You are on page 1of 14

NAMA KEGIATAN

Kuliah Kerja Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan


dan Budaya Universitas Indonesia 2010

PENYELENGGARA KEGIATAN

Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan dan


Budaya Universitas Indonesia

TUJUAN KEGIATAN

Memahami, mengetahui dan menganalisis secara langsung situs


dan cagar budaya bersejarah

TEMPAT DAN TANGGAL KEGIATAN

Kampung Pulo, Garut, 16 Juni 2010

Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, 16 Juni 2010

Astana Gede Kawali, Ciamis, 17 Juni 2010

Bumi Alit dan Situ Panjalu, Ciamis, 17 Juni 2010


LAPORAN PERJALANAN

Pada Rabu tanggal 16 Juni 2010, merupakan hari keberangkatan kami untuk
melaksanakan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) ke beberapa daerah di Jawa Barat
yaitu Garut, Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Sebelumnya menurut jadwal
acara, mahasiswa diharapkan telah berkumpul pukul 06.00 di FIB untuk langsung
berangkat, tetapi karena berbagai hal tekhnis keberangkatan baru dilakukan sekitar
pukul 06.30.

Cagar Budaya yang pertama kali dikunjungi adalah Situs Candi Cangkuang
di Kampung Pulo, Garut. Kami berangkat sekitar pukul 12.45 setelah makan siang
sebelumnya di daerah Nagrek.

Situs Candi Cangkuang, Garut (16 Juni 2010, 14.00 WIB)

Tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah Situs Cagar Budaya Candi
Cangkuang di Kampung Pulo, Garut. Setibanya disana kami tidak langsung dapat
melihat candinya, karena letak candi yang berada di Kampung Pulo itu adalah pulau
kecil di tengah-tengah danau. Kami harus menaiki perahu rakit untuk dapat
mencapai pulau tersebut. Setelah berada di Kampung Pulo, kami langsung dapat
melihat satu bangunan candi yang ada disana. Candi Cangkuang ditemukan pada 9
Desember 1966 oleh arkeolog Drs. Uka Tjandrasasmita. Informasi ini diberitahukan
oleh penjaga tempat tersebut yang selanjutnya akan terus memberikan informasi
tentang tempat ini.

Saat pertama kali menemukan puing-puing candi ini, Bapak Drs. Uka
Tjandrasasmita juga menemukan sebuah Arca Siwa dan makam kuno di sekitar
puing candi. Beliau melakukan penelitian penggalian dari tahun 1967 – 1968 dan
menyimpulkan bahwa candi ini di bangun sekitar abad ke – 8. Kesimpulan ini
didasari oleh penelitian terhadap pelapukan batuannya dan melihat bentuknya yang
masih sederhana. Nama Cangkuang yang digunakan diambil dari nama daerah
tempat candi ini ditemukan. Cangkuang sendiri adalah nama sejenis pohon palem
yang banyak tumbuh di daerah ini, buah dan daunnya biasa digunakan oleh
penduduk sekitar untuk membuat obat anti oksidan, tikar maupun pembungkus gula
aren. Dari sini lah nama Cangkuang awalnya berasal.

Sekitar tahun 1967 – 1968 puing-puing candi yang hanya tersisa 40% terus
diteliti sebelum akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, dipugar atau dibangun
kembali menjadi satu candi yang utuh dengan gambaran 40% sisa candi ini.
Rencana ini mulai dijalankan pada tahun 1974 – 1976 dengan biaya dari anggaran
APBN setempat. Bapak Drs. Uka Tjandrasasmita sebagai pemimpin dari tim ahli
arkeologi di bantu oleh Bapak Hartoyo, secara langsung memantau pemugaran
candi dengan ukuran 4.5 m x 8.5 m ini.

