You are on page 1of 85

PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA

KELUARGA SAKINAH

Skripsi
Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi
syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

Oleh:
Asral Puadi
NIM. 104011000046

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008/1429 H
LEMBAR PERNYATAAN

Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Asral Puadi
Nim : 104011000046
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini saya menyatakan


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sangsi berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juli 2008

Asral Puadi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA


KELUARGA SAKINAH

Skripsi
Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

Oleh:

Asral Puadi
NIM. 104011000046

Di bawah bimbingan

Prof. Dr. H. Salman Harun, M. A


NIP. 150 062 568

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M/1429 H
Lembar Pengesahan Panitia Ujian

LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul: “Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah” diajukan
kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada 22 Juli 2008 di hadapan
dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S. Pd.I) dalam
bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 22 Juli 2008

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal Tanda tangan


Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A ………….. …………………….
NIP. : 150 236 009

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)


Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag ………….. …………………….
NIP. : 150 299 477

Penguji I
Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A ………….. …………………….
NIP. : 150 236 009

Penguji II
Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag …………… …………………….
NIP. : 150 299 477

Mengetahui:
Dekan,

Prof. Dr. Dede Rosyada, M. A.


NIP. 150 231 356
ABSTRAK

Asral Puadi
“Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah”

Islam telah menetapkan bahwa suami merupakan pemimpin dalam rumah


tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia pimpin. Namun, tidak semua
suami mengerti dan memahami tentang peranannya dalam rumah tangga yang
menjadi tanggung jawabnya, terkadang suami cenderung ingin lepas dari
peranannya itu, bahkan tidak mau peduli sama sekali. Selain itu dampak dari
ketidak mengertian dan pemahaman suami tentang peranannya sebagai kepala
rumah tangga, terutama dalam membina keluarga yang sakinah juga akan terlihat
pada masyarakat.
Oleh sebab itu dirasa sangat perlu adanya pemahaman tentang peranan
suami dalam membina keluarga yang sakinah. Peranan suami dalam hal ini
memegang kedudukan yang sangat penting dalam menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah warahmah, sesuai dengan kedudukan suami dalam rumah
tangga. Peranan suami, yang akhirnya menjadi tanggung jawabnya harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar suami tidak merasa sebagai
kepala rumah tangga yang berhak melakukan apa saja terhadap keluarganya
sesuai dengan yang ia inginkan, apalagi melakukan kekerasan dalam rumah
tangga, yang umumnya dilakukan oleh kaum pria, yaitu suami. Justru sebaliknya
suami harus bisa menjaga dan mengayomi seluruh anggota keluarganya, serta
mendidiknya, sehingga angota keluarga itu merasa tentram berada di dalam
keluarganya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah peranan suami
dalam membina keluarga yang sakinah. Dengan menggunakan metode Tafsir
Maudhu’i (Tematik), maka diperoleh data-data bahwa Islam telah menetapkan
peranan-peranan yang dimiliki oleh suami, dimana peranan itu akan menjadi
tangung jawab suami dan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah di
akhirat kelak.
Menghadapi kenyataan tersebut suami terlebih dahulu harus mengetahui
kedudukan dan fungsinya dalam keluarga, baru kemudian suami itu akan
mengetahui peranan yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga suami akan lebih
mudah dalam melaksanakan peranannya dalam membina rumah tangga yang
sakinah.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Tuhan Semesta
Alam, berkat Rahmat, Taufik dan Inayah-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada kekasih Allah pejuang
agama Islam dan teladan teladan yang terbaik Nabi Muhammad saw. beserta
keluarga, sahabat-sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam di seluruh alam.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, walaupun waktu, tenaga dan pikiran
telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki,
demi selesainya skripsi ini dan agar bermanfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian.
Sebelumnya penulis mengucapkan jazakumullah khairan katsiran kepada
kedua orang tua tercinta, dengan curahan cinta dan kasih sayangnya, kerja
kerasnya, serta doa yang selalu dipanjatkan, telah mengantar penulis
menyelesaikan pendidikan S1 di UIN Jakarta, semoga Allah selalu menjaga serta
memberikan rahmat, nikmat beserta karunia-Nya kepada mereka.
Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, penulis banyak
mendapatkan bantuan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya kepada penulis selama menjalankan kuliah.

ii
4. Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, MA., sebagai dosen pembimbing materi
dan teknik penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu,
mencurahkan tenaga, perhatian, pengertian, dan kemudahan dalam
memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga bagi penulis
dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Elman Sadri, sebagai penasehat akademik yang telah
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta “My Endless Love”
Apak (Muris) dan Amak (Nurisna) yang telah mencurahkan segala kasih
sayang dan tenaganya, serta yang selalu memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan PAI kelas B-04 dan teman-
teman kosan di Bait An-Najwa, serta special for Vera Fauziah yang selama
ini selalu saling melengkapi, memberikan pengalaman dan motivasi serta
doa kepada penulis.
Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya, semoga Allah swt. membalas kebaikan dan bantuan yang telah
mereka berikan selama penulisan. Apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan
dalam penulisan skripsi ini mohon dimaafkan. Semoga skripsi ini dapat membuka
cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan
semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin…

Jakarta, 15 Juli 2008

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Abstrak ......................................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ 12
D. Metode Pembahasan .............................................................. 12
E. Tinjauan Pustaka .................................................................... 13

BAB II SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA . ................ 15


A. Fungsi Suami ......................................................................... 15
B. Kedudukan Suami .................................................................. 23
C. Kewajiban Suami ................................................................... 29

BAB III PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA


YANG SAKINAH ...................................................................... 45
A. Memberikan Teladan ............................................................. 45
B. Bertanggung Jawab ................................................................ 58
C. Menciptakan Rumah Tangga Sakinah .................................... 67

BAB IV PENUTUP .................................................................................. 73


A. Kesimpulan ............................................................................ 73
B. Saran-saran ............................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 75

LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan risalah terakhir dari langit ke bumi yang universal. Dan
Islam pulalah yang telah membawa dunia menuju revolusi besar dalam berbagai
aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
penciptanya tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan
sebagainya.1
Aturan itu diramu dengan sangat sempurna, sehingga umat yang patuh pada
aturan yang dibuat akan menemukan suatu kebahagiaan dan kedamaian. Islam
menata hidup perkawinan dengan sempurna, karena masalah ini adalah masalah
pokok yang sangat vital. Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi,
menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan. Kehidupan
perkawinan merupakan industri pertama bagi umat sesudahnya untuk
meningkatkan industri selanjutnya. Bayangkan, dengan perantaraan seorang suami
dan istri, dengan perantaraan hubungan material dan individual, maka lahirlah
putera-puteri yang mungil, dengan izin Allah.2

1
Nasy’at Al-Masri, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press,
1993), Cet. Ke-8, h. 11.
2
Nasy’at, Nabi Suami Teladan…, h. 11

1
2

Hikmah diciptakan oleh Allah manusia berpasang-pasangan yang berlainan


bentuk dan sifat, adalah agar masing-masing saling membutuhkan, saling
memerlukan, sehingga dapat hidup berkembang selanjutnya.3
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan
yang sulit dibendung. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara laki-laki dan perempuan, mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya “perkawinan” dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan
menjadi ketentraman dan sakinah.4
Menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974,
menjelaskan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-
laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5
Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang
muslimah sebagai istri, merupakan perjanjian yang dibuat atas nama Allah.
Karena itu hidup sebagai suami istri bukanlah semata-mata sebuah ikatan yang
dibuat berdasarkan perjanjian dengan manusia, yaitu dengan wali dari pihak
perempuan dan dengan keluarga perempuan itu secara keseluruhan, serta dengan
perempuan itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membuat
perjanjian dengan Allah. Karena itu, pernikahan adalah salah satu di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah.6
Allah Swt. berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:

˱Δ˴Ϥ˸Σ˴έ˴ϭ˱Γ͉Ω˴Ϯ͉ϣϢ˵Ϝ˴Ϩ˸ϴ˴Α˴Ϟ˴ό˴Ο˴ϭΎ˴Ϭ˸ϴ˴ϟ˶·΍Ϯ˵Ϩ˵Ϝ˸δ˴Θ͋ϟ˱ΎΟ΍˴ϭ˸ί˴΃˸Ϣ˵Ϝ˶δ˵ϔϧ˴΃˸Ϧ͋ϣϢ˵Ϝ˴ϟ˴ϖ˴Ϡ˴Χ˸ϥ˴΃˶Ϫ˶ΗΎ˴ϳ΁˸Ϧ˶ϣ˴ϭ
˻˺ϡϭήϟ΍ ˴ϥϭ˵ή͉Ϝ˴ϔ˴Θ˴ϳ˳ϡ˸Ϯ˴Ϙ͋ϟ˳ΕΎ˴ϳ΂˴ϟ˴Ϛ˶ϟ˴Ϋϲ˶ϓ͉ϥ˶·

3
Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3, h. 1.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11, h. 192.
5
Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1, h. 14.
6
Rusli Amin, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, (Jakarta: Al-Mawardi
Prima, 2003), Cet. Ke-11, h. 24.
3

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir” (Q. S. Ar-Rum: 21).

Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang
sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing individu – laki-
laki dan perempuan - ketika jauh dari pasangannya. Setiap suami istri yang
menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah
tangga mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan kasih sayang.
Rumah tangga yang menjadi surga dunia! tidaklah identik dengan limpahan
materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan untuk dicapai, sebab
kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari cara berfikir dan bersikap. Maka
dari itu, hanya dengan pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan
indahnya kasih sayang dan kerinduan.7
Islam menjadikan keluarga sebagai tempat untuk menjaga diri, yaitu
menciptakan ketentraman dan keselamatan dari segala bentuk kejahatan yang
ditimbulkan oleh orang lain, sehingga keluarga harus dijadikan tempat tinggal
yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah
dan selalu merindui. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:

́˹ϞΤϨϟ΍ ˱ΎϨ˴Ϝ˴γ˸Ϣ˵Ϝ˶ΗϮ˵ϴ˵ΑϦ͋ϣϢ˵Ϝ˴ϟ˴Ϟ˴ό˴Ο˵Ϫ˷Ϡϟ΍˴ϭ
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal ...“
(Q. S. An-Nahl: 80).

Untuk mewujudkan keluarga seperti yang di atas, haruslah bersama-sama


antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari
Allah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri
dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah mawaddah
wa rahmah.8

7
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar,
(Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1, h. 82.
8
Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1, h. 91.
4

“Kehidupan suami istri itu adalah rumus dari kebahagiaan dunia”. Maka
ciptakanlah keluarga yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.9
Oleh sebab itu, suami istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan
perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah ikatan yang suci. Agar perkawinan
itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun pengikat
perkawinan yaitu:
1. Mawaddah
Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari
kehendak buruk. Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: “Mawaddah”
adalah “cinta plus”. Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak
akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang
bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari
keburukan, sehingga pintu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki
keburukan.10

2. Rahmah
Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: “Rahmah” kondisi
psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan
ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak
cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi
pemarah apalagi pendendam.11

Kualitas mawaddah wa rahmah di dalam rumah tangga, yang dipupuk oleh


suami dan istri sangat menentukan bagaimana kondisi rumah tangga tersebut,
apakah bahagia atau tidak. Lebih tegas Dr. Yusuf Al-Qardlawy mengatakan
“bahwa tidak ada artinya hubungan suami istri yang tidak didasarkan pada cinta
dan kasih sayang, badan berdekatan namun ruh berjauhan”. Jadi, tidak bisa kita

9
Abu Mohammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah
Press, 2000), Cet. Ke-3, h. 21.
10
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, h. 195.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, h. 196.
5

sangkal bahwa istri tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian,


tempat tinggal dan segala kebutuhan material belaka, namun istri juga sangat
mengharapkan dari suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang
cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan yang
lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati
dan mendinginkan gundahnya, bahkan itu semua melebihi daripada kebutuhan
material12.
Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran,
sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang,
kepahitan dalam hidup, harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran
meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang
lestari dan sehat.13
Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh laki-
laki, tetapi perempuan pun diberi hak untuk memilih laki-laki yang akan
dijadikannya suami. Dan yang terbaik itu adalah yang bagus agamanya.
Sebagaimana Rasulullah. saw. bersabda:

ϭνέϷ΍ϲϓΔϨΘϓϦϜΗ΍ϮϠόϔΗϻϥ΍ϩϮΟϭΰϓ ϪϨϳΩϭ ϪϘϠΧϥϮοήΗϦϣϢϛΎΗ΃΍Ϋ΍


ϥΎΒΣϦΑ΍ϩ΍ϭέ ξϳήϋΩΎδϓ
“Jika datang seorang pelamar yang bagus agamanya kepadamu, maka
kawinkanlah dia. Karena jika tidak, akan terjadi fitnah di atas bumi dan
banyak kerusakan” (H. R. Ibnu Hibban).14

Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah
seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling bertanggung
jawab tentang kehidupan di dalam rumah, mulai dari melayani suami, merawat

12
‘Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal
Pustaka, 2007). Cet. Ke-1, h. xiii.
13
Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: PT
Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1, h. 93.
14
Jalaluddin Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis, (Beirut: Daar Al-Fikr), Juz. 1. h. 144.
6

dan mendidik anak, ini berakibat ketika ada sesuatu kesalahan di rumah tangga
itu, istri lah yang sering disalahkan.
Sejujurnya tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan istri, karena suami pun
ikut bertanggung jawab. Tidak becusnya seorang istri dalam melayani suami,
tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan
bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga
ia tidak bisa membimbing istrinya.
Dalam kehidupan rumah tangga adakalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi
keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta
sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan
bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri itu akan jalan bersama,
saling melengkapi untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah15.
Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena
itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta,
kasih sayang, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta saling
keterikatan.16
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud suami yaitu “Laki-laki
yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan”17. Sedangkan Peranan
adalah dari kata dasar “peran” yang ditambahkan akhiran “an”, peran memiliki
arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan
di masyarakat. Sedangkan “peranan” adalah bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan.18 Dan sakinah disini adalah kedamaian, ketentraman dan
kebahagiaan.19 Jadi, peranan suami dalam membina keluarga sakinah adalah

15
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih…, h. 1.
16
Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida,
(Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3, h. 21.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 860.
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 769.
7

bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh suami (laki-laki yang menjadi
pasangan hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan keluarga yang
penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan
kekurangan itu membuktikan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan sifat
yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah swt. untuk itulah manusia hidup di
dunia ini harus saling tolong menolong dan lengkap melengkapi.
Allah swt. juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
“dalam susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan
darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan
anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya”.20
Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki
maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan menyangkalnya, sehingga
dengan perbedaan itu, mereka dapat saling mengerti, cinta mencintai, sayang
menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling kuasa menguasai. Maka
dari itu pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggung jawab.21
Menurut Al-Quran, suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul
dengan istrinya secara baik dan sabar atas apa yang tidak disukai darinya.22 Sesuai
dengan firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 19:

˶ξ˸ό˴Β˶Α˸΍Ϯ˵Β˴ϫ˸ά˴Θ˶ϟ͉Ϧ˵ϫϮ˵Ϡ˵π˸ό˴Η˴ϻ˴ϭ˱Ύϫ˸ή˴ϛ˯Ύ˴δ͋Ϩϟ΍˸΍Ϯ˵Λ˶ή˴Ηϥ˴΃˸Ϣ˵Ϝ˴ϟ͊Ϟ˶Τ˴ϳ˴ϻ˸΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ΁˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃Ύ˴ϳ
͉Ϧ˵ϫϮ˵Ϥ˵Θ˸ϫ˶ή˴ϛ ϥ˶Έ˴ϓ ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α ͉Ϧ˵ϫϭ˵ή˶ηΎ˴ϋ˴ϭ ˳Δ˴Ϩ͋ϴ˴Β͊ϣ ˳Δ˴θ˶ΣΎ˴ϔ˶Α ˴Ϧϴ˶Η˸΄˴ϳ ϥ˴΃ ͉ϻ˶· ͉Ϧ˵ϫϮ˵Ϥ˵Θ˸ϴ˴Η΁ Ύ˴ϣ
˺̂˯ΎδϨϟ΍ ˱΍ήϴ˶Μ˴ϛ˱΍ή˸ϴ˴Χ˶Ϫϴ˶ϓ˵Ϫ˷Ϡϟ΍˴Ϟ˴ό˸Π˴ϳ˴ϭ˱ΎΌ˸ϴ˴η˸΍Ϯ˵ϫ˴ή˸Ϝ˴Ηϥ˴΃ϰ˴δ˴ό˴ϓ
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
20
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih…, h. 12.
21
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih…, h. 12.
22
Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan
Istri Ideal”, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1, h. 185.
8

menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai


sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q. S.
An-Nisa: 19).

