Professional Documents
Culture Documents
Sumber hukum kontrak dalam Civil Law (Indonesia dan sebagian besar Negara Eropa) adalah
Undang-undang, Perjanjian antar Negara, Yurisprudensi dan Kebiasaan
Sementara Amerika, Inggris (juga Negeri Persemakmuran) yang menganut system Common Law
adalah Judicial Opinion/Keputusan Hakim, Statutory Law/perundang-undangan, the Restatement
(rumusan ulang tentang hukum dikeluarkan oleh Institut Hukum Amerika/ALI), dan Legal
commentary.
Momentum terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata sepakat yang
ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk kesepakatan oleh para pihak.
Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Agar mereka tenang
dan mengetahui dengan jelas akan hak dan kewajiban mereka.
Kontrak menurut penulis ada 2 macam yaitu Kontrak Nominaat atau bernama dan Innominaat
atau tidak bernama. Maksud dari kontrak Nominaat adalah bahwa kontrak tersebut telah dikenal
dan diatur oleh KUHPerdata sedang Innominaat maksudnya adalah bahwa jenis kontrak tersebut
belum dikenal dalam KUHPerdata dan pengaturannya diluar KUHPerdata. Sifat pengaturan buku
III ini adalah terbuka (open) artinya dimungkinkan dilakukan suatu bentuk perjanjian lain selain
yang telah diatur dalam KUHPerdata. Hal ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak
sehingga seiring kebutuhan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhannya ada saja suatu bentuk
kontrak/perjanjian yang belum dikenal oleh KUHPerdata. Kontrak Nominaat contohnya adalah
tentang jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah dll. Sementara itu Innominaat adalah
franchise, joint venture, kontrak rahim, leasing, belisewa, production sharing dll yang akan
muncul sesuai perkembangan zaman dan sesuai kebutuhan manusia.
2.4.1 Somasi
Diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi
perjanjian yang telah disepakati bersama. Somasi timbul karena debitur tidak melaksanakan
prestasi sesuai yang diperjanjikan.
Adalah tidak terpenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak. Dapat dikatakan wanprestasi jika
sebelumnya pihak berhutang telah diberi surat teguran atau somasi sebanyak minimal tiga kali.
Tuntutan atas dasar wanprestasi dapat berupa: meminta pemenuhan prestasi dilakukan, menuntut
prestasi dilakukan disertai ganti kerugian, meminta ganti kerugian saja, menuntut pembatalan
perjanjian, menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.
Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam pasal 1243 hingga 1252 KUHPerdata. Ganti rugi ini
timbul karena salah satu pihak telah wanprestasi atau tidak memenuhi isi perjanjian yang telah
disepakati bersama. Ganti kerugian yang dapat dituntut berupa: kerugian yang telah nyata-nyata
diterima, kerugian berupa keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh (ditujukan kepada bunga-
bunga).
Diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata. Ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, ganti kerugian ataupun
bunga kepada kreditur oleh karena suatu keadaan yang berada diluar kekuasaanya dalam
upayanya melakukan prestasi.
2.4.5 Risiko
Adalah suatu ketentuan yang mengatur mengenai pihak mana yang memikul
kerugian/menanggung akibat, jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa obyek perjanjian. Misal ketika telah terjadi suatu kesepakatan pembangunan gedung,
maka segala sesuatu akibat sebelum penyerahan terjadi menjadi tanggung jawab pihak ketiga
selaku risk insurance. Jika terjadi kebakaran sebelum diserahkan maka itu risiko pihak asuransi
yang harus dipertanggungjawabkan.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan
sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Understanding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu
dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan
dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan
pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU
walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di
dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan
kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru
dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat
kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan
misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil
studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi
atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya
dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai
keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak
perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa
yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus
tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek
biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari
sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa
Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari
kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
“Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun
dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.”
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan,
tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat
kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada
perjanjian jual beli sebagai berikut :
1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama ....
berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital).
Contoh perumusannya seperti ini :
“dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah
membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-
ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan
tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual
dan pembeli seperti berikut ini.”
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam
bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak
mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau
klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirumuskan
penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya:
“Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah
kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan
akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga
masing-masing.”
Menurut UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi pasal 22 ayat (2) kontrak minimal harus
terdiri atas:
Pada umumnya dibagi dua yaitu melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution/ADR). ADR yang biasa digunakan adalah Arbitrase dan
Mediasi.
Arbitrase menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury adalah suatu proses yang mudah dan
simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru
sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan mereka didasarkan dalil-dalil
dalam perkara. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan
mengikat
Mediasi menurut penulis adalah metode penyelesaian yang dilakukan dengan sukarela, tanpa
paksaan dengan dibantu mediator yang ditunjuk oleh para pihak namun mediator tersebut tidak
memiliki kekuatan apapun untuk memutus ia hanya berfungsi untuk mencari jalan tengah, jadi
keputusan akhir dan eksekusi tetap ada di para pihak.