Sayangnya para peneliti tidak dapat menemukan secara pasti kerajaan mana
yang dulunya pernah membangun candi ini, namun mereka meyakini bahwa candi
ini sezaman dengan raja dari Kerajaan Galuh yang pertama. Hal menarik yang ada
di sekitar candi adalah makam yang ada di dekat puing-pung candi saat ditemukan.
Itu adalah makam dari Arif Muhammad atau warga setempat biasa menyebutnya
Mbah Dalem Arif Muhammad. Beliau merupakan panglima perang dari Kerajaan
Mataram yang saat itu ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang tentara
VOC di Batavia. Dalam penyerangan tersebut pasukan beliau mengalami kekalahan
dan akhirnya harus mundur, tetapi beliau sendiri tidak memiliki keberanian untuk
kembali lagi ke Mataram karena membayangkan tentang kemarahan Sultan Agung
yang bisa membunuhnya dan rasa malu yang sangat besar terhadap rakyat Mataram.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengasingkan diri dan bersembunyi


sampai akhirnya tiba di Cangkuang ini. Pada awal kedatangannya penduduk di
daerah ini menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan Hindu. Beliau lah yang
menyebarkan Islam pertama kali di kampung ini dengan metode akulturasi
kebudayaan setempat dengan Islam. Karena hal inilah maka sampai sekarang
penduduk kampung ini beragama Islam tetapi tetap memiliki tradisi-tradisi lama
kepercayaannya dulu yang penuh dengan mitos, seperti misalnya ritual
memandikan benda-benda pusaka pada awal atau akhir bulan.
Tradisi lama yang masih terlihat di kampung ini sampai sekarang adalah
bangunan pokok yang berjumlah 7 buah, terdiri dari 1 mushala dan 6 rumah yang
menurut tradisi pula harus ditempati oleh keturunan Mbah Dalem Arif Muhammad
yang perempuan. Bila keluarganya tidak memiliki anak perempuan maka
digantikan oleh kerabat dekat keluarga yang juga harus perempuan. Terhitung dari
datangnya Mbah Dalem, keluarga-keluarga yang menempati rumah ini sekarang
adalah generasi ke -7 dan ke – 8. Adat tradisi yang lain adalah pantangan untuk
melakukan ziarah ke makam setiap hari Rabu. Selain itu ada hal yang sangat unik
lainnya di kampung ini, yaitu patokan waktu di kampung ini berbeda dari daerah
manapun di Indonesia, yaitu apabila hari ini adalah Rabu dan waktunya awal shalat
ashar maka di Kampung Pulo telah memasuki hari Kamis, tidak jelas bagaimana
awal mulanya tetapi perhitungan waktunya memang seperti ini. Berarti rombongan
kami saat itu telah berada di Kampung Pulo selama 2 hari waktu setempat karena
kami datang sekitar pukul 14.00 dan meninggalkan tempat itu pada 16.00.

Terdapat pula tradisi lain yang berupa pantangan seperti dilarang menambah
bangunan pokok dan memelihara hewan berkaki empat seperti sapi,kerbau,kambing
dan semacamnya, karena Mbah Dalem memiliki ketakutan kalau nantinya
diperbolehkan memelihara binatang-binatang ini penduduk akan menganggap suci
atau menyembahnya seperti tradisi Hindu di India, karena bagaimanapun juga
kebudayaan-kebudayaan sebelum Islam masih tetap melekat pada diri setiap
masyarakatnya.

Mbah Dalem Arif Muhammad yang sepanjang hayatnya tinggal di kampung


ini akhirnya dimakamkan didekat candi. Yang menarik, batu nisan beliau tidak
seperti posisi batu nisan seperti umumnya melainkan agak dicondongkan ke dalam
dengan merujuk pada ilmu padi yang semakin berisi semain merunduk.

Selain candi, arca dan makam, di kampung ini juga terdapat sebuah balai
khusus yang menyimpan benda-benda pusaka dan peninggalan dari Mbah Dalem
Arif Muhammad, seperti kulit-kulit kayu yang berisikan tentang Al-Quran, Hadis
dan Tauhid dalam huruf Jawa Kuno.
Setelah mendengar panjang lebar informasi tentang Cagar Budaya ini dan
melihat langsung foto-foto lama tentang candi dan beberapa benda pusaka lainnya
serta berkeliling melihat bangunan pokok di kampung ini, kami segera melanjutkan
perjalanan berikutnya ke Kampung Naga.

Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya (16 Juni 2010, 17.00 WIB)

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari Candi Cangkuang ke Kampung


Naga yang berada di Kabupaten Tasikmalaya. Dari tempat parkir kami langsung
bisa melihat sebuah tugu yang cukup besar dengan kujang, senjata khas Jawa Barat,
menghias di bagian puncaknya. Terdapat pula aksara Sunda yang turut menghiasi
tugu ini sebagai tanda bahwa kami telah berada di Kampung Naga.

Untuk mencapai rumah-rumah penduduk di Kampung Naga, kami harus


menuruni tangga curam yang sangat panjang. Selama perjalanan kecil ini kami
disuguhi pemandangan nan asri khas pedesaan dengan petak-petak sawah dan
sungai yang berada di sepanjang pemukiman penduduk setempat.

Setelah beberapa menit menyusuri tangga curam, kami akhirnya dapat


melihat rumah-rumah yang seragam dengan atap-atap hitamnya, rumah penduduk
Kampung Naga. Kami langsung memasuki sebuah bale kampung untuk
mendengarkan informasi tentang Kampung Naga.

Mang Nana, nara sumber kami mengatakan bahwa kampung yang berada di
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya ini memiliki luas
tanah 1.5 ha dengan batas-batas sebelah timur; Sungai Ciwulan, barat; bukit dan
sebelah utara dan selatan; parit kecil. Dalam kampung ini terdapat 113 bangunan,
yang terdiri dari 110 tempat tinggal dan 3 bale-bale pertemuan, selain itu ada pula
masjid dan leuit yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi umum. Kampung
dengan jumlah penduduk dalam sekitar 314 kepala ini, sebagian besar memilih
bertani sebagai mata pencahariannya, sebagian yang lain dengan membuat
kerajinan tangan ataupun makanan ringan.
Perlu diketahui bahwa 90% penduduknya bermukim di luar Kampung Naga
dan 100% penduduknya beragama Islam. Dalam hal pendidikan, karena terkendala
biaya, mayoritas penduduknya hanya lulusan SD, tetapi dari tahun 2007 – 2010
tercatat ada 10 orang yang lulusan SMP dengan 7 orangnya dibiayai secara pribadi
oleh orang Belanda.

Dalam bidang pemerintahan terdapat dua institusi yang dijalankan disini,


yaitu institusi non formal dan formal. Dalam institusi non formal dikenal 3
tetua,yaitu Kuncen yang dijabat oleh Bapak Ade S. yang fungsinya adalah sebagai
pemangku adat dan memimpin upacara-upacara adat yang biasa diadakan 6x setiap
tahunnya. Punduh, dijabat oleh Bapak Mahmud yang berfungsi sebagai pengayom
warga dan yang terakhir adalah Lembe, dijabat oleh Bapak Ateng J. yang berfungsi
sebagai pengurus jenazah dari dimandikan sampai dimakamkan. Ketiga tetua ini
mendapatkan jabatannya secara turun temurun.

Pada institus formal ada pemerintahan yang lebih modern, seperti Rukun
Tetangga yang di jabat oleh Mang Nana, Rukun Warga yang dijabat oleh Bapak
Okin dan Kepala Dusun yang dijabat oleh Bapak Suharyo. Berbeda dengan non
formal yang di dapat secara turun temurun, dalam institisi formal pemilihan
perangkat desanya dipilih dengan jalan demokratis.

Sayangnya waktu kunjungan kami ini bertepatan dengan waktu yang


dianggap pamali untuk membicarakan tentang tradisi, adat istiadat maupun hal-hal
yang berhubungan dengan ritual, sehingga kunjungan kali ini tidak terlalu
memuaskan. Tapi kami juga mendapat hal menarik lainnya, kami diajak melihat-
lihat bagian dalam dari rumah penduduk setempat, ternyata dalam satu rumah hanya
terdapat ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Tatanan yang seperti ini juga
ditemukan di rumah-rumah lain yang ada di Kampung Naga. Antara rumah satu dan
rumah lainnya pun berhimpitan. Ada yang mengatakan bahwa tatanan yang seperti
ini baik untuk menjaga kebersamaan diantara tetangga.
Kunjungan di Kampung Naga ini berakhir selepas maghrib dan rombongan
kami pun langsung menuju penginapan untuk beristirahat dan bersiap untuk
kunjungan keesokan harinya