Pandangan Al-Quran di atas tentang suami yang bertanggung jawab, sama


dengan pandangan hadis dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra.:

ϯάϣήΘϟ΍ϩ΍ϭέ ϢϬ΋ΎδϨϟϢϛέΎϴΧϢϛέΎϴΧϭΎϘϠΧϢϬϨδΣ΃ΎϧΎϤϳ·ϦϴϨϣΆϤϟ΍ϞϤϛ΃
“Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istri-
istri kalian” (H. R. Timidzi).23

Sejalan dengan Al-Qur’an dan hadis di atas, Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’
mengatakan bahwa suami “akan menjaga istrinya, dan memperlakukannya dengan
patut seperti yang diperintahkan oleh Allah”.24
Ahmad Kusyairi, yang menyebut suami dengan istilah “Suami yang Shalih”
mengatakan: “Yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah, keluarga dan
semua orang yang ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan
lapang dada, yang selalu berusaha membahagiakan istrinya”.25
Penuturan Ahmad Kusyairi tersebut, hampir sama dengan pendapat Kasmuri
Selamat: “yang melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya dengan penuh
tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta berlapang dada”.26
Di lain pihak Sholeh Gisymar menyebut suami sebagai “suami yang dapat
mendidik dan mengarahkan istri pada kebaikan yang dapat menuntunnya
menggapai ridha Ilahi”.27

23
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis …, Juz. 2. h. 63.
24
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8, h. 83.
25
Ahmad Kusyairi Suhail, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka,
2007), Cet. Ke-1, h. 109.
26
Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian: Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2007), Cet. Ke-6, h. 1.
27
Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri..., h. 9.
9

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat penulis


simpulkan bahwa ada peranan yang harus dilakukan oleh suami. Ketika peranan
itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan dan keberkahan.
Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa melupakan sosok anak.
Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah swt. “Amanat yang wajib
dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung jawab orang tua terhadap anak
tidaklah kecil, secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga”.28 Dengan demikian,
pertanggung jawaban amanat tersebut, langsung berhubungan dengan Allah swt.
sebagai pemberi amanat.
Dalam dunia pendidikan, keluarga merupakan salah satu lembaga yang
bertanggung jawab atas pendidikan anak selain sekolah dan masyarakat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara, dikenal adanya Tri Logy
Pendidikan atau Tri Pusat Pendidikan, yaitu 3 (tiga) lingkungan (lembaga)
pendidikan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian anak
didik. Tiga lembaga pendidikan tersebut adalah: pendidikan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Di antara 3 (tiga) lingkungan tersebut, lingkungan keluarga yang
paling penting pengaruhnya dalam pendidikan agama. Karena dalam proses
pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat
bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari
keluarganya. Dari kedua orang tua, terutama dari ibunya, untuk pertama kali
seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan
pengarahan moral. Walaupun demikian peran dari seorang ayah tidak bisa
dilupakan, karena ayah lah yang membimbing Istri tersebut dan dia menjadi figur
sebagai seorang pemimpin sekaligus pembimbing bagi anak-anak, dimana segala
tingkah lakunya akan ditiru. Apalagi dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga
lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya pendidikan
keluarga disebut sebagai pendidikan pertama dan yang utama serta merupakan

28
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994), Cet. Ke-2, h. 160.
10

peletak pondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. “Demikianlah keluarga


mempunyai peranan penting dalam proses pendidikan anak. Karena itu, orang tua
yang berperan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga harus memberikan
dasar dan pengarahan yang benar terhadap anak, yakni dengan menanamkan
ajaran agama dan akhlak karimah”.29
Ketika kita membicarakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan awal
yang sangat penting, ini sangat sesuai dengan hadis Rasulullah saw.:

ϩ΍ϭέ  ϪϧΎδΠϤϳ ϭ΃ Ϫϧ΍ήμϨϳ ϭ΃ Ϫϧ΍ΩϮϬϳ ϩ΍ϮΑ΄ϓ Γήτϔϟ΍ ϰϠϋ ΪϟϮϳ ΩϮϟϮϣ Ϧϣ Ύϣ
ϢϠδϣϭϱέΎΨΒϟ΍
“Tidak ada seorang anak pun kecuali dilahirkan sesuai dengan fitrah, lalu
kedua orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, atau Nasrani,
atau Majusi” (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).30

Atas pemikiran di atas, penulis mencoba menuangkan permasalahan tersebut


pada skripsi ini dengan judul “PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA
KELUARGA SAKINAH”.
Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini sebagai berikut:
1. Suami merupakan pemimpin dalam kehidupan rumah tangga yang
memiliki peranan yang sangat besar dalam membimbing istri dan
mempersiapkan pendidikan untuk anak-anaknya.
2. Inti dari sebuah keluarga itu adanya suami, istri dan anak, maka suami
yang bertanggung jawab sangat mutlak diperlukan untuk mencapai cita-
cita dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, penuh
dengan mawaddah wa rahmah.
3. Melihat realita yang ada, banyaknya suami yang melakukan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).

29
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1, h. 21.
30
Muslim. Shahih Imam Muslim. Terj. Rais Lathief, dkk. (Jakarta: Keluarga Lathief, 2003).
Cet. Khusus. h. 869.
11

4. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang konsep-konsep Islam,


diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh
semua pihak yang membutuhkan.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi di atas, kiranya
harus dicarikan jawaban dari masalah-masalah tersebut dan
menyelesaikannya. Untuk dapat menjadikan sebuah karya tulis yang baik
pembatasan terhadap masalah yang akan dikaji merupakan salah satu
bagian penting demi terciptanya fokus pembahasan, untuk itu objek kajian
yang akan dituangkan ke dalam skripsi ini diidentifikasikan pada hal-hal
berikut:
1. Suami yang dimaksud adalah yang berstatus sebagai individu dan
anggota masyarakat yang menjadi pasangan hidup resmi seorang
perempuan yang diikat dengan tali pernikahan.
2. Peranan yang dimaksud adalah bagian dari tugas utama (kepala
keluarga) yang harus dilakukan oleh suami.

2. Pembatasan Masalah
Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk
memberikan suatu pembatasan masalah agar tidak melebar, yaitu:
1. Suami sebagai kepala rumah tangga.
2. Peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah.
3. Karakteristik Suami yang bertanggung jawab

3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah menjadi:
1. Bagaimana peranan suami sebagai kepala rumah tangga dalam
membina keluarga sakinah?
2. Bagaimana peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah?
3. Bagaimana karakteristik suami yang bertanggung jawab?
12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan penulisan
Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin
dicapai, begitu juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan seluruh
permasalahan yang dirumuskan dalam perumusan masalah, maka secara
spesifik tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi suami sebagai kepala rumah
tangga.
b. Untuk mengetahui peranan suami dalam membina keluarga yang
sakinah.
c. Untuk mengetahui kriteria suami yang bertanggung jawab.
Sedangkan tujuan akademis dari penulisan skripsi ini adalah untuk
memperluas paradigma berpikir dan wacana keilmuan dalam bidang
pendidikan, terutama pendidikan keluarga.

2. Manfaat penulisan
Adapun hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
a. Dari tulisan ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para orang
tua dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah.
b. Memberi acuan bagi para pelajar laki-laki untuk menjadi laki-laki yang
shaleh/bertanggung jawab dan mampu mengatasi berbagai masalah
dalam rumah tangga.

D. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
maudhu’i (tematik). Yaitu cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang
dilakukan dengan cara tertentu31. Untuk itu harus dilakukan komparasi dan

31
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-
1, h. 115.
13

penghimpunan ayat yang saling berkaitan, kemudian dibahas atau ditafsirkan


sesuai dengan kaedah yang berlaku.
Dr. M. Quraish Shihab, di dalam karyanya Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Mizan), memberikan defenisi tafsir maudhu’i secara lebih
rinci: “…menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan
dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir
membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh32.”
Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah al-Jalil Ahmad
As-Sa’id al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas al-Azhar33.
Adapun pedoman yang di jadikan sandaran penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka
Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan
studi tingkat sarjana program strata 1 (S1). Maka tidak menutup kemungkinan
ketika skripsi yang disusun oleh penulis ini memiliki kemiripan dengan skripsi
penulis lainnya.
Dalam beberapa buku dan skripsi yang saya baca, banyak hal khususnya teori
dan pendapat yang menjadi perhatian penulis untuk dijadikan penunjang penulisan
dan menjadi perbandingan bagi penulis selanjutnya. Dan sebagai tinjauan pustaka
penulis dalam menyusun teori-teorinya mengambil dari buku-buku dan skripsi
yang bersangkutan dengan kewajiban suami dalam pandangan Islam.
Husain Syahatah merupakan penulis sebuah buku dengan judul Tanggung
Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas yang
menjadi referensi penulis dalam rangka mengetahui berbagai teori tentang peranan
32
http://www.qalam.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=341, Pengenalan Singkat Tentang
Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20
Nopember 2007.

33
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h. 161.
14

suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa
peranan suami itu tidak jauh berbeda dengan peranan istri dalam Islam,
perbedaannya adalah suami merupakan pemimpin di dalam keluarga dan besar
larangannya jika suami tidak memperhatikan urusan keluarga (istri dan anak),
apalagi tidak memberi nafkah kepada mereka.
Dari skripsi yang penulis susun ini terdapat perbedaan dengan tinjauan
pustaka yang penulis tunjukan yaitu karya Husain Syahatah Tanggung Jawab
Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas perbedaan tersebut
terletak pada penjabaran teori yang lebih melihat dengan jelas kepada kewajiban
suami sebagai kepala, pendidik dan pendamping istri dalam rumah tangga.
BAB II
SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA

A. Fungsi Suami
Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala rumah tangga, dan istri
adalah ibu rumah tangga. Logika ini tidak bisa diganti dengan sebaliknya.
Problemya adalah apa yang dimaksud dengan kepala rumah tangga dan apa yang
dimaksud dengan ibu rumah tangga.
Disini, yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa kepala rumah
tangga mengurusi urusan-urusan “besar” dalam rumah tangga, yakni yang
menyangkut pencarian nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan
masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah tangga dengan
kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu rumah tangga adalah bahwa seorang ibu
mempunyai tugas-tugas pengaturan rumah tangga berskala “kecil,” seperti
pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur, pengaturan urusan
keuangan rumah tangga, pengaturan kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga
dan pengaturan anak.1
Tampaknya, tugas ibu rumah tangga tersebut ringan dan “kecil,” tetapi pada
kenyataannya, seorang ibu rumah tangga dihabiskan waktunya untuk disibukkan
dalam rumah tangga tersebut. Di sinilah kadang seorang kepala rumah tangga
kurang menyadari tugas-tugas ibu rumah tangga.

1
Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet. Ke-1, h.
276.

15
16

Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya sendiri, maka suami akan
menyadari bahwa tugas-tugas konkrit seorang istri lebih berat daripada tugas-
tugas seorang suami. Maka, kerelaan seorang istri untuk menjadi ibu rumah
tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala rumah tangga,
adalah penghormatan yang setinggi-tingginya yang dapat diberikan oleh seorang
istri kepada suaminya. Dan hal ini memang telah dimekanismekan oleh alam,
bahwa pembagian yang seperti itu adalah pembagian yang alamiah2.
Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem pemerintahan,
yang memerlukan seseorang pemimpin, bertujuan untuk menciptakan negara yang
maju, aman dan sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan
seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah tangga untuk
menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah.
Agama Islam menganggap bahwa pemimpin atau kepala dalam rumah tangga
itu adalah seorang suami, ini tergambar jelas dalam firman Allah:

˸Ϧ˶ϣ ˸΍Ϯ˵Ϙ˴ϔϧ˴΃ Ύ˴Ϥ˶Α˴ϭ ˳ξ˸ό˴Α ϰ˴Ϡ˴ϋ ˸Ϣ˵Ϭ˴π˸ό˴Α ˵Ϫ˷Ϡϟ΍ ˴Ϟ͉π˴ϓ Ύ˴Ϥ˶Α ˯Ύ˴δ͋Ϩϟ΍ ϰ˴Ϡ˴ϋ ˴ϥϮ˵ϣ΍͉Ϯ˴ϗ ˵ϝΎ˴Ο͋ήϟ΍
(˼˽˯ΎδϨϟ΍ ˸Ϣ˶Ϭ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϣ˴΃
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka” (Q. S. An-Nisa: 34).

˯Ύ˴δ͋Ϩϟ΍ ϰ˴Ϡ˴ϋ ˴ϥϮ˵ϣ΍͉Ϯ˴ϗ ˵ϝΎ˴Ο͋ήϟ΍, Para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami
adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita.
Ibnu Abbas – pakar tafsir yang terkenal di kalangan sahabat – menafsirkan
bahwa laki-laki (suami) adalah pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang
untuk mendidik perempuan (istri). Kemudian Az-Zamaksyari menjelaskan bahwa
laki-laki berkewajiban melaksanakan amar makruf nahi mungkar kepada
perempuan, sebagaimana penguasa terhadap raknyatnya. Al-Alusi menyatakan hal
yang senada bahwa tugas laki-laki adalah memimpin perempuan, sebagaimana

2
Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami.., h. 277.
17

pemimpin memimpin raknyatnya dalam bentuk perintah, larangan dan


semacamnya. Jalaluddin as-Suyuthi memaknainya dengan “laki-laki sebagai
penguasa (musallithun) atas perempuan,” sedangkan Ibnu Katsir memaknainya
dengan “laki-laki adalah pemimpin yang dituakan dan pengambil kebijakan bagi
perempuan.3

Kata (˵ϝΎ˴Ο͋ήϟ΍) ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata (ϞΟέ yang

diterjemahkan lelaki, walaupun Al-Quran tidak selalu menggunakannya dalam arti


tersebut. Dalam buku wawasan Al-Quran, dikemukakan bahwa ar-rijalu
qawwamuna ‘ala an-nisa’, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran
pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah “karena mereka
(para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka” yakni untuk istri-istri
mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara
umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian4.
Tetapi kemudian M. Quraish Shihab menemukan bahwa Muhammad Thahir
Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu
dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab,

bahkan bahasa Al-Quran dalam arti suami. Berbeda dengan kata (˯ΎδϨϟ΍ an-nisa’

atau Γ΃ήϣ΍ imra’ah yang digunakan untuk makna istri5. Namun, kata ar-rijal

yang dimaksud oleh Quraish Shihab dalam bukunya wawasan al-Quran adalah
lelaki secara khusus, yaitu suami, karena konsideran dengan lanjutan ayat yaitu
“karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka” yakni
istri-istri mereka.

Kata (ϥϮϣ΍Ϯϗ qawwamun adalah bentuk jamak dari kata (ϡ΍Ϯϗ qawwam,

yang terambil dari kata (ϡΎϗ qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat
–misalnya – juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti

3
Sri Mulyati, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN Syarif
Hidayatullah, 2004), h. 42.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X, Jil. 2, h. 424.
5
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 424
18

perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi


segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan

atau apa yang diharapkan darinya dinamai (Ϣ΋Ύϗ qa’im. Kalau dia melaksanakan
tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia
dinamai qawwam. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni qawwamun

sejalan dengan makna (ϝΎΟήϟ΍ ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali

kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi – seperti terbaca dari maknanya
di atas – agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang
dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan marupakan satu aspek
yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan”
tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan
pembinaan6.
Seiring dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa Al-Maragi juga mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Al-Qiyam ialah kepemimpinan, yakni orang yang
dipimpin bertindak sesuai dengan kehendak dan pilihan pemimpin. Sebab makna
Al-Qiyam tidak lain adalah bimbingan dan pengawasan di dalam melaksanakan
apa-apa yang ditunjukkan oleh suami dan memperhatikan segala perbuatannya7.
Lebih tegas lagi, Sayyid Quthub menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan
ayat yang mengatur organisasi dalam keluarga, kemudian menjelaskan
keistimewaan-keistimewaan peraturannya agar tidak terjadi keberantakan antar
anggotanya, yaitu dengan mengembalikan mereka semua kepada hukum Allah,
bukan hukum hawa nafsu, perasaan dan keinginan pribadi, memberikan batasan
bahwa kepemimpinan dalam organisasi rumah tangga ini berada di tangan laki-
laki8. Dengan ditunjuknya suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, maka
suami harus mampu membimbing keluarga tersebut dan menjaganya dari
keberantakan yang akan menyebabkan kehancuran rumah tangga.

6
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…,h. 424
7
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1993), Jil. 5, Cet. Ke-2, h. 42.
8
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj: As’ad Yasin,
dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000) Jil. 2, Cet. Ke-2, h. 353 – 354.
19

Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.


Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang
perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki,
yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung
jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya
hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan
bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan
pemimpinnya.
Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang
tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan
perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi
seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu
perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta
diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Allah swt.
menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu9:

Pertama, ˳ξ˸ό˴Αϰ˴Ϡ˴ϋ˸Ϣ˵Ϭ˴π˸ό˴Α˵Ϫ˷Ϡϟ΍˴Ϟ͉π˴ϓΎ˴Ϥ˶Α “karena Allah telah melebihkan

sebagian mereka atas sebagian yang lain.” Yakni masing-masing memiliki


keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki, lebih
menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan.
Disisi lain keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya
sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung
fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Murthadha Muthahhari seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yang
diterjemahkan oleh Abu Az-Zahra An-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul
Nizham Huquq al-Mar’ah menulis bahwa keistimewaan antara laki-laki dan
perempuan adalah sebagai berikut10:

9
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 425.
10
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…,h. 426.
20

1. Dari segi fisik


Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara
lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak
tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi
perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki,
dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk
kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi
bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan
paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan
denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.
Sangat adil pula jika Allah melengkapi laki-laki dan wanita dengan
perangkat reproduksi yang berbeda, termasuk tanda-tanda seksual
keduanya11.

2. Dari segi psikis


Secara umum lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan
yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum
cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan
cenderung kepada perdamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan
suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tentram.
Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau
orang lain, karena itu jumlah wanita yang bunuh diri lebih sedikit dari
jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang
keras – pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian – sementara
wanita menggunakan obat tidur, racun, dan semacamnya.
Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa
takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki, yang biasanya lebih
berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya
menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam serta berbeda
bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten

11
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 197.
21

dibanding dengan lelaki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun


beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan
perempuan lebih keibuan, ini jelas nampak sejak kanak-kanak. Cintanya
kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga
lebih besar dari lelaki.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita secara fisik dan psikis serta fenomena
kodrati di atas sesungguhnya diatur sedemikian rupa oleh Allah untuk menunjang
tugas masing-masing.
Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum pendapat di atas sejalan dengan
petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, namun adalah sewajarnya untuk tidak
menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah
salah satu keistimewaan yang tidak dan kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan
itu amat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan
membimbing anak-anak12.

Kedua, ˸Ϣ˶Ϭ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϣ˴΃ ˸Ϧ˶ϣ ˸΍Ϯ˵Ϙ˴ϔϧ˴΃ Ύ˴Ϥ˶Α˴ϭ, disebabkan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebahagian harta mereka.


