You are on page 1of 77

babe62ee5bdd32

Ma`rifatullah sebagai Pondasi Kehidupan [ A'a Gym ]

Secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan standar. Dalam salah satu bukunya, Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderunagn untuk mencintai dirinya, mencintai
kesempurnaannya, serta mencintai eksistensinya. Dan sebaliknya, manusia cenderung memberi
hala-hal yang dapat menghancurkan, meniadakan, mengurangi atau menghancurkan
kesempurnaan itu.

Orang besar tekenal banyak dipuji-puji, memiliki pengaruh dan kekayaan yang melimpah,
pengikutnya beribu-ribu, akan takut setengah mati jika takdir mendadak merubahnya menjadi
miskin, lemah, bangkrut, terasing atau ditinggalkan manusia. Begitulah tabiat manusia. Padahal,
kecintaan kita kepada selain Allah sampai begitu banyak, maka cinta itu pasti akan musnah.

Seharusnya kebutuhan kita akan kebahagiaan duniawi, membuat kita berpikir bahwa Alalahlah
satu-satunya yang memiliki semua itu. Adapun kekhawatiran tentang standar kebutuhan kita,
mestinya membuat kita berlindung dan berharap kepada Allah dengan mengamalkan apa-apa
yang disukainya. Jadi, kebutuhan pada diri kita itu seharusnya menjadi jalan supaya kita
mencintai Allah.

Seorang muslim selayaknya memahami, bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah kita
mencintai Allah SWT. Dan pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk
menggapai keindahan cinta tersebut adalah dengan mengenal Allah (ma\'rifatullah). Bagi seorang
muslim ma\'rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-tingginya. Sebaliknya,
tanpa ma\'rifatullah seorang muslim memiliki keyakinana dan keteguhan hidup.

Ma\'rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari
sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapa pun kecuali hanya untuk Allah SWT.
Jika seorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip ma\'rifatullah ini, maka insya Allah, alam
semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Dengan fasilitas itulah, dia kemudian akan
memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapinya.

Maka berbahagialah orang yang senantiasa berusaha mengenal Allah, sehingga kedekatannya
dengan Allah senantiasa dipisah oleh tabir yang semakin tipis. Bagi orang yang dekat dengan
Allah, dia akan dianugrahi ru\'yah shadiqah (penglihatan hati yang benar).
Di sisi lain, ma\'rifatullah juga menjadi sangat penting dalan merevolusi pribadi seseorang untuk
berubah ke arah kebaikan. Dengan kata lain, perubahan yang dahsyat dan hakiki itu bisa terjadi
ketika seseorang mempunyai keyakinan pribadi yang sangat kuat kepada sang Khalik.

Dengan kekuatan iman, seorang pengecut seketika berubah menjadi seorang pemberani. Seorang
pemalas tiba-tiba berubah menjadi bersemangat. Sehingga siapa pun yang menginginkan
perubahan positif yang cepat dalam dirinya kuncinya adalah membangun kayakinan yang kuat
kepada Allah SWT. Banyak contoh berbicara tentang betapa kuatnya peran keyakinan dalam
merubah pribadi seseorang.

Umar bin Khatab ra. yang sebelumnya begitu pemarah dan berwatak keras, bahkan anaknya
sendiri dikubur hidup-hidup. Namun berkat tumbuhnya tauhid dalam dirinya, beliau berubah
menjadi begitu bermurah hati dan penyantun. Bukan hanya individu, kota Makkah yang
sebelumnya tidak dikenal, hanya sebuah dusun kecil yang penuh keterbatasan, berkat da\'wah
dan kekuatan iman yang disemai melalui dakwah Rasulullah SAW, akhirnya berubah menjadi
bangsa yang besar dan sangat disegani.

Kisah lain dapat disebut, yaitu kisah seorang shahabiyah yang bernama Khansa. Wanita
mukminah yang hidup di zaman sahabat ini ketika kerabatnya wafat, emosi kesedihannya begitu
luar biasa. Dia menangis begitu pilu, meratap, merobek-robek baju, memukul dada. Tapi sesudah
mendapat hidayah, emosinya dapat terkontrol.

Bahkan dalam sebuah pertempuran, ia berseru pada keempat anak laki-lakinya. "Hai anak-
anakku, ini kesempatan besar. Kalau engkau mengalahkan mereka, engkau dapat pahala di sisi
Allah. Kalau engkau menjadi syuhada, engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah. Bertempurlah
dengan semangat membara!"

Lalu anak-anaknya bertempur luar biasa, hingga satu persatu gugur menjadi syuhada. Namun
kala itu bukan ratapan yang ia berikan, malah ungkapan syukur. Padahal dulu, hanya saudaranya
saja yang meninggal dunia ratapannya sangat luar biasa, sampai hendak bunuh diri karena putus
asa. Namun di kemudian hari, dia malah mengantar syahid anak-anaknya dengan penuh
ketabahan dan keikhlasan.

Oleh karenanya, siapa pun yang tidak mempunyai pondasi ma\'rifatullah dalam dirinya, maka ia
akan sulit untk memperoleh ketenangan, kedamaian, kabahagiaan, dan kesuksesan hakiki. Jika
kita makin mengenal siapa Allah, maka akan terasa semakin kecil nilai makhluk. Ketika kita
semakin mengerti penghargaan dari Allah maka kian tidak berarti penghargaan yang kita terima
dari makhluk.
2e82103fa52eda

3 Tips meraih pertolongan Allah [ KH. Abdullah


Gymnastiar ]
Bagikan

10 Februari 2010 jam 11:44

Saudaraku, jangan panik jika usaha yang kita lakukan belum menemukan
keberhasilan. Jangan heran bila yang kita cita-citakan di tahun kemarin belum
tercapai. Karena bisa jadi, apa yang kita inginkan belum saatnya dikabulkan Allah,
atau bisa jadi usaha yang kita lakukan belum maksimal. Namun, ada satu hal yang
betul-betul perlu kita renungkan, jangan-jangan kita masih berlumur dosa sehingga
pertolongan Allah enggan menyapa.

Untuk itu, ada tiga hal yang wajib kita amalkan agar layak ditolong Allah. Itu dikenal
dengan 3 T. T pertama adalah taubat. Pertolongan Allah akan tercurah kepada
orang-orang yang mau merendahkan diri seraya mengakui kesalahan dihadapan
Allah. Ada empat syarat taubat, diantaranya: menyesal untuk tidak mengulangi apa
yang telah diperbuat, memohon ampun kepada Allah, bertekad untuk tidak
mengulanginya, dan mengiringinya dengan amal shalih. Bagi ahli taubat, telah Allah
janjikan ketentraman, diberikan jalan keluar, dan dimudahkan rezeki dari jalan yang
tidak disangka-sangka. Salah satu rezeki ini dapat berupa pertolongan Allah.

T kedua adalah taat. Taat dapat berarti patuh seraya bersungguh-sungguh


menjalankan perintah Allah. Siapa pun yang ingin ditolong Allah maka ia harus
bersungguh-sungguh meningkatkan ibadah dengan tidak mensia-siakan shalat
berjamaah. Disempurnakan dengan amalan sunnah tahajud, dhuha, rawatib,
perbanyak sedekah, santuni fakir miskin, biasakan shaum sunnah. Semakin dekat
kita dengan Allah, Insya Allah akan semakin dekat pada datangnya pertolongan
Allah.

T ketiga adalah tawakal. Usaha yang kita lakukan, harapan yang kita tekadkan
belum tentu sesuai dengan keinginan dan harapan Allah. Karena bisa jadi baik
menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Untuk itu menggantungkan diri
sepenuhnya pada ketentuan Allah menjadi keharusan.

Saudaraku, gantungkan semua usaha, harapan semata-mata untuk mencari


keridhaan-Nya. Dengan ridha-Nya diharapkan pertolongan Allah akan segera
menyapa. Wallahu’alam bishawab.
an Akhlak dalam menyikapi Khilafiyah
Menyikapi perbedaan dalam urusan fiqh, ada baiknya kita bercermin dari perilaku dari seorang
tokoh ulama Indonesia yang dikagumi oleh hampir (untuk tidak menyatakan semua) orang di
negeri ini, bahkan sampai melampaui batas negeri ini, yaitu Buya Hamka, sosok yang ideal
untuk dijadikan panutan dalam urusan toleransi antar pendapat fiqih. Di antaranya sebagaimana
yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, meski beliau boleh dibilang tokoh
Muhammadiyah yang anti qunut. Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama betawi,
KH. Abdullah Syafii, tokoh ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya
sunnah muakkadah

Sekitar tahun 1970 almarhum buya Hamka berkunjung ke kota Banjarmasin. Oleh pengurus
masjid Jamik Banjarmasin tokoh Muhammadiyah ini diminta untuk menyampaikan khotbah
Jumat. Bagaimana reaksi dari Mantan Ketua MUI Pusat pertama ini? Beliau bertanya kepada
pengurus masjid: "Apakah khatibnya disini harus memegang tongkat?" "Ya ". " Apakah
khatibnya memakai baju jubah dan sorban?" " Ya ", kilah pengurus Masjid. Maka buya Hamka
tampil sebagai khatib menyesuaikan dengan kebiasaan di masjid Jamik tersebut. Masyarakat
terpukau mendengar khotbah Hamka. Ketika itu tidak dipersoalkan lagi bahwa Hamka 0rang
Muhammadiyah.

Suatu ketika buya Hamka naik haji dengan menggunakan kapal laut 'Gunung Jati' bersama K.H.
Idham Khalid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Satu subuh, jemaah meminta
buya Hamka menjadi imam salat subuh. Pak Idham Khalid salah seorang makmum. Pada rakaat
kedua, buya Hamka membaca doa qunut. Padahal biasanya beliau tidak berqunut.

Usai salat, diantara jemaah ada yang bertanya: "Maaf, Buya. Biasanya orang Muhammadiyah
pada salat subuh tidak membaca doa qunut. Tapi kenapa buya subuh ini pakai qunut?" "Ya,
karena diantara makmumnya, ada pak Idham Khalid. Beliau selalu berqunut setiap salat subuh.
Jadi saya menghargai beliaulah," jawab buya Hamka secara diplomatis.

Esok harinya giliran pak Idham Khalid yang menjadi imam salat subuh. Ternyata beliau tidak
membaca doa qunut pada rekaat kedua. Ketika ada yang bertanya sebabnya, tokoh kelahiran
Amuntai Kalimantan Selatan ini menjawab: "Ya, karena di belakang saya ada Hamka yang tidak
membaca doa qunut setiap salat subuh. Jadi saya menghargai beliau."

Ada sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat,
KH. Abdullah Syafii mengunjungi Buya masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu
menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati
shahabatnya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafii yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu
kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat
Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan,
bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama
lainnya.

Ini luar biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi. Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar
negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang
fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafii, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-
Syafiiyah, yang umumnya kiyai betawi hari ini adalah murid-murid beliau.

Bahkan menurut Rusydi Hamka, ayahnya itu ketika mau mengimami shalat tarawih,
menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar kala
itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya,
11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.

Muncul pertanyaan kalau demikian, apakah tokoh-tokoh ini tidak konsekwen dengan
keyakinannya. Jawabannya: "Mereka mendahulukan akhlak dari pada fikih."

Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah
meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang
proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar
asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.
Wallahu alam bishshawab

Dari beberapa sumber, Griya Bandung Indah, 13 Februari 2010

babe62ee5bdd32

Istighfar, Keutamaan & Sbg Kunci Rezeki


Bagikan
Kemarin jam 22:17
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan
semata. Sebagian mereka mengucapkan.

"Artinya : Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya".

Tetapi kalimat-kalimat diatas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam
perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-
orang dusta.

Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah
menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.

Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan
dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak
mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu
telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna" [Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari
asal kata " tauba" hal. 76]

Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : "Para ulama berkata, 'Bertaubat
dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah,
yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama,
hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya.
Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka
taubatnya tidak sah.
Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas
dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk
harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman)
tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau
meminta ma'af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf"
[Riyadhus Shalihin, hal. 41-42]

Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah " Meminta
(ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah.

"Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun" [Nuh : 10]

Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi
dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya
dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta" [Al-Mufradat fi
Gharibil Qur'an, dari asal kata "ghafara" hal. 362]

Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki

Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk
sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Ta'ala. Dibawah ini beberapa nash dimaksud :

[1] Apa Yang Disebutkan Allah Subhana Wa Ta'ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang Berkata
Kepada Kaumnya.

"Artinya : Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesunguhnya
Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai". [Nuh : 10-12]

Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar.

Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : "Sesungghuhnya Dia adalah


Maha Pengampun".

Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata
"midraaraa" adalah (hujan) yang turun dengan deras. [Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat
Nuh 8/666]

Allah akan membanyakan harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat "wayumdid kum
biamwalin wabanina" Atha' berkata : Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak
kalian" [Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154]

Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.


Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai.

Imam Al-Qurthubi berkata : "Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam (surat Hud : 3 "Artinya
: Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhamnu dan bertaubat kepada-Nya) adalah dalil
yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki
dan hujan". [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul
Qadir, 5/417]

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :" Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah,
meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa menta'atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan
rizki kalian menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian
berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan
untuk kalian, membanyakan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di
dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara
kebun-kebun itu (untuk kalian)". [Tafsir Ibnu Katsir, 4/449]

Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu juga berpegang
dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta'ala.

Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi : "Bahwasanya Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk
memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar
(memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku
tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya
hujan dengan majadih[1] langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau
membaca ayat.

"Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhamu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,
niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat".[Nuh : 10-11]. [Tafsir Al-Khazin,
7/154]

Sakaratul Maut dan Kematian


Oleh Abdullah Saleh Hadrami (Bening Hati)

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan pengikut mereka yang
setia sampai hari kiamat, Amma badu :

1. Sakaratul Maut dan Kematian Kafir atau Fajir (banyak dosa)

Sesungguhnya seorang hamba yang kafir atau fajir (banyak dosa), apabila
hendak meninggalkan dunia menuju akhirat, turun kepadanya para
Malaikat dari langit yang sangat keras lagi berwajah hitam sambil
membawa kain yang kasar dari neraka...Para malaikat itu duduk
disamping calon mayit sejauh mata memandang...

Kemudian datang Malaikat maut -Alaihis Salam dan duduk disamping


kepalanya seraya berkata: "Wahai jiwa yang busuk keluarlah menuju
murka dan kebencian dari Allah"...Ruh itupun terkejut...Lalu Malaikat
mencabutnya seperti mencabut alat pemanggang yang banyak cabangnya
dari kain yang basah sehingga terputuslah urat-urat dan ototnya...

Malaikat itupun mengambil ruhnya dan langsung memasukkannya


kedalam kain kasar (yang dari neraka itu)...Keluar dari ruh itu bau yang
sangat busuk seperti bau paling busuk yang pernah ada dimuka bumi
ini...Para Malaikat lalu membawa ruh itu naik, tiadalah melalui rombongan
Malaikat melainkan mereka selalu bertanya: "Ruh siapa yang busuk
ini?"...Para Malaikat yang membawanya menjawab: "Ini ruhnya Fulan bin
Fulan", dengan menyebut panggilan-panggilan buruknya ketika di
dunia...Malaikat yang membawanya menyebutkan keburukan-
keburukanya selama di dunia...Keburukan-keburukannya dalam hubungan
dengan Allah dan dengan sesama manusia bahkan dengan alam semesta...

Semua malaikat diantara langit dan bumi melaknatinya (mengutuknya),


juga semua malaikat yang di langit...Ditutup untuknya pintu-pintu
langit...Masing-masing penjaga pintu berdoa kepada Allah agar ruh itu
tidak lewat melalui pintunya....
Tatkala telah sampai di langit dunia mereka meminta agar dibuka
pintunya dan ternyata tidak dibukakan...Kemudian Rasulullah
-Shallallaahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam membacakan: "Sekali-kali
tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula)
mereka masuk sorga, hingga unta masuk ke lubang jarum." (QS.Al-A?raaf:
40)....Lantas Allah berfirman: "Tulislah catatan amalnya di sijjiin, dibumi
yang paling bawah",...Kemudian dikatakan: "Kembalikan hambaKu ke
bumi karena Aku telah berjanji bahwa Aku menciptakan mereka darinya
(tanah) dan mengembalikan mereka kepadanya serta mengeluarkan
mereka darinya pula pada kali yang lain"...

Lalu ruhnya dilempar dari langit sehingga terjatuh ke bumi, kemudian


Rasulullah -Shallallaahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam membacakan
ayat: "Dan barangsiapa menyekutukan Allah, maka seolah-olah ia jatuh
dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat
yang jauh." (QS. Al-Hajj: 31)...Dikembalikan ruh itu ke jasadnya sehingga
ia mendengar suara alas kaki orang-orang yang pulang dari mengantar
jenazahnya...

Sekarang ia sendirian di kuburnya...Gelap...Sempit...Pengap...Ada


cacing...Ada kalajengking....Kemudian datanglah dua Malaikat, Munkar
dan Nakir, yang sangat keras...Dua Malaikat yang sangat keras dan
membentaknya serta mendudukkannya seraya bertanya: "Siapa Rabb-
mu?"...Ia menjawab: "Ha...ha...Saya tidak tahuuuu."...Malaikat bertanya
lagi: "Apa Dien-mu?"...Ia menjawab: "Ha...ha...Saya tidak tahuuuu". Kedua
malaikat itupun bertanya lagi: "Siapa orang yang diutus kepadamu?"...Ia
tidak tahu namanya, lalu malaikat mengatakan: "Muhammad!"...Orang itu
menjawab: "Ha...ha...Saya tidak tahuuuu, saya mendengar orang-orang
mengatakan itu. !"...Lalu dikatakan kepadanya: "Anda tidak tahu dan
tidak mau membaca (belajar)."...Kemudian terdengarlah seruan dari
langit: "Ia berdusta, berilah ia hamparan dari neraka dan bukakan
untuknya pintu ke neraka."...Lalu sampailah kepadanya panas dan racun-
racun neraka dan kuburnya disempitkan sehingga terpatah-patah tulang
rusuknya...

