Professional Documents
Culture Documents
KARYA ILMIAH
Oleh
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2010
1
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL
2
Judul Karya Ilmiah : BIOEKOLOGI DAN UPAYA
KONSERVASI GAJAH KALIMANTAN
(Elephas maximus borneensis)
MENYETUJUI
Imran Said Lumban Tobing, Drs. MSi Tatang Mitra Setia, Drs. MSi.
Dekan
3
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan
Rasulullah SAW karena atas rahmat, hidayah dan pertolongan-NYA yang telah
dilimpahkan kepada penulis sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat berjalan
dengan lancar. Judul karya ilmiah ini adalah “Bioekologi dan Upaya Konservasi
Banyak pihak yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua dan adik serta seluruh keluarga atas perhatian, kasih sayang, doa,
2. Bapak Drs. Imran Said Lumban Tobing, MSi dan Bapak Tatang Mitra Setia, drs.
M.Si sebagai pembimbing sekaligus orang tua yang telah membimbing penulis
dalam memberikan pengarahan, saran, kritik, doa dan diskusi yang berguna bagi
3. Ibu Dra. Noverita, MSi sebagai Pembimbing Akademik yang telah membimbing
penulis, memberikan saran, dukungan, dan doa yang berguna bagi penulis.
4. Bapak Drs. Imran Said Lumban Tobing, MSi sebagai Dekan Fakultas Biologi
Universitas Nasional.
Nurdini S.Si, Fembri Ariyanto S.Si, adik-adik KSPL “C”, Apriyanto S.Si, Mba
4
Eawa S.Si dan C. Simanjuntak MSi atas ilmu, rasa kekeluargaan, canda tawa
selama ini.
Ririn Diah Ramadani, Siti Mardiyana Ulfah, Hesmi, Sugeng, A. Syafiih, Husnul,
Zahra dan lainnya. Terima kasih atas jalinan pertemanan, keceriaan, kekompakan,
Ridwan, Ismoyo Basuki, Rahmat Wahyudi, Teddy atas doa dan dukungan bagi
penulis.
8. WWF Indonesia, mas Prima dan mas Dinda atas info yang berguna bagi penulis.
9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Biologi Universitas Nasional.
10. Seluruh civitas akademika Fakultas Biologi Universitas Nasional atas saran,
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik
yang berguna untuk penulisan karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya khususnya bagi konservasi
gajah di Indonesia.
Penulis
5
DAFTAR ISI
Halaman
BAB
I. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
6
DAFTAR TABEL
TABEL Halaman
Naskah
7
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
Naskah
8
BAB I
PENDAHULUAN
dunia yaitu 515 jenis (BAPPENAS, 2003). Data terkini mengenai jumlah mamalia
telah direvisi menjadi 704 jenis mamalia kecil dan besar (Maryanto dkk, 2007).
Pulau Kalimantan memiliki jumlah mamalia sebanyak 222 jenis (MacKinnon dkk,
2000). Salah satu mamalia besar Kalimantan adalah gajah kalimantan (Elephas
maximus borneensis).
Gajah kalimantan merupakan salah satu jenis gajah asia. Gajah kalimantan
Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah tubuh yang lebih bulat, ekor yang panjang serta
penyebar biji dan juga untuk perlindungan sumber-sumber air di hulu Sungai Sebuku
(Wullfraat dkk, 2007). Menurut Lekagul dan McNelly (1997) ukuran, kekuatan dan
cara makan gajah menyebabkan bekas areal mencari makan menjadi terbuka,
9
Pertumbuhan penduduk Kalimantan diprediksi akan meningkat dari 5,5%
pertumbuhan penduduk di wilayah ini juga akan meningkat. Hal ini, mendorong
peningkatan konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan kehutanan dan non
Menurut Eltringham (1982) dan Yong (2002), pembukaan areal (lahan) hutan
yang cukup luas untuk berbagai keperluan manusia memberikan dampak serius pada
kehidupan gajah. Sukumar (1992), menyebutkan bahwa pembukaan lahan hutan tidak
hanya berdampak pada mengecilnya habitat gajah, tetapi juga populasi gajah terpecah
namun sangat penting artinya bagi ilmu pengetahuan dan ekologi Kalimantan Timur.
