Professional Documents
Culture Documents
STRUKTUR MODAL
DISUSUN OLEH :
AGRIANI GOBEL
A21108102
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
STRUKTUR MODAL
Modal (pembelanjaan dari luar perusahaan) dikelompokkan dalam dua jenis, yakni:
hutang dan ekuitas (= modal sendiri). Hutang mempunyai keunggulan berupa (Brigham and
Gapenski, 1997: 767-768): 1) bunga mengurangi pajak sehingga biaya hutang rendah, 2)
kreditur memperoleh return terbatas sehingga pemegang saham tidak perlu berbagi
keuntungan ketika kondisi bisnis sedang maju, 3) kreditur tidak memiliki hak suara sehingga
pemegang saham dapat mengendalikan perusahaan dengan penyertaan dana yang kecil.
Meskipun demikian, hutang juga mempunyai kelemahan, yaitu: 1) hutang biasanya berjangka
waktu tertentu untuk dilunasi tepat waktu, 2) rasio hutang yang tinggi akan meningkatkan
risiko yang selanjutnya akan meningkatkan biaya modal, 3) bila perusahaan dalam kondisi
sulit dan labanya tidak dapat memenuhi beban bunga maka tidak tertutup kemungkinan
dilakukan tindakan likuidasi.
Bauran hutang dan ekuitas untuk pendanaan perusahaan merupakan bahasan utama
dari keputusan struktur modal (= capital structure decision). Bauran modal yang efisien dapat
menekan biaya modal (= cost of capital), yang dapat meningkatkan kembalian ekonomi neto
dan meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang hanya menggunakan ekuitas disebut
“unlevered firm”, sedangkan yang menggunakan bauran ekuitas dan berbagai macam hutang
disebut “levered firm”.
TEORI-TEORI STRUKTUR MODAL
Kecenderungan perusahaan yang makin banyak menggunakan hutang, tanpa disadari
secara berangsur-angsur, akan menimbulkan kewajiban yang makin berat bagi perusahaan
saat harus melunasi (membayar kembali) hutang tersebut. Tidak jarang perusahaan-
perusahaan yang akhirnya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, dan bahkan
dinyatakan pailit. Hingga kini belum ada rumus matematik yang tepat untuk menentukan
jumlah optimal dari hutang dan ekuitas dalam struktur modal (Seitz,1984: 301). Pedoman
umum hanyalah: mencari hutang sebanyak mungkin tanpa meningkatkan risiko atau
menurunkan fleksibilitas perusahaan.
Franco Modigliani dan Merton Miller adalah bapak dari teori struktur modal (Groth
and Anderson, 1997). Pada tahun 1958, dalam American Economic Review 48 (1958, June)
yang berjudul The Cost of Capital, Corporate Finance, and the Theory of Investment, mereka
mengemukakan teori struktur modal dengan berbagai asumsi yang tidak mungkin terjadi,
akan tetapi sangat membantu dalam memahami bagaimana perusahaan menentukan bauran
pendanaan yang berasal dari hutang dan ekuitas secara benar (Siaw, 1999). Asumsi-asumsi
yang mendasari adalah (Megginson, 1997:316):
a. Semua aktiva berujud dimiliki oleh perusahaan.
b. Pasar modal sempurna (tidak ada pajak, tidak ada biaya transaksi, dan tidak ada biaya
kebangkrutan).
c. Perusahaan hanya dapat menerbitkan dua macam sekuritas, yakni ekuitas yang berisiko
dan hutang bebas (tanpa) risiko.
d. Individu maupun perusahaan dapat meminjam atau meminjamkan uang dengan tingkat
suku bunga bebas risiko.
e. Para investor mempunyai ekspektasi yang sama (homogen) terhadap keuntungan
perusahaan di masa mendatang.
f. Semua perusahaan tidak mengalami pertumbuhan (arus kas diasumsikan konstan dan
perpetual, dan semua laba dibagikan dalam bentuk dividen).
g. Semua perusahaan dapat dikelompokkan dalam satu kelompok kembalian, dan
kembalian saham dari semua perusahaan dalam kelompok tersebut adalah proporsional.