Setelah itu datang kepadanya seorang yang berwajah buruk, berpakaian


jelek dan berbau tidak enak seraya berkata: "Kabar buruk bagimu, ini
adalah hari yang dijanjikan kepadamu."...Orang itu (si mayit) bertanya:
"Siapa kamu? semoga Allah memberi kabar buruk kepadamu, wajahmu
mendatangkan keburukan."...Ia menjawab: "Aku adalah amal burukmu,
Demi Allah, aku tidak mengetahui melainkan kamu lambat dalam ketaatan
kepada Allah, cepat dalam kemaksiatan, lalu Allah membalasimu dengan
keburukan."...Kemudian ia (si mayit) dikuasai oleh seorang yang buta, tuli
lagi bisu (maksudnya tidak berbelas kasihan) yang ditangannya ada
batang besi, sekiranya dipukulkan ke gunung pasti menjadi tanah...Lalu
dia memukulnya dengan sekali pukulan sehingga ia menjadi tanah,
kemudian Allah mengembalikannya seperti semula...Lalu dia memukulnya
lagi dengan pukulan yang lain, sehingga ia (orang kafir atau fajir)
berteriak (kesakitan) dengan teriakan yang didengar oleh semua makhluk
kecuali manusia dan jin....Kemudian dibukakan untuknya pintu neraka dan
ia diberi hamparan dari neraka...Ia berkata: "Ya Rabb, Janganlah terjadi
kiamat."... Ia tidak ingin segera kiamat karena ia yakin akan mendapat
adzab yang lebih dahsyat dari adzab kubur...Tapi, Allah telah menetapkan
bahwa seseorang harus tinggal di kubur dulu, di alam barzakh, sampai
kiamat besar...Setelah itu dihisab dan mendapatkan balasan yang
setimpal dengan perbuantannya...Orang kafir atau fajir akan masuk
neraka jahannam yang panasnya tiada tara...Ia tidak hidup di dalamnya
dengan kehidupan yang layak dan tidak pula mati yang memungkinkannya
untuk beristirahat...Ia hanya merasakan siksa dan siksa...Allah murka
kepadanya...

2. Sakaratul Maut dan Kematian mukmin

Sesungguhnya seorang hamba mukmin apabila hendak meninggalkan


dunia menuju akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit yang
berwajah putih seakan wajah mereka ibarat matahari… Mereka membawa
kafan dan parfum dari surga…Mereka duduk di samping calon mayit
sejauh mata memandang…

Kemudian datanglah Malaikat maut –Alaihis Salam dan duduklah di


samping kepala calon mayit seraya berkata: " Wahai jiwa yang baik, wahai
jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan ridha dari Allah."…Maka
keluarlah ruhnya dengan lembut seperti air yang menetes dari bibir
tempat air…Malaikat maut-pun mengambilnya…setelah Malaikat
mengambil ruh itu maka segera di masukkan dalam kafan yang dari surga
tersebut dan diberi parfum yang dari surga itu…Lalu keluarlah dari ruh itu
bau yang sangat wangi seperti bau parfum yang paling wangi dimuka
bumi ini…

Ketika telah keluar ruhnya maka para Malaikat diantara langit dan bumi
menshalatinya… Demikian pula semua Malaikat yang di langit…Dan
dibukakan untuknya pintu-pintu langit…Semua penjaga pintu tersebut
berdoa kepada Allah agar ruh tersebut lewat melalui pintunya…

Para Malaikat membawa ruh itu naik ke langit…Dan tiap-tiap melalui


rombongan Malaikat mereka selalu bertanya: "Ruh siapa yang wangi
ini?"…Para Malaikat yang membawanya menjawab: "Ini ruhnya Fulan bin
Fulan", sambil menyebutkan panggilan-panggilan terbaiknya selama di
dunia…Malaikat yang membawanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya
selama di dunia…Kebaikan-kebaikannya dalam hubungan dengan Allah
dan dengan sesama manusia bahkan dengan alam semesta… Tatkala telah
sampai di langit dunia para Malaikat meminta di bukakan pintunya…
Malaikat penjaga pintu langit membuka pintu itu…Kemudian semua
Malaikat yang ada ikut mengiringi ruh itu sampai ke langit berikutnya
hingga berakhir di langit ke tujuh….

Lalu Allah berfirman: "Tulislah catatan amal hamba-Ku di Illiyyiin!


"Tahukah kamu apakah Illiyyiin itu? (Yaitu) kitab yang bertulis (untuk
mencatat amal orang yang baik)" (QS. Al-Muthaffifiin: 19-20). Ditulislah
catatan amalnya di Illiyyiin…Kemudian dikatakan: "Kembalikanlah ia ke
bumi, karena Aku telah berjanji kepada mereka bahwa Aku menciptakan
mereka darinya (tanah) dan mengembalikan mereka kepadanya serta
membangkitkan mereka darinya pula pada kali yang lain"… Ruh itu-pun
dikembalikan ke bumi dan ke jasadnya…Ketika telah dikebumikan ia
mendengar suara alas kaki orang-orang yang pulang dari mengantarkan
jenazahnya…

Sekarang ia sendirian di kuburnya…Gelap…Sempit…Pengap…Ada cacing…


Ada kalajengking….Kemudian datanglah dua Malaikat, Munkar dan Nakir,
yang sangat keras…Kedua malaikat itu membentaknya serta
mendudukkannya seraya bertanya: "Siapa Rabb-mu?" Ia menjawab:
"Rabb-ku adalah Allah."…Malaikat bertanya lagi: "Apa dien-mu?" Ia
menjawab : "Dien-ku adalah Islam."…Kedua Malaikat tersebut bertanya
lagi: "Siapa orang yang diutus kepadamu?" Ia menjawab: "Dia adalah
Rasulullah –Shallallaahu "Alaihi Wa "Ala Alihi Wa Sallam."…Malaikat
bertanya lagi: "Apa amalmu?" Ia menjawab: "Aku membaca Kitab Allah,
mengimani dan mengamalkannya."…Malaikat tersebut membentaknya
lagi: "Siapa Rabb-mu? Apa dien-mu? Dan siapa Nabi-mu?"…Itulah ujian
terakhir yang menimpa orang mukmin…

Allah berfirman: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman


dengan ucapan yang teguh itu (dua kalimat syahadat) dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim: 27)…Ia-pun menjawab: "Rabb-ku
adalah Allah, dien-ku adalah Islam dan Nabi-ku adalah Muhammad –
Shallallaahu "Alaihi Wa "Ala Alihi Wa Sallam."…Lalu ada seruan dari langit:
"Hamba-Ku benar, berilah ia hamparan dan pakaian dari surga serta
bukalah untuknya pintu surga."…Datang dan sampai kepadanya
kebahagiaan dan wangi surga…Kuburnya diluaskan sejauh mata
memandang….

Kemudian datang kepadanya seorang yang berwajah baik, berpakaian


indah dan baunya wangi seraya berkata: "Kabar gembira dengan sesuatu
yang menyenangkan anda, kabar gembira dengan ampunan dari Allah dan
surga yang penuh dengan kenikmatan selamanya, ini adalah hari yang
dijanjikan kepada anda."…Ia-pun bertanya: "Siapa anda ?, semoga Allah
memberi kabar gembira kepada anda. Wajahmu mendatangkan
kebaikan."…Orang tersebut menjawab: "Aku adalah amal salehmu. Demi
Allah, anda selalu bersegera dalam taat kepada Allah dan lambat dalam
maksiat kepada Allah, lalu Allah-pun membalasi anda dengan kebaikan
pula."…Kemudian dibukakan untuknya pintu surga dan neraka seraya
dikatakan: "Ini (neraka) adalah tempatmu jika kamu bermaksiat kapada
Allah, Allah telah menggantinya dengan ini (surga)."…Tatkala ia melihat
kedalam surga, ia-pun berkata: "Ya Allah segerakanlah kiamat, agar aku
kembali kepada keluargaku dan hartaku."…Lalu dijawab: "Tenanglah (di
kubur ini dulu)"…Ia ingin segera kiamat agar bisa segera masuk ke dalam
surga yang telah diperlihatkan kepadanya dan agar supaya bisa
berkumpul dengan semua keluarganya kembali…Tapi, Allah telah
menetapkan bahwa seseorang harus tinggal di kubur dulu, di alam
barzakh, sampai kiamat besar…Setelah itu dihisab dan mendapatkan
balasan yang setimpal dengan perbuantannya…Orang beriman akan
masuk ke dalam surga…Memandang Wajah Allah Yang Maha Mulia…
Mendapatkan Ridha Allah dan Allah tidak akan pernah lagi murka
kepadanya selamanya…

Inilah perjalanan hidup yang pasti kita lalui…Ini bukan dongeng, tapi
kenyataan…Percaya atau tidak?...Semoga bermanfaat…

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang mendatangkan benacana…


Ampunilah dosa-dosa kami yang merubah karunia…Ampunilah dosa-dosa
kami yang menurunkan bala"…Ampunilah dosa-dosa kami yang
menghalangi doa…Ampunilah semua dosa yang telah kami lakukan dan
semua kesalahan yang telah kami kerjakan…

Ya Allah, sungguh kami telah menganiaya diri kami, jika Engkau tidak
mengampuni dan menyayangi kami, tentulah kami termasuk orang-orang
yang merugi…Ya Allah, kami telah beriman kepadaMu, ampunilah dosa-
dosa kami dan selamatkanlah kami dari api neraka…

Ya Allah, permudahlah sakaratul maut kami…Jadikanlah kematian kami


husnul khotimah…Tolonglah kami agar kami mampu menjawab fitnah
kubur dengan baik dan benar…Luaskan alam kubur kami seluas-luasnya
sejauh mata memandang…Jadikanlah alam kubur kami sebagai taman
diantara taman-taman surga…Permudahlah hisab kami…Masukkanlah
kami ke dalam surgaMu…Berilah kami rizki memandang WajahMu Yang
Maha Mulia…Berikanlah kepada kami RidhaMu yang Engkau tidak akan
pernah lagi murka kepada kami setelah itu selamanya….

Ya Allah, kami mohon kepadaMu ridhaMu dan surgaMu…

Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari murkaMu dan nerakaMu…

Ya Allah aku memohon kepadaMu Ilmu yang bermanfaat, yang


mendekatkan diri kami kepadaMu dan kami berlindung kepadaMu dari
ilmu yang tidak bermanfaat Ilmu yang menjauhkan kami dariMu.
Allahumma Amiin.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga,


para sahabat dan pengikut mereka yang setia sampai hari kiamat dan
segala puji hanya bagi Allah.

26968b2478826e
Mintalah pertolongan dengan sabar dan
shalat.
Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu (QS 2:45) Allah
memerintahkan kepada kita bila kita memohon pertolongan Allah swt, maka
kokohkanlah permintaan itu dengan disertai jiwa yang sabar yakni dengan
menahan diri dari godaan untuk melakukan hal-hal yang bernilai rendah, misalnya
terjerumus kedalam prasangka buruk kepada Allah yakni mengira Allah tidak
memperhatikan kita, demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari, memohon
bantuan atau meminta seseorang melakukan sesuatu yg kita inginkan hendaknya
disertai dengan sikap dan jiwa yang sabar tidak terjerumus dalam nafsu amarah,
melakukan pengrusakan dan lain-lain.

Kemudian munajah kita kepada Allah swt dikuatkan dengan mengaitkan diri kita
kepada Allah swt yakni melakukan shalat sebagai simbol ketaatan kita kepada
ketentuan-ketentuan Allah, ini bermakna bahwa bila kita meminta sesuatu kepada
Allah, tidak hanya shalat yang kita jalankan dan meninggalkan perintah yang lain,
tidak begitu. Tetapi kukuhkanlah semua permintaan kita dengan ketaatan kepada
semua perintah Allah agar kita mampu menghadapi segala kesulitan serta memikul
segala beban.

Betapapun, kita merasakan bahwa beban hidup kita kadang terasa begitu berat
bagi kita, namun bila hal itu dibarengi dengan hati yang khusu’ yakni hati yang
selalu tunduk dan selalu merasa tenteram dalam berzikir kepada Allah, maka
segala beban yang berat akan terasa ringan. Bukankah kita sering merasa plong
bila kita curhat kepada seseorang atas beban yang kita rasakan apalagi bila teman
curhat kita itu adalah zat yang Maha Mendengar, Maha memperhatikan kita, tentu
akan membawa jiwa akan tenteram.
Kata ash-shabar artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Ia
juga berarti ketabahan. Imam Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati
melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.

Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok:


Pertama, sabar jasmani yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan
perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam
melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam
peperangan membela kebenaran. Termasuk pula dalam katagori ini, penyakit,
penganiayaan dan semacamnya.

Kedua, adalah sabar rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu


yang dapat mengantar kepada kejelekan, seperti sabar menahan amarah, atau
menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.
Sedangkan ash-shalah, dari segi bahasa artinya do’a, dan dari segi pengertian
syariat adalah “ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan
karuniaNya, mengingat Allah, dan mengingat karunia-Nya mengantar seseorang
terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta
mengantarnya tabah menerima cobaan atau tugas yang berat. Demikian, shalat
membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka.

Dengan demikian, ayat tersebut diatas menyampaikan pesan kepada kita: mintalah
pertolongan kepada Allah dengan jalan tabah dan sabar menghadapi segala
tantangan serta dengan melaksanakan shalat. Bisa juga bermakna: Jadilah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, dalam arti jadikanlah ketabahan menghadapi
segala tantangan bersama dengan shalat, yakni doa dan permohonan kepada Allah
sebagai sarana untuk meraih segala macam kebajikan.

Khusu’ adalah ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada


kedurhakaan. Yang dimaksud dengan orang-orang yang khusu’ dalam ayat tersebut
di atas adalah mereka yang menekan kehendak nafsunya dan membiasakan dirinya
menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah serta selalu
mengharapkan kesudahan yang baik. Ia bukanlah orang yang mudah terpedaya
oleh rayuan nafsu. Ia adalah orang yang mempersiapkan dirinya untuk menerima
dan mengamalkan kebajikan.
Kekhusu’an dalam shalat menuntut kita untuk menghadirkan kebesaran dan
keagungan Allah, sekaligus kelemahannya sebagai manusia dihadapan Allah.

Puncak khusu’ adalah ketundukan dan kepatuhan anggota badan, dalam keadaan
pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju kehadirat Ilahi. Inilah
puncaknya, tetapi tentu ada tingkatan-tingkatan dibawahnya. Tingkatan terendah
adalah sekadar pengamalan yang tulus kepadaNya walau diselingi oleh pikiran yang
melayang kepada hal-hal yang tidak bersifat negatif.

Wallahu a’lam
Referensi utama: Tafsir al Mishbah, M. Quraish Shihab.
DUA DIMENSI SHOLAT

Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam.


Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw. menyebutnya sebagai
yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat
(syahadatain). Rasullah bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar:
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke
ka’bah baitullah dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari, No.8
dan HR. Muslim No.16).

Ketika ditanya Malaikat Jibril mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi


menyebut shalat pada deretan yang kedua setelah syahadatain (HR.
Muslim, No.8). Orang yang mengingkari salah satu dari rukun Islam,
otomatis menjadi murtad (keluar dari Islam). Abu Bakar Ash Shidiq
ra. ketika menjabat sebagai khalifah setelah Rasullah saw. wafat,
pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak zakat.
Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para
sahabat bergerak memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan
harbul murtaddin. Ini baru manolak zakat, apalagi menolak shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah
Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa menegakkan ibadah shalat
adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah:
3).

Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan –lewat


kejadian yang sangat agung dan kita kenal dengan peristiwa Isra’
Mi’raj– Rasulullah saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat
Jibril, melainkan Allah swt. langsung mengajarkannya. Dari sini
tampak dengan jelas keagungan ibadah shalat. Bahwa shalat bukan
masalah ijtihadi (baca: hasil kerangan otak manusia yang bisa
ditambah dan diklurangi) melainkan masalah ta’abbudi (baca: harus
diterima apa adanya dengan penuh keta’atan). Sekecil apapun yang
akan kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang
diajarkan Allah langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan
Rasulullah saw. kepada kita.

Bila dalam ibadah haji Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dariku


cara melaksanakan manasik hajimu”, maka dalam shalat Rasullah
bersabda, “shalatlah sebagaiman kamu melihat aku shalat”. Untuk
menjelaskan bagaimana cara Rasullah saw. melaksanakan shalat,
paling tidak ada dua dimensi yang bisa diuraikan dalam
pembahasan ini: dimensi ritual dan dimensi spiritual.

Dimensi Ritual Shalat


Dimensi ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di
dalamnya berapa rakaat dan kapan waktu masing-masing shalat
(shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, isya’) yang harus ditegakkan.
Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw.,
apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi atau
menginovasi. Umpamnya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga,
yang tiga ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi
empat dan lain sebagainya.
Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani
menggeser. Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke waktu
dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan sebagainya
(perhatikan: An-Nisa’: 103). Artinya shalat seorang tidak dianggap
sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari jumlah
rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa
beralasan dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau
jama’ taqdim dan ta’khir (menggabung dua shalat seperti dzhuhur
dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan) karena masing-masing
dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari Alquran dan sunnah
Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat,
melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi
yang tercantum dalam nash.

Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan
harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa
saja seenaknya. Bila Rasullah memerintahkan agar kita harus shalat
seperti beliau shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menambah-nambah. Termasuk dalam hal menambah adalah
membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap bacaan
yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis
tidak ada nash yang memerintahkan untuk juga membaca
terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan hanya perintah bahwa
kita harus mengikuti Rasullah secara ta’abbudi dalam melakukan
shalat ini.

Mungkin seorang mengatakan, benar kita harus mengikuti Rasullah,


tapi bagaimana kalau kita tidak mengerti apa makna bacaan yang
kita baca dalam shalat? Bukankah itu justru akan mengurangi nilai
ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam shalat menjadi
seperti burung beo, mengucapkan sesuatu tetapi tidak paham apa
yang kita ucapkan?

Untuk mengerti bacaan dalam shalat, caranya tidak mesti dengan


membaca terjemahannya ketika shalat, melainkan Anda bisa
melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan membaca terjemahan
dalam shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek
jawaban dalam ruang ujian. Bila menyontek, jawaban merusak ujian
pelajar. Membaca terjemahan dalam shalat juga merusak shalat.
Bila si pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa menjawab kalau tidak
nyontek, kita menjawab Anda salah mengapa tidak belajar sebelum
masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan bahwa
ia tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat,
kita jawab, Anda salah mengapa Anda tidak belajar memahami
bacaan tersebut di luar shalat. Mengapa Anda harus dengan
mengorbankan shalat, demi memahami bacaan yang Anda baca
dalam shalat? Wong itu bisa Anda lakukan di luar shalat.

Pentingnya mengikuti cara Rasullah bershalat, ternyata bukan


hanya bisa dipahami dari hadits tersebut di atas, melainkan dalam
teks-teks Alquran sangat nampak dengan jelas. Dari segi bahasa
dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan “aqiimush shalaata”
(tegakkankanlah shalat) atau “yuqiimunash sahalat” (menegakkan
shalat). Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan Rasullah
saw. Pada hadits mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril,
Rasullah bersabda: “watuqiimush shalata“ (HR. Muslim No.8) dan
pada hadits mengenai pilar-pilar Islam bersabda: “waiqaamish
shalati “. (HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim No.16)

Apa makna dari aqiimu atau yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak
langsung mengatakan shallu (bershalatlah) atau yushalluuna
(mereka bershalat)? Para ahli tafsir bersepakat bahwa dalam kata
aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan bahwa
shalat itu harus ditegakkan secara sempurna: baik secara ritual
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun
mengurangi atau menambah, maupun secara spiritual dengan
melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah saw.
melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu’ adalah
pembahasan dimensi spiritual shalat yang akan kita bicarakan
setelah ini.

Dimensi Spiritual Shalat

Mengikuti cara Rasulullah saw. shalat tidak cukup hanya dengan


menyempurkan dimensi ritulanya saja, melainkan harus juga diikuti
dengan menyempurnakan dimensi spritualnya. Ibarat jasad dengan
ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya memenuhi kebutuhan
jasadnya, namun sungguh tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan
meronta-meronta tanpa dipenuhi kebutuhannya. Demikian juga
shalat, memang secara fikih shalat Anda sah bila memenuhi syarat
dan ruku’nya secara ritual, tapi apa makna shalat Anda bila tidak
diikuti dengan kekhusyukan. Perihal kekhusyukan ini Alquran telah
menjelaskan, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat, dan sesungguhnya shalat itu sangat berat kecuali
bagi mereka yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45)

Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat ini, menyebutkan


pendapat para ulama salaf mengenai makna khusyu’ dalam shalat:
Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran keimanan yang hakiki.
Abul Aliyah menyebut, alkhasyi’in adalah orang yang dipenuhi rasa
takut kepada Allah. Muqatil bin Hayyanperpendapat, alkhasyi’in itu
orang yang penuh tawadhu’. Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en
merupakan orang yang benar-benar tunduk penuh ketaatan dan
ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil azhim, Bairut,
Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)

Dan pada dasarnya shalat –seperti yang digambarkan Ustadz Sayyid


Quthub– adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya yang dapat
menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi segala
kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw. –kata Sayyid- setiap
kali menghadapi persoalan, selalu segara melaksanakan shalat.
(Sayyid Quthub, fii zhilalil Qur’an, Bairut, Darusy syuruuq, 1985, vol.
1, h. 69)

Dalam hal ini tentu shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat,
melainkan shalat yang benar-benar ditegakkan secara sempurna:
memenuhi syarat dan rukunnya, lebih dari itu penuh dengan
kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang akan
benar-benar memberikan ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan
benar- benar melahirkan sikap moral yang tinggi, seperti yang
dinyatakan dalam Alquran: “dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ”.
(Al-Ankabut: 45)

Jelas, bahwa hanya shalat yang khusyu’ yang akan membimbing


pelaksananya pada ketenangan dan kemuliaan perilaku. Oleh sebab
itu para ulama terdahulu selalu mengajarkan bagimana kita
menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam As-
Samarqandi dalam bukunya tanbihul ghafiliin, menulis bab khusus
dengan judul: Bab itmamush shalaati wal khusyu’u fiihaa (Bab
menyempurkan dan khusyuk dalam shalat). Disebutkan dalam buku
ini bahwa orang yang sembahyang banyak, tetapi orang yang
menegakkan shalat secara sempurna sedikit. (As Samarqandi,
Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab al’Araby, 2002, h. 293)

Imam As-Samarqandi benar. Kini kita menyaksikan orang-orang


shalat di mana-mana. Tetapi, berapa dari mereka yang benar-benar
menikmati buah shalatnya, menjaga diri dari perbuatan keji,
perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk dalam
kategori munkar.

Antara Ritual dan Spritual

Ketika Rasulullah saw. memerintahkan agar kita mengikuti shalat


seperti yang beliau lakukan, itu maksudnya mengikuti secara
sempurna: ritual dan spiritual. Ritual artinya menegakkan secara
benar syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya
dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan kekhusyukan.

Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu


dimensi hilang, maka shalat Anda tidak sempurna. Bila Anda hanya
mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang ritual
(seperti tidak mengkuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar,
menambahkan atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali)
itu tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang ditambah dengan
menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu
bukan shalat yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak disebut
shalat, apapun alasan dan tujuannya.

Sebaliknya, bila yang Anda utamakan hanya yang ritual saja dengan
mengabaikan yang spiritual, boleh jadi shalat Anda sah secara fikih.
Tetapi, tidak akan membawa dampak apa-apa pada diri Anda.
Karena yang Anda ambil hanya gerakan shalatnya saja. Sementara
ruhani shalat itu Anda campakkan begitu saja. Bahkan bila yang
anda abaikan dari dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan,
akibatnya fatal. Shalat Anda menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-
Nya. Na’udzubillahi mindzaalika. Wallahu A’lam bish shawa
MERAIH SUKSE DG TAWAKAL
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, tempat bersandar seluruh makhluk,
tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Jalan meraih sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada Allah
subhanahu wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah firman Allah
Ta’ala,
‫سُبُه‬
ْ َ‫ل َفُهَو ح‬
ِّ ‫عَلى ا‬
َ ‫ل‬
ْ ‫ن َيَتَوّك‬
ْ ‫ب َوَم‬
ُ ‫س‬
ِ ‫حَت‬
ْ ‫ل َي‬
َ ‫ث‬
ُ ‫حْي‬
َ ‫ن‬
ْ ‫( َوَيْرُزْقُه ِم‬2) ‫جا‬
ً ‫خَر‬
ْ ‫ل َلُه َم‬
ْ ‫جَع‬
ْ ‫ل َي‬
َّ ‫ق ا‬
ِ ‫ن َيّت‬
ْ ‫َوَم‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq:
2-3)
Hakekat Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan. Seperti dalam
kalimat disebutkan “‫ري إ َِلى فَُلن‬ َ
ْ ‫”وَك ّْلت أ‬, aku menyerahkan urusanku pada fulan. Sedangkan
ِ ‫م‬
yang dimaksud dengan tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.[1]
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah, hakekat tawakkal adalah
benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan
menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan
kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi,
menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.
[2]
Keutamaan Tawakkal
Pertama: Tawakkal sebab diperolehnya rizki
Ibnu Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh rizki”.[2]
Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
‫ه‬
ُ ُ ‫سب‬
ْ ‫ح‬
َ ‫و‬ ِ ّ ‫ل عََلى الل‬
َ ُ‫ه فَه‬ ْ ّ ‫ن ي َت َوَك‬
ْ ‫م‬
َ َ‫و‬
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)
nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Kedua: Diberi kecukupan oleh Allah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada Abu Dzar
Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
‫خُذْوا ِبَها َلَكَفْتُهْم‬
َ ‫س ُكّلُهْم َأ‬
َ ‫ن الّنا‬
ّ ‫َلْو َأ‬
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi mereka.”[3]
Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan
mencukupi urusan dunia dan agama mereka.[4]
Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3 mengatakan,
“Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menyandarkan
hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-Nya.”[5]
Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan
mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri
kecukupan pada urusannya.”[6]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa menyerahkan urusannya pada Allah,
maka Allah akan berikan kecukupan pada urusannya.”[7]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan pula, “Barangsiapa yang menyandarkan diri pasa
Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan,
dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi urusannya.
Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat
(Al Qowi), Yang Maha Perkasa (AL ‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya
pun akan baik dari cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun
diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.”[8] Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar
biasa sekali dari orang yang bertawakkal.
Ketiga: Masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ وَل َ ي َت َط َي ُّرو‬، ‫ن‬
‫ن‬ ْ َ‫ن ل َ ي‬
َ ‫ست َْرُقو‬ ِ ّ ‫م ال‬
َ ‫ذي‬ ُ ُ‫ ه‬، ‫ب‬ ٍ ‫سا‬ َ ‫ح‬ ِ ‫ر‬ ً ْ ‫ن أ َل‬
ِ ْ ‫فا ب ِغَي‬ َ ‫سب ُْعو‬
َ ‫مِتى‬
ُ ‫ةم‬
ّ ‫نأ‬ َ ْ ‫ل ال‬
ْ ِ َ ّ ‫جن‬ ُ ‫خ‬
ُ ْ ‫ي َد‬
‫ن‬ ُ ّ
َ ‫م ي َت َوَكلو‬ َ
ْ ِ‫ وَعَلى َرب ّه‬،
“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-
orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu bertawakkal pada
Rabbnya.”[9]
Merealisasikan Tawakkal
“Dalam merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan melakukan
berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah menjadi sunnatullah
(ketetapan Allah yang mesti dijalankan). Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan usaha
disertai dengan bertawakkal pada-Nya,” demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah selanjutnya[10].
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah terpenuhi dua
unsur:
1. Bersandarnya hati pada Allah.
2. Melakukan usaha.
Inilah cara merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang
yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati pada Allah, tanpa melakukan
usaha atau melakukan usaha namun tidak maksimal. Tawakkal tidaklah demikian.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam
melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada
Allah adalah termasuk keimanan.”[11]
Tawakkal Haruslah dengan Usaha
Berikut di antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti meninggalkan usaha,
namun haruslah dengan melakukan usaha yang maksimal.
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫طانًا‬
َ ‫ح ِب‬
ُ ‫خَماصًا َوَتُرو‬
ِ ‫طْيَر َتْغُدو‬
ّ ‫ق ال‬
ُ ‫ق َتَوّكِلِه َلَرَزَقُكْم َكَما َيْرُز‬
ّ‫ح‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫عَلى ا‬
َ ‫ن‬
َ ‫َلْو َأّنُكْم َتَتَوّكُلو‬
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian
rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam
keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[12]
Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali
ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki,
yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus
meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa
pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal
ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.”[13]
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam
Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh
rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung
tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –
wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan
segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-
Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang
pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah
bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan
mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi
tawakkal.”[14]
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau
di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa.
Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh
bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
‫حي‬
ِ ‫ل ُرْم‬
ّ‫ظ‬ِ ‫حت‬
ْ ‫ل ِرْزِقي َت‬
َ ‫جَع‬
َ ‫ل‬
ّ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬
”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”[15]
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul
bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung
mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi
pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. Para sahabat pun
berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka
(yaitu para sahabat).[16]
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan
usaha sebagaimana firman-Nya,
ِ ‫خْي‬
‫ل‬ َ ‫ط اْل‬
ِ ‫ن ِرَبا‬
ْ ‫ن ُقّوٍة َوِم‬
ْ ‫طْعُتْم ِم‬
َ ‫سَت‬
ْ ‫عّدوا َلُهْم َما ا‬
ِ ‫َوَأ‬
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).
Juga firman-Nya,
ِّ ‫ل ا‬
‫ل‬ ِ‫ض‬ْ ‫ن َف‬
ْ ‫ض َواْبَتُغوا ِم‬
ِ ‫لْر‬
َْ ‫شُروا ِفي ا‬
ِ ‫لُة َفاْنَت‬
َ‫ص‬ّ ‫ت ال‬
ِ ‫ضَي‬
ِ ‫َفِإَذا ُق‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat jelas bahwa kita dituntut untuk
melakukan usaha.
Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar
Sahl At Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab)
maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela
tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”[17]
Dari keterangan Sahl At Tusturi ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita meninggalkan
sebab. Namun dengan catatan kita tetap bersandar pada Allah ketika mengambil sebab dan tidak
boleh bergantung pada sebab semata.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengambil sebab ada tiga kriteria yang mesti
dipenuhi. Satu kriteria berkaitan dengan sebab yang diambil. Dua kriteria lainnya berkaitan
dengan orang yang mengambil sebab.
Kriteria pertama: Berkaitan dengan sebab yang diambil. Yaitu sebab yang diambil haruslah
terbukti secara syar’i atau qodari.
Secara syar’i, maksudnya adalah benar-benar ditunjukkan dengan dalil Al Qur’an atau hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh: Dengan minum air zam-zam, seseorang bisa sembuh dari penyakit. Sebab ini adalah
sebab yang terbukti secara syar’i artinya ada dalil yang menunjukkannya yaitu sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,
‫طْعٍم‬
ُ ‫طَعاُم‬
َ ‫ِإّنَها ُمَباَرَكٌة ِإّنَها‬
“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang
mengenyangkan.”[18]
Ditambahkan dalam riwayat Abu Daud (Ath Thoyalisiy) dengan sanad jayyid (bagus) bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
‫سْقٍم‬
ُ ‫شَفاُء‬
ِ ‫َو‬
“Air zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).”[19]
Begitu pula disebutkan dalam hadits lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ب َلُه‬
َ ‫شِر‬
ُ ‫َماُء َزْمَزَم ِلَما‬
“Khasiat air zam-zam sesuai keinginan ornag yang meminumnya.”[20]
Secara qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian ilmiah itu
terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang merupakan cara
halal dan ada pula yang haram.
Contoh: Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS (Ujian Akhir
Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya menjalani ujian
sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س ِمّنى‬
َ ‫ش َفَلْي‬
ّ ‫غ‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َم‬
“Barangsiapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”[21]
Misalnya lagi, memperoleh harta dengan cara korupsi. Ini adalah cara yang haram. Dari
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٌ ‫غُلو‬
‫ل‬ ُ ‫ك َفُهَو‬
َ ‫خَذ َبْعَد َذِل‬
َ ‫ل َفَرَزْقَناُه ِرْزًقا َفَما َأ‬
ٍ ‫عَم‬
َ ‫عَلى‬
َ ‫سَتْعَمْلَناُه‬
ْ ‫نا‬
ِ ‫َم‬
“Siapa saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta yang dia
dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah harta yang berstatus ghulul
(baca:korupsi)”.[22]
Kriteria kedua: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu hendaklah ia
menyandarkan hatinya pada Allah dan bukan pada sebab. Hatinya seharusnya merasa
tenang dengan menyandarkan hatinya kepada Allah, dan bukan pada sebab. Di antara tanda
seseorang menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir ketika tidak berhasil, maka ia pun
menyesal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ل ِإَلْيِه‬
َ ‫شْيًئا ُوِك‬
َ ‫ق‬
َ ‫ن َتَعّل‬
ْ ‫َم‬
“Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan dia selalu
bergantung pada barang tersebut.”[23] Artinya, jika ia bergantung pada selain Allah, maka
Allah pun akan berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada selain Allah.
Kriteria ketiga: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu meyakini takdir Allah.
Seberapa pun sebab atau usaha yang ia lakukan maka semua hasilnya tergantung pada takdir
Allah (ketentuan Allah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫سَنٍة‬
َ ‫ف‬
َ ‫ن َأْل‬
َ ‫سي‬
ِ ‫خْم‬
َ ‫ض ِب‬
َ ‫لْر‬
َ ‫ت َوا‬
ِ ‫سَمَوا‬
ّ ‫ق ال‬
َ ‫خُل‬
ْ ‫ن َي‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫ق َقْب‬
ِ ‫لِئ‬
َ‫خ‬َ ‫ل َمَقاِديَر اْل‬
ُّ ‫ب ا‬
َ ‫َكَت‬
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit
dan bumi.”[24]
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridho
dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau
tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak
akan terjadi.” [25] [26]
Tawakkal yang Keliru
Dari penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
Pertama: Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari sebab.
Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh Sahl At Tusturi di
atas.
Kedua: Melakukan usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan menyandarkan diri
pada sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti memakai jimat, agar dilancarkan dalam
urusan atau bisnis.
Ketiga: Sebab yang dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman.
Misalnya, meraih dengan jalan korupsi.
Keempat: Meyakini bahwa sebab tersebut memiliki kekuatan sendiri dalam menentukan hasil,
maka ini adalah syirik akbar (syirik besar). Keyakinan semacam ini berarti telah menyatakan
adanya pencipta selain Allah. Misalnya, memakai pensil ajaib yang diyakini bisa menentukan
jawaban yang benar ketika mengerjakan ujian. Jika diyakini bahwa pensil tersebut yang
menentukan hasil, maka ini termasuk syirik akbar.
Ketika Mendapat Kegagalan
Ketika itu sudah berusaha dan menyandarkan diri pada Allah, maka ternyata hasil yang diperoleh
tidak sesuai yang diinginkan maka janganlah terlalu menyesal dan janganlah berkata
“seandainya demikian dan demikian” dalam rangka menentang takdir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
َ‫ل َول‬ِّ ‫ن ِبا‬ْ ‫ك َواسَْتِع‬ َ ‫عَلى َما َيْنَفُع‬َ ‫ص‬ْ ‫حِر‬ ْ ‫خْيٌر ا‬َ ‫ل‬ ّ ‫ف َوِفى ُك‬ ِ ‫ضِعي‬ ّ ‫ن ال‬ ِ ‫ن اْلُمْؤِم‬
َ ‫ل ِم‬ِّ ‫ب ِإَلى ا‬ ّ ‫ح‬ َ ‫خْيٌر َوَأ‬
َ ‫ى‬ّ ‫ن اْلَقِو‬
ُ ‫اْلُمْؤِم‬
َ ‫عَم‬
‫ل‬ َ ‫ح‬ ُ ‫ن َلْو َتْفَت‬
ّ ‫ل َفِإ‬
َ ‫شاَء َفَع‬ َ ‫ل َوَما‬
ِّ ‫ل َقَدُر ا‬
ْ ‫ن ُق‬ْ ‫ َوَلِك‬.‫ن َكَذا َوَكَذا‬َ ‫ت َكا‬
ُ ‫ل َلْو َأّنى َفَعْل‬ْ ‫ل َتُق‬
َ ‫ىءٌ َف‬ْ ‫ش‬ َ ‫ك‬َ ‫صاَب‬
َ ‫ن َأ‬
ْ ‫جْز َوِإ‬ِ ‫َتْع‬
ِ ‫طا‬
‫ن‬ َ ‫شْي‬
ّ ‫ال‬
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.
Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat
bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu
musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’
Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia
kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu
syaithon.”[27]
Demikian sedikit pembahasan kami tentangt tawakkal. Semoga bermanfaat. Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
10 Adab Agar Doa Dikabulkan
Bagikan