Bentuk kata kerja past tense/masa lampau yang digunakan ayat ini “telah
menafkahkan” menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi
suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat
manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga
langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan
terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan
bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini13.
Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan
kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan
hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunan-

12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 427-428.
13
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 428.
22

tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung


biaya hidup istri dan anak-anaknya14.
Dari kedua faktor yang disebut di atas – keistimewaan fisik dan psikis, serta
kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak – lahir hak-hak suami yang harus
pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi
sang istri.
Perlu digarisbawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada
suami, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan.
Paradigma pemimpin kaum adalah pelayan mereka, harus dipraktekkan oleh
laki-laki dalam memimpin kaum perempuan atau keluarga, agar ia tidak
mengembangkan kepemimpinan yang diktator, otoriter dan zalim. Sebab,
sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin an-Nabhani dalam buku an-Nizham al-
Ijtima’i, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah
tangga bukanlah akad syirkah (perusahaan), akad perdata yang berkonsentrasi
pada kawin kontrak atau akad ijarah (sewa menyewa) sehingga istri ibarat budak
bagi suami untuk dipekerjakan. Bukan pula seperti hubungan polisi dan pencuri,
sehingga istri selalu terancam dan diteror, dan suami selalu merasa superior.
Tetapi hubungan keduanya adalah hubungan sakinah, mawaddah dan rahmah.
Yaitu hubungan untuk saling mengondisikan munculnya sakinah (ketentraman
15
dan ketenangan) jiwa, mawaddah (cinta kasih), dan rahmah (rasa sayang) .
Dengan demikian, suami akan menjadi pengayomi yang baik, serta akan
mendapatkan pelayanan baik dari istri dan anggota keluarga, bahkan akan
mendapatkan lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh suami terhadap istri
dan anggota keluarganya.
Disinilah barangkali hikmah mengapa redaksi atas tidak berbunyi “ar-rijalu
aimmat an-nisa,” melainkan berbunyi “ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa”
padahal kedua redaksi mempunyai pengertian yang hampir sama. Hal ini tidak

14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 428
15
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 199.
23

lain karena makna yang terdapat dalam kata “qawwamah” jauh lebih mendalam
dan integral daripada kata “imamah.” Termasuk dalam makna “qawwamah”
adalah memimpin, meluruskan jika ia (perempuan) itu bengkok (salah),
mengayomi, menjaga, melindungi, membina dan mendidik16. Maka jelaslah
bahwa suami menjadi pemimpin, bukan berarti ia harus menjadi otoriter dalam
memimpin, tanpa memikirkan apa yang diinginkan oleh istri dan anggota
keluarganya.

B. Kedudukan Suami
Walaupun suami merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan suami
di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri tunduk sepenuhnya. Istri tetap
mempunyai hak untuk bermusyawarah dan melakukan tawar menawar keinginan
dengan suami berdasarkan argumen-argumen rasional-kondisional.
Kepemimpinan suami atas keluarganya tidak menghilangkan hak-hak mereka
dalam berbagai hal. Hal ini selain selaras dengan realitas, juga lebih sesuai dengan
firman Allah:

˲Ϣϴ˵Ϝ˴Σ ˲ΰϳ˶ΰ˴ϋ ˵Ϫ˷Ϡϟ΍˴ϭ ˲Δ˴Ο˴έ˴Ω ͉Ϧ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˶ϝΎ˴Ο͋ήϠ˶ϟ˴ϭ ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α ͉Ϧ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ϱ˶ά͉ϟ΍ ˵Ϟ˸Μ˶ϣ ͉Ϧ˵Ϭ˴ϟ˴ϭ 
˻˻́ΓήϘΒϟ΍
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q. S. Al-Baqarah: 228).

˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α ͉Ϧ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ϱ˶ά͉ϟ΍ ˵Ϟ˸Μ˶ϣ ͉Ϧ˵Ϭ˴ϟ˴ϭ Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Sebagaimana pria
mempunyai hak untuk rujuk kepada istri yang diceraikannya, sang istri pun
mempunyai hak untuk diperlakukan secara ma’ruf, yakni sesuai dengan tuntunan
agama, sejalan dengan akal sehat, serta sesuai dengan sikap orang yang berbudi17.

16
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 199.
17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 1, h. 490.
24

Mendahulukan penyebutan hak wanita atas kewajiban wanita dinilai sebagai


penegasan tentang hal tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu
diperhatikan, apalagi selama ini, pada beberapa suku masyarakat Jahiliyah, wanita
hampir dapat dikatakan tidak mempunyai hak sama sekali. Ayat ini secara tegas
menyatakan adanya hak tersebut18. Adapun hak dan kewajiban istri kepada suami
adalah19:
1. Hak istri
 Mendapatkan mahar
Hak istri yang pertama kali yang harus dipenuhi oleh seorang suami
adalah diberi mahar dengan penuh kerelaan. Ketika istri
menghendaki mahar tertentu suami harus memenuhinya tanpa
menguranginya sedikit pun. Bahkan istri berhak menolak ketika
suaminya ingin menyentuhnya apabila mahar belum diberikan.
Namun, jika ingin menjadi perempuan yang shalehah, sebaiknya
mempermudah lamaran dan tidak memberatkan mahar.

 Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya


Secara naluri perempuan memang memiliki perasaan yang halus,
tetapi ia mudah marah. Oleh karena itu, perempuan berhak
mendapatkan perlakuan yang lembut dari suaminya saat
menghadapinya. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
terhadap istri-istrinya.

 Mendapatkan nafkah
Istri sangat berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya,
meskipun misalnya istri tersebut adalah orang yang kaya. Secara
umum termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.

18
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 1, h. 490.
19
Syaikh Hafiz Ali. Kado Pernikahan..., h. 117-137.
25

 Mendapatkan pendidikan
Pendidikan juga menjadi hak istri, apalagi seorang istri nantinya
akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan apabila ibunya tidak
berpendidikan, bagaimana nanti nasib dari anak-anaknya.

2. Kewajiban istri
 Seorang istri harus mengatur urusan rumah tangga dan
mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa istri mempunyai kewajiban
mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan
hidup sehari-hari, seperti mengatur keuangan rumah tangga,
menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, serta yang lainya.

 Berkewajiban menjaga kehormatan dan ridha suami


Suami merupakan surga dan sekaligus juga neraka bagi istri, untuk
itulah istri harus menjaga kehormatan dan ridha suami. Sebagaimana
Rasulullah saw. bersabda:

ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ ϙέΎϧϭϚΘϨΟϮϫΎϤϧΈϓϪϨϣΖϧ΃Ϧϳ΃ϱήψϧΎϓ
“Pikirkanlah sikapmu kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah
surgamu dan juga nerakamu” (H. R. Ahmad).20

 Wajib taat dan patuh kepada suami


Secara mutlak seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap
segala yang diperintahkannya, asalkan tidak termasuk perbuatan
durhaka kepada Allah. Sebab memang tidak ada alasan sama sekali
bagi makhluk untuk taat kepada sesama makhluk dalam berbuat
durhaka kepada Allah. Setiap istri yang taat kepada suaminya yang
mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya. Sebagaimana
Rasulullah saw. bersabda:

20
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr), Jilid. 4. h.
341.
26

ϦϣΖϠΧΩΎϬϠόΑΖϋΎσ΃ϭΎϬΟήϓΖϨμΣϭΎϬδϤΧΓ΃ήϤϟ΍ΖϠλ΍Ϋ·
 ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ Ε˯ΎηΔϨΠϟ΍Ώ΍ϮΑ΃ϱ΃
“Apabila seorang wanita sudah menjalankan shalat lima waktu,
menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka niscaya ia
akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan” (H. R.
Ahmad).21

 Membantu suami bertakwa dan taat kepada Allah


Seorang istri wajib membantu suaminya untuk taat kepada Allah,
dan memberinya nasehat demi mencari keridhaan Allah.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

ΖΑ΃ϥΈϓΖϠμϓϪΗ΃ήϣ΍φϘϳ΃ϭϲϠμϓϞϴϠϟ΍ϦϣϡΎϗϼΟέͿ΍ϢΣέ
ϭΖϠμϓϞϴϠϟ΍Ϧϣ ΖϣΎϗ ϩ΃ήϣ΍ Ϳ΍ ϢΣέϭ˯ΎϤϟ΍ΎϬϬΟϭϲϓ΢πϧ
ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ ˯ΎϤϟ΍ϪϬΟϭϲϓΖΤπϧϲΑ΃ϥΈϓϲϠμϓΎϬΟϭίΖψϘϳ΃
“Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk
melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat,
dan jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada
wajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun
tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar
ikut shalat, dan jika suaminya tidak mau bangun, maka ia
memercikkan air pada wajahnya” (H. R. Ahmad).22

 Setia dan ikhlas kepada suami


Setia adalah bukti keikhlasan dan cinta sejati. Seorang istri yang
sholehah akan selalu ikhlas kepada suaminya dan menjaga
perasaannya. Ia tidak mau membebani suaminya dengan tuntutan-
tuntutannya. Ia rela menghadapi kesulitan dengan sabar dan ridha.
Jika ia kaya, ia mau membantu suaminya yang miskin.

21
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal …, Jilid. 1. h. 191.
22
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis…, Juz. 4. h. 416.
27

 Tidak menyakiti suami


Seorang istri tidak boleh menyakiti suaminya, misalnya dengan cara
membangga-banggakan kecantikannya, atau membangga-banggakan
harta kekayaannya di hadapannya sampai menyinggung
perasaannya.

Agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita pada suatu tingkatan
yang belum pernah dilakukan oleh agama lain dan syari’at-syari’at lain
sebelumnya. Bahkan belum pernah dicapai oleh satu umat pun yang menganggap
diri mereka telah mencapai puncak peradaban dan kebudayaan. Meskipun mereka
telah menghormati dan memuliakan kedudukan wanita serta memberikan
pendidikan kepada mereka dalam bidang sains dan ilmu kemasyarakatan.

˲Δ˴Ο˴έ˴Ω ͉Ϧ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˶ϝΎ˴Ο͋ήϠ˶ϟ˴ϭ Para suami mempunyai satu derajat (tingkatan) atas
mereka para istri. Derajat yang dimaksud adalah derajat kepemimpinan. Tetapi
kepemimpinan yang berlandaskan kelapangan dada suami untuk meringankan
sebagian kewajiban istri, karena itu Ath-Thabari menulis, walaupun ayat ini
disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah bagi para suami
untuk memperlakukan istri mereka dengan sikap terpuji, agar mereka dapat
memperoleh derajat itu23.
Jadi, ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa suami itulah yang memimpin
istri, bukan istri yang memimpin suami. Dan terlihat juga bahwa dibebankannya
kepemimpinan kepada suami, bukan diberikan kepada wanita, sifatnya “fitrah”.24
Adapun hak dan kewajiban atas kedua belah pihak harus seimbang, maksudnya,
jika suami meminta sesuatu dari istrinya, ia pun harus mengingat bahwa ia
mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap istrinya. Jika tidak, ingatlah

˲Ϣϴ˵Ϝ˴Σ˲ΰϳ˶ΰ˴ϋ˵Ϫ˷Ϡϟ΍˴ϭ Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Dengan dibebankannya kepemimpinan kepada suami itulah, maka Kasmuri
Kasim, dalam bukunya Suami Idaman Istri Impian mengemukakan empat sifat

23
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 1, h. 491-492.
24
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih…, h. 302.
28

yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya layak menjadi
pemimpin di dalam rumah tangga:
a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara sempurna
Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah suami, oleh
karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan memperbanyak
pengetahuan agama. Disamping mengerjakan perintah agama yang
mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, kemudian harus
memahami pula bidang yang lain, karena Islam adalah agama yang
mencakup seluruh aspek kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.

b. Sempurna akal dan pemikiran


Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia berpikiran
positif. Karena apabila telah berumah tangga, seorang suami harus
memikirkan cara yang terbaik dalam memenuhi segala keperluan
rumah tangganya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

c. Sehat lahir dan batin


Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, haruslah terlebih
dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya, karena lemahnya
kemampuan tenaga batin akan membawa rumah tangga menjadi tidak
bahagia. Begitu juga jika sekiranya tidak mampu untuk bekerja karena
penyakit dan sebagainya akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat
memberikan nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.

d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan


Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak membebankan kaum
wanita supaya mencari nafkah, akan tetapi kewajiban ini harus
dilaksanakan oleh kaum laki-laki untuk menyediakan sesuai
kesanggupannya.
29

Pada hakikatnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman.


Dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya dan anak-anak adalah
raknyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan
semua urusannya, karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta
amanat25.

C. Kewajiban Suami
Suami adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya terletak responsibilitas yang
besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap keluarganya, dirinya dan
agamanya yang harus ia letakkan secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak
mengurangi kewajiban yang lain.
Sesungguhnya Allah swt. Telah berkehendak memberikan amanah kepada
perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tugas yang amat besar.
Karenanya sangat adil, jika kemudian Allah membebankan tugas kepada laki-laki
untuk mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan utama keluarganya dan
memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga dapat berkonsentrasi
menjalankan tugas mulianya.
1. Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri
Ajaran Islam menetapkan bahwa suami bertanggung jawab untuk
menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
a. Nafkah lahir
Allah swt. telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
yaitu:

˴Δ˴ϋΎ˴ο͉ήϟ΍͉Ϣ˶Θ˵ϳϥ˴΃˴Ω΍˴έ˴΃˸Ϧ˴Ϥ˶ϟ˶Ϧ˸ϴ˴Ϡ˶ϣΎ˴ϛ˶Ϧ˸ϴ˴ϟ˸Ϯ˴Σ͉Ϧ˵ϫ˴Ω˴ϻ˸ϭ˴΃˴Ϧ˸ό˶ο˸ή˵ϳ˵Ε΍˴Ϊ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϟ΍˴ϭ
͉ϻ˶· ˲β˸ϔ˴ϧ ˵ϒ͉Ϡ˴Ϝ˵Η ˴ϻ ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α ͉Ϧ˵Ϭ˵Η˴Ϯ˸δ˶ϛ˴ϭ ͉Ϧ˵Ϭ˵ϗ˸ί˶έ ˵Ϫ˴ϟ ˶ΩϮ˵ϟ˸Ϯ˴Ϥ˸ϟ΍ ϰ˴Ϡϋ˴ϭ
˻˼˼ΓήϘΒϟ΍ Ύ˴Ϭ˴ό˸γ˵ϭ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

25
Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami…, h. 9.
30

cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar


kesanggupannya...”. (Q. S. Al-Baqarah: 233).

˴Δ˴ϋΎ˴ο͉ήϟ΍͉Ϣ˶Θ˵ϳϥ˴΃˴Ω΍˴έ˴΃˸Ϧ˴Ϥ˶ϟ˶Ϧ˸ϴ˴Ϡ˶ϣΎ˴ϛ˶Ϧ˸ϴ˴ϟ˸Ϯ˴Σ͉Ϧ˵ϫ˴Ω˴ϻ˸ϭ˴΃˴Ϧ˸ό˶ο˸ή˵ϳ˵Ε΍˴Ϊ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϟ΍˴ϭ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dengan
menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat
kukuh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya.

Kata (˵Ε΍˴Ϊ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϟ΍˴ϭ) al-walidat dalam penggunaan Al-Quran berbeda

dengan kata (ΕΎϬϣ΃) ummahat yang merupakan bentu jamak dari kata

(ϡ΃) umm. Kata ummahat digunakan untuk menunjuk kepada para ibu

kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu
kandung maupun bukan. Ayat ini menggunakan kata al-walidat,
karena dalam hal ini adalah seorang ibu yang telah diceraikan oleh
suaminya itu masih mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang
masih menyusu. Itu suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan
tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayangnya mengalami
kerusakan oleh pertengkaran urusan rumah tangganya, sehingga
merugikan si kecil ini26. Ini berarti bahwa Al-Quran sejak dini telah
menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan,
adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun
demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya.
Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tentram; sebab
menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak
jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut27.

˴Δ˴ϋΎ˴ο͉ήϟ΍ ͉Ϣ˶Θ˵ϳ ϥ˴΃ ˴Ω΍˴έ˴΃ ˸Ϧ˴Ϥ˶ϟ ˶Ϧ˸ϴ˴Ϡ˶ϣΎ˴ϛ ˶Ϧ˸ϴ˴ϟ˸Ϯ˴Σ ͉Ϧ˵ϫ˴Ω˴ϻ˸ϭ˴΃ ˴Ϧ˸ό˶ο˸ή˵ϳ Sejak

kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk

26
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jil. I, Cet. II, h. 301
27
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1, h. 503-504.
31

menyusui anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari


kesempurnaaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga
mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah
penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang telah mengakibatan
anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak
kandung yang menyusunya28.

˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α ͉Ϧ˵Ϭ˵Η˴Ϯ˸δ˶ϛ˴ϭ ͉Ϧ˵Ϭ˵ϗ˸ί˶έ ˵Ϫ˴ϟ ˶ΩϮ˵ϟ˸Ϯ˴Ϥ˸ϟ΍ ϰ˴Ϡϋ˴ϭ Dan merupakan


kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan
dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukannya
itu telah diceraikannya secara ba’in, bukan raj’iy. Adapun jika ibu
anak itu masih berstatus istri walau telah ditalak secara raj’iy, maka
kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar
hubungan suami istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan
penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan
imbalan itu dinilai wajar29.
Maka diwajibkanlah kepada seorang ayah menanggung kebutuhan
hidup istrinya berupa makanan dan pakaian, dengan tujuan sang ibu
bisa melakukan kewajibannya terhadap bayinya dengan sebaik-
baiknya dan menjaganya dari serangan penyakit30.
Jatuhnya kewajiban memberikan kebutuhan hidup sehari-hari bagi
istri, dikarenakan anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak itu
lahir untuk ayahnya, nama ayah pun akan disandang oleh sang anak,
yakni dinisbahkan kepada ayahnya.

