You are on page 1of 159

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA DI INDONESIA


“Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan
Komunal”

TESIS

Dwi Kristianto
NPM : 0806482346

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

1
PROGRAM PASCASARJANA KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPOK
DESEMBER 2010

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia
selayaknya diselesaikan dari akar masalahnya. Dengan sebagian besar
penduduknya adalah petani dan nelayan maka permasalahan ketersediaan lahan
di Indonesia merupakan masalah kunci sebagai salah satu pintu masuk
menyelesaikan permasalahan sosial dan kemiskinan.

Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan sebagimana


yang diharapkan, bahkan semakin rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai
kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri. Media massa cetak
maupun elektronik telah melaporkan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai variasi masalah dan
kecenderungan dampak buruk lainya. (Cholid, 2004).

Disampaikan juga bahwa sesungguhnya negara memiliki mandat untuk


mengelola seluruh sumber daya agraria, untuk mensejahterakan seluruh rakyat
Indonesia. Seperti tercantum dalam pasal 33 ayat 3 amandemen keempat
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA
1960) bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Akan tetapi, dalam kurun waktu dekade terakhir ini, masalah pertanahan
di Indonesia telah mencuat kepermukaan. Salah satu permasalahan dibidang
pertanahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, yaitu semakin

2
terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil
masyarakat.

Perbedaan penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian tiap


tahunnya semakin tampak. Konsentrasi kepemilikan lahan pun semakin tajam.
Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem
dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar-milik sendiri maupun menyewa
meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7
juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983
persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen
dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah
tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat
dikategorikan miskin. Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah.

Menurut Berita Resmi Statistik (Maret 2010) Jumlah penduduk miskin


(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)
di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta
(14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di
daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi
11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta
orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin
berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen
(BPS 2010).

Dari data tersebut artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia,


lebih dari setengahnya berada di wilayah perdesaan. Sensus pertanian tahun 1993
menunjukan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai oleh 16% rumah tangga
pedesaan, sementara 31% luas tanah pertanian sisanya dikuasai oleh sebagian
besar petani kecil dan tunakisma (84% rumah tangga pedesaan). Fenomena
tersebut semakin diperburuk dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak
bisa dihindari, alih fungsi tanah pertanian ke-pengunaan non pertanian yang tidak

3
terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan
masalah lainnya.

Maka dalam penelitian ini akan fokus mengkaji tentang Kebijakan


Pembaharuan Agraria di Indonesia “Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada
Pola Kepemilikan Lahan Komunal”. Sebagai upaya menjawab berbagai
permasalahan pengelolaan sumberdaya agraria di Indonesia.

1.2. Masalah Penelitian.


Perlu disadari bersama bahwa akses masyarakat terhadap sumberdaya
lahan telah menjadi isu yang sangat penting, karena permasalahan ini tidak saja
menyangkut faktor produksi namun menjadi faktor yang menentukan hubungan
sosial dan perkembangan masyarakat. Satu hal yang menarik untuk dikaji adalah
masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria khususnya
lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan dan pengusahaan
lahan. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan yang
diikuti pada perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai
akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan yang ada
khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan.

Dalam kebijakan redistrbusi lahan di Indonesia hal yang penting


diperhatikan adalah bagaimana pola kepemilikan lahan masyarakat di Indonesia.
Mengacu pada beberapa kajian menyimpulkan bahwa ada dua model kepemilikan
lahan oleh masyarakat yaitu pola kepamilikan individu(private) dan kepemilikan
kelompok/komunal. Pola kepemilikan ini mempengaruhi pola pengelolaan dan
hubungan masyarakat dengan lahan. Sehingga apabila kebijakan landreform lahan
ini tidak memperhatikan pola-pola kepemilikan dan budaya masyarakat dalam
mengelola sumberdaya lahan ditakutkan program tersebut justru akan merusak
struktur dan budaya masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya lahan.
Masalah lain yang juga perlu diperhatikan dalam program pembaharuan
agraria adalah bagaimana program pembaharuan agraria di Indonesia memberikan
pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan tanah adat yang dikuasai secara
komunal dan turun-temurun, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Papua. Penggelolaan sumberdaya lahan yang terlalu pro terhadap

4
investasi khususnya usaha produksi hutan (HPH/HTI), perkebunan skala besar
dan pertambangan telah menghilangkan kesempatan masyarakat lokal untuk
memanfaatkan tanah dan hutan(sumberdaya agraria) yang meraka miliki.

Berdasarkan latar belakang diatas dan tanpa mengesampingkan berbagai


pokok-pokok masalah dalam pelaksanaan program pembaharuan agraria di
Indonesia, penelitian ini akan membatasi pada:
1. Seperti apa pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal
di Indonesia.
2. Pilihan kebijakan landreform seperti apa yang cocok diterapkan pada
masyarakat komunal.
Latar belakang budaya dan tradisi masyarakat dalam mengelola lahan
harus menjadi dasar penentuan model landreform di Indonesia, kelompok
masyarakat yang memiliki kepemilikan secara komunal tentunya tidak sama
dengan masyarakat yang pola kepemilikan lahannya secara individu. Penelitian ini
diharapkan bisa memberi informasi pada operasionalisasi program landreform di
Indonesia dan untuk memberikan hasil yang komprehensif dalam menjawab
berbagai pertanyaan, maka penelitian ini akan mengacu pada penelitan dan studi
yang pernah dilakukan sebelumnya.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitan Kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia “Studi
Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”. adalah :
1. Memetakan berbagai pola penguasaan,
kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia.
2. Merumuskan pilihan kebijakan
landreform pada pola kepemilikan lahan komunal sebagai referensi
program pembaharuan agraria di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian.


1.1.1. Manfaat Akademik.
Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan dapat dijadikan salah satu
pijakan informasi, referensi dan kajian bagi para akademisi serta pihak-pihak lain

5
yang berkepentingan untuk memperkaya kajian akademis dalam upaya
pelaksanaan landreform di Indonesia. Selain itu penelitian ini untuk memperkaya
kajian tentang isu-isu pembangunan sosial dalam pembangunan Indonesia.

1.1.2. Manfaat Praktis.


Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi
akademis kepada para perancang, perencana dan pelaksana pembaharuan agraria
dalam rangka pelasanaan landreform jika kebijakan tersebut benar akan
dijalankan.

1.5. Metode Penelitian.


Pendekatan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Dipilihnya metode kualitatif dalam penelitian ini agar
penelitian ini bisa mendapatkan gambaran tentang pengelolaan lahan komunal di
Indonesia, bagaimana bentuk-bentuk penguasaan pemilikan dan pengelolaan
lahan. Ada nilai dan norma-norma seperti apa yang berkembang pada masyarakat
komunal sehingga distribusi aset dan kerjasama antar individu dalam kelompok
komunal terjalin dengan baik. Diharapkan dengan metode ini akan didapat
gambaran tentang pola kepemilikan komunal di Indonesia.
Definisi umum tentang penelitian kualitatif adalah suatu metode berganda
dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretif dan wajar terhadap
setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam
setting yang alami yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada
fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. Penelitian
kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris
seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat hidup, wawancara,
pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual yang menggambarkan momen
rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif
(Denzin & Lincoln, 1994, hal.2).

6
Gambar: 1.1 Kerangka Operasioanal Penelitian

1.6. Tipe Penelitian.


Tipe eksploratif dipilih karena informasi berupa literatur, baik itu dari
buku maupun sumber-sumber lain seperti hasil penelitan, artikel masih sangat
minim sehingga tipe penelitian dipilih untuk mendapatkan informasi dan data
sebanyak-banyaknya terkait dengan budaya pengelolaan lahan meliputi pola
penguasaan, pemilikan dan pengusahaan lahan khususnya pada pola kepemilikan
komunal sehingga dapat mendukung rumusan pilihan kebijakan yang akan
dirumuskan dalam penelitian ini.

Penelitian eksploratif atau yang bersifat menjelajah. Penelitian ini


dilakukan bila pengetahuan tentang gejala yang diteliti masih sangat kurang atau
tidak ada sama sekali. Menurut Mantra, (2004) Dalam penelitian eksploratif,
peneliti belum memiliki gambaran akan definisi atau konsep penelitian. Penelitian
eksploratif seringkali digunakan untuk meneliti fenomena sosial dari suatu
kelompok atau golongan tertentu, yang masih kurang diketahui orang. Kajian

7
tentang pola penguasaan, pemilikan, dan pengusahaan lahan secara komunal
masih sangat sedikit, sehingga tipe penelitian eksploratif ini dipilih dalam
penelitian ini.

1.7. Ruang Lingkup Penelitian.


Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari beraneka suku
bangsa, kondisi tersebut mempengaruhi pola kepemilikan terhadap sumberdaya
yang ada. Di beberapa tempat kepemilikan sumberdaya agraria /lahan dimiliki
secara komunal, sedang di tempat lain kepemilikan sumberdaya agraria seperti
petani di pulau Jawa kepemilikan lahan dimiliki secara individu. Untuk itu
penelitian ini fokus mengkaji berbagai pola penguasaan, kepemilikan dan
pemanfaatan lahan komunal di Indonesia, seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan
lahan komunal di Indonesia. Fokus kajian tersebut ditujukan untuk merumuskan
model pilihan kebijakan landreform di Indonesia dalam upaya mendorong
kebijakan operasional program pembaharuan agraria di Indonesia khususnya pada
wilayah-wilayah yang tidak mengenal kepemilikan individu.

1.1.3. Teknik Pemilihan Informan.


Definisi informan menurut Moleong (2006 , hal.132) adalah orang yang
dapat memberi informasi tentang situasi dan kondisi dari latar penelitian.
Menurutnya informan akan memberi pandangan dari segi orang tentang nilai,
sikap, pandangan, proses dan kebudayaan yang menjadi latar dari lingkungan
penelitian dilakukan.

Dalam penelitian ini penentuan informan mengunakan model purposive.


Purposive adalah pemilihan informan bertujuan yang dilakukan dengan cara
mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, tetapi
didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2006, hal.228). Dasar dari
pemilihan informan adalah individu-individu yang mengetahui dan memahami
tentang program pembaharuan agraria di Indonesia baik itu pejabat pemerintah,
peneliti/akademisi, penggiat program reforma agraria maupun masyarakat.

8
Tabel 1.1 Theoretical Sampling
N INFORMASI YANG
INFORMAN JML
O DIBUTUHKAN

1. 2 3 4

1. Diskripsi Pentingnya kajian


kepemilikan, sosial, budaya, 1. Sekjen Aliansi
pemanfaatan ekonomi dan politik Masyarakat Adat
dan dalam menentukan Nusantara(AMAN)
pengusahaan model landreform 2. Ketua Dewan Nasional
lahan Bagaimana pola Konsorsium
komunal di kepemilikan, Pembaharuan Agraria
Indonesia pengelolaan dan (KPA)
pengusahaan lahan 3. Direktor Landreform
komunal di Badan Pertanahan
Indonesia. Nasional Republik
2 Diskripsi dan Model kepemilikan Indonesia
4. Tokoh Muda Badan 10
analisis terkait lahan komunal yang
dengan model sesuai dengan Perjuangan Rakyat
kebijakan karateristik Penunggu Indonesia.
landreform masyarakat 5. Kepala Divisi
lahan pada Indonesia. Sumberdaya Alam
pola Model pengelolaan Yayasan Kekal
kepemilikan lahan komunal yang 6. Tokoh Muda Timor
tanah komunal sesuai dengan (Anggota Yayasan
karateristik Kekal)
masyarakat 7. Tokoh Muda Suku Dani
Indonesia, dalam Wamena (Mahasiswa
kerangka optimalisasi Fakultas Kehutanan
lahan. Universitas Negeri
Mekanisme seperti Papua)
apa yang dibuat 8. Project Leader FFI
untuk melakukan Kalimantan
kontrol dalam 9. Direktur Yayasan Titian
menjaga distribusi Kalimantan Barat
lahan 10. Kementerian
Kehutanan Republik
Indonesia(Planologi)

9
1.1.4. Unit Analisis.
Unit analisis adalah berbagai bentuk atau pola penguasaan, kepemilikan
dan pemanfaatan lahan komunal dan seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan
lahan komunal di Indonesia. Selain itu juga opini model ideal dalam perspektif
pemerintah, penelitian dan akademisi, lembaga riset dan NGO dalam upaya
mendorong kebijakan operasional program Pembaharuan Agraria di Indonesia.
Semua kajian akan didasarkan atau diklarifikasi dengan UUPA tahun 1960 dan
paradigma Pembangunan Sosial.

1.1.5. Teknik Pengumpulan Data.


Ada dua tenik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini, antara
lain adalah:

a. Studi Pustaka (library research)


Studi pustaka bertujuan untuk memperoleh kerangka pemikiran atau
konsep untuk penelitian ini. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan
data dan informasi yang diperoleh dari referensi yang bersumber dari berbagai
literatur seperti buku-buku, jurnal, majalah, peraturan perundang-undangan,
hasil penelitian sebelumnya yang nantinya akan menjadi acuan dalam analisis.

b. Wawancara Para Ahli (expert panel)


Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang akan memberikan jawaban atas
pertanyaan (Moleong 1998, hal.135). wawancara ini merupakan wawancara
tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman
wawancara yang berisi butir-butir atau pokok pikiran mengenai hal-hal yang
akan ditanyakan pada waktu wawancara berlangsung sehingga dapat
menunjang dari data yang didapat. eknik pengumpulan data ini dilakukan
melalui wawancara mendalam terhadap informan.

Informan dalam expert sampling terdiri dari orang yang diketahui


mempunyai pengalaman atau keahlian dalam suatu bidang, oleh karena itu
sempel ini dikenal juga dengan "panel of experts". Menurut Gerris&Locey
(2010, hal.228) disampaikan bahwa:

10
“choosing an appropriate expert panel is critical for success. It is the
first stage of the of delphi proses and regarded as the ‘lynchipin of the
method'”

Yang dimaksud adalah, penentuan informan menjadi sangat penting karena hal
ini sangat mempengaruhi hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan
penelitian. Ada dua alasan kenapa expert sampling digunakan. Pertama, ini
adalah cara terbaik untuk memperoleh sampel orang yang punya specific
expertise. Dalam hal ini, expert sampling adalah hal yang khusus dari
purposive sampling. Alasan kedua, adalah expert tersebut dapat digunakan
sebagai bukti penguat validitas sampel yang dipilih mengunakan metoda non
probabilistik lainya.

Berdasarkan pada teknik pengumpulan data ini maka Interview


langsung dilakukan terhadap: 1). Direktur Landreform BPN RI, dan Staf Ahli
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2). Penggiat Pembaharuan
Agraria di Indonesia, 3). Akademisi Pemberharuan Agraria di Indonesia, 4).
Tokoh Masyarakat yang mempunyai pengalaman dalam pola pengelolaan
lahan komunal.

1.1.6. Teknik Analisis Data.


Dalam menganalisis data, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
pertama, pengumpulan data mentah, dilanjutkan dengan transkrip data, Pembuatan
koding, kategori data dan penyimpulan sementara. Setelah semua proses tersebut
dilakukan selanjutnya dilakukan trianggulasi dari data yang diperoleh, tahap ini
adalah kegiatan untuk check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber
data lainnya. Trianggulasi yang dilakukan, baik dalam hal sumber data, metode
maupun teori. Tahap terakhir adalah penyimpulan akhir, langkah ini dilakukan
karena data telah dianggap sudah jenuh, dimana ketika dilakukan penambahan
data baru dari responden justru akan membuat tumpang tindih data (Irawan,
2006:89). Berbagai data dan temuan yang diperoleh, dikaji kembali secara
berulang dan diverifikasi selama penelitian berlangsung hingga akhirnya sampai
pada kesimpulan akhir.

11
Analisis data dalam penelitian ini akan mengunakan metode analisis
deskriptif. Metode analisis ini dipilih untuk membuat analisis secara sistimatis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan pola kepemilikan
lahan dan model-model landreform yang dikembangkan di Indonesia. Pendekatan
ini dipilih untuk menyajikan berbagai aspek yang terkait dengan program
landreform dimana aspek ekonomi, sosial budaya dan politik dapat dipadukan
dalam pelaksanaan program ini.

1.8. Sistematika Penulisan.


BAB I Pendahuluan: Bab ini menyampaikan bagaimana menyelesaikan
permasalahan kemiskinan di Indonesa malalui program landreform sebagai salah
satu akar masalah kemiskinan. Kemudian bab ini akan menyampaikan Perumusan
Masalah Pembaharuan Agraria yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini,
Tujuan penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
penulisan
BAB II Kerangka Pemikiran: Pada bab ini berisi tentang konsep
pembangunan, paradigma pembangunan nasional yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi sampai paparan konsep paradigma pembangunan sosial,
hubungan manusia dengan tanah dan meliputi hak akan tanah dan monopoli tanah
hubungan dengan kesejahteraan. Bagian terakhir adalah berbagai hal yang
menyangkut program landreform di Indonesia dan kajian literatur lainya yang
dilakukan secara mendalam sehingga akan memperkaya dalam analis.
BAB III Gambaran Umum Penelitian: Bab ini akan menyampaikan
tentang pengelolaan tanah negara dan tanah ulayat (tanah ulayat dan hak ulayat
serta istilah dan pengertian tanah negara). Inti yang ingin disampaikan dalam bab
ini adalah berbagai model pola kepemilikan, pengelolaan, sistem pewarisan, pada
masyarakat yang pengelolaan lahannya dilakukan secara komunal. Informasi ini
akan digali dari studi pustaka meliputi laporan penelitian, buku, artikel dan
sumber-sumber lain yang mendukung.
BAB IV Hasil temuan lapangan: Meliputi hasil wawancara dan eksplorasi
informasi terkait dengan pola-pola penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan
lahan komunal serta gagasan tentang kebijakan landreform pada masyarakat
komunal dengan narasumber/responden yang sudah ditentukan.

12
BAB V Hasil dan Pembahasan: Dalam bab ini berisi tentang analisis pola-
pola penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan lahan komunal, dimana hasil
temuan penelitian diinterpretasikan dengan gugus teori yang digunakan pada bab
sebelumnya yaitu kajian berbagai model landreform di Indonesia, yang susuai
dengan tujuan pembangunan sosial dan prespektif UUPA 1960.
BAB VI Penutup: Bab ini berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi,
yakni tentang kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang dilakukan, serta
saran yang dapat direkomendasikan dari hasil analisis yang dilakukan.

13
BAB 2

KERANGKA PEMIKIRAN

Pada bagian ini akan memaparkan tentang teori-teori yang melandasi penelitian
ini, meliputi paradigma pembangunan nasional, paradigma pembangunan sosial,
reforma agraria dan landreform.

2.1. Paradigma Pembangunan Nasional

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembangunan secara fisik tidak bisa lepas
dari lahan dan ruang, maka lahan menjadi kunci dari proses sebuah pembangunan.
Bagaimana menempatkan lahan sebagai modal pembangunan yang menghadirkan
kesejahteraan bagi masyarakat dan kestabilan ekosistem, tergantung dari
paradigma dan bagaimana menempatkan lahan sebagai sumber daya yang bisa
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk itu, bab ini akan menguraikan
pemahaman kembali apa arti pembangunan yang sesungguhnya.
Istilah ”pembangunan” pada mulanya adalah sekadar terjemahan dari
bahasa Inggris development. Sebelum Perang Dunia II, istilah pembangunan juga
telah dipakai oleh tokoh pergerakan Indonesia. Akan tetapi makna yang
dimaksudkan mungkin sedikit berbeda dari apa yang sekarang dimengerti secara
umum. Saat itu, makna pembangunan mengacu pada tiga makna sekaligus antara
lain(Wiradi, 2000, hal.152):

(a) Membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka,


membebaskan diri dari mentalitas bangsa penjajah.
(b) Membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, adil dan
demokratis.

14

16
(c) Membangun secara fisik, bagi kesejahteraan rakyat.
Tujuan pokok yang harus difasilitasi pemerintah melalui pembangunan
untuk setiap individu masyarakatnya adalah : Kecukupan, Harga Diri dan
Kebebasan dari Sikap Menghamba. a). Kecukupan adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sedangkan yang disebut sebagai
kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan
menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, b). Harga Diri yaitu menjadi manusia
seutuhnya yaitu adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri
sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan
seterusnya, c). Kebebasan dari Sikap Menghamba adalah kemampuan untuk
memilih nilai universal, kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan
secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak
oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini (Todaro dan Smith,
2006, hal.27-28)

Pada awal kemerdekaan paradigma pembangunan nasional dipengaruhi


oleh kondisi politik dunia di mana berakhirnya Perang Dunia II, dunia memasuki
masa perang dingin. Kondisi tersebut berpengaruh pada tatanan politik dan
ekonomi di Indonesia, antara tahun 1959-1965 dalam bayang-bayang perang
dingin antara kubu kapitalis dan sosialis/komunis. Indonesia ingin keluar dari
tarikan kedua kubu tersebut, hal ini ditandai dengan semboyan trisakti dan
semangat berdikari; semboyan tersebut berimplikasi pada beberapa hal antara
lain(Wiradi, 2000, hal.152):

1. Sangat selektif dalam mencari bantuan luar negeri


2. Sangat berhati-hati dalam melaksanakan business deal
3. Sangat berhati-hati dalam menyerap pengaruh asing (Pendidikan, seni budaya,
dan lain-lain).
Perubahan peta politik dan pergantian kepemimpinan nasional dari
Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto berdampak pada arah dan cara
pembangunan yang dijalankan. Paradigma pembangunan nasional pada masa
kepemimpinan Presiden Soeharto mengacu pada pembangunan yang bertumpu

15
pada pembangunan ekonomi. Paradigma tersebut didasarkan pada teori
pertumbuhan yang digagas oleh Rostow. Teorinya yang terkenal ialah teori ”lima
tahapan pertumbuhan ekonomi” (Rostow dalam Fakih, 1960).

Dalam teori pembangunan ekonomi, pembangunan mengacu pada


permasalahan kemiskinan yang dipecahkan dengan membantu orang-orang kaya.
Berdasarkan ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, para
pengusahalah yang harus didukung supaya pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
tinggi. Menurut analisis teori ini, kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, orang-orang
miskin pasti akan mendapatkan bagian juga, melalui penetesan ke bawah (trickle
down effect), karena itu, semakin miskin sebuah masyarakat, semakin gencar
upaya memberi fasilitas kepada pengusaha untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks pembangunan di Indonesia, pembangunan ekonomi


nasional selama ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat
secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan.
Dalam siaran berita BPS (2007), bahwa 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh
2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang
dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari
keseluruhan dunia usaha. Ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang
terlampau mengutamakan pada pembangunan ekonomi merugikan masyarakat
kecil.

Dari kondisi tersebut maka selayaknya kita perlu meninjau kembali


konsep dan arah pembangunan dengan pendekatan yang dilakukan selama ini.
Kritik terhadap kegagalan pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi ini telah melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma pembangunan
sosial, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bukan diukur dari GNP saja tapi
juga pemerataan pertumbuhan tersebut sehingga pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas dapat dicapai, yang mensyararatkan pertumbuhan juga diikuti dengan
pemerataan.

2.2. Paradigma Pembangunan Sosial

16
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterakan manusia
walaupun dengan paradigma proses yang berbeda ketika banyak kalangan
membahasnya. Proses pembangunan akan diawali dengan menggali sumber-
sumber daya yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan sumber daya
melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada keluaran
(output) atau hasil yang akan dicapai (outcome).

Setiap negara menerapkan teori pembangunan yang berbeda dan dengan


paradigma yang berbeda pula, baik itu didasarkan atas teori modernisasi ataupun
teori dependensi. Jika ditelaah lebih lanjut terlihat bahwa selama ini Indonesia
menganut strategi pembangunan yang berorientasi pada strategi trickle down
effect yang memeratakan hasil pembangunan dilakukan dengan mempertinggi
pertumbuhan ekonomi. Fenomena yang terjadi dewasa ini memperlihatkan bahwa
strategi tersebut tidak memperlihatkan hasilnya karena pertumbuhan ekonomi
yang dimotori oleh konglomerasi selalu membuat wadah-wadah kapital baru baru
- tapi tetesan yang diharapkan tak kunjung mengucur.

Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa strategi pembangunan


yang perlu dipertimbangkan untuk dapat diimplementasikan menurut (Widiowati,
2009), yaitu :

1. Strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity).


2. Strategi pembangunan, yang diarahkan pada perbaikan sumber daya manusia
(human factor).
3. Strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat. Strategi pembangunan ini
merupakan strategi yang berorientasi pada manusianya (people centered
development).
Pendapat serupa berasal dari (Midgley, 2005, hal.139) tentang tujuan
pembangunan, bahwa ”usaha untuk mendefinisikan hasil akhir dari pembangunan
sosial ini lebih pada bagaimana cara mencapai sesuatu yang diinginkan yang
bersifat ”material” versus tujuan ”idealis” pada konsep paham materialisme,
kemajuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pembangunan sosial diukur dengan
istilah kuantitatif. Pada pendekatan ini, indikator sosial juga secara luas
dipergunakan untuk menentukan sejauh mana kebutuhan material dapat terpenuhi

17
pada sisi lain konsep ideasional tentang tujuan pembangunan sosial jarang sekali
didefinisikan dengan menggunakan indikator kuantitatif. Tetapi tujuan ini
digambarkan dengan istilah abstrak dan melibatkan penjelasan deskriptif dan
normatif yang melibatkan metode kualitatif tentang interaksi manusia, arti hidup
dan partisipasi dalam pembuatan putusan pembangunan”.

Komponen spesifik atas "kehidupan yang serba lebih baik" itu, bertolak
dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di semua masyarakat paling
tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro dan Smith, 2006,
hal.28-29):

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan


hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
perlindungan keamanan.
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan,
tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan
kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki
kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi
dan bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta
bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan
sikap menghambat dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau
negara-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi
merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Untuk melengkapi konsep pembangunan nasional, pembangunan adalah
upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya,
dengan lima implikasi yang timbul dari proses pendefinisian tersebut (Bryant dan
White dalam Ndraha, 1990, hal16):

1. Capacity. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal


manusia, baik individu maupun kelompok.
2. Equity. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan
kemerataan nilai dan kesejahteraan.

18
3. Empowerment. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada
masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang
ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang
sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan.
4. Sustainability. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk
membangun secara mandiri.
5. Independence. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang
satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling
menguntungkan dan saling menghormati.
Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi
sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan
material dan non-material. (Midgley, et al 2000:xi) mendefinisikan kesejahteraan
sosial sebagai ”...a condition or state of human well-being”. Kondisi sejahtera
terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar
akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi;
serta manakala manusia memperoleh perlindungan risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya (Suharto, 2008, hal.104).

Orientasi pembangunan sosial itu menjadi mainstream secara global.


Pembangunan sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensi dalam pembangunan,
tetapi juga menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan (yang umumnya
dimaknai sebagai pembangunan ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan rakyat
(human well being). Ketika para kepala negara seluruh belahan dunia berkumpul
di Copenhagen 1995 dalam World Summit on Social Development, mereka
merumuskan tujuan secara bersama memperkuat tindakan nasional untuk
mempromosikan pembangunan sosial dan sebuah komitmen global kepada
pembangunan keberlanjutan. Mereka membangun komitmen untuk mengurangi
kemiskinan, meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangi
pengangguran dan memperkuat integrasi sosial (Eko et al., 2005, hal.82).

Pembangunan sosial, seperti halnya pembangunan manusia (human


development) yang diusung oleh UNDP, dapat juga sebagai bentuk alternatif atas

19
pembangunan yang selama ini mengutamakan pembangunan ekonomi. Ada
keyakinan yang kuat bahwa kesejahteraan rakyat (human well being) tidak
semata diukur dari pertumbuhan ekonomi (material) tetapi juga diukur dengan
indikator-indikator kesejateraan sosial. Karena itu pembangunan sosial juga
hendak mengatasi korban-korban pembangunan ekonomi yang berideologi
developmentalism seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran,
penggusuran, maupun kerentanan sosial yang lain.

Inti dari pembangunan sosial adalah bagaimana pembangunan itu dapat


memfasilitasi masyarakat untuk membangun dirinya sendiri, menyelesaikan
masalah mereka sendiri, membangun semangat kemandirian, baik di dalam diri
masyarakat maupun dalam komunitas mereka. Keberhasilan dari pendekatan ini
adalah lahirnya masyarakat madani.

2.3. Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat


Pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat
meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional/pranata mereka untuk
memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-
perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan
apresiasi mereka sendiri (Korten1993, hal.110). Definisi ini mencakup asas
keadilan, keberlanjutan dan kecakapan. Hanya rakyat sendiri yang bisa
menentukan apa sebenarnya yang mereka anggap sebagai perbaikan dalam
kualitas mereka.

Pencapaian dan Elemen dalam People-Centred Development menyebutkan


delapan kondisi utama yang harus dicapai oleh pelaksanaan people-centred
development, yaitu: (1) rendahnya kemiskinan, (2) rendahnya pengangguran, (3)
relatif ada kesetaraan, (4) demokratisasi dalam kehidupan politik, (5)
kemerdekaan nasional yang sesungguhnya, (6) baiknya tingkat pendidikan
masyarakat, (7) status perempuan yang relatif setara dengan laki-laki dan
partisipasi perempuan, dan (8) keberlanjutan, kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan masa depan (Seers. Dudley 1979 dalam Chasan. 2008).

20
Pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pembangunan yang
berbasis masyarakat untuk membantu menyelesiakan permasalahan-permasalahan
masyarakat, pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dari masyarakat. Bukan sesuatu yang dirancang dari luar yang sering
kali justeru meminggirkan kepentingan dan keberadaan dari masyarakat.

2.4. Pembangunan Sebagai Pembebasan


Perlu disadari bersama bahwa pembangunan yang telah dilakukan ternyata
membuahkan banyak masalah baru yang jauh dari esensi dan tujuan pembangunan
nasional yaitu kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya di
Indonesia, di beberapa negara berkembang juga menghadapi masalah yang sama.
Meminjam istilah yang disampaikan oleh PBB dalam The Human Development
Report 1996 bahwa buah dari pembangunan justru menghasilkan:
a).Pengangguran (Jobless growth) : ada pembangunan tetapi tidak menciptakan
peluang pekerjaan, padahal pekerjaan merupakan kebutuhan mendasar karena
kalau manusia tidak bekerja kemanusiaannya akan hilang (dehumanization),
dengan bekerja manusia bisa berkreasi untuk mendapat harkat dan martabat, b).
Kekejaman (Ruthless growth) : pembangunan itu kejam karena justru
pembangunan harus mengorbankan kelompok-kelompok tertentu, c). Tidak
Mengakar (Rootless growth) : pembangunan telah membuat masyarakat
tercerabut dari akar budayanya atau pembangunan yang tidak berakar atau tidak
berdampak pada masyarakat lokal, d) Kebisuan (Voiceless growth) : pembangunan
tanpa suara, pembangunan yang tanpa peran serta masyarakat yaitu meniadakan
peran masyarakat miskin dan kaum perempuan, e). Tanpa Masa Depan (Future-
less growth) pembangunan yang tidak melihat masa depan pembangunan yang
menghabiskan aset budaya, energi sosial dan merusak sumber daya alam.

Kegelisahan tersebut coba dijawab oleh Sen. Menurut Sen pembangunan


bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah,
keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan adalah sesuatu yang
"bersahabat". Pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi

21
manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a
process of expanding the real freedoms that people enjoy) (Sen, 2000).

Bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa


maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian,
kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya
dan menghidupinya. Salah satu penyebab dari langgengnya kemiskinan,
ketidakberdayaan maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Karena
keterbatasan akses menyebabkan manusia mempunyai keterbatasan atau hampir
tak ada pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya
menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan bukan apa yang seharusnya bisa
dilakukan. Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi
terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil.
Aksesibilitas yang dimaksud adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan
ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi,
serta adanya jaring pengaman sosial.

Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang


dikemukakan Sen. Pembelajaran yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan
Keberdayaan Masyarakat (konsorsium 27 jaringan dan ornop besar yang
membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, penyebab kemiskinan
adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan
manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi
yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha
produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses
dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak
menguntungkan mereka (Budiantoro Setyo, 2003).

Pendapat yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, adalah


melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom) tak jauh
berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and
Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko dalam Budiantoro Setyo (2003)
merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa
keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan

22
atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya:
patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).

Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris ; yaitu


aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat sehingga
memungkinkan masyarakat mengembangkan kemampuan atas dasar kekuatan
sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh
dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Dengan demikian, yang dimaksud pembangunan sebagai pembebasan


adalah: Pembangunan yang merangsang suatu masyarakat sehingga gerak
majunya menjadi otonom, berakar dari dinamika sendiri dan dapat bergerak atas
kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam
jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika
pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut
masyarakat.

2.5. Hubungan Manusia dengan Tanah


Seperti dinyatakan oleh Singgih Praptodiharjo (1951) dalam Sinambela
(1997), bahwa hubungan manusia dengan sumber daya tanah adalah hubungan
yang bersifat mutlak, karena apa pun bentuk kegiatan pembangunan yang
dikerjakan manusia selalu membutuhkan tanah. Tanah tidak dapat dipisahkan
dengan manusia, bahkan tidak saja semasa hidupnya tetapi setelah meninggalpun
masih membutuhkan tanah sebagai tempat pemakamanya.

"Tanah adalah pusaka, tanah adalah sumber kekuatan dan jaminan hidup
bagi bangsa sejak purbakala sampai ke akhir jaman"(Singgih Praptodiharjo
(1951) dalam Sinambela (1997)).

Kuatnya hubungan ini tergambar pada budaya berbagai suku bangsa di


Indonesia dengan ungkapan-ungkapan antara lain: Pada orang Jawa, "sedumuk
batuk senyari bumi, yen perlu den tohi wutahing ludiro", oleh orang Batak Karo
mengatakan "Uissi la pernah maringat" dan Batak Toba, "Ulos la pernah
maringat". Untuk orang lampung sebelah Utara justru lebih sakral. "Karena asal
manusia adalah tanah, maka dia akan kembali ke tanah dan oleh karenanya

23
tanah bagi orang Lampung merupakan hidup mati manusia itu", dan oleh orang
Aceh, menyatakan bahwa tanah berasal dari Tuhan, tanah-tanah bebas yang belum
digarap oleh manusia disebut "Haqqullah" sedang tanah-tanah yang telah digarap
disebut "Haqquladam" (Singgih Praptodiharjo, 1951 dalam Sinambela,1997).

Ungkapan-Ungkapan tersebut di atas merupakan bukti bahwa hubungan


masyarakat Indonesia dengan tanah sangat kuat, sakral dan merupakan pusaka
bangsa bahkan akan mempertahankan sekali pun dengan pertumpahan darah.
Tegasnya, berbicara mengenai tanah sama dengan membicarakan berbagai aspek
kehidupan manusia (Jhon Salindeho; 1993: 3 dalam Sinambela 1997), sedang
orang Papua tanah diartikan sebagai Ibu mereka.

Tanah adalah suatu benda bernilai ekonomi, sekaligus magis-religiokonis


menurut pandangan bangsa Indonesia; ia pula yang sering memberikan getaran di
dalam kedamaian dan dering pula memberikan kegoncangan dalam masyarakat,
lalu ia sering pula menimbulkan sendatan dalam pembangunan, (Sinambela
1997).

Kondisi tersebut disadari oleh para pemimpin bangsa, karena itulah dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, sebagai berikut bahwa "Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Hal yang berkaitan
dengan pasal ini, kemudian diperjelas dan dijabarkan lagi dalam Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya di lapangan.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana pentingnya tanah bukan


hanya untuk manusia atau satu komunitas masyarakat tapi juga bagi sebuah
bangsa. Permasalahan tanah menjadi masalah mendasar dalam setiap kehidupan
manusia dan pembangunan suatu bangsa.

2.5.1. Hak Atas Tanah


Dalam pasal 4 UUPA telah telah diatur dasar pemberian hak-hak atas tanah
baik kepada perorangan, kelompok masyarakat maupun kepada badan hukum dan
pada pasal 16 - UUPA telah dijelaskan macam-macam hak atas sebagai dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) antara lain : a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-

24
bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-
hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Sementara, pasal 16 ayat 2
menjelaskan hak-hak atas ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4
ayat (3) yaitu :Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam
pasal 4 ayat (3) ialah:a. hak guna air, b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.

Selain hak-hak tersebut di atas, masih ada hak pengelolaan yang berasal
dari hak pengusahaan tanah-tanah negara sebagai dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah No.8 Tahun 1953. Hak pengelolaan ini tidak ditemukan dalam UUPA,
tetapi telah diatur dengan Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, tentang :
"Pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan
tentang kebijaksanaan selanjutnya". Hak pengelolaan diberikan kepada instansi-
instansi Pemerintah seperti Departemen-Departemen dan Lembaga-Lembaga Non
Departemen serta Badan Milik Daerah yang selain dipergunakan sendiri juga
dapat diberikan kepada pihak ketiga.

