You are on page 1of 286

DEPARTEMEN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM


BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II SORONG
Jln. Jenderal Sudirman 40, SORONG, PAPUA
Telp. (0951) 321986

Kerjasama
BKSDA Papua II Sorong
dengan
The Nature Conservancy

BINTUNI, AGUSTUS 2005


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
PROPINSI IRIAN JAYA BARAT
2006-2030

Oleh:
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed N. Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Sergius Kosamah, SH

Editor
Prof. Dr. Frans Wanggai
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Dr. Ir. Lukman Yunus
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Desain cover dan Tata Letak


Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed N. Lense

Fotografi
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Peta Tematik
Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari)
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
PROVINSI IRIAN JAYA BARAT
2006-2030
Dr. Jamartin Sihite, dkk.

x, 266 hal; 21x30 cm

Penulis
Dr. Jamartin Sihite, dkk.

Terbitan Pertama, Agustus 2005

Editor
Prof. Dr. Frans Wanggai
Dr. Jamartin Sihite
Dr. Lukman Yunus
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Desain cover dan Tata Letak


Dr. Jamartin Sihite
Ir. Obed N. Lense

Fotografi
Dr. Jamartin Sihite
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Peta Tematik
Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari)
Ir. Obed Lense, M.Sc.

Penerbit:
The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas
(SEA CMPA)
(Jl. Pengembak No. 2 Sanur-Bali, Indonesia. Phone: (62-361) 287272 (hunting), Fax: (62-
361) 270737)

Bekerjasama dengan
UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI
Jl. G. Salju Amban Manokwari, Irian Jaya Barat PO Box 23 Manokwari
Phone : (0986) 211754
Fax : (0986) 211455

Hak Cipta pada TNC (The Nature Conservancy) dan Universitas Negeri Papua

ISBN: 979-97700-4-1
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II
Alamat: Jl. Jenderal Sudirman No. 40 Po. Box 1053 Sorong-Papua
Telp 0951-321926, Faks. 0951-334073, Email: ksda@sorong.wasantara.net.id

RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
TAHUN 2006 – 2030
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

RINGKASAN EKSEKUTIF

Cagar Alam Teluk Bintuni adalah salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bintuni yang
sebagian besar merupakan tipe hutan mangrove. Karena keunikan wilayahnya serta terdapatnya
beragam jenis flora dan fauna endemik Papua, maka pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan
perairan Papua, menunjuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai Kawasan Cagar Alam
dengan luas 124,850 Ha. Sejak Penunjukan, pengelolaan kawasan CATB berada di bawah Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong - Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari.
Kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada pengamanan kawasan sedangkan kegiatan yang
mengarah kepada pelestarian fungsi kawasan belum dilakukan.

Pada era desentralisasi sektor kehutanan sejalan dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi
Propinsi Papua serta implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis
masyarakat,memunculkan dilema baru bagi pengelolaan kawasan konservasi di daerah.
Tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin gencar bermunculan, baik ditinjau
dari segi tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat akan haknya terhadap kawasan hutan bahkan
juga kegiatan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan semakin tidak terkendali. Menyikapi
masalah tersebut, khusus bagi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), sebagai salah satu
kawasan konservasi yang strategis, berbatasan langsung dengan pusat kota dan merupakan
tempat dimana masyarakat kota Bintuni dan sekitarnya menggantungkan kehidupannya,
terutama dari hasil Perikanan seperti udang, ikan, dan kepiting.

Dalam upaya untuk mengelola Cagar Alam Teluk Bintuni yang lebih baik, The Nature
Conservancy (TNC) dalam hal ini Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA)
yang berkedudukan di Denpasar, Bali membentuk suatu Tim Penyusun yang bertugas menyusun
Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) yang terdiri dari unsur pengelola kawasan (BKSDA Papua
II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan organisasi non pemerintah serta didukung oleh
unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni. Tim ini dibentuk untuk membantu pemerintah
daerah dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II dalam merumuskan Rencana
Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara partisipatif yang mampu
mempertahankan dan melestarikan fungsi kawasan sesuai peruntukannya.

Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari adanya kebijakan pelaksanaan otonomi
daerah dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam proses
pembangunan bidang kehutanan. Tantangan ini, pada dasarnya merupakan wujud tuntutan
publik atas perlunya suatu program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang benar-

Ringkasan Eksekutif RI-1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

benar dapat dijalankan dan isinya merupakan kumpulan agenda dari aspirasi segenap pemangku
kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan.

Dokumen Rencana Pengelolaan ini bertujuan untuk mengakomodir berbagai aspirasi dari
stakeholder dan merumuskannya dalam rencana strategis dan rencana aksi. Disamping itu
penyusunan dokumen ini ditujukan untuk menciptakan salah satu instrumen pengelolaan yang
mampu memberikan landasan bagi perencanaan dan pengembangan kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh Pemerintah Kabupaten Bintuni. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan
dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan kawasan CATB yang akomodatif , demokratif ,
partisipatif dan bertanggung jawab.

Proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Kabupaten
Bintuni oleh Tim Penyusun dilakukan melalui serangkaian tahapan (1) Konsultasi, koordinasi, dan
sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni,
Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar
Kawasan CATB, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005; (2) Pertemuan Kampung (village
meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14 kampung/kelurahan yang berada di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam
rangka pengumpulan data SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode
akhir Maret s/d awal Mei 2005; (3) Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim
di dalam dan sekitar kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh
masyarakat di setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, di Bintuni, tanggal 1 Juni 2005; (4) Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana
Pengelolaan CATB yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2005, di Bintuni; (5) Kajian ilmiah
(scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
“reviewer”, sehingga dokumen yang dibuat dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; dan (5)
Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam,
Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa Manokwari, Kepala
Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni, dinas terkait (Dinas kehutanan
dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni, Koordinator Badan Monitoring, dan
masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan
sekitar Kawasan CATB.

Visi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni untuk tahun 2006 – 2030 adalah mewujudkan
“Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Lestari,Berkelanjutan dan Berdaya
Guna”. dapun skenario yang menjadi impian ataupun harapan para pemangku kepentingan dan

Ringkasan Eksekutif RI-2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

masyarakat kota Bintuni pada masa 25 tahun mendatang adalah “Pada Tahun 2030 Pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni Akan Berjalan Ideal Dan Optimal, Karena Kebijakan Pemerintah Yang
Akomodatif Dan Didukung Oleh Kelembagaan Pemangku Kepentingan Yang Demokratif.

Untuk menunjang terwujudnya visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, dalam dokumen ini
telah dirumuskan secara detai Rencana kegiatan pengelolaan yang difokuskan pada 7 (tujuh)
aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan,
Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung
Kegiatan Pengelolaan.

Dalam implementasi kegiatan Rencana pengelolaan Kawasan, akan dimonitor dan dievaluasi
oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang
bersifat independent. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru akan
muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa strategi-
strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu dievaluasi dan
dimodifikasi.

Selain itu, dalam dokumen ini juga telah disusun Rencana pembiayaan serta kemungkinan-
kemungkinan sumber dana yang bisa di gali dalam menunjang implementasi kegiatan Rencana
pengelolaan periode limatahunan dan duapuluh limatahunan.

Ringkasan Eksekutif RI-3


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

SAMBUTAN BUPATI

Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan salah satu dari beberapa kawasan konservasi yang
terletak di Kabupaten Teluk Bintuni. Cagar alam ini merupakan kebanggaan masyarakat
Kota Bintuni, sudah dikenal di dunia internasional dan juga tempat banyak penduduk
menggantungkan hidupnya. Upaya pengelolaan yang bertujuan untuk penyelamatan dan
pelestarian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan wujud dari tanggungjawab kita
bersama selaku umat ciptaan Tuhan terhadap anugerah yang diberikan kepada masyarakat
Teluk Bintuni.

Keberadaan kawasan konservasi di suatu daerah, mampu memberikan manfaat yang besar,
tidak hanya pada daerah dimana kawasan konservasi berada tetapi juga memberikan
manfaat kepada lingkungan global. Tim penyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni yang dibentuk oleh The Nature Conservancy (TNC), South East Asia
Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang terdiri dari unsur pengelola
kawasan (BKSDA Papua II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan didukung oleh unsur
Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni telah selesai menyusun rencana pengelolaan
dan ini merupakan suatu momentum yang baik dimana ada banyak pihak yang berjuang
bersama dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Perhatian yang besar dari masyarakat dan kerja keras Tim Penyusunan Rencana
Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni diperlihatkan dari antusiasme semua pemangku
kepentingan dalam mengikuti proses penyusunan, dimulai dari proses konsultasi publik baik
pertemuan kampung, diskusi intern dengan institusi terkait di daerah, dan lokakarya tingkat
Kabupaten merupakan bukti kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatan kawasan
ini. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menyambut baik hasil dokumen
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 25 tahunan yang telah dirumuskan dan
disusun oleh Tim secara bersama-sama dengan para pemangku kepentingan. Pemerintah
Kabupaten Teluk Bintuni tetap mengharapkan dukungan dari semua pihak, terutama segenap
masyarakat Teluk Bintuni dalam upaya impelementasinya. Pemerintah Kabupaten Teluk
Bintuni juga mengharapkan dengan adanya dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni, maka sinergitas dan kinerja para pemangku kepentingan dalam pengelolaan
maupun pengembangan kawasan dapat berjalan secara efektif, transparan dan bertanggung
jawab, sehingga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara
lestari, berkelanjutan dan berdaya guna dapat terlaksana.

Sehubungan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, secara khusus saya
meminta Pengelola Cagar Alam untuk dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
sekaligus pula melakukan koordinasi pelaksanaan berbagai kegiatan yang ada dalam

Sambutan Bupati SB-1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dokumen rencana kegiatan dimaksud bersama dengan Kepala Dinas dan Instansi terkait.
Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni secara umum juga saya minta untuk dapat mendukung
sepenuhnya upaya pelaksanaan kegiatan di lapangan. Terhadap hal-hal yang mungkin
muncul atau dijumpai di lapangan, termasuk kemungkinan konflik kepentingan, dalam atau
selama pelaksanaan kegiatan ini saya minta dengan sangat untuk dapat dipecahkan
bersama secara terbuka, partisipatif dan berpegang pada azas demokrasi.

