Professional Documents
Culture Documents
Kata kunci dalam ayat ini adalah wadhribuhunna, yang diartikan oleh
Ahmed Ali sebagai "dan pergilah ke tempat tidur dengan mereka", berlawanan
dengan semua penerjemah lain yang menerjemahkannya "dan pukullah mereka".
Untuk pengertiannya yang tidak umum ini, Ahmed Ali merujuk pada al-Mufradat
fi Gharibil Quran karya Imam Raghib al-Isfahani, salah seorang leksikograf
Alquran yang termasyhur. Dalam kamus itu, Ahmed Ali menemukan bahwa kata
dharaba secara metaforis berarti melakukan hubungan seks.
Seperti halnya jenis nusyuz istri, jenis nusyuz suami juga bisa
bermacam-macam, di antaranya suami bersikap keras yang tidak proposional
terhadap istrinya, atau menganggap sepi atau merendahkan istrinya, atau
tidak memberikan nafkah batin tanpa ada alasan yang benar, atau berpoya-poya
dengan perempuan lain yang bukan istrinya. Mungkin karena kondisi tubuh
perempuan pada umumnya lebih lemah ketimbang laki-laki, maka Alquran
menganjurkan kepada para istri yang suaminya melakukan nusyuz untuk
mengadakan perjanjian damai dengan suaminya guna kebaikan mereka berdua.
Adapun isi perjanjiannya diserahkan kepada hasil rembukan antara suami-istri
tersebut. Alquran menyatakan, "Dan jika seorang perempuan khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS 4: 128).
Akan tetapi, pendapat bahwa fahisyah dalam ayat ini sama dengan zina,
tampaknya kurang tepat. Hal ini diakibatkan oleh pemahaman dan penafsiran
Alquran yang dilakukan secara parsial, dengan menggunakan metode yang lazim
disebut metode penafsiran tahlili atau tajzi`i. Salah satu ciri metode ini
ialah menjadikan teks sebagai fokus perhatian. Dalam menganalisis suatu
kasus, perhatian utama langsung tertuju kepada teks yang tersedia, karena
pada umumnya konsep perintah dan larangan (khithab) dalam Alquran
menggunakan bentuk (sighah) umum, meskipun ayat itu diturunkan oleh suatu
sebab khusus. Akibatnya, mereka kehilangan konteks mengenai makna suatu ayat
ketika ayat itu diperbandingkan dengan ayat-ayat lain yang sejenis.
Ada sebuah hadis yang menyuruh suami untuk berlaku manis terhadap
istri, dengan memisalkan istri seperti sebuah tulang rusuk. "Sesungguhnya
perempuan (istri) diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika kalian
mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka
kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok." (HR Bukhari).
Bentuk tulang rusuk yang melengkung memang sudah selaras dengan tujuan
terciptanya tulang rusuk itu, yaitu untuk menyangga organ dalam tubuh
seperti jantung dan paru-paru. Demikian pula terciptanya kaum perempuan yang
dikatakan seperti tulang rusuk. Untuk membuat mereka mempunyai karakter yang
sama seperti karakter yang dikehendaki oleh kaum laki-laki adalah sama
dengan mematahkannya. Beberapa pemikir Muslim menanggapi tulang rusuk
sebagai asal-usul perempuan sebagai berikut: "Tulang rusuk yang bengkok
harus dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadis
tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak
sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum
laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah
karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok." (Lihat M.
Quraish Shihab, ibid., hlm. 271).