You are on page 1of 13

BAB III

PEMANFAATAN PASTURA

Pendahuluan
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pastura merupakan suatu sumber hijauan
pakan ternak ruminansia. Pemeliharaan ternak yang digembalakan pada pastura
memberikan arti ternak memilih dan mengambil sendiri hijauan yang dimakannya.
Dengan demikian jika pastura baik maka diharapkan produksi ternak akan baik pula,
akan tetapi jika pastura dalam keadaan buruk, seperti kebanyakan padang rumput
alam maka produksi ternak juga tidak dapat tinggi serta ada kemungkinan ternak
mengkonsumsi hijauan beracun yang dapat mengganggu proses physiologis dirinya.
Pemanfaatan pastura lebih dikenal dengan istilah penggembalaan atau grazing.
Pada proses penggembalaan ini banyak faktor yang perlu dipertimbangkan mengingat
proses ini sangat komplek, hal ini berbeda dengan sistem cut and carry yang mana
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan hijauan maupun ternak mudah diatur oleh
manusia. Pada sistem cut and carry seleksi hijauan didahului dari peternak saat
mencari rumput, bila peternak mendapatkan hijauan kualitas rendah, maka ternak
dalam kandang akan diberi pakan tambahan berupa konsentrat sebagai tambahan gizi.
Satu-satunya faktor cekaman pada tanaman yang dipanen dengan sistim cut and carry
adalah pemotongan oleh peternak, sedangkan pada sistem penggembalaan cekaman
tersebut sangat banyak seperti perengutan, injakan serta sebaran kotoran ternak yang
masih segar.
Pada proses penggembalaan, pertama kali ternak melakukan seleksi pada jenis
tanaman dan perengutan hanya dilakukan pada bagian tanaman yang disukai. Dalam
melakukan kegiatan ini ternak berjalan dan sebagai akibatnya banyak tanaman
terinjak dan bahkan sebagian tanaman juga mendapatkan cekaman dari kotoran ternak
yang dikeluarkan saat merumput. Kotoran ternak yang masih segar merupakan suatu
cekaman bagi pertumbhan tanaman mengingat material ini merupakan bahan organik
yang masih belum siap dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman. Adanya proses
seleksi, injakan dan tercampurnya tanaman dengan kotoran mengakibatkan tidak
semua bagian aerial tanaman dapat dikonsumsi oleh ternak, sehingga pemanfaatan
hijauan di pastura lebih rendah dibandingkan dengan sistem cut and carry.

Menejemen Pastura 32
Meskipun pemanfaatan hijauan di pastura kurang efisien dibandingkan sistem
cut and carry, akan tetapi dengan sistem pengembalaan mempunyai beberapa
kelebihan, misalnya tidak banyak memerlukan tenaga kerja manusia, sebagian hara
dikembalikan lagi dalam pastura baik yang berupa kotoran ternak maupun bagian
tanaman yang tidak terkonsumsi ternak. Oleh karena itu arah dari pembangunan
pastura diharapkan peternak mampu meningkatkan menejemen yang mengarah pada
penggalian potensi untuk mengoptimalkan kelebihan ini dan memperkecil resiko-
resiko dari kekurangan sitem penggembalaan.

Pengaturan Defoliasi/penggembalaan
Defoliasi mempunyai arti pemotongan daun, yang secara luas dapat diartikan
pemotongan bagian-bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah (bagian
aerial) baik dengan sistem cut and carry atau dengan perenggutan oleh ternak yang
digembalakan (grazing).
Dalam sistem penggembalaan, waktu pemanenan hijauan perlu kiranya
mendapatkan perhatian karena waktu pemanenan identik dengan umur tanaman.
Umumnya kadar protein akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman tetapi
kadar serat kasar menunjukkan perilaku sebaliknya.
Kecuali pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi (protein dan serat), maka saat
pemotongan hijauan sangat erat hubungannya dengan daya cerna dan konsumsi oleh
ternak yang memakannya. Tiga faktor tersebut yaitu kandungan nutrisi, daya cerna
serta jumlah konsumsi sangat menentukan produksi ternak. Pada kelompok
leguminosa maupun rumput, ketiga faktor tersebut pada umumnya menurun
sehubungan dengan meningkatnya umur tanaman, namun demikian antar spesies
dalam kelompok tanaman tersebut juga menunjukan variasi. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa kualitas hijauan di pastura selain dipengaruhi oleh perlakuan juga
dipengaruhi pula oleh faktor genetik tanaman.
Untuk mendapatkan hijauan yang berkualitas tinggi, maka pelaksanaan dalam
praktek berarti hijauan harus lebih sering dipotong (defoliasi) agar pertanaman selalu
dalam keadaan muda. Pertanyaan yang timbul adalah seberapa jauh ulangan defoliasi
pada umur muda tersebut mempengaruhi produksi dan perlakuan apakah yang
diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi. Seperti yang dilaporkan Susetyo

