Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
MARIANIM (G1A008028)
SRI NUR FITHRIYANI (G1A008018)
NURHAIDA HAFNI (G1A008005)
UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS MIPA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
2011
EKOLOGI TINGKAH LAKU SEMUT SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
ABSTAK
Marianim , Sri Nur fithriyani, Nurhaida hafni[1]
[1] Mahasiswa Program Studi Biologi Fakultas Mipa Universitas Mataram
Semut merupakan hewan berukuran kecil dengan populasi terpadat di dunia, bersifat
sosial yang hidup berkoloni dengan tatanan yang terorganisir dengan baik sehingga
memiliki tingkah laku/prilaku yang unik. Tanpa kita sadari, prilaku semut yang unik ini
dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam pengembangan keilmuan modern, salah satunya
adalah proses pewarnaan graf yang terinspirasi dari prilaku semut dalam mencari makan.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengatahui beberapa ekologi prilaku semut.
Metode yang digunakan adalah metode telaah pustaka dari beberapa sumber bacaan
seperti jurnal maupun internet.
Kata kunci ; prilaku, semut, sosial.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kajian tentang tingkah laku hewan adalah salah satu aspek tertua dalam
bidang biologi dan merupakan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan hidup
manusia, karena dengan mempelajari kebiasaan-kebiasaan berbagai hewan yang ada
disekitarnya, manusia purba dapat meningkatkan peluangnya dalam mendapatkan
ketersediaan makanan serta dapat menurunkan peluang mereka untuk menjadi
mangsa bagi hewan-hewan lain (Campbell, 2004).
Salah satu yang menjadi perdebatan pada kajian mengenai perilaku hewan
yang sudah lama berlangsung adalah suatu pertanyaan mengenai apakah perilaku
merupakan sesuatu yang bersifat spontan atau merupakan kombinasi dari reaksi-
reaksi sederhana terhadap lingkungan. Kebanyakan ahli fisiologis, secara objektif
mengklaim bahwa perilaku adalah semua reaksi. Hal ini sejalan dengan penemuan
adanya gerak refleks yang ditemukan pada hewan. Pada akhirnya para ahli fisiologis
menyimpulkan bahwa refleks dan refleks yang dikondisikan hanyalah merupakan
elemen dari perilaku. Ada dua opini tentang perilaku, bahwa perilaku merupakan
reaksi terhadap stimulus eksternal. Sementara perilaku spontan dipengaruhi faktor
dari dalam, misalnya faktor motivasi (Suhara, 2010).
Dalam komposisi biomassa serangga di dunia, setidaknya sepertiganya terdiri
atas semut. Jumlah tersebut cukup besar mengingat jumlah total spesies semut kurang
dari 2% jumlah total spesies serangga (Suhara, 2010). Semut merupakan hewan
berukuran kecil dengan populasi terpadat di dunia, bersifat sosial yang hidup
berkoloni dengan tatanan yang terorganisir dengan baik sehingga memiliki tingkah
laku/prilaku yang unik jika dilihat dari caranya mencari makan kemudian membawa
makanannya, mempertahankan diri dari ganguang musuh, cara komunikasi dengan
semut lain, dan masih banyak lagi keunikan-keunikan prilaku yang terdapat pada
hewan yang satu ini. Sehingga mempelajari tingkah laku semut merupakan salah satu
aspek yang menarik dalam ekologi.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui bagaiaman prilaku/kebiasaan semut dalam ekologi tingkah laku
hewan
1.3 Manfaat
Dapat mengetahui prilaku semut dalam kaitannya dengan ekologi tingkah laku
hewan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi Prilaku
Kajian mengenai prilaku hewan sangat penting untuk dapat memahami evolusi
dan interaksi-interaksi ekologis pada hewan. Definisi prilaku pada kamus mungkin
berupa bertindak, bereaksi, atau berfungsi dalam suatu cara tertentu sebagai respon
terhadap beberapa rangsangan (stimulus). Banyak prilaku memang terdiri atas
aktivitas otot yang dapat diamati secara eksternal, yaitu komponen bertindak dan
bereaksi dari definisi tersebut. Ketika kita mengamati suatu prilaku tertentu, kita
cenderung untuk menanyakan pertanyaan proksimat dan ultimat. Dalam kajian prilaku
hewan, proksimat merupakan mekanistik berkaitan dengan stimulus lingkungan jika
ada, yang memicu suatu prilaku, dan juga mekanisme genetik dan fisiologis yang
mendasari suatu tindakan. Sedangkan pertanyaan ultimat ini berkenaan dengan makna
evolusioner prilaku. Prilaku memperlihatkan suatu kisaran variasi fenotipik (suatu
norma reaksi) yang bergantung pada lingkungan, dimana genotip itu diekspresikan.
