You are on page 1of 18

TUGAS MPA

PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN LINGKUNGAN PADA


PROGRAM GERAKAN TERPADU PENGENTASAN KEMISKINAN
(GERDU-TASKIN) DI DESA BARENGKRAJAN

OLEH :

Alfianto Pranata (074674006)


Novia Eltaria (074674012)
Rizki Previanti (074674024)
Raizah Ainurrachma (074674034)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PMP-KN
PRODI S1-ADMINISTRASI NEGARA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara


sedang berkembang. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian
masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap
manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia
sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah. Lingkaran
kemiskinan terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu
mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik sehingga
menyebabkan kualitas sumber daya manusia dari aspek intelektual dan fisik
rendah, yang akhirnya berakibat pada rendahnya produktivitas. Selain itu,
rendahnya kualitas sumber daya manusia menyebabkan kelompok ini tersisih dari
persaingan ekonomi, politik, sosial budaya maupun psikologi sehingga semakin
tidak mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem ekonomi
masyarakat.
Dengan melihat dari sisi Negara berkembang salah satunya adalah Negara
Indonesia, pencapaian pembangunan manusia di indonesia masih tertinggal
dengan Negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan
Filipina. Dalam laporan pembangunan manusia (Human development Report
2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat menengah dalam pembangunan
manusia global (medium Human Development) dengan peringkat ke-110 dari 177
Negara. Negara Indonesia yang pada saat ini masih berada pada tahap pemulihan
restrukturisasi di bidang ekonomi dan juga perubahan-perubahan di bidang sosial
politik. Dalam proses ini tidak dapat dihindari semakin meluasnya kesenjangan
antar kelompok, juga antar daerah yang kaya dan daerah miskin, terutama
kesenjangan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tentang masalah
kemiskinan. (Wikipedia Indonesia, 2005)
Sejak awal kemerdekaan Bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian
besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana
termuat dalam alenia ke empat Undang-Undang Dasar 1945. program-program
yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap
upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya pembangunan yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus
menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Berbagai program pengentasan kemiskinan yang telah direncanakan oleh
pemerintah tersebut, dalam konteks internasional dikenal sebagai “social safety
net” (jaring pengaman sosial /JPS) dan “compensatory programs”, yang sekaligus
dipadukan dengan program pengentasan kemiskinan atau “poverty ellevation”.
Program JPS merupakan suatu upaya khusus untuk menanggulangi kondisi sosial
ekonomi masyarakat agar tidak semakin terpuruk Atau dengan kata lain program
JPS dilaksanakan untuk memutar kembali roda perekonomian rakyat melalui
tahapan “penyelamatan” (rescue), yang sifatnya mendesak dan harus ditangani
secepat mungkin dan tahapan “pemulihan” (recovery). Untuk memberdayakan
masyarakat miskin. Kedua tahapan ini merupakan strategi pelaksanaan Program
JPS menuju pada tingkat pembangunaan dan pertumbuhan ekonomi yang normal.
Pada prinsipnya program JPS bertujuan untuk membantu penduduk miskin
agar tidak menjadi sangat terpuruk dan agar dapat hidup layak. Sementara itu
program kompensasi atau “compensatory programs” lebih bersifat jangka pendek,
dan bertujuan untuk menolong penduduk yang terkena dampak sementara akibat
kebijaksanaan penyesuaian struktural ekonomi, seperti pekerja yang terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK), masyarakat yang terkena akibat langsung dari
adanya kenaikan (penyesuaian) harga bahan bakar minyak (BBM), dan
sebagainya. Sedangkan program pengentasan kemiskinan merupakan program
jangka panjang yang dilakukan secara berkesinambungan oleh pemerintah. Oleh
karena itu, program pengentasan kemiskinan tidak harus sejajar atau diadakan,
semata-mata karena adanya program penyesuaian struktural ekonomi.
Berdasarkan konsep pemikiran di atas, Kantor Menteri Kesra dan Taskin
mengembangkan dan mencanangkan suatu program yang disebut “Gerakan
Terpadu Pengentasan Kemiskinan” (Gerdu Takin). Gerdu Taskin merupakan
program pengentasan kemiskinan yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan
oleh Pemerintah, kalangan swasta, lembaga swadaya dan organisasi
kemasyarakatan (LSOM), masyarakat luas dan keluarga miskin itu sendiri.
Keunggulan program Gerdu Taskin ini adalah “keterpaduan tujuan dan sasaran”
untuk menanggulangi sebab-sebab terjadinya kemiskinan, sehingga kondisi
kesejahteraan penduduk target program yang lebih baik dapat dicapai. Tujuan dan
sasaran ini ditindak lanjuti dengan berbagai perangkat dan strategi, seperti
kebijaksanaan, peraturan-peraturan dan produk hukum lainnya, program, proyek,
dan kegiatan yang mempunyai dampak langsung terhadap perubahan positif pada
faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut di atas.
Berdasarkan Pendataan Kemiskinan dengan Indikator Baru (PKIB) tahun
2001 jumlah penduduk miskin Jatim sebanyak 7.267.093 juwa atau 2.196.363
Rumah Tangga Mskin (RTM) yang diklasifikasikan dalam RTM sangat miskin
dan RTM miskin. Sebagai upaya mempercepat penurunan angka kemiskinan
tersebut dan mengacu pada Surat Menko Kesra dan Taskin
No.187/Menko/Kesra/VIII/1999 tentang Percepatan Taskin, Surat Gubernur Jatim
No.460/97/68/031/1998 tentang Gerdu Taskin Propinsi Daerah TK. I Jatim serta
Surat Wagub Jatim No.460/148/201.4/20001 tentang pelaksanaan program Gardu
Taskin Tahun 2001, maka pemerintah Propinsi Jatim memprioritaskan program
Gerdu Taskin ini diantara lima program pengungkit yang diterapkan oleh
RENSTA Propinsi Jatim tahun 2001-2005.
Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Yaitu penelitian yang menggambarkan suatu gejala social yang ada.
Atau dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat
sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi berlangsung. Jenis penelitian
kualitatif disini memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat dan
dapat diterapkan pada masyarakat. Metode penelitianyang digunakan dalam
penulisan ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara.
Pengumpulan data secara observasi dipilih peneliti untuk memperoleh
informasi dan gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang diteliti
dilapangan, yang dilakukan secara sistematis tanpa usaha yang sengaja untuk
mempengaruhi, mengatur, atau memanipulasikannya. Sedangkan teknik
wawancara yang dipilih peneliti adalah teknik wawancara tak berstruktur, dimana
proses wawancara yang dilakukan lebih bersifat bebas tanpa terpaku pada daftar
pertanyaan.
Data yang didapatkan kemudian dihimpun serta disusun kemudian dianalisa.
Setelah data dianalisa secara denkriptif dengan menggunakan metode penelitian
yang dipilih, kemudian dihubengkan dengan kasus yang sedang dibahas, sehingga
dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dan saran sesuai dengan permasalahan.
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Landasan Teori Kebijakan Program Gerdu-Taskin