Hak pegelolaan ini memberikan wewenang kepada pemegang hanya untuk


merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah
tersebut untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau
uang wajib tahunan. Jangka waktu hak pengelolaan tidak terbatas dan berlaku
sepanjang dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Hak-hak yang
dapat diberikan di atas hak pengelolaan adalah hak guna bangunan, hak pakai dan
hak-hak lainya dengan jangka waktu tertentu.

Namun demikian, apapun hak yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat


hukum atau badan-badan hukum, selalu ditandai hubungan yang kuat antara
manusia dengan tanah yang dikuasainya sebagaimana tergambar pada ungkapan-
ungkapan dan budaya beberapa suku masyarakat Indonesia. Sebaliknya, apa pun
hak yang dimiliki dan betapapun kuatnya hubungan itu, harus mempunyai fungsi

25
sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUPA, tidak boleh dipergunakan
semuanya, tetapi harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kalau mendalami permasalahan hak tanah di Indonesia sebenarnya telah


tertuang baik dalam UUD 1945 maupun UUPA 1960 dengan jelas mengatur
ketentuan tersebut, sehingga kepemilikan maupun hak terhadap sumber daya
tanah, semua bermuara pada bagaimana hak tersebut memberikan jaminan untuk
menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat.

2.5.2. Monopoli Tanah dan Kesejahteraan


Dalam era pasar bebas, saat ini siapapun boleh memiliki tanah tanpa ada
batasan luasan, ini dampak bahwa tanah dianggap sebagai komoditas. Saat ini
tanah memiliki nilai baru, tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata
melainkan juga sebagai alat untuk berspekulasi untuk keuntungan ekonomi. Tanah
telah menjadi ”barang dagangan” dimana transaksi ekonomi berlangsung dengan
pengharapan akan ”margin” atau ”rente” perdagangan atas komoditas yang
dipertukarkan itu.

Kondisi ini sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap perebutan


penarikan modal asing ke berbagai negara berkembang yang semakin marak
belakangan ini. Beberapa negara seperti Vietnam, RRC, Malaysia, dan lain-lain
saling berebut investor dengan cara memberikan fasilitas pengadaan tanah yang
cepat dan murah. Akibatnya, Indonesia yang sangat giat menarik modal, terutama
modal asing, merasa perlu pula memberikan fasilitas yang sama. Kalau tidak,
beberapa pengamat mengatakan Indonesia akan kehilangan atau ditinggalkan
investor. Oleh karena itu, sejak paruh kedua 1980-an, berbagai deregulasi terhadap
peraturan yang sekiranya menghambat perolehan tanah, dihilangkan. Indonesia
telah menempatkan kemudahan perolehan tanah sebagai suatu keunggulan
komparatif dan menjadikan tanah sebagai komoditas strategis (Wiradi, 1996).

Tentunya kondisi ini bukan kondisi yang diinginkan. Karena kondisi ini
akan semakin menjadikan adanya ketimpangan dalam penguasaan dan
kepemilikan tanah. Seperti dikutip dalam Wiradi (1996), dalam salah satu pidato
Bung Hatta di Yogyakarta pada tahun 1946, terkandung suatu pandangan

26
mengenai masalah pertanahan. Apabila diperinci, pesan itu terdiri dari 10 butir, 4
(empat) butir di antaranya relevan disebutkan di sini yaitu:

(1) Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas dan
memeras hidup orang banyak.
(2) Tanah yang dipakai oleh kebun-kebun besar itu pada dasarnya adalah tanah-
tanah milik masyarakat.
(3) Tanah tidak boleh menjadi "obyek perniagaan" yang diperjualbelikan semata-
mata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh
diperlakukan sebagai komoditi).
(4) Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dan negara, karena
negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum.

Jika diperhatikan, pesan-pesan Bung Hatta di atas (termasuk enam butir


lainnya yang tak disebutkan di sini) ternyata serupa benar dengan jiwa dan isi
pasal-pasal UUPA 1960. Jiwa UUPA jelas mengamanatkan tanah seharusnya tidak
diperlakukan sebagai komoditi.

Menurut Tjondronegoro (1996), disampaikan bahwa tanah adalah aset


bukan komoditas. Yang dimaksud dengan komoditas adalah suatu barang atau
ciptaan yang merupakan hasil produksi atau pemikiran yang dapat diper-
jualbelikan. Sebenarnya aset mempunyai kemiripan dengan komoditas dalam arti
bisa diperjualbelikan. Akan tetapi beda dan kelebihan aset adalah dapat turut
berperan aktif dalam proses produksi. Artinya juga aset turut membuat nilai
tambah. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki komoditas.

Tanah sebagai aset mempunyai ciri-ciri yang khas ditentukan oleh lokasi,
komposisi, dan struktur partikel-partikel di dalamnya. Daya produksi itulah yang
menjadikan tanah bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan begitu saja.
Karena sukar diganti (replaced), oleh segenap bangsa tanah diperlakukan dan
dilindungi secara khusus. Peperangan antar bangsa atau revolusi dalam

27
masyarakat dapat meletus bila penguasaan atas tanah tidak diatur secara adil dan
baik (Tjondronegoro, 1996).

Bila dibandingkan dengan komoditas apapun, replacement value tanah


memang lebih tinggi dan sukar disamakan dengan komoditas apapun.
Menyamakan aset tanah dengan komoditas berarti menghapus berbagai ikatan
batin yang berakar dari tanah. Tjondronegoro menyimpulkan bahwa tanah bukan
komoditas, melainkan aset Jiwa UUD 1945 khususnya pasal 33 dan UUPA No. 5
1960 mencerminkan kelebihan dan kekhususan asset ini. Baik dari sudut pandang
legal maupun dari sudut pandang kebangsaan, tanah jangan sekali-kali disamakan
dengan komoditas lain yang setiap saat bisa diperjualbelikan. Apabila tetap
memandang tanah sebagai komoditas maka sebenarnya tidak ada gunanya lagi
membanggakan, mempertahankan, dan memajukan tanah air atau memupuk rasa
kebangsaan.

Permasalahan penguasaan tanah ini sangat vital karena berpengaruh pada


akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan dan kontrol terhadap pemerataan
hak terhadap seluruh masyarakat. Jika mengacu pada UUD 1945, negara
berkewajiban untuk mendistribusikan sumber daya agraria khusunya tanah. Dari
Undang-undang ini, telah ditulis pentingnya pembaharuan agraria dalam kerangka
merombak struktur penguasaan tanah yang dimonopoli oleh beberapa orang untuk
bisa didistribusikan kepada seluruh masyarakat, sesuai dengan konsep yang
disusun dalam arah pembangunan bangsa.

2.6. Reforma Agraria.


2.6.1 Urgensi Reforma Agraria
Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini ternyata belum
bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat. Kemiskinan masih saja membelenggu
sebagian besar penduduk Indonesia, wajar kiranya jika permasalahan kemiskinan
semakin sulit dicari jalan keluarnya, sementara program pembangunan yang telah
dilakukan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yang sebenarnya
secara ekonomi sudah sangat mapan. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara
agraris yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani dengan sumber daya
lahan yang di miliki, justru sebagian besar masyarakatnya tunakisma (landless)

28
atau hanya menguasai tanah sempit yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup petani secara minimal. Padahal konstitusi telah mengamanatkan secara
tegas bahwa negara harus menjadi pembela dan memastikan terpenuhinya
kepentingan, kesejahteraan dan kedaulatan akan sumber daya. Di sinilah kenapa
Reforma Agraria (landreform) menjadi penting untuk dilakukan sebagai upaya
menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia dari akar masalahnya.

Laporan sensus pertanian tahun 2003 menyampaikan bahwa saat ini


jumlah petani di Indonesia paling tidak sekitar 44,3 juta jiwa. Dari jumlah itu,
menurut Sensus Pertanian (SP) 2003, kaum tani yang menggarap tanah kurang
dari 0,4 ha berjumlah 56,5 persen. Dari sensus ini juga menunjukkan semakin
miskinnya petani Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem
meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta
tahun 2003.

Data BPS menunjukkan sejak 1960-2002 melalui landreform ala


pemerintah telah didistribusikan 885 ribu hektar dan itu tidak lebih dari 2% dari
total luas tanah pertanian. Namun tanah seluas itu dibagikan pada 1,3 juta
keluarga petani atau 7% dari total rumah tangga pertanian. Tanah yang
diredistribusikan itu hanya 52%, sehingga tanah objek landreform yang belum
didistribusikan masih 48%.

Hal di atas menunjukkan, di satu sisi kebutuhan masyarakat untuk


memanfaatkan tanah guna kelangsungan hidupnya sangat tinggi, tetapi di sisi lain
terdapat tanah dalam skala besar yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Selanjutnya, dapat dibandingkan akses kepemilikan tanah yang dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan besar, misal hingga tahun 1993, perkebunan-perkebunan
besar menguasai sekitar 3,80 juta hektar tanah, dalam hal ini oleh 1.206
perusahaan. Setiap perusahaan rata-rata menguasai 3.150 hektar. Jika
dibandingkan dengan rata-rata luas usaha mayoritas kaum tani yang hanya 0,5
hektar (SP 1993) dan 0,4 hektar (SP 2003).

Kalau membaca data-data tersebut di atas maka kehadiran pembaharuan


agraria dalam konteks landreform perlu optimalisasi melalui model-model yang

29
adaptif terhadap kondisi dominan masyarakat yang kebanyakan masih menganut
sistem komunal. Permasalahan akses terhadap sumber daya agraria ini sangat
berpengaruh pada proses produksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka, selain itu juga akan memberikan kontrol yang cukup berarti terhadap
keberlanjutan usaha serta keberlangsungan hidup mereka sehari-hari.

2.6.2 Definisi Reforma Agraria


Sumber daya Agraria adalah : bumi, air dan seluruh kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, yang ada adalah karunia Tuhan yang pemanfaatanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang ada dimuka bumi ini secara
adil,bijaksana dan merata serta tidak melahirkan pertentangan antar manusia.

Menurut Wiradi (2006;35) Reforma Agraria bersumber dari bahasa


Spanyol yang berarti pengaturan kembali pengunaan tanah, atau yang secara luas
dikenal dengan agraria reform dalam bahasa Inggris. Sedang istilah landreform
mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda-beda menurut pengertian tertentu
yang berlainan pada setiap disiplin ilmu. Menurut King menunjukan bahwa pada
umunya perbedaan pengertian dan definisi menyoroti 2 pengertian secara umum
(King 1977) :

1. Landreform is a inveriably a more t, publiciy controlled change in the existing


character of land ownership.
2. It normally attempt a diffusion of wealth and produstive capacity
Bila dilihat dari arti tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan
program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan
pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Di Indonesia
terdapat perbedaan antara agrarian reform dan landreform . Agrarian reform
diartikan sebagai landreform dalam arti luas yang meliputi 5 program :

1. Pembaharuan Hukum Agraria;


2. Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah;
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan mengenal pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah;

30
5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya
kesanggupan kemampuanya(Harsono 1973;2-3).
Program keempat dikenal sebagai landreform dalam arti sempit.
Selanjutnya dalam pembahasan ini istilah landreform akan digunakan untuk
mengarah ke program pemerintah menuju peraturan penguasaan tanah.

Sementara Gunawan Wiradi (2001) menyampaikan bahwa pembaruan


Agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun.
”Landreform ” yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum
Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudah
berkumandang 565 tahun sebelum Masehi! Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak
sejarah: ”landreform” dijaman Romawi Kuno (134 SM); gerakan pencaplokan
tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris, selama lebih 5 abad; dan
Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di
Eropa melakukan ”landreform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan
agraria dilakukan dimana-mana baik di negara-negara Asia, Afrika, maupun
Amerika Latin.

Selama perjalanan sejarah yang panjang itu, tentu saja konsepnya menjadi
berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam dan
sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah, di masing-masing negara.
Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: ”Suatu penataan
kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
tanah, agar tercipta suatu strutkur masyarakat yang adil dan sejahtera” (Wiradi
2001). Wiradi (2001) juga menyampaikan bahwa istilah yang semula dipakai
adalah ”landreform”. Sesuai dengan kondisi sosial budayanya, dan orientasi
pandangan ekonomi dari para perencananya di masing-masing negara, maka pola
”landreform” di berbagai negara itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: yang
bersifat redistributif; yang bersifat kolekivist; dan yang campuran dari keduanya
itu. (Di negara-negara sosialis, “landreform” nya bersifiat kolektivist; di Negara-
negara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive)

31
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria
yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan
produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur
yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu
kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu
paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya
program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan,
pendidikan dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “landreform ”
plus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian
diberi istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang
berusaha menerapkan pembaruan agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah
Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an (King, 1977, hal.34).

Namun kemudian, Wiradi (2006) mempertegas bahwa istilah Agrarian


Reform yang sering digunakan secara bergantian dengan Landreform itu,
dirancukan lagi oleh mereka yang berpandangan bahwa (karena luasnya isi)
Agrarian Reform itu pada hakekatnya sama dengan pembangunan pedesaan secara
menyeluruh, maka berangsur-angsur istilah tersebut tergeser oleh istilah
Agricultural Development. Akibatnya, intinya (yaitu “Landreform”) terabaikan.
Karena itu sekarang, dalam lingkaran wacana dunia, istilah yang lebih populer
digunakan adalah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), untuk menghindari
kerancuan istilah tersebut di atas.

Pendapat lain mendefinisikan pembaharuan agraria sebagai “upaya


perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna
mentransformasikan struktur agraria yang lebih sehat dan merata bagi masyarakat
desa”. Sering pembaharuan agraria juga diartikan sebagai landreform dalam arti
luas, (Eko et.,al2005). Dengan kata lain program pembaharuan agraria adalam
merupakan upaya pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat untuk
mengubah struktur penguasaan tanah, memperbaiki tata guna tanah dan sumber
daya alam yang menyertainya, dengan memperbaiki kepastian penguasaan tanah
bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya.

32
Dengan demikian menurut Eko pembaharuan agraria dapat dikonsepsikan
sebagai ”upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam
menguasai tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui
mekanisme dan sistim politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Pengertian ini tidak sekedar perubahan
dari penguasaan tanah dan hubungan-hubungan sosial yang ada didalamnya, tetapi
pembaharuan agraria harus pula mengakui keberadaan tanah-tanah adat hal yang
sangat penting dalam pembaharuan agraria, sehingga kiranya sangat perlu
diadakan peraturan yang khusus mengenai hal tersebut.

Dalam perkembanganya program landreform terus mengalami modifikasi


dan penyempurnaan, dari situlah mucul istilah landreform plus. Pada tahun 2006
pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan penguatan
kelembagaan pada Badan Pertanahan Nasional melalui Perpres No.10 Tahun
2006, maka keluarnya kebijakan redistribusi tanah seluas 8,15 juta hektar yang
dinyatakan Presiden SBY merupakan momentum politik berikutnya yang strategis
dalam rangka perjuangan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pelaksanaan
kebijakan redistribusi tanah ini akan dijalankan oleh Pemerintah dalam sebuah
kerangka program terpadu yang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN).

PPAN ini bukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatu


program terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial dan peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui penataan akses terhadap tanah sebagai basis untuk
revitalisasi pertanian dan aktivitas ekonomi pedesaan (Winoto’ 2006 lihat
Reforma Agraria: Kepastian yang Harus Dijaga lihat hal. 34 Napiri M 2006).
Program terpadu ini mencakup dua komponen pokok. Pertama adalah redistribusi
tanah untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Kedua adalah
upaya pembangunan lebih luas yang melibatkan multipihak untuk menjamin agar
aset tanah yang telah diberikan tadi dapat berkembang secara produktif dan
berkelanjutan. Yang terakhir ini mencakup pemenuhan hak-hak dasar dalam arti
luas (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), penyediaan dukungan finansial,
infrastruktur dan teknologi, peningkatan manajemen, pembukaan akses pasar, dll.

33
Komponen yang pertama disebut sebagai asset reform, sedangkan yang kedua
disebut access reform. Gabungan antara kedua jenis reform inilah yang
diistilahkan dengan “Landreform Plus” sebagai ciri dasar yang membedakan
PPAN ini dari program landreform yang pernah dilakukan pemerintah
sebelumnya. “Landreform plus artinya landreform yang sesuai dengan kerangka
undang-undang, ditambah dengan acces reform.(Napiri M, 2006).

Untuk memahami definisi dari reforma agraria (Agraria reform) adalah


suatu program yang dibuat untuk menghadapi masalah-masalah struktur agraria
yang timpang. Sementara, landreform adalah bagian dari reforma agraria,
landreform plus adalah program landreform yang bukan hanya membagi tanah
saja tapi juga diikuti dengan program-program lain untuk mendorong pengelolaan
lahan yang didistribusikan agar lebih produktif sehingga memunculkan inovasi-
inovasi baru dalam pengelolaannya.

2.6.3 Tujuan dan Prasyaratnya


Dalam pelaksanaan landreform perlu dirumuskan tujuan dan prasyarat
mengacu pada penyelesaian masalah dan visi dari pelaksanaan landreform.
Dalam hal ini Wiradi menyampaikan bahwa tujuan pembaruan agraria adalah
untuk membangun susunan masyarakat yang lebih adil. Jadi, awalnya, kebijakan
“landreform ” adalah lebih merupakan kebijakan sosial (pemeraatan) dan bukan
kebijakan ekonomi (produksi). Namun kemudian, orang pun sadar bahwa untuk
itu diperlukan adanya economic rationale yang dapat memberi alasan mengapa
pembaruan agraria perlu dilakukan. Karena itu, khususnya setelah Perang Dunia
Kedua, pembaruan agraria di berbagai negara pada umumnya, memasukkan
berbagai aspek dalam pertimbangannya (sosial, ekonomi, politik, hukum dan
budaya). Karena itu, selalu dipertimbangkan agar pembaruan agaria itu: (a)
“politically tolerable”; (b) “economically viable”; (c) “culturally
understandable”; (d) “socially acceptable”; (e) “legally justifiable”; (f) “
technically applicable” ( Wiradi, 2001).

Tetapi perlu diingat bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak


harus melahirkan suatu "quasi-reform" atau "pseudo-reform", yaitu suatu
pembaruan yang "sopan" tetapi pada hakekatnya bukan pembaruan. Atau menurut

34
istilah Lipton nicely-behaved non-landreform (Michael Lipton dalam David
Lehmann (ed), 1974:269-81). Karena itu, bagaimanapun juga, "genuine reform"
hanya bisa dilakukan jika ada "kemauan politik" (Michael Lipton, 1974). Atas
dasar tujuan umum dan pertimbangan seperti itu, maka Wiradi (2001)
menegaskankan bahwa terutama di negara-negara non-sosialis, muatan konkrit
dari pembaruan agraria adalah:

(a) mengatur-ulang alokasi penyediaan tanah


(b) menata-ulang status dan luas pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
(c) mengatur-ulang tata-cara perolehan tanah
(d) menata-ulang penggunaan tanah
Atas dasar pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan
pembaruan agraria, maka pakar-pakar dunia pada umumnya sepakat bahwa, agar
suatu pembaruan agraria berpeluang untuk berhasil, diperlukan sejumlah
prasyarat. Yang terpenting, antara lain adalah(King, 1977):

(a) “Kemauan politik” dari pemerintah harus ada;


(b) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform, harus
ada;
(c) Data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti, harus tersedia;
(d) Elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Aparat birokrasi, bersih, jujur dan
“mengerti”.
Eko (2005) menyampaikan ada 3 tujuan yang hendak dicapai dalam
pembaharuan agraria adalah keadilan agraria, yaitu keadaan di mana: (1) Tidak
adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta
kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak; (2) Terjaminnya kepastian
hak penguasaan dan pemanfaatan rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan
alam lainnya; dan (3) Terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem
produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Menurut Napiri M, et.al. (2006), ada 5 (lima) tujuan utama yang hendak dicapai
dari program landreform plus yang akan dilaksanakan pemerintah melalui
pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan komponen
asset reform, access reform yang kemudian diistilahkan dengan ”Landreform

35
Plus”, yaitu: (a). Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih
berkeadilan sosial, (b). Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
khususnya kaum tani dan rakyat miskin di perdesaan, (c). Mengatasi
pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang pertanian dan
ekonomi perdesaan, (d). Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber
ekonomi dan politik, dan (e). Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif
untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria.

Pembaharuan agraria khusunya landreform bukan hanya membagi lahan


tapi juga memberi peluang masyarakat untuk mengusahakan lahan tersebut secara
produktif. Selain lima tujuan di atas, pemerintah juga menyatakan bahwa
pelaksanaan PPAN diharapkan juga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan
energi, serta dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian serta keberlanjutan
lingkungan, sehingga pembaharuan agraria bisa benar benar dapat meningkatkan
kualitas kehidupan dari masyarakat khusunya masyarakat petani.

2.6.4 Prinsip dan Landasan Landreform


Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralasan Prinsip Hak
Menguasai dari Negara. Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak
mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah,
pencegahan tanah menjadi terlantar dan tanda bukti pemilikan atas tanah (Fauzi
1999). Jika diperinci, landasan landreform antara lain adalah :

a. Adalah hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang
bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan
hak pemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain, tetapi sama dengan
hak ulayat dalam hukum adat. Dalam kaitanya dengan itu, negara diberi
wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu menyejahterakan rakyat,
antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa (pasal 2 UUPA).
b. Memberikan kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti
pemilikan tanah, Pemegang hak milik atas tanah hanya warga negara
Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin. Warga negara asing tak diberi hak

36
yang demikian itu (prinsip nasionalitas-pasal 9 jo.21 ayat 1 UUPA). Pasal ini
membatasi kewenangan warga negara asing untuk menguasai tanah Indonesia.
Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya alam Indonesia,
seperti tanah partikelir yang menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi
buruh tani di tanah milik warga negara asing. Pemilik adalah penguasa yang
mengambil hasil kerja buruh tani.
c. Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal maupun
maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang
menghisap tenaga kerja petani melalui sistim persawahan tanah atau gadai
tanah (pasal 7jo. Pasal 17 UUPA). Pengaturan batas minimal ditujukan agar
keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Terdapat korelasi yang
saling menguatkan antara kecilnya produktivitas dengan kecilnya pemilikan
atas tanah. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya berakibat kecilnya
pendapatan pemiliknya (baca:petani), juga secara mikro (nasional) merugikan
karena rendahnya karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo pasal 17
UUPA). Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas maksimal) akan
membuka peluang bagi sekelompok kecil orang menguasai tanah dalam luas
yang sangat besar dan sebagian besar yang lain terpaksa hanya mengandalkan
tenaga untuk menjadi buruh. Ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan
senantiasa akrab dalam struktur masyarakat yang demikian. Sebaliknya, jika
tanah didistribusikan kepada semua orang, setiap orang memperoleh tanah
meski sedikit, memang lebih menjamin pemerataan tetapi resikonya adalah
produktivitas menjadi rendah, atau rata dalam “kemiskinan”.
d. Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara
aktif (pasal 10 UUPA) sehingga dapat membawa manfaat bagi dirinya,
keluarga maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah
pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan
menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya
hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang
memeras (pasal 10 ayat 1 jo. pasal 11 ayat 1).
e. Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan
tanah, untuk selanjutnya mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan

37
hak atas tanah. Alat bukti pemilikan itu, untuk menjamin kepastian hukum
atas tanah.
Selain berbagai hal diatas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia NOMOR IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam juga memberi landasan yang kuat tentang
landreform . Beberapa yang menjadi pertimbangan kenapa landreform penting
adalah terdapat :

1. bahwa sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional
yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur;
2. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai
tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan
nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan
dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam;
3. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan,
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan;
5. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta
masyarakat, serta menyelesaikan konflik;
6. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan
komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah
bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan dan ramah lingkungan;

38
Untuk menterjemahkan hal tersebut maka Pemerintah telah menyusun
beberapa Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hak Atas Tanah. Ketentuan
peraturan perundang-undangan tertinggi yang mengatur pengelolaan sumber daya
alam dan agraria adalah Pasal 28 H UUD 1945 yang melindungi hak atas properti.

Dua pasal tersebut, bila dipahami secara eksplisit, bertujuan untuk


melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya. Namun, pasal
tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang melegitimasi Negara
untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 33
menyatakan bahwa:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas


kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-
Undang.
Perdebatan di atas harus ditarik dalam sebuah pertanyaan apa sebenarnya
dampak positif yang diharapkan dari Reforma Agraria? Karena itu Wiradi (2001)
menyatakan bahwa secara umum yang diharapkan dari reforma agraria adalah:

(a) Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
terutama kaum tani.
(b) Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil.
(c) Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan
social euphoria dan family security sehingga para petani termotivasi untuk
mengelola usaha taninya dengan lebih baik.

39
(d) Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak
kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan
stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
(e) Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Sementara pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan
kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu
(Winoto dalam Napiri M et.al., 2006b):

1. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan


rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.
(Prosperity)
2. Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan
bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). (Equity)
3. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kepastian
yang harus dijaga kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi
berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan
penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak
melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. (Social Welfare)
4. Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan
akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai
sumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability)

2.6.5 Model-Model Reforma Agraria


Secara garis besar, pola reforma agraria itu secara normatif dapat
dibedakan menjadi tiga model (dan masing-masing model itu tentu saja ada
varian-variannya sendiri-sendiri), yaitu: (Cf. Ghose, 1983; Prosterman, et.al.,
1987; juga J. Harris, 1982 dalam Wiradi 2001).

 Kolektivisasi model sosialis

40
 “Family Farm” model kapitalis
 “Family Farm” model Neo-Populis.
Atas dasar arah transaksinya model landreform dapat dibedakan dalam dua
model yaitu :

 “collective reform” prinsipnya mengambil dari yang kecil untuk diberikan


kepada yang besar.
 “redistributive reform”. Mengambil dari yang besar untuk diberikan kepada
yang kecil. Pola ini di bagi menjadi tiga kreteria teknis yaitu:
(a) luas batas maksimum dan minimum ditentukan
(b) batas luas maksimum ditentukan batas minimum diambangkan
(c) luas batas masksimum dan minimum diambangkan
Sedangkan atas dasar peran, baik dalam hal perencanaan program maupun
pelaksanaan, dapat dibedakan dalam dua model yaitu :

(a) reform-by-grace, dalam model ini peran negara sangat dominan.


(b) reform-by-leverage, peran rakyat secara terorganisir melalui organisasi-
organisasi tani sangat besar, dan jaminan oleh undang-undang nasional.
Sekalipun sesuatu negara sudah menetapkan secara normatif memilih
sesuatu model, namun dalam proses pelaksanaannya terjadi suatu perkembangan
yang mengubah arah. Contoh-contohnya misalnya (lihat, R. King, 1977):

 Italia, semula memilih model (b), yang terjadi kemudian mirip model (a);
 Yugoslavia (sebagai negara sosialis), memakai model (a), namun yang
berkembang kemudian adalah mirip model (c).
 Jepang, sengaja atau tidak, semula pola landreform nya cenderung berciri
(c), tapi kemudian menjadi (b).

41
Tabel 2.1

Pelaksanaan Landreform di Beberapa Negara

(Italia, Mesir, India, Jepang)

Negar Mulai Objek


Program Instrumen Cara/Metode
a Tahun Landreform

Itali 1946 tanah  penyitaan tanah dari  pembelian tanah


pemilikan kaum tuan tanah dari pemiliknya
luas, tetapi  distribusi tanah berdasarkan harga
tidak digarap  pengembangan menurut pajak.
dan sedikit tanah  penerimaan tanah
menghasilkan  program membayar harga
pemindahan asal 42% biaya
keluarga peningkatan unit
 pembukaan tanah pertanian. 50%
pertanian melalui dibiayai oleh dana
peningkatan dan publik
pembaharuan tanah
Mesir 1953 1 tanah  redistribusi tanah  dijual kepada
penguasaan  pengaturan pengarap biaya
publik penyakapan 40% dari bantuan
2 tanah yang  resettlement Amerika.
telah digarap  penetapan upah  +3. Kompensasi
3 pengusahaan minimum bagi sebesar 70 kali
tanah buruh tani dari pajak
berskala  penyediaan kredit tahunan, dengan
besar pertanian obligasi selama 30
(>200acre)  penguatan koperasi tahun
4 tanah bekas pertanian  penyitaan dan
milik  penataan kampung setelahnya
keluarga  reklamasi tanah menjualnya
kerajaan pentai dan padang berdasarkan biaya
tanpa pasir yang keluar plus

42
kompensasi 15% tanan non
kerajaan, selama
masa 30 tahun
India 1952 tanah tuan  program lewat kompensasi
tanah penghapusan zamin pembayaran yang
(zamindari)  pengurangan rendah dan
sebagain pemberian tanah
penyakapan tuan kecil.
tanah menjadi 1/3
atau ¼ atau kurang
 distribusi tanah
Jepang 1945 Tanah distribusi tanah  sebagian tanah
penyakapan penyakapan
diberikan kepada
pengarap aktual
melalui pembelian
oleh pemerintah
dan penjualan
kembali
 tanah dijual
kepada pengarap
pada harga fix
berdasarkan harga
dan sewa sebelum
perang.
Sumber: Eko , 2000.

Bagaimana pola penerapan di Indonesia? Landreform yang pernah dicoba


untuk dilaksanakan pada awal dekade 1960-an itu sebenarnya belum selesai.
Bukan saja pelaksanaannya yang belum selesai, tapi juga bahkan design
programnya pun sebenarnya belum tuntas. Penjabaran UUPA-1960 berupa UU
No.56/1960 (yang dikenal sebagai UU landreform ) itu baru menyangkut
pertanian rakyat. Sedangkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan,
kelautan, kehutanan, dan lain-lain, belum sempat tergarap. Dengan demikian,
tidak mudah untuk memberikan penilaian. Namun kalau dilihat dari isi UUPA-
1960 itu, jelas, semangatnya adalah semangat Neo-Populis (walaupun BK
memakai istilah “sosialisme Indonesia”). Tetapi sayangnya, ciri ini sedikit
dipudarkan oleh UU No.56/1960 yang menetapkan batas minimum penguasaan
tanah seluas 2 ha, sehingga jumlah beneficiaries relatif kecil (29%) jika dibanding

43
dengan negara-negara lain yang dianggap berhasil (misalnya, Jepang 71%; Korea
Selatan 66%; Meksiko 66%; Peru 37%; Bolivia 34%; Vietnam 72%) (Lihat,
Rehman Sobhan, 1993). Dengan demikian, tingkat ketimpangannya pun tetap
tinggi (diukur dengan Indeks Gini, pada tahun 1973: 0.53). Apalagi sekarang,
jelas kondisinya jauh lebih parah.

Pilihan model yang dipilih akan sangat berpengaruh pada konsep dan
teknik operasionalisasinya. Hal Ini menjadi arah ke mana dan bagaimana sumber
daya agraria dikelola dalam konteks pembaharuan yang akan dilakukan.

2.6.6 Pendekatan Reforma Agraria untuk Indonesia


Salah satu isu krusial dalam rangka membangun konsensus untuk
implementasi agenda reforma agraria ini menyangkut model reforma agraria
seperti apa yang akan dijalankan di Indonesia. Setiap negara memiliki model
reforma agraria yang berlainan. Secara umum, ada model reforma agraria
sosialis/komunis seperti yang diterapkan di Cina, Kuba, dan lain-lain. Dalam tipe
idealnya, orientasi restrukturisasi dari model reforma agraria ini adalah hilangnya
kelas sosial melalui penghapusan hak pemilikan pribadi atas tanah. Dan
penggantinya adalah jenis kepemilikan kolektif dalam bentuk badan koperasi dan
sejenisnya, yang sekaligus menjadi unit usaha tani yang bersifat kolektif pula.

Sebaliknya, model reforma agraria kapitalis: orientasi restrukturisasi


dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seluas mungkin bagi lahirnya kelas-
kelas kapitalis dan model yang lain adalah yang disebut sebagai neopopulis:
orientasi restrukturisasi agraria ditujukan bukan untuk kolektivisasi ataupun
pembentukan kelas pengusaha, melainkan untuk redistribusi penguasaan dan
pemilikan tanah kepada rumah tangga petani (miskin).

Menurut Soertarto (2006), menyampaikan bahwa model reforma agraria di


Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, menganut
model gabungan neopopulis dan kapitalis. Dalam model ini, redistribusi lahan
kepada rumah tangga petani menjadi inti dari pelaksanaan reforma agraria.
Namun, pada saat yang sama, ruang bagi perkebunan swasta juga tidak ditutup

44
sama sekali dengan tetap diakuinya hak guna usaha ataupun hak lain. Rencana
pembaruan agraria atas lahan seluas 8,15 juta hektar yang dialokasikan untuk
rakyat (seluas 6 juta hektar) dan pengusaha (2,15 juta hektar) harus dilihat dalam
rangka model gabungan semacam ini. Yang kemudian mesti dipikirkan dan
disepakati adalah bagaimana skema alokasi semacam ini dapat terintegrasi secara
utuh untuk menjamin akses petani bukan saja kepada tanah, melainkan juga
kepada keseluruhan proses produksi dari hulu ke hilir.

Itu berarti menuntut untuk memikirkan organisasi produksi yang tepat


untuk mengintegrasikan sektor perkebunan swasta dengan sektor perkebunan
rakyat ini, sehingga pola eksploitatif ala Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di masa
lalu tidak terulang. Pada saat yang sama petani dapat turut terlibat dalam
manajemen usaha perkebunan dari hulu hingga ujung hilirnya (entah melalui
kepemilikan saham, perwakilan koperasi dalam manajemen, pembentukan badan
usaha milik petani, dan lain-lain). Kalau hal ini dapat dikaji dan ditemukan
modelnya, barangkali itulah model reforma agraria ala Indonesia yang paling tepat
dan handal di lapangan.Mengacu pendapat Soertarto (2006), pengelolaan sumber
daya agraria di Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria, menganut model gabungan neopopulis dan kapitalis. Hal ini belum tuntas
dalam cara dan mekanisme operasionalisasinya di lapangan, sehingga pihak
swasta telah mencuri ”start” dan akhirnya mempunyai kesempatan yang berlebih
dibandingkan dengan masyarakat petani. Kondisi ini yang menimbulkan
ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia sehingga
tantangan dari para perancang, perencana dan pelaksana pembaharuan agraria di
Indonesia dalam menemukan model yang tepat dan operasionalisasi pun handal.

45
BAB 3
POLA PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PENGELOLAAN TANAH DI
INDONESIA

Di Indonesia terdapat perbedaan mengenai pola atau sistem pemilikan


tanah antara di pulau Jawa dengan daerah-daerah lain seperti pulau Sumatera,
Kalimantan dan Papua serta pulau-pulau lainya.

Pada masyarakat pulau Jawa, tanah dahulunya dimiliki oleh Kerajaan,


sementara masyarakat diberikan hak untuk memanfaatkannya. Pengaruh hukum
Belanda pada masa penjajahan telah berdampak pada model pemilikan, sehingga
selain dikuasai raja-raja lahan juga dimiliki secara personal. Pada tahun 1811 di
pulau Jawa pernah dilakukan pendataan tanah oleh pemerintahan Belanda, ini
menjadi dasar pengelolaan dan pendataan tanah di Jawa. Sementara untuk di luar
Pulau Jawa pemilikan lahan dimiliki secara komunal oleh suku, klan, atau
komunitas pedesaan kecuali untuk tanah tempat tinggal. Dalam sistem ini tidak
dikenal pemilikan secara porsonal, dalam pengelolaan dan pengaturanya berada
ditangan kepala suku atau sesepuh disuatu kampung.

Untuk mencari model landreform yang sesuai dengan pola pemilikan


komunal di Indonesia maka dalam bab ini akan disampaikan tentang pola-pola
pemilikan lahan dari beberapa daerah di Indonesia. Sebelumnya akan disampaikan
bagaimana pengelolaan tanah negara dan tanah ulayat dalam kaitanya dengan

46
pengelolaan lahan secara komunal.

3.1. Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat


3.1.1. Tanah Negara
Pengunaan istilah tanah negara ini bermula pada zaman Hindia Belanda.
Sesuai konsep hubungan antara (Pemerintah Hindia Belanda) dengan tanah yang
berupa hubungan pemilikan, maka dikeluarkan suatu pernyataan yang terkenal
dengan nama Domeian Varklaring pada tahun 1870 dengan isi bahwa semua tanah
yang tidak bisa dibuktikan dengan hak eigendomnya adalah domein Negara
(Sumardjono, 2005, hal. 60).

