You are on page 1of 5

Benarkah Islam "Menganiaya" Perempuan (2)

Oleh RACHMAT TAUFIK HIDAYAT


KARENA itu, tidak mengherankan bila ada salah seorang penerjemah
Alquran dari kalangan modernis, Ahmed Ali, yang tidak setuju dengan
pandangan yang menyatakan bahwa pemukulan badan boleh dilakukan terhadap
perempuan, dan menegaskan bahwa Alquran tidak pernah mengizinkan pemukulan
terhadap istri sendiri. Dia menerjemahkan surat an-Nisa` ayat 34 tersebut
sebagai berikut, "Mengenai perempuan yang dikhawatirkan menentang (nusyuz),
bicaralah dengan mereka secara baik, kemudian tinggalkan mereka sendirian
(tanpa menganiaya mereka), dan wadhribuhunna (pergilah ke tempat tidur
dengan mereka [jika mereka menginginkan])."

Kata kunci dalam ayat ini adalah wadhribuhunna, yang diartikan oleh
Ahmed Ali sebagai "dan pergilah ke tempat tidur dengan mereka", berlawanan
dengan semua penerjemah lain yang menerjemahkannya "dan pukullah mereka".
Untuk pengertiannya yang tidak umum ini, Ahmed Ali merujuk pada al-Mufradat
fi Gharibil Quran karya Imam Raghib al-Isfahani, salah seorang leksikograf
Alquran yang termasyhur. Dalam kamus itu, Ahmed Ali menemukan bahwa kata
dharaba secara metaforis berarti melakukan hubungan seks.

Asghar Ali memberikan komentar terhadap penafsiran ini, "Saya ragu


bahwa para mufasir klasik akan menerima penafsiran semacam ini. Bahkan
Maulana Azad yang merupakan pelopor besar hak-hak perempuan, menerjemahkan
wadhribuhunna sebagai "dan pukullah mereka" dan menambahkan dalam tanda
kurung "tanpa menyakiti mereka dan hanya sebagai peringatan." (Asghar Ali
Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Bentang, Yogyakarta, 1994, hlm.
68).

Menurut Zamakhsyari, ayat wadhribuhunna bukanlah dimaksudkan untuk


mendorong pemukulan terhadap perempuan (istri), melainkan untuk mencegah
para suami agar tidak melakukan kekerasan terhadap istri mereka, dan bahkan
secara bertahap menghapuskannya. Sebagaimana kita ketahui, pemukulan
terhadap istri sangat umum terjadi pada masa Nabi. Asma' binti Abu Bakar
adalah istri keempat Zubair bin Awwam yang biasa memukul istri-istrinya
dengan kejam. Suatu kali dia berkata kepada suaminya itu dengan mengutip
sebuah hadis Nabi yang menganjurkan "agar kamu jangan memukul mereka yang
berada di bawah kekuasaanmu, karena kekuasaan Allah atasmu jauh lebih besar
dari kekuasaanmu atas bawahanmu."

Persoalannya bagaimana kalau nusyuz itu dilakukan oleh seorang suami?


Bagaimana jenis nusyuz suami itu? Apakah tindakan yang dilakukan oleh suami
terhadap istrinya yang berbuat nusyuz, boleh juga diterapkan oleh istri
kepada suaminya yang berbuat nusyuz?

Seperti halnya jenis nusyuz istri, jenis nusyuz suami juga bisa
bermacam-macam, di antaranya suami bersikap keras yang tidak proposional
terhadap istrinya, atau menganggap sepi atau merendahkan istrinya, atau
tidak memberikan nafkah batin tanpa ada alasan yang benar, atau berpoya-poya
dengan perempuan lain yang bukan istrinya. Mungkin karena kondisi tubuh
perempuan pada umumnya lebih lemah ketimbang laki-laki, maka Alquran
menganjurkan kepada para istri yang suaminya melakukan nusyuz untuk
mengadakan perjanjian damai dengan suaminya guna kebaikan mereka berdua.
Adapun isi perjanjiannya diserahkan kepada hasil rembukan antara suami-istri
tersebut. Alquran menyatakan, "Dan jika seorang perempuan khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS 4: 128).