Ύ˴Ϭ˴ό˸γ˵ϭ͉ϻ˶·˲β˸ϔ˴ϧ˵ϒ͉Ϡ˴Ϝ˵Η˴ϻ Seseorang tidak dibebani melainkan menurut


kadar kesanggupannya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu
hendaknya dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf.
Dalam ayat lain yang berhubungan dengan ayat di atas yaitu dalam

28
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 504.
29
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 504.
30
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 2, h. 321.
32

Q. S. Al-Ahqaf ayat 15, menjelaskan:

˴ϝΎ˴ϗ˱Δ˴Ϩ˴γ˴Ϧϴ˶ό˴Α˸έ˴΃˴ώ˴Ϡ˴Α˴ϭ˵ϩ͉Ϊ˵η˴΃˴ώ˴Ϡ˴Α΍˴Ϋ˶·ϰ͉Θ˴Σ˱΍ή˸Ϭ˴η˴ϥϮ˵ΛΎ˴Ϡ˴Λ˵Ϫ˵ϟΎ˴μ˶ϓ˴ϭ˵Ϫ˵Ϡ˸Ϥ˴Σ˴ϭ...
˸ϥ˴΃˴ϭ ͉ϱ˴Ϊ˶ϟ΍˴ϭ ϰ˴Ϡ˴ϋ˴ϭ ͉ϲ˴Ϡ˴ϋ ˴Ζ˸Ϥ˴ό˸ϧ˴΃ ϲ˶Θ͉ϟ΍ ˴Ϛ˴Θ˴Ϥ˸ό˶ϧ ˴ή˵Ϝ˸η˴΃ ˸ϥ˴΃ ϲ˶Ϩ˸ϋ˶ί˸ϭ˴΃ ͋Ώ˴έ
˴Ϧ˶ϣ ϲ͋ϧ˶·˴ϭ ˴Ϛ˸ϴ˴ϟ˶· ˵Ζ˸Β˵Η ϲ͋ϧ˶· ϲ˶Θ͉ϳ͋έ˵Ϋ ϲ˶ϓ ϲ˶ϟ ˸΢˶Ϡ˸λ˴΃˴ϭ ˵ϩΎ˴ο˸ή˴Η ˱ΎΤ˶ϟΎ˴λ ˴Ϟ˴Ϥ˸ϋ˴΃
ͼ˺˾ϑΎϘΣϷ΍ͽ˴Ϧϴ˶Ϥ˶Ϡ˸δ˵Ϥ˸ϟ΍
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdo`a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada
anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (Q. S.
Al-Ahqaf: 15).

˱΍ή˸Ϭ˴η ˴ϥϮ˵ΛΎ˴Ϡ˴Λ ˵Ϫ˵ϟΎ˴μ˶ϓ˴ϭ ˵Ϫ˵Ϡ˸Ϥ˴Σ, ayat ini mengisyaratkan bahwa masa

kandungan minimal adalah enam bulan, karena pada Q. S. Al-Baqarah


ayat 2, telah dinyatakan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah
dua tahun, yakni 24 bulan. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa
penyusuan minimal adalah sembilan bulan, karena masa kandungan
yang normal adalah sembilan bulan. Betapapun ayat di atas
menunjukkan betapa pentingnya ibu menyusukan anak dengan ASI
(Air Susu Ibu).
Ayat di atas juga menunjukkan betapa pentingnya ibu kandung
memberikan perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya, khususnya
pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Sikap
kejiwaan seorang dewasa banyak sekali ditentukan oleh perlakuan
yang dialaminya pada saat kanak-kanak, karena itu tidaklah tepat
membiarkan mereka hidup terlepas dari ibu bapak kandungnya.
Betapapun banyak kasih sayang yang dapat diberikan oleh orang lain,
tetap saja kasih sayang ibu bapak masing sangat mereka butuhkan.
33

˵ϩ͉Ϊ˵η˴΃ ˴ώ˴Ϡ˴Α ΍˴Ϋ˶· ϰ͉Θ˴Σ, Banyak ulama yang menyatakan bahwa itu

terpenuhi pada usia 33 tahun. Betapapun maknanya, yang jelas ayat di


atas menuntut peningkatan pengabdian dan bakti kepada orang tua
dari saat ke saat, dan bahwa walaupun seseorang telah mencapai usia
kedewasaan dan memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-
anaknya, namun bakti tersebut harus terus berlanjut dan terus
meningkat.
Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan
jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah
meninggal dunia31.
Untuk masalah pemberian nafkah ini, Allah lebih menjelaskannya lagi
pada surat At-Talaq ayat 7:

Ύ˴ϟ ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ˵ϩΎ˴Η΁ Ύ͉Ϥ˶ϣ ˸ϖ˶ϔϨ˵ϴ˸Ϡ˴ϓ ˵Ϫ˵ϗ˸ί˶έ ˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˴έ˶Ϊ˵ϗ Ϧ˴ϣ˴ϭ ˶Ϫ˶Θ˴ό˴γ Ϧ͋ϣ ˳Δ˴ό˴γ ϭΫ ˸ϖ˶ϔϨ˵ϴ˶ϟ
(̀ϕϼτϟ΍)˱΍ή˸δ˵ϳ˳ή˸δ˵ϋ˴Ϊ˸ό˴Α˵Ϫ͉Ϡϟ΍˵Ϟ˴ό˸Π˴ϴ˴γΎ˴ϫΎ˴Η΁Ύ˴ϣΎ͉ϟ˶·˱Ύδ˸ϔ˴ϧ˵Ϫ͉Ϡϟ΍˵ϒ͋Ϡ˴Ϝ˵ϳ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan” (Q. S. At-Talaq: 7).

˶Ϫ˶Θ˴ό˴γ Ϧ͋ϣ ˳Δ˴ό˴γ ϭΫ ˸ϖ˶ϔϨ˵ϴ˶ϟ Hendaklah yang lapang, yakni mampu dan

memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya


dari yang sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian
hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula
kelapangan dan keluasan berbelanja32.

31
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1, h. 505.
32
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
34

˵Ϫ͉Ϡϟ΍˵ϩΎ˴Η΁Ύ͉Ϥ˶ϣ˸ϖ˶ϔϨ˵ϴ˸Ϡ˴ϓ˵Ϫ˵ϗ˸ί˶έ˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˴έ˶Ϊ˵ϗϦ˴ϣ˴ϭ Dan siapa yang disempitkan

rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi


nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Jangan sampai ia
memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sumber
yang tidak direstui Allah33.

Ύ˴ϫΎ˴Η΁ Ύ˴ϣ Ύ͉ϟ˶· ˱Ύδ˸ϔ˴ϧ ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ˵ϒ͋Ϡ˴Ϝ˵ϳ Ύ˴ϟ Allah tidak akan memikulkan beban

kepada seseorang sesuai apa yang Allah berikan kepadanya. Karena


itu janganlah wahai istri menuntut terlalu banyak dan
pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami kamu. Di sisi lain
hendaklah semua pihak selalu optimis dan mengharap kiranya Allah
memberinya kelapangan34.
Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini
kembali kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang
berlaku pada satu masyarakat35.
Suami yang tidak dapat menutupi biaya hidup keluarganya, mestinya
memperoleh sumbangan dari Bait al-Mal atau kini dikenal dengan
Departement Sosial. Tetapi kalau seandainya suami tidak
mendapatkannya, maka istri – yang rela hidup bersama suami yang
tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar – dapat menuntut
cerai36.

˱΍ή˸δ˵ϳ ˳ή˸δ˵ϋ ˴Ϊ˸ό˴Α ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ˵Ϟ˴ό˸Π˴ϴ˴γ Allah akan memberikan kelapangan

sesudah kesempitan, ada ulama yang memahaminya sebagai janji yang


pasti terlaksana. Al-Biqa’i mengomentari penggalan ayat ini bahwa:

33
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
34
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
35
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
36
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
35

“karena itu tidak ada seseorang yang terus menerus sepanjang usia
hidupnya dalam keadaan kesempitan37.
Kemudian Rasulullah saw. juga bersabda:

ϩ΍ϭέ  ΔϗΪλ Ϫϟ ΖϧΎϛ ΎϬΒδΘΤϳ Ϯϫϭ ϪϠϫ΃ ϲϠϋ ΔϘϔϧ ϢϠδϤϟ΍ ϖϔϧ΃ ΍Ϋ·
 ϯέΎΨΒϟ΍
“Apabila seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya dengan
mengharap pahala, maka nafkah tersebut termasuk sedekah.” (H. R.
Bukhari).38

ΎϬϠόΠΗΔϤϘϠϟ΍ϰΘΣ ΎϬΑΕήΟ΃ϻ·Ϳ΍ϪΟϭΎϬΑϰϐΘΒΗΔϘϔϧϖϔϨΗΖδϟϭ
 ϢϠδϣϩ΍ϭέ ϚΗ΃ήϣ΍ϲϓϰϓ
“Sungguh, tidak ada nafkah yang kamu berikan dengan maksud
mendapatkan ridha Allah, kecuali kamu akan mendapatkan
pahalaNya, termasuk juga makanan yang kamu berikan ke mulut
istrimu.” (H. R. Bukhari dan Muslim).39

Seorang ibu mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui


juga demi sang suami. Oleh karena itu wajib bagi suami memberi
nafkah secukupnya kepada istriya berupa sandang dan papan, agar ia
dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara
bayinya.
Walaupun memberi nafkah itu merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga,
tetapi sesuai dengan dalil yang di atas, memberi nafkah itu tidak boleh
berlebih-lebihan, dalam artian melewati batas kemampuan suami itu,
yang nantinya akan membuat suami itu sengsara. Dan tidak boleh juga
kurang, yang nantinya akan berakibat memberatkan sang istri.
Sesungguhnya Islam melarang seorang suami “menikmati” hasil usaha
istrinya. Akan tetapi, aturan ini tidaklah kemudian menjadikan seorang
37
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 303.
38
Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Kutab
Alamiya), Juz. 2. h. 1135.
39
Abi Husain Muslim, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm), Juz. 3. h. 1013.
36

istri tidak bekerja mencari nafkah, sekiranya memang nafkah yang


diberikan oleh suaminya tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah
tangganya. Dan pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri itu
terwujud karena dua hal40: Pertama, ia ‘wajib’ mencari nafkah
bersama-sama suaminya demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah
tangga mereka. Jadi, prinsip yang harus dipegang di sini adalah bahwa
walaupun nafkah itu diberikan oleh seorang suami kepada istrinya
sebagai hak bagi istrinya, tetapi kegunaan nafkah itu tidak semata-mata
untuk kebutuhan istrinya saja (misal, untuk membeli perhiasan atau
pakaian), melainkan juga untuk kegunaan suaminya (misal, makan dan
minum). Dengan demikian, harta yang diberikan oleh seorang suami
pada intinya merupakan harta yang digunakan untuk kepentingan
bersama. Oleh karena itu, pemenuhan akan kebutuhan bersama ini
tidak mencukupi, maka seorang istri tidak boleh harus memaksakan
diri untuk tidak mau tahu terhadap kekurangan tersebut dengan hanya
mengharapkan pemberian nafkah suaminya saja. Dan sang suami pun
harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan istri agar dalam memenuhi
kebutuhan itu cukup untuk istri, karena kalau tidak itu akan
memberatkan istri.
Kedua, pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri hanya
bersifat “membantu” suaminya, dan bukan merupakan kewajiban.
Bantuan dalam pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri
kepada suaminya di sini “tidak penting” untuk dilakukan (yakni tidak
sebagaimana dalam kasus yang pertama), karena nafkah yang
diberikan oleh suaminya telah mencukupi kebutuhan istri dan
kebutuhan rumah tangga mereka.

40
Muhammad Muhyidin, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri &
Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. h. 260-261.
37

b. Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri


Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama
memiliki nafsu syahwat, dengan adanya nafsu syahwat itu maka setiap
orang ingin memiliki keturunan, yang akhirnya disyariatkanlah
perkawinan.
Ada ulama berpendapat bahwa hukum memberikan nafkah batin
(hubungan suami istri) bagi seorang suami apabila tidak ada halangan
adalah wajib. Ada juga yang mengatakan bahwa melakukan hubungan
suami istri itu wajib dilakukan setiap empat hari sekali, tetapi ada juga
yang berpendapat enam hari sekali41.
Sebenarnya berbagai macam pendapat ulama di atas itu sejalan dengan
anjuran Rasulullah saw. yang melarang setiap suami meninggalkan
istrinya dalam waktu yang terlalu lama, walaupun untuk tujuan
berzikir, beribadah dan jihad. Karena perbuatan yang demikian itu
pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri42.
Selain hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu syahwat, memiliki
keturunan merupakan salah satu tujuan dari ikatan perkawinan. Oleh
karena itu, salah satu dari suami atau istri tidak boleh menghalangi
yang lainnya untuk memenuhi hak berhubungan suami istri. Hak
berhubungan suami istri ini ditetapkan oleh syara’. Allah swt.
berfirman:

˴Ϫ˷Ϡϟ΍ ˸΍Ϯ˵Ϙ͉Η΍˴ϭ ˸Ϣ˵Ϝ˶δ˵ϔϧ˴Ϸ ˸΍Ϯ˵ϣ͋Ϊ˴ϗ˴ϭ ˸Ϣ˵Θ˸Ό˶η ϰ͉ϧ˴΃ ˸Ϣ˵Ϝ˴Λ˸ή˴Σ ˸΍Ϯ˵Η˸΄˴ϓ ˸Ϣ˵Ϝ͉ϟ ˲Ι˸ή˴Σ ˸Ϣ˵ϛ˵΅΂˴δ˶ϧ
˻˻˼ΓήϘΒϟ΍ ˴Ϧϴ˶Ϩ˶ϣ˸Ά˵Ϥ˸ϟ΍˶ή͋θ˴Α˴ϭ˵ϩϮ˵ϗ˴ϼ͊ϣϢ˵Ϝ͉ϧ˴΃˸΍Ϯ˵Ϥ˴Ϡ˸ϋ΍˴ϭ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.” (Q. S. Al-Baqarah: 223).

41
Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian…, h. 79.
42
Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian…, h. 80
38

˸Ϣ˵Θ˸Ό˶ηϰ͉ϧ˴΃˸Ϣ˵Ϝ˴Λ˸ή˴Σ˸΍Ϯ˵Η˸΄˴ϓ˸Ϣ˵Ϝ͉ϟ˲Ι˸ή˴Σ˸Ϣ˵ϛ˵΅΂˴δ˶ϧ tidak ada dosa bagi kalian

untuk mendatangi istri-istri kalian dengan cara apapun yang kalian


sukai, jika hal ini kalian lakukan untuk mendapatkan keturunan dan
kalian melakukannya pada tempat yang sebenarnya. Sebab, syariat
agama tidak bermaksud memberati kalian dan melarang kalian untuk
menikmati kelezatan ini. Sebaliknya syariat justru ingin mendatangkan
kebaikan dan manfaat bagi kalian43.
Ayat di atas, yang menegaskan bahwa istri adalah tempat bercocok
tanam, bukan saja mengisyaratkan bahwa anak yang lahir adalah buah
dari benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi sebagai ladang
yang menerima benih44.
Karena istri adalah ladang tempat bercocok tanam, maka datangilah,
garaplah tanah tempat bercocok tanam kamu. Datangi ia kapan dan
dari mana saja, asal sasarannya ke arah sana, bukan arah yang lain.
Arah yang lain berfungsi mengeluarkan najis dan kotoran, bukan untuk
menerima yang suci dan bersih. Sperma adalah sesuatu yang suci dan
menumpahkannya pun harus suci, karena itu lakukanlah ia dengan
tujuan memelihara diri dari terjerumus kepada dosa. Berdoalah ketika
melakukannya. Ciptakanlah suasana kerohanian agar benih yang
diharapkan berbuah itu, lahir, tumbuh dan berkembang, disertai oleh
nilai-nilai suci45.

˸Ϣ˵Ϝ˶δ˵ϔϧ˴Ϸ ˸΍Ϯ˵ϣ͋Ϊ˴ϗ˴ϭ Dan kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan


kemaslahatan untuk diri kamu di dunia dan akhirat, bukan semata-mata
untuk melampiaskan nafsu46.

43
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 2, h. 274.
44
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1, h. 480.
45
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1. h. 481.
46
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1. h. 481.
39

Ϫ˷Ϡϟ΍ ˸΍Ϯ˵Ϙ͉Η΍˴ϭ Serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami

istri, bahkan dalam segala hal. Jangan menduga Allah tidak


mengetahui keadaan kamu tentang segala sesuatu yang kamu
rahasiakan47.

˵ϩϮ˵ϗ˴ϼ͊ϣ Ϣ˵Ϝ͉ϧ˴΃ ˸΍Ϯ˵Ϥ˴Ϡ˸ϋ΍˴ϭ Ketahuilah, bahwa kamu kelak akan menemui-

Nya. Jika demikian, jangan sembunyikan sesuatu terhadap pasangan


yang seharusnya ia ketahui, jangan membohonginya. Di sisi lain,
jangan membongkar rahasia rumah tangga yang seharusnya
dirahasiakan. Kalaupun ada cekcok selesaikan ke dalam, dan jangan
selesaikan melalui orang lain, kecuali kalau terpaksa. Allah kelak akan
menyelesaikannya, karena kelak kamu akan menemui-Nya. Demikian
kesan Al-Harrali, seorang ulama dan pengamal tashawuf (w. 637 H.)
yang banyak dikutip pendapatnya oleh Al-Biqa’i. Berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman yang imannya mengantarkan
mereka mematuhi tuntutan-tuntutan ini48.
Ayat ini menjelaskan bahwa hikmah menggauli wanita adalah untuk
menjaga kelestarian jenis manusia melalui kelahiran, bukan sekedar
untuk memperoleh kelezatan semata-mata. Karena itulah dilarang
untuk menggauli wanita yang sedang haid dan pada tempat yang lain,
sebab keadaan keduanya itu tidak akan pernah menghasilkan
keturunan49.
Penyebutan istri sebagai “ladang” secara tidak langsung juga
mengatakan bahwa suami itu adalah “petani” untuk itulah petani bebas
mendatangi ladangnya kapan pun dan darimana pun, yang penting
tujuan dari petani tercapai. Dan petani harus bisa menggarap
ladangnya dan menjaganya dari segala hama, serta ciptakanlah suasana

47
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1. h. 481.
48
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1. h. 481-482.
49
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 2, h. 274.
40

kerohanian yang agar benih yang diharapkan berbuah itu lahir, tumbuh
dan berkembang, disertai dengan nilai-nilai suci50.
Untuk menciptakan itu, maka kedepankanlah hubungan seks dengan
tujuan kemasalahatan untuk dunia dan akhirat, bukan hanya untuk
memuaskan nafsu yang tidak pernah kenyang, serta bertakwalah
kepada Allah dalam hubungan suami-istri, bahkan dalam segala hal.
Dengan melihat kedua ayat di atas, maka seks merupakan kebutuhan
laki-laki dan perempuan. Karena itu suami dan istri saling
membutuhkan, dan memberikan yang terbaik, sebagaimana petani
membutuhkan ladang dan ladang membutuhkan petani.
Ketika nafkah bathin ini tidak dilaksanakan oleh seorang suami dan
jiwa terlalu lama menantikan belaian cinta dari suami, air mata bisa
mengalir karena tidak kuat menahan rasa sepi yang mencekam.
Sementara tidak ada kekasih yang menguak hasratnya. Bahkan pada
tingkat tertentu bisa menyebabkan munculnya ketegangan rumah
tangga. Oleh karena itu, nafkah batin harus diberikan oleh suami
dengan baik.51
Adapun tentang berapa lama boleh suami meninggalkan istri, Saib bin
Jubair berkata52:
“Pada suatu malam, khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan
keliling kota Madinah dan hal yang demikian itu sering ia lakukan.
Secara kebetulan di dekat rumah salah seorang wanita yang pintunya
terkunci, dari luar ia mendengar wanita tersebut mendendangkan
syairnya, yang isinya tentang keluhan kesedihan karena sudah terlalu
lama ditinggalkan oleh suaminya. Kemudian Umar pun bertanya
tentang kemana suaminya. Perempuan itu menjawab bahwa suaminya
sedang berjihad fi sabilillah. Besoknya Umar mengirim surat kepada
suaminya dan menyuruhnya pulang. Kemudian kepada anaknya
Hafsah, Umar bin Khattab bertanya: Wahai anakku, berapa lamakah
kaum wanita boleh bersabar apabila ditinggal oleh suaminya? Hafsah
Menjawab: Subhanullah, orang seperti ayah bertanya kepadaku
50
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 1, h. 481.
51
Mohammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI. h. 193.
52
Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian…, h. 81-82.
41

tentang perkara ini? Umar menjawab: Kalau bukan karena saya ingin
memperhatikan permasalahan kaum muslimin, tentu saya tidak akan
bertanya tentang masalah ini kepadamu. Hafsah menjawab: Lima
bulan atau enam bulan. Mendengar jawaban dari anaknya itu, maka
mulai saat itu khalifah Umar bin Khattab menetapkan untuk mujahidin
berperang waktunya paling lama enam bulan, waktu berangkat
sebulan, tinggal di medan perang selama empat bulan dan kembali
pulang selama sebulan.”

