You are on page 1of 20

Provinsi

Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan
Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu dikenal dengan nama Ujung Pandang.

Sulawesi yang dulu dikenal dengan nama Celebes adalah


sebuah pulau yang indah, luas wilayahnya berkisar 227.000
Km², kurang lebih sebesar Inggris dan Skotlandia dengan
semenanjung yang panjang dan sempit, menyerupai bentuk
bunga anggrek, hal ini menjadikan pulau ini memiliki garis
pantai yang panjang dan merupakan pulau dengan
pemandangan lepas pantai dan daratan tinggi yang sangat
indah. Secara geografis, masa sejarah dan prasejarah Sulawesi
Selatan menciptakan unsur kebudayaan yang sangat menarik,
kita dapat lihat dan nikmati keunikan tersebut, seperti upacara
adatnya, tarian-tarian tradisional, ukiran, tenunan indah yang
terbuat dari sutera dan kapas serta pemandangan alam tropis
yang mempesona.

A. Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan

Mengenal budaya propinsi Sulawesi Selatan berarti mengenal adat kebudayaan yang ada
di seluruh daerah Sulawesi Selatan. Di Sulawesi selatan terdapat banyak suku atau etnis tapi yang
paling mayoritas ada 3 kelompok etnis yaitu Makassar, Bugis dan Toraja. Demikian juga dalam
pemakaian bahasa sehari-hari ke 3 etnis tersebut lebih dominan. Kebudayaan yang paling terkenal
bahkan hingga ke luar negeri adalah budaya dan adat Tanah Toraja yang sangat khas dan sangat
menarik.

1
Potensi yang cukup menonjol di daerah Sulawesi Selatan dapat dikemukakan antara lain
yaitu Bidang Pertanian (Beras dan jagung, yang sudah menjadi hasil ekspor), Bidang Peternakan
(kerbau, sapi, kambing dan kuda, sudah menjadi hasil ekspor), Bidang kehutanan (kayu hitam, rotan
dan damar yang merupakan hasil ekspor), Bidang pertambangan (tambang Nekel), Bidang
Pariwisata (Daerah Tana Toraja sebagai objek wisata) dan Pembuatan perahu.
Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di
antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena
serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo,
serta lagu Bulu Alaina Tempe sedangkan lagu yang berasal dari Tana Toraja adalah lagu Tondo.
Sulawesi Selatan memiliki banyak bentuk kesenian sebagai karya seni yang memiliki nilai-
nilai tinggi. Kesenian tersebut berupa Seni ukir, Seni Tari dan Seni Suara / Seni musik. Masakan
khas Daerah Sulawesi Selatan pun turut membuat provinsi daerah Sulawesi Selatan semakin
digemari.

1. Kerajinan Rakyat

1.1 Seni Ukir

Seni ukir yang menonjol dan merupakan


kerajinan rakyat adalah kerajinan Toraja yang
berupa ukiran kayu dan ukiran bambu, dalam
berbagai motif dan bentuk. Mengukir dinding
rumah atau lumbung padi di daerah Tana Toraja
adalah kebiasaan turun-temurun bagi
masyarakatnya, dengan kata lain telah menjadi
kebudayaan khas asli.

1.2 Anyaman

Anyaman merupakan hasil karya


masyarakat. Bahan-bahan anyaman ini terdiri dari
bambu, daun lontar, rumput alang-alang dan
anemmi (rumput-rumputan yang tumbuh di atas
pohon dan berwarna kekuning-kuningan).
Anyaman dari Bone sangat populer dan terkenal
karena halus dan dibuat dari berbagai bentuk,
seperti tas (dompet), tempat rokok, alat rumah
tangga, dan berbagai jenis hiasan.

2
1.3 Tenunan

Tenunan yang sangat terkenal di Sulawesi


Selatan adalah tenunan yang berasal dari daerah
Bugis dan Mandar. Hasil tenunan ini berupa
sarung Bugis yang terdiri dari berbagai corak
yang beraneka ragam sedangkan Mandar hanya
satu corak yaitu corak bersilang dalam bentuk
kotak-kotak besar dan kecil. Tenunan ini sangat
halus dan indah kelihatannya, lagi tahan pakai.
Tenunan Toraja tebal-tebal, selain untuk dipakai
sebagai sarung juga untuk kain pintu dan
sebagainya.