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara adalah bagian dari daerah jelajah alami
gajah. Sementara itu, kuantitas habitat gajah di wilayah Indonesia (bagian utara
Kalimantan Timur dan daerah Sabah) telah mengalami penurunan secara signifikan
dalam dekade terakhir ini (Wullfraat dkk, 2007). Penelitian mengenai gajah
10
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini
maximus borneensis) serta upaya konservasi dalam menjaga salah satu kekayaan
11
BAB II
A. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Proboscidea
Suku : Elephantidae
Marga : Elephas
B. Morfologi
Gajah asia mempunyai panjang kepala dan badan berkisar 5,5-6,4 m, dan
tinggi bahu 2,5-3 m. Individu jantan beratnya dapat mencapai 5.000 kg. Gajah
sumatera memiliki tinggi bahu sekitar 1,7-2,6 m pada individu jantan dewasa dan 1,5-
2,2 m pada individu betina dewasa (Payne dkk, 2000). Gajah sumatera umumnya
memiliki garis punggung cembung, daun telinga yang lebih kecil, kulit berkerut dan
belalai dengan tonjolan pada ujungnya (Table 1) (Gambar 1. B) (Fauna & Flora
12
Menurut Wulffrat dkk (2007), ukuran gajah kalimantan terkecil diantara
gajah-gajah asia lainnya, bentuk tubuh lebih bulat, ekor panjang hampir ke tanah,
gading lebih lurus, kepala bagian dorsal terdapat cekungan dibagian tengahnya, serta
lebih teradaptasi untuk hidup di daerah perbukitan (Table 1) (Gambar 1. A). Gajah
kalimantan mempunyai telinga lebih besar, tinggi individu jantan 2,5 meter,
sedangkan gajah asia lainnya dapat mencapai 3 meter, mempunyai warna yang sama
A B
13
Tabel 1. Perbedaan morfologi gajah kalimantan dan gajah sumatera (Putra, 2007)
Morfologi gajah
No
Gajah kalimantan Gajah sumatera
Ukuran diameter jejak kaki gajah sumatera dewasa bervariasi sekitar 35-44
cm, sedangkan gajah muda berkisar antara 18-22 cm (Poniran, 1974). Berdasarkan
hasil penelitian, gajah kalimantan mempunyai ukuran rata-rata panjang jejak kaki
depan individu dewasa adalah 53 cm, lebar rata-rata 41,5 cm dan untuk panjang jejak
kaki belakang adalah 58 cm dan lebar rata-rata jejak kaki belakang kelas umur
dewasa adalah 43 cm, Panjang tapak kaki depan individu remaja adalah 42 cm
dengan kisaran 35-49 cm, lebar rata-rata 30,7 cm dengan kisaran 18-39 cm dan untuk
panjang jejak kaki belakang adalah 43 cm dengan kisaran 39-48 cm dan lebar rata-
rata jejak kaki belakang kelas umur remaja adalah 32,25 cm dengan kisaran 28-38 cm
dan ukuran rata-rata panjang jejak kaki belakang individu anak adalah 16 cm dan
lebar rata-rata jejak kaki belakang kelas umur anak adalah 12 cm (Putra, 2007).
14
B. Sumber pakan dan air
dedaunan, ranting, akar, dan buah, benih dan bunga (www.wwf.or.id, 2010).
menyebutkan bahwa selain gajah menyukai jenis-jenis tanaman budidaya, daun dan
inti batang pisang merupakan makanan yang disukai gajah, terutama di musim
Untuk setiap ekor gajah dewasa, jumlah makanan yang dibutuhkan sangat banyak,
yaitu berkisar 200-300 kg atau 5-10% dari berat badannya (www.wwf.or.id, 2010).
Gajah kalimantan dewasa dapat makan hingga 150 kg tumbuhan per hari, pakannya
membutuhkan air sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum,
mandi dan berkubang. Di musim kemarau sumber air bukan saja berfungsi sebagai
sumber air minum bagi gajah, tetapi berfungsi sebagai tempat untuk menahan panas
(Siregar, 1999). Gajah juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain kalsium,
magnesium, dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan
tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan
kaki depan dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan
(www.wwf.or.id, 2010).
15
Gajah asia melakukan perjalanan jauh untuk mencari makan, air dan sumber
mineral (garam). Pada pergerakan ini, rombongan dipimpin gajah betina dewasa
sedangkan betina yang lain dan anak-anaknya mengikuti dari belakang. Gajah jantan
adakalanya mengikuti dari belakang beberapa puluh meter dari rombongan (Lekagul
C. Perilaku sosial
Gajah asia hidup dalam sistem sosial yang terstruktur, sehingga kehidupan
sosial dari jantan dan betina berbeda. Betina menghabiskan hampir seluruh hidupnya
di dalam satu kelompok keluarga yang terdiri atas ibu dan anak, kelompok ini
dipimpin oleh gajah betina dewasa. Jantan dewasa menghabiskan waktunya dalam
kehidupan sendiri atau soliter. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi
1. Hidup Berkelompok
anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi
sumber daya habitatnya, terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia.
Jumlah anggota satu kelompok gajah sumatera berkisar 20-35 ekor (www.wwf.or.id,
2010). Kelompok gajah kalimantan yang berada di daerah sungai Agison (Kalimantan
16
Selain pola hidup berkelompok, gajah juga hidup soliter (menyendiri). Gajah
soliter ini merupakan gajah yang berkelana sendirian tanpa kelompok atau kadang-
kadang bersama satu gajah lainnya berjenis kelamin yang sama. Oleh sebab itu, gajah
ditemani oleh gajah jantan lainnya. Gajah jantan dewasa yang sudah matang
mungkin akan berjalan tidak jauh dari kelompoknya, tetapi gajah yang baru
dewasa dapat mengembara jauh sekali dari kelompoknya (Wulffrat dkk 2007).