2. Mempergauli istri dengan baik


Islam memandang rumah tangga dengan mengidentifikasinya sebagai
tempat ketenangan, keamanan dan kesejahteraan. Islam juga memandang
hubungan dan jalinan suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan
cinta, kasih dan sayang, dan menegakkan unsur ini di atas pilihan dan
kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan sambut
menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai.
Kewajiban yang harus selalu diperhatikan oleh suami sebagai kepala
rumah tangga adalah menjaga kemuliaan istrinya dari hal-hal yang
menyebabkan kehormatannya dihina atau hal-hal yang merendahkan
martabatnya sebagai manusia. Sang suami harus menjauhi hal-hal yang
bisa melukai perasaannya dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengingkari janji yang telah dibuat bersama53.
Tentang hal ini Allah swt. Berfirman:

˴Ϟ˴ό˸Π˴ϳ˴ϭ˱ΎΌ˸ϴ˴η˸΍Ϯ˵ϫ˴ή˸Ϝ˴Ηϥ˴΃ϰ˴δ˴ό˴ϓ͉Ϧ˵ϫϮ˵Ϥ˵Θ˸ϫ˶ή˴ϛϥ˶Έ˴ϓ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α͉Ϧ˵ϫϭ˵ή˶ηΎ˴ϋ˴ϭ
˺̂˯Ύδϧ΍ ˱΍ήϴ˶Μ˴ϛ˱΍ή˸ϴ˴Χ˶Ϫϴ˶ϓ˵Ϫ˷Ϡϟ΍
“...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak” (Q. S. An-Nisaa: 19).

 ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α͉Ϧ˵ϫϭ˵ή˶ηΎ˴ϋ˴ϭ Dan bergaullah dengan mereka secara makruf,


ada ulama yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik

53
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jil 2, h. 306.
42

kepada istri yang dicintai maupun tidak. Kata ϑϭήόϣ ma’ruf mereka

pahami mencakup tidak menganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari
itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Asy-Sya’rawi
memiliki pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada
suami yang tidak mencintai lagi istrinya. Ulama Mesir yang meninggal
tahun 1999, membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi
hubungan suami istri dengan ma’ruf yang diperintahkan di sini. Al-
mawaddah menurutnya adalah berbuat baik kepadanya, merasa senang
bersamanya serta bergembira dengan kehadirannya, sedang ma’ruf tidak
harus demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta, sedang makruf
tidak mengharuskan adanya cinta54.
Asy-Sya’rawi merujuk kepada firman Allah yang menafikan adanya
mawaddah atau cinta kepada orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak, anak atau saudara-saudara.
Padahal katanya; dalam ayat yang lain, Dia memerintahkan anak untuk
bergaul dengan makruf kepada ibu bapak yang memaksa anak untuk tidak
percaya keesaan Allah. Ini berarti berbeda antara makruf dengan cinta55.
Apa yang dikemukakan Asy-Sya’rawi di atas, sungguh tepat. Bahkan
mawaddah yang diharapkan terjalin antara suami istri, bukan saja dalam
arti cinta, tetapi ia adalah cinta plus56.
Penggalan ayat di atas melarang menyusahkan atau menyakiti istri oleh
sebab apapun, kecuali istri tersebut melakukan perbuatan yang keji yang
nyata, seperti berzina atau nusyuz.
Asy-Sya’rawi mengatakan, agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan
hanya karena cinta suami istri telah pupus. Walau cinta pupus, tetapi
berbuat baik masih harus diperintahkan. Sebagaimana ketika seseorang
yang ingin menceraikan istrinya karena tidak mencintainya lagi, ‘Umar bin
54
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 2, h. 382.
55
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 2…, h. 383.
56
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 2…, h. 383.
43

Khatab mengecamnya sambil berkata: “Apakah rumah tangga hanya


dibina atas dasar cinta? Kalau demikian mana nilai-nilai luhur? Mana
pemeliharaan, mana amanah yang engkau terima?”57
Suami harus memperbaiki pergaulannya dengan istri, untuk itu harus
menggauli mereka dengan cara yang mereka senangi. Jangan memperketat
nafkah mereka, jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun
perbuatan. Atau menyambut mereka dengan wajah yang muram dan
menyambut mereka dengan mengerutkan dahi58.
Dan apabila suami tidak menyenangi istrinya karena keaiban akhlak atau
fisik mereka yang tidak menyenangkan, bersabarlah, karena Allah
menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu,
termasuk pada mereka yang tidak disukai itu59.
Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang, “Apa hak istri yang wajib kita
penuhi?” Rasulullah saw. menjawab,

ήΠϬΗϻϭΞϘΗϻϭϪΟϮϟ΍ΏήπΗϻϭΖϴδΘϛ΍Ϋ·ΎϫϮδϜΗϭΖϤόσ΍Ϋ·ΎϬϤόσ
 ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ ΖϴΒϟ΍ϲϓϻ·
“Kamu memberi makan kepadanya apabila kamu makan. Kamu memberi
pakaian kepadanya apabila kamu berpakaian. Jangan kamu pukul
wajahnya! Jangan kamu cela! Dan, jangan kamu pisah ranjang (hajr)
kecuali di dalam rumah.” (H. R. Ahmad Daud dan Nasaa’i).60

Orang-orang saleh pernah berkata, “Seorang istri itu laksana botol, maka
penuhilah botol itu dengan minuman yang engkau sukai.” Orang saleh
yang lain pernah berkata, “Dalam menghadapi seorang wanita, kita
memerlukan sedikit humor, tutur kata yang lembut, melipur lara, dan
perhatian yang cukup.” Juga diingat, tutur kata yang baik termasuk
sedekah.

57
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol 2, h. 383.
58
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil 4, h. 384.
59
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil 4, h. 384.
60
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal …, Jilid. 4. h. 447.
44

Dengan melihat hadis di atas, secara tidak langsung Islam melarang suami
melukai perasaan istri dengan perkataan. Karena hal itu yang akan
membuka terjadinya pemukulan dan kekerasan lain oleh suami kepada
istri, akibatnya istri akan tersakiti secara fisik juga mentalnya, walaupun
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat karena istri tidak taat
kepada suaminya boleh memukulnya. Karena memukul merupakan
perubahan hukum dari kesulitan kepada kemudahan karena suatu alasan
disebabkan latar belakang hukum asli. Sebab larangan itu merupakan rasa
kasihan dan sayang kepada mereka. Menegakkan keadaan yang
membolehkan karena suatu alasan, yaitu demi kelanggengan suami istri
dan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta
menunaikan hak-haknya ketika hak-hak mereka ditinggalkan.
Jadi, seorang kepala rumah tangga mempunyai kewajiban; selain harus
memberikan nafkah kepada istrinya, baik lahir maupun batin, juga harus
menjaga kehormatan dan perasaan istrinya itu.
BAB III
PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA
RUMAH TANGGA YANG SAKINAH

Peranan adalah dari kata dasar “peran” yang ditambahkan akhiran “an”,
peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat. Sedangkan “peranan” adalah bagian dari tugas
utama yang harus dilaksanakan1. Dan “suami” memiliki arti pria yang menjadi
pasangan hidup resmi seorang wanita2. Sehingga yang dimaksud dengan peranan
suami adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh suami.
Adapun peranan suami dalam rumah tangga menurut Ahmadi Sofyan dalam
bukunya The Best Husband in Islam meliputi; memberikan teladan, bertanggung
jawab, dan menciptakan rumah tangga teladan.

A. Memberikan Teladan
Harus diakui, bahwa merosotnya moral generasi muda saat ini, tidak lepas dari
kemerosotan akhlak para orang tua. Sesungguhnya orang tua adalah teladan yang
paling dekat dengan anak-anaknya. Namun, sayangnya ternyata seringkali orang

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 860.

45
46

tua lalai membimbing mereka dengan akhlak yang baik dalam perlakuan dan
tindakan kita sehari-hari3.
Membangun sebuah keluarga bukan hanya untuk sehari atau dua hari, akan
tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Keutuhan dan kesuksesan dalam
berumah tangga akan menjadi cermin bagi anak-anak yang dilahirkan ketika
mereka berkeluarga nantinya. Oleh karena itu memberikan teladan kepada anak
merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan generasi yang
dilahirkan orang tua dari benih-benih cinta mereka.
Kelalaian ini terjadi ketika sang suami tidak mampu memberikan teladan
kepada istrinya dalam mendidik sebuah keluarga bahagia yang didambakan,
sedangkan sang istri pun lalai dalam memenuhi kewajibannya sebagai seorang
istri dan ibu rumah tangga yang baik. Akibatnya anak-anak menjadi korban dari
kelalaian seorang pendidik dalam rumah tangga4.
Seorang suami diperintahkan untuk menasehati keluarganya, memerintahkan
mereka untuk melakukan kebaikan, mencegah mereka dari kemungkaran. Di
antara kewajiban seorang suami adalah mendidik keluarganya tentang hukum-
hukum agama5.
Manusia dikatakan sebagai makhluk mulia di antara makhluk-makhluk ciptaan
lainNya, karena Ia menganugerahkan dengan akhlak. Manusia yang tidak
memiliki akhlak, maka ia tidak patut dikatakan sebagai manusia. Akhlak ini pun
akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah swt. Begitu juga akhlak
suami dalam rumah tangga terhadap isterinya dan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya. Karena isteri dan anak adalah amanah Allah swt. yang harus
diperlakukan dengan baik oleh seorang suami.

3
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006). Cet. Ke-I, h.
29.
4
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 29-30.
5
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 77.
47

Adapun akhlak suami kepada istrinya adalah sebagai berikut6:


1. Memperlakukannya dengan baik
Allah swt. berfirman:

 ˺̂˯ΎδϨϟ΍ ˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α͉Ϧ˵ϫϭ˵ή˶ηΎ˴ϋ˴ϭ
“Dan bergaulah dengan mereka dengan cara yang baik” (Q. S. An-Nisa:
19).
Seorang suami yang memiliki akhlak dan memahami sang isteri tercinta,
maka ia memberi makan isterinya dengan makanan yang baik,
memberinya pakaian yang sopan, dan mendidiknya dengan didikan Islam,
agar isterinya tidak membangkang seperti yang diperintahkan Allah swt.
kepadanya dengan menasehatinya tanpa mencaci-maki atau menjelek-
jelekannya. Jika isteri tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya,
jika isteri tetap tidak taat kepadanya, maka ia memiliki hak untuk
memukul, yakni memukul bukan untuk menyakiti atau melukai, tidak
mengucurkan darah, dan tidak meninggalkan bekas luka, dan tidak sampai
membuat salah satu organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugas.
Allah swt. berfirman:

͉Ϧ˵ϫϮ˵Α˶ή˸ο΍˴ϭ˶ϊ˶ΟΎ˴π˴Ϥ˸ϟ΍ϲ˶ϓ͉Ϧ˵ϫϭ˵ή˵Π˸ϫ΍˴ϭ͉Ϧ˵ϫϮ˵ψ˶ό˴ϓ͉Ϧ˵ϫ˴ίϮ˵θ˵ϧ˴ϥϮ˵ϓΎ˴Ψ˴Ηϲ˶Η͉ϼϟ΍˴ϭ
 ˼˽˯ΎδϨϟ΍ ˱΍ήϴ˶Β˴ϛ˱Ύ˷ϴ˶Ϡ˴ϋ˴ϥΎ˴ϛ˴Ϫ˷Ϡϟ΍͉ϥ˶·˱ϼϴ˶Β˴γ͉Ϧ˶Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˸΍Ϯ˵ϐ˸Β˴Η˴ϼ˴ϓ˸Ϣ˵Ϝ˴Ϩ˸ό˴σ˴΃˸ϥ˶Έ˴ϓ
“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya
(Pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkan mereka” (Q. S. An-Nisa: 34).

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

ήΠϬΗϻϭΞϘΗϻϭϪΟϮϟ΍ΏήπΗϻϭΖϴδΘϛ΍Ϋ·ΎϫϮδϜΗϭΖϤόσ΍Ϋ·ΎϬϤόσ
 ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ ΖϴΒϟ΍ϲϓϻ·

6
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam..., h. 34-38.
48

“Kamu memberi makan kepadanya apabila kamu makan. Kamu memberi


pakaian kepadanya apabila kamu berpakaian. Jangan kamu pukul
wajahnya! Jangan kamu cela! Dan, jangan kamu pisah ranjang (hajr)
kecuali di dalam rumah.” (H. R. Ahmad, Daud dan Nasaa’i).7

ϩήϴϏ ϝΎϗ ϭ΍ ήΧ΃ ΎϬϨϣ ϲοέ ΎϘϠΧ ΎϬϨϣ ϩήϛ ϥ· ΔϨϣΆϣ ϦϣΆϣ ϙήϔϳϻ
 ϢϠδϣϩ΍ϭέ
“Laki-laki mukmin tidak boleh membenci wanita mukminah, jika ia
membenci sesuatu pada fisiknya, ia menyenangi yang lainnya” (H. R.
Muslim).8

2. Mengerjakan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada


isterinya jika belum mengetahui
Seorang suami wajib hukumnya memberikan kemudahan kepada isterinya
dalam mempelajari agama. Jika tidak mampu untuk mengajari sendiri,
maka hendaknya memberinya izin untuk menghadiri pengajian, majelis
ta’lim, forum-forum ilmiah dan lain-lain. Sebab kebutuhan untuk
memperbaiki kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih
sedikit dari kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib
diberikannya.
Allah swt. berfirman:

Ύ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˵Γ˴έΎ˴Π˶Τ˸ϟ΍˴ϭ˵αΎ͉Ϩϟ΍Ύ˴ϫ˵ΩϮ˵ϗ˴ϭ˱΍έΎ˴ϧ˸Ϣ˵Ϝϴ˶Ϡ˸ϫ˴΃˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˴δ˵ϔϧ˴΃΍Ϯ˵ϗ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ΁˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃Ύ˴ϳ
.˴ϥϭ˵ή˴ϣ˸Ά˵ϳΎ˴ϣ˴ϥϮ˵Ϡ˴ό˸ϔ˴ϳ˴ϭ˸Ϣ˵ϫ˴ή˴ϣ˴΃Ύ˴ϣ˴Ϫ͉Ϡϟ΍˴ϥϮ˵μ˸ό˴ϳΎ˴ϟ˲Ω΍˴Ϊ˶η˲υΎ˴Ϡ˶Ϗ˲Δ˴Ϝ˶΋Ύ˴Ϡ˴ϣ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q. S. At-Tahrim: 6).

7
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal …, Jilid. 4. h. 447.
8
Muslim. Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993) Juz.
II. h. 871.
49

˸Ϣ˵Ϝ˴δ˵ϔϧ˴΃΍Ϯ˵ϗ Quu anfusakum, Jadilah dirimu yaitu suami pelindung dari api
neraka dengan meninggalkan maksiat9. Membentengi keluarga dari api
neraka dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya10:
 Membentuk mereka menjadi manusia yang bertakwa pada Allah
dengan senantiasa menyeru mereka untuk mentaati Allah dan melarang
mereka dari maksiat kepadaNya. Ini berarti ia harus selalu
mengondisikan dan memfasilitasi terwujudnya iklim yang mendorong
semua anggota keluarga menjadi orang-orang yang bertakwa.
Untuk itu, ketika orang tua membiasakan anak-anaknya shalat, puasa,
membaca Al-Quran dan lain-lain sesungguhnya mereka telah
membentengi anak-anak dari api neraka.
 Membina keluarga dengan pembinaan yang terpadu dan kontinyu.
 Menyiapkan sandang, pangan dan papan keluarga dengan cara yang
halal. Sebab, harta yang haram di dapat dari cara yang haram justru
menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Hal ini sebagaimana sabda
Nabi saw.

ϪΑϰϟϭ΃έΎϨϟΎϓΖΤδϟ΍ϪΘΒϧ΃ϢΤϟϞϛ
“Setiap daging yang tumbuh (dalam tubuh manusia) dari sesuatu yang
haram, maka neraka lebih berhak untuk (tempat tinggal) nya.11

˸Ϣ˵Ϝϴ˶Ϡ˸ϫ˴΃˴ϭ Wa ahlikum, yaitu suami harus membawa keluarganya kepada


penjagaan dari api neraka dengan nasehat dan pelajaran.
Allah memerintahkan kaum mukmin pada umumnya untuk menjaga diri
dan keluarga dari neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan berhala-
berhala pada hari kiamat.