Diskusi Malam, Penginapan (16 Juni 2010, 21.00 WIB)

Setibanya kami di penginapan, sekitar pukul 20.30, kami langsung bergegas


untuk makan malam dan beristirahat sebentar sebelum diskusi malam pukul 21.00.
Diskusi malam dengan tema Sejarah Lokal/daerah wilayah Jawa Barat ini
disampaikan dalam 2 sesi, yang pertama oleh Ibu Wardiningsih dengan judul
presentasi “Pendekatan dalam Menulis Sejarah Lokal” dan Mas Iskandar dengan
judul “Garut Jadi Pangirut, Sukapura Ngadaun Ngora: Dua Kota dalam Sejarah
Lokal”. Diskusi yang memaparkan tentang bagaimana cara menulis sejarah lokal,
sumber-sumber apa saja yang diperlukan dan contoh langsung tentang sejarah lokal
itu sendiri berakhir sekitar pukul 23.00.

Astana Gede Kawali, Ciamis (17 Juni 2010, 09.00)

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam, kami akhirnya tiba di Astana


Gede Kawali. Ada yang unik ditempat ini, yaitu di kompleks Astana Gede Kawali
ini dikelilingi oleh banyak sekali kalelawar yang beterbangan kesana kemari dan
hanya ada di atas tempat ini dan tidak menyebar ke pemukiman penduduk yang ada
disekitarnya. Ditempat ini kami diterima oleh juru kunci yang akan banyak
menceritakan kepada kami tentang Astana Gede Kawali.

Astana Gede Kawali ini dipercaya sebagai tempat dimana Kerajaan


Pajajaran berdiri. Dulu tempat ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat
tetapi setelah datangnya tim arkeologi dan menemukan banyak prasasti dan makam-
makam disini, tempat ini mulai dibuka sebagai salah satu cagar budaya. Ditempat
ini kita dapat menemukan banyak prasasti peninggalan Kerajaan Pajajaran, juga
terdapat makam-makam raja dan makam-makam penyebar islam yang pernah
menetap di tempat ini.
Prasasti yang ditemukan menggunakan aksara Sunda dan isinya merupakan
pesan-pesan moral. Seperti yang dijelaskan juru kunci, salah satu ungkapan dalam
prasasti ini dijadikan moto juang Kabupaten Ciamis yaitu, Pake Nagara Rahayu
Pake Bebel Jaya Dilabuhan, yang maksudnya adalah kita harus meningkatkan
kejujuran dan keadilan agar berjaya di dunia, karena jika kita meningkatkan
kejujuran dan keadilan ini insya Allah tidak akan ada tantangan.

Selain menjelaskan tentang isi prasasti ini, juru kunci juga menceritakan
sedikit tentang Kerajaan Pajajaran dan peristiwa Perang Bubat yang terkenal.
Perang Bubat ini berawal dari sumpah Patih Gajah Mada yang berjanji tidak akan
memakan buah palapa sampai semua wilayah Nusantara dipersatukan di bawah
Kerajaan Majapahit, saat itu Kerajaan Pajajaran belum tunduk dibawah
kepemimpinan Majapahit. Disaat yang hampir bersamaan, Raja Hayam Wuruk
ingin meminang Diah Pitaloka dari Pajajaran sebagai calon permaisurinya.
Diadakanlah perjalanan dari Pajajaran ke Majapahit, ini merupakan iring-iringan
seserahan yang akan bertemu Hayam Wuruk dan segera melaksanakan pernikahan,
rombongan ini berjumlah 300 orang.