PEMBAHASAN
1. Risiko Bisnis
Risiko Bisnis adalah ketidakpastian pada perkiraan pendapatan operasi perusahaan
dimasa mendatang.
Risiko Bisnis mewakili tingkat risiko dari operasi-operasi perusahaan yg tidak
menggunakan hutang.
Risiko bisnis ini diukur dengan deviasi standar dari ROE (Return On Equity).
EAT
ROE=
Modal Sendiri
Perusahaan B : memiliki biaya tetap kecil dan biaya variabel relatif besar.
Gambar Perusahaan A :
Keuntunga
n / Biaya
Pendapat
an total
Biaya
Total
Keuntunga
n (EBIT)
BEP
Biaya
tetap
Penjualan
Gambar Perusahaan B
Keuntunga
n / Biaya
Pendapat
an total
Biaya
Total
Keuntunga
BEP n (EBIT)
Biaya
tetap
Penjualan
2. Risiko Finansial
Risiko Finansial adalah risiko tambahan pada perusahaan akibat keputusan
menggunakan hutang atau risiko yg ditimbulkan dari penggunaan hutang (Financial
Leverage)
Dimana :
σROE ( L)
= Risiko perusahaan yg menggunakan hutang (Leverage Firm)
σROE (U )
= Risiko perusahaan yg tdk menggunakan hutang (Unliverage Firm) atau
risiko bisnis
EBIT Rp 400.000
Bunga Rp 0
EBT Rp. 400.000
EAT Rp 320.000
EAT 320.000
ROE = = = 32 %
MS 1.000.000
Jika perusahaan menggunakan hutang sehingga struktur modal menjadi 50% modal
sendiri dan 50% hutang. Biaya hutang (Kd) = 24 %, maka
EAT 224.000
ROE = = = 44,8 %
MS 500.000
------- ---------
EBT
---- ---
Pajak
200.0 80.00
(20%)
00 0
40.0 16.00
EAT 00 0
------- --------
---- ----
160.0 64.00
00 0
Nampak jika realisasi EBIT hanya 50% dari yg diharapkan, ROE tanpa hutang
hanya turun 16% (32%-16%), sedangkan ROE dengan hutang turun 32% (44,8% -
12,8%).
Satu hal penting yg perlu diperhatikan dalam penggunaan hutang adalah :
penggunaan hutang akan meningkatkan ROE hanya jika tingkat keuntungan pada
aktiva (diukur dg EBIT / Total aktiva) lebih besar dari biaya modal (biaya hutang)
K s L = Suku bunga bebas risiko + Premi untuk risiko bisnis + premi untuk risiko
finansial
Dimana :
D = hutang perusahaan
Contoh :
= 10 % + (20% - 10%) 2
= 30 %
Jika perusahaan mengganti 20 juta modal sendiri dengan hutang, maka biaya modal
sendiri adalah :
= 104
V =S+D
S =V–D
= 104 – 20 = 84
K s L = KR f + ( K M − KR f )bu
Menurut Hamada :
Maka :
bL = bu + bu (1 − T )( D / S )
bL = bu [1 + (1 − T )( D / S )]
Dimana :
T = tingkat pajak
D = hutang
S = modal sendiri
Jadi berdasarkan asumsi-asumsi MM dan CAPM, beta untuk Levered firm adalah
sama dengan untuk Unlevered firm yang telah disesuaikan dengan suatu faktor yang
tergantung pada :
a. pajak perusahaan
b. jumlah hutang perusahaan
Semakin besar tingkat pajak, semakin kecil faktor penyesuaian tersebut, sebaliknya
semakin besar hutang, semakin besar faktor penyesuai
Dalam konteks suatu risiko pasar, risiko bisnis suatu perusahaan diukur dengan
unlevered beta (bu), risiko total perusahaan diukur dengan levered beta (bl) dan risiko
finansial diukur dengan perbedaan bu dan bl.