Prilaku dapat diubah oleh pengalaman di lingkungan. Pada sisi lainnya, bentuk
pnyelesaian masalah yang paling berkembang ditandai oleh norma reaksi yang sangat
luas. Namun demikian, prilaku juga memiliki suatu komponen genetik yaitu prilaku
bergantung pada gen-gen yang ekspresinya menghasilkan sistem neuron yang tanggap
terhadap kemajuan pembelajaran. Sebagian besar ciri prilaku adalah filogenik, dengan
norma reaksi yang luas. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi prilaku
adalah semua kondisi di mana gen yang mendasari prilaku itu diekspresikan. Hal ini
meliputi lingkungan kimiawi di dalam sel,dan juga semua kondisi hormonal dan
kondisi kimiawi dan fisik yang dialami sebuah telur atau di dalam rahim. Prilaku juga
meliputi interaksi beberapa komponen sistem saraf hewan dengan efektor , dan juga
berbagai interaksi kimia, penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dengan organisme
lain (Campbell, 2004).
2.2 Prilaku Sosial
Secara luas, prilaku sosial dapat didefinisikan sebagai setiap jenis interaksi antara
dua hewan atau lebih, umumnya dari spesies yang sama. Meskipun sebagian besar
spesies yang bereproduksi secara seksual harus bersosialisasi pada siklus hidup
mereka dengan tujuan untuk bereproduksi, beberapa spesies menghabiskan sebagian
besar hidupnya dalam hubungan yang dekat dengan spesies sejenisnya. Interaksi sosial
telah lama menjadi suatu fokus penelitian bagi peneliti yang mempelajari prilaku.
Kerumitan prilaku meningkat secara dramatis ketika interaksi antarindividu
dipertimbangkan. Penyerangan, percumbuan, kerjasama, dan bahkan kebohongan
merupakan bagian dari keseluruhan prilaku sosial. Prilaku sosial memiliki keuntungan
dan biaya bagi anggota spesies yang berinteraksi secara ekstensif (Campbell, 2004).
2.2 Semut
Semut adalah serangga eusosial yang berasal dari keluarga Formisidae, dan semut
termasuk dalam ordo Himenoptera bersama dengan lebah dan tawon. Semut terbagi
atas lebih dari 12.000 kelompok, dengan perbandingan jumlah yang besar di kawasan
tropis. Semut dikenal dengan koloni dan sarang-sarangnya yang teratur, yang
terkadang terdiri dari ribuan semut per koloni. Jenis semut dibagi menjadi semut
pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Satu koloni dapat menguasai dan memakai
sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Koloni semut kadangkala
disebut superorganisme dikarenakan koloni-koloni mereka yang membentuk sebuah
kesatuan (Anonim, 2011).
2.2.1 Morfologi
Tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, mesosoma (dada), dan
metasoma (perut). Morfologi semut cukup jelas dibandingkan dengan serangga lain
yang juga memiliki antena, kelenjar metapleural, dan bagian perut kedua yang
berhubungan ke tangkai semut membentuk pinggang sempit (pedunkel) di antara
mesosoma (bagian rongga dada dan daerah perut) dan metasoma (perut yang kurang
abdominal segmen dalam petiole). Petiole yang dapat dibentuk oleh satu atau dua node
(hanya yang kedua, atau yang kedua dan ketiga abdominal segmen ini bisa terwujud).