Sementara menurut Abna & Sulaiman (2007) memahami asal usul dari
tanah negara ini menurutnya kita harus mengembalikan ingatan kita kepada
sejarah terbentuknya Indonesia. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Van
Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht van Nederland Indie, sebelum datangnya
kapal dengan bendara tiga warna ke nusantara, wilayah ini tidak kosong akan tata
hukum. Menurutnya masyarakat di wilayah ini telah hidup teratur dalam masing-
masing wilayah hukum adat (adatechtkringen) yang berjumlah 19 lingkaran.
Artinya seluruh wilayah yang sekarang menjadi teritori Republik Indonesia telah
terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah hukum adat itu, mulai dari Aceh, Batak,
Minangkabau sampai ke Irian(Papua).

Melalui kolonialisasi dengan kekuatan senjata, akhirnya Belanda dapat


menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, kecuali Aceh. Awalnya, karena
seluruh tanah telah tebagi habis ke dalam wilayah hukum adat yang terbagi habis
pula ke dalam tanah ulayat masyarakat hukum adat, tanah negara Hindia Belanda
tidak ada.

Setelah Indonesia merdeka, atas kekuatan dari Pasal II Aturan Peralihan


UUD 1945, kekuasaan Belanda atas tanah beheer tersebut dilanjutkan oleh
Pemerintah RI. Sementara menurut Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA Pasal
III. (1). Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha

47
tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (2). Hak erfpacht untuk
pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat
tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang
diadakan oleh Menteri Agraria. Menurut Undang-undang Pokok Agraria Bab II
Bagian IV , Pasal 28. (1). Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau pertenankan. Dalam
ayat dan pasal-pasal selanjutnya ditetapkan bahwa HGU diberikan atas tanah
dengan luas 5 hektar untuk waktu 25 tahun yang dapat diperpanjang, dapat beralih
dan dialihkan, subyeknya WNI atau BHI, terjadi karena penetapan pemerintah,
dan dapat dijadikan jaminan hutang (Abna & Sulaiman 2007).

PP No. 8 Tahun 1953, LN. 1953-14. Pas. 1. Didalam Peraturan ini yang
dimaksud dengan: a. tanah Negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara.
Sementara dalam UUPA 1960 sebagai sumber hukum dalam pengelolaan sumber-
sumber agraria justru tidak ditemukan istilah tanah negara. UUPA 1960 hanya
menyampaikan khusunya Pasal 2. UUPA : Atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sedangkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 angka 3 tentang
Pendaftaran Tanah. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Dari redaksi

48
Abna & Sulaiman (2007) tersebut mencoba mempertanyaan, apakah memang ada
tanah yang di atasnya tidak melekat suatu hak tertentu, setidak-tidaknya pada
suatu bidang tanah tententu akan melekat hak ulayat dari masyarakat hukum adat.
Sementara kalau kita mengacu pada ketentuan UUD 1945 terdapat
kerancuan pada istilah “dikuasai oleh negara” antara Pasal 33 ayat 2 dengan Pasal
33 ayat 3. Menurut Pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Istilah
dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan dikelola oleh negara
secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara makna
“dikuasai oleh negara” dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan oleh Pasal 2
UUPA, sebagai “Hak Menguasai Negara”, yang sesuai dengan penjelasan Umum
UUPA, istilah “dikuasai” dalam pasal ini tidak berarti “dimiliki”, akan tetapi
adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu. Kerancuan terhadap pemahaman makna
“dikuasai oleh negara” seperti yang dimuat dalam UUD 45 dan UUPA itu, sering
timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang memandang bahwa hak
menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang
diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni diartikan sebagai milik negara,
yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara.
LMPDP mendefinisikan perbedaan pengertian menggenai tanah negara,
yang menurutnya dapat dipahami dari adanya pendefinisian yang berbeda yaitu:

a. Tanah yang langsung dikuasai Negara


b. Tanah hak yang habis jangka waktunya
c. Tanah yang belum pernah dilekati hak
d. Tanah yang berupa hutan alam, cagar alam dan cagar budaya
e. Tanah yang dikuasai dan atau digunkan instansi Pemerintah
f. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yaitu tanah-tanah yang bukan tanah
hak (menurut UUPA), bukan anah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak
pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan
g. Semua bidang tanah yang tidak diduduki, dikuasai oleh seseorang atau diurus
oleh badan/lembaga pemerintah maupun swasta tertentu

49
h. Semua bidang tanah yang tidak dinyatakan sebagai tanah hak milik
perorangan, milik desa, tanah ulayat, tanah dengan status hak erfpacht, tanah
konsesi dan sebagainya
i. Tanah yang dikuasai dan atau digunakan instansi pemerintah dan belum
dilekati hak
j. Tanah bentukan baru, termasuk tanah yang terbentuk karena proses reklamasi.
Perterjemahan definisi tanah negara ini sangat mempengaruhi pola
pengelolaan tanah negara, karena faktanya bahwa didalam tanah yang diklim
sebagai tanah negara ada tanah-tanah adat atau komunal yang diatasnya melekat
hak ulayat dan hukum adat.

3.1.2. Tanah Ulayat dan Hak Ulayat


Berbicara tentang pengelolaan sumberdaya agraria khususnya lahan
dangan pemilikan komunal, hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
tersebut adalah bagaimana posisi Tanah Ulayat dan Hak Ulayat ditinjau dari
kebijakan pengelolaan agraria dan berbagai masalahnya.
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul
atas tanah, antara lain (Haar. Bzn. Ter. 1981) yaitu; Hak persekutuan, yaitu hak
yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok
manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan
masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering
disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau
beschikingsrecht dan Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan
tertentu.
Secara umum, Haar. Bzn. Ter (1981) mengatakan bahwa hubungan antara
hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya,
semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan
sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak
perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang
kempis.

50
Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum
(subjek hak) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat tersebut berisi
wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah(untuk pemukiman,


bercocok tanam, dan lain-lain), persediaan (pembuatan
pemukiman/persawahan baru dan lain-lain). dan pemeliharaan tanah;
2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu pada subjek tertentu);
Regulasi hak ulayat masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria- selanjutnya disingkat UUPA) serta
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, dalam paradigma Hukum Adat, tanah ulayat yang didalamnya
terdapat hak dari masyarakat hukum adat, yang kerap dikenal sebagai hak ulayat
(Basuki 2007).

Abna & Sulaiman (2007) membagi tiga bentuk persekutuan hukum adat,
yakni :

a. genealogis, seperti suku dan paruik di Minangkabau, marga di Tanah Batak,


Klebu di Kerinci;
b. teritorial seperti desa di Jawa dan Bali, dusun dan marga di Sumatera Selatan,
dan
c. genealogis teritorial, seperti nagari di Minangkabau.
Dalam pengelolaan sumberdaya agrarai di Indonesia khusunya dalam
implementasinya dibutuhkan pemahamann yang utuh terhadap tanah ulayat dan
hak ulayat. Hal ini penting pengelolaan tanah ulayat yang seringkali dikelola
secara komunal dalam masyarakat hukum adat benar-benar ada pengakuan dan
penghormatan terhadap hak ulayat dalam masyarakat hukum adat(lihat
Sumardjono (2005).

51
3.2. Definisi Lahan Komunal
Dalam artikata.com komunal berasal dari kata dasar komune(commune)
dengan definisi: tempat sekelompok orang untuk tinggal dan hidup bersama-sama,
di mana mereka bekerja bersama dan membagi hasil kerja itu rata-rata. Mengacu
pada definisi tersebut maka tanah komunal adalah tanah yang diusahakan, dikelola
dan dimiliki secara bersama untuk mewujudkan kesejateraan diantara anggota
komunal.

Kesediaan hidup bersama, berusaha bersama dan memiliki lahan secara


bersama inilah yang menjadi ciri dari masyarakat komunal di Indonesia.
Bagaimana sistem ini bertahan, faktor-faktor dan ciri-ciri apa yang
melatarbelakanginya. Keragaman budaya tradisi dan perbedaan geografis
memberikan pola yang berbeda dalam bentuk-bentuk pengelolaan, pengusahaan
dan pemilikan tanah komunal di Indonesia.

3.3. Pola Pemilikan Lahan Komunal di Indonesia


Karateristik lingkungan dan budaya berpengaruh kepada pola-pola
pengelolaan dan pemilikan lahan pada masyarakat. Definisi Tanah komunal
menurut FAO (2002) adalah : tanah jenis dimiliki secara komunal yang hanya
dapat digunakan oleh anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu
digunakan untuk menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan
anggota kelompok. Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses
atas tanah komunal bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut.

Berbicara program landreform di Indonesia hal yang perlu menjadi


perhatian adalah bagaimana bentuk-bentuk pemilikan dan pola pengelolaan lahan
yang berlaku pada masyarakat Indonesia yang majemuk. Karena kemajemukan
pola kehidupan masyarakat Indonesia mendasari bagaimana pola-pala pemilikan
dan pengelolaan lahan yang berbeda pada setiap suku dan wilayah geografis
tertentu.

Dalam bab ini akan membahas bagaimana pola-pola pemilikan lahan,


pengelolaan lahan dan dibeberapa tempat di wilayah Indonesia, sebagai gambaran

52
bagaimana pola pengelolaan Sumberdaya Agraria dilakukan oleh masyarakat di
penjuru nusantara khusunya pada masyarakat komunal/masyarakat adat.

3.3.1. Pola Pemilikan Lahan Pada Masyarakat Batak


Pada Masyarakat Batak khusunya di sekitar kawasan DTA Danau Toba
Pola pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hak pemilikan,
modal, tenaga kerja, pengetahuan, kepastian akses terhadap hasil, serta faktor
kelestarian lingkungan. Pola pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh individu
berbeda dengan pola pemanfaatan yang dilakukan oleh komunal maupun negara.
Oding, Alfonsus dan Harianja (2008) menyampaikan bahwa secara umum aturan
tradisional dalam pemilikan dan penguasaan lahan di kawasan DTA Danau Toba
berdasarkan adat dan budaya Batak yang bersifat patrilineal (didasarkan pada
sistem kekerabatan dari pihak laki-laki).

Adapun sistem kekerabatan yang ada pada sistem kekerabatan masyarakat


Batak Toba dengan sebutan Dalihan Natolu, Batak Karo dengan sebutan Daliken
Sitelu, dan Batak Simalungun dengan sebutan Tolu Sahundulan. Sistem
kekerabatan patrilineal atau patrialchal adat Batak secara umum memiliki ciri-
ciri:
a. Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis ayah, anak menjadi hak
ayah dan seorang ayah memegang peranan penting dalam pengaturan
kehidupan keluarga.
b. Hak milik diwariskan melalui suatu garis di dalam susunan kekerabatan yang
ditentukan oleh para anggota kerabat dari pria.
c. Pengantin baru bertempat tinggal atau hidup menetap pada pusat kediaman
kekerabatan dari suami.
d. Para pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat.
Pada pengelolaan lahan di kawasan DTA Danau Toba menunjukan bahwa
pola pemilikan dan penguasaan lahan pada masyarakat hukum adat di masyarakat
Batak tidak jauh berbeda antara satu suku dengan suku lainnya di Indonesia.
Pemilikan lahan dapat oleh individu maupun kelompok atau komunal melalui
penemuan, pembukaan hutan, pemberian atau pewarisan, tukar menukar, dan

53
pembelian. Dalam perkembangannya pola-pola tersebut disesuaikan berdasarkan
pada budaya dan adat masing-masing masyarakat adat tersebut (Oding, Alfonsus,
Harianja 2008).
Sejarah singkat Batak Toba Sibisa Porsea dapat diketahui berdasarkan
sejarah asal mula bagi orang batak adalah perkembangan suatu desa dari masa
kemasa. Hal ini erat hubungan silsilah yaitu perasaan komunal (komunitas) yang
tebal dikalangan penduduk disuatu desa. Hal itu tampak sekali dalam kehidupan
sehari – hari pada masyarakat setempat seperti penggunaan bahasa, adat istiadat,
dan silsilah dari keturunannya. Sebelum dikemukakan tentang uraian desa
perlulah diketahui bahwa perinsip adat istiadat dan asal mula suku batak tidak
terlepas dari Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu adalah suatu aturan yang mengatur sistem kekerabatan
marga – marga yang ada pada suku batak dan merupakan acuan hidup masyarakat
batak yang merupakan sebagai berikut : Hula – hula (Tulang), Dongan Sabutuha
(Semarga), Boru (Anak Perempuan). Keuntungan lainnya terkait dengan warisan
adalah (a) dengan pemberian klen, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila
kelak suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang dimiliki
suaminya dan (b) kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama di dalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya
sama-sama satu etnis.
Aturun-aturan yang terkait dengan Dalihan na tolu dalam hal pemilikan
dan penguasaan lahan, terutama tanah di Tanah Batak antara lain: a). Warisan.
Tanah warisan diberikan orang tua kepada anaknya yang laki-laki, setelah orang
tua meninggal, b). Pauseang. Sebidang lahan (khususnya sawah) yang diberikan
pihak hula-hula pada anak perempuannya pada saat anak perempuannya tersebut
menikah. c).Ulos Nasora Buruk” (Kain batak yang tidak akan usang). Ungkapan
ini dipakai sebagai lahan yang diberikan oleh hula-hula kepada borunya untuk
dimiliki dan dikelola. d). Indahan Arian (sumber makanan). Lahan ini diberikan
oleh hula-hula kepada borunya dengan dibarengi hak pemilikan, namun tidak
boleh dipindahtangankan kepada pihak lain. ). Panjaean (batu loncatan).
Sebidang tanah yang diberikan oleh orang tua, ketika orang tuanya masih hidup,

54
kepada anak laki-laki setelah anak laki-laki tersebut menikah. f). Dondontua.
Tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak laki-laki tertuanya. g)
Upasuhut. Sebidang tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak
laki-laki bungsu, h).Marga di luar marga pemilik tanah dapat memilki tanah jika
mereka telah menikah dengan perempuan dari marga pemilik tanah. Mereka
biasanya disebut Sonduk hela.
Apabila terjadi penyimpangan dalam perkawinan (bila salah seorang calon
pengantin bukan berasal dari etnis Karo), pihak daliken si telu calon pengantin
yang beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo
tersebut disyahkan menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (marga/beru), dan
sekaligus diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-
bidang tertentu (di luar adat istiadat Karo) sama dengan orang tua kandungnya,
tetapi dalam bidang-bidang tertentu (di dalam adat istiadat Karo) jelas jauh
melebihi orang tua kandungnya yang bukan berasal dari etnis Karo. Pemberian
klen/marga ini tidak bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non Karo yang
ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken sitelu
tetap berfungsi semestinya.
Pola pemanfaatan lahan seperti ini, menunjukkan bahwa pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan DTA Danau Toba masih
berorientasi para tujuan ekonomi. Hal ini dilakukan karena masyarakat tidak
mempunyai alternatif sumber pendapatan lain di luar pertanian dan luas lahan
yang dimiliki sempit (rata-rata 0,25 Ha). Kalaupun di lahan mereka ditanami
pohon, pohon tersebut tidak merupakan tanaman utama dan dominan yang akan
menjadi sumber pendapatan masyarakat.
Dalam memanfaatkan lahan pertanian/sawah para petani masyarakat Batak
banyak melakukan penanaman tanaman pertanian seperti padi palawija, dan
sayur-sayuran. Sementara pada lahan kebun/ladang para petani juga menanami
lahannya dengan tanaman yang cepat menghasilkan (crash crop) seperti tanaman
pertanian (padi gogo, jagung, kacang tanah, cabai rawit) dan tanaman perkebunan
(seperti kopi dan coklat). Masyarakat Batak di DTA Danau Toba mengunakan
pohon sebagai batas lahan dan jarang diusahakan secara komersil.

55
3.3.2. Pola Penguasaan Lahan pada Masyarakat Minangkabau.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain,
tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya.
Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut
sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah
Minangkabau sekarang ini. Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat
Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak
menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat
dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua
hubungan kekerabatan diatur secara adat. Pada tataran konseptional, adat Minang
terbagi pada empat kategori: a). Adat nan sabana adat, b). Adat nan teradat, c).
Adat nan diadatkan, d). Adat istiadat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antar
sesama anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan yang formal
maupun yang tidak formal.
Sementara bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
dimaksud adalah (1) Bauduah, suatu perajahan dimana setiap wilayah di bawah
penguasaan suku baik berupa bentangan punggung yang di atasnya tumbuh pohon
produktif maupun aliran air sungai yang bertaburan ikan selain dibangun batas
fisik antar kaum dan juga batas bathin (internal power). Selain itu, (2) Balega
(bergilir), setiap warga kaum dapat memanfaatkan hasil sumber alam, menggarap
tanah dimaksud secara bergilir sesuai dengan kesepakatan bersama kaum.
Perubahan kesepakatan dimaksud dapat dilakukan jika telah dibangun suatu
kesepakatan baru berikutnya. Kemudian, (3) Pagang-Gadai- Susuik merupakan
kesepakatan baru berikutnya dalam pemanfaatan sumber alam, yang secara
kultural boleh dilakukan dengan cara menyewakan kepada anggota kaum lain
sampai beberapa langkah yang masih sesuku selama jangka waktu tertentu dengan
perjanjian tertentu pula (Saptomo. 1995)
.Penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam semestinya mendasarkan
pada potensi lokal tempatan mengingat secara kultural, potensi lokal mewujudkan
prinsip-prinsip matrilineal; sosial, mengintegrasikan anak kemanakan akibat
praktik perkawinan eksogami; ekonomi, mempertinggi tingkat kesejahteraan lahir
batin; politis, menunjukkan praktik ideologi komunal secara benar; keamanan,

56
menjaga keutuhan baik fisik dan bathin sosial masyarakat tempatan. Menurut
Saptomo (1995) Kekuatan bathin (internal power), pembagian hasil sumber alam
secara bergilir sesuai alam, penyewaan kepada anggota kaum sesuku selama
jangka waktu tertentu, merupakan bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan
sumber alam dimaksud. Kondisi geografis, homogenitas dan jumlah penduduk,
kultur merantau merupakan faktor-faktor pendorong kurangnya pengaruh pada
percepatan perubahan. Sementara, orientasi pada hukum negara, interaksi antara
hukum dan kedatangan etnik lain menjadikan interaksi antar etnik dan antar tata
hukum lokal memproduk beragam pandangan hukum baru yang mendorong
pergeseran model legalitas sosial ke legalitas formal.
Pada adat Minang cara untuk mempertahankan dan memanfaatkan sumber
alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi aturan lokal dalam
mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan
sumber alam demikian. Dalam konsep lokal, keamanan tanah tidak diukur dengan
selembar kertas yang disebut sertifikat, tetapi riwayat penggarapan tanah secara
turun temurun, pengakuan tokoh- tokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi
faktor penentu. “Tanah yang disertifikatkan berarti liar karena akan berakibat
bahwa hak atas tanah dimaksud akan berpindah-pindah dan dapat digunakan
secara bebas oleh orang yang namanya tercantum dalam sertikfat tersebut
sehingga sulit dikontrol.” Artinya terdapat pandangan bahwa setiap bidang tanah
yang disertifikatkan dianggap sebagai sebagai tanah “liar” dengan alasan tanah
yang sudah disertifikatkan akan menjadi bebas bagi orang yang namanya
tercantum di atas lembar sertifikat untuk dijual, disewa, digadai, dijadikan
jaminan bank, dan sejenisnya.
Dalam konteks interaksi secara kultural matrilineal berlaku prinsip
perkawinan eksogami suku (subetnik) dan endogami suku bangsa (etnik). Namun,
dalam konteks adat Minangkabau hambatan matrilineal itu dibuka melalui praktik
malakok (melekat). Dalam malakok ini, siapapun dan apapun etniknya dapat
menikah dengan etnik Minangkabau apabila, terutama laki-laki dimaksud, telah
mengaku kepada dan diakui oleh salah satu mamak yang bersuku berbeda dengan
calon pasangan dalam nagari dimaksud.

57
Dalam studinya Saptomo. (1995) membagi tiga macam kepemimpinan
dalam masyarakat Minangkabau yaitu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Penghulu
Penghulu di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan
sehari-hari “Datuak“. Penghulu itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari.

2. Kepemimpinan Mamak
Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua saudara laki-laki ibu
baik adik maupun kakaknya yang sudah dewasa/ menikah disebut mamak.

3. Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan (Tali Tigo Sapilin)


Filosofinya, ketiga unsur kepemimpinan Minang itu bila bermusyawarah
dapat menghasilkan keputusan yang  bulat dan punya kekuatan menghadapi
persoalan yang dihadapi.

 Ninik Mamak (Di dalam urusan adat Minangkabau Ninik Mamak adalah
orang yang dituakan berfungsi KK dalam rumah tangga kaum paruk/
jurai).
 Alim Ulama (Kedudukan alim ulama dihormati kerena ilmu dan
keteladanan imannya).
 Cerdik Pandai (Cerdik pandai artinya kumpulan orang pandai-pandai atau
disebut cerdik cendikia). 
Dalam perspektif kultural atau hukum lokal model perajahan merupakan
hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan cara membangun batas-batas
non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan antar mamak di suatu
tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah melembaga. Ini
menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai rujukan, bahkan
dihindari, untuk menyelesaikan persoalan konflik antar kaum berbeda suku,
namun diselesaikan lewat saluran kultural masyarakat tempatan.
Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi
sengketa. Dalam konteks ekonomi, potensi lokal dapat mempertinggi dan menjaga
tingkat kesejahteraan dengan cara membagi hasil sumber alam secara ‘merata’
sesuai kehendak alam. Antara kaum satu dan yang lain dalam menerima apa yang
diterima dipandang sebagai kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam

58
Takambang Jadi Guru. Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh,
konflik, apalagi sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan
kepada komunitas luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan
bagaimana ideologi komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan
berbagai kepentingan berbeda.

3.3.3. Pola Penguasaan Lahan pada Masyarakat Dayak Kalimantan.


Pada masyarakat Suku Dayak dalam pengaturan tanah/lahannya dibagi
menjadi beberapa, yaitu: tanah keramat, hutan adat, daerah tempat berladang,
daerah tempat bersawah, daerah perkebunan rakyat dan cagar budaya. Berdasar
konsep ini, masyarakat membagi wilayah kampung menjadi a). Kawasan hutan
yang dilindungi atau dicanangkan untuk masa depan, b). kebun buah-buahan; c).
lahan perkebunan karet, d). sawah, e). ladang dan bawas (lahan yang
diistirahatkan dengan tujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah), f). tanah
pekuburan dan tanah keramat, g). lahan perkampungan dan h). sungai serta danau
untuk perikanan (Noveria, Gayatri, & Mashudi, 2004).
Pada sistim Dayak Tara,n di Tae (Kabupaten Sanggau) dan Dayak Salaka
di Bangak Sahwa (Kabupaten Sambas) di Kalimantan Barat pada komunitas
masyarakat didua tempat tersebut, lahan yang semula dimiliki secara komunal
bisa berubah statusnya menjadi milik pribadi jika sudah dibersihkan, ditanami
dengan jenis-jenis tanaman tertentu dan dipelihara. Sistem pemilikan ini sudah di
praktekan dan diakui oleh masyarakat. Karena sudah bersifat pribadi, maka
pemilikan lahan ini dapat diwariskan kepada keturunannya(Noveria, Gayatri, &
Mashudi, 2004).

Peluso & Padoch (1996) dalam Noveria, Gayatri, & Mashudi, (2004).
menyampaikan bahwa pada komunitas Dayak, lahan untuk bertani dan berladang
diperoleh dengan cara membersihkan/membabat hutan. Pada masyarakat Dayak
Kayan yang tinggal di daerah sungai Mendalam wilayah Kalimantan Barat,
misalnya, mengakui bahwa mereka yang membuka hutan primer mempunyai hak
untuk bertani dan berladang diareal yang dibuka. Hak penguasaan lahan ini dapat
diturunkan kepada keturunan dari individu-individu yang pertama kali membuka
lahan. Pada masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas berkembang pola

59
penguasaan dan pemilikan lahan yang diakui oleh masyarakat secara turun-
temurun, pola tradisional dan turun temurun, warga desa menguasai dan
memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka. Dalam mengelola sumberdaya
lahan yang ada penguasaan dan pemanfaatan lahan dapat bersifat perorangan dan
juga dapat bersifat komunal. Pola pemanfaatan dan penguasaan lahan tersebut
diakui dalam konteks lokal tradisional, tetapi tidak secara hukum formal. Pola tani
masyarakat Dayak yang pengusahakan ladang secara berpindah dalam rotasi tiga
sampai sepuluh tahun ini dianggap tidak permanen menurut Undang-Undang
Pokok Pertanahan (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Akibatnya secara hukum, petani
ladang berpindah sulit untuk mendapat jaminan penguasaan lahan, meskipun
secara lokal ditingkat desa terdapat pengakuan pemanfaatan ini.

Pada masyarakat Dayak lembaga adat dan pengertiannya adalah


seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir kearah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah atau organisasi
tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui berbagai
kegiatan. Meski terdapat beberapa kelembagaan yang hidup di tengah masyarakat.
Namun secara umum kelembagaan lokal yang kuat pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat hanya 2 (dua) yakni : Pemerintahan desa dan badan perwakilan desa
serta Kelembagaan Adat. Kelembagaan lokal ini memiliki peran dan fungsi
masing-masing. Pemerintah Desa dan badan perwakilan desa memiliki
kewenangan menyangkut tata pemerintahan formal. Sementara Kelembagaan adat
dalam hal ini Ketemanggungan Kayaan Mendalam, bertanggungjawab untuk
mengurus urusan yang berhubungan dengan adat

Pada masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat dalam mengelola


lahan mereka mempunyai konsep Palasar Palaya yang mengatur pemanfaatan dan
pengelolaanya lahan serta sumberdaya alam yang lainya, sesuai dengan fungsinya
dengan memperhatikan keseimbangan serta kemampuan daya dukung alam dalam
suatu lingkungan komunitas. Pada prinsipnya, tanah yang sudah ditinggalkan
dapat dimanfaatkan oleh semua orang untuk kegiatan berladang sejauh lahan yang
ditingalkan tersebut tidak ditanamai oleh tanaman tahunan seperti karet, buah-

60
buahan yang oleh masyarakat dikenal dengan "tanam tumbuh", maka lahan di
anggap tanah tak bertuan dan siapapun yang berkeinginan untuk menanaminya
dapat mengunakan lahan tersebut. Sedangkan pemilikan lahan untuk bertani dan
berladang dikalangan Masyarakat Sembuluh Kalimantan Tengah ditentukan
berdasarkan kegiatan penanaman tanaman tumbuh, praktek tersebut sudah
berlangsung lama dalam masyarakat dan semua penduduk menghormati segala
kesepakatan yang berlaku, sehingga masing-masing dapat menjalankan kehidupan
mereka. Mengingat pentingya lahan lahan bagi masyarakat, maka pemilikan lahan
dapat diartikan sebagai wujud keberadaan, penguasaan, status dan juga
menunjukan harta yang dimiliki. Oleh karena itu kehilangan lahan dapat dianggap
sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Bagi masyarakat Dayak, sungai, tanah dan hutan merupakan bagian yang
terpenting dari identitas sebagai seorang Dayak. Pandangan yang sama juga
tercermin dalam pola penggunaan tanah masyarakat Dayak dalam ekosistem hutan
tempat tinggal mereka. Tanah bukan hanya sebagai sumberdaya ekonomi, namun
juga merupakan basis untuk kegiatan budaya, sosial, politik dan spiritual
(Andasputra, 2001). Bagi masyarakat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa
“kewajiban” - karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan sempat
terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka aksesnya terhadap tanah menjadi
hilang, meski seringkali bersifat sementara. Berbeda dengan pola pengelolaan
pada masyarakat modern yang didahulukan adalah “hak” (misalnya diberi hak
untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul hubungan
dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah
disebutkan, lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi “hak” (Admajaya, 1998).

Cara pemindah-tanganan hak atas tanah pada masyarakat Dayak pada


umumnya melalui : (1) Jual-beli (hajual haili), (2) perwarisan, (3) pemberian
(panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda) dan (6)
perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana seorang
keluarga tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak,

61
seperti biaya sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara
Tiwah, dan lain-lain.

Dayak Ribun memiliki kebiasaan memberi tanda dengan cara tanda alam
sebagai batas yang memisahkan dengan tanah milik orang lain, misalnya bambu,
bersamaan dengan proses penghutanan kembali secara alamiah bekas ladangnya,
maka tanda-tanda alam yang menjadi batas pemilikan tanah menjadi berubah sulit
dikenali, bahkan seringkali telah hilang. Pohon bambu sebagai batas, dalam
beberapa tahun telah menjadi rumpun bambu yang meluas sehingga titik batas
yang sebetulnya sulit ditemukan.  Model atau sistem penguasaan tanah secara
tradisional di desa-desa yang berkembang pada masyarakat Dayak yang sudah
berjalan ini ternyata mampu meminimalkan konflik penguasaan lahan. Sistem itu
justru menjamin terpeliharanya integrasi sosial tingkat lokal.

Apabila terjadi sengketa lazimnya diselesaikan secara adat atau melalui


jalur hukum nasional yang berlaku. Meskipun demikian, nampaknya cara adat
masih lebih diutamakan. Kasus apa pun yang terjadi di dalam masyarakat, apabila
para pihak yang terlibat sengketa ingin menyelesaikannya secara adat, maka ini
menjadi kewenangan demang, walaupun sengketa tersebut sudah berada dalam
penanganan polisi atau camat. Artinya, kalau suatu kasus yang sudah ditangani
oleh polisi dicabut oleh para pihak yang terlibat perkara karena kasusnya ingin
diselesaikan secara adat, kasus tersebut kemudian diserahkan oleh polisi kepada
demang untuk diselesaikan secara adat.

Baik itu Dayak Kayaan atau Dayak Bukat. Peran sentral pemimpin adat
menyangkut mulai dari urusan tata upacara adat, menjatuhkan hukum adat kepada
pelanggar, hingga mengorganisir masyarakat juga memutuskan kapan mulai
penanaman padi dilakukan. Kelembagaan Dayak Mudu dan Dayak Bukit (Sinosis)
ada tiga yaitu: organisasi tingkat rumah tangga, organisasi sosial tingkat kampung
dan organisasi sosial tingkat desa. pada umumnya didalam masyarakat adat
Dayak dikenal adanya dualisme kepemimpinan yaitu disamping ada pemimpin
formal, seperti; Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun dan RT, juga ada pemimpin
non formal yang tersusun mulai dari tingkat RT.sampai ke Tingkat Kabupaten,
yaitu; 1) Pengurus adat (ketua adat) yang mempunyai kewenangan menyelesaikan

62
masalah adat pada tingkat dusun; 2) Tumenggung; yang mempunyai kewenangan
menyelesaikan masalah adat pada tingkat desa; dan 3) Dewan Adat yang
mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah adat pada tingkat kecamatan.

3.3.4. Pola Penguasaan Lahan pada Masyarakat Papua.


Pada sebagian masyarakat adat di Papua, pola penguasaan lahan awalnya
dilakukan berdasarkan siapa yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal
hutan yang belum dikuasai oleh orang lain. Pada sebagian yang lain, awal
penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan pada lokasi yang dijelajahinya
pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang belum dikuasai marga
lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu kelompok marga,
maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan (hak
ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama
keturunan laki-laki (hak waris) (Tokede, et a1., 2005 dalam Wiliam, et al.,2005).

Konsep lain yang penting diperhatikan adalah konsep pemilikan tanah.


Bagi masyarakat adat Papua, pemilikan tanah itu bersifat komunal. Bukan hanya
milik satu garis keturunan tertentu, akan tetapi pemilikan lahan merupakan milik
satu suku. Masing-masing suku memiliki tradisi, bahasa dan tata cara adat yang
berbeda-beda. Persilangan antar suku melalui perkawinan dan peperangan juga
mengubah konsep komunalitas pemilikan lahan. Masing-masing suku memiliki
catatan sejarah umumnya tersimpan dalam tradisi lisan mengenai batas wilayah
hak ulayat. Lebih kompleks lagi, apabila catatan klaim pemilikan hak ulayat
didasarkan pada sejarah peperangan antar suku (Rahman 2007).

Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat
pada umumnya bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun
juga merupakan sentral kebutuhan spiritual. Terdapat konsep kunci dalam tradisi
masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah “ibu”. Hingga kini sesungunya bagi
masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjualbelikan (Rahman 2007). Hak
ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan, hanya boleh
dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam satu rumpun adat
(suku). Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini, secara informal
masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di daerah

63
tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat hukum adat
(marga) tertentu, dimana ketentuan-ketentuan penggunaannya di antara anggota
marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-masing marga.

Pada Suku Muyu setiap memulai kegiatan bercocok tanam maka


masyarakat terlebih dahulu berdoa dan memohon restu kepada Ibu Pertiwi.
Mereka meyakini bahwa hari dan angka tujuh adalah hari keberuntungan
sehingga dihari tersebut masyarakat Suku Muyu selalu memulai ritual
penenaman atau budidaya tanaman di lahan mereka tersebut.

Kearifan lokal masyarakat Adat Papua dalam mengelola lahan menjadi basis
pengelelolaan yang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan dan sosial itu
tercermin dalam berbagai pemahaman mereka, contohnya:

 Kepercayaan dan Pantangan


Pantangan dalam menebang pohon jenis Merbau yang perawakannya tinggi
besar dan berbeda dengan jenis yang sama pada suatu luasan (suku Bugui).
Wanita yang dalam keadaan Menstruasi tidak diperbolehkan ke kebun, karena
diyakini dapat mendatangkan babi yang dapat merusak tanaman (suku Arfak).
 Etika dan Aturan
Menebang Pohon hanya sebatas kebutuhan saja dan jika terjadi kebakaran dan
menimbulkan kerusakan pohon pemilik lainnya, maka orang yang
menyebabkan kerusakan tersebut diwajibkan menanam kembali (suku Mooi)
 Teknik dan Teknologi
Menumpukkan pohon yang baru ditebas disekeliling lahan yang berfungsi
sebagai sekat bakar pada saat pembukaan lahan pertanian (sebagian besar suku
di Papua). Membuat berbagai perlengkapan alat rumah tangga, pertanian dan
berburu (sebagian besar suku di Papua). Terdapatnya jenis pohon bembuk dan
ciskua menunjukkan lahan tersebut subur (suku Arfak
 Praktek dan Tradisi Pengelolaan Hutan/Lahan
Melindungi wilayah sekitar sungai dan budaya “sasi” sebagai masa bera dalam
memanfaatkan sumber daya alam (sebagian besar suku di Papua)
Sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan merupakan system kerajaan
(perdagangan di waktu lalu) di Raja Ampat, di Fak Fak, Kaimana atau system

64
Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayan Kebudayaan Tabi termasuk
Genyem yakni Demou Tru merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat
Namblong yang hanya diduduki oleh Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan
kekal.  Konsep kepemimpinan adat di Papua adalah tunggal dan otonom, struktur
dari orangnya atau individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan
patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas-
batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu kesatuan
territorial adat. Peran kepala suku sangat penting dalam komunitas Suku Mayu,
kepala suku yang mengkoordiner anggota suku untuk membuka lahan, selain itu
Suku Muyu memilih tanah berwarna hitam karena mereka meyakini tanah
tersebut subur dan cocok untuk hampir semua jenis tanaman: pisang (jum), jemen
andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran, dan lain-lain.
Kepala suku yang menjadi penengah ketika terjadi konflik di masyarakat.

 Membahas pola pemilikan tanah di Papua tidak bisa dipisahkan dari


keberadaan masyarakat Papua, karena bagi masyarakat Papua sejengkal tanahpun
itu milik adat. Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah
antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem,
Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni
Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3
(Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja
Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru,Aifat,Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan
Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5
kawasan Ha Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo.
Wilayah adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena,
Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain,
Puncak Jaya, Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman. 

PETA SUKU BANGSA DI TANAH PAPUA

65
Gambar: 3.1 Peta Suku Bangsa di tanah Papua ( Sumber Dinas
Kebudayaan Propinsi Papua 2008)

Dalam proses pengerjaan pembukaan lahan masyarakat Suku Muyu


mengundang warga dan kerabat untuk meminta izin akan membuka lahan
dengan membaca mantera yang dibaca dalam hati. Pemanenan dilakukan oleh
warga kampung sementara pemilik hanya mengawasi saja. Hasil-hasil panen
dikumpulkan dan tidak boleh dilangkahi atau diinjak, karena dia yang
menghidupi, diangkut dengan baik ke rumah masing-masing, dijunjung atau
dijinjing oleh mama-mama, bukan kaum laki-laki. Karena keladi dan kombili
dalam adat mereka tinggi derajatnya maka hasil panen tanaman tersebut lebih
dahulu dibawa pulang dari pada sagu dan umbi-umbian lainnya. Keladi dan
kombili dianggap suci sehingga tidak boleh dijual, hanya dibagi-bagi kepada
warga Suku Muyu, menjualnya sama dengan hina, sebelum dikonsumsi
masyarakat harus memanjatkan do’a atas berkah dari hasil panen tersebut. Jenis
tanaman yang dibudidayakan oleh warga Suku Muyu antara lain: pisang (jum),
jemen andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran, dan lain-
lain.

