You are on page 1of 19

PROSTITUSI

BISNIS ATAU KEJAHATAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah


Hukum Bisnis pada Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

Disusun oleh :

- Adwin Hadi Saktiawan (109040062)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
2010
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya penulis

dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “PROSTITUSI, BISNIS ATAU

KEJAHATAN”.

Dalam menyusun makalah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan

berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih yang tulus dan mendalam kepada:

1. Dosen Mata kuliah Hukum Bisnis Bapak Harmono yang telah memberikan bimbingan

ilmu kepada penulis selama kurang dari 1 semester ini.

2. Teman-teman kelas Akuntansi C yang telah mendukung pembuatan makalah ini.

3. Rekan-rekan semua yang lainnya yang juga ikut membantu.

4. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Tingkat 2.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan,

maka saran dari berbagai pihak, penulis harapkan untuk memperbaiki dan melengkapi

makalah ini.

Harapan penulis semoga hasil penelitian dan analisa ini bermanfaat untuk

perkembangan ilmu pengetahuan khususya dibidang ilmu akuntansi, hukum dan bisnis.

Semoga segala kebaikan dari pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan

makalah ini kiranya mendapatkan limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT.

Cirebon, April 2011

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1

B. MAKSUD DAN TUJUAN ............................................................... 2

C. IDENTIFIKASI MASALAH ........................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN MASALAH ................................................................. 5

A. PROSTITUSI .................................................................................... 5

B. BISNIS PROSTITUSI ...................................................................... 8

C. BENTUK PENANGANAN ............................................................. 10

D. PENDEKATAN KEMANUSIAAN ................................................ 11

E. UPAYA PENGHAPUSAN PROSTITUSI ...................................... 13

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 14

A. KESIMPULAN .................................................................................. 14

B. SARAN ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi,

pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari

telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau

tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali

menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga

pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan

terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.

Prostitusi memang bukanlah hal yang baru di muka bumi ini. Sejak jaman nenek moyang,

jaman penjajahan hingga jaman sekarang, yang katanya semakin beradabnya tingkat

kebudayaan manusia, fenomena yang satu ini tetap menjadi sebuah “trend” dalam kehidupan

sosial kita. Definisi prostitusi sendiri adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau

hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan (Cakra, 2010). Dengan definisi seperti ini, wanita

yang dianggap simbol keindahan dan kecantikan, menjadi komoditi yang sangat berharga.

Pesona wanita menjadi daya tarik tersendiri dan inilah yang digunakan sebagai „barang

dagangan‟ yang dapat menghasilkan uang. Laki-laki memang ada juga yang menjual diri, tapi

jarang ada yang terorganisir dalam jumlah besar.

“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada

seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks

di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual.

Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia

karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan

menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia,

kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.

1
Prostitusi merupakan ladang bisnis bagi mereka yang terjepit oleh tuntutan zaman dan

ekonomi yang semakin harus terus dipenuhi. Akan tetapi tindakan tersebut juga merupakan

sebuah tindak kejahatan yang dapat merugikan apabila mereka mendapatkan perlakuan yang

tidak mengenaknan seperti penganiayaan serta diskriminasi oleh beberapa pihak. Namun tidak

ada kejelasan apakah prostitusi masih bisa dikatakan sebuah bisnis ataukah kejahatan.

B. Maksud Dan Tujuan

Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak

perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali

melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol kota dan

mengirimnya ke panti-panti sosial, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan

jumlahnya makin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut

karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada

pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan

masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius

menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi

pelacuran itu tidak berhasil.

Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini

anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau

pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mitos

keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka yang

menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang

kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para

pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran

itu sendiri.

Makalah ini difokuskan terhadap persepsi bahwa prostitusi merupakan bisnis atau sebuah

kejahatan. Apabila mengacu pada pendapat di atas, maka prostitusi bisa saja sebuah bisnis

yang dipandang sebagai tindak kriminal sebaiknya dieliminasi dan lebih jauh aktivitas seperti
2
itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized). Persoalannya, mungkinkah dekriminalisasi

prostitusi dikembangkan di Indonesia?

Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada

beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual

atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah

pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan

dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau

lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan

sebagai tindakan kriminal.

Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini

seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia,

sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap

“menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang “bermoral” dan

“beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama

yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual

dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada “kesenangan

seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena

berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.

C. Identifikasi Masalah

Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa

paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat.

Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi

seks komersial tersebut.

Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi pada

praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan

prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat,

3
khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma

prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas

seksual?

Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan

liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya,

Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah

besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas

di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.

Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja dan

bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut. Jika hukum memandang aktivitas

ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan

harus diubah dan diperbarui. Indonesia sangat mungkin melakukan penataan terhadap

prostitusi. Pemerintah dapat memberikan lisensi bisnis kepada prostitusi dan menjamin

mereka yang menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik

sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah memberikan

pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka terhindar dari konsekuensi

keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial.

4
BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

A. Prostitusi

Kejahatan sudah ada sejak dahulu kala di dalam suatu masyarakat, dan dapat dikatakan

sebagai suatu penyakit masyarakat. Menurut pendapat Kartini Kartono: Crime atau kejahatan

adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga

masyarakat menentangnya”.

Dan sepanjang sejarah hal tersebut adalah merupakan suatu hal yang ditakuti oleh masyarakat,

tetapi hal tersebut selalu ada di dalam masyarakat karena merupakan suatu penyakit. Seorang

ahli sosiologi berpendapat dari sudut sosiologis.

“Bahwa kejahatan itu bersumber di masyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk

melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang menanggung akibatnya dari kejahatan itu

walaupun secara tidak langsung, oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah

di masyarakat”

Pendapat tersebut di atas menitik beratkan bahwa penyebab dari tindak kejahatan/tindak

pidana adalah karena masyarakat memberi kesempatan terhadap timbulnya kejahatan. Tetapi

di lain pihak ada yang berpendapat lain seperti apa yang dikemukakan Cesare Lombroso

seorang dokter Italia yang bekerja di penjara-penjara. Hasil-hasil penelitian Lombroso atas

narapidana di penjara-penjara telah melahirkan teori-teori Lombroso yang telah

mempengaruhi tentang sebab kejahatan pada saat itu yaitu:

“Type-type kriminal dengan prinsip-prinsip atavisme yang menyatakan adanya proses

kemunduran kepada pola-pola primitif dari speciesnya yaitu tiba-tiba muncul ciri-ciri milik

nenek moyang, yang semula lenyap selama berabad-abad, dan kini timbul kembali”.

5
Di lain pihak para ahli kriminologi dan sosiologi yang berpendapat lain yakni mereka

berpendapat: “Kondisi lingkungan yang tidak waras merupakan tempat persemayaman bagi

kejahatan (Evil Resides in an imperfect environment)”.

Dan inipun masih ada lagi pendapat Aristoteles (384. 322 S.M) yang menyebutkan: “Adanya

hubungan di antara masyarakat dan kejahatan yaitu dalam wujud peristiwa kemiskinan

menimbulkan pemberontakan dan kejahatan”.

Kejahatan memang merupakan gejala masyarakat yang amat sangat mengganggu

ketenteraman, kedamaian serta ketenangan masyarakat yang seharusnya lenyap dari muka

bumi ini, namun demikian seperti halnya siang dan malam, pagi dan sore, perempuan dan

laki-laki, maka kejahatan tersebut tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan,

kebajikan dan sebagainya.

Hal ini akan nampak pula ada ungkapan di bawah: “… kejahatan yang selalu akan ada, seperti

penyakit dan kematian yang selalu berulang, seperti halnya musim yang akan berganti-ganti

dari tahun ke tahun.

Dari ungkapan di atas maka jelaslah bahwa walaupun kejahatan merupakan suatu gangguan

terhadap ketentraman, ketenangan dan keamanan masyarakat yang harus dihilangkan dari

muka bumi ini, namun sesuai dengan sifat kodratnya sebagai kebalikan dari adanya kebaikan,

maka kejahatan tersebut akan selalu ada dan akan tetap ada di muka bumi ini tidak dapat

dimusnahkan sama sekali.

Yang menarik dalam perkembangan kejahatan itu ialah akhir-akhir ini tidak sedikit wanita-

wanita yang terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya hanya lazim dilakukan laki-

laki, misalnya ikut serta dalam penodongan, perampasan kendaraan bermotor, pembunuhan

atau bahkan otak perampokan. Maka citra wanita yang seolah-olah lebih bertahan terhadap

kejahatan, mulai pudar. Kenyataan ini menimbulkan keprihatinan di sementara kalangan

wanita, sebab sampai sekarang secara diam-diam wanita dianggap sebagai benteng terakhir

meluasnya kriminalitas.

6
Hukum sendiri sebenarnya sudah memberi peringatan bahwa barang siapa yang mengadakan

pelanggaran hukum baik itu laki-laki ataupun wanita dapat dihukum yang sesuai dengan

perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan pidana dalam Undang-undang

Indonesia berlaku bagi orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh

dihukum (peristiwa pidana)”.

Berdasarkan pada KUHP pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di Indonesia tidak

membedakan golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria maupun wanita adalah

sama dalam mentaati segala perundang-undangan atau hukum yang berlaku di Indonesia.