Hari ini jam 8:39

Oleh: Ulis Tofa, Lc

dakwatuna.com – Ramadhan adalah syahrud du’aa’ –bulan berdoa-.


Sehingga rangkaian ayat-ayat shaum yang panjang itu, disisipi
seruan untuk berdoa. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Pengalihan seruan dari orang-orang beriman terkait dengan hukum-


hukum shaum, beralih pada seruan untuk Rasulullah saw. agar
beliau mengajarkan dan mengingatkan orang-orang beriman, apa-
apa yang mesti mereka perhatikan dalam pelaksanaan ibadah, baik
berupa ketaatan maupun sikap ikhlas, juga bersimpuh hanya
kepada-Nya dengan doa, doa yang mengantarkan mereka pada
petunjuk dan jalan kebaikan. Ini menunjukkan betapa pentingnya
ibadah doa. Bahkan ada tiga kelompok yang doanya tidak akan
tertolak:

“‫ ودعوة المظلوم يرفعها ال فوق الغمام وتفتح لها‬،‫ والمام العادل‬،‫ الصائم حتى يفطر‬:‫ثلثة ل ترد دعوتهم‬
‫ وعزتي وجللي لنصرنك ولو بعد حين ” )رواه أحمد والترمذي‬:‫)أبواب السماء ويقول الرب‬

“Tiga kelompok yang tidak akan ditolak do’anya: Orang yang


berpuasa sampai ia berbuka. Pemimpin yang adil. Dan do’a orang
yang teraniaya. Allah menyibak awan dan membuka pintu-pintu
langit seraya berfirman: “Demi kemulian-Ku dan keagungan-Ku,
pasti Aku tolong kamu, walau setelah beberapa waktu.” Ahmad dan
At Tirmidzi

Doa adalah perwujudan rasa cinta seorang hamba kepada Allah


swt., sekaligus pengakuan akan kebutuhan dan pertolongan-Nya.
Hakikat doa sebenarnya juga meminta kekuatan dan kesanggupan
dari Allah swt. Dalam doa ada makna memuji Allah swt., ada
pengakuan bahwa Allah Maha Mulia lagi Maha Pemurah. Itu semua
menjadi ciri pengabdian dan penghambaan. Rasulullah saw.
bersabda:

‫من لم يسأل ال يغضب عليه‬

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Allah marah


padanya.” Beliau juga bersabda:

“‫“أفضل العبادة الدعاء‬.

“Sebaik-baik ibadah adalah doa”

Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir dari Nabi saw. bersabda: “Doa
adalah ibadah. Dan Tuhan Kalian menyeru: Berdoalah kalian
kepada-Ku, Pasti Aku kabulkan doa kalian.” Rasulullah saw. juga
bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling bakhil di antara
manusia adalah orang yang pelit salam. Dan selemah-selemah
manusia adalah orang yang tidak mau berdoa.”

Dari Salman berkata, Rasulullah saw. bersabda:

(‫(ل يرد القضاء إل الدعاء ول يزيد في العمر إل البر‬

“Putusan atau qadha’ Allah tidak bisa ditolak kecuali dengan doa.
Dan sesuatu tidak akan menambah umur kecuali kebaikan atau al-
birr.”

Diriwayatkan dari imam Ahmad, Bazzar dan Abu Ya’la dengan sanad
jayyid, dari Abu Said bahwa Nabi saw. bersabda:

‫ “ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ول قطيعة رحم‬:‫ قال‬-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫عن أبي سعيد أن النبي‬
‫إل‬
‫أعطاه ال بها إحدى ثلث إما أن تعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الخرة وإما أن يصرف عنه من‬
‫ “ال أكثر‬:‫ قال‬.‫ إذا نكثر‬:‫ قالوا‬.”‫”السوء مثلها‬.

“Tiada setiap muslim berdoa dengan suatu doa, dalam doa itu tidak
ada unsur dosa dan memutus tali silaturahim, kecuali Allah pasti
memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal; adakalanya
disegerakan doanya baginya, adakalanya disimpan untunya
diakhirat kelak, dan adakalanya dirinya dihindarkan dari
keburukan.” Para sahabat bertanya: “Jika kami memperbanyak
doa?” Rasulullah saw. bersabda: “Allah lebih banyak (mengabulkan
doa).”

Rasulullah saw. bersabda: “Tiada di atas permukaan bumi seorang


muslim yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa kecuali Allah
akan mendatangkan kepadanya apa yang ia pinta, atau Allah
palingkan darinya keburukan. Ketika ia tidak berbuat dosa atau
sedang memutus hubungan silaturahim.”

Rasulullah saw. juga bersabda dalam hadits Qudsi, Allah swt.


berfirman:

‫ أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني‬:‫ “إن ال يقول‬:-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫”وقال رسول ال‬.

“Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku


bersamanya ketika ia berdoa kepada-Ku.”

Adab Berdoa

Pertama, Memakan makanan dan memakai pakaian dari


yang halal.

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:


“Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian
mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya
Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram,
maka bagaimana doanya bisa terkabulkan.?” Imam Muslim

Kedua, Hendaknya memilih waktu dan keadaan yang utama,


seperti:

1. tengah malam,
Rasulullah saw. bersabda:

: ‫ “أقرب ما يكون الرب من العبد في جوف الليل الخر فإن استطعت أن تكون‬:‫قال صلى ال عليه وسلم‬
‫”ممن يذكر ال في تلك الساعة فكن‬.

“Keadaan yang paling dekan antara Tuhan dan hambanya adalah di


waktu tengah malam akhir. Jika kamu mampu menjadi bagian yang
berdzikir kepada Allah, maka kerjakanlah pada waktu itu.”

Dari Jabir berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya bagian


dari malam ada waktu yang apabila seorang hamba muslim
meminta kebaikan kepada Allah dan sesuai dengan waktu itu, pasti
Allah mengabulkannya.” Imam Ahmad menambah: “Itu terjadi di
setiap malam.”

2. saat sujud.
Rasulullah saw. bersabda: “Dan adapun ketika sujud, maka
bersungguh-sungguhlah kalian berdoa, niscaya akan diijabahi doa
kalian.”

3. ketika adzan.
Rasulullah saw. bersabda: “Ketika seorang muadzin
mengumandangkan adzan, maka pintu-pintu langit dibuka, dan doa
diistijabah.”

4. antara adzan dan iqamat.


Rasulullah saw. bersabda: “Doa antara adzan dan iqamat mustajab,
maka berdoalah.”

5. ketika bertemu musuh.


Dari Sahl bin Saad, dari Nabi saw. bersabda: “Dua keadaan yang
tidak tertolak atau sedikit sekali tertotak; doa ketika adzan dan doa
ketika berkecamuk perang.”

6. ketika hujan turun.


Dari Sahl bin Saad dari Nabi saw. bersabda: “Dan ketika hujan
turun.”

7. potongan waktu akhir di hari Jum’at.


Rasulullah saw. bersabda: “Hari Jum’at 12 jam tiadalah seorang
muslim yang meminta kepada Allah sesuatu, kecuali pasti Allah
akan memberinya. Maka carilah waktu itu di akhir waktu bakda
shalat Ashar.”

8. doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan


saudaranya.
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Darda’ berkata: “Rasulullah
saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang berdoa bagi
saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu, kecuali Malaikat
berkata, bagimu seperti apa yang kamu doakan untuk saudaramu.”
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah saw. bersabda: “Doa
seorang al-akh bagi saudaranya tanpa sepengetahuan dirinya tidak
tertolak.”

9. hendaknya ketika tidur dalam kondisi dzikir, kemudian


ketika bangun malam berdoa.
Dari Muadz bin Jabal dari Nabi saw. bersabda: “Tiada seorang
muslim yang tidur dalam keadaan dzikir dan bersuci, kemudian
ketika ia bangun di tengah malam, ia meminta kepada Allah suatu
kebaikan dunia dan akhirat, kecuali Allah pasti mengabulkannya.”

Ketiga, Berdoa menghadap kiblat dan mengangkat doa


tangan.

Dari Salman Al-Farisi berkata, Rasulullah saw. bersabda:


“Sesungguhnya Allah Maha Hidup lagi Maha Pemurah. Dia malu jika
ada seseorang yang mengangkat kedua tangannya berdoa kepada-
Nya, Dia tidak menerima doanya, nol tanpa hasil.”

Keempat, Dengan suara lirih, tidak keras dan tidak terlalu


pelan

Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Dzat


yang kalian berdoa kepada-Nya tidak tuli dan juga tidak tidak ada /
gaib.”

Kelima, Tidak melampaui batas dalam berdoa.

Allah swt. berfirman: “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan


penuh rendah diri dan takut (tidak dikabulkan). Sesungguhnya Dia
tidak menyukai orang yang melampaui batas.” Al-A’raf:55. Contoh
melampai batas dalam berdoa adalah minta disegerakan adzab,
atau doa dalam hal dosa dan memutus silaturahim dll.

Keenam, Rendah diri dan khusyu’.


Allah swt. berfirman:

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang


lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” Al-Araf:55.

Allah swt. berfirman dalam surat Al-Anbiya’:90:


“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan
kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka
berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”

Ketujuh, Sadar ketika berdoa, yakin akan dikabulkan dan


benar dalam pengharapan.

‫ “ادعوا ال وأنتم موقنون بالجابة واعلموا أن ال‬:-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ قال رسول ال‬:‫عن أبى هريرة قال‬
‫”ل يستجيب دعاء من قلب غافل له‬،

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Berdoalah


kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan doa kalian.
Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.”
Imam Ahmad

Rasulullah saw. juga bersabda: “Jika salah satu di antara kalian


berdoa, maka jangan berkata: “Ya Allah ampuni saya jika Engkau
berkenan. Akan tetapi hendaknya bersungguh-sungguh dalam
meminta, dan menunjukkan kebutuhan.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian


menahan doa apa yang diketahui oleh hatinya (dikabulkan), karena
Allah swt. mengabulkan doa makhluk terkutuk, iblis laknatullah
alaih. Allah swt. berfirman: “Berkata iblis: “Ya Tuhanku, (kalau
begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia)
dibangkitkan. Allah berfirman: “(Kalau begitu) maka sesungguhnya
kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh.” Al-Hijr:36-37

Kedelapan, Hendaknya ketika berdoa memelas,


menganggap besar apa yang didoakan dan diulang tiga kali.

Ibnu Mas’ud bekata: “Adalah Rasulullah saw. jika berdoa, berdoa


tiga kali. Dan ketika meminta, meminta tiga kali. Rasulullah saw.
bersabda: “Jika salah satu di antara kalian meminta, maka
perbanyaklah atau ulangilah, karena ia sedang meminta kepada
Tuhannya.”

Kesembilan, Hendaknya ketika berdoa dimulai dengan dzikir


kepada Allah dan memujinya dan agar mengakhirinya
dengan shalawat atas nabi saw.

Kesepuluh, Taubat dan mengembalikan hak orang yang


dizhalimi, menghadap Allah dengan ringan.

Dari Umar bin Khattab ra. berkata: “Sesungguhnya saya tidak


memikul beban ijabah, akan tetapi memikul doa, maka ketika saya
telah berupaya dalam doa, maka ijabah atau dikabulkan akan
bersamanya.”
Ia melanjutkan: “Dengan sikap hati-hati dari apa yang diharamkan
Allah swt. Allah akan mengabulkan doa dan tasbih.”

Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya Allah tidak


akan mengabulkan kecuali orang yang sadar dalam berdoa.
Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan dari orang yang
mendengar, melihat, main-main, sendau-gurau, kecuali orang yang
berdoa dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati.”

Dari Abu Darda’ berkata: “Mintalah kepada Allah pada hari di mana
kamu merasa senang. Karena boleh jadi Allah mengabulkan
permintaanmu di saat susah.” Dia juga berkata: “Bersungguhlah
dalam berdoa, karena siapa yang memperbanyak mengetok pintu,
ia yang akan masuk.”

Dari Hudzaifah berkata: “Akan datang suatu zaman, tidak akan


selamat pada zaman itu, kecuali orang yang berdoa dengan doa
seperti orang yang akan tenggelam.”
Menghindari kesalahan dalam berdoa

Ada beberapa praktek doa yang disebagian umat muslim masih


terus berlangsung, padahal itu menjadi penghalang doa dikabulkan.
Di antaranya adalah:

Pertama, Berdoa untuk keburukan keluarga, harta dan jiwa.

Dari Jabir ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian


berdoa untuk kemadharatan diri kalian, dan jangan berdoa untuk
keburukan anak-anak kalian. Jangan berdoa bagi keburukan harta-
harta kalian. Janganlah kalian meminta kepada Allah di satu waktu
yang diijabah Allah, padahal doa kalian membawa keburukan bagi
kalian.” Imam Muslim

Kedua, Terlalu keras dalam berdoa.

Allah berfirman:

“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama


yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul Husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam shalatmu (doamu) dan janganlah pula
merendahkannya. Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” Al-
Isra’:110

Ketiga, Melampau batas.

Seperti berdoa agar disegerakan adzab, doa dengan dicampuri dosa


dan memutus tali silaturahim.
Keempat, Berdoa dengan pengecualian.

Contoh: “Ya Allah, ampuni saya jika Engkau berkenan.”

Kelima, Tergesa-gesa.

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Akan


diijabahi doa kalian, jika tidak tergesa-gesa. Sungguh kamu telah
berdoa, maka atau kenapa tidak diijabahi?” Imam Bukhari

Demikian, uraian singkat tentang keutamaan doa di bulan


Ramadhan, adab berdoa, waktu-waktu yang istijabah, dan hal-hal
yang harus dihindari ketika berdoa. Semoga kesungguhan doa kita,
terutama di bulan suci ini didengar Allah swt., Amin. Allahu a’lam.
1eff40287a25039

Saat Sang Raja Sakit.....

Kenapa Allah berlaku tidak menguntungkan padaku padahal aku sudah


ibadah…?! Kita juga pernah melihat ada beberapa orang yang baik
(shalih/shalihah) tapi mereka dapat ujian juga, tertimpa bencana alam
atau musibah lain berupa sakit keras, kehilangan harta dan ada juga
orang yang kecelakaan sampai cacat kehilangan anggota tubuhnya dan
masih banyak lagi musibah/ujian lainnya.

Di kesempatan yang lain kita kadang iri melihat orang yang ibadahnya
biasa-biasa atau bahkan tidak ibadah sama sekali tapi kehidupannya
makmur, sampai ada yang bergelimang harta, lalu kembali lagi kita
menduga-duga, ke-napa Allah berlaku demikian…???

Pada hari Jum’at, seorang Ustadz bercerita tentang dialog antara Malaikat
dan Allah. Dialog terjadi berawal dari keputusan Allah yang membuat
Malaikat menjadi bertanya-tanya. Masalahnya perihal ada seorang raja
yang shalih terlihat nasibnya kurang baik. Tetapi di daerah lain ada
seorang raja yang zhalim, nasibnya lebih baik daripada raja yang shalih
tadi.