Gajah jantan yang telah mencapai usia dewasa akan keluar dari kelompoknya, hanya
tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompoknya
(www.wwf.or.id, 2010).
2. Menjelajah
(home range) yang luas, tetapi tidak memiliki wilayah yang intensif dipertahankan
(teritori). Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya
Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi bergantung dari ketiga faktor tersebut.
jalur tertentu yang tetap dalam satu periode penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa
mencapai 7 km dalam sehari, bahkan pada musim kering mampu mencapai 15 km.
kebutuhan akan air. Gajah mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan
17
kawanan gajah melakukan komunikasi untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Gajah
kilometer sehari dalam tiga hari pertama setelah pemasangan GPS. Pada hari keenam
kilometer per hari. Wilayah jelajah (home range) kelompok Rozelis dalam dua
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap tetapi dapat melakukan
18
bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Ada masa atau
periode unik yang dimiliki oleh gajah dan tidak terjadi pada hewan lain, yaitu musht.
Musht muncul ketika gajah jantan sehat memproduksi testosteron yang banyak dan
mulai terjadi pada usia lebih kurang 15 tahun sampai usia tua. Perilaku ini terjadi 3-5
bulan sekali selama 1-4 minggu dan perilaku ini sering dihubungkan dengan musim
birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat untuk itu (www.wwf.or.id,
2010).
ketersedian sumber daya makanan dan faktor ekologinya (McKay 1973; Sukumar
1992; Ishwaran 1993). Menurut Eltringham (1982), tajuk hutan diperlukan oleh
gajah untuk berlindung dari suhu tinggi dan tempat bersembunyi sambil melakukan
Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8-10 tahun, sementara gajah
jantan setelah berumur 12-15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4
tahun sekali, lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya melahirkan 1 ekor anak setiap
periode kelahirannya. Anak gajah akan disusui induknya selama 2 tahun dan hidup
D. Habitat
Menurut Shumon (1966), habitat adalah tempat suatu populasi satwa untuk
19
kesatuan wilayah yang luas, meliputi hutan, tempat terbuka, sumber-sumber air dan
menempati habitat yang seluruhnya terbuka. Fungsi tempat berlindung bagi gajah
adalah untuk menahan panas matahari pada waktu siang, melindungi gajah dari
aktivitas yang khusus dari kelompok gajah seperti melakukan perkawinan dan
sebagai habitatnya antara lain adalah topografi, ketersediaan kandungan garam dan
1. Topografi
(Gambar 3), di bagian barat sungai Sebuku dibatasi oleh komplek pegunungan dan
perbukitan yang luas dan umumnya memiliki lereng-lereng yang curam. Tanahnya
tidak subur, membatasi berlimpahnya tanaman non-kayu (herba) yang dimakan oleh
gajah (Wullfraat dkk, 2007). Menurut Momberg dkk (1998), bagian barat sungai
bentuk relief, kemiringan lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Wilayah barat
terdapat daerah perbukitan terjal, bagian tengah agak berbukit sedangkan bagian
20
hingga ke arah timur. Sedangkan, perbukitan di sebelah selatan bagian tengah
kaltim.tripod.com/kabupaten_nunukan, 2010).
Sebelah timur sungai Sebuku terdiri dari tanah rendah dan tanah rawa dengan
sebelah timur ini, tetapi perbukitan Moyo membentuk barrier bagi gajah.
Sedangkan, daerah sebelah selatan sungai Sebuku merupakan dataran rendah yang
luas mulai dari daerah yang datar sampai terjal diikuti oleh daerah dataran rawa
Perbatasan utara sungai Apan dan Tampilon dibentuk oleh pegunungan dan
bukit-bukit (Gambar 3). Lereng tercuram di sebelah selatan sungai Apan dan
Tampilon membentuk satu batas yang tidak dapat dilewati oleh gajah. Hal ini
membuat kelompok gajah tidak melakukan perjalanan dari kawasan atas Tampilon
Sibulu dan Kapakuan sampai ke pegunungan dan perbukitan cukup datar dan
memiliki ketinggian yang rendah. Anak sungai dari sungai-sungai ini seperti
Sibuda sampai jarak tertentu juga masih cukup datar dan rendah. Lembah-lembah di
antara pegunungan di sekitar bagian tengah sungai Agison merupakan habitat yang
bagus untuk gajah, dan tanahnya yang subur menjamin ada banyak pakan gajah
tumbuh di sini (Wullfraat, 2007). Perbukitan terjal di sebelah utara bagian barat
21
S. Agison
S.Tampilon
S.Kepakuan
S.Tulid
S. Sebuku
sebelah barat naik secara bertahap dengan sedikit kecuraman. Gajah-gajah akan
menemui beberapa kesulitan menjelajahi kawasan ini. Dataran ini sering dikunjungi
oleh gajah jantan soliter yang mengembara, namun kelompok gajah tidak
memanfaatkan daerah ini. Jumlah sungai yang relatif sedikit di kawasan ini mungkin
menjadi faktor kendala bagi gajah, karena gajah menyukai aliran sungai sebagai tempat
non kayu yang biasanya tumbuh subur menyediakan banyak peluang bagi gajah-
22
Wilayah Kalabakan (Malaysia) merupakan bukit-bukit dan gunung-gunung
curam hingga ketinggian 1.500 meter dpl, tetapi ada banyak hutan, dasar lembah
yang datar merupakan habitat gajah yang baik. Ulu Kalumpang / Tawau Hills di
Sabah merupakan hutan lindung. Daerah ini umumnya hutan dipterocarpaceae yang
curam yang berisi beberapa lembah-lembah sungai. Rentang kawasan ini berbatasan
industri, minyak sawit dan kakao selama dua puluh tahun terakhir (Ambu dkk,
2003).