Atas nama Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan atas segala upaya
dan kerja keras yang dilakukan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga, saya
sampaikan kepada lembaga pendukung kegiatan The Nature Conservancy (TNC), South
East Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang telah membantu dan
menfasilitasi proses penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Bintuni selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pula kepada
semua pihak baik instansi teknis terkait, dinas lainnya se-Kabupaten Teluk Bintuni, lembaga
pendidikan dan lembaga penelitian serta lembaga pelaksana teknis Departemen Kehutanan
di Kabupaten Teluk Bintuni yang telah membantu memberikan konstribusi pemikiran dan
berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Terima kasih dan penghargaan yang sama pula saya sampaikan kepada
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas partisipasinya dalam proses
penyusunan rencana pengelolaan ini.

Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu momentum
awal yang baik bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi di Tanah Papua,
secara khusus pelestarian dan perlidungan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni.
Namun demikian, untuk menambah arti dan nilai manfaat dokumen ini maka sekali lagi saya
mengajak semua para pemangku kepentingan dan segenap masyarakat Teluk Bintuni untuk
secara bersamasama mendukung implementasi kegiatan dalam dokumen program rencana
pengelolaan ini.

Akhirnya, hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan puji dan syukur, sehingga
kita boleh menikmati hidup yang baik hingga saat ini.

Bintuni, Agustus 2005

Sambutan Bupati SB-2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II

Perubahan arah kebijakan Departemen Kehutanan RI yang prioritasnya kegiatan lebih


dititikberatkan pada konservasi dan rehabilitasi kawasan merupakan suatu peluang yang
baikdalam upaya penyelamatan kawasan hutan di Papua. Namun demikian, pengelolaan
kawasan konservasi menjadi hal yang dilematis dan tidak konstruktif di Papua, apabila
diperhadapkan pada era desentralisasi pengelolaan hutan di daerah, perlibatan masyarakat
adat dan penetapan kawasan konervasi yang kurang mengakomodir berbagai kepentingan
masyarakat di masa lalu. Selain itu pula, tuntutan kepentingan akan kebutuhan dasar hidup
masyarakat di Papua secara khusus masyarakat yang bermukim di sekitar dan dalam
kawasan konservasi menjadi suatu tantangan yang harus segera dipecahkan bersama oleh
para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan di Tanah Papua.

Permasalahan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat,


erutama masyarakat yang berdiam di sekitar dan dalam kawasan konservasi di Papua
merupakan masalah krusial yang harus segera diselesaikan. Disamping itu, model
pengelolaan maupun instrumen kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan kawasan
konservasi selama ini di Papua kurang mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat ,
sehingga pengelolaan kawasan konervasi tidak dapat berjalan secara efektif, berkelanjutan
dan bermanfaat bagi masyarakat.

Upaya proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang digagasi oleh The Nature Conservancy (TNC) merupakan suatu langkah awal
yang bijak dan bukti nyata kepedulian para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan
Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya dalam upaya mewujudkan pengelolaan kawasan
konservasi di Papua yang partisipatif, transparan, demokratik dan bertanggung gugat. Upaya
ini merupakan salah satu bantuan yang sangat berharga bagi kami dalam upaya pengelolaan
kawasan konservasi di Papua, secara khusus dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Papua II Sorong. Menginggat keterbatasan sumber daya kami yang kurang
proposional dengan luas wilayah konservasi yang ada dalam wilayah pemangkuhan Balai
KSDA Papua II Sorong di Papua.

Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang
digagasi oleh Tim penyusun rencana pengelolaan kawasan CATB serta berkoordinasi
dengan Balai KSDA Papua II juga merupakan langkah yang sejalan dan sesuai dengan
program dan prosedural penetapan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Selain itu
pula, proses penyusunan yang melibatkan para pemangku kepentingan serta publik di
Kabupaten Teluk Bintuni memberikan makna yang penting dalam membangun dan merubah
paradigma kebijakan pengelolaan yang lebih akomodatiif, transparan dan demoktratik.
Sehingga, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Papua bersifat partisipatif yang

Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dapat mengakomodir semua aspirasi para pemangku kepentingan dalam kawasan. Dengan
demikian, implementasi program pengelolaan kawasan selanjutnya dapat berjalan lebih
efektif dan seinergis serta meminilisasi konflik yang selama ini terjadi.

Oleh sebab itu, Balai KSDA Papua II Sorong menyambut baik dan menyampaikan selamat
dan sukses atas diselesaikannya dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ini. Selanjutnya, disadari bahwa sumberdaya pada Balai KSDA Papua II masih
sangat terbatas, maka kontribusi dan dukungan para pemangku kepentingan serta publik
Manokwari masih sangat diharapkan juga dalam implementasi program selanjutnya.