Hukum dalam kontekstual sebenarnya cukup ideal untuk dijadikan salah satu upaya menakut-

nakuti siapapun agar tidak berbuat jahat. Namun dalam realita tujuan itu tak mudah dicapai.

Hal ini bisa dilihat dari berita majalah-majalah ataupun surat kabar-surat kabar yang sering

memuat berita tentang kejahatan, bukan saja dilakukan oleh orang laki-laki tetapi juga

dilakukan oleh wanita, dan tidak sedikit jumlah wanita yang melakukan tindak pidana baik

kejahatan atau pelanggaran saja. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Betapa tidak, karena

wanita adalah sebagai tiang negara. Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa wanita diibaratkan

sebagai tiang negara, jika wanita dalam suatu negara itu rusak, maka rusak pula negara itu.

Dan jika kaum wanita dalam suatu negara itu baik dan shalihah, maka baik pula negara itu”.

Terasa akan lebih mencengangkan kita, jika kemudian diketahui bahwa dari sekian jenis

kejahatan yang dilakukan wanita justeru kejahatan kesusilaan (baca : prostitusi). Anehnya

justeru jenis kejahatan ini tidak sedikit diperoleh keterangan justeru dilakukan oleh wanita

dari kalangan yang berstatus mahasiswa.

Memang tidak salah jika para sepuh kita sering berujar, bahwa dunia semakin rusak. Terbukti

kenyataan sebagaimana di atas, oleh sejumlah kalangan dianggap sudah merupakan kewajaran

dalam era kekinian, dimana segala sesuatu lebih mengedepankan kepentingan bisnis dari pada

penghormatan nilai etika. Sebagaimana dikatakan Rudy Gunawan, bahwa di era informatika

dan global ini, disadari bahwa segala sesuatu memiliki kedekatan dengan segala bentuk
7
erotisme, manusia semakin berlomba memanfaatkan erotisme sebagai pemenuhan prinsip

ekonomi, karena telah terbukti erotisme adalah bumbu penyedap yang membuat produk laku

keras dan dunia hiburan selalu berusaha memancing sensasi seksual untuk menarik minat

konsumen, alhasil dari padanya dihasilkan banyak uang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Prostitusi” mengandung makna suatu kesepakatan

antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam hal mana pihak lelaki

membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang

diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai

kesepakatan.

Selanjutnya secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu

“Prostitute/prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup sebagai

perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata orang awam

prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan memberi kenikmatan seksual

pada kaum laki-laki.

B. Bisnis Prostitusi

Perdagangan wanita adalah modal dasar bisnis prostitusi. Meskipun perdagangan wanita ini

tidak hanya berujung pada masalah prostitusi. Dan juga Prostitusi sendiri tidak hanya

disupport oleh perdagangan wanita saja. Prostitusi dan perdagangan wanita merupakan kajian

yang berbeda, namun bisa jadi dan sangat mungkin saling mendukung. Banyak faktor yang

menyebabkan praktek prostitusi baik secara internal maupun eksternal. Dari beberapa

penelitian faktor itu antara lain karena kemiskinan, pendidikan yang rendah, sosial budaya,

dan tetek bengek lainnya (Masway, 2009).

Arus perdagangan perempuan di tanah air memang cukup tinggi. Pengangguran di depan mata

yang sudah menggunung tak kurang dari 40 juta jiwa menjadi pintu awal kemungkinan

terjadinya perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan terjadi manakala dipicu oleh

faktor tingginya angka pengangguran dan meningkatnya kemiskinan yang ada dalam

8
masyarakat (Damayanti, 2008). Masih menurut Damayanti (2008), mengungkapkan adanya

demand pada tempat-tempat pariwisata menjadi salah satu sumber pangkal, kenapa industri

prostitusi di tanah air akan mempunyai peluang yang kuat.

Prediksi bahwa industri pariwisata akan dibarengi dengan suburnya industri prostitusi

memang sulit dielakan. Catatan Dario Agnote, Sex Trade, Key Part of South East Asian

Economies (1998) dalam Damayanti (2008), mengungkapkan bahwa luas dan kuatnya

jaringan sindikat perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia bisa pula dilihat dari

besarnya uang yang dihasilkannya, yang mencapai 1,2 hingga 3,3 milyar dollar AS per tahun,

atau mencapai 0,8 hingga 2,4 persen dari GDP kita.

Faktor Penyebab Prostitusi

Penelitian Setiawan (2010) dengan metode wawancara terhadap 20 wanita yang terlibat

prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia „hitam‟ tersebut

adalah sebagai berikut:

- faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%

- faktor putus cinta sebanyak 20%

- faktor lingkungan 15%

- faktor hasrat seks 10%, dan

- faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya

besar sebanyak 10%.