2. Seni Tari

Tari-tarian di daerah Sulawesi Selatan pada umumnya dapat dibagi dalam empat kategori
berdasarkan fungsi tari yaitu ;
2.1 Tarian istana, Tari ini dipertunjukkan ditempat terbatas yaitu istana raja-raja.
Tarian ini dilakukan dan ditarikan pada seremoni yang diadakan pada istana raja. Tarian ini
antara lain :

Tari Pajaga adalah Orang berjaga-jaga atau melakukan pengawalan. Menurut mithos di
daerah Luwu, ketika Batara Guru menjadi “Pajung” (raja) di Luwu. Tarian ini diadakan untuk
pemujaan kepada Dewata, agar senang dan dapat melindungi/ menjaga “Pajung” dan segenap
rakyatnya. Walaupun ragamnya tari ini, namun pada dasarnya dia berpokong pada asal tari yang
disebut “Sere Pawindruk” artinya yang mencipta, yang menata. Maksudnya adalah sang pencipta
atau “Dewata Seuwwae” (Tuhan Yang Maha Esa).

3
2.2 Tarian dalam upacara keagamaan, yang dilakukan pada seremoni-seremoni keagamaan.

Tari ini adalah tarian Ma’bodong (upacara kematian di tanah Toraja). Tarian Ma’badong
merupakan tarian duka dan ditarikan pada upacara kematian orang Toraja. Syair-syairnya
melukiskan riwayat hidup manusia, sejak ia dalam kandungan sampai umur tuanya. Pada upacara
penguburan mayat mereka menarikan tarian “Ma’badong”. Mereka gerak dan irama yang sama.
Kadang-kadang pegangan tangan dilepaskan sambil melontarkan nyanyian syair-syair yang sedih.
Jumlah penari dan pakaian penari tidak terikat. Tarian Ma’badong ini boleh dilakukan pada siang
hari demikian pula pada malam hari.

2.3 Tarian magis, untuk menanggulangi bahaya serta penyakit.

Tarian ini terdapat di Tana Toraja. Para penari menari sambil memuja dewa-dewa.
Orang yang kesurupan, kadangkala melakukan hal-hal di luar batas kewajaran sebagai manusia
biasa.Misalnya menikam dirinya dengan keris sehingga darah bercucuran keluar dan menjilat darah
tersebut. Tarian ini banyak dilakukan sehabis panen, dengan maksud mengusir wabah yang sering
berjangkit, khususnya wabah cacar.

4
2.4 Tarian rakyat, yang dipentaskan pada pesta-pesta rakyat keramaian umum serta upacara-
upacara lainnya.

Salah satu tariannya yaitu Tarian


Garangbulo adalah Tarian yang diikuti oleh
instrumen musik “ganrangbulo,” kecapi dan
gendang, yang diselingi dengan nyanyian yang
isinya yang mengandung kejenakaan dan
kegembiraan. Atraksi tari itu lahir secara murni dari
alam, dan humornya mempunyai ciri tersendiri,
terutama melahirkan kegembiraan setelah panen
padi.

3. Seni Suara/ Seni Musik


Beberapa jenis seni suara atau musik tradisional yang dapat dikemukakan dan masih hidup
sampai sekarang adalah :

3.1 Anakbaccing (Bugis-Makassar)

Musik tradisional ini terbuat dari besi dan bentuknya


menyerupai alat yang dipergunakan untuk menggoreng ikan, hanya
bedanya “anakbaccing”, kedua ujungnya sama bentuk dan sama
besarnya. Jumlah alatnya dua buah dalam bentuk yang sama
besarnya dengan pemain hanya satu orang, dan kedua tangannya
masing-masing memegang sebuah anakbaccing. Cara
memainkannya ialah dengan cara bergantian memukulkan kedua
ujung bagian bawah anakbaccing itu. Pada umunya alat ini
dimaksudkan sebagai pengusir setan atau roh halus.