Kisahnya begini. Pada suatu ketika, raja yang shalih menderita sakit keras
dan untuk bisa sembuh, seorang tabib mengatakan agar raja itu memakan
se-ekor ikan yang tidak biasa, masalahnya ikan itu sangat sulit dicari. Ikan
itu pun tidak dapat ditemukan. Padahal seharusnya pada saat-saat itu
biasanya ikan yang dimaksud banyak bermunculan. Tapi Allah
berkehendak lain, ikan tersebut tidak muncul-muncul, akhirnya wafatlah
sang raja yang shalih itu karena tidak mendapat obat.

Namun, sebaliknya di negara lain ada raja juga mengidap sakit yang sama
seperti raja sebelumnya, tapi raja yang satu ini bukan raja yang shalih,
melain-kan raja yang zhalim. Lalu sang tabib pun menyarankan untuk
memakan ikan yang sama sebagai obatnya. Anehnya saat itu di mana
ikan-ikan itu biasanya tidak bermunculan, tapi Allah berkehendak lain,
ikan-ikan itu pun bermuncul-an dan akhirnya sembuhlah si raja zhalim itu.

Dengan kejadian itu, Malaikat pun jadi bertanya-tanya, dan begitu pena-
sarannya, terlontarlah pertanyaan malaikat kepada Allah, “Ya Allah,
kenapa raja yang zhalim itu Kau permudah urusannya, sedang raja yang
shalih itu Kau persulit hingga akhirnya dia meninggal dunia?”
Lalu Allah menjelaskan, “Sengaja Aku tidak memberi ikan pada raja yang
shalih untuk kesembuhannya dan Aku putuskan dia meninggal dunia,
karena dengan wafatnya dia Ku-anggap sebagai penggugur dosanya dari
kesalahan yang pernah dia lakukan di dunia. Sehingga dia meninggal
dunia tidak membawa dosa, melainkan membawa amal-amal shalih.
Karena keburukannya telah Ku-balas di dunia.”

Malaikat melanjutkan pertanyaan-nya, lalu bagaimana dengan raja yang


zhalim itu ya Allah?” Allah pun menjelas-kannya kembali, “Sebaliknya
untuk raja yang zhalim itu sengaja Kuberi dia kesem-buhan, dan
bagaimanapun raja yang zhalim itu mempunyai kebaikan semasa di dunia
dan kebaikannya Kubalas di Dunia. Sehingga pada saatnya dia nanti
meninggal dunia, dia tidak akan memba-wa amal kebaikan, melainkan
hanya membawa amal buruk, karena

kebaikan-kebaikannya sudah Kubalas di dunia.


Dari cerita di atas dipikirkan, setidak-nya kita mendapat pencerahan
mengenai suatu dugaan yang salah dari peristiwa yang kita lihat atau
yang kita alami sen-diri, dugaan yang membuat kita bertanya-tanya
kenapa Allah berlaku tidak meng-untungkan kita padahal sudah ibadah?

Dan kita juga pernah melihat ada bebe-rapa orang yang baik (shalih/
shalihah) tapi mereka dapat ujian juga tertimpa bencana alam atau
musibah lain berupa sakit keras, kehilangan harta, dan ada juga orang
yang kecelakaan sampai cacat kehilangan anggota tubuhnya dan ada
beberapa musibah lainnya. Di sisi lain rasa iri melihat orang yang ibadah-
nya biasa-biasa atau bahkan tidak ibadah sama sekali tapi kehidupannya
sukses, serba mewah, lalu kembali lagi kita menduga-duga, kenapa Allah
berlaku demikian…???
Jawabannya, biar lah Allah berlaku sesuka-Nya pada kita dan pada hamba-
hamba-Nya yang lain, karena Dia-lah (Rabb) Sang Pemilik alam beserta
isinya dan yang Maha Mengetahui apa yang akan diperbuat-Nya. Kita
sebagai manusia teruslah ikhtiar dan meningkatkan iba-dah tanpa harus
mendikte Allah, meng-ikhlaskan diri dalam menerima segala ketentuan
dari Allah, itu lah sesuatu yang teramat penting sekali! Karena bila kita
ridha terhadap ketentuan Allah, Allah pun akan memberikan ridha-Nya
pada kita, sehingga kita akan mendapat rah-mat-Nya, dan yang lebih
penting dijauh-kan dari siksa bakaran api neraka yang bahannya dari
manusia dan batu yang sungguh itu amat pedih.

Mengenai musibah yang terjadi/ menimpa seperti itu tadi ikhlaskan saja,
insyallah itu akan menjadi penggugur dosa yang nantinya akan
mengurangi timbangan dosa di akhirat dan akan mem-beratkan
timbangan amal baik, seperti kisah raja yang shalih di atas, dia tidak
mendapat kebaikan di dunia, tapi Allah memberikan kebaikan untuknya di
akhi-rat, subhanallah.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian,
dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, pada-hal ia amat buruk
bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui”. (QS. Al-
Baqarah: 216)

BAU HARUM MASYITAH

Masyithah pelayan putri Fir’aun. Ia ibu yang melahirkan putra-putra berlian. Wanita
yang berani mempersembahkan jiwa-raga untuk agama Allah swt. Ia seorang bunda
yang memiliki sifat kasih sayang dan kelembutan. Mencintai anak-anaknya dengan
cinta fitrah ibu yang tulus. Masyithoh berjuang, bekerja, dan rela letih untuk
membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat.

Bayangkan, anaknya yang terkecil direnggut dari belaian tangannya. Si sulung


diambil paksa. Keduanya dilemparkan ke tengah tungku panas timah membara.
Masyithah menyaksikan itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Kalbu ibu mana
yang tidak bergetar. Hati ibu mana yang tidak hancur bersama luruhnya jasad buah
hatinya. Jiwa ibu mana yang tidak tersembelih dan membekaskan rasa sakit dengan
luka menganga? Masyithah melihat sendiri si sulung dan si bungsu menjerit
kesakitan terpanggang di tungku timah panas membara.

Itulah peristiwa dahsyat yang dihadapi Masyithah, sosok yang menakjubkan dalam
cinta kepada Allah swt. Ia seorang ibu mukminah yang sangat sabar dan memiliki
anak-anak yang shalih lagi baik hati. Cinta yang bersemayam dalam hati mereka
adalah gejolak iman yang mampu melahirkan sebuah pengorbanan yang sempurna.
Kehidupan dunia tidak mampu mengalihkan mereka dari cita-cita meraih keridhaan
Sang Pencipta. Inilah hakikat yang sebenar-benarnya: Iman yang baik akan mampu
mengalahkan tarikan dunia dengan segala isinya.

Tuhanku Allah

Tidak diragukan lagi, siapa yang pernah merasakan pahitnya kezhaliman meskipun
sesaat, mencicipi sakitnya siksaan meskipun sebentar, pasti akan tahu mengapa
Rasulullah saw bersabda, ”Kezhaliman akan membawa kegelapan di hari kiamat.”
(Bukhari)

Masyithah telah merasakan beragam kezhaliman dan penyiksaan. Semua


ketidaknyamanan itu dihadapinya dengan tegar sampai akhirnya ia bertemu
dengan Tuhannya dengan ridha dan diridhai. Masyithah mengajarkan kepada kita
tentang sempurna dalam berkorban dan total dalam berderma. Ia telah sukses
mendidik anak-anaknya untuk mempersembahkan nyawa mereka untuk Allah swt.

Rasulullah saw. bercerita kepada kita, “Ketika menjalani Isra’ dan Mi’raj, aku
mencium bau yang sangat harum.” “Wahai Jibril, bau harum apa ini?” tanya
Rasulullah. Jibril menjawab, “Ini bau harum Masyithah –pelayan putri Fir’aun– dan
anak-anaknya.” Saya bertanya, “Apa kelebihan Masyithah?”

Jibril menjawab, ”Suatu hari Masyithah menyisir rambut putri Fir’aun. Sisirnya jatuh
dari tangannya. Ia berkata, ‘Bismillah.’ Putri Fir’aun kaget dan berkata kepadanya,
‘Dengan menyebut nama ayahku.’ Ia menolak. ‘Tidak. Akan tetapi Tuhan saya dan
Tuhan ayah kamu adalah Allah.’ Ia menyuruh putri itu untuk menceritakan peristiwa
tersebut kepada ayahnya.

Putri itu pun menceritakan kepada Fir’aun. Maka Fir’aun memanggil Masyithah.
Fir’aun bertanya, “Wahai Fulanah, apakah engkau punya Tuhan selain aku?” Ia
menjawab, “Ya, Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.” Fir’aun marah besar. Ia
memerintahkan dibuatkan tungku besar yang diisi timah panas; agar Masyithah dan
anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya. Masyithah tidak menyerah. Begitu juga
anak-anaknya. Masyithoh meminta satu hal kepada Fir’aun, “Saya minta tulangku
dan tulang anak-anakku dibungkus menyatu dengan kain kafan.” Fir’aun menuruti
permintaannya.

Bismillah

Sungguh, Masyithah wanita terhormat lagi mulia. Ia hidup di istana raja. Ia dekat
kekuasaan karena tugasnya merawat anak Fir’aun. Akan tetapi keimanan kepada
Allah swt. telah membuncah di kalbunya. Kadang ia menyembunyikan keimanannya
seperti yang dilakukan istri atau keluarga Fir’aun yang muslim lainnya.
Bedanya ketika iman telah memenuhi kalbu, maka lisan akan mengucapkan apa
yang terpendam dalam kalbu tanpa beban, tanpa paksaan, dan tanpa rasa takut.
Inilah yang dilakukan Masyithah. Ia mengatakan dengan dilandasi fitrah yang suci,
”Bismillah”, tanpa memikirkan resiko yang akan dialaminya. Ia telah
mengungkapkan isi kalbunya yang telah disimpannya berhari-hari bahkan
bertahun-tahun. Ia memproklamasikannya dengan bangga dan gembira. Bahkan,
ketika putri Fir’aun memintanya untuk mengakui ketuhanan ayahnya, ia menolak
tegas dengan mengatakan, ”Tuhan saya dan Tuhan ayah kamu adalah Allah.”

Ia tidak takut siksaan. Ia tidak gentar dengan kekuatan Fir’aun yang terkenal bengis
dan tidak berperikemanusiaan. Apa pun yang terjadi, ia hadapi dengan tegar.

Ujian Kalbu

Sungguh ujian berat menimpa wanita mulia ini beserta anak-anaknya. Fir’aun
menghukum karena mereka beriman kepada Allah swt. dan rela dengan agama
yang mereka anut. Tanpa belas kasih Fir’aun melempar anak-anak Masyithah satu
demi satu ke tungku besar berisikan timah panas yang mendidih. Fir’aun
melakukanya untuk menakut-nakuti Masyithah. Fir’aun berharap naluri keibuan
Masyithah iba akan nasib anak-anaknya dan itu membuatnya lemah lalu mau
kembali mengakui Fir’aun sebagai Tuhan. Akan tetapi Allah swt. memperlihatkan
kepada Fir’aun bahwa yang menggenggam kalbu Masyithah adalah diri-Nya.
Apakah Fir’aun mampu menguasai kalbu seseorang yang telah beriman? Mungkin ia
bisa membunuh jasadnya, tapi mampukah membunuh ruhnya? Itu mustahil
dilakukan Fir’aun.

Apa yang dihadapi Masyithah adalah ujian yang berat bagi kalbu orang yang
beriman. Namun, dorongan keimanan yang kuat membuatnya bertahan dan keluar
menjadi pemenang. Masyithah dan anak-anaknya membuktikan keimanannya
kepada Allah dengan mewakafkan diri hancur disiksa dengan cara yang sangat
tidak berperikemanusiaan oleh Fir’aun.

Pelajaran dari Kisah Masyithah

Masyithah telah wafat. Tapi, kisahnya belumlah berakhir. Sampai saat ini, kisahnya
masih terngiang di telinga orang-orang yang rindu bertemu dengan Allah swt.
Karena, Masyithah telah memberi cambuk yang senantiasa memotivasi kita untuk
meraih kehidupan yang baik dan lebih baik lagi.

Ada sejumlah pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Masyithah, di antaranya:

· Iman adalah senjata yang sangat ampuh. Karena, iman adalah kekuatan yang
bersumber dari ma’iyatullah (kebersamaan dengan Allah swt dan lindungan-Nya).
Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl:128)

· Sabar dalam menghadapi cobaan dan teguh dalam pendirian, itulah yang
dibuktikan oleh Masyithoh dan anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda, ”Mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah, dan
masing-masing dari keduanya mendapatkan kebaikan.” (Muslim)

· Selalu ada permusuhan abadi antara hak dan batil, antara kebaikan dan
keburukan. Meskipun keburukan banyak dan beragam, namun pasti ujungnya akan
lenyap. Karena yang asli adalah kebaikan.

· Allah swt. akan meneguhkan orang-orang yang beriman ketika mereka dalam
kondisi membutuhkan keteguhan tersebut. Sebab, ujian itu sunnatullah. Pasti akan
datang kepada setiap orang yang mengaku beriman.

· Muslim yang sejati tidak akan tunduk kecuali kepada Allah swt. Dan ia senantiasa
melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

· Peran dan kontribusi kaum wanita muslimah tidaklah lebih kecil dibanding pria
dalam mengibarkan panji kebenaran. Para wanita memiliki peran yang besar dalam
dakwah ilallah sejak zaman dahulu. Syahidnya Masithah akibat siksaan Fir’aun
adalah bukti puncak pengorbanan yang pernah dilakukan wanita dalam sejarah.

· Balasan amal yang didapat seseorang adalah sesuai dengan kadar amal
perbuatan itu sendiri. Allah swt. telah menghancurkan Fir’aun dan menghinakannya
namanya dalam catatan sejarah yang akan terus dikenang sepanjang kehidupan
manusia sebagai manusia terjahat. Sedangkan Masyithah diabadikan namanya
dengan harum, dan menjadikan dirinya dan anak-anaknya wangi semerbak di langit
tujuh karena perbuatannya yang baik. Jibril mencerita hal ini kepada Rasulullah, dan
Rasulullah menyampaikannya kepada kita untuk dijadikan teladan.

· Allah swt. tidak akan menyiksa seseorang karena dosa orang lain.

· Sungguh, cerita seperti ini berulang dan akan terus berulang sepanjang waktu.
Selalu akan ada orang zhalim dengan beragam bentuk kezhalimannya dan selalu
ada orang yang akan menentang mereka meski tahu ada siksaan dan cobaan
menyertai usaha baiknya itu. Kisah tetap satu: cobaan akan terjadi, tapi para
pahlawan selalu memiliki kemiripan. Ending-nya tidak akan berubah, sebagaimana
firman Allah swt. dalam surat Ar Rum: 47, ”Dan sesungguhnya kami telah mengutus
sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya
dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami melakukan
pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa, dan kami selalu berkewajiban
menolong orang-orang yang beriman.”
a956a97650386a

Senjata Bermata Dua

Bagikan

Kemarin jam 22:54

Meski lidah merupakan nikmat yang besar, namun kita perlu mengetahui,
bahwasanya lidah yang berfungsi untuk berbicara ini seperti senjata bermata dua.
Yaitu dapat digunakan untuk taat kepada Allah, dan juga dapat digunakan untuk
memperturutkan setan.

Jika seorang hamba mempergunakan lidahnya untuk membaca Al-Qur`ân, berdzikir,


berdoa kepada Allah, untuk amar ma'ruf, nahi munkar, atau untuk lainnya yang
berupa ketaatan kepada Allah, maka inilah yang dituntut dari seorang mukmin, dan
ini merupakan perwujudan syukur kepada Allah terhadap nikmat lidah.
Sebaliknya, jika seseorang mempergunakan lidahnya untuk berdoa kepada selain
Allah, berdusta, bersaksi palsu, melakukan ghibah, namimah, memecah belah umat
Islam, merusak kehormatan seorang muslim, bernyanyi dengan lagu-lagu maksiat,
atau lainnya yang berupa ketaatan kepada setan, maka ini diharamkan atas
seorang mukmin, dan merupakan kekufuran kepada Allah terhadap nikmat lidah.

Dengan demikian, lidah manusia itu bisa menjadi faktor yang bisa mengangkat
derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa menyebabkan kecelakaan
yang besar bagi pemiliknya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ً ‫ل ُيْلِقي َلَها َبا‬


‫ل‬ َ ‫ل‬
ِّ ‫ط ا‬
ِ‫خ‬َ‫س‬
َ ‫ن‬
ْ ‫جاتٍ َوِإنّ اْلَعْبَد َلَيَتَكّلُم ِباْلَكِلَمِة ِم‬َ ‫ل ِبَها َدَر‬
ُّ ‫ل َيْرَفُعُه ا‬
ً ‫ل ُيْلِقي َلَها َبا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ن ا‬
ِ ‫ضَوا‬
ْ ‫ن ِر‬
ْ ‫ن اْلعَْبَد َلَيَتَكّلُم ِباْلَكِلَمِة ِم‬
ّ ‫ِإ‬
‫جَهّنَم‬
َ ‫َيْهِوي ِبَها ِفي‬

"Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat


yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab
satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada
seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk
kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu
dia terjungkal di dalam neraka Jahannam". [HR al-Bukhâri, no. 6478]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah menjelaskan makna "dia tidak


menganggapnya penting", yaitu dia tidak memperhatikan dengan fikirannya dan
tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu
akan mempengaruhi sesuatu". [Lihat Fat-hul-Bâri, penjelasan hadits no. 6478]

BENCANA LIDAH

Secara umum, bencana yang ditimbulkan oleh lidah ada dua. Yaitu berbicara batil
(kerusakan, sia-sia), dan diam dari al-haq yang wajib diucapkan.