3. PENUTUP
Banyak permasalahan yang terjadi pada suatu kontrak bila tidak tersusun dengan baik, rapi dan
jelas. Permasalahan tersebut akan semakin merugikan pihak yang lemah kedudukannya dalam
kontrak tersebut bila terjadi perselisihan dan terpaksa memasuki jalur pengadilan. Oleh karena
itu, kita harus memperhatikan dengan seksama efek atau akibat kontrak tersebut sebelum
menandatanganinya. Apakah kita telah memiliki kedudukan yang seimbang atau tidak.
Mengingat pengaturan hukum kontrak kita yang memang tidak berubah sejak masa pemerintahan
Hindia Belanda, tidak ada salahnya bagi kita para praktisi, bisnis, masyarakat maupun akademis
untuk mempelajari dan mengerti.
Tak kalah penting pula untuk memperhatikan peratuan perundang-undangan lain yang terkait
dengan kontrak yang hendak dilakukan.
PENDAHULUAN
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam
buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian,
termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual
beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu
berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah
suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian
mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu
yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk
ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi
yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu
perbuatan.
Kontrak (perjanjian) adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “. (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak
terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak
sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya
saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan
sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku
III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur
perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan
khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya
sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam,
pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk
hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga
Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber
hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan
berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada
pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi
kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan
adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah
adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini
ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah
diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan
perjanjian tersebut.
Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
menentukan bahwa :
“setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat,
berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk
membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak
BAB II
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang
sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada
kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1. 1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling
memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau
kekhilafan.
2. 2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang
oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut
hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang
ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah
pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum
dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum
berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk
membuat perjanjian.
3. 3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak tidaknya dapat
ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau
kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah
mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan
sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa
penjelasan lebih lanjut.
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya
memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena
bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara
tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-
syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis
1. B. Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan
terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan
sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
1. Prakontrak
1. Negosiasi;
2. Memorandum of Undersatnding (MoU);
3. Studi kelayakan;
4. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
3. Pascakontrak
1. Pelaksanaan;
2. Penafsiran;
3. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu
dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan
dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan
pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU
walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di
dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan
kontrak. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru
dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat
kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan
misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil
studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi
atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya
dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai
keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak
perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa
yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus
tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek
biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari
sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa
Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari
kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu,
kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan,
tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat
kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada
perjanjian jual beli sebagai berikut :
1. Nama ….; Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/untuk dan atas nama …. berkedudukan di …. selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ….; Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama ….
berkedudukan di …. selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital).
Contoh perumusannya seperti ini :
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari
penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek …. tipe …. dengan ciri-ciri berikut ini : Engine
No. …. Chasis …., Tahun Pembuatan …. dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama …. alamat ….
dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam
bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak
mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau
klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan
penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya, Demikianlah perjanjian ini dibuat
untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis
pada penutupan. Misalnya :
Dibuat dan ditandatangani di …. pada hari ini …. tanggal …. Di bagian bawah kontrak
dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan
materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal pelaksanaannya di
lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran.
Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata.
Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik
(good faith) dan asas kepribadian (personality).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in
menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas.
Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan
kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan
kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat
seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum
Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan
secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah
suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun
akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang
artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada
mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya
suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan
sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti
sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan
istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi
dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad
(HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-
kasus posisi berikut ini.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal
ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi
mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan
pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318
KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk
pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian,
Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer
memiliki ruang lingkup yang luas.
PENUTUP
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa mengenai hukum perjanjian
diatur dalam Buku III tentang Perikatan, di mana hal tersebut mengatur dan memuat tentang
hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, perjanjian digolongkan ke dalam
hukum tentang diri seseorang dan hukum kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara
kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu
perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang.
Istilah hukum perjanjian atau kontrak dalam bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrech. Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan “Perikatan” adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan
hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian atau kontrak adalah sumber perikatan dan hubungan hukum adalah hubungan yang
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, di
mana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Pada dasarnya,
perjanjian menurut namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan
inominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat (bernama) merupakan kontrak yang dikenal di
dalam KUHPerdata. Kontrak inominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan.
Perjanjian batasannya diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya
berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang
terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan
terlalu luas yang mengandung banyak kelemahan-kelemahan.
Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci: Pertama, Hanya menyangkut perjanjian sepihak
saja. Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya.” Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu
mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya di mana setidak-
tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak adanya
konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak .yang membuat perjanjian. Kedua, kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk
juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum.
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus
atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Juga perbuatan itu sendiri
pengertiannya sangat lugas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan
tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Dalam
perumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk perjanjian sehingga pihak-pihak
mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut di
atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu, rumusan Rutten adalah perjanjian
merupakan perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan
hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang
yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban
pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian
yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan.
Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat
dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan
mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan. Bila secara lisan sampai
terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, di samping harus dapat
menunjukkan sanksi-sanksi, juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.