Menejemen Pastura 33
(1978) pengaruh interval defoliasi baik pada leguminosa maupun rumput berpengaruh
terhadap produksi bahan kering. Ternyata bahwa makin pendek interval pemotongan
produksi tanaman per Ha menurun bahkan nampak timbulnya gangguan oleh tumbuh-
tumbuhan pengganggu. Defoliasi yang berat (frekuensi dan intensitas) akan
memperlemah pertumbuhannya dan pada pertanaman campuran antara leguminosa
dan rumput akan dapat menyebabkan kemusnahannya. Dalam hal inipun nampak
bahwa mempertahankan pertanamanan dalam kondisi muda untuk mendapatkan nilai
gizi yang tinggi dengan jalan mengatur interval defoliasi pendek akan menurunkan
produksi bahan kering, sebagai akibatnya jumlah ternak yang dapat dipelihara juga
menurun..
Secara umum karakteristik tanaman pastura mempunyai sifat : kualitas
berbanding terbalik dengan produksi, artinya bila mengharapkan kualitas tinggi, maka
sebagai konsekuensinya produksi menjadi rendah, oleh karena itu sebaiknya defoliasi
dilakukan pada akhir fase vegetatip (perpindahan dari fase vegetatif ke generatif) agar
tanaman mempunyai cukup cadangan makanan berupa karbohidrat didalam akar/
rhyzoma yang ditinggalkan. Setelah dilakukan defoliasi, karbohidrat ini dirombak
oleh enzim-enzim tertentu menjadi energi yang akan digunakan untuk tumbuh
kembali (regrowth).
Regrowth merupakan sifat fisiologis suatu tanaman makanan ternak perrenial
untuk tumbuh kembali setelah mengalami defoliasi, dimana dalam sistem
penggembalaan hal ini dipengaruhi oleh :
(1). Interval pemanenan
Interval pemanenen yang mengandung pengertian waktu atau umur tanaman
adalah ulangan perenggutan hijauan didalam pastura. Apabila jumlah ternak yang
merenggut hijauan di padangan terlalu besar dan tidak seimbang dengan luas
padangan yang tersedia, maka semakin besar ulangan perenggutan yang terjadi.
Hal ini akan menghambat regrowth hijauan untuk berassimilasi guna membentuk
cadangan makanan.
(2). Intensitas pemanenan
Intensitas pemanenan adalah tinggi rendahnya perenggutan hijauan di pastura
akibat penggembalan ternak. Apabila bagian tanaman yang ditinggalkan di atas
permukaan tanah semakin pendek, maka pertumbuhan kembali semakin

Menejemen Pastura 34
terhambat karena cadangan makanan yang terbentuk sedikit mengingat tempat
cadangan makanan berkurang sehingga kesempatan untuk berassimilasi juga
menjadi berkurang. Namun demikian fenomena ini tidak berlaku untuk semua
species, karena ada beberapa species seperti Setaria anceps yang menunjukkan
perilaku semakin pendek pemotongan, maka jumlah anakan yang ditimbulkan
semakin banyak, namun ketegaran tanaman ini pada umur muda bekurang karena
anakan-anakan tersebut tidak tahan terhadap injakan ternak.