Lagi-lagi faktor ekonomi merupakan alasan mengapa seseorang memilih menjadi pekerja seks

dan memperdagangkan tubuhnya. Himpitan ekonomi membuat banyak perempuan menjadi

gelap mata, mau bekerja apa saja asal mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya.

Tempat Protitusi

Sebagai contoh yang dikutip dari media cetak harian Cirebon yaitu Pikiran Rakyat, Rumah

susun (rusun) aset Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon yang berlokasi di Dukuh Semar

9
disinyalir dimanfaatkan sebagai tempat prostitusi terselubung. Sinyalemen tersebut

dilontarkan Sekretaris Komisi B Syamsudin ketika melakukan kunjungan kerja ke rusun yang

dikelola Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan (Pikiran Rakyat, 2009).

C. Bentuk Penanganan

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of

Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi

Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan

Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta

prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini

menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun

bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban.

Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya

penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai

individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama

ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi

sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga

miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak

kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.

Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam

melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah

(Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta.

Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan

misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari

warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah

yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya.

10
Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan biasa

kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan

dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam

eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam

buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai

bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa

pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia

berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing

yang benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat “kantung-

kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena

HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang

dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai

kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan

yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa

setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki

yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain

dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen,

germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum.

Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan

menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan

disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan.

Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.

D. Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi

terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama
11
ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk

itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti

yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah.

Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan

pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang

memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban

mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau

pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum

pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.

Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif.

Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai

sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita

bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan

untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah,

menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.

Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat,

penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan.

Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin

dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola

militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan

penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah

proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”. Karena

perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga

diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam

12
pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek

pemulangan saja.

E. Upaya Penghapusan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak

dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan

manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci,

bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya

untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan „absurd‟. Namun

bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di

sekitar kita.

pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu

penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula

untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan

prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan

aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya,

ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan

pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan.

Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial,

budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab

persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan

meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak

selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang

banyak memanfaatkannya.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi

melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai

ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga

dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar

belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering

dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Perdagangan wanita merupakan praktek illegal yang membahayakan moral bangsa. Banyak

faktor, mengapa orang melakukan perdagangan haram itu, salah satu faktor terbesar adalah

tuntutan ekonomi. Meski hidup ini semakin sulit mencari sumber penghidupan dengan cara

halal, sebaiknya masyarakat tidak putus asa dan memilih mencari sumber penghidupan

dengan cara yang tidak halal.

Perdagangan wanita menjadi bisnis prostitusi yang akan mengancam masa depan bangsa.

Maka, sebaiknya masyarakat bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga non-profit untuk

mengkampanyekan upaya pencegahan maupun penanggulangan bahaya laten perdagangan

wanita ini. Selain itu dengan lahirnya UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang, masyarakat seharusnya sepakat untuk menekan bisnis prostitusi

atau setidaknya memberikan pengawasan yang ketat terhadap prostitusi sebagai sebuah

“pasar” hasil perdagangan wanita.

Disini masyarakat dituntut menentukan apakah prostitusi sebagai bisnis atau sebuah

kejahatan. Apabila masyarakat memang termasuk pihak yang apatis ataupun justru ikut

menikmati industri ini, maka bisa saja dikatakan sebagai bisnis. Tapi tatkala yang menjadi

korban perdagangan wanita adalah seseorang yang dicintai, baru disadari bahwa industri ini

adalah bisnis yang sangat jahat.


14
B. Saran

Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak

atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita

menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang

dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan

Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih

patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam

memakan uang rakyat banyak.

Masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu

melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Cakra. 2010. Pernikahan = Prostitusi Legal?. http://c4kra.multiply.com/journal/item/221.

Damayanti, Endang Sri. 2008. Mengemas paket perdagangan perempuan.

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1694

0&Itemid=62.

Masway. 2009. Prostitusi, Bisnis atau kejahatan.

http://masway.wordpress.com/2009/01/15/prostitusi-bisnis-atau-kejahatan.

Nastiti, Anindita. 2010. Prostitusi, Ajang Perdagangan Wanita.

http://nindienastiti.multiply.com/journal/item/26

Pikiran Rakyat. 2009. Rusun di Cirebon Diduga Jadi Tempat Prostitusi Terselubung.

http://www.pikiran-rakyat.com/node/99762.

Setiawan, Jefri. 2010. Faktor Penyebab Terjadinya Prostitusi.

http://jefrisetiawan.wordpress.com/faktor-penyebab-terjadi-prostitusi.

Zahab, Balian. 2009. Prostitusi??? Why???. http://balianzahab.wordpress.com/makalah-

hukum/hukum-kepolisian/prostitusi-why/.

16

You might also like