Risiko Total = bl
Risiko Bisnis = bu
Risiko Finansial = bl – bu
Dengan kata lain Breakeven Point (BEP) adalah suatu titik yang menunjukkan tingkat
penjualan yang menyebabkan perusahaan tidak untung dan juga tidak rugi.
Rumus BEP :
P–V
Dimana :
= (P.Q) – (V.Q + F) = 0
= (P.Q) – (V.Q) – F = 0
Q (P.V) = F
F
Q BEP =
P −V
F
BEPdalamRu piah =
V
1−
P
Dimana :
EBIT = penjualan dalam Rupiah – Total biaya variabel – total biaya tetap
EBIT = S – TVC – F = 0
TVC
S − .S − F = 0
S
TVC
S .1 − −F
S
TVC
S .1 − −F =0
S
F
S BEP =
TVC
1 −
S
Karena :
=
S (Harga jual/unit) x unit penjualan
Maka :
F
S BEP =
V
1 −
P
Contoh :
P–V
100.000
10 – 6
= 25.000 unit
F
BEPdalamRu piah =
V
1−
P
100 .000
=
6
1 −
10
= Rp. 250.000
Pembuktian :
=0
b. Kebijakan harga
Harga jual dari suatu produk baru dapat ditentukan guna mencapai tingkat EBIT
yang diinginkan. Selain itu analisis breakeven memberikan gambaran sejauh mana
harga jual dapat diturunkan tanpa menyebabkan kerugian (EBIT yang negative)
d. Struktur biaya
Alternatif mengurangi biaya variable dengan konsekuensi kenaikan biaya tetap
dapat dievaluasi. Misal suatu perusahaan yang ingin memilih padat karya (biaya
variable tinggi, biaya tetap rendah) atau padat modal (biaya variable rendah, biaya
tetap tinggi) dapat menggunakan analisis breakeven untuk melihat efek dari ke-2
alternatif tersebut terhadap EBIT Dan BEP
e. Keputusan pendanaan
Analisis terhadap struktur biaya perusahaan memberikan informasi tentang
proporsi biaya operasi tetap yang ditanggungkan pada penjualan. Jika proporsi ini
terlalu tinggi, perusahaan dapat memutuskan untuk tidak menambah biaya tetap.
3. OPERATING LEVERAGE
1) Operating Leverage adalah kepekaan EBIT terhadap perubahan penjualan perusahaan.
Operating leverage timbul karena perusahaan menggunakan biaya operasi tetap.
Contoh :
Suatu perusahaan meramalkan penjualan sebesar Rp. 300.000 (30.000 unit). VC/unit =
Rp. 6, FC = Rp. 100.000. Apa yg terjadi dengan EBIT jika ternyata penjualan yang
terjadi adalah 20% dari yg diperkirakan ?
Prediksi Realisasi
EBIT naik sebesar Rp. 24.000,00 yg berasl dari kenaikan penjualan sebesar Rp.
360.000,00, dikurangi kenaikan biaya variable total sebesar Rp. 36.000,00
44.000 – 20.000
20.000
= 120 %
Pada penjualan Rp. 300.000 persentase perubahan EBIT adalah 6x persentase
perubahan penjualan.
2) Degree of Operating Leverage (DOL) mengukur berapa persen EBIT berubah jika
penjualan berubah 1 %
Persentase perubahan pada EBIT
DOL Rp.=
∆EBIT
DOL = EBIT
∆Q
Q
∆Q ( P −V ) Q ∆Q ( P −V )
DOL = x DOLRp =
Q ( P −V ) − F ∆Q Q ( P −V ) − F
Dimana :
Q = unit penjualan
Contoh :
Diketahui harga/unit (P) = Rp. 10, Biaya variable/unit = Rp. 6, Total biaya tetap (F) =
Rp. 100.000. Berapa DOL pada penjualan sebesar Rp. 300.000 atau 30.000 unit ?