Untuk masyarakat Papua lembaga adat dan pengertiannya adalah


seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan

66
kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah atau organisasi
tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui berbagai
kegiatan. 

BAB 4

TEMUAN LAPANGAN

Temuan lapangan adalah hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang


sudah ditentukan sebelumnya. Narasumber dari penelitian ini adalah expert atau
ahli-ahli agraria baik peneliti, akademisi, pegiat pembaharuan agraria maupun
pejabat pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya agraria di
Indonesia.

4.1. Urgensi Pembaharuan Agraria di Indonesia


Pembaharuan hadir ketika ketimpangan sumber daya agraria terjadi,
dimana sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar sumber daya agraria
sementara sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses dan kepemilikan
terhadap sumber daya agraria tersebut. Menurut wawancara dengan salah seorang
pegiat pembaharuan agraria berskala nasional:

“... kalau kita bicara konsep umum mengenai pembaharuan agraria, atau
reforma agraria dalam bahasa Inggris agrarian reform itu sebenarnya satu

67
konsep yang luas, menyangkut banyak sektor dan juga mendasar” (US,
Ketua KPA 28 Agustus 2010).

Kalau kita lihat definisi yang ada, misalnya di dalam lembaga Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) telah dikembangkan definisi reforma agraria atau
pembaharuan agraria adalah suatu upaya untuk menata ulang struktur agraria dari
yang sebelumnya tidak adil menjadi lebih berkeadilan sosial. Struktur agraria
sendiri adalah potret pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi di masyarakat.
Dalam bahasa sederhananya, ketika struktur agraria di masyarakat diketahui
kondisinya timpang, dalam arti sebagaian besar tanah yang ada di republik ini
dikuasai oleh sebagian kecil penduduknya, maka sebagaian besar penduduknya itu
tidak menguasai tanah khususnya kaum tani, maka disitulah urgensi pembaharuan
agraria itu hadir. Artinya reforma agraria adalah jalan bagaimana memastikan
sumber daya agraria dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan.

Menurut salah seorang pegiat lembaga nirlaba regional, menyatakan


bahwa, ”saat ini pada tataran teknis pembaharuan agraria di Indonesia dibutuhkan,
hal ini didasarkan adanya posisi yang tidak seimbang dalam otoritas penguasaan,
pemilikan dan pengusahaan sumber-sumber agraria antara rakyat, swasta dan
pemerintah. Berikut ini kutipan wawancaranya:

”Kondisi di lapangan menunjukan tidak cukupnya tanah yang dikuasai


masyarakat baik secara individu maupun komunal, sementara sektor
swasta dan negara menguasai tanah sangat luas. Saya melihat ada
kelemahan dari negara dalam hal ini sebagai pihak yang punya otoritas
untuk mendistribusi sumber-sumber agraria untuk rakyat.” (YK, Direktur
Titian 1 Oktober 2010).

Kalau boleh saya simpulkan saat ini otoritas petani terhadap sumber daya
agraria khususnya tanah sangat lemah dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki
oleh swasta dan pemerintah. Ada tiga hal yang menjadikan posisi rakyat sangat
lemah dibandingkan dengan swasta dan pemerintah dalam penguasaan tanah dari
tahun ke tahun, khususnya petani. Penyebab kondisi tersebut, pertama adanya

68
permasalahan internal dalam masyarakat yang tidak dapat mendapatkan
perlindungan hasil-hasil pertanian karena mekanisme pasar bebas dan maraknya
korupsi yang seringkali menyudutkan posisi masyarakat dengan kebijakan yang
kurang atau tidak berpihak pada masyarakat, kedua adalah sangat besar
pengaruhnya adalah tingginya kepentingan swasta melalui mekanisme pasar
melakukan alih fungsi lahan yang seringkali mendapat legitimasi dari pemerintah,
ketiga adalah kewenangan negara yang besar dan sepihak dalam mekanisme
hukum formal.

4.1.1. Pembaharuan Agraria dan Pembangunan Nasional

Pembaharuan agraria sesungguhnya merupakan fondasi dari pembangunan


sebuah bangsa, sebab setiap pembangunan memerlukan lahan dan ruang.
Pembaharuan agraria selain sebagai cara mendistribusi sumber daya agraria secara
adil juga memberikan kepastian hukum bagi berbagai pihak terhadap kepemilikan,
pengelolaan dan penggunaan sumber daya agraria. Wawancara dengan salah
seorang pengurus dewan pembaharuan agraria nasional bahwa lebih jauh
pembaharuan agraria didefinisikan sebagai upaya untuk meletakkan dasar bagi
pembangunan nasional, berikut petikan wawancaranya:

“Jadi pembaharuan agraria adalah dasar atau fondasi bagi dijalankannya


pembangunan nasional, termasuk didalamnya industrialisasi nasional,
sehingga kalau negeri ini disebut sebagai negeri agraris dan bangsanya
sebagai bangsa agraris karena sebagian besar penduduknya tergantung
pada tanah dan kekayaan alam khususnya kaum tani di pedesaan,
masyarakat adat yang ada di pedalaman yang kehidupannya sangat
tergantung pada kekayaan alam, pada satu wilayah kelola yang mereka
tinggali”(US, Ketua KPA 28 Agustus 2010).

Ketika kita menginginkan transformasi sosial di Indonesia, pemerintah


menyebutnya sebagai pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat, misalnya dari kondisi yang tidak sejahtera, dari yang
miskin menjadi tidak miskin dari yang terbelakang menjadi lebih maju dan
sebagainya. Transformasi sosial dalam arti dan tujuan atau upaya untuk

69
memajukan kondisi kehidupan masyarakat, maka pembaharuan agraria
sebenarnya dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasarnya menuju fase
masyarakat yang lebih meningkat kualitas hidupnya dan lebih berkembang cara
memenuhi kebutuhan hidupnya .

Saat ini berbagai investasi asing sudah masuk ke Indonesia terutama


investasi yang memanfaatkan sumber-sumber daya agraria baik itu sektor
kehutanan, pertambangan, perkebunan, properti maupun infrastruktur baik berupa
jalan, pelabuhan ataupun bandara, meski reforma agraria belum dijalankan.
Fenomena ini di satu sisi telah meminggirkan kepentingan masyarakat lokal, di
sisi lain juga tidak menjamin investasi yang telah ditanam, artinya tidak ada
jaminan keamanan terhadap investasi skala besar tersebut, karena setiap saat akan
timbul konflik dengan masyarakat yang hanya terabaikan.

Wawancara dengan pegiat lembaga nirlaba regional bahwa pentingya


landreform juga bukan hanya untuk masyarakat tapi juga sektor swata untuk
mendapatkan kepastian terhadap status hukum terhadap pengelolaan lahan, bukan
saja dari negara tapi juga masyarakat setempat. Setidaknya ketika perusahaan
ingin bermitra dengan masyarakat lokal yang memiliki lahan. Para pemilik hak
guna usaha (HGU), IUPHHK atau dulunya HPH, seringkali menghadapi konflik
dengan masyarakat terkait dengan pengusahaan lahan. Di satu sisi masyarakat
merasa memiliki karena telah mengelola dan tinggal di satu kawasan secara turun-
temurun yang diwariskan oleh leluhurnya, di lain sisi pengusaha mendapatkan hak
dari pemerintah melalui ijin HGU atau HPH.

Kondisi tersebut disebabkan karena banyak kawasan yang overlap


tumpang tindih dari sisi kepemilikan maupun peruntukannya. Di beberapa tempat
bahkan banyak kasus di mana pemerintah daerah Pemerintah Kabupaten, Dinas
Kehutanan terkesan lepas tangan jika terjadi masalah-masalah seperti ini. Dari
beberapa pernyataan dan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses
pembangunan akan terhambat ketika tidak ada kepastian hukum terhadap sumber
daya agraria.

4.1.2. Konsep Pembaharuan Agraria

70
Sebelum melihat lebih jauh pilihan kebijakan landreform di Indonesia,
penelitian ini akan menggali informasi terkait dengan konsep pembaharuan
agraria. Hal ini penting untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak
terkait dengan apa itu reforma agraria. Pembaharuan agraria adalah bagaimana
menghadirkan keadilan dan kesejateraan rakyat melalui penataan ulang struktur
agraria dengan pengelolaan, pemanfaatan dan distribusi sumber-sumber agraria.
Dalam konteks lahan atau pembaharuan agraria dalam arti sempit sering disebut
dengan landreform.

Menurut pendapat salah satu pengurus Dewan Nasional Konsorsium


Pembaharuan Agraria dijelaskan bahwa:

“Setelah pembaharuan agraria, reforma agraria atau agrarian reform,


istilah kedua adalah landreform. Landreform itu sering dimaknai sebagai
agenda yang inti, dari pembaharuan agraria. Karena dia inti maka dia
menjadi vital dalam setiap program agraria yang dijalankan dimanapun
dan oleh siapapun(US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Reforma agraria tanpa landreform itu bukan reforma agraria yang


sesungguhnya, karena inti dari reforma agraria itu didalamnya landreform maka
setiap pembaharuan agraria harus ada landreform.Landreform pada intinya adalah
upaya untuk merombak struktur penguasaan tanah. Landreform itu selalu
dijalankan dengan maksud untuk menciptakan struktur agraria yang baru, dalam
pengertian struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang baru di mana disitu
relatif tidak ada konsentrasi penguasaan tanah di satu pihak dan di sisi yang lain
tidak ada realitas di mana mayoritas petani tidak punya tanah sama sekali atau
tanahnya terlalu sempit. Jadi landreform itu merombak struktur penguasaan tanah,
dari yang timpang menjadi lebih merata dan lebih berkeadilan sosial”

Dari pernyataan di atas maka kalau pembaharuan agraria atau agrarian


reform itu menyangkut pendistribusian keseluruhan sumber daya agraria
sedangkan landreform itu memang terbatas pada aspek tanah. Landreform itu
dimaksudkan untuk memastikan bahwa masyarakat yang tadinya tidak punya
tanah menjadi punya tanah, masyarakat yang tadinya miskin karena terbatasnya

71
akses dan kontrol terhadap tanah itu menjadi terselesaikan akar penyebab
kemiskinannya.

Landreform juga bermakna membatasi kepemilikan dan penguasaan tanah


dalam skala yang luas jadi ketika kita bicara landreform dua aspek itu yang tidak
boleh kita lupakan. Satu aspek menyediakan tanah bagi rakyat yang tidak punya
tanah atau yang lahannya sempit, aspek yang kedua adalah membatasi penguasaan
dan pemilikan tanah yang melampaui batas yang skalanya terlalu luas.

Landreform dikategorikan sebagai program yang inti dari pembaharuan


agraria, karena dengan landreform maka alat produksi yang utama bagi rakyat
khususnya kaum tani itu dapat dikuasai dan dimiliki. Berikut ini kutipan
wawancaranya:

”Tanah adalah alat produksi utama di sektor pertanian, alat produksi yang
lain itu dapat berbentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
pengembangan produksivitas pertanian, seperti permodalan, bibit, pupuk
teknologi dan sarana-sarana produksi yang lain, itu adalah sifatnya
pendukung atau penunjang tapi tanah adalah faktor produksi yang utama
sehingga dia harus diutamakan agar tersedia dahulu, caranya yaitu melalui
landreform” (US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembaharuan agraria


adalah satu upaya untuk menata ulang struktur agraria dari yang sebelumnya tidak
atau kurang adil menjadi lebih berkeadilan sosial. Sementara landreform itu
merombak struktur penguasaan tanah, dari yang timpang menjadi lebih merata,
lebih ada kepastian hukum dan lebih berkeadilan sosial.

4.1.3. Berbagai istilah dalam Pembaharuan Agraria

Banyak istilah dalam pembaharuan agraria, meski demikian kalau ada


beberapa istilah kunci dalam pembaharuan agraria khususnya terkait dengan
penelitian ini yaitu Landreform, distribusi, redistribusi dan konsolidasi. Empat
istilah ini akan memberikan gambaran dan posisi di mana pentingnya penelitian

72
ini dalam konteks persiapan program pembaharuan agraria nantinya. Di depan
sudah dijelaskan dengan terang apa itu landreform selanjutnya akan disampaikan
apa itu distribusi, redistribusi dan konsolidasi tanah. Tiga istilah ini menjadi kata
kunci dalam program landreform. Menurut pegiat pengurus Dewan Nasional
Konsorsium Pembaharuan Agraria dalam wawancara kami menjelaskan:

”Redistribusi tanah, kalau kita pelajari program-program landreform di


berbagai negara yang telah menjalankannya itu memang sangat beragam
bentuknya, mereka sama menyebut reforma agraria atau agrarian reform
dan bagian di dalamya ada landreform tetapi bicara model
implementasinya lain-lain” (US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Istilah distribusi, redistribusi dan konsolidasi tanah, itu menjadi istilah-


istilah yang sering digunakan, setiap negara atau setiap wilayah di suatu negara
yang menjalankan landreform. Ada beberapa model, misalnya model distribusi,
dapat redistribusi dapat juga konsolidasi tapi juga dapat kombinasi diantara tiga
model ini, kombinasinya dapat redistribusi juga distribusi dapat juga redistribudi-
konsolodasi, dapat juga distribusi-konsolidasi. Kombinasi model ini sangat
tergantung satu desain yang dibuat oleh pelaksana landreform itu sendiri, selain
itu sangat tergantung dari konteks sosial ekonomi, konteks sosial politik bahkan
sosial budaya dimana landreform itu akan dijalankan.

Dalam penerapan distribusi lahan dilakukan ketika tanah yang di


distribusikan adalah tanah negara di mana tidak ada keterkaitan sejarah dengan
masyarakat sebagai subjek landreform, hal ini ditegaskan oleh salah satu pegiat
Pembaharuan Agraria untuk memberi gambaran tentang model-model landreform
berikut petikan wawancaranya :

“Program distribusi tanah itu dilakukan ketika di wilayah itu terjadi


konsentrasi penguasaan tanah di satu pihak, sementara di pihak lain
terlalu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tanah itu
tapi mereka tidak punya akses pemilikan atas tanah. Ini yang penting di

73
garis bawahi tidak punya keterkaitan sejarah maupun kultural dengan
tanah yang ada di situ” (US, Ketua KPA,28 Agustus 2010).

Sedangkan redistribusi tanah biasanaya dilakukan di satu wilayah yang


masyarakatnya punya keterikatan sejarah terhadap tanah dan wilayahnya. Lebih
lanjut dijelaskan:

“... Misal, pada periode waktu tertentu masuk salah satu pihak biasanya
badan-badan usaha baik negeri maupun swasta yang menguasai dan
mengusahakan tanah dalam skala luas dalam waktu yang cukup lama.

Kalau di cermati petikan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ada
konteks sejarah dari sisi masyarakatnya keterikatan atas tanah di situ, ada konteks
sejarah masuknya perusahaan-perusahaan, jadi kalau tanahnya bukan tanah negara
murni kalau distribusi pada tanah negara murni kalau redistribusi itu tanah negara
yang sudah diserahkan penguasaan maupun pengusahaannya pada badan usaha
tertentu baik milik negara maupun swata”. Redistribusi mirip dengan distribusi
hampir sama bentuknya yaitu pembagian tanah kepada rakyat. Subyeknya sama
yaitu rakyat miskin rakyat yang tidak memiliki tanah atau rakyat yang mempunyai
tanah yang sempit tapi background dari asal usul kepemilikan dan pengelolaan
tanah masyarakat itu yang membedakan antara distribusi dan redistribusi.

Sementara kalau konsolidasi itu biasanya terjadi sebagai bentuk dari


landreform di satu wilayah itu sudah terjadi fragmentasi kepemilikan penguasaan
tanah yang sudah sedemikian rupa sehingga di wilayah itu tidak lagi ekonomis
bagi kegiatan usaha tani dan usaha-usaha lain karena sudah terlampau sempit
penguasaan dan kepemilikan tanah masyarakat di situ.Seperti petikan pendapat
salah satu pegiat Pembaharuan Agraria ini:

”...konsolidasi dilakukan dimana penguasaan dan pemilikan tanah persil-


persil kecil digabungkan disatukan dalam satu kepemilikan atau
pengusahaan bersama jadi konsolidasi itu dapat dalam konteks
kepemilikan atau pengelolaannya.” (US, Ketua KPA,28 Agustus 2010).

74
Lahan-lahan yang tadinya persilnya sempit-sempit dengan konsolidasi
dapat digabungkan, sehingga di atas tanah yang sudah digabungkan dijalankan
usaha bersama proses produksi bersama sehingga nilai ekonominya menjadi lebih
meningkat lebih baik, keuntungan dapat lebih baik dan itu jadi sumber
kesejahteraan. Itu contoh dari konsolidasi di lahan pertanian, konsolidasi lahan
juga dapat terjadi di sektor-sektor yang lain.

Program pembaharuan agraria adalah program yang sangat luas


(baca:definisi agraria), sehingga penelitian ini membatasi pada program
landreform pada pola kepemilikan lahan komunal, baik melalui distribusi,
redistribusi maupun konsolidasi tanah. Faktor-faktor sejarah asal-usul
kepemilikan lahan, tradisi, budaya, dinamika ekonomi dan sosial menjadi kajian
utama dalam menentukan model landreform yang akan dijalankan.

Istilah lain yang harus juga dikenal adalah apa itu yang disebut pengakuan
hak (recognize) akan sumber daya lahan yang mereka miliki secara turun-temurun
dan diwariskan oleh garis leluhur pada suatu masyarakat Adat. Seperti penegasan
salah satu pegiat pemberdayaan masyarakat adat nusantara, berikut kutipannya:

Selain istilah distribusi, redistribusi dan konsolidasi adalah recognize.


Artinya semestinya negara mengakui keberadaan dan wilayah teritori dari
masyarakat, karena mereka jauh sebelum negara ini ada dan berbagai
kebijakan pemerintah melalui Undang-undang, masyarakat sudah tinggal
di satu kawasan secara turun-temurun. Nenek moyang mereka mewariskan
sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anak cucu
mereka (AN, Sekjen AMAN ,1 Oktober 2010)

Pendapat di atas juga selaras dengan isi Undang-Undang Dasar 1945


amandemen IV pada pasal 18B butir 2 jelas berbunyi, ”Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”. Sementara pasal 28C butir 2, ”Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

75
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Ini yang menjadikan alasan bagi
para pegiat pemberdayaan masyarakat adat kenapa istilah recognize menurutnya
harus dikenal dalam program pembaharuan agraria khusunya landreform.

Pengakuan tehadap keberadaan dan kemilikan, sayangnya masih kurang


nampak dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, terutama
pada pasal 3 UUPA hanya mencantumkan redaksi, ”Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi” ini yang sampai
sekarang masih menjadi perdebatan dan selayaknya UUPA dapat memperjelas
maksud dari UUD 1945 khusunya amendment IV pada pasal 18B butir 2.

4.2. Pentingnya Memperhatikan Struktur dan Budaya Masyarakat dalam


menentukan Model Operasionalisasi Landreform
Kekayaan budaya merupakan ciri dari negara kepulauan seperti di
Indonesia ini. Berbagai budaya tumbuh dan berkembang di setiap pulau-pulau
baik kecil maupun besar yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Keragaman
budaya tersebut mempengaruhi pola pengusahaan dan pengelolaan dan pemilikan
tanah, sehingga wajar kiranya jika program pembaharuan agraria semestinya
memperhatikan budaya-budaya yang berkembang di masyarakat tersebut. Hal ini
seiring dengan pernyataan seorang pegiat Pembaharuan Agraria seperti di bawah
ini:

Tapi intinya yang ingin saya katakan bahwa baik distribusi, redistribusi
maupun konsolidasi tanah ini semuanya membutuhkan koneksitas yang
kuat antara model yang dirancang oleh pemerintah dengan kondisi sosial
ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat itu.” (US, Ketua
KPA, 28 Agustus 2010).

76
Tanpa ada koneksitas itu, misalnya pemerintah hanya memikirkan satu
model aja untuk diterapkan di seluruh Indonesia tanpa melihat keragaman sosial
ekonomi, politik dan budaya maka, besar kemungkinan bahwa program itu akan
gagal. Tidak akan sampai pada tujuannya, dan bahkan kita mengkhawatirkan
kalau itu dipaksakan model yang hanya satu bentuk saja itu dapat menimbulkan
konflik baru. Keberhasilan program landreform tidak lepas dari desain model atau
pola yang mau dilaksanakan. Karena konsep ini yang akan menjadi panduan
operasionalisasi dalam pelaksanaan landreform, desain model operasionalisasi
adalah hal yang harus disiapkan bagi perancang dan pelaksana landreform
berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat. Misalnya distiribusi atau
redistribusi tanah, kalau diterapkan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik
dan budaya dimana program itu dijalankan, maka konflik sosial sangat besar
kemungkinan terjadi.

Hal tersebut hendaknya menjadi pemikiran dan kajian, baik para


perancang, perencana dan pelaksana program pembaharuan agraria sekarang atau
program pembaharuan agraria nasional sekarang. Penemuan model yang
kompatibel, yang cocok dengan kondisi di lapangan, dengan prinsip-prinsip yang
harus terlebih dahulu ditetapkan di dalam dokumen resmi yang disepakat
beberapa pihak. Ketika proses perencanaan program landreform yang di dalamnya
distribusi dan redistribusi serta konsolidasi tanah bagi rakyat itu meski dibuat
prinsip-prinsip yang harus dipegang baik dalam pelaksanaannya maupun dalam
proses evaluasinya. Model operasionalisasi landreform seyogyanya
memperhatikan kondisi sosial, politik dan budaya pada setiap komunitas
masyarakat. Ketika program distribusi dan redistribusi serta konsolidasi tanah
yang mau dilakukan di suatu wilayah maka harus dipastikan ini tidak bertabrakan
dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada disitu.

Dapat dicontohkan jika ada disatu komunitas A diluar Jawa, di suatu


komunitas masyarakat adat, di situ sama sekali tidak dikenal kepemilikan
individual yang dikenal adalah kepemilikan kolektif atau kepemilikan komunal
atau kepemilikan bersama yang semua anggota masyarakat adat yang ada di
wilayah itu punya hak dan kewajiban yang sama atas tanah di situ, dan punya

77
kesempatan yang sama untuk memberikan akses atau memberikan kontrol
terhadap sumber daya yang ada di situ. Hal ini selaras dengan salah satu pegiat
pembaruan agraria:

“Terhadap wilayah-wilayah yang komunitas masyarakatnya memegang


pola penguasaan tanah semacam itu dan memegang nilai-nilai adat
semacam itu, maka model landreform dalam bentuk redistribusi tanah
yang individual jelas tidak cocok, jelas tidak kompatibel kalau dipaksakan
justru membahayakan” (US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Struktur sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lahir dari satu
peradaban yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat tersebut,
perubahan struktur sosial tidak dapat dilakukan dengan cepat, karena akan
berbenturan dengan kultur dan kebiasaan kehidupan sosial dari suatu komunitas
masyarakat. Menurut US hal ini yang harus menjadi perhatian bagi perancang dan
pelaksana program landreform. “Kalau penguasaan tanah dan pemilikan tanah
individual ini dipaksakan harus dijalankan demi komunitas itu maka yang
namanya struktur sosial disitu akan goyah, yang namanya setiap masyarakat adat
punya struktur sosial punya kepemimpinan disana dan juga nilai-nilai kolektivitas
nilai-nilai kebersamaan dari komunitas itu juga akan runtuh”.

Jika satu wilayah atau satu hamparan tanah yang semula semua orang
dapat mengaksesnya secara leluasa, tetapi dengan bertangung jawab sesuai
dengan norma-norma adat yang berlaku disitu, dengan program landreform yang
individual malah terjadi pemecahan sistim dan pola pemilikan dan penguasaan
tanah menjadi individual dimana disitu ada kapling-kapling, ada batas-batas
individual, teritori bagi individu tertentu atas wilayah tertentu maka ini dapat
menimbulkan shock culture atau gegar budaya. Jadi biasanya dapat mengakses
satu bidang tanah sekarang menjadi tidak boleh karena sudah di kapling itu milik
si A, Si B, si C dan seterunya

Ini esensi dari pentingnya konsep model dalam operasinoalisasi program


landreform. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria memberi
gambaran bahwa perlunya memperhatikan kultur dan budaya yang berkembang di

78
masyarakat. Budaya komunal yang didasari dengan kegotong-royongan didorong
untuk individualistik karena pola kepemilikan lahan-nya yang individual akan
merubah budaya yang berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. sebuah
ilustrasi jika kamunitas masyarakat yang tadinya komunal, lalu dilakukan
kebijakan pembaharuan agraria atau landreform dengan pola yang dikembangkan
sekarang mereka menanam sendiri, di lahanya sendiri yang sudah disertifikat, dan
dia tidak lagi peduli dengan tetangnya dengan saudaranya yang lain yang juga
mempunyai kewajiban untuk menggarap tanahnya, begitu juga pada saat panen
pada sebelum panen, saat pengelolaan-pengelolaan, perawatan tanaman, dari yang
biasanya bersama-sama kolektif, saling gotong-royong, dan dengan pola
pemanfaatan yang individual juga itu akan terdorong menjadikan masyarakat
menjadi lebih individualistik lebih mementingkan kepentingan diri sendiri atau
keluarganya saja. Ini sebuah gambaran bagaimana dampak landreform pola
individu ketika diterapkan pada masyarakat komunal. Hal ini dicontohkan oleh
seorang pegiat pembaruan agraria:

”...dalam saat panen juga begitu, penjualan bagi hasilnya tidak akan lagi
dilakukan secara bersama secara kolektif, singkat kata model pemilikan
penguasaan tanah yang individual sekalipun itu diklem sebagai bagian dari
reforma agraria atau landreform itu belum tentu akan berdampak baik
terhadap masyarakatnya apabila itu tidak memperhatikan kondisi sosial
budaya, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial politik yang ada disitu”.
(US, Ketua KPA,28 Agustus 2010).

Oleh karena itu, pembaharuan agraria yang akan atau yang sedang
disiapkan oleh pemerintah itu mutlak harus memperhatikan pola pemilikan
penguasaan dan pengusahaan tanah yang berlaku di setiap masyarakat yang pasti
beragam. Menurut US yang harus dibuat oleh pemerintah adalah prinsip-
prinsipnya nilai-nilai mendasarnya. Misalnya saja ia harus melindungi dan
menghormati sistem hukum Adat yang berlaku di komunitas setempat reforma
agraria juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga jangan sampai

79
dengan program pembaharuan agraria itu hanya beberapa pihak saja yang
diuntungkan.

Program pembaharuan agraria itu hendaknya dapat dinikmati oleh


masyarakat yang selama ini tidak punya tanah sama sekali, dan tanahnya sempit,
satu komunitas masyarakat baik adat atau bukan yang tanahnya dirampas demi
kepentingan golongan tertentu atas nama pembangunan. Jadi yang perlu menjadi
perhatian juga adalah jangan sampai program ini jadi salah sasaran. Prinsipnya
model pembaharuan agraria itu harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat
yang ada di lapangan dan dijalankan secara demokratis, partisipatif tidak menjadi
program yang top-down yang ditentukan semua dari atas, dari pemerintah dan
masyarakat tingal menerima begitu saja. Idealnya masyarakat terlibat aktif sejak
awal termasuk dalam menentukan model desain, perencanaan, pengusahaan dan
pemilikan tanahnya.

4.3. Deskripsi Pola Penguasaan, Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan


Komunal Di Indonesia
Keragaman dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
berpengaruh pada banyaknya ragam model pengelolaan lahan di Indonesia.
Keragaman tersebut menjadi menarik sebagai sebuah realitas sosial dimana
komunitas-komunitas masyarakat tersebut mampu mengelola lahan secara
bersama dan dapat memberi jaminan distribusi pada seluruh anggota komunitas
tersebut.

Untuk memotret bentuk komunal di Indonesia penelitian ini melakukan


studi pustaka yang menjadi gambaran umum penelitian di Bab 3, penelitian ini
juga melakukan wawancara dengan berbagai nara sumber, selain pemerhati dan
peneliti agraria, juga orang-orang yang memang pelaku atau bagian dari pola-pola
kepemilikan komunal di Indonesia. Dari penelusuran dengan para nara sumber
tersebut setidaknya ada 4(empat) lokasi yang dikaji dalam upaya mengambarkan
bentuk-bentuk pengelolaan lahan komunal di Indonesia. yaitu Wilayah Adat
Masyarakat Penunggu Sumatera Utara, Desa Adat Tenganan Pegringsingan di
Bali, Wilayah adat Timor dan Wilayah Adat Suku Dani di Wamena Papua.

80
4.3.1. Adat Penunggu.
Pengelolaan lahan di masyarakat adat Penunggu memang cukup menarik
untuk dikaji karena kuatnya kebutuhan komunal itu membuat masyarakat Adat
Penunggu membuat organisasi Moderen. Masuknya Belanda untuk melakukan
investasi di wilayah Sumatera Timur untuk tanaman tembakau. Investasi ini
mengontrak tanah-tanah masyarakat adat rakyat Penunggul (sekarang rakyat
Penunggu) yang disebut sebagai Akta Van Konsesi. Ketika Indonesia merdeka,
asset-aset perkebunan Belanda ini di nasionalisasi. Nasionalisasi juga termasuk
mengambil tanah-tanah Ulayat rakyat Penunggu tanpa melakukan negosiasi
dengan masyarakat adat, tanah-tanah tersebut kemudian di jadikan Perkebunan
Negara yaitu PTPN IX kemudian merger menjadi PTPN II sampai sekarang.

Akibat sistem ini maka tahun 1953 (tepatnya tanggal 19 april 1953) rakyat
Penunggu yang terdiri dari 67 kampong yang berada di 4 wilayah (Serdang, Deli,
Medan, Binjai, Langkat) yang di batasi oleh Sungai Wampu (langkat) dan Sungai
Ular (Serdang) membentuk organisasi perjuangan yaitu BPRP (Badan Perjuangan
Rakyat Penunggu) yang kemudian menjadi BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat
Penunggu Indonesia). Tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk meminta
kembali tanah ulayat mereka (rakyat Penunggu) seluas 350.000 ha yang sudah
dikuasai oleh PTPN II.

Masa perjuangan dari 1953 sampai 1997, tanah ulayat yang diduduki
kembali untuk dijadikan lahan-lahan pertanian tidak pernah bertahan lama karena
terus menerus digempur dan diduduki oleh pihak Perkebunan. Dari tahun 1998
sampai tahun 2010 (saat ini) ada beberapa kampong yang berhasil bertahan
menduduki tanah ulayat dengan hak kepemilikan komunal dan mengelolanya
menjadi lahan pertanian yang bersifat individual. Proses perjuangan ini satu
kampong rakyat Penunggu Tanjung Mulia berhasil memenangkan kasus melawan
PTPN II sampai putusan Mahkamah Agung.

Menurut wawancara dengan tokoh muda masyarakat adat penunggu


bahwa Tanah Ulayat yang di kuasai oleh rakyat Penunggu kepemilikannya adalah
komunal namun sistem pengelolaannya adalah individu-individu yang di berikan
kepada satu orang penanggungjawab di satu keluarga. Sistem ini dilakukan

81
karena tanah-tanah ulayat yang dikuasai masih dalam status perjuangan, sehingga
pembagian tanggung jawab per-individu di keluarga terjadi.

Pembagian pengelolaan tanah ulayat tergantung dari berapa jumlah luas


yang berhasil di kuasai dan jumlah individu yang berjuang (individu ini
merupakan anggota BPRPI), sambil terus berjuang untuk mengambil lagi tanah
mereka dari PTPN II masyarakat mengusahakan tanah tersebut untuk tanaman
Holtikultura. Sehingga jumlah tanah ulayat yang di kelola per-individu di masing-
masing kampung berbeda-beda, paling besar haknya 0,5 ha (12.5 rante). Jumlah
ini menang masih terlalu kecil untuk menjadi sumber utama dalam kemajuan
ekonomi satu keluarga. Setiap masyarakat mempunyai hak yang sama terhadap
luasan lahan tetapi ketika mereka tidak lagi mengusahakan lahan tersebut secara
produktif mereka kehilangan hak pengelolaannya untuk dikembalikan kepada
Adat yang kemudian diberikan kepada masyarakat yang lain yang ingin
mengusahakan lahan tersebut secara produktif. Lebih jauh ia menjelaskan
beberapa aturan yang dibangun secara tertulis oleh Komunitas Adat Masyarakat
Penunggu dalam kutipan berikut ini :

Sedikit saya gambarkan aturan tertulis yang dicantumkan dalam AD/ART


sebagai berikut: a). bahwa tanah masyarakat Adat Penunggu adalah milik
Adat dan tidak dapat dimiliki secara pribadi baik oleh individu masyarakat
penunggu maupun orang luar, b). setiap masyarakat berhak mengelola dan
mewariskan hak kelola kepada anak turunnya”. (AS, Tokoh Muda
Penunggu, 5 Oktober 2010).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa

”Hak kelola tersebut gugur ketika keluarga tersebut tidak lagi


mengusahakan lahan untuk usaha pertanian, setiap masyarakat yang ada di
komunitas tersebut tidak memiliki lahan atau tempat tinggal di kampung
lain”

82
Dari latar belakang silsilah masyarakat Penunggu terdiri atas tiga yaitu:
Mustotin, klan ini merupakan keturunan orang asli Penunggu, sementara Semenda
merupakan campuran klan orang asli Penunggu dengan orang luar, sedangkan
Resam, merupakan masyarakat atau orang pendatang. Meski terbagi dalam tiga
klan tapi dalam hak pengelolaan tidak ada pembedaan mereka juga mempunyai
kewajiban yang sama dalam kehidupan sosial dan pengelolaan lahan di wilayah
adat Penunggu.

Semenjak organisasi modern terbentuk, masyarakat mengelola lahan


tersebut dengan sistem komunal. Untuk melakukan proses kontrol terhadap
kepemilikan atas pengelolaan individu-individu rakyat Penunggu adalah memakai
aturan AD/ART organisasi rakyat Penunggu (BPRPI). AD/ART ini sesungguhnya
adalah sebagian besar isinya merupakan aturan-aturan adat yang diadopsi
menjadi peraturan organisasi. Tokoh muda masyarakat penunggu memberi
contoh:

“...di dalam Anggaran Dasar BPRPI memuat pasal yang mengatur bahwa
satu individu (anggota BPRPI) haknya berhak mendapat pengelolaan di
satu kampong saja atau di 1 wilayah adat. Di pasal lain AD menyatakan
bahwa tanah ulayat yang di kelola tidak dapat diperjualbelikan, akan tetapi
berlaku hukum sewa menyewa, belahan atau jika terjadi pengalihan
pengelolaan wajib dilaporkan ke Pengurus Kampung” (AS, Tokoh Muda
Penunggu, 5 Oktober 2010).

Pengurus organisasi di tingkat kampong terdiri dari Petua Adat, Pimpinan


Kampung, Sekretaris, Bendahara dan Pimpinan Blok. Untuk mewujudkan pasal
ini maka organsisasi kemudian mengeluarkan Surat Keterangan kepemilikan
pengelolaan lahan dengan memakai Kepala Surat masing-masing Pengurus
Kampung. Kebijakan ini dilakukan untuk mencegah individu-individu melakukan
tindakan yang melanggar AD/ART organisasi dan mengontrol anggota terutama
dalam proses pengalihan hak kepemilikan pengelolaan tanah ulayat.

Pengurus juga memastikan anggota tidak menelantarkan lahan-lahan yang


dibagikan untuk dikelola, jika ini terjadi maka petua adat dan pimpinan kampung

83
akan memberikan teguran dan sanksi pencabutan atas hak pengelolaan tanah yang
kemudian dialihkan kepada anggota lain. Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa
anggota dalam pengelolaan lahan ada yang berhasil dan ada yang gagal Untuk
menyeimbangkan hal ini, maka pengurus organisasi melakukan intervensi dengan
menerapkan subsidi dengan sistem kerjasama antar anggota dengan sistem bagi
hasil, sistem zakat dan sistem sumbangan kepada organisasi untuk mendampingi
penyaalurannya kepada anggota yang kurang berhasil atau gagal panen atau
belum maksimal dalam pengelolaan tanah ulayatnya.