Kedua faktor tersebut hendaknya perlu dipertimbangkan karena defoliasi yang


dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya pengaturan rotasi dan pemberian waktu
yang cukup bagi tanaman untuk regrowth, maka akan terjadi kondisi dimana tanaman-
tanaman primer kurang dominan, sebaliknya padangan akan didominasi oleh tanaman
pengganggu sehingga kulitas pastura menjadi rendah. Meskipun regrowth tanaman
dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, namun curah hujan atau ketersediaan air tanah
mempunyai pengaruh yang besar pula pada aktifitas regrowth. Pada musim hujan,
interval pemotongan yang pendek tidak menimbulkan pengaruh namun saat kemarau
interval pemotongan pendek menjadi masalah untuk aktifitas regrowth. Dengan
demikian pelaksanaan di lapangan, pada musim hujan pemanenen dapat dilakukan
pada umur muda sedangkan pada musim kemarau umur panen harus ditunda lebih
lama.

Penentuan jumlah ternak yang digembalakan (Kapasitas Tampung)


Pemanfaatan pastura yang optimal dapat dilakukan dengan mengatur imbangan yang
serasi antara kuantitas hijauan yang tersedia dengan jumlah ternak yang
digembalakan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu pengetahuan
untuk memperkirakan produksi suatu padangan, sehingga secara tepat dapat
memperkirakan jumlah ternak yang dapat dimasukkan ke dalam pastura.
Kemampuan masing-masing pastura` dalam menampung ternak berbeda-beda
karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal-hal produktivitas tanah, curah hujan
dan penyebarannya, topografi dan hal-hal lain. Oleh karena itu setiap pastura
sebaiknya digembalai menurut kemampuan masing-masing.
Taksiran daya tampung menurut Halls et al. (1964) dapat didekati dengan
jumlah hijauan tersedia di pastura tersebut. Namun demikian untuk mengamati setiap

Menejemen Pastura 35
bagian dari pastura tersebut sangat sulit dan bahkan tidak mungkin dapat dikerjakan,
sehingga cara pengambilan cuplikan sebagai contoh (sample) memegang peranan
penting dalam pengukuran produksi hijauan. Ada beberapa metoda untuk menentukan
letak petak-petak cuplikan agar produksi hijauan dapat ditaksir dengan benar. Metoda-
metoda yang mungkin dapat dipilih adalah sebagai berikut :
1. Dengan pengacakan
2. Dengan stratifikasi
3. Secara sistematik (dimulai dari titik yang telah ditentukan dan kemudian
cuplikan-cuplikan diambil pada jarak-jarak tertentu sepanjang garis yang
memotong padang rumput).
Setiap metoda pengambilan cuplikan tersebut mempunyai kebaikan dan keburukan
tetapi bila dilakukan dengan baik dan penuh komitmen tinggi maka dapat memberikan
gambaran yang cukup obyektif.
Cara yang baik dalam pengambilan cuplikan misalnya dengan menggunakan
dua angka dari daftar angka random sebagai koordinat tempat cuplikan. Koordinat
tersebut tidak perlu dimulai dari sudut pastura sebagai titik nol tetapi dapat dimulai
dari letak cuplikan yang sebelumnya. Jumlah cuplikan yang diperlukan tergantung
dari ketidak seragaman pastura, alat-alat yang digunakan, tujuan pengambilan data,
tingkat ketelitian yang dikehendaki serta biaya atau fasilitas yang tersedia.
Menurut Halls et al. (1964) mengukur daya tampung pastura sebagai berikut:
petak cuplikan pertama ditentukan secara acak seluas 1 m2 bujur sangkar atau dalam
bentuk lingkaran dengan garis tengah 1 m. Petak cuplikan kedua diambil pada jarak
lurus 10 langkah ke kanan dari petak cuplikan pertama dengan luas yang sama. Kedua
petak cuplikan yang berturut-turut tersebut membentuk satu kumpulan (cluster).
Cluster selanjutnya diambil pada jarak lurus 125 m dari cluster sebelumnya. Dalam
hal ini terdapat beberapa kemungkinan modifikasi yang dapat disesuaikan dengan
keadaan lapangan sehingga diperoleh cuplikan yang diperlukan. Untuk lapangan
seluas 160 acre (± 65 ha) diperlukan paling sedikit 50 cluster.
Setelah petak cuplikan ditentukan semua hijauan yang terdapat didalam petak
tersebut dipotong sedekat mungkin dengan tanah termasuk dipotong juga bagai
tanaman pohon-pohonan yang mungkin dapat dimakan ternak sampai setingggi 1,5 m.
Hijauan tersebut kemudian dimasukkan kedalam kantung-kantung dan ditimbang