Mengurung istri dalam rumah

Di tempat lain, Alquran mengizinkan suami menjalankan kekuasaannya


terhadap istri yang berbuat fahisyah. Al-Quran menyatakan, "Dan (terhadap)
perempuan-perempuan yang melakukan fahisyah, hendaklah dibuktikan oleh empat
orang saksi (yang dapat dipercaya) di antara kamu. Kemudian apabila mereka
telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu)
di dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi
jalan yang lain kepadanya." (QS 4: 15).

Kebanyakan mufasir mengartikan kata fahisyah dalam ayat ini sebagai


perbuatan zina. Menurut mereka, ayat ini berkenaan dengan hukuman untuk
tindak pidana zina pada masa permulaan Islam, yaitu: bagi muhshanat
(perempuan yang sudah menikah) yang melakukan perbuatan zina, maka
hukumannya adalah dikurung di dalam rumahnya sendiri sampai maut datang
menjemput. Demikian pula hukuman bagi muhshan (laki-laki yang sudah menikah)
sama dengan muhshanat, karena dianalogikan (qiyas) dengan perempuan yang
berzina. Adapun bagi jejaka dan dara yang melakukan perbuatan zina,
hukumannya diserahkan kepada masyarakat atau pimpinan umat masa itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan jalan keluar yang diberikan Allah adalah
datangnya hukuman zina yang lebih jelas, yakni dengan turunnya surat an-Nur
ayat 2 yang kemudian diperinci lagi melalui hadis Nabi Muhammad saw., yaitu
apabila pezina itu sudah pernah kawin, maka hukumannya rajam, yakni dilempar
dengan batu hingga mati, dan apabila perawan/jejaka maka mereka didera
seratus kali dera. Hukuman kurungan rumah ini dilakukan selama keduanya
belum bertobat dan menyesali perbuatan mereka. Apabila mereka bertobat,
hendaklah hukuman terhadap mereka dihentikan, dan mereka menjadi orang yang
merdeka kembali (boleh keluar rumah). Demikianlah hukuman terhadap perbuatan
zina pada zaman permulaan Islam, sebelum turunnya surat an-Nur ayat 2.
(Lihat misalnya, Tim Penafsir Departemen Agama RI, "Al-Quran dan Tafsirnya",
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1995, hlm. 134-136).

Akan tetapi, pendapat bahwa fahisyah dalam ayat ini sama dengan zina,
tampaknya kurang tepat. Hal ini diakibatkan oleh pemahaman dan penafsiran
Alquran yang dilakukan secara parsial, dengan menggunakan metode yang lazim
disebut metode penafsiran tahlili atau tajzi`i. Salah satu ciri metode ini
ialah menjadikan teks sebagai fokus perhatian. Dalam menganalisis suatu
kasus, perhatian utama langsung tertuju kepada teks yang tersedia, karena
pada umumnya konsep perintah dan larangan (khithab) dalam Alquran
menggunakan bentuk (sighah) umum, meskipun ayat itu diturunkan oleh suatu
sebab khusus. Akibatnya, mereka kehilangan konteks mengenai makna suatu ayat
ketika ayat itu diperbandingkan dengan ayat-ayat lain yang sejenis.

Untuk mengisi kelemahan metode penafsiran tahlili, beberapa tahun


belakangan ini dikembangkan metode penafsiran Alquran secara tematis, yang
dikenal dengan istilah tafsir maudhu`i. Dengan menggunakan metode tematis,
mula-mula kita menetapkan suatu topik tertentu yang ingin kita ketahui,
dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat
yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan
lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang
masalah tersebut menurut pandangan Alquran. (Lihat M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, Mizan, Bandung
1991, hlm. 114). Dengan demikian, metode ini lebih memusatkan perhatian
kepada apa kata ayat-ayat Alquran secara umum tentang suatu tema. Dalam
menganalisis suatu kasus, penganut teori ini juga tetap memperhatikan
keberadaan teks, hanya saja tidak terfokus pada sebuah teks dalam satu
kelompok ayat, tetapi semua ayat yang membicarakan kasus tersebut dianalisis
secara saksama, termasuk menganalisis asbabun nuzul ayat-ayat tersebut, lalu
menetapkan suatu kesimpulan.