Dalam kehidupan komunal masyarakat adat Penunggu membangun


norma-norma untuk membangun relasi sosial di masyarakat adat Penunggu.
Norma-norma tersebut berjalan dan melembaga di masyarakat. Mereka
menganggap bahwa tanah bukan semata-mata dianggap sebagai barang produksi
dan barang ekonomi semata, melainkan lebih dari itu tanah sebagai tempat ritual,
menjaga dan mengelola titipan leluhur dan memperkuat hubungan sosial dan
kolektivitas rakyat Penunggu. Oleh sebab itu, bagi rakyat Penunggu tanah ulayat
tidak boleh diperjual belikan. Bentuk kepemilikan tanah ulayat ini adalah kolektif
sedangkan bentuk pengelolaannya bersifat individual. Tanah harus dikelola untuk
mendapatkan manfaat yang memperkuat ekonomi keluarga., maka bagi anggota
yang mengabaikan hak pengelolaan atas tanah adat akan kehilangan hak
pengelolaannya termasuk Mustotin (orang asli rakyat Penunggu) untuk dialihkan
kepada anggota lain.

Adat penunggu dipimpin oleh Petua Adat. Petua Adat bertugas sebagai
pemangku adat dalam satu kampung, petua adat juga menjadi utusan atau
perwakilan anggota-anggota rakyat Penunggu dalam hubungan eksternal dan
menentukan kebijakan terhadap pengelolaan tanah ulayat yang diawali oleh hasil
musyawarah dan mufakat anggota. Sementara, Pimpinan Kampong atau Ketua
Kampong; bertugas untuk mengatur anggota-anggota yang melakukan
pengelolaan atas tanah ulayat yang dikuasai. Ketua Kampong, selain mengurus
internal juga membantu petua adat secara eksternal tertuma dalam melakukan
proses-proses advokasi, lobi dan negosiasi dalam perjuangan merebut kembali
tanah ulayat.

84
Ketua Kampong dibantu oleh sekrertaris, bendahara dan pimpinan
kelompok, dengan tugas masing-masing antara lain: sekretaris : bertugas untuk
penataan dan manajemen organisasi terutama mengatur dan memastikan anggota
taat terhadap AD/ART organisasi, bendahara ; bertugas mencari dan mengelola
keuangan organisasi seperti iuran wajib anggota dan pimpinan kelompok :
bertanggung jawab dan mengontrol anggota-anggota yang lebih kecil atau dalam
kelompoknya.

Tokoh muda Penunggu menjelaskan tentang tata batas wilayah adat


Penunggu selalu mengacu pada luas wilayah adat yang dimiliki secara komunal
dan setiap komunitas tahu batas-batas tanah adatnya untuk pengelolaan ini diatur
oleh pimpinan atau petua adat. Berapa jumlah areal tanah ulayat yang dikuasai
kemudian akan dibagi dengan jumlah warga adat yang siap mengelola dengan
baik dan produktif. Dari wawancara dinyatakan bahwa :

“Dalam menentukan tata batas diatur melalui musyawarah adat dan


diselesaikan dengan mengacu pada hukum adat. Sementara kalau ada
konflik tata batas menyelesaikannya mengacu pada AD/ART organisasi,
jika ada masalah yang belum diatur terkait dengan tata batas dan
pengelolaannya maka ini akan diputuskan lewat kebijakan-kebijakan petua
adat dan pimpinan organisasi” (AS, Tokoh Muda Penunggu, 5 Oktober
2010).

Selain norma-norma yang tertulis masyarakat Adat Penunggu juga


memiliki norma-norma yang lain yang mereka junjung tinggi dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya iuran wajib masyarakat yang mempunyai
hasil tani yang berlebih, lewat organisasi memberikan bantuan pada masyarakat
dalam komunitas mereka yang sedang gagal panen, ini dilakukan supaya tidak ada
kesenjangan sosial dan menjalin silaturahmi di antara masyarakat.

Komoditas tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat adat Penunggu


adalah tanaman hortikultura, seperti cabe, sayur-sayuran, dan berbagi komoditas
lain yang mempunyai daur pendek. Hal ini karena luas lahan yang masih sangat

85
sempit sehingga hanya tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi
untuk dikembangkan pada lahan-lahan masyarakat adat Penunggu.

4.3.2. Pengelolaan Tanah Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Bali


Persoalan tanah di Bali menjadi menarik untuk dilihat dan diteliti,
terutama keterkaitannya dengan dinamika sosial masyarakat Bali. Dari
penelusuran sebuah lembaga pegiat pemerhati tanah nasional, persoalan tanah
terkait erat dengan stratifikasi kultural yang ada pada masyarakat Hindu Bali.
Atau dengan kata lain, sistem kebudayaan Bali yang sangat kuat mengatur tata
laku masyarakat Bali, terutama yang terkait dengan kepemilikan tanah pribadi dan
komunal.

Mulai disusunnya Undang Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang di


dalamnya memiliki dua hasrat yang saling tarik menarik satu sama lain. Antara
lain adalah hasrat untuk mempertahankan tatanan lama, yakni soal adat, dan
iktikad modernisasi yang secara rasional mengarahkan pada satu bentuk
transformasi sosial dimasyarakat. Pada akhirnya kehadiran negara menjadi
persoalan baru bagi masyarakat Bali yang memegang teguh adat dan agama
mereka. Terutama ketika persoalan kepemilikan tanah dalam UUPA 1960 tidak
memuat kepemilikan yang sifatnya komunal. Sementara, bagi masyarakat adat
Bali yang diperkuat dengan institusi desa adat di seluruh Bali, baik di perdesaan
maupun di perkotaan, masalah hak komunal yang tidak diakui ini pada gilirannya
mendorong penyiasatan-penyiasatan tersendiri dari desa adat Bali.

A. Pembelajaran pengelolaan tanah di Bali


Desa adat di Bali merupakan satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya
masih memegang teguh peraturan mengenai adat istiadat setempat. Dalam budaya
atau adat Bali sangat sulit membedakan mana adat dan mana agama, sementara di
banyak tempat di Indonesia persoalan adat dan agama sering kali adalah persoalan
ketegangan antara keduanya. Yang dapat kita lihat adalah kesatuan kultur
masyarakat terkesan sangat lengkap, dimensi adat dan religi menyatu saling
melengkapi dan melebur jadi satu kesatuan. Demikian pula dengan persoalan
tanah. Hal ini juga ditegaskan salah seorang pegiat lembaga yang perhatian
terhadap sumber daya alam terutama tanah, petikannya:

86
“Membicarakan soal penguasaan dan pemilikan tanah di Bali tidak lepas
dari kesatuan masyarakat adat Bali yang otonom sampai hari ini, yakni
Desa Pakraman atau Desa Adat” (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)

Dalam konteks Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan
kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat
dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini
muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja
berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas
kepentingan bersama dalam bermasyarakat, juga merupakan persekutuan dalam
kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan
demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok,
yakni wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan Perpaduan tiga
unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang
nyaman,tenteram, dan damai secara lahiriah maupun bathiniah. Seperti inilah
gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.

B. Pariwisata dan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumber daya agraria


khususnya tanah di Bali.
Perkembangan industri pariwisata di Bali, pada gilirannya membutuhkan
sistem pendukung yang cukup kuat. Kebutuhan akan fasilitas pendukung bagi
para turis mutlak diperlukan. Dari mulai hotel dan penginapan, restoran, tempat
hiburan dan infrastruktur lainnya yang memudahkan para turis untuk hidup di Bali
sampai pada produk-produk pariwisata yang harus terus dilestarikan. Produk
pariwisata yang dimaksud di sini adalah juga produk kebudayaan masyarakat Bali.
Produk kebudayaan yang dipertahankan bukan hanya demi pariwisata, namun
juga terlebih demi kebutuhan religiositas-kultural masyarakat Bali itu sendiri.
Seperti kata pegiat lembaga pemerhati sumber daya alam terutama tanah,
petikannya :

“Memang betul perkembangan pariwisata di Bali tentunya berpengaruh


pada penguasaan tanah di Bali, sehingga dalam pengelolaan tanah di Bali

87
mesti melihat relasi yang kuat antara negara, desa adat dan pariwisata, ini
bagian dari hal yang akan kita kaji diharapkan penelitian dapat memotret
aspirasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya lahan yang mereka
miliki”. (GSP, 25 Oktober 2010)

C. Pola Penguasaan tanah di dalam Desa Adat di Bali


Salah satu desa yang menjadi obyek penelitian adalah Desa Adat Tenganan
Pegringsingan. Berdasarkan Peta Tata Guna Lahan yang dibuat masyarakat desa
setempat, diketahui bahwa luas wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan
adalah seluas 917,200 ha seluruh tanah adalah milik desa adat. Menurut salah satu
pegiat lembaga yang perhatian terhadap sumber daya alam terutama tanah,
menegaskan bahwa:

”Seluruh tanah tersebut adalah milik desa adat meskipun sebagian atas
nama individu atau kelompok. Awig-awig desa mengatur tentang
pengelolaan tanah di desa tersebut dan orang Tenganan Pegringsingan
tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar
Tenganan”. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)

Wilayah Desa Tenganan Pegringsingan sejak abad ke-11 hingga sekarang


tetap sama. Kalaupun mengalami perubahan itu lebih karena faktor alam,
misalnya longsor atau terkikis, mengingat bahwa wilayah Tenganan yang
berbukit-bukit dan masih menggunakan batas alam sebagai batas desa. Jadi dapat
dikatakan kalau Desa Tenganan Pegeringsingan merupakan desa yang kaya akan
sumber daya alam. Apabila seseorang menikah, maka setelah satu bulan dia akan
mendapatkan hak atas tanah pekarangan untuk dibangun rumah dengan luas 2 are.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dia dapat mendapatkan tanah
tersebut. Pernikahan harus sesama orang Desa Adat Tenganan Pegeringsingan,
Apabila pasangan suami-istri berasal dari banjar yang sama, maka mereka bebas
memilih pekarangan pada banjar tersebut, tidak boleh banjar yang lain, dan
apabila pasangan suami-istri berasal dari banjar yang berbeda, maka mereka

88
hanya boleh memilih pekarangan di banjar asal pasangan yang sebelah timur. Hal
ini senada dengan wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat:

”Misalnya warga dari Banjar Kauh menikah dengan warga dari Banjar
Pande, maka mereka hanya boleh memilih pekarangan yang terdapat di
banjar Pande, sehingga khusus di Banjar Pande pertumbuhan
penduduknya lebih cepat dari dua banjar lainnya, disamping memang juga
beranggotakan orang-orang pendatang yang memperoleh ijin tinggal dan
menjadi warga adat. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)

Kawasan persawahan merupakan daerah lahan basah yang letaknya berada


di balik bukit hutan Tenganan sehingga tidak tampak dari permukiman. Sebagian
sawah yang ada merupakan milik desa adat dan sebagian merupakan milik pribadi
orang Tenganan yang kebanyakan orang dari Banjar Kauh dan Banjar Tengah.
Proses pengelolaannya dilakukan oleh orang lain yang kebanyakan berasal dari
luar Desa Tenganan dengan sistem bagi hasil. Namun demikian, warga Banjar
Pande juga ada yang memiliki tanah sawah meskipun sedikit. Meskipun milik
pribadi, namun pemiliknya tidak dapat mengubah statusnya, karena memang
sudah diatur di dalam adat. Artinya, orang tidak dapat mengeringkan sawah secara
permanen. Namun demikian, pemilik atau penggarap boleh mengeringkan tanah
untuk sementara ditanam palawija selama satu daur tanam.

Kawasan perkebunan merupakan daerah lahan kering yang berada di atas


permukiman yang pengerjaannya diserahkan kepada penyakap apabila yang
ditanam berupa palawija. Sama seperti sawah, tanah perkebunan ini sebagian
besar juga milik desa adat dan sebagian ada yang dikuasai oleh perseorangan
meskipun segala sesuatunya (misal alih fungsi atau perubahan status kepemilikan)
masih berada di bawah aturan adat. Di samping itu, dalam tanah perkebunan juga
terdapat tanah Negara yang oleh warga Tenganan Pegeringsingan dinamakan
tanah GG (Government Ground).

D. Kepemilikan dan Hak Milik Tanah


Desa Tenganan Pegringsingan tidak mengenal istilah hak milik individu
bebas. Artinya bahwa kepemilikan individu ada, namun segala sesuatunya masih

89
berada di bawah aturan adat. Bidang-bidang tanah yang dikuasai dan diatur itu
diberi nama sesuai dengan peruntukannya yang dapat dikuasai dengan hak milik
individu terikat dan hak milik komunal. Dari penelusuran sebuah lembaga nirlaba
yang bergerak di kajian tanah adat menemukan bahwa pembagian hak atas tanah
di Desa Adat Tenganan Pegeringsingan terbagi menjadi dua Pertama Tanah
dengan Hak Milik Individu Terikat meliputi : Tanah Pekarangan Rumah, Tanah
Sekehe, (sekehe adalah perkumpulan yang mempunyai tujuan tertentu yang berada
di bawah naungan organisasi besar/induk dan keanggotaanya bersifat sukarela),
Tanah Milik Pribadi, yang kedua Hak Milik Komunal, Hak milik komunal disebut
juga dalam hal ini hak milik adat, yaitu hak milik desa adat sebagai suatu
persekutuan atau badan hukum. Dengan kata lain, hak milik komunal adalah
tanah yang dikuasai adat, penggunaannya dan pengelolaannya diatur secara
bersama. Tanah yang dikuasai dengan hak milik komunal ini dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hak milik komunal murni dan hak milik komunal tidak
murni.

E. Kelembagaan dan Peraturan Desa Adat


Awig-awig desa mengatur semua kepemilikan tanah kepada warga adat,
baik dari tingkatan krama desa maupun sampai pada tingkatan Gumi pulangan.
Menurut salah satu pegiat pengamat tanah adat dari sebuah organisasi nirlaba
bahwasanya:

”Aturan tersebut seperti wajib tunduk pada kekuasaan desa adat atas tanah
(Hak pertuanan desa), aturan melarang atau mengubah pola permukiman
yang ada tanpa seijin desa adat, apabila menyelenggarakan upacara ritual
keagamaan, desa berhak ngerampag, ngalang, ngambeng, ngambang, atau
mengambil dengan Cuma Cuma dari warga”. (GSP, Yayasan Kekal 25
Oktober 2010)

Aturan-aturan yang lain dalam kehidupan sosial lebih lanjut dijelaskan:

”...Aturan untuk tidak boleh mengembalakan hewan, aturan untuk tidak


boleh menjual atau memberikan ijuk kepada orang, aturan untuk warisan,
aturan untuk pemberian tanah oleh adat, aturan tentang hak desa adat,

90
aturan untuk penjualan tanah, aturan untuk perkawinan, aturan bagi
pendatang, hukuman/sangsi”.

Lembaga Adat Tenganan merupakan lembaga tertinggi yang mengatur tata


kehidupan warganya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari maupun dalam
upacara ritual keagamaan. Struktur desa adat Tenganan terdiri atas :

Gambar: 4.1 Kelembagaan Desa Adat Tanganan


(diolah dari wawancara dengan responden)

Penjelasan struktur adat Tenganan :

Krama desa bertugas untuk melakukan upacara, mengelola pemerintahan dan


pembangunan desa. Jabatan dibagi empat tingkat yaitu :

1. Luanan : merupakan tingkat teratas yang terdiri atas 6


pasang sebagai penasehat. Akan tetapi yang
duduk saat ini, hanya 5 pasang sebagai luanan,
karena tidak ada yang dapat memenuhi syarat
sebagai Mangku atau pemimpin upacara yang
resmi. Syarat untuk jadi Mangku yang resmi
adalah dari keturunan Sanghyang, menduduki
luanan tertinggi. Saat ini hanya sebagai
ungguan atau symbol. keturunan sanghyang

91
hanya ada satu yaitu : Wayan Mangku Widya,
yang saat ini sudah keluar dari luanan. Belum
dapat menjadi luanan tertinggi karena
perkawinan anak pertamanya.
2. Bahan Rolas :
Bahan Duluan : merupakan bagian dari bahan Roras yang terdiri
atas atas 6 pasang pertama sebagai keliang
desa. Tugasnya pengambil keputusan dalam
pemerintahan.
Bahan Tebenan : merupakan bagian dari bahan roras yang terdiri
atas 6 pasang yang akan menjadi keliang desa.
3. Tambalapu
Tambalapu Duluan : merupakan bagian dari tambalapu roras, yang
terdiri atas 6 pasang yang bertugas
menyampaikan informasi kepada warga
lainnya.
Tambalapu Tebenan : terdiri atas 6 pasang, tugasnya sama dengan
tambalapu duluan
4. Pengluduan : tugasnya adalah sebagai pelaksana kegiatan.

F. Perpindahan Kepemilikan pada Adat Tenganan


Luas tanah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah tetap, hal ini juga
berlaku untuk luas dan letak tanah berdasarkan penggunaannya. Adanya awig-
awig yang mengatur semuanya, maka tanah desa tidak akan mengalami
perubahan. Yang mungkin terjadi perubahan adalah tanah hak milik, itu pun hanya
sebatas pergeseran kepemilikan diantara sesama warga adat. Beberapa hal yang
mungkin menjadi penyebab berubahnya status kepemilikan tanah seperti pendapat
salah satu pegiat pengamat tanah adat dalam wawancara berikut:

”Perubahan status lahan di Tanganan dari penelusuran yang kami lakukan


ada tiga setidaknya yaitu: pertama jual lepas adalah penyerahan sebidang

92
tanah untuk selama-lamanya dengan menerima uang kontan. Kedua, hibah
yang dimaksud diartikan sebagai pemberian seseorang kepada orang lain,
baik ahli waris maupun orang lain yang bukan ahli warisnya, atas dasar
kerelaan, ketiga adalah gadai. Gadai adalah menyerahkan tanah sementara
kepada orang lain dengan menerima uang kontan, dengan maksud orang
yang punya tetap mempunyai hak atas kembalinya tanah tersebut dengan
membayar sejumlah uang yang sama. Namun demikian, sama seperti jual
beli, gadai tanah tidak diijinkan di lakukan kepada orang luar desa
Tenganan.”(GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010).

Di Tenganan Pegringsingan, menjual lepas atau ngadol tidak dapat


dilakukan sekehendak hati pemilik tanah. Hak-hak si pemilik masih dibatasi oleh
kekuasaan desa. Hal ini diatur dalam awig-awig pasal 7 dan 37. Pada prinsipnya
jual-beli tanah hanya diijinkan antara sesama warga desa adat dan inipun harus
memperhatikan siapa yang mempunyai hak lebih dulu untuk membeli tanah
tersebut. Diutamakan pembelinya adalah keluarga, apabila anggota keluarga tidak
mampu membelinya, barulah dapat dijual kepada warga desa yang lain. Proses
jual beli dilakukan di bale agung dalam sangkepan kliang desa. Kliang desa
melihat apakah tanah tersebut memang haknya dan disetujui keluarganya

Jika seorang janda ataupun seorang yang tidak mempunyai anak tidak
diperbolehkan memberikan hibah. Proses pengurusannya hampir sama dengan
jual-beli, dimana orang yang akan menghibahkan hartanya kepada seseorang
harus melaporkan ke bale agung pada sangkepan krama desa dan disaksikan oleh
kliang desa. Bila syarat-syarat telah terpenuhi, maka kliang adat akan membuat
surat hibah yang dibubuhi cap kliang desa, tanggal, hari dan tahun dibuatnya.

Hal ini senada dengan wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat
bahwa:

”Berbeda dengan hibah dan jual beli, gadai dilaksanakan secara lisan
antara para pihak tanpa harus lewat sepengetahuan kliang adat. Dengan
demikian susah dikontrol apakah ada gadai yang dilakukan kepada pihak
luar”. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)

93
Selain tiga mekanisme tersebut di atas, ada pula proses perpindahan
kepemilikan karena proses warisan. Ada 2 (dua) jenis tanah yang dapat diwariskan
yaitu tanah pekarangan rumah (Hak Milik Individu Terikat) dan tanah yang
merupakan hak milik pribadi (sawah dan tegalan). Hal ini senada dengan
wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat :

”Tanah milik pribadi diwariskan kepada keturunannya tanpa membedakan


jenis kelamin. Artinya baik anak laki-laki maupun perempuan
mendapatkan bagian yang sama. Apabila kedua orang tuanya meninggal
maka tanah tersebut akan diatur oleh desa untuk ”diluruskan”. Jika
ternyata pasangan tersebut tidak memiliki keturunan (camput), ketika
meninggal tanah tersebut akan di ambil oleh desa untuk diluruskan”. (GSP,
Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)

G. Hubungan Penggarap dan Pemilik Tanah


Sebagian besar warga Tenganan, terutama yang menempati Banjar Kauh
dan Banjar Tengah memiliki tanah pribadi di sawah maupun ladang. Pada
awalnya sebagian dari mereka menggarap sendiri tanah-tanah tersebut. Namun
karena pesatnya kemajuan industri pariwisata menyebabkan orang Tenganan tidak
mau lagi menggarap tanahnya dan beralih profesi di bidang pariwisata misalnya
membuat lukisan lontar, lukisan telor, anyaman pandan, dan yang paling terkenal
adalah membuat kain gringsing dan lain-lain. Seperti keterangan salah satu pegiat
pengamat tanah adat:

”Saat ini tanah sawah dan ladang di Tenganan Pegringsingan digarap oleh
orang lain yang berasal dari luar Tenganan dengan sistem bagi hasil.
Dalam pengelolaannya mereka tinggal di dalam areal lahan tegalan atau
hutan dan membangun bangunan permanen sebagai tempat tinggal. Pada
mulanya mereka mendapat persetujuan dari desa adat karena memang
sudah terjadi secara turun temurun, jadi mungkin sawah yang digarap
sekarang merupakan sawah garapan kakeknya dulu”. (GSP, Yayasan Kekal
25 Oktober 2010)

94
Jika berbicara perihal penggarap dan pemilik tanah, yang paling menarik
untuk dibahas adalah seputar hukum agraria nasional tentang Tanah Kelebihan.
Desa Tenganan Pegringsingan memiliki awig yang melarang orang menjual tanah
milik pribadi kepada orang luar Tenganan. Begitu pula sebaliknya, orang dari luar
tidak boleh membeli tanah yang berada di wilayah Tenganan Pegringsingan.
Sedangkan dalam ketentuan UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian disebutkan bahwa seorang atau orang-orang yang dalam
pernghidupannya merupakan suatu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian yang luasnya tidak melebihi batas maksimum.
Berlakunya dua hukum nasional tersebut dan ditambah kenyataan bahwa
penggarap sawah dan tegalan berasal dari orang luar Tenganan Pegringsingan,
maka dapat dipastikan bahwa ada penggarap yang akhirnya mempunyai hak
kepemilikan pribadi dan bebas dari aturan awig-awig”.

4.3.3. Pengelolaan Lahan Komunal di Nusa Tenggara Timur


Wilayah Nusa Tenggara Timur sebagian besar lahan di kawasan ini
dimiliki secara komunal. Hal ini tidak lepas dari pengaruh adat yang kuat yang
diwariskan secara turun-temurun. Pengelolaan lahan yang tadinya secara komunal
ini mulai bergeser pada pola kepemilikan individu, hal ini dapat terjadi jika
individu tersebut sudah lama mengelola lahan secara intensif di satu wilayah. Ini
menjadi dasar untuk setiap individu masyarakat Timor untuk mengusulkan kepada
Petua adat agar lahan yang sudah dikelola tersebut dapat menjadi miliknya. Jika
Petua adat atau kepala suku sudah memperbolehkan maka individu tersebut dapat
mensertifikatkan dan sah menurut hukum negara dan hukum adat bahwa lahan
tersebut menjadi milik individu.

Kondisinya tanah-tanah komunal di Timor itu mulai terkikis, meski


demikian norma-norma adat yang tertuang dalam aturan-aturan adatnya yang
mengatur tentang pengelolaan lahan masih sangat kuat dan dihormati oleh
komunitas masyarakat Timor. Ini tercermin dari salah satunya ketika panen
pertama dari setiap komuditas yang ditanam masyarakat selalu disumbangkan ke
rumah besar atau rumah adat. Saat ini, tanah-tanah adat di Timor tinggal sedikit

95
dan itu pun jarang di kelola karena masih berupa hutan. Ini yang belum ada
solusinya antara adat dan pemerintah, apakah itu milik negara atau milik adat.

Pemerintah lokal Timor dalam mengelola sumber daya lahan selalu tunduk
kepada hukum adat meski sudah ada hukum formal. Contohnya ketika Bupati atau
pemerintah daerah akan menmanfaatkan satu areal lahan maka pemerintah daerah
selalu meminta ijin Petua Adat. Kalau Petua Adat mengijinkan maka penggunaan
lahan tersebut baru dapat dilakukan. Di sini tergambarkan bahwa kepemilikan
tanah adat itu eksistensinya masih punya kekuatan yang bukan hanya ditaati oleh
masyarakat tapi juga pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

Kepemilikan individu ini memang berdampak pada tidak adanya


kemampuan adat untuk mengintervensi lahan-lahan yang sudah diberikan kepada
individu. Artinya kontrol terhadap perpindahan kepemilikan lahan ini sudah tidak
dapat dilakukan oleh otoritas adat. Meski demikian karena ikatan antara tanah
dengan masyarakat ini sangat tinggi dalam pemahaman masyarakat Timor
menjual tanah ini menjadi hal yang diharamkan. Dari wawancara dengan tokoh
muda Timor yang juga peneliti agraria mengatakan bahwa:

”Penjualan tanah di Timor jarang ditemui kecuali di daerah perkotaan


karena perkembangan dari kota tersebut, tapi untuk di daerah-daerah
pedalaman atau di desa-desa norma adat itu, masih sangat kuat sekali
sehingga penjualan tanah jarang ditemui” (YEM, Tokoh Muda Timor 25
Oktober 2010)

A. Peran Petua Adat dalam Pengelolaan Lahan


Pada lahan-lahan yang belum dikelola atau masih kosong itu menjadi
otoritas adat, sehingga siapa pun yang akan menggunakan lahan tersebut harus
seijin Petua Adat atau kepala suku. Misalnya kawasan yang akan dikelola sumber
daya alamnya pemerintah harus berkoordinasi dengan Kepala Suku yang secara
adat menguasai lahan tersebut. Keputusan tentang pengelolaan lahan tersebut
dibawah otoritas ketua adat sepenuhnya. Semua anggota-anggota suku tetap
percaya pada ketua adat, struktur adat yang ada di Timor adalah suku besar yang
dipimpin oleh Ketua Adat atau Nai. Nai memiliki wakil yaitu kepala suku-kepala

96
suku. Perwakilan di wilayah ini, Nai bersama pemerintah mendiskusikan tentang
pengelolaan dan pemanfaatan lahan komunal yang akan digunakan oleh
pemerintah. Pembangunan untuk fasilitas publik seperti jalan raya, Sekolah,
tempat peribadatan (gereja). Keputusan kepala suku mengikat karena hirarkinya
dari atas ke bawah (top down) dalam masyarakat Adat Timor.

B. Kelembagaan Masyarakat Timor


Adat Timor dipimpin oleh Raja., dalam keseharian Raja disebut Liurai
atau Raja. Di setiap satu kecamatan biasanya ada satu raja, dia mempunyai 12
Nai, 12 Nai ini wakil raja atau gubernur (analogi) tugasnya dari Nai yaitu
memantau seluruh sumber daya alam maupun aturan nilai-nilai adat yang ada di
daerah itu. Jika ada pelanggaran-pelanggaran adat, misalnya yang dilanggar oleh
anggota suku Nai-lah yang akan memberi sangsi atau menjadi penengah dalam
setiap perkara. Sementara dalam konteks lahan seperti dari wawancara dengan
tokoh muda Timor di dapat gambaran sebagai berikut:

”Sementara dalam konteks pemilikan lahan meski beberapa tanah adat


sudah menjadi tanah milik tapi kepatuhan masyarakat Timor dalam
memegang aturan adat, menjadikan masyarakat Timor tidak mudah
memindahtangankan lahan atau menjual tanah yang telah dibagikan oleh
adat. Biasanya lahan-lahan yang sudah disertifikatkan selalu diwariskan
kepada anak keturunannya” (YEM, Tokoh Muda Timor 25 Oktober 2010)

C. Pembagian Wilayah, Tata Batas, dan Penyelesaian Konflik Tata Batas


Tokoh muda Timor mengatakan bahwa batas wilayah milik komunal dan
individu masih menggunakan tanda alam seperti batu besat, sungai, dan pohon.
Masyarakat Timor belum mendokumentasikan tata batas wilayah baik komunal
maupun individu, dalam bentuk peta yang tergambar ataupun tertulis. Di sini,
tugas Nai-Nai tersebut mengenali dan mengidentifikasi batas-batas kepemilikan,
meski demikian permasalahan perbatasan jarang terjadi konflik. Apabila terjadi
konflik tata batas, biasanya diselesaikan dengan rapat adat atau dibilang
omongan-omongan sirih pinang. Apabila kepala suku memutuskan sebuah konflik

97
tata batas biasanya masyarakat menerima dan menjujung tinggi keputusan
tersebut. Kalau sudah tidak dapat didamaikan dalam adat, baru permasalahan ini
dibawa ke pengadilan tapi hal ini jarang sekali terjadi. Berikut petikan wawancara
bagaimana adat menyelesaikan konflik:

“...karena otoritas adatnya itu masih mengatur itu, dia cari tahu sejarahnya
dulu kepemilikan tanah ini dikelola oleh siapa suku mana dicari tahu
sehingga yang berhak mengelola tanah ini adalah suku ini” (YEM, Tokoh
Muda Timor 25 Oktober 2010)

Menurut salah seorang tokoh muda Timor menjelaskan bahwa ketika


terjadi konflik sering diselesaikan dengan kesepakatan adat dengan norma-norma
adat. Sedangkan konflik antar suku itu tadi jarang terjadi karena ada otoritas adat
yang dapat menyelesaikan. Berikut kutipannya:

“Misalnya antara suku ini dengan suku itu berbatasan, di sana suku A
kamu yang menggarap sampai di sini, suku B biar di sana. Di dalam suku
ini kan ada individu lagi yang mengelola, individu ini dia yang
meneruskan terus-terus. Nah di Timor itu sukunya sangat banyak sehingga
dia tahu batas-batas alam itu. Jadi individu ini bukan orang di luar
suku”(YEM, Tokoh Muda Timor 25 Oktober 2010).

Saat ini masyarakat adat Timor belum mendokumentasikan berbagai


aturan adat dan batas-batas kepemilikan lahan secara tertulis, semua diatur oleh
sistem yang diatur oleh adat melalui Nai-Nai tersebut, seperti disampaikan dalam
wawancara :

“Kalau secara administrasi, kelemahan mereka di situ adaministrasi dalam


bidang catat mencatat itu lemah tapi mereka biasanya serahkan pada
masing-masing suku untuk mengetahui secara detail. Kalau dokumen
mereka nggak punya” (YEM, Tokoh Muda Timor 25 Oktober 2010)

98
Bagi kita yang terbiasa dengan tulis-menulis dan mendokumentasikan
dalam bentuk tulisan ini sebenarnya masalah yang susah dan banyak tafsirnya
alias ribet, tapi menjadi sangat mudah ketika mereka mengetahui hak dan peran
masing-masing, ini pembelajaran menarik bagi generasi sekarang.

D. Budidaya Tanaman oleh Masyarakat di Timor


Di Timor merupakan daerah yang boleh dikatakan wilayahnya gersang,
masyarakat di daerah Timor lebih banyak budidaya tanaman-tanaman musim
seperti kacang tanah kacang, kacang hijau, dan jagung. Karena hujan paling
empat lima bulan dalam satu tahun. Padi sawah jarang dibudidayakan karena tidak
punya sungai yang mengalir sepanjang tahun. Masyarakat Timor umumnya
pengelolaan lahannya dilakukan secara gotong royong karena lahan yang dikelola
sangat luas. Yang menarik dari wawancara dengan tokoh muda Timor adalah :

”... jangan heran kalau di Timor orang punya ladang jagung itu luas-luas,
karena mulai dari mengolah lahan, penanaman sampai pemanenan
dilakukan secara bergotong royong, paling hanya perawatan saja yang
dilakukan sendiri oleh individu petani pemilik lahan (YEM, Tokoh Muda
Timor 25 Oktober 2010).

4.3.4. Pengelolaan Lahan Komunal di Suku Dani Wamena Papua


Wawancara dengan tokoh muda dari Suku Dani di Kabupaten Wamena,
setidaknya dapat memberi gambaran tentang bagaimana suku-suku di Papua
mengelola sumber daya tanah di wilayahnya. Suku Dani tinggal di daerah wilayah
adat Me Pago, di mana wilayah Me Pego meliputi wilayah Pegunungan Bintang,
Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, dan Okbibab. Aturan kepemilikan tanah di Suku
Dani Wamena didasarkan pada keturunan, diwariskan dari nenek moyang atau
leluhur mereka. Berikut kutipan wawancara dengan tokoh muda Suku Dani:

”Aturan kepemilikan itu berdasarkan keturunan berdasarkan marga,


misalnya seperti saya.. saya itu fam Huby berati di situ kalau untuk saya
memiliki tanah sebidang tanah itu, saya harus biasa dari orang-orang tua
itu biasa kasih tahu” (YH, 25 Oktober 2010)

99
Tanah-tanah suku Dani itu diperoleh dari membuka ladang didapat dari
perang antar suku lebih jauh dijelaskan:

“... Jadi kau pu Tete tuh punya kerja kebun di sini, tempat di sini jadi
tempat honey. Jadi di sana tempat tinggal itu namanya honey jadi ketika
kebun sudah tumbuh lain-lain tanah itu nanti yang itu otomatis milik saya
dan itu otomatis saya wariskan ke keturunan saya. Jadi tanah itu tetap jadi
tadi yang sempat saya utarakan dapat juga pada saat perang, perang
sampai.. jalan kemana, berapa kilo jalan tapi disaat mereka disitu mereka
jalan perang istirahat di tempat itu hisap rokok itu ahhh itu anggaplah
tanah itu milik fam/marga yang sempat hisap rokok disitu karena pada saat
dia hisap rokok bikin api ada yang melihat berarti oooo dari isu-isu dari
siapa saja” (YH, Direktur Titian 1 Oktober 2010).

Pengakuan terhadap satu lahan milik untuk suku dihormati dan diakui oleh
suku lain, yang menarik dari kepercayaan masyarakat di Wamena khususnya
wilayah Me Pego seperti dijelaskan tokoh muda Suku Dani sebagai berikut:

”...dulu ko pu Tete hisap rokok di sini jadi secara tidak langsung saya, dan
ketika ada orang yang kena sakit atau macam dapat tabrak jatuh dari
pohon di tempat itu orang lain tidak dapat sembuhkan, yang dapat
sembuhkan karena tadi tempat itu yang hisap rokok saya Pu Tete macam
begitu jadi kekuatan dari adat sudah ada di situ. Jadi sakit-sakit itu macam
orang lain tidak dapat obati, jadi tanah itu secara tidak langsung jadi milik
marga itu” (YH, Direktur Titian 1 Oktober 2010).

Aturan-aturan dan norma-norma itu mengikat kuat dan dihormati oleh


suku-suku di daerah Wamena, sehingga hukuman itu selain dari kepala suku lebih
sering hukuman itu muncul dari individu dari masyarakat Wamena. Aturan hukum
pada Masyarakat Suku Dani itu memang ada meskipun tidak tertulis. Ketika ada
yang melanggar aturan atau norma-norma berdampak pada kehidupan dia sehari-
hari. Lebih jauh tokoh muda Suku Dani menjelaskan:

100
”Jadi ketika kita contohnya mengambil hasil hutan yang itu memang sudah
dilarang dan kita biar ambil sembunyi-sembunyi ambil hasil hutan kayu
atau yang lain-lain tapi yang terjadi yang jelas nanti pengaruh ke
ternaknya, terus ada pengaruh ke tanamannya. Jadi ada pengaruh pada
makanan pokok di sana itu petata, jadi selama ini petata di sana itu besar-
besar ketika kita melanggar hal itu nanti petata itu hasilnya kecil-kecil, itu
nanti terlihat disitu. Petata dalam bahasa Indonesia berarti Ubi, jadi macam
petata itu nanti pu isi tidak besar, kecil-kecil jadi dia pu daun tidak subur
itu menandakan orang ini berarti dia sempat ambil hasil hutan, tempat-
tempat larangan, tempat-tempat sakral larangan begitu” (YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010).