Menurut Payne (2003), hampir dapat dipastikan bahwa tanah liat yang
mengandung kaolin sangat penting bagi gajah. Ketersediaan kaolin bisa menjadi
satu faktor kendala sehingga gajah tidak dapat hidup di daerah-daerah di mana
mineral ini tidak dapat dikonsumsi dalam waktu beberapa hari tertentu. Kaolin
sangat diperlukan oleh gajah untuk menyerap racun tanaman. Kaolin digunakan oleh
Gajah juga memanfaatkan mata air asin untuk mendapatkan beberapa mineral
penting. Sumber garam ini tersebar luas di seluruh Kalimantan dan didatangi oleh
banyak binatang berbeda. Mata air asin yang sering dikunjungi gajah terdapat di
23
3. Jenis hutan
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas, sehingga
gajah menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Kawasan hutan berikut ini
Tipe hutan ini berada pada ketinggian 0-750 m di atas permukaan air laut.
seluruh dataran di sekitar sungai Tulid dan Tikung, dan lembah-lembah sungai
Agison, Apan, dan Tampilon bawah. Hampir semua hutan Dipterokarpa dataran
tak berkayu lebih banyak berkembang di dasar hutan, dan banyak diantaranya
dimakan oleh gajah seperti pisang hutan yang merupakan sumber makanan
laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah Altingia excelsa, Dipterocarpus spp,
Shorea spp, Quercus spp dan Castanopsis spp (www.wwf.or.id, 2010). Sebagian
24
Jenis hutan ini dapat diperbandingkan dengan hutan dataran rendah, tetapi
mempunyai ragam jenis yang lebih sedikit. Banyak hutan hujan pegunungan
rendah wilayah Sebuku telah ditebangi, tetapi di utara dan barat atas masih
terdapat kawasan hutan primer hujan pegunungan rendah. Hutan hujan pegunungan
rendah yang telah ditebangi juga memiliki banyak tumbuhan non-kayu di dasar
Jenis hutan ini tumbuh di bidang tanah yang sempit sepanjang sungai.
topografinya yang curam, membuat hutan-hutan gunung bagian ini jadi habitat yang
Hutan rawa gambut adalah habitat yang kemungkinan besar cocok bagi
gajah. Meskipun demikian, hingga kini gajah-gajah belum pernah mencapai hutan
25
rawa gambut yang luas di bagian sebelah timur wilayah Sebuku. Perbukitan Moyo
merupakan barrier bagi gajah di wilayah timur Sebuku (Wullfraat dkk, 2007). Jenis-
jenis vegetasi pada tipe hutan ini antara lain: Gonystilus bancanus, Dyera costulata,
Licuala spinosa, Shorea spp, Alstonia spp dan Eugenia spp (www.wwf.or.id, 2010).
dinamis, hal ini disebabkan selalu ada individu baru yang lahir dari individu-individu
yang lebih tua, sehingga memerlukan daerah yang baru. Penyebaran satwa termasuk
• Model dispersal satwa liar (sebaran individu-individu jenis dari daerah asalnya).
sekitar 300 tahun yang silam. Menurut cerita, gajah kalimantan liar di Negara Bagian
Sabah, Malaysia, adalah keturunan gajah milik Sultan Sulu. British East India
26
gajah kepada Sultan Sulu pada tahun 1750. Sultan Sulu lalu melepaskannya ke hutan
Pada tahun 2003 WWF (World Wildlife Fund for Nature) Asian Rhino and
Elephant Action Plan Strategy dan peneliti dari Universitas Columbia, melakukan tes
DNA Mitokondria. Sampel penelitian berasal dari kotoran gajah. Sampel-sampel itu
Gunung Rara dan Hutan Lindung Ulu Segama. Sampel-sampel itu kemudian diteliti
di Universitas Colombia dan dibandingkan dengan sampel dari gajah India, Bhutan,
Menurut hasil uji genetika melalui uji DNA, terbukti bahwa gajah kalimantan
secara nyata (signifikan) berbeda dengan gajah lainnya di Asia maupun Afrika.