Menejemen Pastura 36
bobot segarnya. Apabila petak cuplikan jatuh pada batu-batu atau pohon-pohon besar
usahakan jangan menghindar, dan petak yang kosong tersebut nantinya juga
digunakan pembagi untuk mendapatkan nilai rata-rata.
Dari catatan bobot segar hasil cuplikan maka dapat diketahui produksi hijauan
segar per m2. Namun demikian perlu dipertimbangkan bahwa tidak seluruh hijauan
tersebut dapat terkonsumsi ternak karena sebagian dari bagian tanaman harus
ditinggalkan untuk menjamin regrowth. Jadi harus diperhitungkan proper use factor
(PUF). Besarnya proper use factor tersebut antara lain dipengaruhi oleh :
1. Erodibilitas lahan
Pada pastura yang mudah mengalami erosi karena topografi miring atau
hamparan vegetasi yang rendah (tumbuhnya jarang), maka sebaiknya hijauan
tidak semuanya dipanen.
2. Pola regrowth tanaman
Tidak semua jenis tanaman mempunyai kecepatan pertumbuhan kembali yang
sama setelah dipanen, oleh karena itu pada tanaman yang mempunyai pola
regrowth lamban sebaiknya tidak semua hijauan yang dapat dipanen semuanya
untuk ternak.
3. Jenis dan jumlah ternak
Pada dasarnya semakn banyak atau semakin besar jenis ternak yang dipelihara
maka semakin banyak pula tanaman yang terinjak, sehingga tidak semua hijauan
yang dipanen dapat dimanfaatkan untuk ternak. Pada umumnya tanaman yang
sudah terinjak-injak akan dikonsumsi belakangan setelah tidak ada hijauan lain
yang disukai, tetapi pada tanaman yang sudah terkena kotoran (feses dan urin)
maka hijauan tersebut tidak akan dikonsumsi ternak dalam waktu yang cukup
lama. Pada beberapa hari pertama setelah tanaman terkena kotoran segar, maka
tanaman terlihat mulai menguning karena kotoran tersebut mengalami proses
fermentasi sehingga panas yang ditimbulkan merupakan cekaman bagi tanaman.
Selanjutnya setelah kotoran tersebut mengalami pelapukan, maka terlihat
tanaman tersebut tumbuh subur dibandingkan tanaman lainnya. Oleh karena itu
di pastura sering terlihat tanaman yang bergerumpul rimbun yang dari kejauhan
seperti titik-titik hijau, hal ini adalah kelompok tanaman yang subur akibat
terkena kotoran ternak dan ternak tidak mau mengkonsumsinya.

Menejemen Pastura 37
4. Keadaan musim/ketersediaan pengairan
Pertimbangan regrowth tetap menjadi faktor dominan terhadap pemanfaatan
hijauan. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa pada musim kemarau dimana
air merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, maka regrowth tanaman
akan lamban, oleh karena itu pemanfaatan hijauan yang ada juga perlu disisakan
untuk menjamin kepentingan regrowth tanaman.

Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi atau faktor-faktor


yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pada suatu pastura, maka PUF
semakin kecil. Untuk penggunaan pastura yang ringan besarnya PUF adalah 25-30%,
penggunaan medium 40-45%, sedang untuk penggunaan yang berat 60-70%.

Sebagai contoh penentuan kapasitas tampung:


Suatu misal produksi hijauan segar hasil cuplikan rata-rata per m2 = 2 kg, maka
produksi hijauan dalam pastura per Ha itu ditaksair 2 x 10.000 = 20.000 kg = 20 ton,
dengan menggunakan PUF 40 % maka jumlah hijauan yang tersedia untuk ternak
per Ha 40% x 20 ton = 8 ton/ha.. Apabila kebutuhan hijauan 40 kg segar/ekor/hari