Sumber: http://forum.kompas.com/showthread.php?33345-S-e-m-u-t
Tubuh semut, seperti serangga lainnya, memiliki eksoskeleton atau kerangka
luar yang memberikan perlindungan dan juga sebagai tempat menempelnya otot,
berbeda dengan kerangka manusia dan hewan bertulang belakang. Serangga tidak
memiliki paru-paru, tetapi mereka memiliki lubang-lubang pernapasan di bagian dada
bernama spirakel untuk sirkulasi udara dalam sistem respirasi mereka. Serangga juga
tidak memiliki sistem peredaran darah tertutup. Sebagai gantinya, mereka memiliki
saluran berbentuk panjang dan tipis di sepanjang bagian atas tubuhnya yang disebut
"aorta punggung" yang fungsinya mirip dengan jantung. sistem saraf semut terdiri
dari sebuah semacam otot saraf ventral yang berada di sepanjang tubuhnya, dengan
beberapa buah ganglion dan cabang yang berhubungan dengan setiap bagian dalam
tubuhnya.
Pada kepala semut terdapat banyak organ sensor. Semut, layaknya serangga
lainnya, memiliki mata majemuk yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih
kecil dan tergabung untuk mendeteksi gerakan dengan sangat baik. Mereka juga
punya tiga oselus di bagian puncak kepalanya untuk mendeteksi perubahan cahaya
dan polarisasi.
Sumber: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Ant_head_closeup.jpg&filetimestamp=20060810164230
Gambar : gambar dekat memperlihatkan rahang bawah dan mata semut yang kecil
Semut hitam
Sumber: http://jurnallaporan.blogspot.com/
2.4 Interaksi antara sesama semut
A B
C
Sumber: http://unic77.info/
Keterangan:
A: Semut Pristomyrmex punctatus dengan aphid yang menjadi pasangan simbiosisnya:
B: Semut Crematogaster sp. bersama anakannya di dalam kayu lapuk:
C: Semut Paratrechina longicornis saling berinteraksi:
2.4 Hewan yang hidup bersama semut
Sejak lebih dari seabad yang lalu diketahui bahwa sejumlah spesies serangga
hidup bersimbiosis dengan semut. Sebagian besar dari spesies ini merampok makanan
dari koloni semut, sementara sebagian lainnya menggantungkan sebagian atau seluruh
hidupnya pada koloni semut. Spesies yang hidup sebagai parasit termasuk berbagai
serangga, misalnya kumbang, kutu, lalat, dan tawon.
Sebagian parasit ini hidup di sarang semut dan menarik keuntungan dari
kehidupan sosial semut. Dalam beberapa kasus, semut tidak berkeberatan meskipun
serangga larva dan telurnya dimakan parasit ini. Bahkan, serangga ini tidak hanya
diperbolehkan memasuki sarang, larva mereka juga diberi makan dan dibesarkan
sebagaimana layaknya larva semut.
Sebagaimana diketahui, dalam komunitas semut terdapat sistem komunikasi
yang rumit. Dengan sistem ini, semut dapat membedakan anggota koloni mereka
dengan pendatang. Kemampuan ini berfungsi sebagai "sistem pertahanan bersama".
Namun, serangga pendatang dapat masuk ke sarang semut dengan berbagai cara. Hal
ini menunjukkan bahwa mereka telah berhasil memecahkan sandi komunikasi dan
identifikasi yang digunakan semut. Dengan kata lain, mereka mampu berkomunikasi
dengan bahasa semut, baik secara mekanik maupun kimiawi (Yahya, 2004).