Pada kesempatan ini pula, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Faslitasi Penyusunan
Rencana Pengelolaan CATB atas upaya dan kerja keras yang diberikan selama ini. Ucapan
terima kasih juga, kami sampaikan kepada Bupati Teluk Bintuni serta Pemerintah Kabupaten
Teluk Bintuni atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga
kami sampaikan kepada The Nature Conservancy atas segala dukungan dalam menfasilitasi
proses penyusunan dokumen selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian dokumen ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu juga kami
ucapkan banyak terimakasih.

Pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi di Tanah Papua, secara khusus pada
wilayah Kepala Burung Pulau Papua bukan semata-mata merupakan tanggungjawab Balai
KSDA Papua II selaku pemangku dan pengemban tugas pengelola kawasan, melainkan
merupakan tanggungjawab kita bersama segenap masyarakat Papua untuk melestarikan dan
mewariskan kekayaan alam yang unik dan maha kaya bagi generasi akan datang di tanah ini.
Akhirnya, segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan perlindungan, berkat dan anugerah yang tak ternilai harganya, sehingga
proses kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sorong, Agustus 2005

Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa, yang telah membantu
memberikan kekuatan, kesehatan dan menyertai serta melindungi kita, sehingga proses
penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) dapat diselesaikan dengan baik.

Dokumen ini dihasilkan melalui serangkaian tahapan kegiatan diskusi baik formal dan
informal yang dilakukan Tim Penyusun RPK Cagar Alam Teluk Bintuni, baik internal tim
berupa konsolidasi dan koordinasi yang dilakukan secara regular, maupun eksternal tim
antara berupa konsultasi publik dan field survei. Rangkaian tahapan proses yang dilakukan
Tim Penyusun RPK CATB secara umum terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, yaitu :

1. Penyusunan rencana kegiatan (work-plan) untuk keperluan internal Tim Penyusun RPK
Cagar Alam Teluk Bintuni, dilaksanakan di kantor TNC, Southeast Asia Center for Marine
Protected Areas (SEACMPA) Bali pada tgl 6-8 Maret 2005.

2. Penelusuran informasi-informasi yang pernah dilakukan di Cagar Alam Teluk Bintuni


bekerjasama dengan beberapa stakeholder seperti Universitas Negeri Papua, CRMP
Jakarta dan Mitra Pesisir Bintuni, Pemerintah Daerah Teluk Bintuni termasuk beberapa
Dinas terkait, BKSDA Papua I dan Resort KSDA Bintuni, BP Tangguh, TNC Bali, dan
beberapa LSM lokal di Manokwari, Bulan Pebruari – April 2005.

3. Konsultasi, koordinasi, dan sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk
Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni, Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Masyarakat
yang diwakili LMA Bintuni dan Lemasom, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005 .

4. Pertemuan Kampung (village meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14


kampung/kelurahan yang berada di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam rangka pengumpulan data
SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode akhir Maret s/d awal
Mei 2005.

5. Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh masyarakat di
setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, di
Bintuni, tanggal 1 Juni 2005.

6. Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana Pengelolaan CATB bersama


pemangku kepentingan terkait di Kabupaten Teluk Bintuni, dilaksanakan pada tanggal 2
Juni 2005, di Bintuni.

Kata Pengantar KP-1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

7. Kajian ilmiah (scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni oleh Dr. Sukristijono Sukardjo, DS.c, APU (Peneliti Mangrove, Puslitbang
Oseanologi-LIPI).

8. Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan
pada tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan
Konservasi Alam, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa
Manokwari, Kepala Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni,
dinas terkait (Dinas kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni,
Koordinator Badan Monitoring, dan masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh Ketua
LMA Bintuni dan Lemasom.

9. Pengesahan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
Dirjen PHKA, di Jakarta.

Dokumen ini memuat kondisi umum kawasan, kebijakan, analisis permasalahan, rencana
kegiatan, pembiayaan, pengorganisasian, dan monitoring dan evaluasi. Khusus untuk
rencana kegiatan, difokuskan pada 7 (tujuh) aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan,
Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/
Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan
Pengelolaan.

Dokumen Rencana Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan arahan
umum kegiatan yang diharapkan dapat di realisasikan oleh para pemangku kepentingan
dalam program pengelolaan kawasan CATB sesuai dengan kewenangan serta tugas pokok
dan fungsinya. Implementasi kegiatan pengelolaan selanjutnya, merupakan tugas pokok dan
fungsi serta kewenangan Balai KSDA Papua II, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan
para pemangku kepentingan dalam kawasan, bukan lagi menjadi tugas Tim Penyusun RPK
CATB. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan bukan merupakan tanggungjawab sepihak
pengelola kawasan dan pemerintah daerah, melainkan tanggungjawab bersama para
pemangku kepentingan dalam kawasan dan juga masyarakat Teluk Bintuni dalam
mendukung dan menyukseskan pelaksanaannya.