Jawab :
∆Q( P −V )
DOLRp .300 .000 =
Q ( P −V ) − F
30.000 (10 – 6)
30.000(10-6) – 100.000
120.000
20.000
=6x
Artinya : pada saat penjualan sebesar Rp. 300.000 atau 30.000 unit (jika harga jual Rp.
10/unit) jika penjualan naik 1%, EBIT akan naik 6x atau 6%, jika penjualan turun 1%,
EBIT akan turun 6x atau 6%.
Q ( P −V )
Rumus DOL = dapat dirubah menjadi :
Q ( P −V ) − F
S - TVC
DOL Rp =
S – TVC – F
Dimana :
F 100.000
P-V 10 – 6
Tabel : Hubungan antara unit atau rupiah penjualan dengan DOL
Q ( P −V )
4) Dari rumus DOL = dapat disimpulkan bahwa selama perusahaan
Q ( P −V ) − F
masih menggunakan biaya tetap (F), Q(P-V) akan lebih besar dari Q(P-V)-F artinya
Q ( P −V )
DOL lebih besar dari 1. Jika F = 0, DOL = =1
Q ( P −V ) − F
Semakin besar DOL perusahaan, semakin peka atau semakin besar variasi keuntungan
akibat perubahan pada penjualan perusahaan. Maka DOL jelas merupakan suatu atribut
dari risiko bisnis perusahaan. Semakin tinggi DOL, semakin besar pula risiko bisnis
perusahaan.
4. FINANCIAL LEVERAGE
EBIT Q (P – V) - F
Dimana :
Q = unit penjualan
C = biaya bunga
Contoh :
P = Rp. 100
V = Rp. 50
F = Rp. 100.000
C = Rp. 20.000
T = Pajak = 50 %
b. Perhitungan EPS
EBIT Rp. 100.000
Biaya bunga Rp. 20.000
EAT Rp 40.000
EPS Rp 4
DFL 100.000 =
Q (P – V) – F - C
= 1,25 x
Artinya jika EBIT berubah 1 % EPS akan berubah 1,25 %. Ini berlaku pada saat
EBIT sebesar Rp. 100.000
d. Pembuktian :
Misal : EBIT naik 20 % menjadi Rp. 120.000, maka EPS menjadi :
EPS Rp. 5
Hasil ini sesuai dengan DFL yg artinya jika EBIT naik 20 %, EPS naik (1,25 x 20
%) = 25 %
3) Semakin besar DFL, semakin besar pula fluktuasi EPS akibat perubahan pada EBIT
perusahaan. Besar kecilnya DFL tergantung pada besar kecilnya hutang yg digunakan
perusahaan. Semakin besar hutang yg digunkan, semakin besar pula DFL sehingga
semakin besar risiko financial perusahaan.
Jawab :
Pada EBIT Rp. 20.000, DFL untuk masing-masing alternative pendanaan adalah :
Q ( P – V) Q (P – V) - F
= x
Q (P – V) – F Q (P – V) – F – C
Maka :
Q( P −V )
DCL Rp =
Q ( P −V ) − F − V
Dimana DCL Rp adalah Degree of Combined Leverage pada rupiah penjualan tertentu.
Contoh :
P = Rp. 100
V = Rp. 50
F = Rp. 100.000
=2x
= 1,25 x
= 2,5 x
= 2 x 1,25 = 2,5 x
1. Teori-teori Trade-off
1.1. Modigliani-Miller Model 2 (MM Model with corporate taxes)
Pada tahun 1963, Modigliani dan Miller mempublikasikan sebuah artikel dalam
American Economic Review 53 (1963, June) yang berjudul Corporate Income Taxes
an the Cost of Capital: A Correction, untuk memperbaiki model awal mereka dengan
memperhitungkan adanya pajak perseroan (akan tetapi tetap mengabaikan pajak
perorangan). Untuk selanjutnya model tersebut dikenal dengan sebutan model MM-2
atau model MM dengan pajak perseroan (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588- 592).