40 x30
maka kebutuhan luas tanah per bulan (30 hari) = ha/ekor/bulan = 0.15
8000
ha/ekor/bulan.
Berkaitan dengan musim dan regrowth hijauan setelah dipanen, maka dapat
dimaklumi bahwa suatu padangan memerlukan suatu masa istirahat agar hijauan
yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa
ini disebut sebagai periode istirahat (rest). Pada umumnya, padang rumput tropika
membutuhkan waktu 70 hari istirahat setelah digembalai (stay) selama 30 hari. Hal
ini tergantung spesies tanaman dan musim.
Untuk menaksir kebutuhan luas lahan per tahun dapat dimanfaatkan rumus
Voisin sebagai berikut :
[y–1]s=r

y = angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor sapi per tahun
terhadap kebutuhannya per bulan.
s = periode merumput [s = stay]
r = periode istirahat [r = rest]
Dengan memasukkan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus diatas maka diperoleh

Menejemen Pastura 38
70 + 30
y= = 3,3
30
Dengan nilai y = 3,3. serta diketahuinya kebutuhan luas pastura per bulan 0,15 ha,
maka kebutuhan luas padangan yang diperlukan per tahun adalah 3,3 x 0,15 ha =
0,495 hektar untuk per ekor sapi. Dengan kata lain, berarti satu Ha pastura per
tahun dapat menampung 2 ekor sapi dewasa yang setiap hari dengan konsumsi 40
kg rumput pada tingkat penggembalaan sedang.

Kesimpulan dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa kapasitas tampung


pastura adalah 2 ekor / ha, dengan catatan sapi dewasa yang tiap hari mengkonsumsi
hijauan segar 40 kg. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan, bagaimana kalau sapi yang
digembalakan tersebut pedet atau sapi dewasa yang konsumsinya hanya 30 kg hijauan
segar per hari. Selanjutnya bagaimana kalau hasil pehitungan ternyata diperoleh
kapasitas tampung suatu pastura 2,5 ekor/ha Dengan melihat kasus tersebut, maka
satuan kapasitas tampung pastura yang dinyatakan dengan ekor/ha belum operasional,
dengan demikian memerlukan suatu standar yang memadai dan mudah
dioperasionalkan. Untuk itu satuan kapasitas tampung secara internasional dinyatakan
dalam Animal Unit (AU) atau Satuan Ternak (ST). Adapun pengertian dari Satuan
Ternak adalah kemampuan ternak dalam mengkonsumsi hijauan yang perlu
distandarisasi. Secara umum 1 Satuan Ternak adalah ternak yang dapat
mengkonsumsi hijauan segar 40 sampai 45 kg atau 8 sampai 9 kg bahan kering per
hari. Variasi ini tergantung pada rata-rata ternak dewasa dalam suatu wilayah. Untuk
daerah tropis seperti Indonesia, 1 ST setara dengan sapi dewasa yang dapat
mengkonsumsi hijauan 8 kg/ekor/hari. Dengan demikian bila kemampuan konsumsi
bahan kering sapi sekitar 2,75 persen dari bobot badan ternak, maka 1 ST setara
dengan sapi yang mempunyai bobot badan 290 kg. Satuan ini lebih operasional,
karena bila nantinya ditemui kapasitas tampung suatu pastura adalah 2,5 ST, artinya
dalam pastura tersebut dapat digembalai ternak yang total berat badannya 2,5 x 290 kg
= 725 kg yang bisa terdiri dari 2 ekor sapi besar atau 4 sampai 5 sapi kecil, yang
terpenting adalah total jumlah berat badan semua ternak yang digembalakan sekitar
725 kg. Pendekatan satuan ternak ini juga berlaku untuk jenis ternak lain baik ternak
ruminansia kecil (domba, kambing) atau kerbau dan kuda.