Selanjutnya diperkirakan bahwa gajah Kalimantan sudah terpisah dari populasi gajah
lain di daratan Asia dan Sumatera sekitar 300.000 tahun silam. Ini merupakan bukti
yang jelas bahwa gajah-gajah tersebut asli dari Kalimantan (Wullfraat dkk, 2007).
penyimpangan mitokondria DNA yang cukup besar antara gajah kalimantan dan
Sundaland lainnya, yaitu berkisar dari 0.012 (haplotipe BQ, BV, BO, BS, BU) hingga
0.020 (haplotipe BE), dengan rata-rata 0.014 (Gambar 4). Berdasarkan penelitian
27
DNA yang lebih mendalam, ada indikasi bahwa karakteristik gajah kalimantan
telah didokumentasikan pada awal tahun 1930-an. Hal ini disebutkan dalam
Alam. Salah satu dari laporan ini, yang disajikan sebagai suatu tinjauan informasi
yang ada terhadap konservasi alam di Borneo, bahkan tersedia sebuah peta dengan
“gajah terdapat di paling utara Bulungan sampai ke sungai Sebuku. Binatang ini
tidak diburu, penduduk yang jarang bahkan takut kepada gajah dan akan segera
28
pindah bilamana beberapa gajah muncul di ladang-ladang, karena mereka tidak
perhatian dari pihak luar. Pada tahun 1998 kehadiran gajah-gajah ini diselidiki dan
dipastikan dengan suatu survei yang dikoordinasi oleh WWF. Hasil yang didapat
dalam survei ini adalah di Sungai Agison ditemukan minimal 40 ekor gajah,
sedangkan di Sungai Apan terdapat jejak berupa bekas kaki dan kotoran gajah
(Momberg dkk, 1998). Survei berikutnya dilaksanakan pada tahun 2000 dan 2001
(WWF, 2002) memastikan kembali kehadiran gajah di sekitar sungai Agison, sungai
Kalimantan Timur (Gambar 4). Kelompok gajah ada di daerah aliran sungai
Agison dan sungai Sibuda di barat dan sungai Apan dan sungai Tampilon di timur.
Sungai Agison dan Sibuda merupakan salah satu koridor bagi gajah untuk menjelajah
WWF (2002), Kelompok gajah yang ditemui disini biasanya terdiri dari 6 hingga 8
ekor. Selama survei gajah terdahulu pada tahun 2001, sejumlah jejak gajah yang
Lembah sungai Sibuda dan anak sungainya merupakan kawasan yang sangat
sering digunakan oleh kelompok gajah. Di lembah ini terdapat tempat dengan mata
air asin besar yang sering dikunjungi oleh kelompok gajah. Masyarakat setempat
29
sering mengatakan bahwa koridor Sibuda lebih sering dipakai daripada koridor
Agison. Ukuran kelompok gajah kawasan ini tidak berbeda dari wilayah Agison,
yakni 6-8 ekor. Kelompok gajah bergerak ke selatan hingga lembah sungai
Di antara kawasan Agison dan Sibuda di barat dan kawasan Apan dan
Tampilon di timur terdapat kawasan yang agak luas dan relatif datar yang sering
koridor gajah tambahan dari dan ke Sabah. Meskipun demikian, karena tidak adanya
lembah sungai yang luas di kawasan ini, koridor tambahan ini tidak terlalu sering
sungai Apan dan Tampilon, tetapi jumlah gajah dan kelompok gajah di sini lebih
rendah daripada di daerah Agison dan Sibuda. Hal ini disimpulkan berdasarkan
survei gajah di kawasan Apan dan Tampilon yang dilakukan secara serentak
dengan survei di kawasan Agison, dimana jumlah jejak gajah di kawasan Apan dan
Tampilon lebih sedikit daripada di kawasan Agison (WWF, 2002). Daerah timur
dari sungai Tampilon adalah sungai Sibulu, sedikit lebih kecil daripada Tampilon.
Gajah jantan soliter yang mengembara lebih sering terlihat daripada gajah
berkelompok, karena gajah soliter sering memasuki kawasan yang secara intensif
30
dipakai oleh manusia. Jumlah total jantan soliter ini tidak terlalu tinggi, paling banyak
Dari jumlah itu, hanya 45-65 ekor yang berhabitat di Sebuku. Gajah kalimantan
(www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
bagian paling selatan Sabah berbatasan dengan wilayah Sebuku adalah bagian dari
31
Jumlah populasi gajah di seluruh kawasan Kalabakan diperkirakan antara 280
dan 330 individu (Ambu dkk, 2003). Tetapi, di bagian sebelah selatan kawasan
ini tidak sesuai/cocok untuk gajah karena bentang daratnya terutama terdiri dari
kawasan ini terutama, yaitu dasar lembah di antara perbukitan dan pegunungan.
Beberapa dekade yang lalu, jumlah gajah mencapai lebih dari 1.600 di Sabah
(Ambu dkk, 2003). Hasil pelacakan survei satelit tahun 2007 oleh World Wide Fund
for Nature Malaysia diperkirakan hanya 1.000 gajah mendiami habitat hutan dan
sungai dari Sabah, sebagian besar di sepanjang bawah dan atas Sungai Kinabatangan
(www.wwf.or.id.2010).
