Professional Documents
Culture Documents
PENYELENGGARA KEGIATAN
TUJUAN KEGIATAN
Pada Rabu tanggal 16 Juni 2010, merupakan hari keberangkatan kami untuk
melaksanakan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) ke beberapa daerah di Jawa Barat
yaitu Garut, Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Sebelumnya menurut jadwal
acara, mahasiswa diharapkan telah berkumpul pukul 06.00 di FIB untuk langsung
berangkat, tetapi karena berbagai hal tekhnis keberangkatan baru dilakukan sekitar
pukul 06.30.
Cagar Budaya yang pertama kali dikunjungi adalah Situs Candi Cangkuang
di Kampung Pulo, Garut. Kami berangkat sekitar pukul 12.45 setelah makan siang
sebelumnya di daerah Nagrek.
Tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah Situs Cagar Budaya Candi
Cangkuang di Kampung Pulo, Garut. Setibanya disana kami tidak langsung dapat
melihat candinya, karena letak candi yang berada di Kampung Pulo itu adalah pulau
kecil di tengah-tengah danau. Kami harus menaiki perahu rakit untuk dapat
mencapai pulau tersebut. Setelah berada di Kampung Pulo, kami langsung dapat
melihat satu bangunan candi yang ada disana. Candi Cangkuang ditemukan pada 9
Desember 1966 oleh arkeolog Drs. Uka Tjandrasasmita. Informasi ini diberitahukan
oleh penjaga tempat tersebut yang selanjutnya akan terus memberikan informasi
tentang tempat ini.
Saat pertama kali menemukan puing-puing candi ini, Bapak Drs. Uka
Tjandrasasmita juga menemukan sebuah Arca Siwa dan makam kuno di sekitar
puing candi. Beliau melakukan penelitian penggalian dari tahun 1967 – 1968 dan
menyimpulkan bahwa candi ini di bangun sekitar abad ke – 8. Kesimpulan ini
didasari oleh penelitian terhadap pelapukan batuannya dan melihat bentuknya yang
masih sederhana. Nama Cangkuang yang digunakan diambil dari nama daerah
tempat candi ini ditemukan. Cangkuang sendiri adalah nama sejenis pohon palem
yang banyak tumbuh di daerah ini, buah dan daunnya biasa digunakan oleh
penduduk sekitar untuk membuat obat anti oksidan, tikar maupun pembungkus gula
aren. Dari sini lah nama Cangkuang awalnya berasal.
Sekitar tahun 1967 – 1968 puing-puing candi yang hanya tersisa 40% terus
diteliti sebelum akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, dipugar atau dibangun
kembali menjadi satu candi yang utuh dengan gambaran 40% sisa candi ini.
Rencana ini mulai dijalankan pada tahun 1974 – 1976 dengan biaya dari anggaran
APBN setempat. Bapak Drs. Uka Tjandrasasmita sebagai pemimpin dari tim ahli
arkeologi di bantu oleh Bapak Hartoyo, secara langsung memantau pemugaran
candi dengan ukuran 4.5 m x 8.5 m ini.
Sayangnya para peneliti tidak dapat menemukan secara pasti kerajaan mana
yang dulunya pernah membangun candi ini, namun mereka meyakini bahwa candi
ini sezaman dengan raja dari Kerajaan Galuh yang pertama. Hal menarik yang ada
di sekitar candi adalah makam yang ada di dekat puing-pung candi saat ditemukan.
Itu adalah makam dari Arif Muhammad atau warga setempat biasa menyebutnya
Mbah Dalem Arif Muhammad. Beliau merupakan panglima perang dari Kerajaan
Mataram yang saat itu ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang tentara
VOC di Batavia. Dalam penyerangan tersebut pasukan beliau mengalami kekalahan
dan akhirnya harus mundur, tetapi beliau sendiri tidak memiliki keberanian untuk
kembali lagi ke Mataram karena membayangkan tentang kemarahan Sultan Agung
yang bisa membunuhnya dan rasa malu yang sangat besar terhadap rakyat Mataram.
