You are on page 1of 2

Individualisme dianggap merupakan inti budaya Amerika.

Individualisme dalam arti


penekanan terhadap kemampuan diri sendiri di atas kelompok atau negara telah banyak
dibahas dan didramatisasikan oleh banyak penulis dari masa awal sejarah negara Amerika
dan dalam film laga Amerika individualisme tercermin dalam citra-citra verbal maupun non-
verbal dari penggambaran sifat tokoh hero dalam melawan tokoh jahat. Akan tetapi,
individualisme dan kepercayaan pada kemampuan sendiri sering memunculkan sikap terlalu
percaya diri dan ingin menang sendiri. Dalam hubungan ini, seorang hero dalam film selalu
digambarkan sebagai sosok penyendiri, seorang individu yang berseberangan dengan
masyarakat. Hal itu tidak berarti bahwa individu dan masyarakat adalah dua entitas yang
benar-benar terpisah karena setiap individu adalah produk kondisi sosial. Konflik antara
individu dan masyarakat lebih disebabkan oleh perbedaan karakter dan pola antara keduanya.
Individu membutuhkan kebebasan untuk mempertahankan identitasnya, sedangkan
masyarakat memerlukan kerelaan individu untuk menyerahkan sebagian kebebasannya demi
tegaknya keteraturan bersama. Dari karakterisasi, narasi, dan tema yang disajikan dalam film
film laga dapat disimpulkan bahwa penggambaran sosok hero yang soliter dalam film-film
laga lebih merupakan romantisme yang hidup dalam kenangan bawah sadar orang Amerika
terhadap kehidupan ideal seorang hero yang individualis yang memitoskan kembali
individualisme yang tidak lekang oleh waktu.

Individualisme Amerika dan “the Frontier”


Individualisme merupakan bagian paling inti dalam kebudayaan Amerika (Bellah dkk
1985:142). Menurut sejarah, para pendatang yang mula-mula bermukim di Amerika
mempunyai interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain mengenai makna individualisme.
Tokoh-tokoh terkemuka dalam hal ini antara lain dapat disebutkan: John Wintrop yang
mendasarkan pengertiaannya mengenai individualisme pada bible (kitab Injil), Thomas
Jefferson yang mendasarkan pada individualisme pemerintahan, Benjamin Franklin
berpandangan mengenai individualime utilitarian, serta Walt Whitman yang memiliki
gagasan individualisme ekspresif. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Amerika bisa
menerapkan pandangan mereka mengenai makna individualisme dalam konteks yang lebih
praktis, yaitu “self-reliance,” – keyakinan pada diri sendiri – kebebasan, keadilan dan sukses,
sebagai mimpi Amerika (the American dreams) (Bellah dkk 1985: 28 – 34). Nilai
individualisme di Amerika diyakini berasal dari kehidupan frontier. Hal itu ditunjukkan
dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh orang Amerika sejak kehidupan frontier memudar
dan hilang di tahun 1890-an. Orang Amerika mulai mengupayakan jalan untuk
mengembalikan “situasi” frontier melalui organisasi-organisasi dan kegiatan yang berkaitan
dengan “wilderness” (belantara). Mereka berupaya untuk mampu menciptakan situasi yang
sedemikian rupa seperti belantara untuk meraih kembali semangat frontier yang membentuk
nilai dan keyakinan orang Amerika yang sejati. Beberapa kegiatan dan projek yang dimaksud
antara lain adalah kegiatan dan klub-klub “Boy Scouts,” National Parks, peningkatan
kegiatan di alam bebas seperti misalnya berkemah dan mendaki gunung, dan menulis cerita
mengenai kehidupan frontier dalam bentuk cerita western. Tujuan utamanya bukanlah untuk
mengembalikan kenangan mengenai kehidupan frontier, melainkan untuk melestarikan nilai
kehidupan yang diperoleh melalui situasi semacam itu (Nash 1982:147 – 156).
Makna individualisme selanjutnya dapat dilihat melalui realisasi yang dilakukan masyarakat
dalam keyakinan berikut ini: self-reliance, sukses, keadilan dan kebebasan.
Nilai “self-reliance” dipopulerkan pertama kali oleh filsuf Ralph Waldo Emerson, yang
menganjurkan masyarakat Amerika untuk percaya hanya pada diri mereka sendiri. Lebih
lanjut lagi, Emerson menjelaskan bahwa percaya pada diri sendiri berarti tidak konformis,
tidak akan pernah kompromi dengan lingkungannya. Seseorang dengan keyakinan pada diri
sendiri seharusnya berbeda dari yang lain. Gagasan ini seringkali diinterpretasikan sebagai
sikap oposisi terhadap masyarakat / lingkungan sosial. Menurut Emerson, masyarakat
merupakan konspirasi yang melawan ke-manusia-an setiap individu yang menjadi bagiannya
(Atkinson 1950:145 – 169). Meskipun demikian, pemikiran mengenai kerja keras dan
kemandirian yang merupakan penerapan keyakinan pada diri sendiri masih dipegang erat
oleh masyarakat Amerika. Sampai saat ini orang-orang Amerika masih meyakini bahwa kerja
sangatlah penting sebagai identitas pribadi orang Amerika karena hal itu berkaitan sangat erat
dengan apa yang dituntut oleh pemikiran mengenai keyakinan pada diri sendiri.(Bellah
1985:56).
Nilai yang kedua, sukses, berkaitan sangat erat dengan pemikiran orang Amerika mengenai
upaya pencapaian kebahagiaan (the pursuit of happiness), yang seringkali sangat bergantung
pada perkembangan secara ekonomi. Meskipun demikian, orang Amerika juga berpendapat
adanya sukses orang per orang dan sukses masyarakat (Bellah 1985:22). Pemikiran yang
paling terkenal mengenai “apakah sukses itu” adalah yang dituliskan oleh Benjamin Franklin
dalam esei-eseinya, surat-surat dan biografinya, yang semuanya menyebutkan bahwa sukses
hanya dapat dicapai dengan kerja keras. Menurut Franklin, perkembangan dalam kehidupan
seseorang harus dicatat secara sistematis supaya dapat mengontrol pencapaiannya; ia harus
membuat jabaran apa yang harus ia tuju / capai sejak awal ia merasakan kebutuhan untuk
menjadi sukses. Istilah sukses bagi Franklin dijabarkan menjadi tigabelas (13) Nama
Moralitas (Names of Virtues) dan setiap orang yang ingin mencapai sukses harus disiplin
dalam mencatat perkembangan masing-masing bentuk moralitasnya (Baym 1989:361 – 469).