Oleh karena itu, kalau kita menggunakan metode penafsiran maudhu`i,


maka akan tampak bahwa kata fahisyah--yang secara umum dalam "Arabic English
Lexicon" susunan Edward William Lane diartikan sebagai "anything exceeding
the bounds of rectitude (gross, immodest, lewd, obscene (apa saja yang
melanggar batas-batas kelurusan [kurang ajar, tidak senonoh, mesum,
cabul])--dalam Alquran mempunyai arti yang bermacam-macam, yang menunjukkan
perbuatan keji atau perbuatan yang menimbulkan aib besar seperti: (a) syirik
atau menyekutukan Allah (QS 7: 28); (b) riba (QS 3: 135); (c) menikahi ibu
tiri (QS 4: 22), (d) liwath atau homoseksual antara pria dengan pria (QS 7:
80; 27: 54; 29: 28 yang diterangkan oleh QS 7: 81; 26: 165-166; 27: 55; 29:
29); (e) zina (QS 4: 25; 17: 32); dan (f) menuduh berzina tanpa mengemukakan
empat orang saksi (QS 24: 19).

Dalam konteks kehidupan bersuami-istri, arti kata fahisyah dalam surat


an-Nisa' ayat 15 adalah perbuatan keji yang dilakukan oleh seorang istri,
seperti bercumbu-rayu dengan laki-laki yang bukan suaminya tetapi tidak
sampai dikategorikan sebagai perbuatan zina, atau melakukan homoseksual
antara perempuan dengan perempuan (musahaqah). Pendapat terakhir ini juga
dikiaskan terhadap kejahatan homoseksual antara sesama laki-laki yang
diterangkan dalam surat an-Nisa ayat 16. Hubungan antar kata-kata dalam ayat
15 dan 16 ini menunjukkan bahwa fahisyah di sini dipakai dalam arti kelakuan
tidak senonoh yang tingkatannya di bawah zina. Menurut pendapat Muslim dan
Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini adalah musahaqah
(homoseks antara perempuan dengan perempuan). Sedangkan mengenai hukuman
rajam untuk pezina yang sudah pernah menikah, bukanlah berasal dari syariat
Islam sebagaimana pernah penulis ungkapkan dalam harian ini beberapa waktu
yang lalu. (Lihat "Mempertimbangkan Hukuman untuk Pezina", "Pikiran Rakyat",
15-16 November 2001).

Jika seorang suami melihat istrinya melakukan fahisyah, maka istrinya


itu berhak diajukan ke pengadilan dengan menghadirkan empat orang saksi. Dan
jika keempat orang saksi itu membenarkannya, maka istrinya itu harus dihukum
dengan hukuman kurungan rumah (tidak boleh keluar rumah), sampai ia
meninggal atau sampai Allah memberikan jalan keluar (yakni istrinya
menunjukkan tanda-tanda berbuat baik atau bertobat), maka hukumannya dapat
berkurang) (QS 4: 15). Jika ayat itu dibaca dengan ayat 4: 34 yang
menerangkan pemberian hukuman badan kepada istri, terang sekali bahwa
mengurung istri dalam rumah merupakan langkah permulaan, dan apabila istri
mengulangi perbuatan buruknya di rumah, atau tidak patuh kepada kekuasaan
suami, dan ia lari dari suami, maka sebagai tindakan terakhir suami
diizinkan untuk memberi hukuman badan. Dan apabila langkah itu tidak dapat
memperbaiki kelakuannya, maka suami dapat memutuskan ikatan perkawinan
dengan cara menjatuhkan talak kepada istrinya.