Abu 'Ali ad-Daqqâq rahimahullah (wafat 412 H) berkata:


ُ ‫خَر‬
‫س‬ ْ ‫ن َأ‬
ٌ ‫طا‬
َ ‫شْي‬
َ ‫ق‬
ّ‫ح‬َ ‫ن اْل‬
ِ‫ع‬
َ ‫ت‬
ُ ‫ساِك‬
ّ ‫ق َوال‬
ٌ‫ط‬ِ ‫ن َنا‬
ٌ ‫طا‬
َ ‫شْي‬
َ ‫ل‬
ِ‫ط‬ِ ‫اْلُمَتَكّلُم ِباْلَبا‬

"Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan
orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu"

Orang yang berbicara dengan kebatilan ialah setan yang berbicara, ia bermaksiat
kepada Allah Ta'ala. Sedangkan orang yang diam dari kebenaran ialah setan yang
bisu, ia juga bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Seperti seseorang yang bertemu
dengan orang fasik, terang-terangan melakukan kemaksiatan di hadapannya, dia
berkata lembut, tanpa mengingkarinya, walau di dalam hati. Atau melihat
kemungkaran, dan dia mampu merubahnya, namun dia membisu karena menjaga
kehormatan pelakunya, atau orang lain, atau karena tak peduli terhadap agama.

Kebanyakan manusia, ketika berbicara ataupun diam, ia menyimpang dengan dua


jenis bencana lidah sebagaimana di atas. Sedangkan orang yang beruntung, yaitu
orang yang menahan lidahnya dari kebatilan dan menggunakannya untuk perkara
bermanfaat.

Bencana lidah termasuk bagian dari bencana-bencana yang berbahaya bagi


manusia. Bencana lidah itu bisa mengenai pribadi, masyarakat, atau umat Islam
secara keseluruhan.

Termasuk perkara yang mengherankan, ada seseorang yang mudah menjaga diri
dari makanan haram, berbuat zhalim kepada orang lain, berzina, mencuri, minum
khamr, melihat wanita yang tidak halal dilihat, dan lainnya, namun dia seakan sulit
menjaga diri dari gerakan lidahnya. Sehingga terkadang seseorang yang dikenal
dengan agamanya, zuhudnya, dan ibadahnya, namun ia mengucapkan kalimat-
kalimat yang menimbulkan kemurkaan Allah, dan ia tidak memperhatikannya.
Padahal hanya dengan satu kalimat itu saja, dapat menyebabkan dirinya bisa
terjerumus ke dalam neraka melebihi jarak timur dan barat. Atau ia tersungkur di
dalam neraka selama tujuh puluh tahun.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫خِريًفا ِفي الّناِر‬


َ ‫ن‬
َ ‫سْبِعي‬
َ ‫سا َيْهِوي ِبَها‬
ً ‫ل َيَرى ِبَها َبْأ‬
َ ‫ل َلَيَتَكّلُم ِباْلَكِلَمِة‬
َ‫ج‬ُ ‫ن الّر‬
ّ ‫ِإ‬

Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak


menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama 70
tahun di dalam neraka.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫ن َما ِفيَها َيْهِوي ِبَها ِفي الّناِر‬


ُ ‫ن اْلَعْبَد َلَيَتَكّلُم ِباْلَكِلَمِة َما َيَتَبّي‬
ّ ‫ِإ‬
‫ب‬
ِ ‫ق َواْلَمْغِر‬
ِ ‫شِر‬
ْ ‫ن اْلَم‬
َ ‫َأْبَعَد َما َبْي‬

"Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat


yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam kalimat itu,
namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari
antara timur dan barat". [HR Muslim, no. 2988]

Alangkah banyak manusia yang menjaga diri dari perbuatan keji dan maksiat,
namun lidahnya memotong dan menyembelih kehormatan orang-orang yang masih
hidup atau yang sudah meninggal. Dia tidak peduli dengan apa yang sedang ia
ucapkan. Lâ haula wa lâ quwwata illa bilâhil-'aliyyil-'azhîm.

Sebagai contoh, ialah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam di bawah ini:

ِّ ‫ل ا‬
‫ل‬ َ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
ّ ‫جْنَدبٍ َأ‬
ُ ‫ن‬َ n ‫ن َفِإّني‬
ْ‫ع‬ ٍ‫ل‬َ ‫غِفَر ِلُف‬
ْ ‫ن لَ َأ‬ْ ‫ي َأ‬
ّ ‫عَل‬
َ ‫ن َذا اّلِذي َيَتَأّلى‬ْ ‫ل َم‬
َ ‫ل َتَعاَلى َقا‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ن َوِإ‬
ٍ‫ل‬َ ‫ل ِلُف‬
ُّ ‫ل َيْغِفُر ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل َوا‬
َ ‫ل َقا‬
ً‫ج‬ُ ‫ن َر‬
ّ ‫ث َأ‬
َ ‫حّد‬
َ
َ ‫ك َأْو كََما َقا‬
‫ل‬ َ ‫عَمَل‬
َ ‫ت‬
ُ ‫ط‬ ْ ‫حَب‬
ْ ‫ن َوَأ‬
ٍ‫ل‬َ ‫ت ِلُف‬
ُ ‫غَفْر‬
َ ‫َقْد‬

"Dari Jundab, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan


ada seorang laki-laki berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni Si Fulan!"
Kemudian sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Siapakah yang bersumpah atas
nama-Ku, bahwa Aku tidak akan mengampuni Si Fulan, sesungguhnya Aku telah
mengampuni Si Fulan, dan Aku menggugurkan amalmu". Atau seperti yang
disabdakan Nab"i. [HR Muslim, no. 2621]

Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengkhawatirkan umatnya.

‫ف َما‬
ُ ‫خَو‬
ْ ‫ل َما َأ‬
ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬
ُ ‫ت َيا َر‬
ُ ‫سَتِقْم ُقْل‬
ْ ‫ل ُثّم ا‬
ُّ ‫ل َرّبيَ ا‬ْ ‫ل ُق‬
َ ‫صُم ِبِه َقا‬ِ ‫عَت‬
ْ ‫حّدْثِني ِبَأْمٍر َأ‬َ ‫ل‬ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬ُ ‫ت َيا َر‬
ُ ‫ل ُقْل‬
َ ‫ي َقا‬
ّ ‫ل الّثَقِف‬
ِّ ‫عْبِد ا‬
َ ‫ن‬
ِ ‫ن ْب‬
َ ‫سْفَيا‬
ُ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ
‫سِه ُثّم َقالَ َهَذا‬ِ ‫ن َنْف‬
ِ ‫سا‬
َ ‫خَذ ِبِل‬
َ ‫ي َفَأ‬
ّ ‫عَل‬
َ ‫ف‬ُ ‫خا‬ َ ‫َت‬

"Dari Sufyan bin 'Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: "Aku berkata, wahai Rasulullah,
katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!"
Beliau menjawab: "Katakanlah, 'Rabbku adalah Allah', lalu istiqomahlah". Aku
berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?". Beliau
memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: "Ini"."

Syaikh Husain al-'Awaisyah berkata: "Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu yang


manusia merasa amat tenteram terhadapnya ialah lidah mereka, padahal lidah
yang paling dikhawatirkan Nabi n atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu seolah-
olah pabrik keburukan, tidak pernah lelah dan bosan".

MENJAGA LIDAH
Menjaga lidah disebut juga hifzhul-lisân. Lidah itu sendiri merupakan anggota badan
yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Lidah memiliki fungsi sebagai
penerjemah dan pengungkap isi hati. Oleh karena itu, setelah Nabi n
memerintahkan seseorang beristiqomah, kemudian mewasiatkan pula untuk
menjaga lisan. Keterjagaan dan lurusnya lidah sangat berkaitan dengan kelurusan
hati dan keimanan seseorang.

Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda:

‫جاُرُه َبَواِئَقُه‬
َ ‫ن‬
ُ ‫ل َيْأَم‬
َ ‫جّنَة‬
َ ‫ل اْل‬
ٌ‫ج‬
ُ ‫ل َر‬
ُ‫خ‬ُ ‫ل َيْد‬
َ ‫ساُنُه َو‬
َ ‫سَتِقيَم ِل‬
ْ ‫حّتى َي‬
َ ‫سَتِقيُم َقْلُبُه‬
ْ ‫ل َي‬
َ ‫سَتِقيَم َقْلُبُه َو‬
ْ ‫حّتى َي‬
َ ‫عْبٍد‬
َ ‫ن‬
ُ ‫سَتِقيُم ِإيَما‬
ْ ‫ل َي‬
َ

"Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati
seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang
tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga".
[8]

Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

‫جَنا‬
ْ‫ج‬
َ ‫عَو‬
ْ‫تا‬
َ ‫ج‬
ْ‫ج‬
َ ‫عَو‬
ْ‫نا‬
ْ ‫سَتَقْمَنا َوِإ‬
ْ‫تا‬
َ ‫سَتَقْم‬
ْ‫نا‬
ْ ‫ك َفِإ‬
َ ‫ن ِب‬
ُ‫ح‬ْ ‫ل ِفيَنا َفِإّنَما َن‬
َّ ‫ق ا‬
ِ ‫ل اّت‬
ُ ‫ن َفَتُقو‬
َ ‫سا‬
َ ‫ضاَء ُكّلَها ُتَكّفُر الّل‬
َ ‫ع‬
ْ‫ل‬َْ ‫ن ا‬
ّ ‫ن آَدَم َفِإ‬
ُ ‫ح اْب‬
َ ‫صَب‬
ْ ‫ِإَذا َأ‬

"Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya
berkata merendah kepada lisan: "Takwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak
kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka
kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga
menyimpang"

Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah menjaga lidahnya. Apa jaminan bagi
seseorang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

‫جّنَة‬
َ ‫ن َلُه اْل‬
ْ ‫ضَم‬
ْ ‫جَلْيِه َأ‬
ْ ‫ن ِر‬
َ ‫حَيْيِه َوَما َبْي‬
ْ ‫ن َل‬
َ ‫ن ِلي َما َبْي‬
ْ ‫ضَم‬
ْ ‫ن َي‬
ْ ‫َم‬

"Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan
apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya."

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, menjaga lidah merupakan


keselamatan.

َ‫طيَئِتك‬
ِ‫خ‬َ ‫عَلى‬
َ ‫ك‬
ِ ‫ك َواْب‬
َ ‫ك َبْيُت‬
َ ‫سْع‬
َ ‫ك َوْلَي‬
َ ‫ساَن‬
َ ‫ك ِل‬
َ ‫عَلْي‬
َ ‫ك‬
ْ ‫ل َأْمِل‬
َ ‫جاُة َقا‬
َ ‫ل َما الّن‬
ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬
ُ ‫ت َيا َر‬
ُ ‫ل ُقْل‬
َ ‫عاِمٍر َقا‬
َ ‫ن‬
ِ ‫عْقَبَة ْب‬
ُ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ

"Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab
keselamatan?" Beliau n menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu,
dan tangisilah kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406]

Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan,


betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan
hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.

Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata: "Ketahuilah, seharusnya


setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh
perkataan, kecuali perkataan yang jelas maslahat padanya. Ketika berbicara atau
meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah menahan
diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang
haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan
keselamatan itu tidak ada bandingannya.

Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bersabda:

ْ ‫صُم‬
‫ت‬ ْ ‫خْيًرا َأْو ِلَي‬
َ ‫ل‬
ْ ‫خِر َفْلَيُق‬
ِ‫ل‬
ْ ‫ل َواْلَيْوِم ا‬
ِّ ‫ن ِبا‬
ُ ‫ن ُيْؤِم‬
َ ‫ن َكا‬
ْ ‫َم‬

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang
baik atau diam".

Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah
seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu
yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka
hendaklah ia tidak berbicara.

Imam asy-Syafi'i berkata: "Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum


berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara;
dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya".

Selain itu, lidah merupakan alat yang berguna untuk mengungkapkan isi hati. Jika
ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi
pembicaraannya, dan hal itu akan menunjukkan isi hatinya, baik orang tersebut
mau maupun enggan.
Diriwayatkan bahwasanya Yahya bin Mu'adz berkata: "Hati itu seperti periuk
dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka
perhatikanlah ketika seseorang berbicara. Karena sesungguhnya, lidahnya itu akan
mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin,
dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya".

BENGKEL AKHLAQ (AA’ GYM)

Assalamualaikum wr.wb.

Untuk menjadi pribadi yang menyenangkan tentu saja semuanya harus berawal dari
"Hati". Bagaimana kalau kita gunakan 5S ?

S yang pertama adalah Senyum, Senyum yang membuat orang senang, Senyum
tanpa biaya, Senyum tanpa tenaga. Tapi Senyum menjadi ibadah, Senyum adalah
sedekah, Senyum itu memperindah dan Senyum itu adalah bunga.

S yang kedua adalah Salam. Salam itu doa , "Assalamualaikum wa Rahmatullah wa


Barrakatuh" Semoga Allah memberikan keselamatan bagimu, rahmat dan
keberkahan. Sebarkan Salam akan menyenangkan.

S yang ketiga Sapa. Mari kita biasakan senang menyapa dengan hangat, kitalah
orang yang mendahulukan mencairkan kebekuan dengan menyapa. Sapaan yang
hangat, Sapaan yang sopan betul-betul membuat kita menjadi peribadi yang
disukai.

S yang keempat Sopan. Setinggi apapun pangkat, kedudukan, gelar, jabatan kalau
tidak punya kesopanan hilang semuanya menjadi tidak bernilai.
Senyum, Salam, Sapa dengan hangat, Sopan terhadap siapapun dan Santun.

Santun adalah keterampilan kita untuk mendahulukan orang lain. Saudaraku,


bagaimana jika orang tua kita dahulukan, pasti menjadi pribadi yang disukai.
Caranya adalah Sopan, mendahulukan orang adalah kesantunan, termasuk senang
memaafkan orang lain. Ini sikap yang santun, tentunya pun diikuti dengan
terbentuknya pribadi yang menyenangkan.

Dimanapun kita ada usahakan orang-orang yang ada disekitar kita selain tidak
menjauh tapi menjadi betah karena senyuman kita, karena salam kita yang tulus,
karena sapaan kita yang hangat, karena sikap yang sopan dan kesantunan kita
yang bermutu.

Doa
Ya Allah ampuni segala kekasaran dan kekerasan yang pernah kami lakukan,
ampuni jikalau banyak orang yang tersakiti dan teraniaya oleh perilaku kami.

Wahai yang Membulak-balikan hati, indahkan hidup kami dengan kelembutan


Qolbu, tebarkan kasih sayang dimanapun kami berada dan hindarkan kedzaliman
dimanapun kami berada.

Wahai yang Maha Agung yang Maha Mendengar, muliakanlah diri kami dengan
kelembutan hati, dengan ketulusan dan kasih sayang

Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar


Amiin ya Allah

Wassalamualaikum wr.wb.
a956a97650386a

Renungan Kekurangan Diri

Bagikan

Hari ini jam 17:56

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan
merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada
iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia
menjadi sekutunya.

Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang
dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk
melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri
sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati
(tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi;
serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini
sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar
larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan
memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala
kealpaan seraya berkata, "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.
Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'raf [7]: 23).

Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di
tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus
bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, "Tidak ada Tuhan selain Engkau.
Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-
Anbiya [21]: 87).

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan
kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada
manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau
bersabda, "Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya.
Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali." (HR Muslim).

Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa
diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman, "Janganlah
kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang
bertakwa." (QS Annajm [53]: 32).

Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan
telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya
kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW
bersabda, "Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk
dengan aib orang lain."

Waspada dengan Dosa yg tak terampuni


Allah SWT tidak hanya Maha "Ghafuur" (pengampun) tapi juga Maha "Afuwwun"
(penghapus) terhadap segala macam dosa (Q.S. Az-Zumar : 53) di mana bila Dia
berkenan mengampuni dosa seseorang, maka dihapuslah seluruh dosa dari diri
orang tersebut. Sehingga yang bersangkutan tak ubahnya orang yang tidak pernah
berbuat dosa (Hadits).

Prinsip ini berlaku bagi segala jenis dosa, terkecuali, "kufur" dalam berbagai
bentuknya, di antaranya "syirik", yang apabila seseorang sampai wafatnya tidak
bertaubat, maka Allah SWT tidak akan pernah mengampuninya (Q.S. An Nisaa' : 48,
116) yang bersangkutan terancam abadi di Neraka Jahannam, sedetik pun tidak
akan berjumpa dengan Allah SWT yang hanya berkenan menjumpai hamba-hamba-
Nya yang ada si surga (Q.S. Al Kahfi : 110, Al Maa-idah, 72)

Yang dimaksud "syirik" di sini, tentu saja tidak sebatas menyekutukan Dzat Allah
SWT semata, sebab apalah artinya bila Allah SWT di-Esa-kan dalam Dzat-Nya, tapi
tidak di-Esa-kan dalam sifat, aturan dan hukum-hukum-Nya ? Umumnya orang-
orang musyrik sejak zaman Nabi Nuh As sampai saat ini meyakini Allah SWT dari
sisi "Tauhid Rububiyyah" (Esa-nya Allah sebagai pencipta, pemelihara dam
pendidik) yang membuat mereka kemudian tergelincir ke dalam kemusyrikan
adalah dari sisi "Tauhid Uluuhiyyah" (Esa-nya Allah sebagai Dzat satu-satunya yang
berhak disembah dalam ibadah secara integral).

