You are on page 1of 5

RIWAYAT HIDUP ABU YAZID AL-BUSTAMI

PENDAHULUAN

Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup
panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas. Namun
sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran
keislaman melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir
terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan,
mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut pun sangat beragam
dan diantara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para
peniliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupakan aspek esoterik
atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam
Islam. Tasawuf adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisme
dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat
dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada dihadiratnya,
yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh
manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Dalam Islam kita mengenal dua aliran tasawuf, pertama, aliran tasawuf falsafi , dimana
para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta
menolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara
hamba dengan Tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu
memagari tasawuf dengan timbangan syariat yang berlandaskan al-Qur'an dan as-
Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniyah mereka dengan keduanya.
Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf irfani dan
tasawuf falsafi.
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan
konsep fana', baqa', dan al-ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.

PEMBAHASAN

RIWAYAT HIDUP ABU YAZID AL-BUSTAMI


Abu Yazid al-Bustami adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar abad ketiga
hijriyah. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin 'Isa bin Surusyan al-Bustami. Ia
lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun. Nama
kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama
Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Ibunya merupakan
seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh padanya. Sungguhpun orang tuanya adalah
salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bstam, Abu Yazid memilih kehidupan
sederhana dan menjaruh sayang serta kasih pada fakir miskin.
Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan.
Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya Abu Yazid akan memberontak sehingga
ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya.
Suatukali gurunya menerangkan suatu ayat dari surah Luqman yang berbunyi,
"berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat
menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pualng untuk menemui
ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap
panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun.
Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali
As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tiak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-
gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, ibunya seorang yang taat dan
zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal
sebagaimana Abu Yazid. Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak
kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid
untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai
daerah. Ia belajar agama menurut madzhab Hanafi. Setelah itu, ia memperoleh
pelajaran tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia
tasawuf.