3.2 Ganrang (Makassar) artinya Gendang

Gandarang pada umumnya tiap-tiap daerah di Sulawesi


Selatan ditemukan, hanya nama yang berlainan, tapi bentuknya
sama. Instrumen pukul yang terbuat dari kayu bulat panjang yang
dilubangi seperti tabuh, lalu digetang ujung pangkalnya dengan kulit
binatang (kulit kerbau, sapi atau kulit kambing yang sudah
dikeringkan). Ganrang itu biasanya dipukul dengan alat pemukul
terbuat dari kayu, tetapi adakalanya dipukul dengan tangan saja.

5
3.3 Kecapi (Makassar-Bugis-Mandar)

Kecapi adalah instrumen petik berdawai dua. Bentuknya


seperti perahu pinisi. Kecapi nadanya dipetik. Posisi penempatan
jari-jari menentukan tinggi rendahnya nada, sudah dibagi dalam
beberapa interval yang tetap. Terbuat dari kayu “kosambi”, nangka
atau kayu jati. Panjang kecapi sekitar 60 cm, tetapi kecapi Mandar
umumnya bentuknya lebih besar dan lebih panjang daripada kecapi
Bugis. Kecapi dipergunakan untuk mengiringi nyanyian, tarian dan
juga untuk permainan lagu-lagu instrumental.

3.4 Kancing (Bugis-Makassar)

Kancing adalah salah satu alat pengusir setan (roh halus), khusus dipergunakan
hanya oleh golongan bangsawan. Kancing, terdiri dari dua buah gong kecil (canang). Untuk
menimbulkan bunyi, maka kedua gong kecil ini saling dipukulkan. Dewasa ini “kancing”
biasa dipakai sebagai alat pelengkapan musik tradisional lainnya.

3.5 Lae – lae (sia-sia)

Instrumen musik yang terbuat dari bambu yang dibelah-belah menyerupai lidi
yang panjangnya sekitar 80 cm, terdiri dari dua buah yang berukuran sama. Untuk “lae-lae,”
lidi-lidi itu diikat dengan empat ikatan, sedang “sia-sia,” lidi-lidinya itu diikat sampai tujuh
ikatan. Bagian lidi-lidi itulah yang saling dipukulkan sehingga mengeluarkan bunyi.

3.6 Kesok-kesok (Makassar) ; Geso-gesong (Bugis)

Semacam rebab dengan dua dawai yang digesek. Dawainya biasanya diambil dari
kawat. Kadang-kadang juga dari tali biola. Alat penggeseknya adalah terbuat dari bulu kuda.
Kesok-kesok digunakan untuk mengiringi “Sinlirik”, yaitu sebuah ceritera yang tersusun
secara puisi dan dinyanyikan oleh seorang ahli. Apabila Sinlirik itu hanya dinyanyikan saja,
disebut “Sinlirik Bosi Timurung”. Dalam memainkan kesok-kesok itu sering kedua dawai itu
ditekan sekaligus dengan satu jari yang menimbulkan nada dobel yang berjarak kira-kira satu
kwart satu sama lain. Kadang-kadang pula dimainkan satu dawai saja pada posisi yang tinggi.

3.7 Jarumbing (Mandar)

Instrumen pukul yang terbuat dari bambu. Panjangnya kira-kira 20 cm. Bambu
sepotong membangun semacam huruf U melintang menyerupai garpu tala, sedang pada
ujungnya yang lain mempunyai tangkai untuk pegangan. Antara bentuk U dengan tangkai
penala (garpu tala) itu dirilis dan diberi lubang kecil sebagai pengeras bunyi. Antara lubang
kecil dengan tangkainya diikat dengan rotan. Cara memainkannya ialah dengan jalan
memukulkannya pada bagian badan.
6
3.8 Calong (Mandar)

Calong terbuat dari sepotong tempurung kelapa. Kelapa yang sudah dikupas
sabutnya dipotong melintang, kemudian isinya dikeluarkan. Pada tempurung yang sudah
dipotong tadi diletakkan dua belah bambu yang berfungsi sebgai pengalas dari belahan-
belahan bambu. Cara memainkannya adalah memukul wilahan itu dengan dua buah alat
pemukul yang terbuat dari kayu yang kuat. Fungsinya adalah sebagai pengiring gabungan
instrumen daerah yang merupakan orkes, dimana terdapat didalamnya alat musik kanjilo.

