You are on page 1of 11

KELEMAHAN UNDANG – UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

1. PENDAHULUAN

Pada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi

dan seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam harus

terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu. Semua

kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk

kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam, dan pemanfaatan sumber

daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya

alam bersifat terbatas.

Bumi (alam) sebenarnya cukup untuk memenuhi hajat hidup seluruh

manusia, seperti yang diucapkan oleh Mahatma Gandhi, bahwa “bumi cukup

memenuhi kebutuhan umat manusia, tapi ia tidak cukup untuk memenuhi

keinginan satu orang manusia yang serakah.” Namun keserakahan manusia

terkadang mengabaikan aspek keseimbangan (equalibrium) yang menimbulkan

kemerosotan kualitas lingkungan.

“Jika Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah ditangkap, Sungai terakhir

telah mengering, Manusia baru sadar kalau uang tak dapat dimakan,” Untaian

bahasa bijak orang Indian yang dipopulerkan oleh Greenpeace itu, sangat cocok

mengambarkan kesereakahan dan apatisme manusia terhadap alam dan

lingkungannya.

Sekarang ini, dengan merosotnya kualitas lingkungan di sertai ancaman global

warming, masyarakat dunia mulai sadar bahwa apa yang pernah diungkapkan

Mahatmah Gandhi dan pepatah bijak suku Indian tersebut, ditandai dengan
2

meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan seperti dengan

maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di berbagai

belahan bumi, karena timbul kesadaran bahwa pada akhirnya kerusakan

lingkungan akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang

harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup. Stabilitas

keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut

tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah komponen lingkungan

hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya

lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian,

merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.

Emil Salim (dalam Andi Sudirman Hamsah,2007:98) mengemukakan bahwa,

jaringan hubungan timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat

organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan

membentuk suatu ekosistem. Jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa tumbuh

secara stabil apabila berbagai unsur dan zat dalam lingkungan ini berada dalam

keseimbangan.

Hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap

lingkungannya, seyogyanya menimbulkan kesadaran akan pentingngnya

keberlanjutan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut

perlu di atur dengan jelas, apalagi sebahagian besar negara di dunia ini menganut

sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara hukum.


3

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan

berkembang dalam situasi kesejarahan. Karena itu, meskipun konsep negara

hukum dianggap sebagi konsep universal, pada daratan implementasi ternyata

memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh-

pengaruh kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara

dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum

muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan Sunnah

atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut Eropa Kontinental yang di

namakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law),

konsepsocialist legality, dan konsep negara hukum pancasila. Sebagai negara

hukum, maka usaha penegakan hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum

harus tetap dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara hukum

merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.

Di Indonesia sendiri, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan dengan tegas

bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsepsi negara hukum pada masa

sekarang ini adalah sesuatu yang popular, bahwa konsep tersebut selalu dikaitkan

dengan konsep perlindungan hukum.

Sejak merdeka para pendiri bangsa ini telah memikirkan pentingnya pemanfaatan

lingkungan secara lestari dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang

adil dan makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3), yaitu :” Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.


4

Kemakmuran berarti harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun

generasi yang akan datang.

Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ditekankan bahwa

pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan

lingkungan. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat(4) yaitu“ Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Namun, hak atas lingkungan yang sehat dan baik baru diatur dalam sebuah UU

No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup

yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di

Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi

Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan

hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar

Manusia, dibawah bagian Hak untuk Hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan ditempatkan hak

lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas

lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan

yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat

pemanasan global).
5

2. PEMBAHASAN

Kelemahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat kompleks dan

pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat komperehensif dan

menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di

Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar hukum

yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu kepastian hukum (Siswanto

Sunarso, 2005:31).

Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang Undang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1997 yang dianggap belum bisa

menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan

sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah

pengelolaan lingkungan.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep

pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka

pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena

persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan

investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik

pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dalam

UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2) bahwa” pelibatan masyarakat
6

harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan

lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini,

tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara

lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut

tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak di

ikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti

apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak

masyarakat dalam proses awal pembangunan.

Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-undang sangat

kurang, seperti yang dikatakan Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum Ikatan Ahli

Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat pemahaman UU 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah berlaku lebih dari 10

tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan

baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui

substansi pengaturan dengan baik. Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 %

masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan

baik, dan hal ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan kepada

masing-masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi yang berbeda.

UUPPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu

dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas rasional di

perkotaan tidak lebih dari 30 %, bahkan di desa-desa, komunitas rasional tidak

melebihi dari 5 %. Selain itu, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran

dan / atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32
7

Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam

UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang

wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan

terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu

wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32

tahun 2009). Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak lingkungan

(AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UUPPLH ini tidak

mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak

melakukannya.

Hal yang perlu di perhatikan bahwa komitmen pemerintah daerah dalam masalah

lingkungan hidup masih kurang, seperti dalam hasil survey yang dilakukan oleh

Sugeng Suryadi Syndicat tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala daerah

kurang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47% kepala daerah

kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak peduli, cukup peduli 37% dan

sangat peduli hanya berkisar 6,4%. Mudah-mudahan ditahun 2010 ini kepedulian

pemerintah terhadap masalah lingkungan sudah membaik.

Dalam pelaksanaannya biokrasi memerlukan komitmen yang tinggi dalam semua

tatanan, mulai dari perumusan kebijakan sampai pada pelaksanaan operasional

dilapangan. Perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan biokrasi pada

semua level. Sehingga apa yang yang sudah dirumuskan pada tingkat kebijakan

dapat dilaksanakan ditingkat operasional. Para politisi, aparat birokrat dan

masyarakat bersama-sama perlu memahami biokrasi dan tahu bagaimana

melaksanakannya.
8

Dalam pasal 46, berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah

mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini

ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran

untuk pemulihan lingkungan hidup”. Ketentuan ini akan sangat merugikan karena

pencemarnya tidak diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga

tertulis “cukup jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan

pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.

Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66.

Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas

linkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun

digugat secara perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah

dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini

dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara

hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup dan

perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor

melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan

kemandirian peradilan

3. PENUTUP

Penutup dari penjelasan tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian

peradilan merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk

mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66. Artinya diberlakukannya hak

perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 masih harus ditentukan dan

diuji lagi oleh peradilan. Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih
9

mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan pasal 66 karena hakim

bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan putusannya

Padahal berbagai kasus saksi pelapor seringkali menjadi korban dan kurang

mendapat perlindungan serta hak-haknya sering terabaikan bahkan justru jadi

korban seperti dalam kasus Susno Duadji.

Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup

adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang

ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya

dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya

pada pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku

mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi,

baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait

temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak

sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan

dalam waktu cepat.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya di

jabarkan secara rinci tetapi dalam pasal 98 dan 99 UUPPLH terdapat kesalahan

fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yg

seharusnya ada selain itu, sanksi hukum dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi”

setia orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke

media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)

huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
10

lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta dalam

pasal 102 UUPPLH berbunyi” setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah

B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Hal ini justru menunjukkan

ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan

limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108

UUPPLH.

Di Pasal 108 UUPLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini

bisa menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenagan dalam

penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat

(perorangan) yang luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108

bahwa “ Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah)”. Dan dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf h

sebagaimana yang dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan

lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan

dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami

tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah

penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.


11

Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan

bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik baru.

Selain beberapa permasalahan dalam UUPPLH diatas, masih banyak hal-hal yang

berpengaruh dalam penegakan hukum lingkungan, ketentuan hukum (Undang-

Undang) memang sangat penting dan berperang dalam hal ini, tetapi faktor-faktor

lain seperti kesadaran masyarakat tidak bisa dinafikan.

Posisi dan peranan aturan tersebut hanyalah sebagai sarana penunjang belaka,

sebagai sarana penunjang maka keampuhan dan kedayagunaannya akan selalu

tergantung kepada siapa dan dengan cara bagaimana digunakannya. Betapa pun

ampuh dan sempurnanya sarana, namun jika yang menggunakannya tidak

memiliki keterampilan dan kemahiran sudah pasti keampuhan dan kesempurnaan

daripada sarana tersebut tidak akan terwujud.

You might also like