Menejemen Pastura 39
Tatalasana penggembalaan
Setelah dapat menentukan jumlah ternak yang digembalakan, maka tahap berikutnya
adalah melakukan tatalaksana pengembalaan sebaik mungkin agar produktivitas
sekunder ataupun primer pastura dapat terjamin.
Tujuan dari tatalaksana pengembalaan ternak adalah :
1. Mempertahankan kontinyuitas pasokan hijauan sepanjang waktu baik
dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
2. Mempertahankan ekosistem antar hijauan yang ada di dalam pastura
baik rerumputan, leguminosa maupun tanaman penunjang lainnya.
3. Untuk mencapai tingkat penggunaan hijauan makanan ternak seefisien
mungkin.
4. Untuk mendapatkan tingkat produktivitas ternak yang tinggi.
Dalam tatalaksana pengembalaan ternak di pastura dikenal beberapa macam sistem,
diantaranya adalah sebagai berikut :

A. Penggembalaan Kontinyu
Cara penggembalaan kontinyu adalah menempatkan ternak dalam pastura yang
sama untuk dalam jangka waktu yang lama. Cara ini biasanya dikatagorikan
sebagai ekstensip total yang umumnya dilakukan pada pastura alam. Jumlah ternak
yang digembalakan relatif rendah, hal ini disebabkan karena sumbangan nutrisi dari
rumput alam kurang memadai apabila dilakukan penggembalaan berat.
Pada musim penghujan sistem penggembalaan semacam ini akan menampilkan
produksi ternak yang lebih baik dibandingkan dengan sistem penggembalaan
bergilir. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi ketidakseimbangan antara ternak
yang digembalakan dengan ketersediaan hijauan. Tingkat produktivitas ternak
biasanya nampak bervariasi pada masing-masing ternak dibandingkan dengan
sistem penggembalaan yang lain. Hal ini disebabkan karena adanya tingkat
selektivitas ternak yang tinggi dan kompetisi antar ternak untuk memenuhi
kebutuhannya. Adanya kompetisi yang ketat menyebabkan ternak yang besar
cenderung dominan dibandingkan yang kecil atau masih muda, selain itu dengan
tidak adanya pengelompokkan berdasarkan umur, maka ternak-ternak muda akan
mudah terserang ekto maupun endo parasit.

Menejemen Pastura 40
Pada sistem penggembalaan ini terlihat jarak jangkau ternak untuk mendapatkan
hijauan sangat jauh lebih-lebih pada saat kemarau. Namun untuk pastura yang
tersedia tempat air minum, maka ternak terlihat berkumpul disekitar air minum dan
akibatnya vegetasi disekitar air tersebut tidak ada karena cekamannya terlalu berat
dan sebagai akibatnya kondisi ternak kurus.

Gambar 10. Sistem penggembalaan kontinyu pada pastura di breeding centre Sumba Barat.
Gambar diambil di sekitar air minum dan terlihat lahan disekitar basah tapi tidak
ditumbuhi vegetasi karena banyak kotoran terakumulasi di tempat ini, dan
terlihat kondisi ternak kurus karena kurang pakan, ternak lebih mengutamakan
minum sedangkan untuk mendapatkan hijauan memerlukan jarak jangkau yang
jauh.

B. Penggembalaan bergilir.
Penggembalaan bergilir adalah cara penggembalaan ternak dengan cara membagi
areal pastura menjadi beberapa bagian (paddock) kemudian ternak digembalakan
secara bergantian dari satu bagian ke bagian yang lain. Tujuan dari sistem ini
adalah memberikan kesempatan pada ternak untuk mendapatkan hijauan pada saat
nilai nutrisi hijauan tinggi, serta memberikan waktu istirahat yang cukup bagi
tanaman untuk dapat tumbuh kembali. Dengan cara penggembalaan seperti ini
ternak dibatasi ruang geraknya sehingga pemanfaatan hijauan efisien dan ternak
tidak mengeluarkan energi yang banyak untuk mencari hijauan. Cara ini juga
menekan seleksi ternak terhadap hijauan, sehingga pemanfaatan hijauan dalam
suatu areal merata.

Menejemen Pastura 41
Penggembalaan bergilir juga juga dapat dijumpai pada pastura alam, yaitu dengan
cara memindahkan ternak dari suatu wilayah ke wilayah lain yang lebih banyak
hijauannya, hal ini sering ditemui di daerah Sulawesi Tenggara pada peternak yang
memilki sapi dalam jumlah besar. Namun karena produksi hijauan pada pastura
alam rendah, maka mobilitas peternak sangat tinggi dan hal ini akan berpengaruh
pada biaya transportasi untuk pemindahan ternak.