32
BAB III
A. Ancaman
Kerusakan habitat yang sering dilakukan biasanya berupa pembukaan lahan yang
Menurut Wullfrat dkk (2007), perkebunan kelapa sawit saat ini sedang dibuat
dengan skala besar di Kabupaten Nunukan. Beribu-ribu hektar hutan telah alokasikan
untuk industri kelapa sawit. Lokasi terbesar di wilayah Sebuku terdapat di Utara
sungai Tikung dan suatu kawasan luas di sekitar bagian tengah dan atas sungai Tulid.
Sedangkan, perkebunan akasia sedang dibuat di kawasan yang membentang dari sisi
timur sungai Tulid sampai kaki bukit Mayo. Rencana penggunaan tanah untuk
hewan ternak yang berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat
mengurangi sumber daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan. Degradasi
33
habitat juga dapat terjadi karena aktivitas manusia yang mengintroduksi jenis eksotik
mangium. Menurut Wulffrat dkk (2007), jenis tanaman ini tidak tumbuh secara alami
Menurut Kemf dan Jackson (1994), selain kerusakan habitat sebagai faktor
paling dominan yang mengakibatkan penurunan populasi gajah, kematian gajah pada
saat penangkapan liar juga merupakan ancaman lainnya bagi gajah. Penangkapan
gajah liar untuk digunakan secara domestik (untuk dijinakkan) telah menjadi
ancaman yang serius bagi populasi gajah liar karena mengakibatkan menurunnya
populasi gajah pada kehidupan liar. Menurut Ambu dkk (2003), ada sekitar 15 ekor
gajah yang ditangkap dan dikirim ke perusahaan penangkaran di luar negeri. Gajah–
liar merupakan pemanfaatan satwa yang jauh melampaui kemampuan satwa tersebut
untuk berkembang biak secara alami. Menurut Kemf dan Jackson (1994), perburuan
liar yang sering dilakukan biasanya dilakukan untuk mendapatkan bagian tubuh gajah
seperti kulit, gading dan tulang. Kulit gajah yang diburu dapat digunakan untuk bahan
tas, sepatu serta obat bisul dan luka. Tulang gajah digunakan sebagai obat sakit perut.
Gading gajah merupakan bagian tubuh gajah yang paling banyak diminati oleh
pemburu karena mempunyai nilai jual yang cukup tinggi untuk dijadikan souvenir.
Konflik manusia dan gajah (KMG) merupakan masalah bagi konservasi gajah
kalimantan. Akibat konflik dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan
34
dipindahkan ke Pusat Konservasi Gajah yang mengakibatkan terjadinya kepunahan
lokal (misalnya di provinsi Riau, Sumatera). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan
dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga
jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanaman (crop
Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan
(palatability) gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar,
2003). Beberapa jenis tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi,
jagung, pisang, singkong, dan kelapa sawit (Sitompul, 2004; Fadhli, 2004).
lahan dari hutan untuk pertanian. Pada tahun 1989 total 716.394 hektar hutan alam,
telah diubah menjadi lahan pertanian permanen (terutama perkebunan kelapa sawit).
Total hutan alam yang dikonversi tersebut merupakan 9,7 persen dari total luas lahan
Sabah. Pada tahun 2000 kawasan hutan yang telah dikonversi untuk pertanian telah
meningkat menjadi lebih dari satu juta hektar yang mewakili 14 persen dari total area
Sesekali insiden pembunuhan ilegal memang terjadi tetapi ini biasanya terkait dengan
kerusakan. Selama delapan tahun terakhir kurang dari satu persen dari populasi gajah
35
B. Status
Gajah terdaftar dalam red list book IUCN (International Union for
taksa dikatakan genting bila taksa tersebut tidak tergolong kritis, namun mengalami
resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam. Sementara itu CITES (Convention on
Apendiks I adalah jenis tumbuhan dan satwa yang jumlahnya di alam sudah sangat
sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk jenis-jenis yang
1931), gajah telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi Undang-undang dan hampir
2001; Fernando dkk, 2004). Gajah merupakan satwa liar yang dilindungi berdasarkan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati
dan Ekosistem dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
konservasi telah dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan
36
• Dimulai pada tahun 1998, 2000, 2003 dan 2004 telah dilaksanakan survei
keberadaan gajah ini namun hasilnya kurang memuaskan karena tim survey hanya
dkk, 1998).
• Pada bulan September tahun 2006 tim survey dan masyarakat berhasil
tinggi ± 280 cm. Belum diketahui secara pasti apakah gajah ini berpasangan atau
hidup soliter. Diduga gajah tersebut terpisah dari kelompoknya atau merupakan
ketersediaan pakan. Gajah yang berhasil ditemukan tersebut berada dalam masa
dan komunikasi mengatasi konflik gajah dengan manusia yang ada di Kecamatan
Sebuku. Wadah ini dibentuk secara demokratis dan diberi nama “Kelompok Kerja
2010).
