
Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam,
segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam
belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk
segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99).
Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain :
berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk
buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran
(arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 :
93).
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya
berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan
bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara
lain :
- Chalalingga
- Achalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat
dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang
terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar.
Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari
tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah
dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah
beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.
b. Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga,
logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata,
mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa.
d. Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara,
madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan
juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan
dewadara.
e. Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari
saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga
dan rudrasha.
Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat
dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-
Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat
yang sulit untuk dipindahkan.
I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-
kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan.
Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata
tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan
bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga
yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai
di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari
batu.
d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan
arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang
suci, dipakai oleh brahman).
e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci,
karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang
bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma
bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran
panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.• WHD
No. 437 Juli 2003.
Pagerwesi
Hari Raya Pagerwesi
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai
manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam
kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya
alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa
penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.
Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku
Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan
Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk
semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar
Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru
kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah
sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Artinya:
Makna Filosofi
Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman
kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya
merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping
itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah
untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh."
Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum
membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan
pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha
yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-
upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan
dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh
lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus
melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan
Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima
manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam
menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban
menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh
Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya
"pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya
hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari
bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari
raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya
untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan
mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa
Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang
mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang
kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru
Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India
melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai
episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu
gurunya alam semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah
merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan
hawa nafsu jahat.
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka
Manikgeni)
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau
bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam
rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang
artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini.
Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di
Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra
(mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI)
memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia
sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan
pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah
namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar
Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama
Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15,
isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari
Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka.
Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah.
Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba —
entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya
itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk
pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan
dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah
datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif
pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun
1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan
kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri
Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu
merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu
berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu
mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah
Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu
dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan
pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya
selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu
Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi
yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat
Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum
Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan
adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan
kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak
Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan
lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar
mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana
dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan
keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus
disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki
kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan
manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk
menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan
rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan
dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang
apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran
dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah
wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning
idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan
kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma
melawan adharma.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun
mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung
jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.
Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci)
tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang
yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar
disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara
Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah
dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok
yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat
kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun
makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat
kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan
yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini
umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya
melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan
terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil
bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan
Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan
anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini
umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara
tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam
lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya
dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena
malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu
Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara
menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan
hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah
hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur
mwah maring Swarga).
Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib
melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-
sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah
dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel),
Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan
kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar
Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya,
Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu
dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan
adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta
Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut
Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar
Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih
Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada
bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama
itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan
pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya
upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat
Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama
maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin
atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama
mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang
diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang
(lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang
bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini
datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih
Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9,
tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan
bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa
namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir
sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali
elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring
Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan
mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah
9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran.
Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan
tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira
Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi
manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan
wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan
Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan
sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9,
tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit
adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi
cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura
Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan
tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa
pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang
artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara
Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu
pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan
sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng
Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan
caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma
melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan
kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi
atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat
dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan"
dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan
Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.
Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana
melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara
Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk
dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih
menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya
Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan
untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun
Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka
(April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha
Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan
dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati
(Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh
Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,
maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi
yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih
sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki
kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi
nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan
yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang
Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi
nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa
kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling
ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama
Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai
Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan
yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan
rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari
Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada
hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai
lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana,
Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling
beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah
ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan
Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak
panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur
sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama,
ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai
gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita,
Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat
Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan
panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun
yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua
perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang
itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan
adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada
Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau
pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya
Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih
sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh
menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya
kehidupan yang bahagia lahir batin.
Nyepi
Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti
berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra
Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-
mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra
langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan
yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang
tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi
Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam
membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan
dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan
penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua
kitab ini tergolong tafsir (human origin).
Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini
disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern
Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih
sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta,
Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka
Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi
Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang
serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk
kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah
perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang
dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun
kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada
di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi
kebudayaan kerajaan (negara).
Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa
Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak
itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu
membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan
persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran
agama Hindu.
Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem
penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh
seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat
(India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456
Masehi.
Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara
Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI -
XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi
berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari
Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada
bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan
upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga.
Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan
harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah
Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma
Santi.
Tujuan Hidup
"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."
Artinya:
"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng
dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di
antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:
Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-
tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup,
yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem
kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa
melestarikan alam lingkungan.
Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga
orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini
diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada
saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri
Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah
Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah
upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar
Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:
Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam
serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang
lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra
kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.
Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh
melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang
yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."
Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya,
tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang
sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu
Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk
umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati
lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada
umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan
yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa,
yoga, samadhi.
Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian
hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan
dharma, artha, kama dan moksha.
Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan
makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang.
Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya
merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur
Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual
dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri
manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti
mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu
mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan
mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan
mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan
dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma
wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna
memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan
dalam merayakan pergantian Tahun Saka
Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu
nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini,
baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman
modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan
perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini
tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan
perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan
akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-
khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai
Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya.
Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.
Pelaksanaan Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi.
Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:
"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai
serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu
jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan
pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu
memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam
oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni
budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.
Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi
di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap
memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya,
pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali.
Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat
izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh
Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
-Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan
upawasa (puasa).
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah
dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang
dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang
memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi
pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan
yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap
untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan
memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-
sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa,
mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum
selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya
kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam.
Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai
keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat
suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu
tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak
didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan
terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan.
Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.
Pada hari Siwaratri umat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
prabhawanya sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata,
meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya
agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di
dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan
menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau
Agama.
Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena
menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa
lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan
ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan
kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam
paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu 24 Januari 2001.
Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah
mati? Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat
binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk
dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu
perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional.
Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus
Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak
kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di
hutan, padang perburuannya seorang diri.
Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motip lain, bertahan di
hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan
berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon
dekat telaga yang airnya sangat bening.
Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang
sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan.
lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang,
antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan
kantuknya tangan memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam
saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam
payogan Hyang Siwa.
Dimana dibawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan
Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki
itu tpat mengenai patung Siwa tersebut. karena takut jatuh otomatis laki-laki tetap
terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala
dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.
Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan
haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Di Khayangan rohnya
sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka
sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial.
Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang
patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang
melakukan pembunuhan terhadap sarwa buron ini mendapatkan pengampunan
hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk.
Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari
sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis
Watugunung.
Arti Kata Sarasvati, Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang
artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau
kolam.
Sarasvati dalam Veda Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari
delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan
pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan
Sarasvati.
Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia Tentang Sarasvati di Indonesia telah
dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in
Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian
adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak
terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra
seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).
Kepemimpinan Hindu
Dalam kehidupan manusia didunia ini banyak ditemui usaha kerjasama untuk
mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Keseluruhan proses
kerjasama itu dinamakan organisasi. Dengan kata lain organisasi adalah
proses atau rangkaian kegiatan kerja sama sejumlah orang, untuk mencapai
tujuan tertentu (Nawawi da Handari, 1995:8).
Setidaknya ada dua jenis organisasi yaitu Organisasi formal dan non formal.
Organisasi formal memiliki struktur yang relatif permanen, prosedur dan
mekanisme yang statis, pasti dan teratur. Sedangkan Organisasi non formal
memiliki struktur yang semi permanen, prosedur dan mekanismenya mudah
berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusannya cenderung ditentukan
oleh kesepakatan bersama.
Politik Hindu
Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik
selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala
cara. Akan tetapi, Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai cara
mencari, dan mempertahankan kekuasaan, melainkan adalah bagi penegakkan
Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam percakapan antara Bhagawan
Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha, yaitu dalam Santi
Parwal LXIII, hal 147, sebagai berikut:"manakala politik telah sirna, veda pun
sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia
terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal
tindakan diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada
politiklah semua dunia terpusatkan".
"ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh.
Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politikiah
semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan,
pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia
terpusatkan"
Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut mengisyaratkan bahwa antara
Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu politik Hindu
adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah
hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan
berakibat pada kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga
akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah).