POKOK-POKOK AJARAN ABU YAZID AL-BUSTAMI


Fana' dan Baqa'
Ajaran terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa'. Secara harfiah fana' berarti
meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya
digunakan dengan proposisi: fana'an yang artinya kosong dari segala sesuatu,
melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau
lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana' adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w.378 H/988 M) mendefinisikan "hilangnya
semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan
manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu
secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Adapun arti fana' menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan
dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana'
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula
berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan fana' adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat
manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat
ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah
fana' dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Dengan demikian fana' bagi seorang sufi adalah mematikan diri dari pengaruh dunia.
Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan semesta. Jadi seorang sufi
dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya,
selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Adapun baqa', berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam
kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq' biasanya digunakan dengan proposisi: baqa'bi,
yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.
Dalam kamus al-Kautsar, baqa' berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memaafkan
segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana' dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain
keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya:
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-
Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau
inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih
utama daripada anugrah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku
mendapat kepuasan dalam diri-Mu…"
Jalan menuju fana' menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan. Ia
bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab,
“Tinggalkan diri (Nafsu)mu dan kemarilah". Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah
melontarkan kata fana' pada salah satu ucapannya:
ُ‫ِه َف َح َييْت‬ ‫ُه ِب‬ ُ ْ ُ ُ َ َ
‫تىَّ فنيْت ث َّم َع َرفت‬ ‫ُه َح‬ ُ‫أَعْ ِرف‬
Artinya:
" Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku tahu pada-Nya
melalui diri-Nya, maka aku pun hidup."
Paham fana' tidak dapat dipisahkan dengan paham baqa' karena keduanya merupakan
paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia
sedang menjalani baqa'.
Dalam menerangkan kaitan antara fana' dan baqa' al-Qusyairi menyatakan,
“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana' dari
syahwatnya. Ia baqa' dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya
zuhud dari kehidupan maka ia sedang fana' dari keinginannya, berarti pula sedang baqa'
dalam ketulusan inabahnya…"
Dengan demikian, sesuatu didalam diri sufi akan fana'
atau hancur dan sesuatu yanglain  akan baqa' atau tinggal. Dalam iterature tasawu
disebutkan,  orang  yang  fana' dari  kejahatan  akan   baqa' (tinggal)  ilmu  dalam dirinya;
orang yang fana' dari maksiat akan baqa' (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan 
demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi
dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul
ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Al-Ittihad
Kata ittihad berasal dari kata wahd atau wahdah yang artinya satu atau tunggal. Ittihad
artinya menjadi satu atau menjadi tunggal.
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua
benda) menjadi satu, yang dalam istilah para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf,
yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan. Yang mana tahapan ini
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana'
dan baqa'. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi
telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa
yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…"
A.R. al- Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud.
Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi
karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad
"identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu". Hal ini bisa terjadi, karena sufi
telah memasuki fana' yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama
Tuhan.
Dengan fana`-Nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia
telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syathahat yang diucapkannya.
Syatahat adalah ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum
Abu Yazid, umpamanya:
‫ٌر‬ ‫ٌد َفقِ ْي‬ ‫ا َع ْب‬ ‫ك َفأ َ َن‬
َ َ‫ب مِنْ ُحبِّيْ ل‬ َ َّ‫ت أَ َتعَج‬ ُ ‫لَ ْس‬
‫ِد ْي ٌر‬ ‫ك َق‬ ٌ َ
ِ‫ك لِيْ َوأ ْنتَ َمل‬ َ
َ ‫َولَ ِك ِّنيْ أ َتعَجَّ بُ مِنْ ُح ِّب‬
Artinya:
"Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina,
tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Mahakuasa."
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
َ‫ا أَ ْنت‬ َ‫ا َوأَن‬ َ‫أ َ ْنتَ أَن‬ َ‫ ف‬:‫ت‬ ُ ‫ك َفقُ ْل‬َ ‫َر‬ َ‫غ‬ ْ َ َّ ُ
‫دَ إِن ُه ْم كل ُه ْم خلقِيْ ْي‬ َّ ‫ا َي ِز ْي‬ َ
‫ا أ َب‬ ‫ َي‬: ‫ا َل‬ ‫َق‬
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata,
“Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
Selanjutnya, Abu Yazid berkata lagi:
.ُ‫ أَ ْنتَ ال َف رْ د‬:‫ َف َق ا َل لِي‬،‫ َيا أَ َن ا‬:ِ‫ت ِبه‬ ُ ‫ َفقُ ْل‬، َ‫ َيا أَ ْنت‬:‫ َف َقا َل لِي‬.‫ار ال ُك ُّل ِبال ُك ِّل َوا ِح ًدا‬ َ ‫ار ال َكلِ َم ُة َواحِدَ ًة َو‬
َ ‫ص‬ َ ‫ص‬ َ ‫اج ُة َف‬َ ‫َفا ْن َق َط َع ال ُم َن‬
‫ا أَ َنا‬ ‫ أَ َن‬: َ‫ أَ ْنتَ أَ ْنت‬:‫ا َل لِي‬ ‫رْ ُد َق‬ ‫ا ال َف‬ ‫ أَ َن‬: ‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬
Artinya:
“Konversasi pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun
berkata, “Hai engkau. "Aku pun- dengan perantaraan-Nya menjawab, “Hai Aku, “Ia
berkata, “Engkaulah yang satu.“ Aku menjawa, "Akulah yang satu." Ia berkata lagi,
"Engakau adalah Engkau." Aku balik menjawab, "Aku adalah Aku."
Sehabis shalat subuh, Abu Yazid pernah berucap:
‫ْدنِي‬ َ
‫ا فاعْ ُب‬ َ َ َّ
‫َه إِال أن‬ َ َ
‫ا هللاُ ال إِل‬ ‫إِ ِّنيْ أَ َن‬
Artinya:
"Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku."
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid
bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid
berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan
Mahatinggi."

PENUTUP

Abu Yazid al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga Hijriyah.
Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham fana', baqa', dan ittihad.
Sebelum beliau begelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama
madzhab Hanafi.
Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana' dan
baqa' yang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-ittihad.
Fana' adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa' adalah kekalnya sifat-sifat
ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan
maksiat. Ittihad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai hal
tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah, dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Paham Abu yazid mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama
syari'ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan Abu
yazid dikatakan kafir. Sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan
sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan Abu
Yazid tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran
dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketika beliau fana', baqa', dan ittihad.

You might also like