9
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 28. h. 259.
10
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 208-209.
11
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis …, Juz. 9. h. 450.
50

˵Γ˴έΎ˴Π˶Τ˸ϟ΍˴ϭ˵αΎ͉Ϩϟ΍Ύ˴ϫ˵ΩϮ˵ϗ˴ϭ˱΍έΎ˴ϧ˸Ϣ˵Ϝϴ˶Ϡ˸ϫ˴΃˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˴δ˵ϔϧ˴΃΍Ϯ˵ϗ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ΁˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃Ύ˴ϳ Hai

orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan


meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak
dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan
membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan
juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala12.
Wahai orang-orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya hendaklah
sebagian dari kamu memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang
dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu daripadanya,
yaitu ketaatan kepada Allah dan menuruti segala perintah-Nya. Dan
hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang
dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka dan bawalah
mereka kepada yang demikian ini melalui nasehat dan pengajaran13.

˴ϥϭ˵ή˴ϣ˸Ά˵ϳΎ˴ϣ˴ϥϮ˵Ϡ˴ό˸ϔ˴ϳ˴ϭ˸Ϣ˵ϫ˴ή˴ϣ˴΃Ύ˴ϣ˴Ϫ͉Ϡϟ΍˴ϥϮ˵μ˸ό˴ϳΎ˴ϟ˲Ω΍˴Ϊ˶η˲υΎ˴Ϡ˶Ϗ˲Δ˴Ϝ˶΋Ύ˴Ϡ˴ϣΎ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ Di
atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa
penghuni-penghuninya adalah Malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati
dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan
tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang
Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan –
kendati mereka kasar – tidak juga berlebih dari apa yang diperintahkan
Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni
neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan
dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka14.
Telah diriwayatkan, bahwa Umar berkata ketika turun ayat itu, “Wahai
Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri. Tetapi bagaimana kita menjaga
12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14. h. 326.
13
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 28. h. 259
14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14. h. 326.
51

keluarga kita?” Rasulullah saw. menjawab, “Kamu larang mereka


mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu, dan kamu perintahkan
kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan
antara diri mereka dengan neraka15.
Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami
mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan
mengajarkannya pada keluarga mereka.16
Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus
bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada
kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka.
Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana
ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang
juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua
bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah
atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang
diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang
harmonis17.
Ayat di atas juga secara langsung mengingatkan betapa tinggi dan penting
kedudukan keluarga dalam Islam dan betapa perhatian terhadap keluarga
harus diberikan dalam porsi yang besar. Al-Qur’an telah memberikan
perhatian yang amat besar terhadap kehidupan keluarga, sehingga tidak
berlebihan sampai ada yang menyebutnya sebagai kitab keluarga18.
Berbeda dengan persepsi kebanyakan orang yang menilai kesuksesan
seseorang dengan standar materi, seperti kekayaan tampilan fisik, gelar

15
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 28. h. 262
16
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 28. h. 262
17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14. h. 327
18
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 207.
52

serta jabatan, maka ayat di atas sesungguhnya juga memberikan


pemahaman bahwa standar kesempurnaan dan kesuksesan seorang
mukmin adalah sejauh mana ia sukses dalam menciptakan stabilitas
keluarga setelah mampu menciptakan stabilitas diri. Karenanya ayat 

tersebut diawali dengan panggilan, ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ΁ ˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍ Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃ Ύ˴ϳ (Hai orang-orang

yang beriman)19.
Wanita termasuk bagian dari keluarga laki-laki dan penjagaan dirinya dari
api neraka ialah dengan iman, dan amal shaleh. Amal shaleh harus
berdasarkan ilmu, dan pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya
seperti yang diperintahkan syariat.

3. Mewajibkan isterinya melaksanakan ajaran-ajaran Islam beserta


etikanya.
Sikap dan perilaku istri bisa menjadi cermin bagi kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu seorang suami berkewajiban untuk mengajarkan dan
melaksanakan ajaran Islam beserta etikanya kepada isterinya.
Melarangnya untuk mengumbar aurat dan berhubungan bebas (ikhtilat)
dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang
memadai kepadanya dengan tidak mengizinkannya untuk merusak akhlak
atau agamanya, dan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk
menjadi wanita fasiq terhadap perintah Allah swt.
Selain itu, Allah swt. berfirman:

˵Δ˴Β˶ϗΎ˴ό˸ϟ΍˴ϭ˴Ϛ˵ϗ˵ί˸ή˴ϧ˵Ϧ˸Τ͉ϧ˱Ύϗ˸ί˶έ˴Ϛ˵ϟ˴΄˸δ˴ϧΎ˴ϟΎ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˸ή˶Β˴τ˸λ΍˴ϭ˶ΓΎ˴Ϡ͉μϟΎ˶Α˴Ϛ˴Ϡ˸ϫ˴΃˸ή˵ϣ˸΃˴ϭ
˺˼˻Ϫσ ϯ˴Ϯ˸Ϙ͉ΘϠ˶ϟ
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang
baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (Q. S. Taha: 132).

19
Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah…, h. 207.
53

Pada ayat ini disebut pasangan orang-orang beriman dan keluarganya.


Kenikmatan dari kehadiran mereka dalam satu rumah tangga diperoleh
melalui hubungan harmonis masing-masing anggota keluarga satu dengan
yang lain serta hubungan yang harmonis dengan Allah swt. yang tercermin
antara lain dalam pelaksanaan shalat.
Allah memerintahkan Nabi saw. dan setiap kepala keluarga muslim agar

Ύ˴Ϭ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˸ή˶Β˴τ˸λ΍˴ϭ ˶ΓΎ˴Ϡ͉μϟΎ˶Α ˴Ϛ˴Ϡ˸ϫ˴΃ ˸ή˵ϣ˸΃˴ϭ dan perintahkanlah keluargamu


melaksakan shalat secara baik dan bersinambung pada setiap waktunya
dan bersungguh-sungguhlah engkau wahai Nabi Muhammad dalam
bersabar atasnya, yakni dalam melaksanakannya20. Suruhlah, hai Rasul
keluargamu untuk mendirikan shalat, dan hendaklah kamu sendiri
memeliharanya, karena nasehat dengan perbuatan akan lebih membekas
dibanding dengan perkataan21.

ϯ˴Ϯ˸Ϙ͉ΘϠ˶ϟ ˵Δ˴Β˶ϗΎ˴ό˸ϟ΍˴ϭ ˴Ϛ˵ϗ˵ί˸ή˴ϧ ˵Ϧ˸Τ͉ϧ ˱Ύϗ˸ί˶έ ˴Ϛ˵ϟ˴΄˸δ˴ϧ Ύ˴ϟ Kami tidak meminta

kepadamu rezeki dengan perintah shalat ini, atau Kami tidak


membebanimu untuk menanggung rezeki bagi dirimu atau keluargamu,
Kamilah yang memberi jaminan rezeki kepadamu. Dan kesudahan yang
baik di dunia dan di akhirat adalah bagi orang-orang yang menghiasi
dirinya dengan ketakwaan.

Kata ˴Ϛ˴Ϡ˸ϫ˴΃ keluarga, jika ditinjau dari masa turunnya ayat ini, maka ia

hanya terbatas pada istri Nabi yaitu Khadijah ra. dan beberapa putera
beliau bersama ‘Ali ibn Abi Thalib ra. yang beliau pelihara sepeninggal
Abu Thalib. Tetapi bila dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang dapat
mencakup keluarga besar, lalu menyadari bahwa perintah tersebut
berlanjut sepanjang hayat, maka ia dapat mencakup keluarga besar Nabi
Muhammad saw. termasuk semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan

20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 8. h. 402.
21
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi…, Jil. 28. h. 259.
54

sementara ulama memperluasnya sehingga mencakup seluruh umat


beliau22.

Kata ˸ή˶Β˴τ˸λ΍ dari kata (ήΒλ΍) bersabarlah, dengan penambahan huruf

ρ). Penambahan itu mengandung makna penekanan. Nabi saw.

diperintahkan untuk lebih bersabar dalam melaksanakan shalat, karena


shalat yang wajib bagi beliau adalah shalat lima waktu, tetapi juga shalat
malam yang diperintahkan kepada beliau. Ini memerlukan kesabaran dan
ketekunan melebihi apa yang diwajibkan atas keluarga dan umat beliau23.
Di antara hal yang dapat melanggengkan hubungan suami istri adalah
saling membantu dalam ketaatan kepada Allah swt. dengan
mengalokasikan waktu khusus untuk beribadah secara berjamaah, belajar
secara bersama.
Kemudian Rasulullah saw. juga bersabda:

΢πϧΖΑ΃ϥΈϓΖϠμϓϪΗ΃ήϣ΍φϘϳ΃ϭϲϠμϓϞϴϠϟ΍ϦϣϡΎϗϼΟέͿ΍ϢΣέ
ΎϬΟϭίΖψϘϳ΃ϭΖϠμϓϞϴϠϟ΍ϦϣΖϣΎϗϩ΃ήϣ΍Ϳ΍ϢΣέϭ˯ΎϤϟ΍ΎϬϬΟϭϲϓ
 ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ ˯ΎϤϟ΍ϪϬΟϭϲϓΖΤπϧϲΑ΃ϥΈϓϲϠμϓ
“Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk
melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat, dan
jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada wajahnya. Dan
Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun tengah malam untuk
shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar ikut shalat, dan jika
suaminya tidak mau bangun, maka ia memercikkan air pada wajahnya”
(H. R. Ahmad).24

Jadi, seorang suami yang sukses dalam kehidupan berumah tangga adalah
suami yang sukses dalam mengayomi keluarga, mampu menempatkan
keluarganya untuk menjadi generator dan inspirator bagi dirinya dalam

22
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 8, h. 402
23
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 8. h. 403.
24
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis…, Juz. 4. h. 416.
55

memproduksi beraneka macam kebajikan. Mampu mewujudkan


keluarganya menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.

4. Tidak membuka rahasia isterinya dan tidak membeberkan aibnya.


Seorang suami hendaknya menjadi orang yang paling dipercaya oleh isteri,
begitu pula sebaliknya. Tidak membuka rahasia dan tidak membeberkan
aib isteri, sebab suami yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut
menjaga dan melindunginya.
Rasulullah saw. bersabda:

ϭϪΗ΃ήϣ΍ϰϟ·ϲπϔϳϞΟήϟ΍ΔϣΎϴϘϟ΍ϡϮϳΔϟΰϨϣͿ΍ΪϨϋαΎϨϟ΍ήηϦϣϥ·
 ϢϠδϣϩ΍ϭέ ΎϫήγήθϨϳϢΛϪϴϟ·ϲπϔΗ
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah
ialah suami yang menggauli isterinya, dan isterinya bergaul dengannya.
Kemudian ia membeberkan rahasia hubungan suami isteri tersebut” (H.
R. Muslim).25

Hadist di atas merupakan dalil atas keharaman seseorang menyiarkan


rahasia hubungannya di atas ranjang dengan istrinya baik berupa ucapan,
perbuatan dan lain sebagainya26.

5. Berlaku adil terhadap isteri-isterinya, jika memiliki isteri lebih dari satu
orang.
Seorang suami harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya supaya tidak
timbul perpecahan di antara mereka.
Jika seorang suami kebetulan memiliki isteri lebih dari satu orang, maka ia
memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang harus dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah swt. Suami berkewajiban untuk berbuat adil
terhadap mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal
25
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis…, Juz. 2. h. 398.
26
Syaikh Hafiz Ali. Kado Pernikahan…, h. 130.
56

dan tidur. Ia tidak boleh bersikap curang atau dzolim sedikit pun. Karena
hal tersebut bisa menimbulkan kemurkaan Allah swt.
Dalam Al-Quran Allah swt. berfirman:

˼˯ΎδϨϟ΍ ˱Γ˴Ϊ˶Σ΍˴Ϯ˴ϓ˸΍Ϯ˵ϟ˶Ϊ˸ό˴Η͉ϻ˴΃˸Ϣ˵Θ˸ϔ˶Χ˸ϥ˶Έ˴ϓ
“Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinilah satu orang saja,....” (Q. S. An-Nisa: 3).

Jelas sekali bahwa keadilan yang maksud oleh ayat di atas merupakan
keadilan dalam hal material. Jadi apabila ada orang yang ingin menutup
rapat-rapat pintu poligami dengan berdasarkan Q. S. An-Nisa: 129,
tidaklah tepat karena keadilan yang dimaksudnya adalah dalam hal
imaterial (cinta):

˶Ϟ˸ϴ˴Ϥ˸ϟ΍ ͉Ϟ˵ϛ ˸΍Ϯ˵Ϡϴ˶Ϥ˴Η ˴ϼ˴ϓ ˸Ϣ˵Θ˸λ˴ή˴Σ ˸Ϯ˴ϟ˴ϭ ˯Ύ˴δ͋Ϩϟ΍ ˴Ϧ˸ϴ˴Α ˸΍Ϯ˵ϟ˶Ϊ˸ό˴Η ϥ˴΃ ˸΍Ϯ˵όϴ˶τ˴Θ˸δ˴Η Ϧ˴ϟ˴ϭ
˯ΎδϨϟ΍ ˱ΎϤϴ˶Σ͉έ˱΍έϮ˵ϔ˴Ϗ˴ϥΎ˴ϛ˴Ϫ˷Ϡϟ΍͉ϥ˶Έ˴ϓ˸΍Ϯ˵Ϙ͉Θ˴Η˴ϭ˸΍Ϯ˵Τ˶Ϡ˸μ˵Ηϥ˶·˴ϭ˶Δ˴Ϙ͉Ϡ˴ό˵Ϥ˸ϟΎ˴ϛΎ˴ϫϭ˵έ˴ά˴Θ˴ϓ
 ˺˻̂
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q. S. An-Nisa: 129).

Musuh-musuh Islam menuduh, bahwa sesungguhnya hanya Rasulullah


saw. yang menganjurkan manusia untuk melakukan poligami, bukan Allah
swt. yang menganjurkan. Tujuan mereka ialah untuk memperburuk citra
Islam.27
Sebenarnya poligami sudah ada jauh sebelum Islam. Poligami sudah
tersebar luas di kalangan bangsa-bangsa terdahulu; seperti bangsa Tibet,
Mongol, Mesir, China, Persi dan Romawi. Pada zaman Nazi, poligami
juga sudah dikenal di kalangan orang-orang Jerman. Bahkan para uskup

27
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan..., h. 15.
57

memperbolehkan poligami kepada beberapa orang raja setelah masuknya


agama Kristen ke Eropa, seperti Napoleon. Jadi tidak benar tuduhan
orang-orang yang mengatakan bahawa: Islam adalah yang mempelopori
poligami28.

Sedangkan Rasulullah saw. memiliki beberapa orang isteri karena alasan


untuk perlindungan terhadap janda-janda yang ditinggal mati oleh
suaminya. Rasulullah saw. adalah sosok suami yang sangat adil terhadap
isteri-isterinya.
Dalam hal ini beliau mewasiatkan perlakuannya yang baik terhadap isteri-
isterinya:

 ϰϧήΒτϟ΍ϩ΍ϭέ ϲϠϫϷϢϛήϴΧΎϧ΃ϭϪϠϫϷϢϛήϴΧϢϛήϴΧ
“Orang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku orang yang terbaik dari kalian terhadap
keluarganya” (H. R. Ath-Thabrani).29

Selain itu, banyak kondisi yang merupakan alasan logis untuk tidak
menutup pintu poligami dengan syarat-syarat yang tidak ringan, seperti:
kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti penyakit parah,
merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Apakah jalan keluar bagi
suami yang dapat diusulkan untuk menghadapi kemungkinan itu?
Bagamana ia menyalurkan kebutuhan biologis atau memperoleh
dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang
paling ideal, dan kemampuan untuk berbuat adil harus kepada semua istri
harus dimiliki.

28
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan..., h. 16.
29
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis…, Juz. 4. h. 308.
58

B. Bertanggung Jawab
Menjadi seorang suami bukanlah hal yang gampang, begitupula dalam
masalah tanggung jawab yang harus diemban. Laki-laki adalah pemimpin, yang
tentu akan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.
Sebelum menikah, seorang laki-laki bertanggung jawab untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan agama, pekerjaan dan dirinya secara seimbang. Tanggung jawab
ini bertambah, setelah ia menyelesaikan masa lajangnya. Di samping itu harus
bertanggung jawab atas isterinya, juga bertanggung jawab atas anak-anaknya.
Pada saat itu, tuntutan yang menjadi beban bagi seorang laki-laki semakin
menumpuk. Oleh karena itu ruang lingkup pertanggung jawabannya semakin luas.
Ia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah ia lakukan kepada dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat dan juga tentunya kepada Allah swt. Oleh sebab itu,
seorang laki-laki harus mengetahui dengan baik karakter dan macam-macam
tanggung jawab yang harus diembannya, sehingga tidak terjadi tindakan ekstrem
dalam pengimplementasiannya, baik dengan berlebih-lebihan maupun sebaliknya.
Dalam hal ini para ahli fiqih dan ulama telah membahas banyak masalah tanggung
jawab laki-laki dalam Islam. Mereka menyimpulkan bahwa macam-macam
tanggung jawab tersebut sebagai berikut30:
1. Tanggung jawab terhadap Allah swt dan agamanya
Salah satu tanggung jawab seorang laki-laki adalah menegakkan dan
menjaga agamanya, karena agama merupakan pilar utama dalam
kehidupan seorang muslim31. Syariat Islam memberikan perhatian khusus
terhadap masalah ini dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan mulia.
Yang bisa menjadi indikasi terpenuhinya tanggung jawab, kategori ini
adalah menjalankan ibadah, melakukan amal sholeh, dan berdakwah
dengan bijaksana (bil hikmah) dan tutur kata yang ramah (mau’izah
hasanah).