Terdapat pula tradisi lain yang berupa pantangan seperti dilarang menambah
bangunan pokok dan memelihara hewan berkaki empat seperti sapi,kerbau,kambing
dan semacamnya, karena Mbah Dalem memiliki ketakutan kalau nantinya
diperbolehkan memelihara binatang-binatang ini penduduk akan menganggap suci
atau menyembahnya seperti tradisi Hindu di India, karena bagaimanapun juga
kebudayaan-kebudayaan sebelum Islam masih tetap melekat pada diri setiap
masyarakatnya.
Selain candi, arca dan makam, di kampung ini juga terdapat sebuah balai
khusus yang menyimpan benda-benda pusaka dan peninggalan dari Mbah Dalem
Arif Muhammad, seperti kulit-kulit kayu yang berisikan tentang Al-Quran, Hadis
dan Tauhid dalam huruf Jawa Kuno.
Setelah mendengar panjang lebar informasi tentang Cagar Budaya ini dan
melihat langsung foto-foto lama tentang candi dan beberapa benda pusaka lainnya
serta berkeliling melihat bangunan pokok di kampung ini, kami segera melanjutkan
perjalanan berikutnya ke Kampung Naga.
Mang Nana, nara sumber kami mengatakan bahwa kampung yang berada di
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya ini memiliki luas
tanah 1.5 ha dengan batas-batas sebelah timur; Sungai Ciwulan, barat; bukit dan
sebelah utara dan selatan; parit kecil. Dalam kampung ini terdapat 113 bangunan,
yang terdiri dari 110 tempat tinggal dan 3 bale-bale pertemuan, selain itu ada pula
masjid dan leuit yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi umum. Kampung
dengan jumlah penduduk dalam sekitar 314 kepala ini, sebagian besar memilih
bertani sebagai mata pencahariannya, sebagian yang lain dengan membuat
kerajinan tangan ataupun makanan ringan.
Perlu diketahui bahwa 90% penduduknya bermukim di luar Kampung Naga
dan 100% penduduknya beragama Islam. Dalam hal pendidikan, karena terkendala
biaya, mayoritas penduduknya hanya lulusan SD, tetapi dari tahun 2007 – 2010
tercatat ada 10 orang yang lulusan SMP dengan 7 orangnya dibiayai secara pribadi
oleh orang Belanda.
Pada institus formal ada pemerintahan yang lebih modern, seperti Rukun
Tetangga yang di jabat oleh Mang Nana, Rukun Warga yang dijabat oleh Bapak
Okin dan Kepala Dusun yang dijabat oleh Bapak Suharyo. Berbeda dengan non
formal yang di dapat secara turun temurun, dalam institisi formal pemilihan
perangkat desanya dipilih dengan jalan demokratis.
Selain menjelaskan tentang isi prasasti ini, juru kunci juga menceritakan
sedikit tentang Kerajaan Pajajaran dan peristiwa Perang Bubat yang terkenal.
Perang Bubat ini berawal dari sumpah Patih Gajah Mada yang berjanji tidak akan
memakan buah palapa sampai semua wilayah Nusantara dipersatukan di bawah
Kerajaan Majapahit, saat itu Kerajaan Pajajaran belum tunduk dibawah
kepemimpinan Majapahit. Disaat yang hampir bersamaan, Raja Hayam Wuruk
ingin meminang Diah Pitaloka dari Pajajaran sebagai calon permaisurinya.
Diadakanlah perjalanan dari Pajajaran ke Majapahit, ini merupakan iring-iringan
seserahan yang akan bertemu Hayam Wuruk dan segera melaksanakan pernikahan,
rombongan ini berjumlah 300 orang.
Dalam keadaan terpukul ini dan kehilangan para pembesarnya dalam perang
tersebut, Pajajaran memulai pemerintahan baru dibawah Prabu Astukancana yang
saat itu masih berusia 7 tahun, karena itu pemerintahannya diwakilkan oleh
pamannya sampai ia dewasa. Prabu Astukancana memerintah Pajajaran selama 104
tahun dan ia dikenal sebagai pemimpin yang arif bijaksana dan dibawah
kepemimpinannya ini ia telah menyuburkan 10 desa di Pajajaran, hal ini tertulis
pada prasasti pertama, seperti yang diceritakan juru kunci. Setelah beliau wafat,
Pajajaran menjadi tidak stabil dan akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan yaitu
Kerajaan Sunda Galuh dari wilayah Sungai Citarum ke timur dan Kerajaan Pakuan
Pajajaran dari Sungai Citarum ke barat dan utara. Prabu Siliwangi lah yang
dipercaya dilahirkan dan dibesarkan ditempat ini yang akhirnya menyatukan
kembali dua kerajaan tersebut dan menetapkan Bogor sebagai pusat kerajaannya.