Kehadiran pajak perseroan (diberi notasi tc)mempengaruhi kedua proposisi awal pada
model MM-1 sebagai berikut:
Proposisi 1:
Sebagai alasan bahwa nilai unlevered firm (VU) berubah adalah kebutuhan
perusahaan untuk membayar pajak perseroan atas laba yang diperoleh sebelum
membayarkan dividen kepada pemegang saham.
Proposisi 2:
Dari model MM-2, dapat dipetik dua hal utama yang berbeda dengan model MM-1
sebelumnya adalah:
1. Dalam Proposisi 1, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam
kenyataan, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan:
bertambahnya penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Dengan kata
lain, pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang berasal dari hutang, sebesar:
Manfaat pajak dari penggunaan hutang diperoleh dari beban biaya bunga hutang yang
dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang mengurangi besaran laba kena pajak,
sedangkan pembayaran dividen tidak dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya.
Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi dari pemerintah atas penggunaan hutang
untuk menambah modal.
2. Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan hutang yakni:
hutang merupakan sumber modal yang lebih murah daripada ekuitas, dan biaya bunga
menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui bahwa penghematan
dari penggunaan hutang yang lebih murah sepenuhnya digantikan oleh peningkatan
biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian, dalam situasi dengan adanya pajak
perseroan, keuntungan yang diperoleh Perusahaan dari penggunaan hutang lebih besar
daripada peningkatan biaya ekuitas. Dengan demikian, biaya ekuitas dari levered firm
dalam situasi ada pajak perseroan pertambahannya lebih lamban daripada bila
situasinya tanpa pajak perseroan. Dengan kata lain, pemegang saham memperoleh
kompensasi untuk risiko keuangan yang lebih kecil dalam situasi ada pajak perseroan.
“Penghematan” dari penggunaan hutang yang lebih besar daripada peningkatan biaya
ekuitas, menghasilkan WACC yang makin kecil seturut dengan bertambahnya hutang.
Akan tetapi, dengan adanya pajak perorangan, dividen yang diperoleh pemegang
saham menjadi:
Dengan demikian, terjadi pajak ganda atas pendapatan ekuitas (dividen) yang diterima
oleh investor. Laba perusahaan dikenai pajak perseroan sebelum dibagikan menjadi
dividen kepada investor, dan selanjutnya ketika investor memperoleh dividen, dikenai
pajak perorangan. Jadi, nilai unlevered firm yang memperhitungkan pajak perseroan
dan pajak perorangan adalah:
Untuk levered firm, sebelum mengetahui berapa nilainya, perlu diketahui dahulu arus
kas yang ada. Ada dua kategori arus kas, yaitu:
a. Arus kas untuk pemegang saham:
b. Arus kas untuk kreditur:
Jadi, arus kas total dari levered firm dapat dihitung dengan cara berikut:
Penentuan nilai levered firm dilakukan dengan cara mendiskontokan arus kas seperti
pada unlevered firm dengan biaya ekuitas unlevered firm, ditambah pendiskontoan arus kas
yang terkait dengan pendapatan bunga (bagi kreditur) dengan biaya hutang setelah pajak,
menjadi persamaan berikut:
Kreditur (investor) lebih memilih menanamkan investasi dalam bentuk hutang jangka
panjang karena beberapa pertimbangan. Menurut Sundjaja at. al (2003), pemilihan investasi
dalam bentuk hutang jangka panjang dari sisi investor didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Hutang dapat memberikan prioritas baik dalam hal pendapatan maupun likuidasi kepada
pemegangnya.
2. Mempunyai saat jatuh tempo yang pasti.
3. Dilindungi oleh isi perjanjian hutang jangka panjang (dari segi resiko).
4. Pemegang memperoleh pengembalian yang tetap (kecuali pendapatan obligasi).
2. Modal Sendiri
Menurut Wasis (1981), dalam struktur modal konservatif, susunan modal
menitikberatkan pada modal sendiri karena pertimbangan bahwa penggunaan hutang
dalam pembiayaan perusahaan mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan
penggunaan modal sendiri. Menurut Sundjaja at al. (2003, p.324), “modal sendiri/equity
capital adalah dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik perusahaan
(pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis saham (saham preferen dan saham
biasa) serta laba ditahan”.