Dengan selesainya Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bupati Teluk Bintuni yang telah memberikan perhatian serius dan mendukung kami,
sehingga semua proses kegiatan dapat berjalan dengan baik.
2. Badan Perencana Daerah Kabupaten Teluk Bintuni beserta jajarannya atas bantuan dan
arahan selama proses penyusunan dokumen ini.
3. Kepala Balai KSDA Papua II atas dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan
kepada kami, sehingga koordinasi dan kerjasama dapat berjalan lancar dan sukses.

Kata Pengantar KP-2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

4. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas
(SEACMPA) Bali, atas dukungan, bantuan dan fasilitas, sehingga proses penyusunan
dokumen ini dapat direalisasikan dengan baik.
5. Universitas Negeri Papua Manokwari dan Universitas Trisakti Jakarta, atas bantuan
teknis dan informasi yang diberikan, sehingga penyusunan dokumen dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Teman-teman di Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS2AL) - Bogor atas
bantuan editing dan koreksian serta dukungan data-informasi yang diberikan
7. Teman di BP Indonesia khususnya Jalal, Piere dan Habel atas bantuan dan dukungan
yang diberikan
8. Kepada instansi teknis terkait dan dinas serta semua pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu di sini.
9. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya masyarakat yang bermukim di kampung-kampung
di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Semoga dokumen ini dapat menjadi acuan dan instrumen dasar bagi Balai KSDA Papua II
Sorong dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni sebagai upaya dalam pengembangan
program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, sehingga memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat Teluk Bintuni dan juga mewujudkan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari, berkelanjutan dan berdaya guna.

Mendama Tambe Jaga Tane Cagar Alam Teluk Bintuni

Bintuni, Agustus 2005

Tim Penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni,

Dr. Ir. Jamartin Sihite, MSi


Ir. Obed Lense, MSc
Ir. Retno Suratri, MSc
Ir. Chandra Gustiar, MSi
Sergius Kosamah, SH

Kata Pengantar KP-3


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI
Halaman
PETA SITUASI
RINGKASAN EKSEKUTIF
SAMBUTAN BUPATI KABUPATEN TELUK BINTUNI
SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... I-1
A. Latar Belakang...…………………………………………………………………….. I-1
B. Maksud dan Tujuan .. ……………………………………….………………………. I-5
C. Sasaran .... …………………………………………………………………………… I-6
C1. Perlindungan . ………………………………………………………………… I-6
C2. Konservasi... ……………………………………………………….…………. I-6
C3. Pendidikan.. …………………………………………………………..………. I-6
C4. Pemanfaatan Sumberdaya....……………………………………………….. I-7
C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan .....………………………………………. I-7
D. Ruang Lingkup................................................................................................... I-8
E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................................ I-8
F. Metode Pendekatan ... ……………………………………………………………… I-9
II. KEADAAN UMUM KAWASAN................................................................................. II-1
A. Risalah Kawasan ..………………………………………………………………….. II-1
A1. Informasi Umum Kawasan . ….……………………………………………… II-1
A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan ...…..…………………….………….. II-1
A.1.2. Letak dan Luas................... .……………………………….……….. II-2
A.1.3. Aksesibilitas.......................................................………….………. II-3
A2. Kondisi Fisik Kawasan....………………………………………….…………. II-4
A.2.1. Iklim.... ………….……………………………………………..………. II-4
A.2.2. Geologi...... ……………………………………………………..…….. II-5
A.2.3. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi ... ………………..…… II-5
A.2.4. Tanah... ………………………………………….……………….…… II-6
A3. Kondisi Biologi Kawasan . ..…………….……………….…………………… II-7
A.3.1. Ekosistem .. ………………………………………………………….. II-7
A.3.1.1. Hutan Hujan Dataran Rendah .... ……………………….. II-7
A.3.1.2. Hutan Mangrove .. ………………………………………… II-9
A.3.2. Species ...…………………………………….………………………. II-15
A.3.2.1. Flora …………………………….…………………………. II-16
A.3.2.2. Fauna .........………….….………………………………… II-17
B. Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya. …………...…………………………. II-25
B.1. Penduduk……………………………………………………………………. .. II-25
B.2. Mata Pencaharian…………………………………………………………..... II-28