Firman Allah SWT : "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka,
siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?, niscaya mereka akan menjawab,
semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui' (Q.S. Az
Zukhruf : 9). "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab : "Allah", maka bagaimanakah
mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah) ?" (Q.S. Az Zukhruf : 87).
Dengan kata lain, men-"Tauhid" (Esa) kan Allah SWT dalam pengabdian merupakan
ujian terberat dalam mempertahankan dan mengembangkan fitrah iman dan Islam
(Q.S. Al A'raaf : 172; Ar Ruum : 30). "Fitrah" dalam pengertian "suci" dari kekufuran
dan kemusyrikan, dan dari segala dosa.

Ibadah yang dimaksud tentunya tidak sebatas ibadah “mahdhah” semata, tapi
mencakup segala keterikatan dan keterkaitan hubungan antara manusia sebagai
makhluk dengan Allah SWT sebagai Al Khalik seperti rasa cinta, takut, permohonan
perlindungan, berdoa, bertawakkal, berharap, ruku, sujud, shalat, shaum, thawaf,
berqurban, haji dan lain sebagainya. Termasuk syirik tentunya, yang berkeyakinan
bahwa ada selain Allah SWT yang memiliki hak menetapkan aturan dan hukum.
Menghalalkan yang diharamkan Allah SWT dan atau sebaliknya menetapkan
undang-undang dan hukum, menghalalkan zina, riba, membuka 'aurat. Menetapkan
hukum yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum pidana Islam seperti potong
tangan bagi pencuri, dera atau rajam bagi pezina, qishash bagi pembunuh dan
sebagainya. Atau mengubah ketentuan-ketentuan syara' dalam masalah zakat,
waris, nikah dan sebagainya (An Nisaa' : 61; Asy-Syuara : 21)

Setiap mu'min harus ekstra hati-hati dalam berprinsip, berucap, bersikap dan
bertindak agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan, Rasulullah Saw lebih jauh
mengingatkan bahwa kemusyrikan tidak hanya hadir dalam bentuk yang eksplisit
seperti dalam beberapa contoh tersebut di atas, tapi juga dalam bentuk sesuatu
yang saking samarnya membuat seseorang tidak menyadari bila dirinya telah
musyrik. Seperti tidak sadarnya seseorang bila di hadapannya terdapat seekor
semut hitam karena semut itu berada di atas batu hitam dalam ruangan yang gelap
pada malam hari (HR. Ahmad)

Memang benar, kecil kemungkinan ada seorang mu'min yang selain menyembah
Allah SWT juga menyembah berhala dalam bentuk patung, misalnya, tapi kiranya
masih ada orang yang mengaku mu'min mendatangi kuburan atau tempat-tempat
yang dikeramatkan lalu mereka berdo'a dan meminta-minta berkah kepada arwah-
arwah yang tentu saja, "laa haula walaa quwwata illa billah". Jangankan telah mati,
ketika masih hidup sekalipun seseorang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat
kepada orang lain. Jangankan manusia biasa, bahkan Rasulullah Saw sebagai
hamba Allah yang paling dekat dengan Allah SWT diperintahkan untuk
mengingatkan ummatnya bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk
memberi manfaat atau mudharat tanpa izin Allah SWT (Q.S. Al A'raaf : 188).
Kendati Allah SWT sudah dengan tegas sekali menyatakan, tidak ada satu "Nafs
(jiwa) pun, baik manusia, jin maupun malaikat yang dapat memastikan apa yang
akan terjadi (Q.S. Luqman : 34). Kenyataan yang kita saksikan masih ada saja
sementara orang yang mendatangi paranormal, dukun atau apalah namanya, lalu ia
meyakini betul akan kebenaran ramalannya, padahal Rasulullah Saw sudah
mengingatkan, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau paranormal, lalu
ia menanyakan sesuatu kepadanya, dan ia meyakini kebenaran ramalan sang
dukun, maka sungguh ia telah kufur dengan (ajaran Islam) yang diturunkan kepada
Muhammad (HR. Ahmad dan Al hakim). Paling tidak, ia telah mengkufuri Q.S.
Luqman 34, dan kufur terhadap satu ayat Al Qur'an berakibat gugurnya keimanan
secara keseluruhan, seperti gugurnya 80 ribu tahun keimanan Iblis hanya karena
kufur terhadap satu perintah Allah SWT

Ironis memang, nilai-nilai kemusyrikan itu kini bahkan telah lama masuk ke dalam
rumah-rumah kita lewat berbagai tayangan di televisi. Tayangan-tayangan tersebut
tidak hanya saja menyesatkan akidah, tapi juga membodoh-bodohi ummat,
menggiring para pemirsa untuk tidak lagi menggunakan akal sehat di dalam
menghadapi realitas hidup dan kehidupan. Celakanya, tayangan-tayangan tersebut
dikemas dengan memakai atribut-atribut Islam, sementara yang ditayangkan 180
derajat bertentangan dengan ajaran Islam dan nalar sehat. Semoga akhir hidup kita
dapat terhindar dari dosa, terlebih lagi dengan dosa-dosa yang tidak terampuni.
9a815b94e7cfc9

Seperti hati Burung (Tawakal itu indah dan menentramkan hati)

Bagikan

Hari ini jam 15:27

Dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka seperti hati burung” (HR.
Muslim) maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal.

Lantas seperti apa hati burung? Hal ini dijelaskan oleh hadits dari sahabat Umar bin
khotob radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan
sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki
kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari
dengan perut kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau berkata, ‘hadits hasan sohih)

Mengomentari hadits tersebut, Ibnu Rajab rohimahullah berkata di dalam kitabnya


Jami’ul ‘ulum wal Hikam, “Hadits ini adalah dasar atau asas di dalam bertawakal,
hal terebut juga merupakan diantara sebab yang paling besar dalam memperoleh
rizki,” Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar seekor burung pada pagi hari
terbentur dengan masalah rizki, lalu dia benturkan kepalanya ke tiang listrik. Itu
tidak terjadi pada burung, tapi pada manusia hal tersebut terjadi dan sering kita
dengar di berita atau dia media massa.

Di dalam realitanya, merealisasikan hakikat tawakal di dalam hati kita bukan


merupakan perkara yang mudah, dia adalah ibadah hati yang sangat agung, dia
merupakan sumber kebaikan. Darinya timbul berbagai macam ibadah hati yang
lainnya. Bahkan hakikat agama adalah tawakal dan inabah (kembali kepada Allah).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah
dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah : 5)
Tawakal adalah isti’anah (minta pertolongan) dan inabah adalah ibadah.

Hilangnya berbagai kebaikan, luputnya kita dari amal yang besar, buruknya ibadah
kita – karena tidak hadirnya rasa cinta, harap dan takut – adalah karena masih
jauhnya kita dari hakikat tawakal. Bahkan kegelisahan dan ketakutan yang
menimpa sebagian kaum muslimin adalah dikarenakan belum hadirnya tawakal di
dalam qalbunya.

Berikut ini nukilan kami dari berbagai perkataan ulama tentang definisi dan hakikat
tawakal. Mudah-mudah yang sedikit ini–dengan taufik dari Allah- bisa membantu
kita merealisasikannya. Amin

Definisi Tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh berkata, “Hakekat tawakal adalah hati benar-benar
bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik)
dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akherat”

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan


permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-
apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan
menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih
tujuan) yang diizinkan syari’at.

Bertawakallah Hanya Kepada Allah

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya agar bertawakal hanya kepada-Nya dalam


banyak ayat. Diantaranya ayat (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah hendaknya
kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (Al-Maidah : 23)
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya” (QS. At-Tholaq : 3)

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan masuk surga dari umatku
tujuh puluh ribu orang tanpa hisab….mereka adalah orang-orang yang tidak minta
ruqyah, tidak menyandarkan kesialan kepada burung dan sejenisnya, tidak berobat
dengan besi panas dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka” (HR. Muslim)

Tawakal kepada Allah adalah syarat sahnya keislaman dan keimanan seseorang.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bertawakallah kamu hanya kepada
Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman” (Al-Maidah :3) dalam ayat lain
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Musa berkata, ‘wahai kaumku ! apabila
kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kalian kepada-Nya jika kamu
benar-benar orang muslim (berserah diri)” (QS. Yunus : 84)

Maka tawakal merupakan ibadah yang sangat agung. tawakal adalah murni ibadah
hati, oleh karena itu mengesakan Allah Ta’ala dalam tawakal adalah merupakan
kewajiban, dan memalingkannya kepada selain Allah merupakan kesyirikan.
Wal’iyadzubillah.

“Sungguh kita tidak bisa terlepas dari-Nya sekejap mata pun. Jika kita bersandar
kepada diri sendiri, maka kita telah meyerahkan diri kita kepada kelemahan yang
rendah dan serba kurang, khilaf dan kesalahan. Dan jika kita bersandar kepada
orang lain maka kita telah mempercayakan diri kepada yang sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat, serta tidak
mampu mematikan dan menghidupkan serta membangkitkan dan mengumpulkan
kembali”. Itulah nukilan dari perkataan Ibnul Qayim rahimahullah didalam kitabnya
alfawaid. wallahu ‘alam. Maka bertawakallah wahai hamba Allah kepada Dzat yang
ditangan-Nya segala urusan dan yang memiliki segalanya.

Bertawakal Kepada Selain Allah


Bertawakal kepada selain Allah ada tiga keadaan :
1) Syirik akbar (besar). Yaitu seorang bertawakal kepada selain Allah Ta’ala dalam
perkara yang hanya mampu dilakukan oleh Allah Ta’ala tidak selain-Nya. Contoh :
seseorang bertawakal kepada makhluk /wali di dalam memperoleh kebaikan atau
bertawakal kepada makhluk dengan hatinya Karena ingin mempunyai anak atau
pekerjaan, sedang makhluk tersebut tidak mampu memenuhi keinginannya
tersebut.

2) Syirik kecil. Yaitu seseorang bertawakal kepada selain Allah dalam perkara
dimana Allah Ta’ala memberikan kemampuan kepada makhluk tersebut untuk
memenuhinya. Contoh : seorang istri bertawakal kepada suami dalam kebutuhan
hariannya. (peringatan: syirik walaupun kecil, pelakunya tetap diancam neraka
hingga ia bertaubat)

3) Boleh. Yaitu seseorang bertawakal kepada selain Allah dalam arti mewakilkan
urusannya kepada seseorang tanpa disertai penyandaran hati. Contoh :
menyerahkan kendali perusahaan kepada seorang menejer. seperti Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan kepada Ali radiyallahu’anhu untuk
menyembelih qurbannya dan mewakilkan kepada Abu Hurairoh radiyallahu’anhu
dalam masalah sodaqoh.

Menghadirkan Tawakal

“Tawakal kepada Allah Ta’ala merupakan


ibadah yang dituntut dari seorang mu’min
Kekuatan tawakal seseorang kepada Allah
Ta’ala kembali kepada pemahamannya
tentang rububiyah Allah Ta’ala dan
keimanannya yang mendalam terhadap
tauhid rububiyah. Maka untuk
menghadirkan dan memunculkan tawakal di
dalam hati kembali kepada perenungan
terhadap atsar-atsar dari rububiyah Allah
Ta’ala. Semakin banyak seorang hamba
merenung dan memperhatikan kekuasaan
dan kerajaan Allah di langit dan di bumi,
pengetahuannya bahwa Allah adalah yang
memiliki kerajaan langit dan bumi,
bahwasannya hanya Dia yang mengatur dan
menjalankannya dan pertolongan Allah
kepada hamba-Nya merupakan sesuatu yang
mudah dibandingkan dengan pengaturan
alam semesta ini, maka akan semakin besar
pengagungannya kepada Allah, semakin kuat
pula tawakalnya kepada Allah Ta’ala, ia pun
mengagungkan perintah-Nya (dengan
melaksanakannya), dan mengagungkan
larangan-Nya (dengan menjauhinya), dan ia
pun meyakini tidak ada sesuatupun yang
dapat melemahkan-Nya dan tidak ada yang
sulit bagi-Nya. “Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah, maka Allah akan
mencukupinya” (QS. Ath-Tholaq : 3)” Itulah
nukilan perkataan Syekh Sholih Alu Syaikh
di dalam kitabnya at-tamhid syarah kitab
tauhid. walahu’alam

Penjelasannya, apabila seorang hamba


mengilmui tentang keesaan Allah dalam hal
menolak bahaya dan mendatangkan
manfaat, dalam hal memberi dan menahan,
dalam hal mencipatakan dan memberi rizki,
dalam hal menghidupakan dan mematikan
(dan ini semua adalah rububiyah Allah),
maka itu akan membuahkan ubudiyah
tawakal kepada-Nya semata secara batin,
dan konsekwensi tawakal dan buahnya
secara lahiriyah.

Tawakal Bukan Hanya Pasrah


Kadang seseorang salah kaprah dalam memaknai tawakal, ia menganggap bahwa
tawakal adalah legowo (menerima total) keadaan tanpa ada upaya perubahan,
namun perlu diketahui bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha atau
sebab, karena melakukan atau mengambil sebab merupakan kesempurnaa
tawakal. Akan tetapi tidak boleh bersandar kepada sebab tersebut. Syekhul islam
Abul Abbas rohimahullah berkata, “Meninggalkan sebab adalah celaan terhadap
syari’at dan bersandar kepada sebab adalah syirik”. Murid beliau Syamsudin Abu
Abdillah rahimahullah berkata, “Pelanggaran terbesar terhadap syari’at adalah
meninggalkan sebab karena menyangka bahwa mengambil sebab akan menafikan
tawakal”

yang lain berkata, “Mengandalkan sebab adalah celaan terhadap tawakal dan
tauhid, sedangkan meninggalkan sebab merupakan celaan terhadap syari’at dan
hikmah Allah” karena Allah telah menjadikan segala sesuatu ada sebab dan
akibatnya. Maka kita katakan, “Di dalam bertawakal harus terpenuhi dua syarat :
pertama, menyerahkan seluruh perkara kepada Allah Ta’ala yang di tangan-NYalah
segala urusan. Kedua, tidak boleh bersandar kepada sebab yang dilakukannya. Hati
dan batinnya bersandar total kepada Allah Ta’ala, sedangkan anggota badannya
menjalani sebab. Dengan itu diketahui bahwa tawakal adalah murni ibadah hati.
Barang siapa yang memalingkannya kepada selain Allah maka dia telah berbuat
syirik, walaupun dia meyakini bahwa Allah Ta’ala satu-satunya yang menciptakan
dan memberi rizki.

Hadits berikut lebih memperjelas: Dari Umar bin Khotob radiyallahu’anhu,


ROsulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada
Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti
memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan
pulang sore hari dengan perut kenyang” (Shohih Tirmidzi)

Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan, maka Allah jamin dengan
memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur saja di
sarangnya sambil menunggu makanan datang, tetapi pergi jauh mencari makanan
untuk dirinya dan anak-anaknya.

Ketahuilah, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling


bertawakal kepada Allah, namun belian melakukan usaha. Ketika perang uhud
beliau memakai dua baju besi dan ketika hijrah ke madinah beliau menyewa
penunjuk jalan, beliau juga berlindung dari panas dan dingin, tapi hal tersebut tidak
mengurangi tawakalnya kepada Allah Ta’ala.

Jadi, mengambil sebab yang disyari’atkan menunjukan kesempurnaan tawakal dan


kekuatannya, dan meninggalkan sebab menunjukan kebodohannya terhadap
syari’at rabbnya. Barangsiapa yang membaca kisah-kisah para Nabi, terkhusus Nabi
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan melihat
bahwasannya mereka adalah manusia yang paling bertawakal kepada Allah Ta’ala,
bersamaan dengan itu mereka juga mengambil sebab dan meyakini bahwa hal
tersebut merupakan kesempurnaan tawakal kepada Allah.

Penulis: Husni Ridho (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)


Artikel www.muslim.or.id

Ketika kita telah berikhtiar dengan keras, banting tulang, tapi yang ada adalah
kecemasan dan kegelisahan yang datang karena apa yang kita idam-idamkan tak
kunjung datang, maka tanyalah pada hatimu, apakah kau telah sandarkan hatimu
hanya pada Allah??? ataukah mengandalkan dan menyombongkan ilmu kita yang
sangat tak seberapanya dibandingkan Allah Yang Maha Mengatur dan Maha
Mengetahui segalanya???
Bisa jadi tanpa tawakal, ikhtiar yang telah disusun dengan rapi hancur seketika
sehingga dapat mengakibatkan kekecewaan yang dalam. Betapa indah dan
agungnya Tawakal kepada Allah.

60b4944ffd4d945
Makna Sabar
By: agussyafii

Tono baru dua hari kerja di sebuah perusahaan asing, Tono bermaksud menelpon
ke bagian dapur sambil berteriak, 'Ambilkan gue kopi... cepaaaaat!' Ternyata
jawaban dari balik telepon tidak kalah keras dan marahnya. 'Hei siapa ini... kamu
salah pencet extention? Kamu tahu dengan siapa kamu bicara?' 'Tidak.. ' sahut
Tono.

'Saya direktur utama perusahaan disini. Saya pecat kamu nanti!' teriak Sang Dirut
dan tak mau kalah teriak si Tono bales nyahut, 'dan Bapak tahu siapa saya?' 'Tidak.'
jawab Boss. 'Syukurlah kalo gitu' sahut Tono cuek sambil menutup telpon.