Pendanaan dengan modal sendiri akan menimbulkan opportunity cost. Keuntungan
dari memiliki saham perusahaan bagi owner adalah control terhadap perusahaan. Namun,
return yang dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak pertama
yang menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka
panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri
diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas
sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber utama dari modal
sendiri yaitu:
a) Modal saham preferen
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa
yang menjadikannya lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang
saham biasa. Oleh karena itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam
jumlah yang banyak.
Beberapa keuntungan penggunaan saham preferen bagi manajemen menurut
Sundjaja at. al (2003) adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pengaruh keuangan.
2. Fleksibel karena saham preferen memperbolehkan penerbit untuk tetap pada
posisi menunda tanpa mengambil resiko untuk memaksakan jika usaha sedang
lesu yaitu dengan tidak membagikan bunga atau membayar pokoknya.
3. Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan, merger, pembelian saham
oleh perusahaan dengan pembayaran melalui hutang baru dan divestasi.
b) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya
dengan harapan mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang
saham biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya
menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi.
Ada beberapa keunggulan pembiayaan dengan saham biasa bagi kepentingan
manajemen (perusahaan), menurut Sundjaja at. al (2003), yaitu :
1. Saham biasa tidak memberi dividen tetap. Jika perusahaan dapat memperoleh
laba, pemegang saham biasa akan memperoleh dividen. Tetapi berlawanan
dengan bunga obligasi yang sifatnya tetap (merupakan biaya tetap bagi
perusahaan), perusahaan tidak diharuskan oleh hukum untuk selalu membayar
dividen kepada para pemegang saham biasa.
2. Saham biasa tidak memiliki tanggal jatuh tempo.
3. Karena saham biasa menyediakan landasan penyangga atas rugi yang diderita
para kreditornya, maka penjualan saham biasa akan meningkatkan kredibilitas
perusahaan.
4. Saham biasa dapat, pada saat-saat tertentu, dijual lebih mudah dibandingkan
bentuk hutang lainnya. Saham biasa mempunyai daya tarik tersendiri bagi
kelompok-kelompok investor tertentu karena (a) dapat memberi pengembalian
yang lebih tinggi dibanding bentuk hutang lain atau saham preferen; dan (b)
mewakili kepemilikan perusahaan, saham biasa menyediakan para investor
benteng proteksi terhadap inflasi secara lebih baik dibanding saham preferen
atau obligasi. Umumnya, saham biasa meningkat nilainya jika nilai aktiva riil
juga meningkat selama periode inflasi.
5. Pengembalian yang diperoleh dalam saham biasa dalam bentuk keuntungan
modal merupakan obyek tarif pajak penghasilan yang rendah. (Weston &
Copeland) Menurut Wasis (1981, p.81), “pemilik yang menyetorkan modal akan
menjadi penanggung resiko yang pertama. Artinya bahwa pihak non pemilik
tidak akan menderita kerugian sebelum kewajiban dari pemilik ditunaikan
seluruhnya.
Kerugian perusahaan pertama-tama harus dibebankan kepada pemilik. Dari segi
investor (Sundjaja, 2003), keuntungan menggunakan saham (modal sendiri)
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki hak suara (hak kendali) dalam perusahaan.
2. Tidak ada jatuh tempo.
3. Karena menanggung resiko yang lebih besar, maka kompensasi bagi
pemegang modal sendiri lebih tinggi dibanding dengan pemegang modal
pinjaman.
Pada analisis ini, hubungan antara EBIT dan EPS dapat dicari dengan cara :
1. Menghitung EPS pada berbagai alternatif pendanaan untuk EBIT tertentu , dan
2. Mengulang lankah pertama untuk EBIT yang berbeda – beda. Hasilnya kemudian
digambarkan dalam grafik EBIT-EPS.