30
Husain Syahatah. Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga: Antara kewajiban dan
Realitas. (Jakarta: AMZAH, 2005), Cet. Ke-I. h. 4.
31
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, Terj. Arif Chasanul Muna,
(Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-I, h. 10.
59

2. Bertanggung jawab terhadap anggota keluarga dalam posisinya sebagai


pemimpin dalam rumah tangga
Tanggung jawab ini terbagi menjadi beberapa bagian32:
 Tanggung jawab terhadap isteri dengan memberikannya nafkah,
menggaulinya dengan baik, dan membimbingnya dengan penuh
kecintaan.
 Tanggung jawab terhadap anak-anaknya dan memberi mereka nafkah,
memperhatikan pendidikan mereka, mempersiapkan kemampuan
mereka dan mengemban tanggung jawab mereka di masa mendatang.
 Tanggung jawab terhadap kedua orang tua dengan berbakti, menjaga
dan memberikannya nafkah kepada keduanya.
 Tanggung jawab terhadap sanak kerabatnya dengan menjalin
silaturrahmi, menebarkan rasa kasih sayang, dan berbuat baik kepada
mereka.
3. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dengan menjaga dan memenuhi
tuntutan-tuntutannya33.
Yang termasuk dalam kategori tanggung jawab ini adalah sebagai berikut:
 Pendidikan rohani untuk memperkuat intensitas dan kualitas ibadah
kepada Allah swt.
 Pendidikan jasmani untuk memperkuat kemampuan jasmani. Dengan
terjaganya kesehatan, ibadah, amal baik dan usaha mencari nafkah
yang halal bisa terlaksana dengan baik.
 Memberikan waktu-waktu luang untuk istirahat. Dengan
memperhatikan hal ibadah, amal baik, dan usaha mencari nafkah yang
halal, bisa dilakukan dengan semangat dan wacana baru.
 Mempererat hubungan baik dengan orang lain dengan memenuhi hak-
haknya dan membantu penyelesaian kepentingan-kepentingan mereka.

32
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, …, h. 10.
33
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 41
60

4. Tanggung jawab terhadap profesi yang digelutinya dalam mencari rezeki


yang baik dan halal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
 Mencari pekerjaan yang halal yang akan menjadi sumber pendapatan
finansial yang baik.
 Menjaga keikhlasan dalam bekerja dengan berniat untuk ibadah.
 Bekerja dengan optimal dan sempurna, dengan disertai niat beribadah.
 Menularkan keahlian yang dimiliki kepada orang lain (berbagi
keahlian atau ilmu)34.
Seiring dengan pendapat di atas, dalam Islam terdapat hukum-hukum tentang
tanggung jawab suami terhadap rumah tangganya. Hukum itu meliputi poin-poin
sebagai berikut:
1. Suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga, dan ia akan dimintai
pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya itu di hadapan Allah
swt35. Sebagai dalil tentang hal itu, firman Allah swt:

̂˼ϞΤϨϟ΍ ˴ϥϮ˵Ϡ˴Ϥ˸ό˴Η˸Ϣ˵ΘϨ˵ϛΎ͉Ϥ˴ϋ͉Ϧ˵ϟ˴΄˸δ˵Θ˴ϟ˴ϭ
“Mereka akan ditanya tentang apa yang kalian pernah lakukan” (Q. S.
An-Nahl: 93).
Dalam sabda Rasulullah saw. dari Ibnu Umar ra. disebutkan:

ϪΘϴϋέ Ϧϋ ϝϮΌδϣ ϭ ω΍έ ϡΎϣϹ΃ ϪΘϴϋέ Ϧϋ ϝϮΌδϣ ϢϜϠϛϭ ω΍έ ϢϜϠϛ
ΖϴΑ ϲϓ Δϴϋ΍έ Γ΃ήϤϟ΍ϭ ϪΘϴϋέ Ϧϋ ϝϮΌδϣ Ϯϫϭ ϪϠϫ΃ ϲϓ ω΍έ ϞΟήϟ΍ϭ
Ϧϋ ϝϮΌδϣϭ ϩΪϴγ ϝΎϣ ϲϓ ω΍έ ϡΩΎΨϟ΍ϭ ΎϬΘϴϋέ Ϧϋ ΔϟϮΌδϣϭ ΎϬΟϭί
Ϧϋ ϝϮΌδϣϭ ϪϴΑ΃ ϝΎϣ ϲϓ ω΍έ ϞΟήϟ΍ϭ ϝΎϗ Ϊϗ ϥ΃ ΖΒΣϭ ϝΎϗ ϪΘϴϋέ
 ϢϠδϣϭέΎΨΒϟ΍ϩ΍ϭέ ϪΘϴϋέϦϋϝϮΌδϣϭω΍έϢϜϠϛϭϪΘϴϋέ
“Masing-masing dari kamu adalah pemimpin dan masing-masing dari
kamu bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam itu adalah
pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang laki-
laki pemimpin terhadap keluarganya dan bertanggung jawab atas

34
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, …, h. 11
35
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 151.
61

kepemimpinannya. Perempuan itu pemimpin dalam rumah suaminya dan


bertanggung jawab akan kepemimpinannya. Pelayan itu pemimpin dalam
harta tuannya dan bertanggung jawab akan kepemimpinannya. Ia
berkata: Dan saya menduga bahwa beliau teah bersabda: Seorang laki-
laki (anak) adalah pemimpin dalam harta ayahnya dan bertanggung
jawab akan kepemimpinannya. Dan masing-masing dari kamu adalah
pemimpin da bertanggung jawab akan kepemimpinannya” (H. R.
Bukhari dan Muslim).36

2. Tanggung jawab suami dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas,
meliputi tanggung jawab terhadap agamanya, dirinya, istrinya, anaknya.
Keluarganya, hartanya, ilmunya dan pekerjaannya37.

3. Suami hendaknya berusaha mewujudkan keseimbangan antara tugas dan


tanggung jawab, jangan sampai tanggung jawab itu membuat pekerjaan
lain terbengkalai38.

4. Seorang suami memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada istrinya,


seperti membantunya melaksanakan ajaran agama, menggaulinya dengan
baik, menafklahi, menjaga kehormatan dan menghiburnya, membantunya
dalam urusan rumah tangga jika diperlukan, menyambungkan hubungan
silaturrahim39. Semua itu merupakan dasar dalam mewujudkan keluarga
yang harmonis dan penuh kasih sayang. Dalil tentang hal ini terdapat
dalam firman-Nya:

˱Γ͉Ω˴Ϯ͉ϣϢ˵Ϝ˴Ϩ˸ϴ˴Α˴Ϟ˴ό˴Ο˴ϭΎ˴Ϭ˸ϴ˴ϟ˶·΍Ϯ˵Ϩ˵Ϝ˸δ˴Θ͋ϟ˱ΎΟ΍˴ϭ˸ί˴΃˸Ϣ˵Ϝ˶δ˵ϔϧ˴΃˸Ϧ͋ϣϢ˵Ϝ˴ϟ˴ϖ˴Ϡ˴Χ ˸ϥ˴΃˶Ϫ˶ΗΎ˴ϳ΁˸Ϧ˶ϣ˴ϭ
˻˺ϡϭήϟ΍ ˴ϥϭ˵ή͉Ϝ˴ϔ˴Θ˴ϳ˳ϡ˸Ϯ˴Ϙ͋ϟ˳ΕΎ˴ϳ΂˴ϟ˴Ϛ˶ϟ˴Ϋϲ˶ϓ͉ϥ˶·˱Δ˴Ϥ˸Σ˴έ˴ϭ

36
Bukhari. Shahih Bukhari. Terj. Sunarto, dkk. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993). Vol. 2. h.
9-10.
37
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses…, h. 134.
38
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 152.
39
Husain Syahatah. Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga…, h. 113.
62

“Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, diciptakanNya bagi kalian


pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu dapat bersenang-
senang dengannya, lalu menjadikan kalian karenanya berkasih sayang.
Sesungguhnya hal itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.
S. Ar-Rum: 21).

5. Kewajiban-kewajiban istri terhadap suaminya menurut syariat adalah taat


kepadanya selama bukan maksiat, menjaga kehormatan, melahirkan anak,
menjaga harta, berdandan untuk suami, mengurus rumah, ikut
berpartisipasi dalam acara-acara kekeluargaan dan masyarakat, tidak
keluar rumah tanpa izin suaminya, membantu suami mengeluarkan nafkah,
seperti zakat atau sedekah40. Sebagai hasilnya nanti, akan tercipta
kedamaian, ketentraman, keharmonisan dan rasa cinta.
Hal itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw.:

ϝΎϗˮήϴΧ˯ΎδϨϟ΍ϱ΃ϢϠγϭϪϴϠϋͿ΍ϞλͿ΍ϝϮγέϞΌγΓήϳήϫϲΑ΃Ϧϋ
ϪϟΎϣϭ ΎϬδϔϧϲϓ ϩήϜϳ ΎϤϴϓ ϪϔϟΎΨΗϻϭήϣ΃ ΍Ϋ΍ ϪόϴτΗϭ ήψϧ΍Ϋ΍ ϩήδΗϱάϟ΍
 ΪϤΣ΃ϩ΍ϭέ
“Abu Huraira. ra. Bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang
bagaimanakan istri yang baik? Rasulullah menjawab: Jika disuruh dia
taat, jika dipandang ia menyenangkan hati, jika diberi kebaikan dia
membalas dengan kebaikan, jika ia ditinggal pergi oleh suami, ia menjaga
diri dan harta suaminya” (H. R. Ahmad).41

6. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai orang tua kepada anak, seperti
memberikan pendidikan yang Islami, menjaga amalan ibadah, memberikan
pendidikan moral, menafkahi dan menyekolahkan, memberikan latihan
tentang urusan rumah tangga dan kehidupan, menurunkan bakat, dan

40
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 154.
41
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal …, Jilid. 2. h. 251.
63

mengajar berdakwah di jalan Allah swt42. Sebagai hasil dari tanggung


jawab ini maka akan terlahir anak-anak yang shaleh.

7. Kewajiban anak terhadap orang tua dalam Islam adalah berbuat baik,
berperilaku baik, taat selama tidak dalam kemaksiatan, menafkahi
keduanya saat keduanya membutuhkan, menggantikannya dalam urusan
agama, melakukan haji dan umrah untuk keduanya, memuliakan dan
menghormatinya, serta berdoa untuk keduanya43.
Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah:

˴ή˴Β˶Ϝ˸ϟ΍ ˴ϙ˴ΪϨ˶ϋ ͉Ϧ˴ϐ˵Ϡ˸Β˴ϳ Ύ͉ϣ˶· ˱ΎϧΎ˴δ˸Σ˶· ˶Ϧ˸ϳ˴Ϊ˶ϟ΍˴Ϯ˸ϟΎ˶Α˴ϭ ˵ϩΎ͉ϳ˶· ͉ϻ˶· ˸΍ϭ˵Ϊ˵Β˸ό˴Η ͉ϻ˴΃ ˴Ϛ͊Α˴έ ϰ˴π˴ϗ˴ϭ
˱ΎϤϳ˶ή˴ϛ ˱ϻ˸Ϯ˴ϗ Ύ˴Ϥ˵Ϭ͉ϟ Ϟ˵ϗ˴ϭ Ύ˴Ϥ˵ϫ˸ή˴Ϭ˸Ϩ˴Η ˴ϻ˴ϭ ͈ϑ˵΃ Ύ˴Ϥ˵Ϭ͉ϟ Ϟ˵Ϙ˴Η ˴ϼ˴ϓ Ύ˴Ϥ˵ϫ˴ϼ˶ϛ ˸ϭ˴΃ Ύ˴Ϥ˵ϫ˵Ϊ˴Σ˴΃
˻˼˯΍ήγϹ΍
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (Q. ˳S. Al-Isra: 23).

Juga firmanNya:

ϲ˶ϧΎ˴ϴ͉Α˴έ Ύ˴Ϥ˴ϛ Ύ˴Ϥ˵Ϭ˸Ϥ˴Σ˸έ΍ ͋Ώ͉έ Ϟ˵ϗ˴ϭ ˶Δ˴Ϥ˸Σ͉ήϟ΍ ˴Ϧ˶ϣ ͋ϝ͊άϟ΍ ˴ΡΎ˴Ϩ˴Ο Ύ˴Ϥ˵Ϭ˴ϟ ˸ξ˶ϔ˸Χ΍˴ϭ
˻˽˯΍ήγϹ΍ ˱΍ήϴ˶ϐ˴λ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Q. S. Al-
Isra’: 24).

8. Menyia-nyiakan, mengurangi, dan melampaui batas dalam menjalankan


kewajiban dan tanggung jawab, merupakan perbuatan yang bertentangan
42
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 154.
43
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses…, h. 136.
64

dengan syari’at. Sebagai contoh bentuk kemaksiatan, dosa dan kejahatan-


kejahatan dalam rumah, serta beberapa kesalahan lain, adalah seperti
berikut ini44:
 Pasangan suami istri dan anak-anak yang memiliki perangai jahat yang
bertentangan dengan syariat Allah swt.
 Hilangnya tanggung jawab kepemimpinan suami terhadap keluarga
dan anaknya.
 Adanya tekanan jiwa dan rusaknya urusan rumah tangga.
 Lemahnya keharmonisan, kasih sayang, kelembutan, dan sikap saling
hormat dalam rumah tangga.
 Membuka rahasia rumah tangga.
 Menyebarluaskan kehormatan rumah tangga di antara keluarga-
keluarga dekat, tetangga, dan teman-teman.
 Membiarkan keluarga saat keluarga tertimpa bencana yang pelik, sakit,
dan ditimpa masalah. Ia membiarkan begitu saja tanpa ada
penyelesaian.
 Anak-anak lari dari rumah dan melenceng dari jalan yang lurus.
 Tersebarnya kejahatan sosial.
 Rusaknya nama baik Islam dan kaum muslimin.
Perangai-perangai di atas bertentangan dengan syariat Allah swt. akibatnya
kehidupan menjadi sempit. Seperti dalam firmanNya:

 ˺˻˽Ϫσ ˱ΎϜϨ˴ο˱Δ˴θϴ˶ό˴ϣ˵Ϫ˴ϟ͉ϥ˶Έ˴ϓϱ˶ή˸ϛ˶ΫϦ˴ϋ˴ν˴ή˸ϋ˴΃˸Ϧ˴ϣ˴ϭ
“Dan barang siapa yang menentang peringatanku, maka ia kan
mendapatkan kehidupan yang sempit” (Q. S. Thaha: 124).

9. Perangai-perangai yang tidak sesuai dengan syariat dan kelalaian tanggung


jawab suami dalam rumah tangganya. Persoalan ini dapat diselesaikan

44
Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses…, h. 137.
65

dengan melakukan langkah-langkah penyelesaian secara Islami seperti


berikut ini45:
 Memberikan pendidikan yang Islami untuk seluruh anggota keluarga,
sesuai dengan ajaran dan cara-cara yang baik.
 Menerapkan prinsip musyawarah dalam urusan rumah tangga.
 Adanya aturan sebagai pengontrol dan pengawas untuk rumah tangga,
setahap demi setahap.
 Adanya program untuk menenangkan jiwa, sesuai dengan aturan
syariat.
 Adanya sanksi yang Islami dalam menindak sikap yang terlarang
menurut syariat.
 Adanya sistem pahala dan sanksi, berlandaskan kepada asas
pendidikan yang formal.
 Kebersamaan dan mengemban tanggung jawab masyarakat terhadap
keluarga, teman-teman dan tetangga.
 Mengadakan silaturrahmi dan menunaikan hak-hak mereka.
Saran-saran ini dapat mewujudkan rumah tangga muslim yang harmonis
dan penuh kasih sayang. Selain itu, dengan saran ini juga akan dapat
menghindarkan perasaan takut dan akan memperoleh keberkahan hidup.
Allah swt. membenarkan dalam firmanNya:

˱Γ͉Ω˴Ϯ͉ϣϢ˵Ϝ˴Ϩ˸ϴ˴Α˴Ϟ˴ό˴Ο˴ϭΎ˴Ϭ˸ϴ˴ϟ˶·΍Ϯ˵Ϩ˵Ϝ˸δ˴Θ͋ϟ˱ΎΟ΍˴ϭ˸ί˴΃˸Ϣ˵Ϝ˶δ˵ϔϧ˴΃˸Ϧ͋ϣϢ˵Ϝ˴ϟ˴ϖ˴Ϡ˴Χ˸ϥ˴΃˶Ϫ˶ΗΎ˴ϳ΁˸Ϧ˶ϣ˴ϭ
˻˺ϡϭήϟ΍ ˴ϥϭ˵ή͉Ϝ˴ϔ˴Θ˴ϳ˳ϡ˸Ϯ˴Ϙ͋ϟ˳ΕΎ˴ϳ΂˴ϟ˴Ϛ˶ϟ˴Ϋϲ˶ϓ͉ϥ˶·˱Δ˴Ϥ˸Σ˴έ˴ϭ
“Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, diciptakanNya bagi kalian
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu dapat bersenang-
senang dengannya, lalu menjadikan kalian karenanya berkasih sayang.
Sesungguhnya hal itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.
S. Ar-Rum: 21).