Saat tiba di wilayah Majapahit, rombongan bukan diterima di keraton


melainkan di Lapangan Bubat di daerah Trowulan atau saat ini merupakan daerah
Mojokerto. Menurut cerita, Patih Gajah Mada berbicara lain kepada rombongan
Pajajaran, tidak seperti yang dikatakan Hayam Wuruk. Ia mengatakan bahwa
rombongan Pajajaran akan diterima di keraton apabila bersedia tunduk di bawah
kekuasaan Majapahit dan menyerahkan Diah Pitaloka sebagai upeti. Rombongan
yang mendengar hal ini merasa telah dibohong serta di injak-injak harga dirinya dan
memutuskan untuk perang saat itu juga. Karena kalah jumlah dan tidak ada
persiapan, rombongan Pajajaran kalah di bawah tentara Hayam Wuruk.

Dalam keadaan terpukul ini dan kehilangan para pembesarnya dalam perang
tersebut, Pajajaran memulai pemerintahan baru dibawah Prabu Astukancana yang
saat itu masih berusia 7 tahun, karena itu pemerintahannya diwakilkan oleh
pamannya sampai ia dewasa. Prabu Astukancana memerintah Pajajaran selama 104
tahun dan ia dikenal sebagai pemimpin yang arif bijaksana dan dibawah
kepemimpinannya ini ia telah menyuburkan 10 desa di Pajajaran, hal ini tertulis
pada prasasti pertama, seperti yang diceritakan juru kunci. Setelah beliau wafat,
Pajajaran menjadi tidak stabil dan akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan yaitu
Kerajaan Sunda Galuh dari wilayah Sungai Citarum ke timur dan Kerajaan Pakuan
Pajajaran dari Sungai Citarum ke barat dan utara. Prabu Siliwangi lah yang
dipercaya dilahirkan dan dibesarkan ditempat ini yang akhirnya menyatukan
kembali dua kerajaan tersebut dan menetapkan Bogor sebagai pusat kerajaannya.
Dengan desakan dari Kesultanan Islam di Banten dan banyaknya pengaruh Islam
dari Cirebon maka ditempat ini sebagian besar di isi oleh makam-makam pembawa
Islam dari Cirebon.

Dengan berakhirnya cerita yang di tuturkan juru kunci ini maka berakhir
pula kunjungan kami di Astana Gede Kawali.

Bumi Alit dan Situs Panjalu, Ciamis (17 Juni 2010, 11.06 WIB)

Tempat terakhir dalam kunjungan kami ini adalah Situs Panjalu atau Bumi
Alit yang merupakan bekas istana dan makam keluarga Kerajaan Sunda Galuh.

Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, di Bumi Alit pun kami ditemani


juru kunci yang akan menceritakan kisah tentang Bumi Alit yang berkaitan rat
dengan Kerajaan Panjalu. Awalnya Kerajaan Panjalu dipimpin oleh seorang wanita
yang bernama Sang Hyang Ratu Permana Dewi, hal ini lah yang menyebabkan
kerajaan ini dinamakan Panjalu dalam bahasa Sunda yang artinya adalah wanita.

Sekitar tahun 600, menurut yang diceritakan juru kunci, Sang Hyang
Borosngora,yang nantinya menjadi pembawa Islam pertama di Kerajaan Panjalu,
pergi untuk mencari ilmu yang lebih tinggi untuk menyelesaikan tantangan yang
diberikan oleh ayahnya, Prabu Tjakradewa, tantangannya cukup sederhana yaitu
bagaimana caranya mempertahankan air di dalam suatu gelas yang bagian
bawahnya telah dilubangi. Ia terus melakukan pencarian sampai ke Asia Timur dan
Asia Barat. Saat tiba di Arafah, Arab, ia memutuskan untuk melakukan semedi, saat
itulah ia bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang lantas mengajaknya
untuk pergi ke Mekkah. Ditempat itu Khalifah Ali mengajarkannya lafadz
Syahadat, mengajarkannya tentang Rukun Iman dan Rukun Islam serta
memberikannya pedang Ali bin Abi Thalib untuk dibawa ke Bumi Alit. Khalifah
Ali juga memberinya air zam-zam sebagai jawaban dari tantangan yang diberikan
ayahnya.