Indifference point memberikan masukan penting bagi manajemen dalam memilih
alternatif pembelanjaan, Jika expected EBIT lebih besar dari indifference point,
perusahaan sebaiknya menggunakan hutang. Jika sebaliknya, menggunakan saham
akan lebih menguntungkan. Perlu dicatat bahwa keputussan ini bisa salah jika actual
EBIT tidak besar yang diharapkan. Oleh karena itu, didalam mengambil keputusan,
manajemen harus memperhatikan juga deviasi standard ( tingkat variabilitas ) EBIT
perusahaan. Expected dan deviasi standard EBIT dapat dicari dengan mengembangkan
sejumlah skenario tentang EBIT dimasa mendatang beserta dengan probabilitas
terjadinya. Jika deviasi standard EBIT relatif besar, manajemen harus lebih hati–hati
karena expected EBIT menjadi kurang dapat dipercaya. Sebaiknya manajemen
memutuskan menggunakan hutang hanya bila ecpected EBIT cukup jauh di atas
indifference point.
Dimana:
EBIT * = Indifferent point
C1 = Biaya bunga pada alternatif pembelanjaan 1
C2 = Biaya bunga pada alternatif pembelanjaan 2
S1 = Jumlah saham pada alternatif pembelanjaan 1
S2 = Jumlah saham pada alternatif pembelanjaan 2
T = Tingkat pajak
b) Perbandingan Rasio – Rasio Leverage
• Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan efek dari setiap alternatif
pendanaan terhadap rasio – rasio leverage ( penggunaan hutang ). Manajemen
kemudian dapat membandingkan rasio – rasio yang ada saat ini dan rasio – rasio
pada alternatif pendanaan tertentu dengan rasio – rasio industri sejenis. Rasio
Leverage terdiri dari (1) Rasio Hutang ( debt ratio ), (2) Rasio Jaminan ( coverege
ratio ).
• Rasio hutang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
jangka panjang, sedangkan rasio jaminan menunjukkan kemampuan untuk
membayar bunga dan pokok pinjamn yang jatuh tempo. Untuk menghitung rasio
hutang, manajemen menggunakan informasi dari neraca. Untuk menghitung rasio
jaminan, informasi dari laporang rugi – laba yang dipergunakan.
2. Rasio Jaminan:
a. Time interest earned = EBIT/Biaya bunga
b. Debt service coverage = EBIT / [ biaya bunga + (pembayaran pokok pinjman/1
– pajak) ]
• Rasio hutang dan rasio jaminan dapat dihitung berdasarkan : (1) posisi keuangan
perusahaan pada saat ini, (2) posisi keuangan perusahaan dengan alternatif –
alternatif pendanaan yang ada seperti 100 % modal sendiri, 100% hutang dsb.
Rasio – rasio tersebut kemudian dibandingkan dengan rasio indusstri. Dari
perbandingan tersebut, manajemen dapat menentukan alternatif pendanaan yang
paling tepat bagi perusahaan. Hal ini tidak berarti bahwa manajemen harus
mempertahankan rasio yang sama dengan rasio industri. Kegunaan perbandingan
rasio dengan rasio industri adalah jika perusahaan memilih rasio hutang dan rasio
jaminan yang menyimpang dari rasio industri, ia harus memiliki alasan yang kuat.
c) Analisis Arus Kas Perusahaan
• Metoda ini menganalisis dampak keputusan struktur modal terhadap arus kas
perusahaan. Metoda ini sederhana tetapi sangat bermanfaat. Metoda ini melibatkan
persiapan suatu seri anggaran kas pada (1)kondisi perekonomian yang berbeda, (2)
struktur modal yang berbedaArus kas bersih pada situasi yang berbeda ini dapat
dianalisis untuk menentukan apakah beban tetap perusahaan ( pokok pinjaman,
bunga, sewa dan dividen saham preferen ) yang dihadapi perusahaan tidak terlalu
tinggi. Ketidak mampuan perusahaan untuk membayar beban tetap bisa
mengakibatkan “financial insolvency “.