37
• Pada bulan Februari s/d Maret 2007 dilaksanakan survei sebaran gajah soliter.
Berdasarkan laporan dari masyarakat Desa Sebuku, saat ini sudah ada 3 (tiga)
ekor gajah yang berkeliaran, 2 (dua) ekor terdapat di hutan sekitar Desa
Kalunsayan dan sisanya 1 (satu) ekor di hutan sekitar Desa Sekikilan. Tetapi tim
survey hanya menemukan satu gajah yang berbeda dengan gajah yang ditemui
dephut.go.id, 2010).
kelapa sawit) untuk membahas dampak gajah di kawasan mereka (Wullfrat dkk,
2007).
• Pada tahun 2008 dilakukan pemasangan GPS Colars untuk mengetahui daerah
Konsep ini adalah inisiatif yang dipelopori WWF tentang konservasi dan
38
22 juta hektar, dengan 59 % berada di wilayah Indonesia (termasuk Taman
Nasional Kayan Mentarang serta Cagar Alam Gn. Nyiut dan Sapat Hawung)
kawasan lindung tersebut antara lain Kinabatangan Wildlife, Danum Valley, Lower
Kinabatangan Wildlife Sanctuary and the Tabin Wildlife Reserve. Seluruh kawasan
ini merupakan habitat gajah di Malaysia. Selain itu, pembentukan manejemen untuk
gajah-gajah yang terlibat konflik juga telah dibuat di Sabah. Selama periode tahun
39
1995 sampai 2001, sebanyak 40 individu gajah telah ditranslokasi dari lahan
D. Rekomendasi
Selain usaha–usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dan LSM seperti
diatas, ada beberapa rekomendasi untuk kedepan agar kelangsungan hidup gajah
Identifikasi habitat dan daerah penyebaran utama dari kawanan gajah harus
diketahui dengan pasti melalui penelitian yang akurat. Tindakan yang tepat perlu
diambil untuk melindungi daerah inti kawanan gajah, yaitu dengan memberikan
status kawasan lindung. Dalam jangka panjang perlu menyiapkan areal/hutan sebagai
(www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
dijadikan bahan pertimbangan dan acuan penting oleh para pemangku kepentingan
pembangunan sehingga konflik dengan keperluan lahan dengan habitat gajah dapat
40
menghindari atau meminimalisir (Soehartono dkk, 2007). Beberapa rekomendasi
sebagai berikut :
• Menunjuk instansi tertentu pada tingkat nasional dan regional yang akan
mengelola database gajah kalimantan yang didukung oleh sumber daya dan
dinilai tidak lestari sehingga populasi gajah tersebut dapat pulih kembali.
41
merupakan habitat gajah harus dikelola dengan mengedepankan aspek konservasi.
Pendekatan baru yang lebih berpihak kepada konsep pembangunan lestari dan
konservasi gajah di alam harus dapat disosialisasikan dan diterima oleh para
dilakukan dengan pendekatan kawasan dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi
politik dan status kawasan. Koordinasi antar instansi harus ditingkatkan dan
memegang peranan penting dalam pengelolaan habitat gajah (Soehartono dkk, 2007).
dampak yang menghancurkan sisa hutan yang sudah pernah ditebang. Penghentian
kepada perusahaan HPH pada areal-areal yang menjadi habitat gajah (termasuk
berdampak rendah dan menyisakan hutan sebagai habitat yang baik bagi gajah,
sehingga HPH bisa hidup berdampingan dengan gajah. Selain itu para pengembang
tempat gajah bisa bergerak, dengan cara membiarkan tempat yang sering mereka
Membangun kerja sama yang erat dengan pemegang konsesi hutan yang
beroperasi dalam manajemen untuk memastikan bahwa hutan lindung dan praktek
manajemen yang cocok bagi kelangsungan jenis dan habitat gajah. Melakukan
42
memastikan bahwa lahan konversi berdampak minimal pada populasi gajah (Ambu
• Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang,
• Mensinergikan habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan
gajah.
43
c. Penanganan Konflik Gajah – Manusia (KMG)
teknis dan finansial untuk menjadikan operasional secara penuh. Biaya transportasi
Konflik gajah dan manusia dapat mengancam kedua belah pihak terutama
mendorong timbulnya konflik antara manusia dan gajah semakin besar dan rumit
diselesaikan dengan tuntas dan waktu yang pendek. Pada prinsipnya semua pihak
menghindari atau mengurangi terjadinya konflik antara manusia dengan hidupan liar
seperti populasi gajah liar (Soehartono dkk, 2007). Beberapa rekomendasi lainnya
sebagai berikut :
akan merumuskan kebijakan KMG dan provinsi serta kabupaten yang bersifat
44
operasional. Jaringan ini dapat di bantu oleh para pihak dari unsur non
pihak yang terlibat dalam KMG mengikuti aturan yang tertuang dalam
protokol tersebut.