Setelah peristiwa tersebut, Sang Hyang Borosngora segera kembali ke


Panjalu dan menceritakan peristiwa tersebut kepada ayahnya, ternyata benar saja,
air zam-zam yang di berikan Khalifah Ali tidak tumpah sama sekali saat di
tuangkan dalam gelas berlubang tersebut. Juru kunci dan penduduk setempat
percaya bahwa Situ Lengkong yang mengelilingi Panjalu merupakan campuran dari
air zam-zam tersebut. Gambaran tentang kisah ini pun diabadikan disepanjang
dinding di daerah Situs Panjalu.

Bumi Alit memang bukan pusat dari Kerajaan Panjalu tetapi di tempat inilah
benda-benda pusaka seperti pedang Khalifah Ali, tombak dan pusaka-pusaka
peninggalan kerajaan lainnya disimpan. Terdapat ritual-ritual tertentu yang
dilakukan penduduk setempat setiap Maulid Nabi pada bulan Rabbiulawal, yaitu
upacara memandikan benda-benda pusaka tersebut dengan air dari Situ Lengkong.

Situs Panjalu, Ciamis (17 Juni 2010, 13.00 WIB)

Dari Bumi alit, setelah sebentar beristirahal shalat dzuhur, kami melanjutkan
perjalanan ke Situs Panjalu yang kira-kira hanya 15-30 menit dari Bumi Alit ini.
Jika di Bumi Alit merupakan tempat menyimpan benda-benda pusaka, Situs Panjalu
merupakan tempat makam-makam keluarga Kerajaan Galuh. Sama seperti di Situs
Cagar Budaya Candi Cangkuang, Situs Panjalu ini merupakan pulau kecil ditengah-
tengah danau yang disebut Situ Lengkong, kami juga harus menaiki kapal motor
untuk mencapai Panjalu.

Tetapi berbeda dari tempat-tempat sebelumnya, di tempat ini kami tidak


ditemani oleh kuncen atau juru kunci, kami hanya berkeliling sendiri mencari tahu
tentang tempat ini. Tidak ada yang akan mengira tempat ini sering dikunjungi orang
jika tidak ada banyak perahu motor dan gerbang cukup besar dengan patung dua
ular di atasnya. Secara umum Panjalu merupakan pulau dengan pepohonan rimbun
yang sangat banyak, orang-orang yang ada disini umumnya hanya peziarah atau
juru kunci yang memandu mereka. Kebetulan saat kami datang bertepatan dengan
rombongan yang akan melakukan ziarah, mereka berkumpul di satu-satunya aula
yang ada di Panjalu ini. Setelah melewati gerbang utama kami harus menaiki tangga
yang cukup tinggi, sampai diatas hanya ada makam di sebelah kanan dan kiri serta
satu ruang aula.

Selebihnya kawasan ini dikelilingi oleh peohonan besar. Tetapi ada satu
jalan setapak yang saya lihat dan lantas langsung menelusurinya, di ujung jalan
tersebut terdapat sebuah gazebo yang dikelilingi pagar batu, di dalamnya terdapat
sebuah prasasti yang bertuliskan aksara Sunda dan prasasti tersebut dibungkus oleh
kain. Kami tidak dapat mengetahui digunakan untuk apakah tempat tersebut dan
apa arti tulisan pada prasasti itu tetapi menurut perkiraan kami tempat itu mungkin
saja digunakan sebagai tempat ziarah atau semacamnya.

Kunjungan ke Situs Panjalu ini mengakhiri perjalanan KKM kami.


Catatan

Serangkaian kunjungan dalam rangka memenuhi kegiatan Kuliah Kerja


Mahasiswa ini telah dijalankan dengan baik sehingga melancarkan pembuatan
laporan perjalanan ini. Semua informasi dan kisah yang dituliskan diatas didapatkan
secara langsung melalui para juru kunci ataupun kuncen dalam tempat-tempat
kunjungan serta pengamatan secara langsung penulis. Apabila terdapat kesalahan
nama, sebutan atau ungkapan mohon dimaklumi karena kesalahan tekhnis dan
keterbatasan sumber.
LAPORAN PERJALANAN

KULIAH KERJA MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH 2009

16 JUNI 2010 – 17 JUNI 2010

PENULIS

FIRDHA WIDYANTARI

0906635904

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN DAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2010

You might also like