10. Langkah-langkah penyelesaian secara Islami yang dapat ditempuh untuk


menanggulangi pengaruh kurangnya tanggung jawab suami terhadap

45
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 157.
66

rumah tangganya, adalah meningkatkan pendidikan rohani, pendidikan


akhlak, konsistensi terhadap perangai-perangai yang baik, mendalami
ajaran agama, menciptakan kelompok yang mengajak kepada yang baik
dan mencegah yang mungkar yang dapat diterima oleh orang banyak
dengan baik, dan terciptanya kepemimpinan yang senantiasa mengajak
masyarakat kepada dakwah di jalan Allah swt46.
Allah swt. menjelaskan hal itu dalam firmanNya:

˶ϑϭ˵ή˸ό˴Ϥ˸ϟΎ˶Α΍ϭ˵ή˴ϣ˴΃˴ϭ˴ΓΎ˴ϛ͉ΰϟ΍΍˵Ϯ˴Η΁˴ϭ˴ΓΎ˴Ϡ͉μϟ΍΍Ϯ˵ϣΎ˴ϗ˴΃˶ν˸έ˴΄˸ϟ΍ϲ˶ϓ˸Ϣ˵ϫΎ͉Ϩ͉Ϝ͉ϣϥ˶·˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍
 ˽˺ΞΤϟ΍ ˶έϮ˵ϣ˵΄˸ϟ΍˵Δ˴Β˶ϗΎ˴ϋ˶Ϫ͉Ϡ˶ϟ˴ϭ˶ή˴ϜϨ˵Ϥ˸ϟ΍˶Ϧ˴ϋ΍˸Ϯ˴Ϭ˴ϧ˴ϭ
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan” (Q. S. Al-Hajj:
41).
Alangkah lebih baik jika kami menutup hukum-hukum Islam tentang
tanggung jawab suami terhadap rumah tangganya ini dengan firman Allah
swt:

˸Ϧ͋ϣ Ϣ˵ϫΎ˴Ϩ˸Θ˴ϟ˴΃ Ύ˴ϣ˴ϭ ˸Ϣ˵Ϭ˴Θ͉ϳ͋έ˵Ϋ ˸Ϣ˶Ϭ˶Α Ύ˴Ϩ˸Ϙ˴Τ˸ϟ˴΃ ˳ϥΎ˴Ϥϳ˶Έ˶Α Ϣ˵Ϭ˵Θ͉ϳ͋έ˵Ϋ ˸Ϣ˵Ϭ˸Θ˴ό˴Β͉Η΍˴ϭ ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ΁ ˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍˴ϭ
˻˺έϮτϟ΍ ˲Ϧϴ˶ϫ˴έ˴ΐ˴δ˴ϛΎ˴Ϥ˶Α˳Ή˶ή˸ϣ΍͊Ϟ˵ϛ˳˯˸ϲ˴ηϦ͋ϣϢ˶Ϭ˶Ϡ˴Ϥ˴ϋ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Q. S. Ath-
Thur: 21).

Rasulullah saw pun pernah berwasiat kepada seorang laki-laki:

ΖϜδϴϟϭ΃ήϴΨΑϢϠϜΘϴϠϓ΍ήϣ΃ΪϬη΍ΫΈϓ ήΧϷ΍ϡϮϴϟ΍ϭͿ΍ΎΑϦϣΆϳ ϥΎϛ Ϧϣ


ϊϠπϟ΍ϰϓΊηΝϮϋ΃ϥ΍ϭϊϠοϦϣΖϘϠΧΓ΃ήϤϟ΍ϥΈϓ˯ΎδϨϟΎΑ΍ϮλϮΘγ΍ϭ
˯ΎδϨϟΎΑ΍ϮλϮΘγ΍ΝϮϋ΃ϝΰϳϢϟϪΘϛήΗϥ·ϭϪΗήδϛϪϤϴϘΗΖΒϫΫϥ·ϩϼϋ΃
 ϢϠδϣϩ΍ϭέ ΍ήϴΧ
46
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 158.
67

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ialah orang
yang apabila melihat suatu keadaan, ditanggapinya dengan kata yang
baik, atau diam. Saya wasiatkan supaya kamu memperhatikan nasib kaum
wanita, karena jenis itu diciptakan dari tulang rusuk yang terbengkok.
Jika anda mencoba meluruskannya, dia akan patah, dan jika dibiarkan,
dia akan tetap bengkok. Saya wasiatkan supaya kamu memperhatikan
nasib kaum wanita sebaik-baiknya” (H. R. Muslim).47

C. Menciptakan Rumah Tangga Sakinah


Rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan keluarga48. Sedangkan
sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan.49 Jadi
menciptakan rumah tangga sakinah, yaitu menciptakan rumah tangga (sesuatu
yang berkenaan dengan keluarga) yang penuh dengan kedamaian, ketentraman,
ketenangan dan kebahagiaan.
Sesungguhnya membangun rumah tangga itu membutuhkan perjuangan yang
luar biasa beratnya, dimulai dari pemancangan pondasi aqidah dan pilar-pilar
akhlak.
Sebelum menciptakan rumah tangga yang sakinah, seorang suami harus
memiliki kepribadian suami yang shaleh, agar suami sukses membentuk keluarga
sakinah. Berhubungan dengan itu, Kasmuri Selamat mengemukakan beberapa
kepribadian suami shaleh50:
1. Berpegang Teguh Kepada Syariat Allah
Laki-laki yang shaleh adalah seorang laki-laki yang senantiasa berpegang
teguh kepada syariat Allah dalam segala urusan kehidupannya. Ia tunaikan
kewajiban-kewajiban yang Allah telah tentukan keduanya. Jika ia menjadi
seorang suami, ia akan melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya
dengan penuh tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta
berlapang dada.

47
Muslim. Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa …, Juz. II. h. 870.
48
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 758.
49
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 769.
50
Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian..., h. 1.
68

2. Seimbang antara Hak dan Kewajiban


Dalam kehidupan sehari-hari sikapnya tidak tamak, tidak menuntut lebih
banyak dari yang semestinya, bahkan ia menerima dengan rela terhadap
kekurangan-kekurangan yang ada. Ia tidak pernah menyia-nyiakan
kewajibannya, kewajiban tersebut ia tunaikan sebelum menuntut haknya.

3. Berpedoman Kepada Petunjuk Rasulullah saw.


Laki-laki yang shaleh tentu akan membahagiakan istrinya. Dalam
kehidupan berumah tangga ia senantiasa berpedoman kepada hadis
Rasulullah saw. Yang maksudnya:

ϩ΍ϭέ  ϢϬ΋ΎδϨϟ ϢϛέΎϴΧ ϢϛέΎϴΧϭ ΎϘϠΧ ϢϬϨδΣ΃ ΎϧΎϤϳ· ϦϴϨϣΆϤϟ΍ ϞϤϛ΃


ϯάϣήΘϟ΍
“Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istri-
istri kalian” (H. R. Timidzi).51

 ϰϧήΒτϟ΍ϩ΍ϭέ ϲϠϫϷϢϛήϴΧΎϧ΃ϭϪϠϫϷϢϛήϴΧϢϛήϴΧ
“Orang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku orang yang terbaik dari kalian terhadap
keluarganya” (H. R. Ath-Thabrani).52

Ituah kesaksian agung Rasulullah saw. bagi suami yang shaleh, kesaksian
kebajikan yang diiringi dengan kesempurnaan iman serta akhlak yang
mulia.
Disamping itu ciri-ciri dari laki-laki shaleh yang membahagiakan
kehidupan rumah tangga itu ialah53:
 Mendirikan rumah tangga semata-mata karena Allah swt.

51
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis …, Juz. 2. h. 63.
52
Abdurahman Suyuti, Jami’ Al-Hadis…, Juz. 4. h. 308.
53
Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian..., h. 2.
69

 Melayani dan menasehati Istri dengan sebaik-baiknya.


 Menjaga hati dan perasaan istri.
 Senantiasa bertenggang rasa dan tidak menuntut sesuatu di luar
kemampuan istri.
 Bersabar dan menghindari memukul istri dengan pukulan yang
memudaratkan.
 Tidak mencaci istri di hadapan orang lain dan tidak memuji wanita lain
di hadapannya.
 Bersabar dan menerima kelemahan istri dengan hati yang terbuka,
serta meyakini bahwa segala sesuatu yang dijadikan Allah swt pasti
terdapat hikmah yang tersembunyi di sebaliknya.
 Mengelakkan agar jangan terlalu mengikuti kemauan istri, karena ia
akan melunturkan nama baik dan prestasi suami selaku pemimpin
rumah tangga.
 Memberi nafkah kepada istri dan anak-anak menurut kadar
kemampuan.
 Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang layak untuk mereka.
 Bertanggung jawab menidik akhlak istri dan anak-anak sesuai dengan
kehendak Islam.
 Senantiasa menjaga tentang keselamatan mereka.
 Memberi kasih sayang dan rel berkorban apa saja demi kepentingan
dan kebahagiaan bersama.

Menciptakan rumah tangga sakinah tidak semudah membalikkan telapak


tangan. Membina sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah,
adalah dambaan dari setiap suami istri yang berikrar dalam cinta dan kasih
sayang.
Semua orang Islam berharap dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, agar
mahligai rumah tangga yang dibangun dengan landasan cinta dan kasih sayang
menjadi teladan bagi penghuninya maupun generasi yang akan lahirkan. Namun,
70

ternyata ketika bahtera itu mulai mengarungi lautan yang luas, seringkali kemudi
menjadi rebutan antara suami istri. Mereka berusaha menjadi nakhoda yang
handal, dan bersikeras menunjukkan arah tujuan yang diarungi.
Begitu banyak di antara kita yang merindukan berumah tangga menjadi suatu
yang teramat indah, bahagia, penuh dengan pesona cinta dan kasih sayang. Akan
tetapi, kenyataan yang ada, kita saksikan deretan antrian orang-orang yang gagal
dalam menciptakan rumah tangga bahagia. Hari demi harinya hanya diisi
kecemasan, ketakutan, kekerasan, kegelisahan dan penderitraan. Bahkan tidak
jarang diakhiri dengan kenistaan yang berujung dengan perceraian sehingga
melahirkan penderitaan yang berkepanjangan, terutama bagi anak-anak yang
dilahirkan.
Ternyata merindukan rumah tangga sakinah harus benar-benar disertai dengan
kesungguhan, yakni mengerahkan segala daya dan upaya dalam pengertian yang
sebenarnya.
Ahmadi Sofyan mengatakan ada empat kiat minimal menuju keluarga yang
sakinah54:
1. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman bathin dan ketenangan
jiwa.
Keluarga/rumah tangga adalah sebuah institusi terkecil di dalam
masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan
yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih
sayang diantara anggota-anggotanya55.
Sesungguhnya rumah tangga itu bisa dijadikan pusat ketenangan,
ketentraman dan kenyamanan bathin para penghuninya. Sehingga ketika
sang suami sudah berlumuran keringat, bersimbah peluh, bekerja keras, ia
akan selalu merindukan untuk pulang ke rumah.

54
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam…, h. 43-46.
55
Sri Mulyati. Relasi Suami Istri dalam Islam…, h. 39.
71

Ketika rumah mampu dijadikan sebagai pusat ketentraman bathin dan


ketenangan jiwa, maka anak-anak pun akan rindu berkumpul bersama
dengan orang tuanya.
Menciptakan rumah sebagai pusat ketenangan bathin dan ketenangan jiwa,
akan mampu menjadi pelepas dahaga.

2. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ilmu


Rumah tangga yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah swt. bukanlah
rumah tangga yang memiliki status sosial keduniawian. Tidak pula rumah
tangga yang para penghuninya adalah penuh dengan deretan titel dan
gelar. Bahkan justru hal seperti itu seringkali memisahkan kita dengan
kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa.
Tidak jarang pula rumah tangga yang berlimpah dengan kekayaan justru
membuat penghuninya di “miskinkan” oleh keinginan-keinginan,
diperbudak dan dinistakan oleh apa yang dimilikinya.
Hendaknya sesudah memantapkan niat kita kepada Allah untuk
mengarungi bahtera rumah tangga, maka kekayaan yang harus dimiliki
dalam berkeluarga adalah ilmu.
Merawat dan mendidik anak merupakan tugas bersama suami istri56. Hal
ini dapat dipahami dari teks-teks Al-Quran dan Hadis. Seperti yang
terdapat dalam firman Allah Q. S. At-Tahrim: 6.

3. Jadikan rumah tangga sebagai pusat nasehat


Suami istri hendaknya mengetahui bahwa semakin hari semakin banyak
yang harus dilakukan. Untuk itulah kita membutuhkan orang lain agar bisa
melengkapi kekurangan kita guna memperbaiki kesalahan kita.
Rumah tangga bahagia adaah rumah tangga yang dengan sadar menjadikan
sikap saling menasehati, saling memperbaiki, serta saling mengoreksi

56
Sri Mulyati. Relasi suami istri dalam Islam…, h. 54
72

dalam kebenaran dan kesabaran sebagai kekayaan yang berharga dalam


rumah tangga.
Suami yang baik adalah suami yang mau dinasehatin oleh sang istri,
begitupula sebaliknya. Karena keduanya tidaklah boleh merasa lebih baik
dan lebih berjasa dalam membangun rumah tangga.
Apabila sebuah rumah tangga mulai saling menasehati, maka rumah
tangga tersebut bagaikan cermin, yang tentu cermin akan mampu membuat
sebuah penampilan penghuninya menjadi lebih baik. Tidak ada koreksi
yang paling aman selain koreksi dari keluarga kita sendiri.

4. Jadikan rumah tangga sebagai pusat kemuliaan


Hendaknya suami istri mampu menjadikan rumah tangga seperti cahaya
matahari. Menerangi kegelapan, menumbuhkan bibit-bibit, menyegarkan
yang layu, selalu dinanti cahayanya dan membuat gembira bagi yang
terkena pancaran cahayanya.
Keluarga yang mulia adalah keluarga yang bisa menjadi contoh kebaikan
bagi keluarga yang lainnya. Sehingga tidak ada yang diucapkan selain
kebaikan tentang keluarga yang telah dibangun.
Demikianlah empat kiat menuju keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah
yang hendaknya dilakukan oleh keluarga muslim di era modern in. Karena
betapa memilukan sekaligus memalukan jika ada keluarga muslim yang
melakukan tindakan kekerasan rumah tangga seperti yang akhir-akhir ini
terjadi.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian skripsi ini dapat ditarik tiga kesimpulan:
Pertama: seorang suami yang sholeh, sebagai kepala rumah tangga pasti tahu
fungsi, kedudukan dan kewajibannya, bahkan ia akan selalu lebih memperhatikan
kewajibannya terlebih dahulu dibanding dengan haknya, karena ia tahu semua itu
akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Apabila suami telah
melaksanakannya dengan baik, maka suami itu akan sukses sebagai kepala rumah
tangga dan rumah tangganya akan menjadi rumah tangga yang sakinah.
Kedua: seorang suami yang shaleh pasti tahu peranannya, yang menjadi
kewajibannya dan sangat menentukan akan terwujudnya rumah tangga yang sakinah,
sehingga ia bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi peranannya, maka suami
itu akan memimpin, mendidik dan memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam
segala hal. Walaupun peranan suami sangat menentukan, bukan berarti peranan istri
tidak menentukan, karena antara suami dan istri akan saling melengkapi, jika
demikian maka rumah tangga yang sakinah akan terwujud.
Ketiga: Islam melalui Al-Quran dan Sunnah telah memberikan tuntunan yang
sangat jelas bagi seorang laki-laki berupa karakter-karakter yang saling melengkapi

73
74

dalam membentuk laki-laki yang shaleh, yang akhirnya akan menjadi suami shaleh.
Apabila laki-laki tersebut mampu memiliki karakter-karakter itu, rumah tangga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah pasti akan terwujud.

B. Saran-saran
1. Sebelum melangsungkan pernikahan sebaiknya teliti dalam memilih
pasangan, baik itu dari pihak laki-laki atau perempuan. Yang paling utama
haruslah yang seagama, karena apabila rumah tangga yang dibangun
berdasarkan beda agama maka akan menimbulkan berbagai masalah
pemberian pendidikan agama pada anak dan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah sulit, bahkan tidak mungkin untuk dicapai.

2. Hak memimpin keluarga yang dimiliki oleh seorang suami, tidak boleh
disalahgunakan, sehingga suami semena-mena terhadap anggota keluarga,
apalagi mentelantarkannya. Ingat semua itu akan dipertanggung jawabkan
kepada Allah swt.

3. Dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, suami


dan istri harus bisa bekerjasama dengan baik, saling melengkapi dan
menghargai. Karena tanggung jawab suami dan istri sama besar dan beratnya.

4. Anak adalah amanah Allah yang harus dijaga dan dipelihara bersama.
Amanah tersebut pun akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat
kelak. Untuk itu pendidikan harus menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa
ditawar lagi, apalagi pendidikan agama. Seperti memilih sekolah yang Islami,
memperhatikan pergaulan anak dan menciptakan suasana keberagamaan di
dalam rumah.
75

DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh, Fathi, ‘Adil, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi,
(Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007). Cet. Ke-1.
Abdurrahman, Jibril, Mohammad, Abu, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta:
Wihdah Press, 2000), Cet. Ke-3.
Adhim, Fauzil, Muhammad, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI.
Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Al-Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut:
Daar Kutab Alamiya).
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr).
Amin, Rusli, M, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami,
(Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), Cet. Ke-11.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1.
Bukhari. Shahih Bukhari. Terj. Sunarto, dkk. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993).
Daudin, Sulaiman, Majid, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet.
Ke-1.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1.
Gisymar, Sholeh, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1.
Hasyimi, Ali, Muhammad, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi,
(Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1.
Kisyik, Hamid, Abdul, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj.
Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3.
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A.
Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1.
Maragi, Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1993), Cet. Ke-2.
Masri, Nasy’at, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema
Insani Press, 1993), Cet. Ke-8.
76

Muhyidin, Muhammad, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik


Istri & Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I.
Mulyati, Sri, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN
Syarif Hidayatullah, 2004).
Muslim, Husain, Abi, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm).
_________________, Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa. (Semarang: CV.
Asy-Syifa, 1993).
Nasution, Taat, Amir, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga
Bahagia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj:
As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000), Cet. Ke-2.
Rofi’I, Ahmad., Syadali, Ahmad., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia,
1997), Cet. Ke-1.
Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1.
Sayyid, Fathi, Majdi, Bingkai Cinta Sepasang Merpati, “Bahagia Menjadi Suami
Ideal dan Istri Ideal”, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1.
Selamat, Kasmuri, Suami Idaman Istri Impian, “Membina Keluarga Sakinah”,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet. Ke-6.
Shihab, Quraish, M, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X.
________________, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11.
Sofyan, Ahmadi, The Best Husband in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006). Cet.
Ke-I.
Suhail, Kusyairi, Ahmad, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah
Pustaka, 2007), Cet. Ke-1.
Suyuti, Abdurrahman, Jalaluddin, Jami’ Al-Hadis, (Beirut: Daar Al-Fikr).
Syahatah, Husain, Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses,
Terj. Arif Chasanul Muna, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-I.
______________, Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga: Antara
kewajiban dan Realitas. (Jakarta: AMZAH, 2005), Cet. Ke-I.
77

Syuasyi’, Ali, Hafizh, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1994), Cet. Ke-2.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1.
www.qalam.or.id. Pengenalan Singkat Tentang Metode Tafsir Tematik Sebagai
Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20 Nopember
2007.

You might also like