Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
a. Definisi Kemiskinan
Untuk merumuskan suatu definisi kemiskinan dari sejumlah
pandangan dan pendekatan yang dinamis memang tidak mudah,
karena formulas dari para ahli dan penelitian dipengaruhi oleh focus
kajian masing-masing. Specker (1993) menyatakan bahwa
kemiskinan mencakup (1) kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan
yan normal, (2) gangguan dan tinginya resiko kesehatan, (3) resiko
keamanan dan kerawanan kehidupan social ekonomi dan
lingkungannya, (4) kekurangan pendapatan yang mengakibatkan
tidak bisi hidup layak, dan (5) kekurangan dalam kehidupan social
yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan social, ketersisihan dalam
proses poitik, dan kualitas pendidikan yang rendah (Wikipedia
ensiklopedia bebas)
Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk
menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi,
keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial,
keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan
ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam
menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan
sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya
perampasan relatif(relative deprivation).
b. Ukuran Kemiskinan
Pada studi ini yang dimaksud dengan kemiskinan adalah
kemiskinan absolut, yaitu seseorang dikatakan miskin apabila tingkat
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, sehingga
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) membedakan ada dua kelompok yaitu
penduduk miskin dan sangat miskin.
Ukuran kemiskinan, menurut World Bank (2009, pp. 19),
dinyatakan dengan konsep penduduk yang berpenghasilan rata-rata
per hari Rp20.600,00. Di Indonesia, perkiraan tentang garis
kemiskinan ini ditentukan melalui perhitungan kebutuhan minimum
atau kebutuhan dasar. BPS menghitung atas dasar jumlah
pengeluaran (proksi pendapatan) per kapita menetapkan angka
kebutuhan minimum bagi makanan 2100 kalori per hari ditambah
dengan pengeluaran minimal untuk kebutuhan pokok lainnya seperti
perumahan, pakaian, pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan barang
tahan lama. Kebutuhan minimum bukan makanan ini berbeda antara
penduduk kota dan penduduk di daerah pedesaan.
2. Teori Pemberdayaan
Kemiskinan diakibatkan oleh kondisi masyarakat yang tidak berdaya
dalam menghadapi kompetisi untuk melangsungkan kehidupan. Oleh
sebab itu dituntut Pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berpihak
pada masyarakat dan memang sudah merupakan kewajiban dari Pusat,
Propinsi dan Kabupaten/kota uantuk melakukan kebijakan yang berpihak
pada masyrakat terutama Pemerintah Kabupaten/Kota didalam
mengimplementasikan tugasnya dan tugas Pemerintah Daerah adalah
sebagai Pelayan, Pemberdayaan dan Pembangunan, seperti yang tertuang
dalam UU 32 Tahun 2004 yaitu Otonomi daera diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Pelayanan,
Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan daya saing daerah.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengurangi Kemiskinan diantaranya
melalui Pemberdayaan Masyarakat yang sasarannya adalah masyarakat
miskin.
Menurut Cornell Empowerment Group, pemberdayaan masyarakat
didefinisikan sebagai suatu proses yang sedang dan terus berlangsung
secara sengaja dan berpusat pada masyarakat lokal yang berpikir kritis,
memiliki prinsip saling menghormati, kepedulian terhadap sesama dan
partisipasi kelompok, yang mana melalui proses ini mereka yang tidak
memiliki akses akan keadilan alokasi sumberdaya, memiliki akses dan
kendali akan sumberdaya tersebut (Perkins and Zimmerman, 1995,
p.570).
a. Pemberdayaan Keluarga Miskin
Dalam mengkaji pemberdayaan, rumah tangga menjadi faktor
utama yang amat penting . Rumah tangga disini dapat diartikan
sebagai sekelompok penduduk yang hidup dibawah satu atap, makan
dari panci yang sama, dan bersama-sama terlibat dalam proses
pembuatan keputusan sehari-hari. Pada dasarnya, rumah tangga
merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Sebagai unit dasar
dari masyarakat sipil, maing-masing rumah tangga membentuk
pemerintahan dan ekonomi dalam bentuk miniature (Pranarka dalam
Priyono, 1998; 61).
Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga)
jurusan (Kartasasmita, 1995: 4) yaitu:
1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkan.
2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah
yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan
membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam
memanfaatkan peluang.
3) Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin
lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara
yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara
khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui
pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil
termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan
justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi
pertumbuhannya.
1) Komunikasi
b) Informasi.
c) Wewenang.
Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan
merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata
publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik.
d) Fasilitas.
Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang
mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3) Disposisi
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika
implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka
mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka
proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga
bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran
pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program
kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon
tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran
program namun seringkali mengalami kegagalan dalam
melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak
tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi
mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping
itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam
mencapai sasaran program.
4) Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat
dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah
karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan kebijakan. Menurut Edwards III dalam
Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari
birokrasi yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP) dan
fragmentasi”. Standard operational procedure (SOP) merupakan
perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu,
sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi
kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran
dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik
dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk
menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam
penerapan peraturan.
BAB III