BAB III
METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah telaah pustaka dari
buku dan browsing internet.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Riset
Dari hasil riset yang diperoleh dari suatu jurnal, maka diperoleh suatu informasi
bahwa prilaku semut khususnya prilaku dalam mencari makan dapat dimanfaatkan
untuk menyelesaikan pewarnaaan graf. Informasi ini didapatkan dalam jurnal
penelitian yang berjudul Pemanfaatan Algoritma Semut untuk Penyelesaian Masalah
Pewarnaan Graf, yang di tulis oleh Anugrah Adeputra, seorang mahasisiwa dari,
Sekolah Teknik Elektro & Informatika ITB, Program Studi Informatika. Selain itu,
dari suatu artikel diperoleh pula informasi bahwa semut dapat mencium aroma
kematian, hal ini merupakan penemuan dari Dong-Hwan Choe, peneliti utama riset di
University of California, Riverside, Amerika Serikat.
Penelitian lain dilakukan oleh para peneliti dari Amerika. Penelitian ini tentang
pengujian tingkat ketertarikan garam dan gula antara semut pedalam dengan semut di
dekat laut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semut pedalaman memiliki
ketertarikan lebih terhadap garam dari pada gula. Mereka mempelajari perilaku semut
dari Amerika Tengah, Selatan, dan Utara yang hidup di lokasi berbeda-beda. Semut
yang hidup di habitat berjarak 96 kilometer dari garis pantai ternyata lebih suka
larutan garam satu persen daripada larutan gula 10 persen.
4.2 PEMBAHASAN
Berikut ini merupakan pemaparan mengenai prilaku-prilaku semut berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Prilaku Semut mencari makan
Hewan kecil ini dalam hidupnya membentuk satu kesatuan dalam
koloninya. Suatu perilaku yang penting dan menarik untuk ditinjau dari suatu
koloni semut adalah perilaku mereka pada saat mencari makan, terutama
bagaimana mereka mampu menentukan rute untuk menghubungkan antara
sumber makanan dengan sarang mereka. Ketika berjalan menuju sumber makanan
dan sebaliknya, semut meninggalkan jejak berupa suatu zat yang disebut
Pheromone. Semut-semut dapat mencium Pheromone, dan ketika memilih rute
yang akan dilalui, semut akan memiliki kecenderungan untuk memilih rute yang
memiliki tingkat konsentrasi Pheromone yang tinggi. Jejak Pheromone tersebut
memungkinkan semut untuk menemukan jalan kembali ke sumber makanan atau
sarangnya. Seiring waktu, bagaimanapun juga jejak Pheromone akan menguap
dan akan mengurangi kekuatan daya tariknya. Lebih lama seekor semut pulang
pergi melalui suatu jalur, lebih tinggi pula jumlah Pheromone yang menguap.
Sebagai perbandingan, sebuah jalur yang pendek akan diikuti oleh semut lainnya
dengan lebih cepat, dan dengan demikian konsentrasi Pheromone akan tetap
tinggi. Penguapan Pheromone juga mempunyai keuntungan untuk mencegah
konvergensi pada penyelesaian optimal secara lokal. Jika tidak ada penguapan
sama sekali, jalur yang dipilih semut pertama akan cenderung menarik secara
berlebihan terhadap semut-semut yang mengikutinya. Pada kasus yang demikian,
eksplorasi ruang penyelesaian akan terbatasi. Oleh karena itu, ketika seekor semut
menemukan jalur yang bagus (jalur yang pendek) dari koloni ke sumber makanan,
semut lainnya akan mengikuti jalur tersebut, dan akhirnya semua semut akan
mengikuti sebuah jalur tunggal. Ide algoritma koloni semut adalah untuk meniru
perilaku ini melalui 'semut tiruan' berjalan seputar grafik yang menunjukkan
masalah yang harus diselesaikan. Perilaku mengikuti jejak Pheromone tersebut
telah dibuktikan secara eksperimental, digunakan oleh koloni semut untuk
mengetahui rute terpendek untuk mencapai sarang atau sumber makanan
berdasarkan jejak-jejak Pheromone yang ditinggalkan oleh masing-masing semut
yang ada. Berdasarkan perilaku tersebut, maka dikembangkanlah suatu algoritma
untuk menyelesaikan suatu masalah komputasi dengan menemukan jalur terbaik
melalui grafik (Adeputra, ).