1. Teori Kemiskinan
Kemiskinan adalah konsep yang abstrak yang dapat dijelaskan
secara berbeda tergantung dari pengalaman, perspektif, sudut pandang
atau ideology yang dianut (Darwin, 2005). Pendekatan dalam memahami
kemiskinan sangat banyak mengaami kemajuan. Bila semua pengertian
kemiskinan hanya ditekankan pada kurangnya pemilikan materi atau
ketidakcukupan pendekatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka kini
kemiskinan telah mengalami perluasan arti dengan menyentuh posisi
individu dalam proses-proses perubahan social ekonomi serta akses dalam
dunia politik.

a. Definisi Kemiskinan
Untuk merumuskan suatu definisi kemiskinan dari sejumlah
pandangan dan pendekatan yang dinamis memang tidak mudah,
karena formulas dari para ahli dan penelitian dipengaruhi oleh focus
kajian masing-masing. Specker (1993) menyatakan bahwa
kemiskinan mencakup (1) kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan
yan normal, (2) gangguan dan tinginya resiko kesehatan, (3) resiko
keamanan dan kerawanan kehidupan social ekonomi dan
lingkungannya, (4) kekurangan pendapatan yang mengakibatkan
tidak bisi hidup layak, dan (5) kekurangan dalam kehidupan social
yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan social, ketersisihan dalam
proses poitik, dan kualitas pendidikan yang rendah (Wikipedia
ensiklopedia bebas)
Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk
menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi,
keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial,
keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan
ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam
menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan
sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya
perampasan relatif(relative deprivation).

Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan


Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya
diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan
kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun
perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga
menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada
pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial,
budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan
yang dirumuskan dalam strategi nasional pengentasan kemiskinan
didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2005).

b. Ukuran Kemiskinan
Pada studi ini yang dimaksud dengan kemiskinan adalah
kemiskinan absolut, yaitu seseorang dikatakan miskin apabila tingkat
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, sehingga
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) membedakan ada dua kelompok yaitu
penduduk miskin dan sangat miskin.
Ukuran kemiskinan, menurut World Bank (2009, pp. 19),
dinyatakan dengan konsep penduduk yang berpenghasilan rata-rata
per hari Rp20.600,00. Di Indonesia, perkiraan tentang garis
kemiskinan ini ditentukan melalui perhitungan kebutuhan minimum
atau kebutuhan dasar. BPS menghitung atas dasar jumlah
pengeluaran (proksi pendapatan) per kapita menetapkan angka
kebutuhan minimum bagi makanan 2100 kalori per hari ditambah
dengan pengeluaran minimal untuk kebutuhan pokok lainnya seperti
perumahan, pakaian, pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan barang
tahan lama. Kebutuhan minimum bukan makanan ini berbeda antara
penduduk kota dan penduduk di daerah pedesaan.

2. Teori Pemberdayaan
Kemiskinan diakibatkan oleh kondisi masyarakat yang tidak berdaya
dalam menghadapi kompetisi untuk melangsungkan kehidupan. Oleh
sebab itu dituntut Pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berpihak
pada masyarakat dan memang sudah merupakan kewajiban dari Pusat,
Propinsi dan Kabupaten/kota uantuk melakukan kebijakan yang berpihak
pada masyrakat terutama Pemerintah Kabupaten/Kota didalam
mengimplementasikan tugasnya dan tugas Pemerintah Daerah adalah
sebagai Pelayan, Pemberdayaan dan Pembangunan, seperti yang tertuang
dalam UU 32 Tahun 2004 yaitu Otonomi daera diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Pelayanan,
Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan daya saing daerah.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengurangi Kemiskinan diantaranya
melalui Pemberdayaan Masyarakat yang sasarannya adalah masyarakat
miskin.
Menurut Cornell Empowerment Group, pemberdayaan masyarakat
didefinisikan sebagai suatu proses yang sedang dan terus berlangsung
secara sengaja dan berpusat pada masyarakat lokal yang berpikir kritis,
memiliki prinsip saling menghormati, kepedulian terhadap sesama dan
partisipasi kelompok, yang mana melalui proses ini mereka yang tidak
memiliki akses akan keadilan alokasi sumberdaya, memiliki akses dan
kendali akan sumberdaya tersebut (Perkins and Zimmerman, 1995,
p.570).
a. Pemberdayaan Keluarga Miskin
Dalam mengkaji pemberdayaan, rumah tangga menjadi faktor
utama yang amat penting . Rumah tangga disini dapat diartikan
sebagai sekelompok penduduk yang hidup dibawah satu atap, makan
dari panci yang sama, dan bersama-sama terlibat dalam proses
pembuatan keputusan sehari-hari. Pada dasarnya, rumah tangga
merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Sebagai unit dasar
dari masyarakat sipil, maing-masing rumah tangga membentuk
pemerintahan dan ekonomi dalam bentuk miniature (Pranarka dalam
Priyono, 1998; 61).
Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga)
jurusan (Kartasasmita, 1995: 4) yaitu:
1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkan.
2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah
yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan
membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam
memanfaatkan peluang.
3) Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin
lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara
yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara
khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui
pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil
termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan
justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi
pertumbuhannya.