Leluhur masyarakat Papua meyakini bahwa di beberapa tempat itu ada


yang dari hewan, karena itu masyarakat Papua begitu melindungi hewan-hewan
yang mereka anggap adalah nenek moyang mereka. Mereka mengharamkan untuk
memakan hewan-hewan yang mereka yakini sebagai leluhur mereka. Apabila
dilanggar akan berpengaruh pada kesehatan mereka. Hal tersebut juga dijelaskan
oleh tokoh muda Suku Dani:

”Itu macam kepercayaan Totem itu begitu, macam di Papua bagian selatan
itu kan orangnya tinggi-tinggi, hal itu menandakan bahwa dia leluhur
mereka dari burung Kaswari jadi ada fam Kaise, Kaise itu artinya Kaswari
jadi orangnya tinggi-tinggi. Trus fam asegof, trus fam Kepno itu kan
mereka juga orangnya tinggi-tinggi jadi mereka leluhur mereka itu rusa
seperti itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Kalau pada masyarakat suku-suku di Wamena khususnya fam Loka, Huby


leluhur mereka adalah anjing. Ada kepercayaan juga bahwa Anjing itu juga yang
membawa bibit seperti jagung, petata (ubi) itu menurut cerita dongeng, anjing
diyakini yang membawa masuk bibit tersebut, sehingga anjing menjadi binatang
yang sangat dilindungi. Berikut petikan wawancara dengan tokoh muda Papua:

101
“Kalau di tempat saya itu Anjing itu kan biasa fam dari Loka, Huby itu
dari itu anjing jadi fam-fam itu tidak perlu makan Anjing jadi kalau makan
biasa tulang-tulang ini sakit. Ada gejala-gejala itu” (YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Menurut tokoh muda Suku Dani tidak semua masyarakat Papua mengenal
Totem hanya suku-suku tertentu saja, khususnya suku Dani itu bilang usameke.
itu yang jadi hukum. Usameke itu mengatur untuk melindungi apa saja semacam
hewan-hewan, tumbuhan pohon-pohon dan lahan. Masyarakat suku Dani dalam
mengusahakan lahannya tidak hanya untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-
hari, hasil panen untuk komuditas tertentu di jual ke pasar untuk ditukar dengan
kebutuhan hidup yang lain. Masyarakat kebanyakan berkebun untuk tanaman
sayuran dan jagung dan lain-lain. Hal ini senada apa yang dikatakan tokoh muda
Papua:

”kalau masyarakat itu kebanyakan berkebun dan bercocok tanam yang tadi
saya cerita itu, saya cerita petata karena makannya pokok, tapi cara
berkebun itu kalau biasa lihat di TV-TV itu dengan bedengan”. Untuk
dijual itu macam sayur-sayur kol, jagung, sayur bayam, sayur sawi itu
biasa ditanam terus di jual”.(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober
2010)

Komoditas andalan dari Wamena dari tanaman perkebunan adalah kopi.


Kopi merupakan produk unggulan karena bukan hanya untuk dijual di Indonesia
kopi juga diekspor dan menjadi oleh-oleh khas Wamena saat ini. berikut
dijelaskan:

”Kopi ada, sekarang punya apa punya pabrik sendiri Kopi Wamena ada,
Carabika Wamena, kan sekarang itu sudah ada gambar honey baru
kopinya ada masyarakat pakai koteka baru ada Kopinya sudah
dipublikasikan mungkin diseluruh Indonesia sudah. Yang sudah ada itu,
sudah ada memang itu Kopi” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober
2010)

102
Seperti realitas sosial di mana saja bahwa konflik selalu menjadi bagian
hidup dari kehidupan manusia. Perselisihan juga menjadi bagian hidup dari suku-
suku di Wamena. Konflik tanah seringkali menyebabkan perang antar suku ketika
masing-masing suku tidak dapat menyepakati batas wilayah adat mereka. Berikut
dijelaskan oleh tokoh muda Suku Dani:

”Yang sering masyarakat Wamena itu ada perang suku itu masalah yang
pertama itu masalah pembagian hak ulayat itu di sini suku ini punya disani
suku ini punya dan juga paling sering itu masalah perempuan, masalah
perempuan contohnya istrinya saya diganggu oleh ada satu suku biasanya
jadi perang. Dan kalau itu dari pihak istri itu jalan bongkar babi di pihak
pelaku, pelaku tidak terima terjadi peselisihan itu terjadi perang di Suku
Dani itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Jadi ada dua faktor yang sering menyebabkan suku-suku di Wamena


berkonflik yang juga berujung pada perang suku. Yaitu masalah perebutan
perempuan atau perebutan tanah. Pada konteks tanah ini dijelaskan seperti kutipan
berikut:

”Tanah yaa yang tadi saya utarakan kalau macam pembagian dari satu
suku ini kita Pu batas wilayah sampai batas wilayah dari suku sebelah
tidak dapat ini punya artinya diantara itu baku-perang baku-perang satu
suku kalah berarti dia undur tanah itu berarti milik suku yang menang”
(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Dalam menyelesaikan konflik mereka biasanya dilakukan dengan jalan


musyawarah. Perang terjadi ketika kedua belah pihak tidak menemukan titik temu
dari perselisihan tersebut barujung dengan perang. Kemenangan satu suku berarti
suku tersebut yang berhak memiliki lahan tersebut. Berikut keterangannya:

”Cara menyelesaikanya itu tadi dengan perang, jadi kalau mereka kalah
jadi suku yang ini ambil, tapi memang biasanya diselesaikan dengan damai
itu biasanya panggil kepala suku terus Tua-Tua adat trus yang sudah tahu

103
informasi sejak awal jadi dipanggil semua dari Ketua Suku dari kedua
suku ini jadi sempat cerita-cerita dulu itu begini Ko Pu Nenek pernah apa
punya hak di sini jadi yang berhak dapat tanah ini. Kau jadi yang satu
mengalah itu berdasar ada Kepala-Kepala Suku dari kedua suku itu terus
ada Tua-Tua yang sudah tahu informasi tentang sebelumnya jadi. tanah ini
sebenarnya bagaimana dulu tanah ini Nenek moyang pernah begini, jadi
yang pertama itu dikumpulkan kalau bicara-bicara tidak ada solusi jadi
perang, perang itu agak ini utamakan dulu ditanyakan siapa pemilik tanah
sebenarnya seperti itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Dalam pengelolaan sumber daya alam suku-suku di Wamena memiliki


kearifan budaya lokal di mana mereka membagi-bagi wilayah pengelolaan. Selain
untuk melindungi sumber daya alam, melidungi daerah-daerah yang disakralkan
jugan dicadangkan untuk anak cucu mereka. Berikut keterangan oleh tokoh muda
Suku Dani:

”...kan begini kalau seperti itu pembagian-pembagian itu dapat


berdasarkan dia Pu tempat, macam ini kita dapat terus dijadikan untuk
berkebun saja untuk tanaman petata makanan pokok petata. Suku-suku
membuat kebun itu dibuat seluas-luanya jadi kebun itu nanti dibagi
menurut sampai ini nanti kau yang buat ini nanti kau yang buat sampai
nanti selesai buat kebun kan akan tumbuh pohon-pohon itu nanti kau yang
tebang jadi itu nanti dari itu masudnya yang membuka kebun itu”. (YH, 25
Oktober 2010)

Yang disampaikan di atas adalah untuk berkebun dan ada tanah untuk
ditinggalkan lagi untuk tempat ternak. Karena luasnya kebun yang dibuat pada
awal pembukaan lahan dan pembuatan pagar agar tidak diganggu oleh hewan liar,
seluruh pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama (bergotong-royong).

“Pengolahan tanah yang untuk berkebun itu biasanya sama-sama, karena


itu membutuhkan ini untuk buat itu karena di sana babi itu diliarkan jadi

104
untuk buat pagar itu membutuhkan banyak orang jadi buka kebun itu tujuh
puluh hektar besar-besaran” (YH, 25 Oktober 2010),

Setelah pembuatan pagar selesai tanah baru dibagi-bagi secara adil per
keluarga, setelah ini tangungjawab pengelolaan, baik untuk penanaman,
perawatan menjadi tangung jawab keluarga masing-masing.

“Itu nanti dibagi perkeluarga karena tangungjawab untuk bekerja itu babat
cangkul tanam itu kan masing-masing. Jadi dibuat dulu padar keliling baru
selesai pagar jadi masih ada rumput pohon-pohon besar itu sudah mulai
bagi. batas ini sampai sini nanti keluarga ini batas ini sampai sini nanti
keluarga ini setelah dibagi semua kebun selesai semua sudah mulai panen”
(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Lebih jauh dijelaskan bahwa setiap hasil panen pertama selalu diserahkan
atau disumbangkan pada honey dan gereja-geraja. Berikut petikannya:

”...Panen pertama itu harus kasih masuk di honey adat di gereja-geraja


sering dikasih begitu. Itu hasil pertama tanam pertama selanjutnya itu
dapat di nikmati. Tanah setelah itu jadi hal milik dari yang membuka
kebun, batas-batas kebun, itu kan pohon-pohon sering tumbuh trus alang-
alang jadi di Pohon-pohon disekitar kebun itu orang lain tidak dapat masuk
tebang sembarang” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Menurut pendapat tokoh muda Suku Dani bahwa pemindahan hak akan
tanah selain tadi disampaikan turun-temurun juga karena proses jual-beli. Jual beli
umumnya hanya dilakukan pada masyarakat pendatang. Ini tidak aneh karena
hampir semua suku-suku di Papua khusunya di Wamena masih mempunyai tanah
yang cukup luas, apalagi kalau kita bandingkan dengan populasi penduduknya.
Seperti kutipan berikut:

”Kalau gadai itu jarang. Yang terjadi itu jual...jual saja dengan orang dari
luar biasanya. Kalau di Wamena itu biasanya yang dijual itu hanya daerah
kota saja” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

105
Kepemimpinan kepala suku tidak dipilih biasanya Tokoh-Tokoh yang
mempunyai keahlian berperang, selain itu kekayaan juga menjadi ukuran untuk
menjadi kepala suku. Yang pasti saat ini kepala suku itu diwariskan dari
leluhurnya. Seperti keterangan dalam kutipan ini:

”Kepala itu tidak dipilih, kepala itu dari awal dari nenek moyang sana, jadi
macam saya kebetulan saya ini anaknya dari kepala suku jadi macam saya
Pu Tete itu dulunya dia orangnya jago perang, jago perang dan itu punya
banyak babi dan punya istri banyak bahkan dua puluh sampai dua puluh
lima itu, itu istri kepala suku. Kalau babinya paling banyak itu secara tidak
langsung itu anggap jadi kepala suku jadi tidak dipilih”(YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010).

Ketika kepala suku meninggal biasanya diwariskan kepada anaknya, anak


laki-laki pertama. Kalau anaknya banyak biasanya anak laki-laki yang pekerja
keras dan banyak wanita yang melamarnya maka biasanya dia yang akan ditunjuk
untuk menjadi kepala suku menggantikan ayahnya. Berikut keterangan dalam
petikan ini:

”... itu nanti diwariskan kepada anak pertama laki-laki. Anak kalau ada
sepuluh-lima belas itu nanti dilihat biasanya kepala suku itu diwariskan
jadi dilihat mana yang paling rajin berkebun dan punya istri banyak ada
perempuan melamar banyak. ...itu dia Pu anak nanti ganti orang tua jadi
secara langsung” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)

Pada masayarakat adat suku-suku di Wamena, ada tradisi yang melamar


adalah pihak perempuan. Di sana masih sering terjadi poligami meski demikian
saat ini mulai ada ajaran dari gereja bahwa diharuskan hanya menikah satu kali.

4.3.5. Model Kepemilikan Lahan Komunal yang Sesuai dengan Karateristik


Masyarakat Indonesia.
Sangat tidak mungkin jika kita mau menyamaratakan satu konsep model
kepemilikan, pengelolaan dan pengusahaan tanah di Indonesia. Hal ini didasarkan

106
pada wilayah Indonesia yang sangat luas dengan berbagai karateristik baik
biofisik, sosial dan budaya pengelolaan yang berbeda-beda. Model yang
dikembangkan pun tidak dapat seragam, tergantung pada potensi dan budaya yang
berkembang di masyarakat. Peran negara dan pemerintah adalah mendorong
optimalisasi dan produktivitas lahan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat.

Selain melakukan kajian-kajian terhadap pola kepemilikan lahan komunal


pada berbagai wilayah di Indonesia seperti disampaikan oleh salah seorang pegiat
sumber daya alam di Kalimantan, ada baiknya juga belajar dari pengalaman
negara lain yang dalam menyusun kebijakan landreformnya, petikannya:

”Sekarang ada banyak pujian untuk sistem yang dikembangkan Filipina.


Di sana itu undang-undang agrarianya menghasilkan dua jenis kebijakan.
Yang pertama private yang kayak landreform biasa itu dibagikan individu
land administration ada yang sertivikat komunal tapi bukan kolektif.
Komunalnya melalui dua: satu memberikan sertifikat pada tanah leluhur
Ancestral domains claim (kesepakatan bersama tentang warisan leluhur)”
(AK, 1 Oktober 2010).

Ada satu komunitas dari satu leluhur diberikan sertifikat sehingga


menghalangi pihak luar menguasai tanah mereka, tapi didalamnya ada penguasaan
individu untuk yang usaha tani, yang lain adalah non alienable land sertificate
yaitu tanah yang bersertifikasi yang tidak dapat diperjual belikan itu diberikan
pada pengguna lahan.

Dalam lahan komunal lahan dimilik secara bersama. Ada yang istilahnya
kolektif dimana tidak ada kepemilikan individu tidak ada penguasaan individu
didalam kepemilikan lahan itu. Ada komunal yang didalamnya ada kepemilikan
individu, tetapi individu itu harus anggota masyarakat dalam komunitas komunal
tersebut sementara tidak boleh diperjual-belikan oleh individu-individu.”

Sebagai gambaran salah seorang pegiat sumber daya alam di Kalimantan


memberti gambaran terhadap model kebijakan agraria yang menurutnya dapat

107
menjadi pijakan dalam mendorong kebijakan agraria di Indonesia. Berikut
kutipannya:

”Dalam kebijakan agraria di Filipina, disana milik komunal tapi tidak


berarti tidak ada individu, ada individu didalamnya selagi itu masih
anggota masyarakat kalau dia tidak lagi menjadi anggota masyarakat dan
tidak lagi mengelola dia kehilangan haknya itu kembali ke komunitas
masyarakat itu dan tidak dijual. .....bagaimana dengan Indonesia, untuk
kasus yang bukan usaha tani ada kepemilikan komunal, misalnya perairan,
hutan, danau yang dimiliki bersama-sama secara kolektif tidak ada
individu didalamnya, jadi orang mengambil saja tinggal norma-norma adat
yang mengaturnya, tapi kasus usaha tani yang mendekati itu adalah
perladangan berputar itu. (AK, 1 Oktober 2010).

Di Indonesia kalau di kelompokkan setidaknya ada 3 (tiga) pola yang


dapat di kembangkan yaitu: a). Komunal, b). Individual, c). Campuran/modifikasi
antara komunal dan Individual. Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan,
pengusahaan maupun pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua
pilihan antara lain:

1. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang dapat
dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak
seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini berfungsi sebagai kawasan
perlindungan alam dan pemanfaatan dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-
kaidah konservasi alam, maka peran negara dalam memantau akses dan
melindungi kawasan menjadi dominan. Misal pada kawasan taman nasional
dan hutan lindung.
2. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga, dengan
didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat
komunal.

108
4.3.6. Model Pengelolaan Lahan Komunal yang sesuai dengan Karateristik
Masyarakat Indonesia, dalam Kerangka Optimalisasi Lahan
Menurut pendapat pegiat pembaharuan agraria program pembaharuan
agraria khusunya landreform di Indonesia dari sisi produktifitas tanah pasca
landreform, dalam rumus kepala BPN reforma agraria itu sama dengan
landreform +akses reform. Berikut petikan keterangannya:

”.... model-modelnya macam-macam ada yang distributif-redistributif,


konsolidatif. Ketika kita bicara soal produktifitas itu sebenarnya sudah
masuk pada segi yang lain dari pembaharuan agraria. Jadi ketika penataan
struktur tanah sudah selesai ketika petani dipastikan punya tanah dan kita
berharap pemilikan, penguasaan dan pemilikan tanah ini secara kolektif
secara bersama misalnya untuk menghindari jual beli atau lepasnya tanah
dari rakyat miskin atau menghindari dari spekulasi komoditisasi atau
komersialisasi tanah”(US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Program landreform saja belum menjamin peningkatan kesejateraan


masyarakat petani ketika faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas petani
tidak ditunjang. Berikut petikan selanjutnya:

”....kepemilikan yang kolektif, setelah landreform selesai reforma agraria


belum selesai, kenapa karena tanah yang sudah
didistribusikan/redistribusikan kepada masyarakat itu belum tentu atau
tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat yang menerima
tanah. Oleh karena itu diperlukan sejumlah input istilah pak Wiradi itu
input-input pasca landreform sarana dan prasarana pendukung terhadap
tanah”(US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Salah seorang pegiat pembaharuan agraria menyampaikan bahwa model


pengelolaan lahan komunal yang sesuai dengan karateristik masyarakat Indonesia,
dalam kerangka optimalisasi lahan dan beberapa contoh input-input yang
mendukung landreform. Misalnya yang diperlukan adalah permodalan dalam
bentuk kredit, dapat juga dalam bentuk teknologi, untuk mengolah tanah supaya
lebih produktif lebih masif dan sebagainya. Bitit-bibit, benih-benih unggul yang

109
dapat ditanamkan disini kemudian pupuknya, misalnya kita dorong pupuknya
yang sifatnya organik pupuk yang bukan pupuk kimia buatan pabrik tetapi pupuk
yang dikembangkan petani sendiri untuk meningkatkan produksi disatu sisi tapi
juga untuk memelihara keberlanjutan pelayanan alam, pelestarian alam dan
lingkungan. Jadi ini pupuknya yang ramah lingkungan, teknologinya juga mudah
dan meringankan petani tidak menjerat petani. Hal ini ditegaskan seperti kutipan
berikut ini :

”Sebenarnya kalau bentuk dan model penguasaan, pengusahaan dan


pengelolaan lahan dapat kita dorong seperti ini. Sebenarnya usaha
pengusahaan, nah ini juga sebenarnya kita dorong secara kolektif secara
bersama-sama oleh rakyat khususnya kaum tani yang menerima tanah
melalui program landreform. (US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan supaya usaha ini sesuai konteks
pengembangan usaha tani agar terjadi peningkatan produktifitasnya maka
pengelolaan pertanian ini dikembangkan dalam bentuk badan-badan usaha milik
petani dalam bentuk koperasi-koperasi petani baik melalui Badan Usaha Milik
Petani (BUMP) dan koperasi-koperasi petani. Pengusahaan tanah yang sudah
dikuasai itu akan dilakukan secara bersama sehingga pencarian bibit-bibit,
pencarian pupuk dan sarana produksi yang lain yang menunjang produktivitas
tanah ini dilakukan secara bersama juga.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan


komunal ini kalau bicara produktifitas maka akan lebih produktif. Sekarang
tinggal bagaiman landreform dibangun dengan pendekatan-pendekatan yang lebih
komprehensif atau menyeluruh atau bagaimana hulu-hilir ini dapat lebih sinergis
sehingga tujuan akhir dari landreform bahwa tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan itu akan terwujud. Ketakutan-ketakutan bahwa masyarakat adat
yang masih subsisten itu tidak perlu lagi ada. Artinya kesempatan komunitas-
komunitas masyarakat dalam pengelolaan lahan secara kolektif justru lebih
efektif.

110
Pendapat serupa juga disampaikan oleh pegiat masyarakat adat,
menurutnya salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
adalah kegotong-royongan, fakta itu dapat dibuktikan dalam berbagai tradisi dan
budaya masyarakat di berbagai kepulauan di Indonesia. Berikut petikan
penegasannya:

”Sesuatu yang khas dan jarang dimiliki oleh komunitas masyarakat di


negara lain adalah kehidupan sosial bersama pada masyarakat Indonesia.
Gotong-royang tidak hanya dikenal pada masyarakat Jawa. Di Bali
misalnya pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-sama, bahkan
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, masyarakat Papua dan
Timor. Mereka dalam pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-sama,
mereka juga tinggal secara bersama seperti rumah Betang pada masyarakat
Dayak dan Honey pada masyarakat Papua”. (AN, Sekjen AMAN ,1
Oktober 2010)

4.4. Sumber Daya Agraria dan Pengelolaannya


Kalau mengacu pada arah pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia
pola yang menterjemahkan konstitusi yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 cenderung menggunakan konsep neopopulis, negara memiliki kewenangan
penuh terhadap sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam penterjemahanya melalui Undang-undang Pokok Kehutanan, saat ini
kawasan hutan adalah suatu kawasan yang dikuasai negara sehingga tidak dapat
diperjualbelikan. Ketika tanah sudah menjadi komoditi, kemungkina besar tanah
tersebut cenderung dikuasai oleh satu atau sekelompok orang saja.

Kalau kita melihat kembali wilayah Indonesia saat ini hampir 70%
merupakan kawasan hutan, yang otoritas pengelolaannya ada di tangan negara.
Hal senada juga dikatakan oleh salah seorang pejabat di Ahli Bidang Revitalisasi
Industri Kehutanan (Pernah menjabat Dirjen Planologi) Kementerian Kehutanan
bahwa:

Masalah tenurual ini memang masalah besar, meski demikian pemerintah


sudah mempunyai framework untuk menjalankannya. Berangkat dari satu

111
framework yang juga sudah dipegang oleh negara menurut hukum formal
ada dua. Kalau saya lihat kawasan atau tanah Indonesia itu 185 juta hektar
133 Juta hektar itu di kawasan hutan, by law adalah kawasan hutan. Berarti
hampir 60-70% luas daratan di Indonesia itu dikuasai negara, di bawah
Kementerian Kehutanan. (S, 27 September 2010)

Meski demikian terjadi ironi dalam pemberian kewenangan pengelolaan


penguasaan dan pengusahaan hutan, di mana Kementerian Kehutanan yang dulu
Departemen Kehutanan justru memberikan akses yang luas terhadap sektor swasta
untuk mengelola wilayah-wilayah hutan produksi yang seringkali itu merupakan
wilayah adat yang dikelola secara komunal. Ada pendapat yang berbeda dengan
pendapat salah seorang pejabat Kementerian Kehutanan, menurut pegiat sumber
daya alam di tingkat regional mengatakan:

”Kalau kita tinjau kepemilikan ownership kawasan hutan di Indonesia


memang secara formal dipegang oleh Kementerian Kehutanan sedangkan
secara informal masyarakat di beberapa tempat mengklaim satu kawasan
hutan menjadi wilayah adat mereka yang dikelola secara komunal, tapi
secara akses pengusahaan dan pengelolaan saat ini telah dipegang oleh
swasta” (YK, Direktur Titian 1 Oktober 2010).

Kementerian Kehutanan mengklaim bahwa total luas daratan di Indonesia


hampir 191 juta ha, sebagian besar (66,16 persen) merupakan kawasan hutan,
sedangkan untuk budidaya pertanian (sawah, tegalan dan perkebunan) adalah
36,35 juta ha (18,72 persen). Berikut pendapat salah seorang pegiat lingkungan:

“Buat saya ini omong kosong kalau di kawasan hutan itu tidak dapat
berjalan land market. Boleh jadi secara aturan begitu, tapi faktanya, berapa
luasan lahan hutan yang dikuasakan kepada sektor swasta dibandingkan
akses yang diberikan kepada masyarakat. Bahkan masyarakat yang sudah
tinggal turun-temurun ratusan tahun di satu kawasan yang masuk kawasan
hutan seringkali di anggap pemerintah sebagai perambah. Ketika
memotong kayu dianggap mencuri padahal mereka mewarisi lahan dan

112
kayu-kayu tersebut dari nenek moyang mereka” (YK, Direktur Titian 1
Oktober 2010).

Dari dua pendapat yang berbeda tersebut menjadikan dasar bahwa ini
merupakan tantangan atau menjadi perhatian bagi perancang, penyusun dan
pelaksana landreform nantinya. Kajian terhadap obyek dan subyek landreform
semestinya tidak hanya didasarkan saja pada hukum formal tapi kajian sosial,
kajian kesejarahan kepemilikan dan pengelolaan hendaknya dapat nenjadi
indikator dalam penentuan model landreform.

BAB 5

PEMBAHASAN

a. Bentuk-bentuk Penguasaan, Kepemilikan, Penggunaan dan


Pemanfaatan Tanah Komunal di Indonesia.
Untuk mencari pilihan kebijakan model landreform di Indonesia
khususnya pada pola komunal, maka dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi

113
melalui studi pustaka dari hasil-hasil penelitan, buku dan artikel yang dapat
menggambarkan pola-pola kepemilikan komunal di berbagai komunitas
masyarakat Indonesia. Untuk memperdalam kajian, maka telah dilakukan
wawancara dengan beberapa nara sumber yang berkecimpung langsung di dalam
isu-isu agraria di Indonesia

Dari eksplorasi tersebut, terdapat informasi yang memberi gambaran


bagaimana pola penguasaan, pemilikan dan pengusahaan tanah pada masyarakat
komunal dari berbagai daerah di Indonesia. Dari studi pustaka dan wawancara
dengan nara sumber ahli maka data yang didapat dikategorikan menjadi tujuh
kategori antara lain: a). pola penguasaan, pemilikan dan pengusahaan. b).
kelembagaan, c). nilai dan norma, d). kepemimpinan e). Wilayah, tata batas dan
penyelesaian konflik, f). relasi sosial. Dari pengkategorian data ini akan memberi
gambaran tentang pengelolaan sistem komunal berbagai wilayah di Indonesia.

4.3.1. Pola penguasaan, pemilikan dan pengusahaan lahan komunal.


Pada suku Minangkabau penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
mendasarkan pada potensi lokal tempatan mengingat secara budaya, potensi lokal
mewujudkan prinsip-prinsip matrilineal; (didasarkan pada sistem kekerabatan dari
pihak perempuan), dari sisi sosial ditujukan untuk mengintegrasikan anak
kemenakan akibat praktik perkawinan eksogami. Jika ditinjau dari sisi ekonomi,
hal ini mempertinggi tingkat kesejahteraan lahir batin, sedang dari sisi politis,
menunjukkan praktik ideologi komunal secara benar. Sementara, dari sisi
keamanan, hal ini dapat menjaga keutuhan baik fisik maupun batin sosial
masyarakat tempatan. Pembagian hasil sumber alam secara bergilir sesuai alam,
penyewaan kepada anggota kaum sesuku selama jangka waktu tertentu,
merupakan bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dimaksud.

Berbeda dengan masyarakat adat Minangkabau, masyarakat Batak


menurut Oding, Alfonsus dan Harianja (Bab 3, h.49) menyampaikan bahwa
secara umum aturan tradisional dalam kepemilikan dan penguasaan lahan di
kawasan daerah tangkapan air Danau Toba berdasarkan adat dan budaya Batak
yang mengacu pada prinsip-prinsip kekerabatan dari pihak laki-laki (patrilineal).

114
Adapun sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dengan sebutan Dalihan
Natolu, Batak Karo dengan sebutan Daliken Sitelu, dan Batak Simalungun dengan
sebutan Tolu Sahundulan.

Pola pemanfaatan lahan didasarkan pada berbagai faktor seperti hak


kepemilikan, modal, tenaga kerja, pengetahuan, kepastian akses terhadap hasil,
serta faktor kelestarian lingkungan. Pola pemilikan dan penguasaan lahan pada
masyarakat hukum adat di masyarakat Batak tidak jauh berbeda antara satu suku
dengan suku lainnya di Indonesia. Kepemilikan lahan oleh individu maupun
kelompok atau komunal melalui penemuan, pembukaan hutan, pemberian atau
pewarisan, tukar menukar, dan pembelian. Dalam perkembangannya pola-pola
tersebut disesuaikan berdasarkan pada budaya dan adat masing-masing
masyarakat adat tersebut.

Sementara itu, pada masyarakat Dayak Kalimantan pola penguasaan,


pemilikan dan pengusahaan tanah atau lahan pengaturannya dibagi menjadi tanah
keramat, hutan adat, daerah tempat berladang, daerah tempat bersawah, daerah
perkebunan rakyat dan cagar budaya. Seperti disampaikan Noveria, Gayatri, &
Mashudi (Bab 3, h.55), masyarakat Dayak juga membagi wilayah kampung
menjadi a). Kawasan hutan yang dilindungi atau dicanangkan untuk masa depan,
b). kebun buah-buahan; c). lahan perkebunan karet, d). sawah, e). ladang dan
bawas (lahan yang diistirahatkan dengan tujuan untuk mengembalikan kesuburan
tanah), f). tanah pekuburan dan tanah keramat, g). lahan perkampungan dan
h). sungai serta danau untuk perikanan. Pada sistem Dayak Taran di Tae
(Kabupaten Sanggau) dan Dayak Salaka di Bangak Sahwa (Kabupaten Sambas) di
Kalimantan Barat, pada komunitas masyarakat di dua tempat tersebut, lahan yang
semula dimiliki secara komunal dapat berubah statusnya menjadi milik pribadi
jika sudah dibersihkan, ditanami dengan jenis-jenis tanaman tertentu dan
dipelihara. Sistem kepemilikan ini sudah dipraktikkan dan diakui oleh
masyarakat, oleh karena sudah bersifat pribadi, maka kepemilikan lahan ini dapat
diwariskan kepada keturunannya.

Menurut kajian Peluso & Padoch (1996) Menyampaikan bahwa pada


komunitas Dayak, lahan untuk bertani dan berladang diperoleh dengan cara

115
membersihkan atau membabat hutan(Bab 3, h.56). Pada masyarakat Dayak
Kayan yang tinggal di daerah sungai Mendalam wilayah Kalimantan Barat,
misalnya, mengakui bahwa mereka yang membuka hutan primer mempunyai hak
untuk bertani dan berladang di areal yang dibuka. Hak penguasaan lahan ini dapat
diturunkan kepada keturunan dari individu-individu yang pertama kali membuka
lahan. Sementara itu. masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas berkembang
pola penguasaan dan pemilikan lahan yang diakui oleh masyarakat secara turun
temurun (Bab 3, h.56), pola tradisional dan turun temurun, warga desa menguasai
dan memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka. Dalam mengelola sumber
daya lahan yang ada penguasaan dan pemanfaatan lahan dapat bersifat perorangan
dan juga dapat bersifat komunal. Pola pemanfaatan dan penguasaan lahan tersebut
diakui dalam konteks lokal tradisional, tetapi tidak secara hukum formal. Pola tani
masyarakat Dayak yang pengusahaan ladang secara berpindah dalam rotasi tiga
sampai sepuluh tahun.

Antara suku Dayak dan suku-suku di Papua hampir memiliki kemiripan


bahwa penguasaan, pemilikan dan pengusahaan tanah yang berlaku secara turun
temurun, diwariskan dari leluhur mereka. Pada sebagian masyarakat adat di
Papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan siapa yang pertama
kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh orang lain.
Pada sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu suku didasarkan
pada lokasi yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal
hutan yang belum dikuasai suku lain. Begitu areal itu belum bertuan, maka boleh
dikerjakan oleh suatu kelompok suku, maka secara ulayat, lahan tersebut adalah
milik suku yang bersangkutan (hak ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan
kepada keturunannya, terutama keturunan laki-laki (hak waris).

Tabel 5.1

Struktur Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Pengelolaan Sumber Daya Agraria

Struktur Masyarakat Hukum Adat

116
Berdasar Patrilineal Matrilineal Parental
Genealogis (pertalian darah (pertalian darah
(keturunan) (pertalian darah garis garis ibu) garis bapak dan
bapak) garis ibu)

Contoh : Suku Batak Contoh : Suku Contoh : Suku


dan Suku Papua Minangkabau Dayak

Konsep lain yang perlu diperhatikan adalah konsep kepemilikan tanah,


bagi masyarakat adat Papua, kepemilikan tanah itu bersifat komunal. Bukan hanya
milik satu garis keturunan tertentu, akan tetapi kepemilikan lahan merupakan
milik satu suku. Masing-masing suku memiliki tradisi, bahasa dan tata cara adat
yang berbeda-beda. Persilangan antar suku melalui perkawinan dan peperangan
juga telah mengubah konsep komunalitas kepemilikan lahan. Masing-masing suku
memiliki catatan sejarah yang umumnya tersimpan dalam tradisi lisan mengenai
batas wilayah hak ulayat. Lebih kompleks lagi, apabila catatan klaim kepemilikan
hak ulayat didasarkan pada sejarah peperangan antar suku.

Hasil wawancara dengan Tokoh muda Adat Penunggu di Sumatera Utara


bahwa dalam aturan tertulis yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai berikut: a).tanah masyarakat Adat
Penunggu adalah milik Adat dan tidak dapat dimiliki secara pribadi baik oleh
individu masyarakat penunggu maupun orang luar, b). setiap masyarakat berhak
mengelola dan mewariskan hak kelola kepada anak turunnya, tetapi hak tersebut
gugur ketika keluarga tersebut tidak lagi mengusahakan lahan untuk usaha
pertanian. Setiap masyarakat yang ada di komunitas tersebut tidak memiliki lahan
atau tempat tinggal di kampung lain” (Bab 4, h.79).

Tanah Ulayat yang dikuasai oleh rakyat Penunggu kepemilikannya adalah


komunal namun sistem pengelolaannya adalah individu-individu yang diberikan
kepada satu orang penanggung jawab di satu keluarga. Sistem ini dilakukan
karena tanah-tanah ulayat yang dikuasai masih dalam status perjuangan, sehingga
pembagian tanggung jawab per individu di keluarga terjadi. Pembagian

117
pengelolaan tanah ulayat tergantung dari berapa jumlah luas yang berhasil
dikuasai.

Adat Penunggu ini menjadi menarik untuk terus dikaji karena organisasi
adat telah melebur dan membuat organisasi moderen dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai adat dengan mengadopsinya dalam aturan-aturan
organisasi. Selain itu, model komunal ini telah menjadi pembelajaran bersama
bagaimana pola landreform dijalankan, karena mereka membangun kesepakatan
pengelolaan secara bersama melalui musyawarah dan aturan-aturan adat
penunggu.

Pada masyarakat adat di Bali kepemilikan lahan oleh Desa Adat, yang
menarik membicarakan soal penguasaan dan pemilikan tanah di Bali tidak lepas
dari kesatuan masyarakat adat Bali yang otonom. Sampai sekarang, Desa
Pakraman atau Desa Adat, meyakini bahwa seluruh tanah adalah milik desa adat
meskipun sebagian atas nama individu atau kelompok (Bab 4, h.85). Awig-awig
desa mengatur tentang pengelolaan tanah di desa tersebut dan orang Tenganan
Pegringsingan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar
Tenganan. Wilayah Desa Tenganan Pegringsingan sejak abad ke-11 hingga
sekarang tetap sama. Walaupun mengalami perubahan itu lebih karena faktor
alam, misalnya longsor atau terkikis, mengingat bahwa wilayah Tenganan yang
berbukit-bukit dan masih menggunakan batas alam sebagai batas desa.

Hal ini memberikan gambaran bagi perancang, perencana dan pelaksana


bahwa program pelaksanaan landreform, jika tidak memperhatikan struktur dan
budaya masyarakat dalam pengelolaan sumber daya agraria untuk memenuhi
kehidupan sosial maupun spiritual akan merusak struktur budaya yang sudah
bertahun-tahun bahkan ratusan tahun masih tetap bertahan dan lestari.

Pada masyarakat Timur wilayah Nusa Tenggara Timur sebagian besar


akses terhadap lahan dimiliki secara komunal, meski saat ini ada juga beberapa
yang boleh dimiliki secara individu. Hal ini akibat pewarisan adat yang kuat
secara turun-temurun. Pemerintah lokal Timor dalam mengelola sumber daya
lahan selalu tunduk kepada hukum adat meski sudah ada hukum formal.

118
Kepemilikan individu ini memang berdampak pada tidak adanya
kemampuan adat untuk mengintervensi lahan-lahan yang sudah diberikan kepada
individu. Artinya kontrol terhadap perpindahan kepemilikan lahan ini sudah tidak
dapat dilakukan oleh otoritas adat secara penuh. Meski demikian, karena ikatan
antara tanah dengan masyarakat ini sangat tinggi, maka dalam benak masyarakat
Timor menjual tanah menjadi hal yang di haramkan. Konsekuensi dari hal
tersebut, yaitu jarang sekali ditemui transaksi penjualan tanah di Timor terutama
di daerah pedalaman atau perdesaan.

Hasil penelusuran pustaka dan wawancara tentang pola penguasaan,


pemilikan dan pengusahaan lahan komunal di beberapa daerah di Indonesia
menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu hak tanah didapat dari akses
pertama kali dalam membuka lahan-lahan hutan yang di kemudian hari
diwariskan secara turun temurun.