Prilaku Semut Pedalaman lebih menyukai garam daripada gula
Prilaku ketertarikan semut pedalaman terhadap garam lebih besar jika
dibandingkan dengan gula disebabkan karena asupan garam yang diperolehnya
sedikit jika dibandingkan dengan semut yang hidup di dekat laut, sebagaimana
yang tuturkan oleh Profesor Robert Dudley yang merupakan salah satu peneliti
dari Universitas California Berkeley, AS menyatakan bahwa Ketertarikan
terhadap garam meningkat seiring jarak dari laut. Kesimpulan ini tentunya
diambil setelah Dudley dan koleganya dari Universitas Arkansas Little Rock
(UALR) dan Universitas Oklahoma membandingkan sejumlah populasi semut di
Amerika yaitu di Amerika Tengah, Selatan, dan Utara yang hidup di lokasi
berbeda-beda seperti yang telah dipaparkan pada hasil riset di atas.
kecenderungan ini tampak sekali pada semut pemakan daun daripada
semut pamakan daging, seperti semut merah. Semut pemakan daun mungkin
membutuhkan asupan garam tambahan lebih banyak karena tidak memperoleh
sebanyak semut pemakan daging. Alasan ini sama halnya dengan seekor bison,
kijang, atau badak yang suka menjilat tanah untuk menambah asupan garam.
Sementara hewan pemakan daging seperti singa gunung dan srigala tidak
melakukannya karena sudah cukup mendapatkan garam dari mangsanya (Anonim,
2008).
Prilaku Semut Dapat Mencium Aroma Kematian
Ketika seekor semut mati, maka zat kimia kehidupannya memudar atau
terurai, dan hanya zat kimia kematianlah yang tersisa. Itu karena semut mati tidak
lagi tercium seperti semut hidup sehingga langsung diangkut ke kuburan, bukan
karena tubuhnya mengeluarkan zat kimia unik baru yang terbentuk setelah dia
mati seperti teori yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan adanya
pemahaman mekanisme yang tepat tentang necrophoresis semut, dapat membantu
para peneliti mengembangkan strategi manajemen hama yang ramah lingkungan
sehingga mencapai hasil maksimal dengan jumlah insektisida lebih sedikit. Dari
studi ini memengindikasikan bahwa sesama penghuni sarang mendistribusikan
insektisida yang bekerja lambat dan non-repellent yang efisien di antara mereka
lewat necrophoresis. Ketika seekor semut yang terpapar insektisida itu mati di
dalam sarang, semut lainnya akan menggotong jasadnya berkeliling, dan
insektisida pun dengan mudah tersebar dari mayat semut kepada semut sehat.
Anonim. 2008. Semut Pedalaman Lebih Suka Garam Daripada Gula. http://ceritakan
.com/2008/11/semut-pedalaman-lebih-suka-garam-daripada-gula/.[1Maret 2011.
Anonim. 2010. Semut. http://id.wikipedia.org/wiki/Semut_%28disambguasi%29. [1
maret 2011.].
Anonim. 2010. Sisi Lain, Semut Dapat Mencium Aroma Kematian. http://www.blog-
santai.com/2010/11/sisi-lain-semut-dapat-mencium-aroma.html?m=0. Diakses
Pada Tanggal 2 Maret 2011 Pukul 16.30 WITA.
Anonim. 2011. Fakta Semut Dari Hal Menarik Sampai Menjijikan [Part 2].[online].
http://jurnallaporan.blogspot.com/. [19 Maret 2011].
Campbell, Neil A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.
Jakarta: Erlangga.
Dong-Hwan Choe1, Jocelyn G. Millar, and Michael K. Rust. 2009. Chemical Signals
Associated With Life Inhibit Necrophoresis In Argentine Ants. 2-5