4. Upacara Adat-Istiadat
Salah satu upacara adat yang terkenal yang terdapat di Sulawesi Selatan ada di Tana
Toraja (Tator). Upacara adat tradisional tersebut bernama upacara Rambu Solo.

҉ Upacara Adat Rambu Solo

Upacara Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh.
Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena
orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini
digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit”
atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di
tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. Oleh
karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan
upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah
gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa
pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga
dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannya sebagai bentuk pengabdian
kepada orang tua mereka yang meninggal dunia. Adapun upacara kematian ini, dibagi atas tiga fase
yaitu :
a. Acara-acara jenazah masih di atas rumah atau pondok jenazah sampai hari
penguburannya.
7
b. Acara-acara sesudah jenazah dikuburkan sampai hari penutupan atau hari akhir masa
berduka.
c. Acara terakhir yang menyatakan bahwa jiwa orang yang meninggal itu telah naik ke
langit menjadi dewa.

҉ Upacara adat Rambu Tuka'

Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara
pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai
direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di
Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau
Mangrara Banua Sura'. Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa'
Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra',
Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni
tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara
Rambu Tuka'.

҉ Upacara Adat Accera Kalompong

8
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka
peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah
allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada
abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian
disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.
Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut ekor
kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata
(tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala
naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak
ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada
beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung
dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang
manurung); penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali
emas pemberian Belanda. Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang
diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang
dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti
keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan
minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh
para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus
berpakaian adat Makassar pada saat acara.

5. Masakan khas Sulawesi Selatan

Beragam khas dan ciri yang unik dimiliki provisi sulawesi selatan. Kulinernyapun tak
kalah bervarian, makanan yang banyak digemar orang banyak antara lain :

• Baro'bo • Pallu Butung • Sop Konro


• Bolu Kambu • Pallu Kacci • Sop Saudara
• Buras • Pallu Kaloa • Sop Ubi
• Coto Makassar • Pallu Mara • Tollo' Burak
• Kapurung • Pacco' • Tollo' Pa'karing
• Lappa'-lappa' • Peca sura • Tollo' Pammarasan
• Lawa • Piong/Lemang Toraja • Tollo' Semba
• Mie Titi' • Sayur Tuttu' • Tollo' Utan Bulunangko
• Nasu Cempa • Songkolo'/Sokko' • Tollo' Utan Pangi
• Pallu Basa • Sop Kikil

9
B. Pakaian Adat Provinsi Sulawesi Selatan

(b) (c)

a. Pakaian adat Toraja

Baju adat Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita dan seppa tallung buku untuk
laki-laki. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek. Sedangkan seppa
tallung buku berupa celana yang panjangnya sampai dilutut. Pakaian ini masih
dilengkapi dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan sebagainya.

b. Pakaian adat Makassar-Bugis

Baju Bodo adalah pakaian tradisional yang digunakan oleh kaum perempuan
yang ada di Sulawesi Selatan, terutama dalam etnik Makassar sedangkan Lipa' sabbe
adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.

Baju bodo memiliki jenis warna yang menyimbol pada siapa dan status orang
yang menggunakannya. Warna-warna tersebut antara lain merah, hijau, kuning, ungu,
hitam, dan putih. Masing-masing warna ini menadakan apakah yang menggunakan
adalah gadis, sudah kawin, janda, orang tua yang dihormati, dan inang pelayan.

Ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna


manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya yaitu :
1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
6. Warna ungu dipakai oleh para janda.
10
Pakaian tradisional ini tidak digunakan sehari-hari melainkan hanya digunakan pada
saat ada upacara adat/tradisional dan upacara-upacara serimonial dalam masyarakat,
misalnya perkawinan, hajatan di kerajaan, dan lain-lain sebagainya.

c. Lipa Sa’bbe

Kain tradisional Bugis berupa sarung ini memiliki corak garis-garis yang cantik,
dan terbuat dari sutra yang diproduksi oleh masyarakat bugis sendiri. Masyarakat Bugis dari
desa Tajuncu di Sulawesi selatan sudah menggunakan cara modern dalam
pengembangbiakan ulat sutra, untuk memenuhi kebutuhan benang para penenun di desa
Sempenge, Sengkang yang merupakan pusat pembuatan kain tenun di Sulawesi Selatan.
Bahan sandang pada masa lampau, tidak pernah bisa dari fungsi sebagai pelengkap
kebutuhan budaya. Ini pula yang terjadi pada kain sarung Bugis. Selain menjadi pakaian
sehari-hari, kain sarung Bugis, digunakan untuk kelengkapan upacara yang bersifat sakra,
juga sebagai hadiah untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki.

Corak kain sarung bugis ada beberapa macam, diantaranya adalah corak kotak-
kotak kecil yang disebut balorenni. Sementara itu corak kotak-kotak besar seperti kain
Tartan Skotlandia, yang diberi nama balo lobang. Selain corak kotak –kotak terdapat pula
corak zig-zag yang diberi nama corak bombang, yang menggambarkan gelombang lautan.
Banyak lagi jenis kain tenunan yang menjadi budaya tradisional masyarakat Bugis.

C. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Selatan

Rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari
Bugis (Bola Soba) , Makassar (Balla Lompoa) dan Tana toraja (tongkonang) dari segi
arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat
tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai
kolong di bawah rumahnya. Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap
tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan,
orang berpangkat atau hanya rakyat biasa. Hampir semua masyarakat Sulawesi selatan
percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah
orang Toale. Orang Toale, yang berarti orang-orang yang tinggal di hutan, atau lebih tepat
dikatakan penghuni hutan. Orang Toale masih satu rumpun keluarga dengan suku bangsa
Wedda di Srilangka.

11
҉ Tongkonang (Tana Toraja)

Tongkonan, Rumah Adat Toraja

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk
bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber
kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin,
Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan.
Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya
dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul
orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah
atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini

melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik
tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di
sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.
Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi
ini dibuat dari batang pohon palem (‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam
lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan
matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara. Dalam paham orang Toraja,
tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘, sedangkan alang adalah sebagai ‘bapak‘.
Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina
kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah,dan
selatan. Ruangan di bagian utara disebut ‘tangalok‘, berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-
anak tidur, juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian tengahdisebut ‘Sali‘, berfungsi sebagai
ruang makan, pertemuan keluarga, tempat meletakkan orang mati, juga dapur. Adapun ruangan
sebelah selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Ruangan sebelah
selatan ini juga dianggap sebagai sumber penyakit. Mayat orang mati tidak langsung dikuburkan,
tetapi disimpan di tongkonan. Sebelum dilakukan upacara penguburan, mayat tersebut dianggap
sebagai ‘orang sakit‘. Supaya tidak busuk, mayat dibalsem dengan ramuan tradisional semacam
formalin, yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Jika akan dilakukan upacara penguburan,
mayat terlebih dulu disimpan di lumbung padi selama 3 hari. Peti mati tradisional Toraja disebut
12
‘erong‘, berbentuk babi untuk perempuan dan kerbau untuk laki-laki. Untuk bangsawan, erong
dibuat berbentuk rumah adat.

҉ Karampuang (Makassar-Bugis)