Tabel 5.2

Bentuk Pengelolaan Sumber daya Agraria

Penguasaan dan
Wilayah Kajian Bentuk Pengelolaan
Pemilikan

Batak Toba Tanah Komunal Aturun Dalihan na tolu dalam hal


dikelola secara kepemilikan dan penguasaan lahan,
individu, dan terutama tanah di Tanah Batak
diwariskan menurut antara lain: a). Warisan, b).
garis keturunan Pauseang, c).Ulos Nasora Buruk,

119
Ayah (patrilineal) d). Indahan Arian, e). Dondontua,
f) Upasuhut, g).Marga,

Minangkabau Tanah Komunal Bentuk kelola dibagi tiga antara


dikelola secara lain:
individu, dan
 Bauduah (Wilayah dibawah
diwariskan menurut
garis keturunan Ibu kelola Suku)
 Balega (bergilir)
(matrilineal)
 Pagang-Gadai- Susuik
Model demikian memperlihatkan
cara mempertahankan dan
memanfaatkan sumber alam
dilandasi kesepakatan-kesepakatan
yang dikonstruksi oleh mamak atas
dasar aturan lokal dalam mengatur
siapa, apa, bagaimana, dan
mengapa penguasaan dan
pemanfaatan sumber alam
demikian

Masyarakat Kepemilikan Lahan yang tidak lagi dikelola,


Penunggu komunal dengan akan diambil lagi oleh Adat. Untuk
sistem pengelolaan dikelola oleh warga adat secara
individu produktif

Dayak Kepemilikan Masyarakat Dayak mempunyai


komunal dengan konsep Palasar Palaya mengatur
sistem pengelolaan pemanfaatan dan pengelolaanya
individu, dengan lahan dan sumber daya alam yang
model ladang lainya sesuai dengan fungsinya
berpindah dengan memperhatikan
keseimbangan serta kemampuan
daya dukung alam dalam suatu
lingkungan komunitas

Bali Seluruh tanah Dikelola oleh Desa Adat untuk


adalah milik Desa didistribusikan kepada warga adat
Adat sesuai dengan norma-norma
hukum adat yang ada.(awig-awig)

120
Timor Tanah Komunal Pengelolaan lahan yang tadinya
dikelola secara secara komunal ini, mulai bergeser
individu pada pola kepemilikan individu.
Hal ini dapat terjadi jika individu
tersebut sudah lama mengelola
lahan secara intensif di satu
wilayah

Papua Tanah milik Kebijakan pengelolaan lahan


Adat/Komunal dipegang oleh Ketua Suku.
dikelola secara
individu

4.3.2. Pola Kelembagaan


Kelembagaan Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat suku-
suku yang lain, tetapi ada kekhasan yang tidak ditemui pada suku yang lain (Bab
3, h.53). Kekhasan ini ada karena masyarakat Minang menganut sistem garis
keturunan menurut Ibu, matrilineal. Kekhasan lain yang sangat penting adalah
adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak
menjadi adat yang eksklusif berlaku bagi para bangsawan dan raja-raja saja.

Pada Adat Minangkabau setiap individu terikat dan terlibat dengan adat,
hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan
kekerabatan diatur secara adat. Pada tataran konsepsional, adat Minang terbagi
pada empat kategori: a). Adat nan sabana adat, b). Adat nan teradat, c). Adat nan
diadatkan, d). Adat istiadat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antar sesama
anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan formal maupun tidak
formal.

Pada Batak Toba sebelum diuraikan tentang desa, perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa prinsip adat istiadat dan asal mula suku batak tidak terlepas dari
Dalihan Na Tolu (Bab 3, h.50). Dalihan Na Tolu adalah suatu aturan yang
mengatur sistem kekerabatan marga-marga yang ada pada suku batak dan

121
merupakan acuan hidup masyarakat batak yang merupakan sebagai berikut: Hula-
hula (Tulang), Dongan Sabutuha (Semarga), Boru (Anak Perempuan).

Dalam masyarakat Dayak Kayan Mendalam Kalimantan, pengertian


lembaga adat adalah seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat (Bab 3, h.56), termasuk didalamnya
mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lembaga juga
dapat diartikan sebagai wadah atau organisasi tradisional dalam memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat melalui berbagai kegiatan. 

Meski terdapat beberapa kelembagaan yang hidup di tengah masyarakat


Dayak, namun secara umum kelembagaan lokal yang kuat pengaruhnya dalam
kehidupan masyarakat hanya 2 (dua) yakni : Pemerintahan desa dan badan
perwakilan desa serta Kelembagaan Adat. Kelembagaan lokal ini memiliki peran
dan fungsi masing-masing. Pemerintah Desa dan badan perwakilan desa memiliki
kewenangan menyangkut tata pemerintahan formal. Sementara, Kelembagaan
Adat dalam hal ini Ketumenggungan Kayan Mendalam, bertanggung jawab untuk
urusan yang berhubungan dengan adat.

Lain lagi dengan kelembagaan di Bali, hal ini sangat unik karena Desa
Adat di Bali merupakan satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya masih
memegang teguh peraturan mengenai adat istiadat setempat. Dalam adat Bali
sangat sulit membedakan mana adat dan mana agama, sementara di tempat-tempat
yang lain di Indonesia, persoalan adat dan agama sering kali dipisahkan secara
jelas garis demarkasinya, malah kadang keduanya timbul ketegangan bahkan
bertabrakan.

Dalam adat Bali ini, ada kesatuan budaya masyarakat yang sangat lengkap,
dimana dimensi adat dan agama menyatu berkelindan. Untuk menyiasati jarak
antara struktur lama dengan struktur baru, sehingga untuk membedakan ini maka
antara desa adat dengan tata pemerintahan pasca kemerdekaan di Bali, maka
kelembaagan adat tetap mempunyai struktur lama sementara struktur baru atas
nama desa menjadi desa dinas yang sifatnya administratif seperti desa-desa
umumnya di Indonesia.

122
Lembaga Adat Tenganan merupakan lembaga tertinggi yang mengatur tata
kehidupan warganya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari maupun dalam
upacara ritual keagamaan. Krama desa bertugas untuk melakukan upacara,
mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Jabatan dibagi empat tingkat
yaitu (lihat Bab 4, h.85): Luanan, Bahan Duluan, Bahan Tebenan, Tambalapu
duluan, Tambalapu Tebenan, Pengluduan.

Bagi masyarakat Papua, pengertian lembaga adat adalah seperangkat


aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat, termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan
masyarakat (Bab 3, h.63). Lembaga ini juga dapat diartikan sebagai wadah atau
organisasi tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui
berbagai kegiatan.

Pada kelembagaan masyarakat Adat Penunggu masyarakat membuat


organisasi modern dengan nama Badan Perjuangan Rakyat Penunggu
Indonesia(BPRPI). Sejak itu, masyarakat mengelola lahan tersebut dengan sistem
komunal. Proses kontrol terhadap kepemilikan atas pengelolaan individu-individu
rakyat Penunggu memakai aturan AD/ART organisasi rakyat Penunggu (BPRPI).
Pengurus juga memastikan anggota tidak menelantarkan lahan-lahan yang
dibagikan untuk dikelola. Jika hal ini terjadi maka petua adat dan pimpinan
kampung akan memberikan teguran dan sangsi pencabutan atas hak pengelolaan
tanah yang kemudian akan dialihkan kepada anggota lain.

Pada masyarakat Timor, di tiap-tiap Adat dipimpin oleh Raja. Raja ini
sama masyarakat setempat sering disebut Liurai, biasanya satu kecamatan itu ada
satu Raja. Ia mempunyai 12 Nai, 12 Nai ini wakil raja atau gubernur mereka, yang
bertugas memantau seluruh sumber daya alam maupun aturan nilai-nilai adat yang
ada dan masih berlaku di daerah itu.

Dari penelusuran tentang kelembagaan masyarakat komunal di beberapa


daerah di Indonesia dapat diperoleh kesimpulan bahwa eksistensi mereka tidak
lepas dari kelembagaan yang terbangun secara turun-temurun dan dipegang teguh
oleh masyarakat. Kelembagaan yang sudah mapan ini harus dihormati dan

123
diperhatikan dalam membangun model operasionalisasi landreform yang nantinya
berlaku berbeda-beda di tiap suku atau pun di tiap daerah.

4.3.3. Nilai-nilai dan Norma yang Berkembang di Masyarakat


Pada masyarakat Minangkabau khususnya suku Anduring dalam
penggarapan sawah dan hasil panen padi menurut musim panen, pembagian
durian antara kaum satu dan kaum lain dalam satu suku menurut urutan hari.
Kasus tersebut memperlihatkan gambaran bahwa pola penguasaan tanah dan
pemanfaatan sumber alam dibangun dengan model Balega (bergilir). Model
demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan sumber alam
dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh Mamak atas dasar
aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan
pemanfaatan sumber alam demikian (Bab 3, h.53).

Dalam konteks interaksi sosial masyarakat Minangkabau, sebenarnya


secara budaya matrilineal berlaku prinsip perkawinan eksogami suku (sub etnik)
dan endogami suku bangsa (etnik). Namun, dalam konteks adat Minangkabau
hambatan matrilineal itu dibuka melalui praktik malakok (melekat), bahwa
siapapun dan apapun etniknya dapat menikah dengan etnik Minangkabau, bila
terutama laki-laki dimaksud telah mengaku kepada dan diakui oleh salah satu
Mamak yang bersuku berbeda dengan calon pasangan. Dalam nagari
menunjukkan bahwa adat Minang yang komunal membuka ruang bagi interaksi
masyarakat luar untuk masuk dalam kehidupan masyarakat Minang, satu nilai
budaya yang menarik dan menujukan kearifan budaya yang luhur.

Sementara pada masyarakat Batak Toba relasi sosial terlihat dalam adat
perkawinan ini mirip dengan masyarakat adat Minangkabau. Apabila terjadi
penyimpangan dalam perkawinan (bila salah seorang calon pengantin bukan
berasal dari etnis Karo), pihak daliken si telu calon pengantin yang beretnis Karo,
selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut disyahkan
menjadi ”orang Karo” yaitu diberikan klan (marga/beru), dan sekaligus diberikan
orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (di luar

124
adat istiadat Karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidang-
bidang tertentu (di dalam adat istiadat Karo) jelas jauh melebihi orang tua
kandungnya yang bukan berasal dari etnis Karo (Bab 3, h.51). Pemberian klan
ini tidak bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non Karo yang ingin berjodoh
dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken sitelu tetap berfungsi
semestinya.

Meski berbeda caranya antara Adat Minang dan Batak tapi esensi norma-
narma yang berkembang mempunyai nilai-nilai yang boleh dikata relatif sama.
Pada masyarakat Batak salah satu keuntungan terkait dengan warisan adalah (a)
dengan pemberian klan, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak
suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang dimiliki
suaminya dan (b) kedudukan orang yang diberi klan (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama di dalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya
sama-sama satu etnis.

Aturun-aturan yang terkait dengan Dalihan na tolu dalam hal kepemilikan


dan penguasaan lahan, terutama tanah di Tanah Batak antara lain (Bab 3, h.51):
a). Warisan. Tanah warisan diberikan orang tua kepada anaknya yang laki-laki,
setelah orang tua meninggal, b). Pauseang. Sebidang lahan (khususnya sawah)
yang diberikan pihak hula-hula pada anak perempuannya pada saat anak
perempuannya tersebut menikah. c).Ulos Nasora Buruk” (Kain batak yang tidak
akan usang). Ungkapan ini dipakai sebagai lahan yang diberikan oleh hula-hula
kepada borunya untuk dimiliki dan dikelola. d). Indahan Arian (sumber
makanan). Lahan ini diberikan oleh hula-hula kepada borunya dengan dibarengi
hak kepemilikan, namun tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain.
e).Panjaean (batu loncatan). Sebidang tanah yang diberikan oleh orang tua, ketika
orang tuanya masih hidup, kepada anak laki-laki setelah anak laki-laki tersebut
menikah. f). Dondontua. Tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari
anak laki-laki tertuanya. g) Upasuhut. Sebidang tanah yang diberikan pada cucu
laki-laki tertua dari anak laki-laki bungsu, h).Marga di luar marga pemilik tanah

125
dapat memilki tanah jika mereka telah menikah dengan perempuan dari marga
pemilik tanah. Mereka biasanya disebut Sonduk hela.

Begitu masyarakat Batak membangun budaya yang berpengaruh pada


pola-pola pengusahaan dan pemilikan tanah. Nilai-nilai tersebut berkembang
untuk memastikan anak-cucu mereka bisa memenuhi kehidupan mereka, Bagi
kehidupan Orang Batak, tanah tidak hanya berfungsi secara sosial saja tapi
sekaligus fungsi ekonomis, selain itu tanah bagi masyarakat Batak menjadi simbol
dari eksistensi suatu suku. Hal ini tercermin dalam relasi antara masyarakat
hukum adat Batak (khususnya sub-suku Batak Toba) terhadap pola pemilikan
tanah adat mereka.

Adapun norma-norma masyarakat Dayak khususnya Dayak Kanayant di


Kalimantan Barat dalam mengelola tanahnya, mereka mempunyai konsep Palasar
Palaya (Bab 3, h.57). Palasar Palaya mengatur pemanfaatan dan pengelolaan
lahan dan sumber daya alam yang lainnya sesuai dengan fungsinya dengan
memperhatikan keseimbangan serta kemampuan daya dukung alam dalam suatu
lingkungan komunitas.

Pada masyarakat Dayak, pada prinsipnya tanah yang sudah ditinggalkan


dapat dimanfaatkan oleh semua orang untuk kegiatan berladang sejauh lahan yang
ditinggalkan tersebut tidak ditanami oleh tanaman tahunan seperti karet, buah-
buahan yang oleh masyarakat dikenal dengan ”tanam tumbuh”, maka lahan
dianggap tanah tak bertuan dan siapapun yang berkeinginan untuk menanaminya
dapat menggunakan lahan tersebut.

Pola kepemilikan lahan untuk bertani dan berladang di kalangan


Masyarakat Sembuluh Kalimantan Tengah ditentukan berdasarkan kegiatan
penanaman tanaman tumbuh. Praktik tersebut sudah berlangsung lama dalam
masyarakat dan semua penduduk menghormati segala kesepakatan yang berlaku,
sehingga masing-masing dapat menjalankan kehidupan mereka. Mengingat
pentingnya lahan bagi masyarakat, maka kepemilikan lahan dapat diartikan
sebagai wujud keberadaan, penguasaan, status dan juga menunjukan harta yang

126
dimiliki. Oleh karena itu, kehilangan lahan dapat dianggap sebagai ancaman
terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Pandangan masyarakat Dayak terhadap sungai, tanah dan hutan


merupakan bagian yang terpenting dari identitas sebagai seorang Dayak.
Pandangan yang sama juga tercermin dalam pola penggunaan tanah masyarakat
Dayak dalam ekosistem hutan tempat tinggal mereka. Tanah bukan hanya sebagai
sumber daya ekonomi, namun juga merupakan basis untuk kegiatan budaya,
sosial, politik dan spiritual (Janis dalam Andasputra, 2001).

Bagi masyarakat Dayak ”hak” tersebut tepatnya berupa ”kewajiban” -


karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan sempat terhenti dalam
satuan waktu tertentu, maka aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski
seringkali bersifat sementara (Bab 3, h.58). Berbeda dengan pola pengelolaan
pada masyarakat modern yang didahulukan adalah ”hak” (misalnya diberi hak
untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul hubungan
dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah
disebutkan lebih berupa ”kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi ”hak” (Admajaya, 1998).

Cara pemindah-tanganan hak atas tanah melalui : (1) Jual-beli (hajual


haili), (2) perwarisan, (3) pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri
ramu), (5) gadai (sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak palaku).
Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana seorang keluarga tertentu sangat
membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya sekolah anak
di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara Tiwah, dan lain-lain.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat Dayak membangun


harmoni dalam kehidupan mereka bukan saja antar manusia tapi juga dengan
alam, mereka dapat bergilir bergantian dalam mengelola dengan tetap menjaga
kelestarianya.

Dalam konsep kehidupan di Bali mengacu pada istilah Tri Hita Karana,
yaitu tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup
manusia (Bab 4, h.80). Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan

127
hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan
dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya
persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam
bermasyaraakat, tapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan
untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian suatu ciri khas
desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni: wilayah,
masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan
tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang
nyaman, tenteram dan damai secara lahiriah maupun batiniah. Seperti inilah
gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.

Kalau mengkaji norma dan nilai-nilai budaya masyarakat Papua seperti


disampaikan Rahman (Bab 3, h.60) masyarakat Adat di Papua tanah dan hutan
bagi masyarakat adat Papua bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi
semata, namun juga merupakan sentral kebutuhan spiritual. Konsep kunci dalam
tradisi masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah ”ibu”, hingga kini
sesungguhnya bagi masyarakat adat Papua, tanah tidak dapat diperjualbelikan.

Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan,
hanya boleh pinjam-pakai (dipinjampakaikan) antara sesama warga yang masih
dalam satu rumpun adat (suku). Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini,
secara informal masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang
ada di daerah tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat
hukum adat (marga) tertentu, dimana ketentuan-ketentuan penggunaannya di
antara anggota marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-
masing marga.

Pada Suku Muyu setiap memulai kegiatan bercocok tanam maka


masyarakat terlebih dahulu berdoa dan memohon restu kepada Ibu Pertiwi.
Mereka meyakini bahwa hari dan angka tujuh adalah hari keberuntungan
sehingga di hari tersebut masyarakat Suku Muyu selalu memulai ritual
penanaman atau budidaya tanaman di lahan mereka tersebut.

128
Pantangan dalam menebang pohon jenis Merbau yang perawakannya
tinggi besar dan berbeda dengan jenis yang sama pada suatu luasan (suku Bugui).
Wanita yang dalam keadaan menstruasi tidak diperbolehkan ke kebun, karena
diyakini dapat mendatangkan babi yang dapat merusak tanaman (suku Arfak).

Kearifan lokal masyarakat adat Papua seperti a). etika dan aturan, b).
teknik dan teknologi, c).praktik dan tradisi pengelolaan Hutan/Lahan. Merupakan
bukti bahwa pola-pala pengusahaan dan pengelolaan lahan layak menjadi kajian
bagaimana model dan pola-pla pengusahaan lahan di Indonesia diadopsi dalam
operasionalisasi pembaharuan agraria di Indonesia.

Pada masyarakat Penunggu mereka mengangap bahwa tanah bukan


semata-mata dianggap sebagai barang produksi dan barang ekonomi semata,
melainkan lebih dari itu tanah sebagai tempat ritual, menjaga dan mengelola
titipan leluhur dan memperkuat hubungan sosial dan kolektivitas rakyat Penunggu
(Bab 4, h.77) . Oleh sebab itu bagi rakyat Penunggu tanah ulayat tidak boleh di
perjual belikan. Bentuk kepemilikan tanah ulayat ini adalah kolektif sedangkan
bentuk pengelolaannya bersifat individual. Tanah harus dikelola untuk
mendapatkan manafaat yang memperkuat ekonomi keluarga. Oleh karena itu bagi
anggota yang mengabaikan hak pengelolaan atas tanah adat akan kehilangan hak
pengelolaannya termasuk Mustotin (orang asli rakyat Penunggu) untuk dialihkan
kepada anggota lain.

Pada masyarakat Timor Kepatuhan masyarakat Timor dalam memegang


aturan adat yang menjadikan masyarakat Timor tidak mudah berpindah tangan
lahan atau menjualnya. Lahan-lahan yang sudah disertifikatkan selalu diwariskan
kepada anak keturunanya, ini salah satu norma yang selama ini terus
dipertahankan.

4.3.4. Faktor Kepemimpinan dalam Penguasaan, Pemilikan dan


Pengusahaan Lahan Komunal
Ada tiga macam kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau yaitu: a).
kepemimpinan penghulu, b). kepemimpinan mamak, c).kepemimpinan tungku

129
tigo sajarangan (Tali Tigo Sapilin) terbagi menjadi tiga yaitu Ninik Mamak, Alim
Ulama, Cerdik Pandai (Bab 3, h.54).

Sedangkan kepemimpinan pada masyarakat Dayak baik itu Dayak Kayaan


atau Dayak Bukat. Peran sentral pemimpin adat menyangkut mulai dari urusan
tata upacara adat, menjatuhkan hukum adat kepada pelanggar, hingga
mengorganisir masyarakat juga memutuskan kapan mulai penanaman padi
dilakukan(Bab 3, h.59). Pada Kelembagaan Dayak Mudu dan Dayak Bukit
(Sinosis) ada tiga yaitu: organisasi tingkat rumah tangga, organisasi sosial tingkat
kampung dan organisasi sosial tingkat desa.

Dalam masyarakat adat Dayak dikenal adanya dualisme kepemimpinan


(Bab 3, h.60). Di samping ada pemimpin formal, seperti; Camat, Kepala Desa,
Kepala Dusun dan RT, juga ada pemimpin non formal yang tersusun mulai dari
tingkat RT sampai ke Tingkat Kabupaten, yaitu; 1) Pengurus adat (ketua adat)
yang mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah adat pada tingkat dusun; 2)
Tumenggung; yang mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah adat pada
tingkat desa; dan 3) Dewan Adat yang mempunyai kewenangan menyelesaikan
masalah adat pada tingkat kecamatan.

Dalam masyarakat Desa Adat di Bali khususnya di Desa Adat Tenganan


Pegringsingan tata pemerintahanya di sebut Krama desa bertugas untuk
melakukan upacara, mengelola pemerintahan dan pembangunan desa (Bab 4,
h.85). Dipimpin oleh Luanan merupakan tingkat teratas yang terdiri atas 6 pasang
sebagai penasehat.

Pada masyarakat Papua menurut Mansoben sistem kepemimpinan atas


dasar pewarisan merupakan sistem kerajaan (perdagangan di waktu lalu) di Raja
Ampat, Fak Fak, Kaimana atau sistem Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan
wilayah Kebudayaan Tabi termasuk Genyem yakni Demou Tru merupakan
jabatan tertinggi dalam masyarakat Namblong yang hanya diduduki oleh Wai
Iram, kadangkala dianggap jabatan kekal. Konsep kepemimpinan adat di Papua
adalah tunggal dan otonom, pada umumnya orang atau individu yang menjadi
pemimpin biasanya memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan patuh karena

130
sanksi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas-batas yang
jelas, memiliki harta pusaka, serta merasa terikat pada satu kesatuan teritorial adat
(Bab 3, h. 51). 

Pada Suku Mayu di Papua peran kepala suku sangat penting dalam
komunitas, kepala suku yang mengkoordinir anggota suku untuk membuka
lahan. Selain itu, Suku Muyu memilih tanah berwarna hitam karena mereka
meyakini tanah tersebut subur dan cocok untuk semua jenis tanaman: pisang
(jum), jemen andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran,
dan lain-lain. Kepala suku yang menjadi penengah ketika terjadi konflik di
masyarakat.

Masyarakat Adat Penunggu dipimpin oleh seorang Petua Adat. Petua


Adat Berfungsi atau bertugas sebagai pemangku adat dalam satu kampung, petua
adat juga menjadi utusan atau perwakilan anggota-anggota rakyat Penunggu
dalam hubungan eksternal dan menentukan kebijakan terhadap pengelolaan tanah
ulayat yang diawali oleh hasil musyawarah dan mufakat anggota (Bab 4, h.81).
Pimpinan Kampong atau Ketua Kampong bertugas untuk mengatur anggota-
anggota yang melakukan pengelolaan atas tanah ulayat yang di kuasai. Ketua
Kampong juga, mengurus internal dengan membantu petua adat secara ekternal
tertutama dalam melakukan proses-proses advokasi, lobby dan negosiasi dalam
perjuangan merebut tanah ulayat.

Masyarakat Timor di setiap Adat dipimpin oleh Raja (Bab 4, h.93). Raja
disebut Liurai. Pada lahan-lahan yang belum dikelola atau masih kosong itu
menjadi otoritas adat, sehingga siapapun yang akan mengunakan lahan tersebut
harus seijin Petua Adat atau kepala suku. Misalnya kawasan yang akan dikelola
sumber daya alamnya pemerintah harus berkoordinasi dengan Kepala Suku yang
secara adat menguasai lahan tersebut. Keputusan tentang pengelolaan lahan
tersebut di bawah otoritas ketua adat sepenuhnya. Semua anggota-anggota suku
tetap percaya pada ketua adat, struktur adat yang ada di Timor adalah suku besar
yang dipimpin oleh ketua adat atau Nai. Nai ini memiliki wakil yaitu kepala suku-
kepala suku. Dengan perwakilan di wilayah ini Nai bersama pemerintah
mendiskusikan tentang pengelolaan dan pemanfaatan lahan komunal yang akan

131
digunakan oleh pemerintah. Pembangunan untuk fasilitas publik seperti jalan
raya, sekolah, tempat peribadatan (gereja). Keputusan kepala suku mengikat
karena hirarkinya top-down dalam masyarakat Adat Timor.

4.3.5. Wilayah, Tata batas dan Model Penyelesaian Konfik


Wilayah dan tata-batas dan pengunaan lahan pada masyarakat Nagari di
Minangkabau membaginya menjadi tiga antara lain: (1) Bauduah, suatu perajahan
dimana setiap wilayah di bawah penguasaan suku baik berupa bentangan
punggung yang di atasnya tumbuh pohon produktif maupun aliran air sungai yang
bertaburan ikan selain dibangun batas fisik antar kaum dan juga batas bathin
(internal power) selain itu, (2) Balega (bergilir), setiap warga kaum dapat
memanfaatkan hasil sumber alam, menggarap tanah dimaksud secara bergilir
sesuai dengan kesepakatan bersama kaum. Perubahan kesepakatan dimaksud
dapat dilakukan jika telah dibangun suatu kesepakatan baru berikutnya.
Kemudian, (3) Pagang-Gadai- Susuik merupakan kesepakatan baru berikutnya
dalam pemanfaatan sumber alam, yang secara budaya boleh dilakukan dengan
cara menyewakan kepada anggota kaum lain sampai beberapa langkah yang
masih satu suku selama jangka waktu tertentu dengan perjanjian tertentu pula
(Bab 3, h.53)..

Dalam perspektif budaya, masyarakat Nagari pada daerah Minangkabau


mempunyai hukum lokal yang diperoleh dari pemahaman bahwa model perajahan
merupakan hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan cara membangun
batas-batas non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan antar
Mamak di suatu tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah
melembaga. Ini menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai
rujukan, bahkan dihindari (avoidance), untuk menyelesaikan persoalan konflik
antar kaum berbeda suku, namun diselesaikan lewat saluran budaya masyarakat
tempatan.

Dalam konsep lokal, keamanan tanah tidak diukur dengan selembar kertas
yang disebut sertifikat, tetapi riwayat penggarapan tanah secara turun temurun,
pengakuan tokoh- tokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi faktor penentu.
Dengan demikian, masyarakat merasa tidak perlu menyertifikatkan tanahnya yang

132
diperoleh dari warisan, mereka hanya menyertifikatkan tanah-tanah yang dibeli
dari pihak lain.

Dalam pandangan tanah yang disertifikatkan berarti liar karena akan


berakibat bahwa hak atas tanah dimaksud akan berpindah-pindah dan dapat
digunakan secara bebas oleh orang yang namanya tercantum dalam sertikfat
tersebut sehingga sulit dikontrol. Artinya terdapat pandangan bahwa setiap bidang
tanah yang disertifikatkan dianggap sebagai sebagai tanah ”liar” dengan alasan
tanah yang sudah disertifikatkan akan menjadi bebas bagi orang yang namanya
tercantum di atas lembar sertifikat untuk dijual, disewa, digadai, dijadikan
jaminan bank dan sejenisnya (Bab 3, h.53).

Untuk masyarakat Batak yang tinggal di daerah tangkapan air, seperti


Danau Toba masyarakat di sana hanya menggunakan pohon sebagai tata batas
lahan dan jarang diusahakan secara komersial. Sama halnya dengan masyarakat
Dayak Ribun di Kalimantan memiliki kebiasaan memberi tanda dengan cara tanda
alam sebagai batas yang memisahkan dengan tanah milik orang lain, misalnya
bambu, bersamaan dengan proses penghutanan kembali secara alamiah bekas
ladangnya, maka tanda-tanda alam yang menjadi batas pemilikan tanah menjadi
berubah sulit dikenali, bahkan seringkali telah hilang (Bab 3, h.59). Pohon bambu
sebagai batas, dalam beberapa tahun telah menjadi rumpun bambu yang meluas
sehingga titik batas semula sulit ditemukan.

Pada masyarakat Dayak sengketa lazimnya diselesaikan secara adat atau


melalui jalur hukum nasional yang berlaku. Meskipun demikian, nampaknya cara
adat masih lebih diutamakan. Kasus apapun yang terjadi di dalam masyarakat,
walaupun sengketa tersebut sudah berada dalam penanganan polisi atau camat,
jika para pihak yang terlibat sengketa ingin menyelesaikannya secara adat, maka
ini menjadi kewenangan Demang. Artinya, kalau suatu kasus yang sudah
ditangani oleh polisi dicabut oleh para pihak yang terlibat perkara karena
kasusnya ingin diselesaikan secara adat, kasus tersebut kemudian diserahkan oleh
polisi kepada Demang untuk diselesaikan secara adat.

133
Membahas pola kepemilikan tanah di Papua tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan masyarakat Papua, karena bagi masyarakat Papua sejengkal tanah itu
tanah milik adat. Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah
antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem,
Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni
Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3
(Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja
Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru,Aifat,Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan
Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5
kawasan Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah
adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom,
Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak
Jaya, Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman (Bab 3, h.53). 

Seperti realitas sosial di mana saja bahwa konflik selalu menjadi bagian
hidup dari kehidupan manusia. Perselisihan juga menjadi bagian hidup dari suku-
suku di Papua. Konflik tanah seringkali menyebabkan perang antar suku ketika
masing-masing suku tidak dapat menyepakati batas wilayah adat mereka (Bab 4,
h.100). Meski demikian, sengketa tata batas antar suku selalu diawali dengan
musyawarah yang menghadirkan Tetua-Tetua dan tokoh adat yang memahami
permasalahan tata batas, baru setelah tidak ada kesepakatan perang suku tersebut
terjadi. Perang antar suku biasanya baru selesai setelah ada pihak yang kalah dan
mengakui wilayah yang menjadi konfik menjadi wilayah suku yang menang.

Dalam masyarakat Desa Adat Bali khususnya di desa Tanganan, tanah dan
luas tanah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah tetap, hal ini juga berlaku
untuk luas dan letak tanah berdasarkan penggunaannya. Adanya awig-awig yang
mengatur semuanya, maka tanah desa tidak akan mengalami perubahan (Bab 4,
h.85). Yang mungkin terjadi perubahan adalah tanah hak milik, itu pun hanya
sebatas pergeseran kepemilikan diantara sesama warga adat. Di sini menunjukkan
bahwa hampir tidak pernah terjadi konflik tentang tata batas pada wilayah desa
Adat. Keteguhan dan konsistensi masyarakat Bali dalam memegang nilai-nilai
leluhur termasuk menjaga warisan yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka,

134
menjadikan urusan distribusi lahan dapat dikelola dengan baik. Ini dapat
dibuktikan dengan luas lahan Desa Adat tidak terjadi perubahan meski sudah
ratusan tahun.

Dalam mengelola tata batas masyarakat Adat Penunggu selalu mengacu


pada luas wilayah adat yang dimiliki secara komunal dan setiap komunitas tahu
batas-batas tanah adatnya untuk pengelolaan ini diatur oleh pimpinan atau Petua
Adat (Bab 4, h.81). Berapa jumlah areal tanah ulayat yang dikuasai kemudian
akan dibagi dengan jumlah warga adat yang siap mengelola dengan baik dan
produktif. Dalam menentukan tata batas diatur melalui musyarawah adat dan
diselesaikan dengan mengacu pada hukum adat. Sementara kalau ada konflik tata
batas menyelesaikannya mengacu pada AD/ART organisasi, jika ada masalah
yang belum diatur terkait dengan tata batas dan pengelolaannya maka ini akan
diputuskan lewat kebijakan-kebijakan Petua Adat dan pimpinan organisasi.

Pada masyarakat Timor batas wilayah milik komunal dan individu masih
menggunakan tanda alam seperti batu besar, sungai, dan pohon. Masyarakat
Timor belum mendokumentasikan tata batas wilayah baik komunal maupun
individu, dalam bentuk peta yang tergambar atau pun tertulis. Di sini tugas Nai-
Nai tersebut mengenali dan mengidentifikasi batas-batas kepemilikan, meski
demikian permasalahan perbatasan jarang terjadi konflik (Bab 4, h.94). Apabila
terjadi konflik, tata batas biasanya diselesaiakan dengan rapat adat atau dibilang
omongan-omongan sirih pinang. Apabila kepala suku memutuskan sebuah konflik
tata batas biasanya masyarakat menerima dan menjunjung tinggi keputusan
tersebut. Kalau sudah tidak dapat didamaikan dalam adat, baru permasalahan ini
dibawa ke pengadilan tapi ini jarang sekali terjadi untuk di wilayah Timor.

4.3.6. Relasi sosial (gotong-royong)


Pada masyarakat Nagari di Minangkabau dalam konteks ekonomi, potensi
lokal dapat mempertinggi dan menjaga tingkat kesejahteraan dengan cara
membagi hasil sumber alam secara ’merata’ sesuai kehendak alam. Antara kaum
satu dan yang lain dalam menerima apa yang diterima dipandang sebagai
kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam Takambang Jadi Guru (Bab 3,

135
h.55). Dengan keyakinan tersebut, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi
sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan kepada komunitas
luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan bagaimana ideologi
komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan serta menyelaraskan
berbagai kepentingan yang berbeda.

Pada masyarakat Dayak Kalimantan model atau sistem penguasaan tanah


secara tradisional di desa-desa meminimalkan konflik penguasaan lahan (Bab 3,
h.58). Sistem itu justru menjamin terpeliharanya integrasi sosial tingkat lokal.
Pada umumnya lahan yang sudah tidak dikelola serta tidak ditanami oleh tanam
tumbuh dan telah ditinggalkan oleh penggarap sebelumnya, akan dapat dikelola
atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Pada Masyarakat Papua khususnya suku Muyu dalam proses pengerjaan


pembukaan lahan masyarakat Suku Muyu mengundang warga dan kerabat untuk
meminta izin akan membuka lahan dengan membaca mantera yang dibaca dalam
hati. Ini bukan hanya untuk membangun relasi dengan alam tapi juga menjaga
dan membangun silaturahmi antar warga suku.

Pemanenan dilakukan oleh warga kampung sementara pemilik hanya


mengawasi saja. Hasil-hasil panen dikumpulkan dan tidak boleh dilangkahi atau
diinjak, karena dia yang menghidupi, diangkut dengan baik ke rumah masing-
masing, dijunjung atau dijinjing oleh mama-mama, bukan kaum laki-laki. Karena
keladi dan kombili dalam adat mereka tinggi derajatnya maka hasil panen
tanaman tersebut lebih dahulu dibawa pulang dari pada sagu dan umbi-umbian
lainnya. Keladi dan kombili dianggap suci sehingga tidak boleh dijual, hanya
dibagi-bagi kepada warga Suku Muyu, menjualnya sama dengan hina, sebelum
dikonsumsi masyarakat harus memanjatkan do’a atas berkah dari hasil panen
tersebut.

Masyarakat Adat Penunggu yang memperoleh lahannya melalui


perjuangan dalam membangun dan menata kehidupan sosial komunal. Norma-
norma yang tertulis masyarakat Adat Penunggu juga memiliki norma-norma yang
lain yang mereka junjung tinggi dan dipraktikkkan dalam kehidupan sehari-hari,

136
misalnya selain iuran wajib masyarakat yang mempunyai hasil tani yang berlebih,
lewat organisasi memberikan bantuan pada masyarakat dalam komunitas mereka
yang sedang gagal panen. Hal ini dilakukan supaya tidak ada kesenjangan sosial
dan menjalin silaturahmi diantara masyarakat.

Pola gotong-royang dan relasi sosial di Bali, seperti pemaparan di atas


bahwa dalam budaya atau adat Bali sangat sulit membedakan, mana adat dan
mana agama. Kita melihat kesatuan kultur masyarakat yang lengkap, dimana
dimensi adat dan agama menyatu. Mungkin berlebihan kalau dalam Desa Adat
merupakan sistem yang sempurna, mulai dari pengaturan air yang dikelola dengan
sistem Subak, upacara adat dilakukan secara gotong-royong dan pembagian lahan
Desa Adat untuk anggota adat, menjadikan potret desa-desa adat di Bali menarik
sebagai sebuah kajian sekaligus referensi yang hidup bagaimana negara
mendistribusi lahan tanpa takut tertinggal dengan arus modernisasi.