Antara politik dan kepemimpinan merupakan sebuah mata uang yang tak
dapat dipisahkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang
rat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Dalam
Kautilya Arthasastra dijelaskan pula bahwa "apa yang menjadikan raja senang
bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah
kesenangan seorang raja". Kalimat ini menunjukkan bahwa sasaran pokok
dalam politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan
penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada
kebahagiaan tertinggi, kemuliaan adalah pasti ("sang sura menanging
ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan").
Dalam Tantri Kamandaka, si gajah yang besar dan kuat namun angkuh, mati
dibunuh oleh persekutuan si burung siung, lalat dan katak. Persekutuan dan
persatuan merupakan suatu kekuatan yang maha besar sehingga akan mampu
menumbangkan kekuatan sebesar apapun.
"sakanikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksa ya,
Ksaya nikang papa nahan prayojana, Jananuragadi tuwi kapangguha.
Artinya:
Petunjuk-petunjuk seperti ini sangat banyak dijumpai dalam sastra sastra Jawa
Kuna, yang memberikan petunjuk bahwa seorang pemimpin tidak boleh
bertidak sesuka hatinya ketika ia memegang kekuasaan. Dari semua hukum-
hukum yang harus dipedomani oleh seorang pemimpin, disimpulkan dalam
dharma yang mengandung pengertian segala sesuatu yang mendukung orang
untuk mendapatkan kerahayuan. Dalam kakawin Ramayana, Bhismaparwa
dan lain-lain dijumpai uraian dharma sebagai pedoman raja (pemimpin) dalam
memimpin negaranya.
Terjemahan:
Demikianlah dharma yang sempurna engkau kerjakan sebagai raja melindungi
negara, sebabnya demikian,sayangmu pada semua makhluk dharma
namanya,penampilan kasih sayang itulah kamu kerjakan, untuk melindungi
negara, demikianiah sang prabhu (pemimpin) seharusnya bertingkah laku.
"Laku bhrtya matinggal ratunya, yan hana ratu akeras mapanas ing gawe,
byakta sira tininggal ing wadwa nira, leheng ikang ratu makeras swapadi
ngrutu makumed tar paradanda, yan hana ratu mangkana tininggal kawulanira,
ya leheng makumed paradanda swapadi ratu awisesa, awisesa ngaranya
manarub, ya hana wwang kulina janma sinoraken, yang hana wang adhahjati
dinuhuraken, yeka anarub ngaranya, yan hana ratu mangkana tininggal sira de
ning janma wwang kulina janma, (slokantara 40)
Terjemahan :
Pelayan dapat meninggalkan rajanya, bila raja kejam dan bengis tindakannya.
Raja yang demikian tentu akan ditinggalkan rakyatnya. Lebih baik raja yang
kejam daripada raja yang kikir dan sewenang-wenang. Raja yang kikir dan
sewenang-wenang lebih baik daripada raja awisesa, yaitu raja yang
mencampurbaurkan persoalan. Orang-orang yang arif bijaksana direndahkan
dan orang yang hina dimuliakan, itulah mencampur-baurkan namanya. Bila
ada raja yang demikian akan ditinggalkan oleh orang-orang arif.
Kutipan ini menunjukkan beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang
pemimpin agar tak ditinggalkan oleh para pengikutnya. Seorang pemimpin
yang baik menurut ajaran Hindu haruslah memperhatikan masalah
kesejahteraan para pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat dilihat pada
nasehat Rama kepada Wibisana berikut ini:
Terjemahan:
Pura-pura (tempat suci), rumah sakit dan pedarman supaya diperbaiki, supaya
diperbanyak untuk biaya pembangunan disimpan baik-baik. Nikmatilah apa
yang kamu ingini berilah kesejahteraan. Dharma, artha, dan kama namanya
demikian itu.
Kutipan ini juga mengandung makna bahwa raja atau pemimpin harus
mengembangkan nilai kejujuran (satya ta sira mojar) dan karena itu semua
rakyat akan segan terhadap raja atau pemimpinnya.