Professional Documents
Culture Documents
Jika kita menilik puisi-puisi ciptaan Chairil Anwar yang bermakna dalam seperti “Aku”, “Senja di Pelabuhan
Kecil”, dan “Kepada Peminta-minta”, tentunya kita akan mengetahui bahwa puisi-puisi tersebut mengekspresikan diri
penyairnya. Dalam “Aku”, penyair merasa bahwa selama ini ia hidup dalam ketidakbebasan sehingga dia
memberontak, dia tak mau terikat dengan aturan, ia ingin bebas. /Kalau sampai waktuku ku mau tak seorang kan
merayu/ tidak juga kau/ Biar peluru menembus kulitku/ Aku akan meradang/menerjang/ Aku mau hidup seribu
tahun lagi/ . Dalam puisi tersebut tersirat bahwa ia tak mau dipengaruhi oleh siapa pun bahkan ia sangat ingin
hidup seribu tahun lagi, yang menyiratkan makna bahwa ia akan tetap hidup untuk terus berkarya tanpa
dipengaruhi oleh orang lain. Dia ingin bebas. Jiwa pemberontak sangat terlihat dalam puisi ini.
Namun, semangat itu tak nampak dalam puisi yang lain, yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil dan “Kepada
Peminta-minta”. Dalam puisi tersebut justru terlihat kerapuhan yang ada dalam diri penyair. Dalam puisi “Senja di
Pelabuhan Kecil” tercermin kerapuhan jiwa penyair karena cintanya yang tak kesampaian pada seseorang yang
dikaguminya yaitu Sri Ayati. Lihat saja judul puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil: Buat Sri Ayati . Sebuah pengharapan
yang sangat akan cintanya, tetapi tak berbalas. Hal ini terlukis jelas pada bait ketiga
Tiada lagi, aku sendiri
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Di sini dapat kita rasakan suasana sedih, sepi, dan tak ada harapan lagi untuk mendapatkan cinta dari orang yang
dikaguminya. Suasana pantai semakin menggambarkan kesepian yang dialami oleh penyair. Bahkan, sedu-sedan
tangis penyair dapat terdengar sampai pantai yang keempat. Sebuah hiperbola yang menggambarkan betapa sunyi
dan sepi suasana waktu itu.
Kerapuhan jiwa pengarang terlihat pula dalam puisi “Kepada Peminta-minta” Mengenai makna kata peminta-
minta dalam puisi tersebut dapat berarti peminta-minta dalam arti sebenarnya yaitu orang yang meminta sedekah
atau pengemis. Selain itu, kata tersebut bisa diartikan sebagai makna kias dari orang yang meminta penyair untuk
ingat pada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia). Bahasa puisi yang multyinterpretablemembebaskan kita untuk
mengartikan kata itu tak sesuai konteksnya. Seruan peminta-minta itu diterima oleh penyair hingga ia akan
menghadap Dia dan menyerahkan segala dosanya. Ia sudah sangat sadar akan segala dosanya itu sehingga penyair
menginginkan untuk tidak selalu diperingatkan saja karena hal tersebut akan membuat darahnya menjadi beku oleh
rasa berdosanya. Seperti yang terlihat dalam bait pertama.
/Baik,baik aku akan menghadap Dia/ /menyerahkan diri dan segala dosa/ /Tapi jangan tentang lagi aku/ /nanti
darahku jadi beku/
Hal ini sangat bertentangan dengan puisi yang pertama. Dalam puisi tersebut penyair tak mau dipengaruhi
oleh siapa pun, tetapi dalam puisi kedua penyair mudah sekali dipengaruhi hanya oleh seorang peminta-minta
walaupun ia sudah menyadari akan dosa-dosanya sendiri. Pemberontakan yang berubah menjadi kepasrahan
walaupun ia minta untuk tidak ditentang karena ia akan merasa sangat tersiksa . Di sini nampak bahwa sebenarnya
di balik sifat pemberontaknya, ada rasa takut dalam hatinya karena ia menyadari bahwa manusia tetaplah seorang
makhluk yang lemah, yang tak pernah luput dari dosa. Bait pertama yang diulang pada bait keempat menekankan
masalah dan memberikan intensitas renungan terhadap masalah tersebut , yaitu masalah dosa manusia.
Ide dalam puisi tersebut yang bersifat abstrak digunakan untuk memudahkan pemahaman pembaca, supaya
dapat dirasakan oleh pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengongkretkan pengertian dengan kiasan dan citraan.
Seperti dalam baris/menyerahkan diri dan segala dosa/ . Dosa yang abstrak dikonkretkan seolah-olah dapat dipegang
sehingga dapat ‘diserahkan’ . Untuk menyatakan pengertian bahwa penyair merasa sangat berdosa,
pengonkretannya dilakukan dengan memberikan citraan peraba / …darahku menjadi beku/. Begitu juga peringatan
atau seruan dikonkretkan dengan divisualkan dengan / jangan tentang lagi aku/. Menentang atau memandang lebih
konkret daripada hanya “memberi peringatan”.
Selain dikonkretkan dengan citraan-citraan, untuk menyatakan betapa tersiksanya penyair juga digunakan
sarana retorika atau majas hiperbola. / tapi jangan tentang lagi aku/ /nanti darahku jadi beku/ /sudah tercacar
semua di muka/ /nanah meleleh dari muka/ /bersuara tiap kau melangkah/ /mengerang tiap aku memandang/ …
Pemilihan kata berupa citraan kesakitan menunjukkan koherensi yang kuat : darahku jadi beku, sudah
tercacar, nanah meleleh, kau usap juga, mengerang, menetes, merebah, mengganggu, menghempas
di bumi keras, segala dosa, nanti darahku jadi beku. Semua itu menunjukkan bahwa orang yang sadar akan
dosa-dosanya itu rasanya sangat sakit, sangat menderita, dan tersiksa.
Bunyi vokal a dan u yang dominan semuanya memberi gambaran suasana yang berat dan sedih, sesuai
dengan suasana kesakitan dan penderitaan. Walaupun tergolong puisi baru, puisi ini belum bisa meninggalkan pola
puisi lama dalam hal persajakan atau rima akhir. Namun hal itu bukan disebabkan penyair masih terbelenggu oleh
aturan penulisan puisi lama, melainkan hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kemerduan dan kelancaran
ekspresi yang membuat liris dan juga memperkeras arti.
Dalam puisi tersebut terlihat nyata bahwa masa lalu penyair yang penuh dosa akhirnya menjadikan dirinya
yang sekeras batu terpaksa menyerah kepada Tuhan lewat perintah sang peminta-minta. Masa lalu penyair yang
kelam menyadarkan dirinya, tak akan tentram hati seseorang yang telah banyak berbuat dosa. Sebuah refleksi diri
yang bisa menjadi bahan kontemplasi bagi pembaca. Kerapuhan batin yang membelenggu hidupnya selama ini
tergambar jelas lewat puisi ini.
Konsistensi sebenarnya harus tetap dipertahankan. Jika penyair-penyair angkatan ‘45 mangatakan bahwa
hakikat puisi tak ditentukan oleh bentuk-bentuk formal, seharusnya penyair mempunyai cara baru untuk
memerhatikan kepuitisan dan ke-estetisan puisi tanpa harus mengikuti pola puisi lama. Pembaruan dalam puisi perlu
diciptakan agar dunia kesusastraan semakin kaya akan kreasi para penyairnya sehingga akan menambah wawasan
juga bagi penikmat seni sastra.
Salatiga, 19 Februari 2010
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta – WS Rendra