Daftar Isi i
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI
Halaman
B.3. Pendidikan dan Kesehatan .......................………………………………… II-30
B.3.1. Pendidikan …………………………………….………………………. II-30
B.3.2. Kesehatan …………………………………….………………………. II-31
B.4. Agama .. ...........................…………………………………………………… II-33
B.5. Kearifan Tradisional Masyarakat.. ....................…………………………… II-34
B.6. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ..............………………………………… II-34
B.6.1. Pandangan Masyarakat Adat terhadap SDA (Tanah & Hutan).. .. II-34
B.6.2. Pola Pemanfaatan SDA... ...............……………………………..… II-35
B.6.3. Pemanfaatan SDA di Kawasan CATB........................................ . II-37
B.6.3.1. Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut ................. II-38
B.6.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan ............................................... II-40
B.6.3.3. Tempat Berburu............................................................. II-44
B.6.3.4. Tempat Berladang ......................................................... II-45
B.6.4. Kepemilikan Lahan .....……….……………………………………… II-46
B.7. Sarana dan Prasarana Transportasi……………………………………….. II-48
B.8. Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.............. II-50
C. Permasalahan.................................................................................................... II-54
C1. Fisik..............................…………………………………………………….... II-55
C.1.1. Letak Kawasan .. ..............................………………………………. II-55
C.1.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... .........………………………. II-55
C.1.3. Infrastruktur..................……………………………………………… II-56
C2. Biologi………………………………………………................................... .. II-56
C3. Sosial Ekonomi Budaya... ..............…………………………………………. II-57
C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang tidak Ramah Lingkungan .. II-57
C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Burung ....…………………. II-58
C.3.3. Adanya Perkampungan di Dalam Kawasan .. …………………….. II-59
C.3.4. Tumpang Tindih Kawasan dengan Penggunaan Lahan Lain .. … II-60
C.3.5. Adanya Tempat Penimbunan kayu di Dalam Kawasan .. ……….. II-60
D. Faktor Penghambat ........................……………………………………………….. II-61
D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni.................................. II-61
D.2. Kapasitas Pengelola Kawasan.. ...………………………………………….. II-62
D.3. Peran Masyarakat (Community Involvement) .. ....................................... II-62
III. KEBIJAKAN ............................................................................................................ III-1
A. Dasar Hukum.. ………………………………………………………………………. III-1
B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia ...……………………………….. III-2
B.1. BAPI 1993……………………………………………………………………… III-2
B.2. IBSAP 2003......................……………………………………..…………….. III-4
C. Sektor Kehutanan..................……………………………………………………… III-5
C.1. Pengelolaan Hutan Lestari......................................................……..……. III-5
C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA…………………………………….……... III-5
C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam .................... III-15
C.4. Pengelolaan Cagar Alam .......................................... …………………….. III-20
C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove . ............... III-23

Daftar Isi ii
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI
Halaman
D. Pengembangan Wilayah …………………………………………………………… III-26
D.1. Tinjauan Panataan Ruang Kabupaten Teluk Bintuni . …………………… III-26
D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam Dengan Daerah Sekitarnya..... III-28
IV. ANALISIS PERMASALAHAN ................................................................................. IV-1
A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan .……………………..…………………….…….. IV-1
A.1. Permasalahan …………..…………………………………..……………….. IV-1
A.1.1. Aspek Pengelolaan...... ………………….………………………….. IV-1
A.1.2. Aspek Kebijakan .............. ……………………….……………..…… IV-6
A.2. Alternatif Pemecahan Masalah . ……………………….……………..…….. IV-6
B. Aspek Biologi Kawasan ..................................................................................... IV-8
B.1. Permasalahan .. ………………………………………………………………. IV-8
B.1.1. Ekosistem ....... …………………………………………….…………. IV-8
B.1.2. Flora dan Fauna ....................………………………………………. IV-17
B.2. Alternatif Pemecahan Masalah . .....................…………………………….. IV-21
C. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya................................................................... IV-26
C.1. Permasalahan .......................……………………………………………….. IV-26
C.1.1 . Rendahnya partsipasi Masyarakat ..... ...........……………………. IV-26
C.1.2 . Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam .... .............………………. IV-26
C.2. Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................ IV-29
D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................. IV-34
D.1. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik............................. IV-34
D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik ............................. IV-35
D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik.................................... IV-35
D.4. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Otoritik .................................... IV-36
E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA) .................... IV-36
E.1. Identifikasi dan Penilaian faktor Internal dan Eksternal ........................... IV-37
E.2. Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT .................................................. IV-39
F. Perumusan Strategi Pengelolaan ..................................................................... IV-40
V. RENCANA KEGIATAN ........................................................................................... V-1
A. Umum…………………………….…………………………………………………... V-1
B. Rencana Kegiatan Pengelolaan …………………………………………………... V-2
B.1. Pemantapan Kawasan ……………………………………………………… V-2
B.2. Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan……………………………. V-3
B.3. Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati............ V-6
B.4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan............................................... V-10
B.5. Pendukung/Kelembagaan……………………………………...................... V-12
B.6. Pemanfaatan................................ ……………………………..…………… V-13
C. Sarana dan Prasarana……………………………………………………………… V-17
C.1. Sarana Prasarana Pengelolaan . …………………………………………… V-17
C.2. Sarana Prasarana Pendidikan .. ……………………………………………. V-18
C.3. Sarana Prasarana Penelitian .………………………………………………. V-19