Rumah Adat Karampuang

Bangunan ini merupakan rumah purba yang konon merupakan tempat bertemunya raja-raja
dari Suku Makassar (Karaeng) dan raja-raja dari Suku Bugis (Puang), sehingga akhirnya disebut
Karaengpuang atau Karampuang, berada di Kecamatan Bulupoddo, berjarak 30 km tepatnya di
Desa Tompobulu, dan dapat ditempuh selarna 1 jam dengan menggunakan mobil atau sepeda
motor. Rumah purba Karampuang mengikuti model rumah adat Bugis Makassar.
Keunikan dari Rumah ini antara lain : Tiangnya terbuat dari kayu bitti, antara pasak dengan
tiang tidak dipaku, lantai terbuat dari bambu yang hanya diikat dengan rotan pada pasak, serta
tangganya berada di bawah kolong rumah bagian tengah, sehingga pintu rumah dibuka dari bawah,
dan dapur berada di bagian depan setelah pintu dibuka.
Setiap tahun (pada Bulan Nopember) diadakan upacara adat Mappogau Sihanua yang
dilaksanakan oleh pemimpin adat, dengan menggelar berbagai atraksi. Lain lagi dengan atraksi
Maddui yang digelar jika ada tiang/ kayu dari rumah adat yang rusak dan harus diganti olch kayu
yang baru denganjenis sama yang harus dicari dan ditarik dari dalam hutan selama satu hari menuju
kerumah adat.
Kegiatan ini dipimpin oleh pemimpin adat dan dilakukan dengan prosesi adat, serta
melibatkan masyarakat di kawasan rumah adat. Selain atraksi ini, jehisseni dan budaya tradisional
di Kabupaten Sinjai yaitu tarian tradisional Pasere Pitupitu, tari Massellung Tana, Tari Maddongi,
dan tari Marumatang.

13
҉ Bola Soba (Bugis Bone)

Rumah Adat Bola Soba

Rumah adat ‘Bola Soba’ terbuat dari kulit bambo. Sampai saat ini belum diketahui siapa
yang pertama kali membangunnya, tapi menurut cerita rakyat setempat, Bola Soba’ dibangun oleh
“mahluk gaib” hanya dalam satu malam saja atas perintah Arungpone. Saat ini Bola Soba’
difungsikan sebagai tempat melaksanakan ritual keagamaan Pattoe. Pada bagian belakang ruangan
di Bola Soba’ ini ditempati oleh komunitas Bissu (pendeta Sure Galigo).

҉ Balla Lompoa (Makassar Gowa)

Rumah Adat Balla Lompoa

Bangunan ini merupakan bangunan khas bugis yaitu seluruh bangunan dan atapnya terbuat
dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini berupa rumah panggung dan memiliki banyak jendela.
Setiap perayaan Idul Adha, diadakan upacara adat pencucian benda-benda pusaka kerajaan.
14
15
D. Bahasa
Bahasa umum yang digunakan masayarakat Sulawesi Selatan adalah Makassar,
Bugis, Luwu, Toraja (Sa’adan), Mandar.

҉ Bahasa Makassar
Bahasa Makassar merupakan bahasa resmi pada kerajaan Gowa (Makassar)
yang telah memiliki aksara tersendiri sejak abad ke XVI. Dalam kedudukannya
sebagai bahasa kerajaan pada masa itu dalam perkembangannya telah terjadi proses
internasionalisasi melalui pelbagai penyerapan. Namun tidak banyak penduduk yang
paham bahasa tersebut, sehingga banyak dijumpai tuturan yang telah hidup dan
berkembang dari kelompok bahasa Makassar itu yang ditonjolkan dalam lima dialek
yaitu;
a. Dialek Lakiung
Dialek Lakiung terdapat di kota Ujung Pandang dan sekitarnya.
Kabupaten Gowa bagian Barat sejak Salutowa (jurusan Malino) ke muara
sungai Jeneberang.

b. Dialek Turatea
Dialek Turatea menempati posisi di kabupaten Jeneponto mulai daari
Allu ke Timur sampai perbatasan kabupaten Bentaeng dan membujur ke
pedalaman bagian utara, sampai perbatasan Malakaji, kecamatan Tompobulu,
kabupaten Gowa.

c. Dialek Bantaeng
Dialek Bantaeng digunakan di kabupaten Bantaeng dan daerah pesisir
Barat kabupaten Bulukumba.

d. Dialek Konjo
Dialek Konjo menempati wilayah yang luas di pedalaman, mulai dari
jabupaten Pangkep pada lenngkung Utara sungai Pangkajene ke arah
Tenggara, memotong kecamatan Balocci di lereng gunung Bulusaraung,
melintasi bagian Timur kabupaten Bone bagian selatan.

e. Dialek Bira-Selayar
Dialek Bira-Selayar mulai terdapat dari Ujung Bira dan menyebrang ke
pulau Selayar, meliputi dua kecamatan sampai perbatasan desa Laiyolo,
kemudian ke kepulauan Tambulongan dan Pulasi, pulau Kayuadi, sebagian
besar pulau Tanahjampeadan pulau Kalao.