KMG yang efisien dengan teknologi yang sederhana serta metode adaptif.
monitoring yang rutin seperti yang diterapkan dengan MIKE (Monitoring Illegal
Killing of Elephant) oleh CITES perlu segera diimplemetasikan. Dalam kaitan ini
45
pemerintah dan para pemerhati gajah kalimantan berharap agar penegakan hukum
terhadap perburuan dan perdagangan illegal gading gajah asal Kalimantan dapat
dilaksanakan secara konsisten, konsekuen dan benar serta tidak berpihak (Soehartono
hukum.
ini memiliki peran yang potensial dalam upaya konservasi gajah di Indonesia.
Hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara konservasi gajah ex-situ dan in situ
46
membuat upaya konservasi keduanya harus berjalan secara simultan dan saling
• Merasionalisasi populasi gajah dalam setiap PKG dan intitusi lain yang
memanfaatkan gajah khususnya dengan kondisi daya dukung PKG itu sendiri
(seperti: ketersedian pakan alami, sumber air dan luas wilayah) sesuai dengan
pendidikan.
47
• Membuka kesempatan pihak ketiga untuk dapat memanfaatkan gajah secara
Kunjungan studi banding oleh perwakilan dari masyarakat lokal Sebuku dan
pemerintah daerah ke proyek gajah di Sabah adalah kesempatan baik untuk menukar
informasi dan pengalaman, dan akan memperbaikan kerjasama (Wullfrat dkk, 2007).
memerlukan dukungan yang luas dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena
gajah memerlukan habitat yang luas untuk dapat bertahan hidup sementara itu
kebutuhan habitat yang luas tersebut sering kali berbenturan dengan kegiatan alokasi
gajah dan habitatnya, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan dan memegang
48
• Perlunya dilakukan survei tingkat dukungan masyarakat terhadap konservasi
karier di pemerintahan.
49
BAB IV
A. Kesimpulan
asia yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dan bulat.
Sebuku, Nunukan, Kalimantan Timur dengan jumlah populasi sekitar 45-65 ekor
5. Upaya konservasi yang telah dilakukan di Indonesia antara lain melakukan survei
50
6. Pengelolaan habitat gajah dapat menjadi salah satu rekomendasi yang penting
agar keberadaan gajah kalimantan tetap ada dan konflik dengan masyarakat dapat
B. Saran
sehingga populasi dan distribusi dapat diketahui dengan pasti di habitat alaminya.
hingga selamanya.
gajah kalimantan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Ambu LN, Andua PM, Nathan S, dkk. Asian elephant action plan Sabah (Malaysia),
Wildlife Department, Sabah. 2003.
Fadhli N. Resiko dan Keuntungan Menempatkan Gajah Liar yang ditangkap ke Tesso
Nilo. WWF Areas Riau Project (Unpublished Report). 2005.
Fernando P, Vidya TNC, dkk. DNA analysis indicate that Asian elephants are native
to Borneo and are therefore a high priority for conservation.Plos Biology, 1: 001-
006. 2003.
52
Taman Nasional V Bengkulu Provinsi Bengkulu). Tugas Akhir. Program Diploma
III. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2007
Ishwaran N. Ecology of The Asian Elephant in Lowland Dry Zone Habitat of The
Mahaweli River Basin. Sri Langka. Journal of Tropical Ecology. 1993: 9; 169-
182.
Kemf E. dan Jackson P. Gajah-Gajah Asia di Belantara Serial Harus Tetap Hidup.
World Wide Fund For Nature (WWF) Indonesia Programme. 1994.
Maryanto I, Achmadi AS, dan Sinaga MH. Nama daerah mamalia Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Perhimpunan Biologi Indonesia.
Jakarta. 2007.
McKay GM. Behaviour and Ecology of The Asiatic Elephant in Southeastern Ceylon.
Smithsonian Contribution to Zoology.: 125: 1-113. 1973
Nursahid R. Mengapa Satwa Liar Punah?. Pro Fauna Indonesia. 1-12. Jakarta. 1999.
Payne J. Asian elephant action plan Sabah (Malaysia), Wildlife Department, Sabah.
2003.
Payne J, Charles M. Francis, Karen Philipps, dan Sri Nurani Kartikasari. Panduan
Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. The
Society and Wildlife Conservation Society. Malaysia. 2000.
53
Sale P. Paper on Elephants in Sabah. Asian Elephant Gajah Asia.Specialist Group
Meeting, Bangkok-Thailand. 1997.
Shumon JJ. Wildlife Habitat Improvement, National Aubudon Society Inc, New
London. 1966, h. 10.
Soehartono T, Susilo, HD, Sitompul AF, dkk. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Direktorat Jendral PHKA-
Departeman Kehutanan RI . Jakarta. 2007.
Williams AC, Johnsighn AJT, dan Krausman PR. Elephant Human-Conflict in Rajaji
National Park, Nortwestern India. Wildlife Society Bulletin, 29:1097-1104. 2001.
54
World Conservation Monitoring Centre 1998. Kalappia celebica. In: IUCN 2007.
2007 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>.
WWF Germany. Borneo : Treasure island at risk – map-. Frankfurt am Main. 2005
55