Daftar Isi iii


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI
Halaman
VI. PEMBIAYAAN ......................................................................................................... VI-1
A. Sumber Dana. ……………………………………………………………………….. VI-1
B. Rincian Biaya………………………………………………………………………. .. VI-2
VII. PENGORGANISASIAN ........................................................................................... VII-1
A. Pembinaan SDM, Kelembagaan dan Koordinasi ....…………………………….. VII-1
A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM ......………………………………… VII-1
A.2. Kebijakan Pengelolaan...…………………………………………………….. VII-2
A.3. Koordinasi dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni.....……. VII-3
A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain …………………………………………… VII-3
B. Tanggungjawab Administrasi ……………………………………………………… VII-6
C. Penyusunan Staf .…………………………………………………………………… VII-8
VIII.MONITORING DAN EVALUASI ............................................................................. VIII-1
A. Pelaksana Kegiatan.. ……………………………………………………………….. VIII-1
A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………….. VIII-1
A2. Forum Komunikasi Independen . …………………………………………… VIII-2
A.2.1. Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB.…….….. ........... ... VIII-2
A.2.2 . Tugas dan Tanggungjawab ...... ……………………………………. VIII-6
A.2.3. Sumberdaya Pendukung ......……………………………………….. VIII-7
B. Rencana Waktu Pemantauan dan Evaluasi.. ……………………………………. VIII-7
B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni . ……………………………. VIII-7
B.2. Forum Komunikasi Independen ...................... ……………………………. VIII-8
B.2.1. Lingkup Kegiatan Badan Forum Komunikasi Independen . ......... VIII-8
B.2.2. Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen....................... VIII-9
IX. PENUTUP ................................................................................................................ IX-1
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Daftar Isi iv
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman

I-1 Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) ................................... I-9
II-1 Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………………… II-4
II-2 Jenis tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni ................................................................................................................... II-6
II-3 Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16
II-4 Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16
II-5 Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan dataran Rendah di
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.........……………………………………………. II-17
II-6 Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di
dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................ II-18
II-7 Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... .............. ……………………… II-20
II-8 Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta
berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni .……………………………………………………………. II-22
II-9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni ..................................................................................................…… II-26
II-10 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di sekitar Cagar Aalam
Teluk Bintuni..……................................................................................................ II-28
II-11 Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni .......…….................................………………………………………… II-29
II-12 Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002... . II-30
II-13 Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 .... II-31
II-14 Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni tahun 2005..........................…………………………………………………… II-32
II-15 Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
berdasarkan agama.. .....……………………………………………………………… II-33
II-16 Hasil perikanan yang dihasilkan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) beserta harganya. ................................................................................... II-40
II-17 Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-41
II-18 Pemanfaatan komponen flora dan fauna pada ekosistem mangrove di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................... II-43
II-19 Sarana dan jenis transportasi kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik
dengan saran transportasi sungai/laut ........ …......………………………………… II-49
II-20 Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan
pelayaran swasta lain ........ ………………….......…………………………………… II-50
II-21 Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove........................................ II-51
II-22 Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-52
II-23 Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB............................ ..... II-53

Daftar Isi v
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman

IV-1 Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan
Juli tahun 2005 ………………………………………………………………………… IV-3
IV-2 Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
sampai dengan Juli tahun 2005....…………………………………………………… IV-4
IV-3 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………………………………………….. IV-7
IV-4 Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan
dataran rendah di kawasanCagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ........ ...……… IV-9
IV-5 Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan
dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan
tahun 2005 ............................................................................................................ IV-10
IV-6 Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan
ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ...... ..… IV-14
IV-7 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem
hutan mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................... IV-22
IV-8 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ....... ……………………… IV-23
IV-9 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni ... ………………………………………………………...... IV-24
IV-10 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ IV-33
IV-11 Matriks hasil analisis SWOT . ……………………………………………………….... IV-40
V-1 Prioritas rencana kegiatan pengelolaan kawasan selama dua puluh lima tahun
(2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni...............................................…………… V-1
V-2 Rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan..................................................... V-3
V-3 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan.................................................... V-5
V-4 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
mengembangkan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati........................... V-9
V-5 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek perlindungan dan pengamanan
kawasan.. ............................................................................................................. V-12
V-6 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pendukung/kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................. V-13
V-7 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pemanfaatan sumberdaya alam
di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................. V-16
VI-1 Rencana alokasi biaya pengelolaan jangka pendek kawasan CATB (per tahun)
pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ........................................................ VI-2
VI-2 Rencana alokasi biaya pengelolaan kawasan CATB jangka panjang
(lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030)............................... VI-9
VI-3 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka pendek
(per tahun) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ...................................... VI-16
VI-4 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka panjang
(per tahun) pada periode 25 tahun (2006-2030) .................................................. VI-19

Daftar Isi vi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman

VII-1 Kondisi staf pengelola cagar alam dan rencana pemenuhan staf berserta
rencana pelatihan ................................................................................................. VII-9
VII-2 Rencana kebutuhan biaya pemenuhan staf dan rencana pelatihan di Cagar
Alam Teluk Bintuni................................................................................................ VII-10
VIII-1 Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa........ VIII-3
VIII-2 Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa .. VIII-4
VIII-3 Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan .......... ………...…………… VIII-8