16
҉ Bahasa Bugis

Bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di


Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten
Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten
Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo,
Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten
Bantaeng.

҉ Bahasa Luwu

Satu bahasa yang digunakan di Tana Luwu, salah satu suku bahasa dari lebih
sepuluh suku bangsa yang mendiami Tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Bahasa Luwu
ini digunakan oleh sebagian besar penduduk dari Tana Luwu, dari empat kabupaten
dan kota, masing-masing kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan kota
Palopo. Bahasa Luwu, termasuk serumpun dengan bahasa Toraja.Bahasa Luwu ini
digunakan selaku bahasa percapakan penduduk setempat, mulai dari Selatan
perbatasan dengan Buriko Kabupatan Wajo sampai dengan daerah Kabupaten Luwu
Timur Malili.

҉ Bahasa Toraja (Sa’adan)

Bahasa Sa’adan diambil dari nama salah satu sungai terbesar di Sulawesi
Selatan yang sumber dan hulunya terdapat di daerah pemukiman masyarakat
pendukung kelompok bahasa Sa’adan. Batas wilayah kelompok bahasa Sa’adan,
dibagian Selatan berimpit dengan garis batas Utara kelompok bahasa
Masenrempuluh,, yang berawal di sekitar Larompong, kabupaten Luwu bagian
Selatan, melintang dari Timur ke Barat dan memasuki kabupaten Polmas, menyusuri
sebelah Utara kota Polewali lalu melengkung cembung ke utara.

҉ Bahasa Mandar

Bahasa Mandar berasal dari istilah “Mandarsche dialecten” yang mencakup


seluruh wilayah pesisir sejak Binuang di Polmas sampai ke Mamuju. Kelompok
bahasa Mandar meliputi dialek-dialek Mandar dalam arti sempit, bahasa Pitu Uluna
Salu, bahasa Mamuju, Botteng Tappalang. Diantara sub-kelompok ini terdapat
persamaan yang cukup besar, akan tetapi kadar saling mengerti satu dengan yang lain
masih bertingkat-tingkat sesuai posisi geografis dari dialek anggota sub-kelompok
bersangkutan. Terlebih lagi didalam satu sub-kelompok terdapat pelbagai dialek yang
masih mempunyai lagi banyak varian.

17
E. Etos Kerja

҉ Masyarakat Bugis-Makassar

Orang Bugis-Makassar sesungguhnya memiliki etos kerja yang tinggi, mampu


menghayati dan mewujudkan kata “etos kerja”. Orang Bugis-Makassar yang
merambah hutan-hutan di Papua dan di Kalimantan, serta perantau-perantau Bugis-
Makassar di berbagai tempat di nusantara, dengan etos kerjanya melakukan ‘kerja
keras’ bertarung berhadapan dengan berbagai tantangan, bahkan dengan
mempertaruhkan hidupnya, sekalipun. Masyarakat di Sulawesi Selatan memiliki
budaya rasa bersalah ( gult culture ) , budaya rasa malu ( shame – culture ) dan
budaya takut akhir (fearand culture ). Ketiganya dapat menjadi dorongan bagi
seseorang untuk berprilaku sesuai norma yang berlaku disamping mendorong
terciptanya etos kerja yang tinggi. Budaya rasa malu atau siri’ memang nampak
lebih menonjol atau di Makassar disebut pacce, di Bugis disebut pesse’ dan
disebut lokko’ di Toraja dan Mandar. Makna Siri’ sebagai bentuk revitalisasi
dalam menghadapi pengembangan peradaban serta pergaulan global. Hal ini
berfungsi mendorong motivator,sosial kontrol,rasa tanggung dan dinamisator
sosial. siri’ merupakan taruhan harga diri, maka harga diri tersebut harus diangkat
melalui kerja keras, berprestasi,berjiwa pelopor dan senantiasa berorientasi
keberhasilan. Harga diri terangkat atas dukungan rasa pesse’ ( Bugis ) atau pacce’ (
Makassar ) yaitu solidaritas terhadap orang lain sebagai partisipasi social,karena
penilaian harga diri datang dari lingkungan sosial.