Begitulah bila kita cepat marah. Kemarahan dapat membuat seseorang kehilangan
banyak hal. Kemarahan juga dapat membuat kita salah langkah. Maka sebaiknya
kita sabar dan jernih bila menghadapi masalah. sabar adalah tabah hati tanpa
mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu
dalam rangka mencapai tujuan. Dalam agama, sabar merupakan satu diantara
tangga dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Karena sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka nama sabar


berbeda-beda tergantung obyeknya.
1. Ketabahan menghadaapi musibah, disebut sabar, kebalikannya adalah gelisah
(jaza`) dan keluh kesah (hala`)
2. Kesabaran menghadapi godaan hidup nikmat disebut, mampu menahan diri
(dlobth an Nafs), kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar)
3. Kesabaran dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut
pemarah (tazammur)
4. Sabar dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang dada,
kebalikannya disebut sempit dadanya.
5. Sabar dalam mendengar gossip disebut mampu menyembunyikan rahasia
(katum).
6. Sabar terhadap kemewahan disebut zuhud, kebalikannya disebut serakah, loba
(al hirsh).
7. Sabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana`ah), kebalikannya
disebut tamak, rakus (syarahun).
60b4944ffd4d945

Rumah Yang Diintai


Bagikan

Jika ada seorang pencuri hendak beroperasi, ia akan mempelajari terlebih dahulu, sasaran
manakah yang lebih diprioritaskan.

Jika yang menjadi sasaran adalah rumah. Ada tiga rumah; pertama: rumah kosong tak
berpenghuni dan tak ada perabotnya. Kedua: rumah orang biasa yang berpenghasilan pas-pasan,
tentunya isi dan perabot rumahnya biasa-biasa saja. Ketiga: rumah megah milik orang kaya yang
dipenuhi perabotan mahal dan perhiasan yang berharga. Tanpa berpikir panjang, pencuri akan
menentukan targetnya pada pilihan ketiga. Meski, tentunya ia akan berpikir bagaimana
mengelabuhi penjaga dan menunggu kelalaian pemilik rumah megah tersebut.

Untuk sasaran pertama, apa yang bisa dipilih dari rumah kosong tak berpenghuni dan tak ada
isinya. Angker dan kurang menarik.

Yang kedua, barang yang bisa diambil pun tak banyak. Kalaupun dijadikan sasaran, ia tak akan
perlu tenaga dan pikiran yang besar untuk mendapatkannya. Isinya sederhana.

Berbeda halnya dengan rumah ketiga. Isinya, benda-benda mewah dan berharga. Pemiliknya,
orang terpandang dan bijaksana serta teguh.

Perumpamaan di atas, pencuri adalah syeitan dan iblis. Rumah-rumah tersebut adalah hati setiap
manusia. Tipe pertama adalah hati milik orang-orang kafir dan munafik, kosong tanpa iman dan
amalnya sia-sia. Tipe kedua adalah hati orang awam. Isinya sederhana. Sedang tipe ketiga adalah
hati orang mukmin yang bersungguh-sungguh. Semakin tinggi kedudukannya maka semakin
banyak dan semakin hebat para pengintai yang mengancamnya.

Tipe rumah ketiga dengan penjagaan yang ketat tidaklah mustahil untuk dibobol. Tentu dengan
memanfaatkan kelalaian dan kelengahan pemiliknya serta penjaganya. Disamping itu bisa
dengan konspirasi dan pengkhianatan orang dalam.

Kelengahan yang dilakukan oleh pemilik hati adalah dengan kemaksiatan. Kemaksiatan yang
dilakukan oleh orang terpandang dan berilmu akan bernilai lain di sisi Allah dengan kesalahan
yang dilakukan oleh orang awam. Adapun konspirasi dari dalam adalah bisikan hawa nafsu yang
kuat yang memperturutkan keinginan “pencuri” hati; iblis.

Kita kecolongan, pada saat hati ini perpaling kepada kemaksiatan. Hanya berpaling saja, jendela
rumah kita sudah dibobolnya. Apalagi sampai kita terperosok di dalamnya, isi dan perabot rumah
kita sudah dijarahnya. Kaki-kaki kotor pencuri itu menodai ubin-ubin bening rumah kita.

Bahkan pada taraf teror yang paling parah, kita akan menuruti semua keinginan para pencuri
yang berada dalam rumah kita. Saat itu mereka menjadi para perampok, sedang diri kita benar-
benar tak berdaya.

Pada bulan Rhamadhan Allah Swt. menambah para penjaga ‘rumah’ kita. Menambah dengan
menurunkan rahmat dan maghfirah-Nya. Pada saat kita lengah, kita memiliki senjata ampuh
untuk kembali teguh; istighfar. Musuh dan pencuri bisa segera kita usir dan menjauh dari rumah
kita. Ibadah-ibadah sunnah bisa menjadi pembenteng pertama, ibadah-ibadah wajib menjadi lapis
kuat kedua. Keikhlasan, kedermawanan, solidaritas, pengertian, berbaik sangka, pemaaf akan
menjadi pasukan rahasia yang sangat kuat yang tak bisa ditebak oleh para pencuri. Pada saat itu
pencuri tersebut telah benar-benar KO. Tapi kita perlu tahu, ia tak segera pulang dan pergi
meninggalkan rumah tersebut. Ia akan terus mengintai dan mengincar rumah mewah itu. Karena
kemegahan dan ketinggian nilainya.

Barang siapa ingin menjaga hatinya hendaknya ia selalu menjaga kebeningannya dengan
senantiasa beristighfar kepada-Nya. Bahkan beristighfar dari istighfar itu sendiri. Beristighfar
karena istighfar kita sangat kurang dan terbatas serta kurang dijiwai. Hanya menjadi penghias
bibir yang tak diikuti kepahaman hati akan maknanya.

Hati ibarat tangki bensin dalam sebuah kendaraan. Ia berfungsi vital sebagai penampung bahan
bakar. Mari kita bayangkan keadaan sebuah kendaraan yang kehabisan bahan bakar. Atau ada
bahan bakarnya (bensin), tapi diletakkan tidak di dalam tangkinya.

Mobil tersebut tetap ada wujudnya. Namun tak mampu menjalankan fungsinya. Ia menjadi
bangkai dan mati dengan kesempurnaan fisik yang terlihat.

Demikian juga manusia jika ia mementingkan penampilan fisiknya sementara tangki hatinya tak
pernah diisi, maka ia bagaikan kendaraan tanpa bahan bakar. Jika demikian, mampukah ia
menempuh perjalanan hidup yang panjang dan penuh misteri?

Dibulan Ramadhan, Allah menyediakan segala fasilitas pembekalan dan subsidi ‘bahan bakar’
tersebut. Semua tergantung pribadi masing-masing, mau ataukah tidak ia memanfaatkannya.
Kemudian kesiapan tangki ‘hati’ menampungnya.

Bisa kita bayangkan berikutnya. Seorang bodoh yang dengan serakah mengambil bensin
sebanyak-banyaknya kemudian ia siramkan ke mobilnya, ia ambil botol-botol besar untuk diisi
bensin kemudian ia masukkan ke dalam mobil. Bisakah mobilnya berjalan? Sedang tangki
bensinnya masih kosong.

Demikian juga kita dibulan rhamdhan. Setiap hari kita berpacu membaca Al Qur’an, shalat
sebanyak-banyaknya, bersedekah, berbuat banyak untuk orang lain. Semua itu takkan ada
gunanya bila tanpa disertai keikhlasan dan penghayatan.

Membaca Al Qur’an namun masih diselingi pergunjingan

Shalat yang banyak namun masih disertai keengganan menyantuni fakir miskin

Bersedekah namun dibarengi menyakiti hati orang lain

Berbuat kebaikan namun disertai pamrih dunia. Popularitas. Ketenaran. Kredit poin jabatan.
Cinta dan ridha manusia.

Semuanya disebabkan kebodohan kita. Karena kita tidak tahu dimana meletakkan bahan bakar.
Jawabnya hanya satu “Taqwa itu di sini” demikian Rasulullah Saw. mengisyaratkan ke dada
beliau sebanyak tiga kali. Ya, ketakwaan itu tempat bersemayamnya di hati. Ketakwaan tidak–
hanya–dilihat dari banyaknya shalat dan bacaan al Qur’an atau kedermawanan seseorang.
Namun semuanya ditentukan dengan kebaikan hati. Bila hati ini telah terisi penuh oleh takwa
maka semuanya menjadi indah. Shalatnya adalah pencegah dari perbuatan mungkar dan
kebatilan. Bacaan Al Qur’annya diterjemahkan dengan kesantunan perilaku hariannya.
Kedermawanannya disertai tawadhu dan rendah hati. Tak pernah sedikit pun keluar cacian dan
hinaan mengungkit pemberiannya.

Ya, itulah kualitas isi hati setiap kita. Silakan sebanyak-banyaknya mengisi. Tapi tempatnya
dalam hati.

Itulah rumah kita yang selalu diincar dan diintai oleh para pencuri cinta-Nya. Mereka hendak
merampas cinta-Nya agar kita menjadi orang-orang yang dimurkai-Nya. Agar cinta-Nya hilang
dari rumah kita dan berganti kebencian dan kemurkaan yang maha dahsyat dari Dzat yang
murka-Nya tak terbendung oleh apa dan siapa pun.

Parahnya, bila kita kecurian namun kita tak merasa kehilangan sedikit pun. Sebagai contoh, kita
sering merasa telah berbuat baik namun pada hakikatnya kita melakukan sebaliknya. Menasehati
orang di depan umum. Bersedekah karena riya. Menuntut ilmu supaya dikira pandai. Berjihad
agar dianggap pemberani. Hanya hati yang beninglah yang mampu merasakan noda halus ini.
Untuk membersihkannya pun diperlukan kelembutan hati.

Jangan sekali-kali kita lengah. Jangan beri kesempatan pencuri-pencuri itu mendekat ke
sekeliling rumah kita. Kaca jendela rumah kita, biarkan tetap bening. Barangkali isi rumah kita
akan terlihat dari luar dengan bagus. Tapi kita tetap merawatnya dari dalam dengan perawatan
yang tak diketahui oleh mereka yang melihatnya dari luar. Jangan takut akan intaian dan incaran
para puncuri. Kita selalu waspada karena kita selalu terjaga dan menjaga rumah kita.

Satu hal yang perlu kita catat, bukan menjadi aib bila hati kita terkotori. Bila rumah kita berdebu
dan kotor. Yang menjadi aib adalah membiarkannya kotor. Segera usap dan hapuslah kotoran
yang melekat itu, sebelum noda itu kian melekat dan sulit untuk dihilangkan.

Di bulan Rhamadhan Allah Swt. mengobral pencuci hati-hati kita yang keruh. Dengan istighfar
dan bacaan Al Qur’an. Berteman orang-orang shalih dan senantiasa berzikir.
Itulah rahasia Allah yang bernama hati,” .. sesungguhnya dalam jasad ini ada segumpal daging
(mudhghah). Jika ia baik maka seluruhnya akan baik, bila ia buruk maka seluruhnya akan buruk.
Ketahuilah itu adalah HATI (qalb)”. (HR Bukhari Muslim, Sabda Rasulullah Saw. diriwayatkan
sahabat Nu’man bin Basyir ra.).

“Wahai pembalik hati, tetapkan hati kami atas dien-Mu. Wahai pemaling hati, palingkan hati
kami pada ketaatan-Mu”.

5da1eda01e6e0c

PERTANYAAN GADIS KECIL KEPADA SANG AYAH


Bagikan

17 Maret 2010 jam 7:34

Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya,

"Abi, ceritakan padaku tentang wanita sejati"...

Sang ayah pun menoleh kemudian tersenyum.......

Anakku,

Seorang wanita sejati BUKANlah dilihat dari kecantikan PARAS wajahnya,


MELAINKAN dari kecantikan HATI yang ada di baliknya.....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari BENTUK TUBUHNYA yang mempesona, MELAINKAN
dilihat dari sejauh mana ia MENUTUPI BENTUK TUBUHNYA.....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari begitu BANYAKNYA kebaikan yang ia berikan,
MELAINKAN dari KEIKHLASANNYA memberikan kebaikan itu......

Wanita sejati BUKAN dilihat dari seberapa INDAH LANTUNAN SUARANYA,


MELAINKAN dari apa yang SERING MULUTNYA BICARAKAN....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari keahliannya BERBAHASA, MELAINKAN dari


bagaimana CARA ia BERBICARA...

Sang ayah diam sejenak sembari melihat ke arah putrinya.


"Lantas apa lagi Abi?" sahut putrinya......

Ketahuilah putriku...

Wanita sejati BUKAN dilihat dari KEBERANIANNYA dalam BERPAKAIAN, MELAINKAN


sejauh mana ia berani MEMPERTAHANKAN KEHORMATANNYA.......

Wanita sejati BUKAN dilihat dari KEKHAWATIRANNYA DIGODA orang di jalan,


MELAINKAN KEKHAWATIRAN DIRINYAlah yang MENGUNDANG ORANG JADI
TERGODA.....

Wanita sejati BUKANlah dilihat dari seberapa BANYAK dan BESARNYA UJIAN yang ia
jalani, MELAINKAN sejauh mana ia MENGHADAPI UJIAN itu dengan penuh rasa
SYUKUR.....

dan ingatlah...
Wanita sejati BUKAN dilihat dari SIFAT SUPELNYA DALAM BERGAUL, MELAINKAN
sejauh mana ia bisa MENJAGA KEHORMATANNYA DALAM BERGAUL......

Setelah itu sang anak kembali bertanya,


"Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu Abi?"..........
Sang ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, "TELADANILAH MEREKA!"

Sang anak pun mengambil buku itu dan melihat sebuah tulisan "ISTERI-ISTERI
RASULULLAH"

----

Sungguh, sebaik2 teladan bagi para muslimah adalah istri2 Rosululloh..


Smg qt termasuk orang2 yg mau & mampu meneladani mereka.. AAMIIN..
perwalian, serta tanggung jawab nafkah dinisbahkan kepada ayah
biologisnya.
C.Upaya Hukum Anak Luar Kawin Dalam Hal Penetapan Wali Nikah
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakanberdasarkan hukum

agama dan kepercayaannya masing-masing. Anakluar kawin adalah anak yang dilahirkan di

luar perkawinan yang sahmenurut hukum agamanya. Anak luar kawin dianggap sebagai

anakyang tidak mempunyai ayah/bapak, karena nasabnya terputus kepadaayah biologisnya

tersebut. Putusnya nasab anak luar kawin kepadaayah biologisnya, mengakibatkan anak luar

kawin tidk memiliki walinikah maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 wali nikahnyaadalah

wali hakim sesuai ketentuan Pasal 23 UU. No. Tahun 1974.Yang menyatakan bahwa wali

hakim baru dapat bertindak sebagai walinikah jika wali nasab tidak ada, atau tidak mungkin

menghadirkan, atautidak diketahui keberadaannya atau ghaib, atau adlal (enggan).

Persoalan mengenai anak luar nikah sampai saat ini belumdiatur oleh Peraturan

Pemerintah tersendiri. Padahal hal itu merupakanamanat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Pasal 43 ayat (1) dan (2),bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai

hubunganperdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan kedudukananak luar kawin

tersebut akan diatur dalam suatu Peraturan

Pemerintah. Namun hingga saat ini Peraturan Pemerintah tersebutmasih belum keluar. Hal

tersebut tentunya menimbulkan ketidakpastianhukum dan ketidakadilan, terutama dirasakan

oleh pihak anak dan ibuyang melahirkan, sementara laki-laki yang menghamili terkesan

kurangmendapat akibat dan tanggung jawab atas perbuatannya yang telahmengakibatkan

kelahiran seorang anak yang kemudian disebut anakluar kawin.


Sebagaimana telah disebut di atas bahwa, anggapanmasyarakat bahwa jika menikah

dengan menghadirkan wali hakimsebagai wali nikah merupakan sebuah aib. Sehingga

seringkaliperkawinan dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahuioleh

masyarakat.

UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidakmemberikan ruang bagi anak

luar kawin untuk melakukan upaya hukumberkaitan dengan penetapan wali nikah, kecuali apa

yang telahditetapkan oleh Undang-undang yaitu bahwa wali nikahnya adalah walihakim karena

dianggap tidak mempunyai wali nikah berdasarkanhubungan nasab. Undang-undang juga

nampak menutup ruang bagianak luar kawin untuk menelusuri siapa ayah biologisnya.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang hingga saat ini upayahukum hanya diberikan

kepada ayah biologis anak luar kawin untukmelakukan pengakuan dan pengesahan terhadap

anak luar kawinnya

sehingga anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya,sedangkan anak luar kawin

sendiri tidak memiliki hak untuk melakukanupaya hukum.


Hal ini tentu saja dirasakan ada ketidakadilan perlakuan hukumkepada anak

luar kawin, dengan memaksakan nasab anak tersebuthanya kepada ibunya dan keluarga

ibunya saja. Seharusnya undang-undang memberikan jalan bagi anak luar kawin untuk

melakukan upayahukum, padahal Hukum Islam mengajarkan anak tidak mewarisi dosakedua

orang tuanya. Seorang anak lahir dalam keadaan suci.

Dalam hal ini pemerintah perlu membuat suatu aturanmengenai status dan kedudukan

anak luar kawin, yang mengatur hak-hak yang diperoleh anak luar kawin, termasuk

juga kewajiban keduaorang tua. Sedangkan mengenai penetapan wali nikah diperlukan
suatupenelusuran lebih lanjut berdasarkan hukum Islam karena berkaitandengan hal tersebut

ternyata masih terdapat perselisihan pendapatdiantara para ulama fiqh.

Tujuannya tentu saja untuk demi kemaslahatan umat, jangansampai

seorang anak luar kawin karena perbuatan zina merasa jadikorban dari perbuatan kedua orang

tuanya dan tidak dapat melakukanupaya hukum apapun berkaitan dengan status dan

kedudukannya,termasuk juga dalam penetapan wali nikah.

You might also like