B. Landasan Teori yang Berisi Indikator Kinerja Kebijakan/Program


1. Teori Implementasi Kebijakan
Menurut Van Metter & Van Horn, implementasi kebijakan
diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Pada
pengertian diatas, apapun yang dilakukan pemerintah dalam mencapai
suatu tujuan program atau kebijakan itulah yang dinamakan
implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan
sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran-penjabaran
keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-
saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah
konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan
(Grindle,1980). Selain itu, implementasi kebijakan juga menyangkut
jaringan kekuatan-kekuatan poitik, ekonomi dan social yang langsung
maupun tak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak, baik
yang diharapkan (intended) maupun yang tak diharapkan
(spillover/negative effects). Oleh karena itu implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

a. Model Implementasi Kebijakan

Model implementasi kebijakan yang digunakan dalam studi


kali ini adalah mengunakan model implementasi kebijakan menurut
George C. Edward III. Dalam model ini, Edward menggunakan 2
pertanyaan yang digunakan sebagai acuan , yaitu :
• Hal apa sajakah yang menjadi prasyarat bagi keberhasilan
implementasi kebijakan ?
• Apakah yang merupakan sarana utama bagi keberhasilan
implementasi kebijakan?
Guna menjawab 2 pertanyaan acuan tersebut, Edward
mengemukakan empat variable yang saling berkaitan yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut adalah
keempat varibel yang dimaksud :

1) Komunikasi

Suatu Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila


ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh
individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian
tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para
pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan
tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui
secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Sesungguhnya
implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan
harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan
tujuan kebijakan.
Menurut teori komunikasi Barlo (yang dikenal dengan
model SMCR) terdapat empat variable dalam mengukur
keberhasilan komunikasi, yaitu :
a) Source (Sumber)
Sebagaimana dikemukakan Barlo, sumber adalah pihak yang
menciptakan pesan, baik seseorang maupun sekelompok.
Dalam studi ini yang menciptakan pesan pastilah pemerintah
(Pusat/Daerah). Konsistensi pemerintah dalam peran kebijakan
yang diimplementasikan disini dipertanyakan.
b) Message (Pesan)
Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam kode
simbolik(bahasa). Yang berperan sebagai pesan disini adalah
isi kebijakan pemerintah. Bagaimana pemerintah
mendefinisikan suatu kebijakan yang akan diimplementasikan,
dan bagaimana pemerintah dalam memahami tujuan kebijakan
yang hendak dicapai. Sehingga tercipta suatu kejelasan
kebijakan.
c) Channel (Saluran)
Adalah suatu media yang membawa pesan itu agar sampai
kepada obyek penerima. Penyaluran komunikasi yang baik
akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula.
Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu
adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan
banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses
komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di
tengah jalan.
d) Receiver (Penerima)
Adalah orang yang menjadi sasaran komunikasi. Keberhasilan
komunikasi juga dipengaruhi oleh penerima pesan itu sendiri,
bagaimana seorang implementor kebijakan mengartikan suatu
kebijakan yang telah diinformasikan kepadanya.
Menurut Winarno (2005:128) Faktor-faktor yang
mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi
kebijakan publik biasanya karena kompleksitas kebijakan,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan publik,
adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan yang baru
serta adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban
kebijakan.
Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor
yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi
tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses
pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika
terdapat pertentangan dari pelaksana, maka kebijakan tersebut
akan diabaikan dan terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005:129)
menyimpulkan: ”semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana
yang terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar
kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi”.

2) Sumber Daya (Resources)


Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian
dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk
mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber
terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang
menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana
yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang
dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan
sarana prasarana. Sumber daya manusia yang tidak memadai
(jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya
program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan
pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan
terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan
skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program.
Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program.
Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159),
sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi
kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk
melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi implementasi
kebijakan terdiri dari:
a) Staf.

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf


atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering
terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai,
mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.

b) Informasi.

Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua


bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan
cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data
kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi
pemerintah yang telah ditetapkan.

c) Wewenang.
Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan
merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata
publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik.

d) Fasilitas.
Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang
mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3) Disposisi
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika
implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka
mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka
proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga
bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran
pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program
kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon
tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran
program namun seringkali mengalami kegagalan dalam
melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak
tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi
mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping
itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam
mencapai sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan


program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud
dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan
menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-
orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan
daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi
yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna
memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka
mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan
kebijakan/program.

4) Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat
dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah
karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan kebijakan. Menurut Edwards III dalam
Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari
birokrasi yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP) dan
fragmentasi”. Standard operational procedure (SOP) merupakan
perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu,
sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi
kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran
dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik
dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk
menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam
penerapan peraturan.
BAB III

KINERJA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Program Gerdu-Taskin dirancang khusus sebagai upaya pengentasan


kemiskinan dengan pendekatan TRIDAYA, yaitu :
• pemberdayaaan manusia,
• pemberdayaan usaha, dan
• pemberdayaan lingkungan.
Disamping pendekatan TRIDAYA itu juga didukung melalui Program
Pengembangan Ekonomi Kawasan, dan Program Pengembangan Desa Model
Binaan Gerdu-Taskin bekerjasama dengan Perguruan Tinggi/LSM. Arah
kebijakan program ini difokuskan pada upaya penurunan angka kemiskinan,
pengurangan jumlah pengangguran, peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
RTM, pengurangan beban dan perbaikan mutu hidup kelompok miskin rentan dan
penguatan kapasitas kelembagaan agar berfungsi dan berperan optimal dalam
pengelolaan program penanggulangan kemiskinan. Sedangkan tujuan program
Gerdu-Taskin adalah untuk mewujudkan kemandirian masyarakat
Desa/Kelurahan dalam penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, dengan
fokus utama pengembangan usaha ekonomi produktif RTM.
Dalam studi ini, penelitian lebih difokuskan kepada pemberdayaan
lingkungan di Desa Barengkrajan, Krian –Sidoarjo. Kegiatan pemberdayaan
lingkungan desa Barengkrajan yang telah dilaksanakan ini meliputi :
1. Upaya “bedah rumah” warga miskin
Bedah rumah ini diperuntukkan bagi warga miskin yang memiliki kondisi
rumah tak layak huni (indikator kelayakannya : ketersediaan jamban, air
bersih, jenis atap-dinding-maupun lantai rumah).
2. Meningkatkan fasilitas umum.
Fasum yang telah diperbaiki meliputi jalan alternative menuju kota agar
akses jalan menuju kota tidak bertumpu pada satu jalan saja. Selain itu
perbaikan jalan tikus (jalan kecil/gang), plesterisasi tepi sungai (tanggul),
serta sanitasi lingkungan.
3. Membangun sarana/prasarana ekonomi desa.
Pembangunan sarana/prasarana ekonomi desa ini berupa deretan
kios/warung makan yang dipusatkan pada dusun Sidorono-desa
Barenkrajan. Dimana pada areal tersebut terdapat banyak warung yang
menyediakan menu jajanan yang dapat dikunjungi warga tanpa menempuh
jarak yang jauh.

Proses implementasinya, pemerintah Desa Barengkrajan mendorong para


pengurus Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) terutama Masyarakat agar
berparstipasi dalam program pemberdayaan lingkungan (dalam Gerdu-Taskin)
ini. Peran RW maupun RT disini adalah mensurvei dan mencatat para warga yang
layak diberikan program “bedah rumah” serta menginformasikan kepada
pemerintah desa mengenai kondisi lingkungan sekitar kawasan RW maupun RT
yang perlu diperbaiki. Sedangkan peran warga disini yaitu mengkontrol jalannya
program, apabila terjadi kecurangan di tingkat RW/RT maka warga berhak
melapor kepada pemerintah desa.
Melihat kenyataan diatas, maka disini dapat dinilai bahwa program Gerdu-
Taskin yang diimplementasikan telah berjalan cukup efektif, meskipun masih
terdapat sedikit penyimpangan yang terjadi dalam proses pendataan warga miskin.
Namun dalam pengimplimentasian program pemberdayaan lingkungan ini telah
berjalan cukup efektif.

You might also like