Adapun etos kerja masyarakat Sulawesi Selatan menganut siri’ sebagai shame-culture
lebih besar daripada guilt-culture sudah mengakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan
budaya rasa malu ( shame culture ) atau siri’ lebih besar dari budaya rasa bersalah sehingga
diperlukan pembentukan iklim dan suasana dalam struktur sosial guna merubah world view,
akibat kesenjangan nilai yang sudah berlarut-larut. Siri’ disatukan sebagai budaya rasa malu
untuk memacu keberhasilan dalam pembangunan. Sikap ‘etos kerja’ mantap yang tumbuh
dari rahim budayanya tidak pernah mengizinkan untuk ‘mammatu-matu’, bermalas-malasan.
Dibimbing ‘kearifan lokal’ tradisionalnya, mereka tidak membiarkan tanah mereka
menggangur. Tanah garapan mereka sungguh-sungguh diolah dan dimanfaatkan sebaik-
baiknya. Tanpa perlu ada anjuran untuk menanam palawija di antara musim panen dan
musim tanam, kaum tani menanam kacang-kacangan, jagung, sayur-sayuran, dan produk
pertanian lain yang mungkin tumbuh di lahannya. Mereka terus-menerus ‘makkareso’,
melakukan kerja sebagai perwujudan etos yang mereka miliki

18
.

҉ Masyarakat Toraja

Toraja dengan Tongkonannnya merupakan suatu karya seni yang melambangkan


bahwa manusia-manusia Toraja memiliki etos kerja. Tongkonan hanya dihasilkan
oleh orang-orang yang mau bekerja keras, sebagaimana salah satu ciri orang Toraja
yang ulet dan giat berusaha, etos kerja yang tinggi, inovatif kreatif, keharmonisan.
Tongkonan mengandung makna keharmonisan di mana dalam berbagai aspek
tergambar keharmonisan kosmos, ritus syukuran dan ritus kematian, hubungan
sosial, semuanya ini tergambar dalam pranata tongkonan. Di samping itu, simbol
kejujuran dan keikhlasan, yang tampak dalam tekad persatuan dan kesatuan,
kegotongroyongan dan kekeluargaan yang sangat tampak dalam setiap pelaksanaan
upacara. Semangat atau spirit budaya Toraja itulah yang penting untuk menopang
pembangunan masyarakat di Toraja, khususnya dalam pengambilan kebijakan
pembangunan masyarakat Toraja. Dalam hal ini, Toraja yang melekat dengan
budaya, Toraja dengan semangat kegotongroyongan, Toraja dengan semangat dan
etos kerja yang tinggi, Toraja dengan inovasi dan kreativitasnya, Toraja dengan
kehidupan masyarakat yang harmonis, penuh kejujuran dan keikhlasan,
sebagaimana tergambar dalam upacara-upacara yang begitu bermakna. Tongkonan
janganlah menjadi tontonan saja, tetapi simbol dan makna tongkonan memberikan
semangat dan jati diri bagi masyarakat Toraja untuk terus maju.

Toraja dapat dibangun dengan kebersamaan, etos kerja, inovasi dan kreativitas,
keharmonisan yang dilandasi oleh semangat kegotongroyongan yang bersimbol dari makna-
makna budaya masyarakat Toraja.

19
Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan

http://napunyafoto.multiply.com/journal/item/23

http://mohammadhidayatshsikmh.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=54:kearifan-budaya-lokal-20-april-
2010&catid=34:articles&Itemid=57

http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=10050

http://www.tni.mil.id/images/news/perkenalan-satgas-23-b.jpg

http://www.rappang.com/2010/02/lipa-sabbe-sarung-bugis.html

20

You might also like