Dengan desakan dari Kesultanan Islam di Banten dan banyaknya pengaruh Islam
dari Cirebon maka ditempat ini sebagian besar di isi oleh makam-makam pembawa
Islam dari Cirebon.
Dengan berakhirnya cerita yang di tuturkan juru kunci ini maka berakhir
pula kunjungan kami di Astana Gede Kawali.
Bumi Alit dan Situs Panjalu, Ciamis (17 Juni 2010, 11.06 WIB)
Tempat terakhir dalam kunjungan kami ini adalah Situs Panjalu atau Bumi
Alit yang merupakan bekas istana dan makam keluarga Kerajaan Sunda Galuh.
Sekitar tahun 600, menurut yang diceritakan juru kunci, Sang Hyang
Borosngora,yang nantinya menjadi pembawa Islam pertama di Kerajaan Panjalu,
pergi untuk mencari ilmu yang lebih tinggi untuk menyelesaikan tantangan yang
diberikan oleh ayahnya, Prabu Tjakradewa, tantangannya cukup sederhana yaitu
bagaimana caranya mempertahankan air di dalam suatu gelas yang bagian
bawahnya telah dilubangi. Ia terus melakukan pencarian sampai ke Asia Timur dan
Asia Barat. Saat tiba di Arafah, Arab, ia memutuskan untuk melakukan semedi, saat
itulah ia bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang lantas mengajaknya
untuk pergi ke Mekkah. Ditempat itu Khalifah Ali mengajarkannya lafadz
Syahadat, mengajarkannya tentang Rukun Iman dan Rukun Islam serta
memberikannya pedang Ali bin Abi Thalib untuk dibawa ke Bumi Alit. Khalifah
Ali juga memberinya air zam-zam sebagai jawaban dari tantangan yang diberikan
ayahnya.
Bumi Alit memang bukan pusat dari Kerajaan Panjalu tetapi di tempat inilah
benda-benda pusaka seperti pedang Khalifah Ali, tombak dan pusaka-pusaka
peninggalan kerajaan lainnya disimpan. Terdapat ritual-ritual tertentu yang
dilakukan penduduk setempat setiap Maulid Nabi pada bulan Rabbiulawal, yaitu
upacara memandikan benda-benda pusaka tersebut dengan air dari Situ Lengkong.
Dari Bumi alit, setelah sebentar beristirahal shalat dzuhur, kami melanjutkan
perjalanan ke Situs Panjalu yang kira-kira hanya 15-30 menit dari Bumi Alit ini.
Jika di Bumi Alit merupakan tempat menyimpan benda-benda pusaka, Situs Panjalu
merupakan tempat makam-makam keluarga Kerajaan Galuh. Sama seperti di Situs
Cagar Budaya Candi Cangkuang, Situs Panjalu ini merupakan pulau kecil ditengah-
tengah danau yang disebut Situ Lengkong, kami juga harus menaiki kapal motor
untuk mencapai Panjalu.
Selebihnya kawasan ini dikelilingi oleh peohonan besar. Tetapi ada satu
jalan setapak yang saya lihat dan lantas langsung menelusurinya, di ujung jalan
tersebut terdapat sebuah gazebo yang dikelilingi pagar batu, di dalamnya terdapat
sebuah prasasti yang bertuliskan aksara Sunda dan prasasti tersebut dibungkus oleh
kain. Kami tidak dapat mengetahui digunakan untuk apakah tempat tersebut dan
apa arti tulisan pada prasasti itu tetapi menurut perkiraan kami tempat itu mungkin
saja digunakan sebagai tempat ziarah atau semacamnya.
PENULIS
FIRDHA WIDYANTARI
0906635904
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2010