Amanat Allah yang harus dijaga

Meskipun dari tulisan Neni kita tidak memperoleh data mengenai


kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan agama para penganutnya, tetapi
hampir dapat dipastikan bahwa karena jumlah pemeluk Islam paling banyak,
maka tindak kekerasan itu akan banyak terjadi di kalangan keluarga kaum
Muslim. Mengapa hal ini terjadi? Padahal ajaran Islam amat menekankan
perlakuan manis dan baik terhadap istri. Kata-kata "pergaulilah mereka
dengan baik" adalah amanat yang berulang-ulang ditekankan oleh Rasulullah
saw. Demikian pula perlakuan yang baik itu tetap harus dilakukan pada waktu
suami tidak menyukai istrinya. "Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
melimpah." (QS 4: 19). Dalam berbagai kesempatan Rasulullah saw. menyatakan,
"Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang paling baik perlakuannya
terhadap istrinya." (HR Bukhari). "Dan bertakwalah kepada Allah dalam
perkara perempuan (istri), karena kamu mengambil mereka sebagai amanat
Allah." (HR Muslim). Dalam Khutbah Perpisahan (Hajji Wada'), Rasulullah
menekankan sekali lagi perlakuan baik terhadap istri, "Wahai kaumku, kamu
mempunyai hak atas istri kamu; demikian pula istri kamu juga mempunyai hak
atas kamu... Mereka adalah amanat yang dipercayakan kepadamu. Maka dari itu
kamu harus memperlakukan mereka dengan baik."

Ada sebuah hadis yang menyuruh suami untuk berlaku manis terhadap
istri, dengan memisalkan istri seperti sebuah tulang rusuk. "Sesungguhnya
perempuan (istri) diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika kalian
mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka
kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok." (HR Bukhari).
Bentuk tulang rusuk yang melengkung memang sudah selaras dengan tujuan
terciptanya tulang rusuk itu, yaitu untuk menyangga organ dalam tubuh
seperti jantung dan paru-paru. Demikian pula terciptanya kaum perempuan yang
dikatakan seperti tulang rusuk. Untuk membuat mereka mempunyai karakter yang
sama seperti karakter yang dikehendaki oleh kaum laki-laki adalah sama
dengan mematahkannya. Beberapa pemikir Muslim menanggapi tulang rusuk
sebagai asal-usul perempuan sebagai berikut: "Tulang rusuk yang bengkok
harus dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadis
tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak
sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum
laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah
karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok." (Lihat M.
Quraish Shihab, ibid., hlm. 271).

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah di muka bumi adalah sesosok


perempuan. Al-Quran menyatakan, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa
kasih dan sayang." (QS 30: 31). Ayat Alquran ini juga menunjukkan bahwa
fungsi pernikahan merupakan tempat menumbuhkan ketenteraman, kebahagiaan,
dan cinta kasih. Atas dasar itulah, Islam menetapkan hak dan kewajiban
kepada suami istri. Akhirnya, Islam mengingatkan kepada para suami bahwa
istri merupakan amanat Allah, yang wajib diperlakukan dengan hormat dan
penuh kasih sayang. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyatakan, "Orang
beriman yang paling sempurna imannya dan paling baik akhlaknya ialah
(laki-laki) yang paling sayang kepada istrinya." (HR Turmudzi dan
an-Nasa`i). Tinggi rendahnya martabat seorang laki-laki bisa diukur dari
cara ia bergaul dengan istrinya. "Ma akraman nisa'a illa karimun," kata
Rasulullah, wa ma aha nahunna illa la'imun." (Tidak memuliakan perempuan
kecuali laki-laki yang mulia, dan tidak merendahkan perempuan kecuali
laki-laki yang rendah juga) (Tamat).***

Penulis adalah direktur Penerbit PT Kiblat Buku Utama, Bandung.

You might also like