• Gordon Donaldson dari Harvard University menyarankan bahwa kapasitas beban
tetap perusahaan sebaiknya tergantung pada arus kas bersih perusahaan yang
diharapkan dapat terwujud pada saat perekonomian mengalami resesi. Dengan kata
lain, target struktur modal ditentukan dengan membuat rencana untuk menghadapi
“ kondisi terburuk yang mungkin terjadi “.
• Rumus berikut mendifinisikan CBr, saldo kas yang diharapkan perusahaan pada
akhir periode resesi.
CBr = Co + NCFr – FC
Dimana:
Co = Saldo kas pada awal resesi
NCFr = Arus kas bersih dari operasi selama resesi
FC = Beban tetap perusahaan
3.1 Kesimpulan
Modal (pembelanjaan dari luar perusahaan) dikelompokkan dalam dua jenis, yakni:
hutang dan ekuitas (= modal sendiri). Hutang mempunyai keunggulan berupa (Brigham
and Gapenski, 1997: 767-768): 1) bunga mengurangi pajak sehingga biaya hutang rendah,
2) kreditur memperoleh return terbatas sehingga pemegang saham tidak perlu berbagi
keuntungan ketika kondisi bisnis sedang maju, 3) kreditur tidak memiliki hak suara
sehingga pemegang saham dapat mengendalikan perusahaan dengan penyertaan dana yang
kecil. Meskipun demikian, hutang juga mempunyai kelemahan, yaitu: 1) hutang biasanya
berjangka waktu tertentu untuk dilunasi tepat waktu, 2) rasio hutang yang tinggi akan
meningkatkan risiko yang selanjutnya akan meningkatkan biaya modal, 3) bila perusahaan
dalam kondisi sulit dan labanya tidak dapat memenuhi beban bunga maka tidak tertutup
kemungkinan dilakukan tindakan likuidasi.
Analisis Dan Pengaruh Penggunaan Hutang terdiri dari: a) Risiko Bisnis; adalah
ketidakpastian pada perkiraan pendapatan operasi perusahaan dimasa mendatang.
Sedangkan Risiko Finansial adalah risiko tambahan pada perusahaan akibat keputusan
menggunakan hutang atau risiko yg ditimbulkan dari penggunaan hutang (Financial
Leverage). B) Risiko Bisnis Dan Finansial dari Perspektif Beta berdasarkan asumsi-asumsi
MM dan CAPM, beta untuk Levered firm adalah sama dengan untuk Unlevered firm yang
telah disesuaikan dengan suatu faktor yang tergantung pada :a. Pajak perusahaan, b.
Jumlah hutang perusahaan. Semakin besar tingkat pajak, semakin kecil faktor penyesuaian
tersebut, sebaliknya semakin besar hutang, semakin besar faktor penyesuai. C) Analisis
Breakeven; digunakan untuk menentukan jumlah penjualan (dalam Rp atau unit) yang
menghasilkan EBIT (Earning Before Interest and Tax atau laba bersih sebelum bunga dan
pajak) sebesar 0. D) Operating Leverage adalah kepekaan EBIT terhadap perubahan
penjualan perusahaan. E) Financial Leverage; Suatu perusahaan dikatakan menggunakan
“Financial Leverage” jika ia membelanjai sebagian dari aktivanya dengan sekuritas yang
membayar bunga yang tetap (misal : hutang pada bank, menerbitkan obligasi atau saham
preferen). F) Kombinasi Operating Dan Financial Leverage; DOL mengukur kepekaan
EBIT terhadap perubahan penjualan DFL mengukur kepekaan EPS terhadap perubahan
EBIT. Jika DOL dikalikan DFL, kita akan mendapatkan Degree of Combined Leverage
(DCL) yang menunjukkan kepekaan EPS terhadap perubahan penjualan.