Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, diantaranya
1) Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen Ulumul Hadits
2) Memberikan wawasan tentang pembagian hadits
3) Mempermudah pembaca dalam memahami ilmu hadits, khususnya dalam pembagiannya
4) Menyampaikan informasi yang terkandung dalam pembagian hadits, baik secara kuantitas,
kulitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad.
1
Dari pembuatan makalh ini menimbulkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu
adalah
1) Bagaimana pembagian hadits secara kuantitas, kualitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad?
2) Apa pengertian dah yadan faedah dari hadits mutwatir dan hadits ahad
3) Bagaimana batasan hadits sahih yang diberikan oleh para ulama?
4) Apa saja syarat-syarat dari hadits sahih dan hadits hasan?
5) Apa maksud dari hadits muttasil dan hadits munfasil?
1.4 Sistematika
Makalah ini disusun berdasarkan sistematika yang terstruktur. Mulai dari pendahuluan,
pembahasan, dan penutup.
Pada pendahuluan kami menuliskan empat subbab, yaitu latar belakang, tujuan, permasalahan,
dan sisteatika.
Pada pembahasan kami menuliskan empat subbab, yaitu pembagian hadits secara kuantitas,
kualitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad. Pembagian hadi secara kuantitas ini dibedakan ke
dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Dalam bagian-bagian tersebut juga
mengandung apengertian dan faedah-faedahnya. Pembagian hadits secara kualitas dibedakan ke dalam
tiga bagian, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits daif
Pada bagian penutup, kami menuliskan dua subbab, yaitu kesimpulan dan saran.
BAB II
2
PEMBAHASAN
3
pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu
mencapai jumlah yang banyak.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).”
(QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin
terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi
yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam
kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits
mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-
Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin
Jafar Al-Khattani (1345 H).
4
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits
mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah
rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir.
Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan
orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
5
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita
ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.
Alhasil, barulah kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
6
e. Tidak ada cacat atau illat.
7
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada
Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad,
sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai
berikut;
1. Dalam perkembangan masa hadits dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara
garis besar hadits dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat
dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan
matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
8
2. Munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat
uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas
dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji,
disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak dabit, dan
kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai makna dan maksud
sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran
kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadits sebagai hadits, maka para
ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan
sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadits agar tergugah untuk lebih berhati-hati dalam
menelaah dan mengamalkan isi hadits sehingga dapat membedakan mana yang termasuk
bagian hadits dan yang bukan.
3.2 Saran
Penulis menyararankan supaya pembaca bisa paham atas segala ssuatu yang telah kami
sampaikan dalam makalah ini. Sehingga kita bisa mengetahui pembagian hadist dilihat dari berbagi
faktor. Mudah-mudahan semua yang disampaikan dalam makalah ini bisa diterima oleh pembaca dan
menambah wawasan dalam ilmu keagamaan, khususnya ilmu hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-
Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
9
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki
Putra 1999
LEMBAR DISKUSI
10
11