Masyarakat Timor dalam pengelolaan lahannya dilakukan secara


kelompok atau dilakukan dengan gotong-royong. Kegiatan gotong-royong bukan
hanya waktu mengelola lahan saja pada waktu panen, misalnya panen pertama itu
hasilnya dibawa ke rumah besar. Setelah Petua Adat menikmati hasil panen itu
seluruh masyarakat boleh menikmati hasilnya.

4.3.7. Batas Wilayah Komunal dan Permasalahnnya


Batas wilayah pada masyarakat komunal saat ini memang belum ada data
yang otentik menyajikan informasi tersebut. Pendekatan pemetaan partisipatif
diyakini dapat memfasilitasi masyarakat komunal untuk mengenal dan
mendokumentasikan wilayah komunal mereka. Minimnya informasi tentang batas
wilayah komunal ini juga karena perbedaan wilayah administrasi(baik desa,
kecamatan, kabupaten maupun propinsi) dengan wilayah komunal, bahkan di
wilayah tertentu adat mereka juga masuk dalam wilayah negara lain.

Wilayah administrasi komunal berbeda dengan wilayah administrasi tata


pemerintah baik itu pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi.
Beberapa wilayah suku Dayak, misalnya ada wilayah komunalnya di wilayah
negara lain seperti Malaysia. Menurut wawancara dengan salah seorang pegiat

137
sumber daya alam regional, pada masyarakat Dayak di Kalimantan seringkali
wilayah komunalnya berada pada wilayah administrasi pemerintahan yang
berbeda. Hal ini seringkali menimbulkan perbedaan pendapat diantara masyarakat
komunal dengan pemerintah.

Dalam penentuan tata batas tidak hanya didasarkan pada tanda-tanda alam
tapi juga lebih dari itu, misalnya pada suku Dayak dalam menentukan batas
wilayah ini ditujukan untuk membangun kebersamaan (sense of
community) sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan
untuk mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material
well-being). Di lain pihak, pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga
dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai. Masyarakat Suku
Dani juga begitu, penghormatan terhadap wilayah adat suku lain bukan hanya
dilihat dari batas-batas fisik tapi juga batas spiritual dimana suku lain yang
mengakses, mengambil atau mengusahakan wilayah yang bukan wilayah sukunya
diyakini akan berdampak pada kehidupan mereka. Ini menunjukan betapa kearifan
budaya mereka begitu luhur dalam menghormati batas-batas wilayah suku
mereka.

Keterbatasan data dan informasi terhadap kepemilikan lahan komunal ini


berdampak pada status kepemilikan tanah komunal belum dapat dibuktikan
dengan dokumen seperti surat sertifikasi tanah oleh negara. Hal ini dikarenakan
data dan informasi yang ada hanya bersumber dari silsilah sejarah keberadaan
komunitas marga atau suku yang memiliki suatu wilayah, serta hanya didasarkan
pada batas-batas alam, yang seringkali tidak terdokumentasi dengan baik. Meski
demikian, hal ini semestinya tidak dijadikan alasan bagi perancang, perencana dan
pelaksana landreform untuk tidak mengakomodir pengakuan hak bagi
masyarakat-masyarakat komunal. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan
tata batas yang belum terdokumentasi dengan baik hanya menjadi permasalahan
masyarakat komunal saja, tapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah
dimana batas-batas dari pengelolaan agraria dalam berbagai fungsinya juga belum
selesai.

138
b. Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Tanah Komunal
di Indonesia.
Peran negara dalam pengelolaan sumber daya agraria sesuai Undang-
undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang kepada negara untuk:

d. mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
e. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
f. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Makna ”dikuasai oleh negara” di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
dijelaskan oleh Pasal 2 UUPA, sebagai ”Hak Menguasai Negara”, yang sesuai
dengan penjelasan Umum UUPA, istilah ”dikuasai” dalam pasal ini tidak berarti
”dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada
negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu.

Dalam konteks penyusunan kebijakan pengelolaan sumber daya agraria,


pemahaman tersebut harus sangat dipahami sehingga peran negara tidak sebatas
menjaga kawasan sesuai dengan kewewenangan yang dimilikinya, tapi mampu
memfasilitasi masyarakat agar dalam memanfaatkan dan mengelola lahan sumber
daya agraria lebih optimal.

5.2.1. Membangun Model Landreform di Indonesia.

Dari penelusuran data dan wawancara serta mengacu pada UUPA 1960
maka didapat gambaran awal pola landreform di Indonesia. Kesuksesan program
pembaharuan agraria dalam konteks landreform, salah satunya adalah pola dari
pelaksanaan landreform dan pilihan-pilihan operasionalisasinya. Kalau di
kelompokkan, maka ada 3 pola yang dapat dikembangkan yaitu:

139
a. Komunal
b. Individual
c. Campuran/modifikasi antara Komunal dan Individual
Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan maupun
pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua pilihan antara lain:

a. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang
dapat dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini
berfungsi sebagai kawasan perlindungan alam dan pemanfaatan
dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi alam, maka
peran negara dalam memantau akses dan melindungi kawasan menjadi
dominan. Misal pada kawasan taman nasional dan hutan lindung.
b. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga,
dengan didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku
pada masyarakat komunal.

4.3.8. Pengelolaan Lahan Komunal yang Sesuai dengan Karateristik


Masyarakat Indonesia, dalam Kerangka Optimalisasi Lahan.
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria
yang hanya berhenti pada masalah distribusi maupun redistribusi tanah, ternyata
menyebabkan produktivitas tanahnya cenderung menurun untuk beberapa tahun.
Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula
belum dipikirkan sejak awal (Bab 2, h.29). Oleh karena itu, hal ini disadari bahwa
program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program
pembaruan secara keseluruhan, termasuk di dalamnya program-program pasca
landreform (antara lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan dan latihan,

140
teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “landreform” plus program-program
penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian diberi istilah dalam bahasa
Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang berusaha menerapkan pembaruan
agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an
(King, 1977:34).

Pendapat yang ada dalam Napiri M, (Bab 2, h.31), menyampaikan ada 5


(lima) tujuan utama yang hendak dicapai dari program landreform plus yang akan
dilaksanakan pemerintah melalui pelaksanaan Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) dengan komponen asset reform, access reform yang kemudian
diistilahkan dengan “Landreform Plus”, yaitu:

1) Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan


penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih
berkeadilan sosial,
2) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnya kaum tani
dan rakyat miskin di pedesaan,
3) Mengatasi pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang
pertanian dan ekonomi pedesaan,
4) Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik,
dan
5) Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untuk mengatasi sengketa dan
konflik agraria.
Selain lima tujuan di atas, pemerintah juga menyatakan bahwa
pelaksanaan PPAN diharapkan juga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan
energi, serta dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian dan keberlanjutan
lingkungan.

Menurut wawancara dengan pegiat pembaharuan agraria nasional,


program pembaharuan agraria khususnya landreform di Indonesia dari sisi
produktivitas tanah pasca landreform, dalam rumus kepala BPN bahwa reforma
agraria itu sama dengan landreform + akses reform (Bab 4, h.106). Ketika
penataan strutur tanah sudah selesai ketika petani dipastikan punya tanah dan kita
berharap pemilikan, penguasaan dan pemilikan tanah ini secara kolektif atau

141
secara bersama misalnya untuk menghindari jual beli atau lepasnya tanah dari
rakyat miskin atau menghindari dari spekulasi komoditisasi atau komersialisasi
tanah. Landreform dapat selesai, tapi reforma agraria belum selesai. Hal ini dapat
terjadi karena tanah yang sudah didistribusikan/redistribusikan kepada masyarakat
itu belum tentu atau tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang menerima tanah, belum tentu dan tidak otomatis. Oleh karena itu, diperlukan
sejumlah input istilah Wiradi (guru besar Agraria IPB), berupa input-input pasca
landreform berupa sarana dan prasarana pendukung terhadap tanah.

Pendapat pegiat pembaharuan agraria nasional, mengatakan model


pengelolaan lahan komunal yang sesuai dengan karateristik masyarakat Indonesia,
dalam kerangka optimalisasi lahan dan beberapa contoh input-input yang
mendukung landreform, idealnya program landreform itu merupakan satu
program yang tidak hanya pembagian lahan. Banyak dimensi yang harus
medukung kebijakan ini misalnya kebijakan pemerintah terkait dengan akses
pasar dan perlindungan produk-produk pertanian, ketersediaan fasilitas yang
mendukung dalam usaha pertanian seperti teknologi, dan fasilitas pendukungnya
(Bab 4, h.84). Sementara itu, permasalahan-permasalahan pupuk dan dan faktor-
faktor produksi yang lain terus diupayakan melalui pengetahuan-pengetahuan
yang berkembang di masyarakat yang terus digali dan diakui keberadaannya.
Seperti perlindungan produk-produk bibit unggul yang ditemukan atau dimiliki
petani dan semacamnya.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan


komunal ini kalau bicara produktif, tentu sangat produktif. Dalam usaha-usaha
pertanian modern yang biasanya dilakukan oleh sektor swasta juga sangat efektif.
Sekarang tinggal bagaimana landreform dibangun dengan pendekatan-pendekatan
yang lebih komprehensif atau menyeluruh atau bagaimana hulu-hilir ini dapat
bertemu sehingga tujuan akhir dari landreform, bahwa tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan itu akan terwujud. Ketakutan-ketakutan bahwa masyarakat adat
yang masih subsisten tidak perlu lagi, karena telah ada kesempatan komunitas-
komunitas masyarakat untuk dapat ikut mengelola secara kolektif, dan hal ini
justru lebih efektif dalam pengelolaan lahan.

142
Pendapat serupa juga disampaikan oleh penggiat masyarakat adat
nusantara, bahwa salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
adalah kegotong-royongan, fakta itu dapat dibuktikan dalam berbagai tradisi dan
budaya masyarakat di berbagai pulau di Indonesia. Ia menegaskan lagi bahwa,
sesuatu yang khas dan jarang dimilki oleh komunitas masyarakat di negara lain
adalah kehidupan sosial bersama pada masyarakat Indonesia. Gotong-royong
tidak hanya dikenal pada masyarakat Jawa, di Bali misalnya pengelolaan lahan
dilakukan secara bersama-sama, bahkan masyarakat Dayak di pedalaman
Kalimantan dalam pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-sama, mereka
juga tinggal secara bersama di rumah Betang. Masyarakat di pulau Papua juga
hidup berkelompok.

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan
Dari kajian literatur dan wawancara yang telah dilakukan, maka
penelitian ini menyimpulkan beberapa poin penting yang sangat mendasar
kenapa pembangunan ekonomi di Indonesia seperti tidak tahu arah, proses
pembangunan berjalan tetapi transformasi sosial untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat tidak terjadi. Hal ini dikarenakan persoalan

143
pembaharuan agraria dengan perangkat kebijakannya yang dikenal dengan
UUPA 1960 tidak dijalankan dalam operasionalisasinya.

Saat ini tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi, peluang-


peluang untuk menciptakan lapangan kerja rendah dan akhirnya jadi masalah
yang tak pernah berakhir dan terselesaikan secara tuntas. Salah satu akar
masalah kemiskinan yaitu akses dalam pengelolaan sumber daya agraria,
khususnya tanah tidak diberikan keleluasaan yang besar kepada rakyat untuk
diolah, dikelola dan diusahakan demi mencukupi kehidupannya. Sementara
kebijakan-kebijakan yang dijalankan sekarang ini dalam upaya
menyelesaikan permasalahan kemiskinan, hanya terbatas pada penanganan
dampak-dampak dari kemiskinan, bukan pada akar masalah dari kemiskinan,
bahkan bukannya mencari penyebab kemiskinan itu sendiri, tapi malah
menggusur, mengusir dan menyingkirkan orang-orang miskin yang memang
sudah tak berdaya.

Hal tersebut disebabkan adanya distorsi pemahaman hak negara untuk


menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber dari pasal 33
ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara tersebut bukan hak pemilikan
dari negara, seperti asas domain, tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum
adat. Dalam kaitanya dengan itu, negara diberi wewenang untuk mengatur
antara lain kekayaan untuk menyejahterakan rakyat, antara lain dengan
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air,
serta ruang angkasa (lihat pasal 2 UUPA).

Konflik agraria di Indonesia berpotensi menjadi masalah sosial yang


laten, bergejolak sporadis dan sulit untuk diselesaikan dengan tuntas, akibat
ketimpangan akses masyarakat dalam penguasaan dan pengusahaan tanah.
Ketidakjelasan status kepemilikan dan pengusahaan tanah menjadikan
masyarakat mempunyai posisi tawar yang lemah (powerlessness) baik di
hadapan negara maupun sektor swasta. Hal tersebut yang mendasari kenapa
pelaksanaan program pembaruan agraria menjadi agenda yang mendesak
untuk segera dilaksanakan.

144
Pembaharuan agraria sebagai fondasi pembangunan yang dimaksud
adalah pembaharuan agraria selain sebagai cara mendistribusi sumber daya
agraria secara adil, juga memberikan kepastian hukum bagi berbagai pihak
terhadap kepemilikan, pengelolaan dan penggunaan sumber daya agraria.
Pembaharuan agraria itu didefinisikan sebagai upaya untuk meletakkan dasar
bagi pembangunan nasional yang lebih lanjut. Pembaharuan agraria juga
dasar atau fondasi bagi dijalankannya pembangunan nasional, termasuk
didalamnya industrialisasi nasional dimana peran masyarakat dominan.
Sementara, kejelasan status kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan
merupakan bagian dari jaminan kepastian investasi bagi sektor swasta dan
bagi masyarakat ada kepastian hak sehingga mereka tidak tergusur oleh
sebuah proses pembangunan.

Dalam konteks operasionalisasinya seluruh kebijakan Pembaharuan


Agraria khususnya landreform, seharusnya memiliki koneksitas yang kuat
antara model yang dirancang dengan kondisi sosial ekonomi, politik dan
budaya yang ada di dalam masyarakat. Tanpa ada koneksi itu, tanpa melihat
keragaman sosial, ekonomi, politik dan budaya, maka dapat dipastikan bahwa
program itu akan gagal atau tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ada
empat faktor yang dapat menjadi bahan pertimbangan penting yaitu adanya
“Kemauan politik” dari pemerintah, adanya Organisasi Rakyat, khususnya
organisasi tani yang kuat dan pro-reform, adanya data mengenai keagrariaan
yang lengkap dan teliti, dan kondisi elit penguasa yang terpisah dari elit bisnis
(Aparat birokrasi, bersih, jujur dan “mengerti”). Faktor lain yang juga
menentukan kesuksesan program pembaharuan agraria dalam konteks land
reform adalah desain dari pelaksanaan landreform dan pilihan-pilihan
operasionalisasinya.

Jika dikelompokkan setidaknya ada 3 pola yang dapat di kembangkan


yaitu: (a). Komunal, (b). Individual, (c). Campuran/modifikasi antara
Komunal dan Individual. Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan,
pengusahaan maupun pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua
pilihan antara lain:

145
c. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang
dapat dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini
berfungsi sebagai kawasan perlindungan alam dan pemanfaatan
dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi alam, maka
peran negara dalam memantau akses dan melindungi kawasan menjadi
dominan. Misal pada kawasan taman nasional dan hutan lindung.
d. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga,
dengan didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku
pada masyarakat komunal.

Model kepemilikan komunal yang didesain idealnya mampu


memformulasikan dan mewadahi kepentingan berbagai sektor dan para
pemangku kepentingan (stakeholder) sehingga model idealnya harus:

a. Adaptif pada kepentingan masyarakat komunal (Adat)


b. Adaptif pada proses pembangunan
c. Adaptif terhadap individu-individu yang ingin mengukuhkan
kepemilikan secara komunal.
d. Adaptif terhadap perkembangan sektor swasta

Minimnya data yang dapat menyediakan informasi terhadap


kepemilikan lahan komunal ini berdampak pada status kepemilikan tanah
komunal tidak dapat dibuktikan dengan materi empiris baik berupa berkas-
berkas dokumen seperti surat sertifikat tanah oleh Negara. Hal ini disebabkan,
informasi yang menyajikan kebutuhan data tersebut hanya bersumber dari
silsilah sejarah keberadaan komunitas marga atau suku yang memiliki suatu
wilayah dan hanya didasarkan pada batas-batas alam, yang seringkali tidak
terdokumentasi dengan baik. Meski demikian, hal ini semestinya tidak

146
dijadikan alasan bagi perancang, perencana dan pelaksana landreform untuk
tidak mengakomodir pengakuan hak bagi masyarakat-masyarakat komunal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan tata batas yang belum
terdokumentasi dengan baik bukan hanya menjadi permasalahan masyarakat
komunal saja, tapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dimana
batas-batas dari pengelolaan agraria dalam berbagai fungsinya juga belum
selesai.

Hal tersebut yang mendasari perlu adanya pengakuan keberadaan dan


wilayah teritori dari masyarakat, komunal/adat (recognize) karena jauh
sebelum negara ini ada dan berbagai kebijakan pemerintah melalui undang-
undang, masyarakat sudah tinggal di suatu kawasan secara turun-temurun.
Selain itu, mereka juga telah mempunyai seluruh perangkat yang mengatur
pengelolaan sumber daya agraria yang mereka miliki. Meski demikian
kebijakan pengakuan terhadap bentuk-bentuk kelola masyarakat khususnya
pada sitem komunal akan sulit terjadi jika tidak ada payung hukum yang
melindungi sistem ini.

Undang-undang Dasar 1945 amendment IV pada pasal 18B butir 2


menjelaskan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara
pasal 28C butir 2 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya. Sementara dalam UUPA 1960 pada pasal 3 UUPA
hanya mencantumkan redaksi ”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi” ini
yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan dan selayaknya UUPA dapat

147
memperjelas maksud dari UUD 1945 khususnya amendment IV pada pasal
18B butir 2.

Seperti disampaikan oleh PBB dalam The Human Development


Report 1996 bahwa buah dari pembangunan justru menghasilkan: Job-less
growth, Ruth-less growth, Root-less growth, Voice-less growth, Future-less
growth. Berdasarkan hal tersebut maka pembaharuan agraria khusunya
landreform harus dapat menjawab semua persoalan di atas, sehingga pola
kepemilikan komunal yang berbasis adat dantradisi kearifan lokal, hendaknya
terus diupayakan untuk dilindungi dan dikembangkan kualitasnya guna
mewujudkan pembangunan yang ber sosial.

6.2. Rekomendasi
Dari temuan lapangan, pembahasan dan berdasarkan pada kajian
pustaka yang dilakukan maka, penelitian ini merekomendasikan beberapa
poin terkait dengan pilihan kebijakan landreform pada pola komunal antara
lain :

1. Keanekaragaman pola pengelolaan tanah di Indonesia khususnya pada


pola-pola komunal menjadikan tidak mudahnya pelaksanaan landreform
khususnya operasionalisasi landreform sehingga perlu kajian pilihan
model landreform yang tidak hanya mendistribusi aset tapi juga
memberikan kepastian hukum dan perlidungan terhadap masyarakat.
Selain itu kebijakan landreform harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan
di sektor lain yang mendorong pertumbuhan dunia usaha pertanian seperti
perlindungan produk dan pengelolaan akses pasar baik nasional maupun
internasional, sarana dan sarana pertanian dari mulai irigasi dan akses
transportasi dan sektor-sektor yang mendukung lainnya.
2. Program pembaruan agraria harus memperbaiki kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial. Model pembaruan agraria harus dapat menghadirkan
pemenuhan hak azasi manusia baik itu hak politik, hak ekonomi maupun
hak sosial dan budaya. Yang juga harus diperhatikan bagi perancang,

148
perencana dan pelaksana pembaruan agrarian adalah bagaimana
landreform memberikan pemenuhan harga diri, harkat dan martabat
(human dignity) serta hak sosial-budaya.
3. Tidak adanya payung kebijakan nasional yang menjadi acuan terhadap
setiap kebijakan yang dilahirkan dalam pengelolaan sumber daya agraria
sehingga diperlukan segera untuk memperkuat posisi UUPA dalam
berbagai kebijakan nasional.
4. Perlu studi-studi tentang model-model pelaksanaan landreform khususnya
pada pola kepemilikan komunal dengan mengkaji lebih dalam tentang
kondisi sosial ekonomi, sosial politik dan budaya. Studi-studi tersebut
dalam upaya mendukung informasi dan keberhasilan program landreform
pada pola-pola komunal maka penggalian silsilah kepemilikan hak atas
suatu kawasan yang merupakan lokasi hidup komunitas adat setempat
melalui proses penelitian dan kajian sosial budaya.
5. Perlu dilakukan pemetaan wilayah kepemilikan berdasarkan komunitas
suku maupun marga untuk memastikan batas-batas wilayah antar suku
maupun marga. Pemetaan ini dilakukan dengan metode partisipatif
sehingga pengakuan satu wilayah tidak menjadi konflik dengan komunitas
komunal yang lain.
6. Pilihan Kebijakan Landreform di Indonesia Pada Pola Kepemilikan
Komunal adalah sebagai berikut:
A. Recognize (pengakuan terhadap tanah yang dimiliki secara
komunal/adat/ulayat) oleh Negara,
Dilakukan ketika seluruh prasyarat sudah dimiliki oleh satu komunitas
komunal, sehingga pemerintah tinggal memberikan pengakuan
terhadap wilayah komunal tersebut.
B. Recognize + Distribusi untuk komunal,
Dilakukan pada wilayah komunal yang memiliki lahan terbatas dan
tidak lagi mampu memberi jaminan akses bagi seluruh anggota
komunitas komunal. Sehingga perlu diberikan lahan tambahan dari
lahan yang dikuasai negara untuk didistribusikan.
C. Recognize + Redistribusi untuk komunal,

149
Dilakukan ketika satu wilayah komunal yang dimiliki terbatas
sementara sebagain lahan komunal dikelola oleh negara atau swasta.
Sehingga pemerintah berkewajiban untuk meredistribusi lahan
tersebut.
D. Konsolidasi.
Satu komunitas yang tinggal di satu tempat, karena kondisi politik
ekonomi, sosial ekonomi, sosial budaya , membuat mereka melakukan
pengelolaan secara bersama. Dalam konsolidasi ini sertifikat bisa
individu bisa komunal sesuai dengan klaim yang ajukan.

Rinciannya dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel: 6.1. Rekomendasi


Pilihan Kebijakan Landreform di Indonesia Pada Pola Kepemilikan Komunal

Model Land Reform


No Ciri-ciri Yang Dimiliki Program Ikutan
Pola Komunal
1 Recognize (pengakuan a. Satu komunitas yang tinggal a. Sertifikasi lahan
terhadap tanah yang di satu tempat secara turun- komunal.
dimiliki secara temurun dan memiliki b. Dukungan
komunal/adat/ulayat) keterkaitan sejarah dengan dokumentasi tata batas
oleh Negara. lahan. (partisipatif).
b. Adanya satu sistem, c. Intervensi
seperangkat aturan, yang kelembagaan berbasis
menjamin distribusi lahan norma dan nilai-nilai
bagi komunitasnya. lokal.
c. Adanya seperangkat nilai d. Dukungan akses
atau norma yang dapat pasar/dan pelindungan
dijadikan acuan untuk untuk komoditi dan
menyelesaikan konflik hasil budidaya.
kepemilikan, pengelolaan
dan pengusahaan lahan.
d. Adanya kelembagaan yang
menjalankan dan menjaga
norma dan aturan yang ada.
e. Memiliki model kelola yang

150
mapan.
f. Adanya relasi sosial yang
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
g. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
h. Kecukupan sumber daya
lahan yang dikelola.

2 Recognize + distribusi a. Satu komunitas yang tinggal a. Sertifikasi lahan


untuk di satu tempat secara turun- komunal.
komunal( pengakuan temurun dan memiliki b. Dukungan
terhadap tanah yang keterkaitan sejarah dangan dokumentasi tata
dimiliki secara lahan. batas(partisipatif).
komunal/adat/ulayat b. Adanya satu sistem, c. Intervensi
dibarengi dengan seperangkat aturan, yang kelembagaan berbasis
pembagian tanah menjamin distribusi lahan norma dan nilai-nilai
negara). bagi komunitasnya. lokal.
c. Adanya Kelembagaan yang d. Dukungan akses
menjalankan dan menjaga pasar/dan pelindungan
norma dan hukum yang ada. untuk komoditi dan
d. Memiliki model kelola yang hasil budidaya.
mapan.
e. Adanya relasi sosial yang
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
f. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
g. Kecukupan sumber daya
lahan terbatas.
h. Ada ketersediaan lahan di
luar hak milik komunitas
komunal.

3 Recognize + Redistribusi a. Satu komunitas yang tinggal a. Sertifikasi lahan


untuk komunal di satu tempat secara turun- komunal.

151
(pengakuan terhadap temurun dan memiliki b. Dukungan
tanah yang dimiliki keterkaitan sejarah dangan dokumentasi tata
secara lahan. batas(partisipatif).
komunal/adat/ulayat b. Adanya satu sistem, c. Intervensi
dibarengi dengan seperangkat aturan, yang kelembagaan berbasis
pengembalian/pembagian menjamin distribusi lahan norma dan nilai-nilai
tanah yang pernah bagi komunitasnya. lokal.
dikelola oleh negara atau c. Adanya kelembagaan yang d. Dukungan akses
swasta) menjalankan dan menjaga pasar/dan pelindungan
norma dan hukum yang ada. untuk komoditi dan
d. Memiliki model kelola yang hasil budidaya.
mapan.
e. Adanya relasi sosial yang
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
f. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
g. Kecukupan sumber daya
lahan terbatas, sebagain
lahan yang pernah dikelola
telah dikelola oleh
pemerintah atau pihak
swasta.

4 Konsolidasi a. Satu komunitas yang tinggal a. Sertifikasi lahan dapat


di satu tempat, karena individu dapat
kondisi politik ekonomi, komunal.
sosial ekonomi, sosial b. Dukungan
budaya , membuat mereka dokumentasi tata
melakukan pengelolaan batas(partisipatif).
secara bersama. c. Intervensi
b. Adanya satu sistem, kelembagaan berbasis
seperangkat aturan, yang norma dan nilai-nilai
menjamin distribusi lahan komunal.
bagi komunitasnya. d. Dukungan akses
c. Adanya kelembagaan yang pasar/dan pelindungan
menjalankan dan menjaga untuk komoditi dan
norma dan hukum yang ada. hasil budidaya.
d. Memiliki model kelola yang e. Dukungan akses

152
mapan. pendanaan kredit/mitra
e. Adanya relasi sosial yang kerja.
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
f. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
g. Kecukupan sumber daya
lahan terpenuhi.

Hasil studi ini merupakan penelitian awal untuk menyusun panduan dalam
menentukan kriteria-indikator/ciri-ciri kepemilikan komunal, untuk dikenali dan
mendapat pengakuan atau perlindungan dari negara. Sehingga perlu ada studi
lebih mendalam dan empiris terkait dengan ciri-ciri pengelolaan komunal. Studi
lain yang juga diperlukan adalah menguji hasil penelitian ini dalam
menyempurnakan pendekatan penilaian.

153
PUSTAKA

I. Buku-Buku
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar. (Edisi
Revisi). Jakarta : PT Rineka Cipta
Colchester, Marcus; Jiwan, Norman; Andiko; Sirait, Martua ; Firdaus, Asep
Yunan; Surambo,A.; Pane, Herbert. (2006). Tanah yang Dijanjikan:
Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia–Implikasi terhadap
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Bogor: Forest Peoples
Programme, Perkumpulan Sawit Watch, HuMA dan the World
Agroforestry Centre.
Eko Sutoro, Chandra Ade, Hudayana Bambang , Widiputranti Sri Cristine,
Sadhan Gregorius, Hostowiyono, M.Borori, Marliyantoro Oelin,
Purwanto, Aksa Sahrul, Suharyanto, Sumarjono, dan Murdiyanto Hari
Widyo. (2005).Manifesto Pembaharuan Desa. Yogyakarta: APMD Press,
Fakih, Mansoer. (2002). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Jogjakarta: INSIST PRESS
FAO. (2002). Land Tenure and Rural Development. Roma: Food and
Agriculture Organization
Fauzi, Noer. (1999). Petani dan Penguasa “Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia” Yogyakarta: INSIST, KPA & Pustaka Pelajar.
Gerrish, Kate & Lacey, Anne. (2010). The Research process in Nursing.
(Sixth Edition). Singapore. Blackweell Publishing Ltd,
Haar, B.Ter. (1981). Asas ? Asas dan Sunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Harsono. (1973). Hukum Agraria Indonesia. (Bagian Pertama, Jilid I).
Jakarta: Penerbit Djambatan,
Mantra. (2004). Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk ilmu-ilmu
sosial, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.
King, Russel. (1977). Land Reform : A World Survey. Colorado : West New
Press, Boulder.
Korten, C David. (1993). Menuju Abad ke-21 “Tindakan Sukarela dan
Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

154
LIPTON, Michael .(1974).: "Towards a Theory of Land Reform" dalam David
Lehmann (ed) (1974): Agrarian Reform and Agrarian Reformism. London.
Faber & Faber.
Tokede,Max J.; Wiliam, Dede; Widodo; Gandhi, Yosias; Imburi, Christian;
Patriahadi; Marwa, Jonni;Yufuai, Martha Ch.(2005). Dampak Otonomi
Khusus di Sektor Kehutanan “Papua Pemberdayaan Masyarakat Hukum
Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari” Bogor :
Center for International Forestry Research
Midgley, James. (2005). Pembangunan Sosial : Perspektif Pembangunan
dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Ditperta Islam Departemen Agama
RI
Moleong, J. Lexy. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi.)
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, J.Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ndraha, Taliziduhu, (1990). Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta : Rineka Cipta
Noveria, Gayatri, & Mashudi, (2004). Berbagi Ruang dengan Masyarakat :
Upaya Resolusi Konflik Sumberdaya Hutan di Kalimantan Tengah.
Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI,
Salim, Agus .(2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogya : PT.
Tiara Wacana,
Sen, Amartya .(2000). Development As Freedom New Delhi, : Oxford
Universiyt Press
Suharto, Edy. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik Bandung:
Alfabeta,
Sumardjono. (2005). Kebijakan pertanahan: antara regulasi dan
implementasi Jakarta: Kompas
Todaro & Smith. (2006). Pembangunan Ekonomi, Edisi 9, Jilid 1 (Haris
Munandar, Penerjemah). Jakarta : Erlangga.
Warriner, Doreen (1969). Land Reforms in Principle and Practice. Oxford:
Oxford University Press.
Wiliam, (2005). Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di
Kabupaten Manokwari. Bogor : Center for International Forestry Research
Wiradi, Gunawan .(2000). Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum
Berakhir. Yogyakarta: INSIST Press

155
II. DOKUMEN
Affandi, Oding & Harianja, Alfonsus H (2008) Sistem Tenurial dan
Pengelolaan Lahan Secara Kolaboratif. Centre of Forest and Nature
Conservation Research and Development (CFNCRD) and International
Tropical Timber Organization (ITTO)
Andasputra, N. Bamba, J, Petebang, E. 2001. Pelajaran dari Masyarakat
Dayak: Gerakan Sosial dan rekonsoliasi Ekologi di Kalimantan Barat.
WWF-Biodeversity Support Program (BPS) and Institute Dayakologi.
Pontianak
Admajaya, (1998). Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan
Problema Pembangunan Masyarakat Admajaya dan Puslitbang Badan
Pertanahan Nasional. Jakarta.
BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin, No.
04/Th.II/9, July, Jakarta: BPS.
Laboratorium Kebudayaan Papua Dinas Kebudayaan Propinsi Papua
Sinambela (1997) Analisis Kebijakan Publik Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum di DKI Jakarta. Depok. FISIP Universiatas Indonesia

III. ARTIKEL
Abna Bachtiar & Sulaiman, Dt. Rajo (2007). Pengelolaan Tanah Negara dan
Tanah Ulayat .Masukan Dalam Lokakarya Regional Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM): Sumatera Barat
Padang.
Budiantoro, Setyo.(2003, 29 November). Manusia, Kebebasan, dan
Pembangunan Artikel Sinar Harapan.
Munsi Lampe .( 2006, Agustus10). “Kearifan Lingkungan dalam Wujud
Kelembagaan, Kepercayaan/Keyakinan, dan Praktik” Laboratorium
Jurusan Antropologibekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH) Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Napiri, M Yusup;Sohibuddin, Mohamad ;Nurdin, Iwan; Syahyuti (2006).
Reforma Agraria: Kepastian Yang Harus Dijaga. Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP)
Widiowati, Didiet. (2009). Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI
Wiradi, Gunawan. (2001, 20-23 Agustus). Reforma Agraria Sebagai Basis
Pembangunan. Makalah Seminar dan Lokakarya: "Arah Kebijakan
Nasional Mengenai Tanah dan Sumberdaya Alam Lainnya",

156
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA)
bekerjasama dengan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumberdaya Alam
(Pokja PSDA) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Bandung.

IV. JURNAL
Budiantoro, Setyo (2003). Manusia, Kebebasan, dan Pembangunan. Jurnal
Ekonomi Rakyat. November.
Cholid Sofyan. (2006).“Redistribusi Tanah Dalam Usaha Pengentasan
Kemiskinan Masyarakat Petani” Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jilid
4, Nomor 2, , 166-187.
Irma Yeny (2007). Implikasi Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Hutan
Alam Produksi di Papua. Jurnal Info Sosial Ekonomi, Vol 7 No 1.
Muh. Abdul Halim, S.E. (2006). Mengkaji Peran Negara Dalam
Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia Jurnal Equilibrium –
STIE Ahmad Dahlan Jakarta. September-Desember
Ngalo (1997). Hak Atas Tanah : Luka Sejarah Anak Suku Pedalaman
"Sebuah Catatan Masyarakat Adat di Indonesia Timur" Wacana No. 1.
September - Oktober
Tjondronegoro, S.M.P. (1996). “Tanah : Aset Utama Pembangunan” Jurnal
Analisis Sosial AKATIGA Edisi 3. Juli.
Wiradi, Gunawan (1996). “Jangan Pelakukan Tanah Sebagai Komuditi”
Jurnal Analisis Sosial AKATIGA Edisi 3. Juli.

V. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Arkanudin,( 2009, 30 Maret) Resolusi Konflik Pertanahan Berdasarkan
Pranata Adat. http://www.unka.ac.id/
Basuki (2007) Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Antara
Regulasi dan Implementasi). http://eprints.undip.ac.id/6723/
Brahmandita , Nyoman (2010). Kebuntuan Landreform Jebol: Menuju
Reforma Agraria. http://www.kpa.or.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=490&Itemid=107
Chasan . (2008, 8 Agustus, ) Dari Development Menjadi Empowerment.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080808105753
Definisi Komunal. http://www.artikata.com/arti-335890-komune.php

157
Wahab, Oki Hajiansyah. (2000, 24 Maret).Reforma Agraria: Isu dan
Kebutuhan.http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?
id=2009032406414764 Selasa,
Land Management and Policy Development Projek. Penyederhanaan
Perangkat Penguasaan Tanah. (2007, 29 Agustus)
http://www.landpolicy.or.id/kajian/13/
Mampioper, Dominggus A. (2008, 4 Agustus). Kelunturan Nilai Adat
Masyarakat Papua. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=26&jd=Kelunturan+Nilai+Adat+Masyarakat+Papua&dn=2008080413
0004

Rahman ,Taufik. (2007 19 Juli). Memulai Bisnis Sawit di Tanah Papua.


Lingkar Studi CSR Jakarta, www.csrindonesia.com
Saptomo, Ade.(2004). Potensi Lokal dalam Penguasaan Tanah dan
Pemanfaatan Sumber Alam. Makalah pada International Conference on
Land and Resource Tenure in Changing. http://www.huma.or.id
Soetarto, Endriatmo (2006,18, Desember) . Perlunya Konsensus Reforma
Agraria ala Indonesia
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/12/18/Opini/krn,20061218,
53.id.ht
Sylviani. (2005) Kajian Sistem Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Adat
Info Sosial Ekonomi : Volume 5 No.2 ; Halaman 171-
185. ,http://puslitsosekhut.web.id/download.php?
page=publikasi&sub=info&id=62
UN. (1996). Human Development Report Growth for human development.
http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1996_en_overview.pdf “
Dt. Rajo Bagindo.Yulizal Yunus (2010). Kepemimpinan Minangkabau
http://artnculture.ilmci.com/kepemimpinan-minangkabau
VI. Undang-Undang dan Kebijakan Negara
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke 4
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang “ Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria”
Pereturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang “Pengusahaan Tanah-tanah
Negara”

158
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang “Pendaftaran Tanah”
Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, tentang : "Pelaksanaan konversi
hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan tentang
kebijaksanaan selanjutnya".

159

You might also like