Nilai individualisme yang berikutnya dekat dengan gagasan mengenai keadilan, yang
didefinisikan oleh banyak orang Amerika sebagai masalah kesempatan yang sejajar / sama
bagi setiap individu untuk meraih apa yang dianggapnya sebagai kebahagiaan. Kesempatan
yang sama dijamin oleh hukum dan prosedur politik yang adil yang diterapkan sama kepada
setiap orang. Cara berpikir yang seperti itu tidak dengan sendirinya menyajikan visi
mengenai kemungkinan penerapannya dalam masyarakat, mengenai bagaimana keadilan
didistribusikan dalam masyarakat jika setiap individu memiliki kesempatan yang sejajar
dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Pemikiran seperti itu dapat saja diterapkan
dengan cara memberikan gaji yang mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain
dalam pekerjaan yang berbeda dalam suatu masyarakat yang adil selama setiap orang
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak (Bellah 1985: 25
– 26). Dalam konteks kehidupan frontier, keadilan seringkali dikonotasikan dengan hukum
dan peraturan yang ditetapkan untuk mengatur masyarakat di dalam masyarakat yang baru
terbentuk. Kemenangan keadilan berarti kemenangan ketertiban dan hukum.

Nilai yang terakhir, yang merupakan nilai yang paling menarik banyak orang dari luar
Amerika untuk hijrah ke Amerika, adalah kebebasan. Nilai ini dianggap sebagai nilai
Amerika yang paling dalam dan kuat dipegang oleh orang Amerika. Dalam banyak hal nilai
ini didefinisikan sebagai kebaikan pada kehidupan pribadi dan politik. Akan tetapi,
kebebasan bisa berubah arti menjadi dibiarkan oleh orang lain, tidak memaksakan nilai-nilai,
gagasan dan gaya seseorang kepada orang lain, bebas dari kekuasaan arbitrer dalam kerja,
keluarga, dan kehidupan politik (Bellah 1985:23).

You might also like