Gambar 11. Penggembalaan bergilir pada pastura alam di Sulawesi Tenggara. Peternak
memindahkan ternaknya pada pastura-pastura yang masih banyak hijauannya.

Pada pastura buatan umumnya cara penggembalaan ini dilakukan pengelompokan


ternak berdasarkan umur dan tingkat produksi, misalnya kelompok ternak
berproduksi tinggi (sapi perah dan penggemukan) dan ternak berproduksi rendah
(sapi kering dan ternak yang dipelihara sekadarnya). Ternak-ternak berproduksi
tinggi diberi kesempatan pertama untuk merenggut hijauan yang berkualitas baik,
kemudian diikuti oleh kelompok ternak yang lain.
Fluktuasi produksi hijauan akibat musim akan menyebabkan perubahan jumlah
ternak yang digembalakan, sehingga untuk menjaga agar pemasokan hijauan tetap
kontinyu sepanjang waktu, diperlukan pertimbangan dalam hal usaha pengawetan
hijauan pada saat produksi berlimpah.

Menejemen Pastura 42
Cara penggembalaan bergilir ini ada yang lebih intensif yaitu disebut dengan
Penggembalaan Jalur. Penggembalaan jalur ini merupakan sistem
penggembalaan bergilir yang intensif dengan menggunakan pagar llistrik yang
dapat dipindah-pindah melintasi petak penggembalaan. Dengan cara ini jumlah
hijauan yang tersedia bagi ternak terbatas, kesempatan seleksi ternak ditekan
serendah mungkin dan penggunaan padangan merata serta kerusakan karena
injakan dan pencemaran oleh kotoran ternak lebih terkendali/merata. Untuk
mencegah agar ternak tidak merenggut tanaman yang sedang tumbuh kembali,
maka dipasang pagar kedua di belakang ternak. Pelaksanaan penggembalaan jalur
ini akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilaksanakan pada pastura yang
berproduksi tinggi (kuantitas dan kualitasnya).

Gambar 12. Penggembalaan jalur, dimana ternak terus berjalan teratur mengikuti jalannya
pagar. Pemanfaatan hijauan akan merata dan selekdi hijauan dapat ditekan.

C. Penggembalaan berpantang
Penggembalaan berpantang adalah suatu cara untuk mengistirahatkan pastura
sekaligus merupakan suatu upaya untuk mempersiapkan persediaan pakan, artinya
pada suatu saat pastura tidak digembalai ternak, pada saat produksi sudah tinggi
areal dipaksa dikeringkan sehingga tanaman kering. Areal pastura ini nantinya
digembalai ternak atau dipotong untuk disimpan dalam bentuk kering guna
mengantisipasi situasi kekurangan hijauan. Hijauan yang dipaksa kering di pastura

Menejemen Pastura 43
ini disebut dengan standing hay. Standing hay ini berbeda dengan rumput yang
sudah mengering karena tua, karena standing hay ini rumput dipaksa kering pada
saat kualitasnya tinggi dengan cara menghentikan proses biologis melalui
pengeringan lahan.
Dengan melakukan penggembalaan berpantang ini diharapkan tanaman menjadi
tegar saat tumbuh kembali nantinya, karena perakaran berkembang bebas tanpa ada
injakan ternak, sehingga produktifitas tanaman berikutnya menjadi tinggi.

Gambar 13. Pemotongan standing hay dan langsung dibuat ball untuk disimpan guna
persediaan pakan saat kekurangan hijauan.

Daftar Pustaka

Halls, L.K., R.H. hughes, R.L. Rummel and B.L. Southwel1964. Forage and Cattle
Management in Longleaf-Slaash Pine forest. Farmer’s Bulletin, 2199,
Washington,.

Jones, R.J. and R.L. Sandland, 1974. The Relation between Animal Gain and Stocking
Rate. J.Agric.Sci., 83, 335-52.

McIlroy, R.J. 1964.Tropical Grassland Husbandry. Oxford Univ. Press. London

Mott, G.O. 1960. Grassing pressure and the measurement of pasture production.
Proceedings 8th international Grassland Congress, Reading, pp. 606-11.

Susetyo, S, 1978. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk Produksi
Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Menejemen Pastura 44

You might also like