Daftar Isi vii


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman

I-1 Cagar Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………… I-1


I-2 Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni………………………………………. I-2
I-3 Abrasi di Hutan Mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni.......………………………….. I-3
I-4 Kerangka Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
(General Framework)....................…………………………………………………… I-12
I-5 Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.…. I-14
II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Diusulkan WWF/IUCN/PHPA 1983.... II-1
II-2 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata Batas Sub Biphut Manokwari
Tahun 1999 .......................................................................................................... II-2
II-3 Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni 2005 ..........................................……………………………………… II-7
II-4 Tipe hutan hujan dataran rendah primer di belakang formasi hutan mangrove
S. Simeri Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................... II-8
II-5 Struktur Hutan Dataran Rendah Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............. II-8
II-6 Tipe hutan hujan dataran rendah sekunder di dekat kampung Mamuranu,
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-9
II-7 Vegetasi mangrove Zona Avicenia-Sonneratia di P. Mania, Cagar Alam Teluk
Bintuni ................................................................................................................... II-9
II-8 Vegetasi mangrove Zona Rhizophora-Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10
II-9 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di S. Yensei Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10
II-10 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) campuran pada Zona Pasang Surut di
S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................................. II-10
II-11 Pengukuran dan pengambilan titik koordinat plot pengamatan vegetasi
mangrove di P. Kaboi di kawasan CATB.............................................................. II-12
II-12 Vegetasi Mangrove S. Simeri di kawasan CATB ............................................... II-12
II-13 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Tanjung Pitaboni, Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-14
II-14 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Sungai Sumberi Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-14
II-15 Jenis Anggrek (Bulbophylum sp.) yang bisa ditemukan di hutan dataran rendah
dan magrove di Kawasan CATB .... ………………………………………………… II-17
II-16 Jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditemukan di kawasan CATB .. II-18
II-17 Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni ................................................................................................................... II-19
II-18 Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang memiliki nilai ekonomis yang dapat
ditemukan di kawasan CATB ........................................................................…… II-24
II-19 Lokasi Pemukiman penduduk K. Pasamai …………………………………………. II-26

Daftar Isi viii


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman

II-20 Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni 2005....................................................................................... II-27
II-21 Salah seorang anggota masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah melaut . II-28
II-22 Penangkapan ikan dengan menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan
masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ………......………………. II-38
II-23 Jenis siput bor Bactronophorus sp. yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar
kawasan CATB .................................................................................................... II-38
II-24 Jenis kerang Polymesoda coaxan yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar
kawasan CATB ..................................................................................................... II-38
II-25 Jenis kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di
dalam dan sekitar kawasan CATB ....……………………………………………….. II-39
II-26 Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai
rumah/para-para, dan (c) anyaman keranjang …………………………………….. II-40
II-27 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni..................................................................... . II-42
II-28 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-42
II-29 Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya
berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................... II-42
II-30 Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar
kampung Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni........................................ II-44
II-31 Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor .. II-45
II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang
berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................................. II-45
II-33 Peta kepemilikan lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah
hukum adat .......................................................................................................... II-47
II-34 Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni
yang melayani penerbangan ke dan dari kota Bintuni ......................................... II-48
II-35 Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi
Manokwari-Bintuni PP .......................................................................................... II-48
II-36 Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di
dalam dan sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ....................................................... II-49
II-37 Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat
Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................. II-55
II-38 Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/
Wasian di dalam Kawasan CTAB.….......…………………………………………… II-56
II-39 Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB………………………. II-59
II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam
kawasan CTAB ..................................................................................................... II-59
II-41 Diskusi dengan masyarakat Banjar Ausoy tentang tumpang tindih LU 2 dengan
Batas kawasan CATB........................................................................................... II-60

Daftar Isi ix
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman

III-1 Rencana Pola Pengembangan Kota Bintuni sebagai Ibu Kota kabupaten
Teluk Bintuni . ....................................................................................................... III-27
IV-1 Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua
dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ………………………… .. IV-2
IV-2 Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-3
IV-3 Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai
logyard di S. Sumberi di kawasan CATB.............................................................. IV-11
IV-4 Kebun masyarakat lokal di Kampung Mamuranu di dalam kawasan CATB ...... IV-11
IV-5 Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem mangrove di
S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................ IV-12
IV-6 Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang
pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... IV-14
IV-7 Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... IV-15
IV-8 Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamuranu, CATB IV-17
IV-9 Jenis burung mambruk (Goura cristata) yang telah dilindungi undang-undang
yang populasinya terancam.................................................................................. IV-18
IV-10 Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindungi
undang-undang yang populasinya terancam .... ................................................. IV-19
IV-11 Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung
undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah
Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-19
IV-12 Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindungi
undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... IV-19
IV-13 Diskusi bersama masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam rangka
penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............ IV-29
IV-14 Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1
dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan
.................................................................................................... ......................... IV-30
VI-1 Alur pengusulan pelaksanaan kegiatan dan implementasi kegiatan.................... VI-1
VII-1 Struktur arus informasi dari tahapan pelaksanaan pengelolaan di Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... VII-2
VII-2 Struktur sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam.............................................. VII-6
VII-3 Struktur organisasi pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................... VII-7
VIII-1 Mekanisme kerja Forum Komunikasi Independen ............................................... VIII-9

Daftar Isi x
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman

1 Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen ........................................... L-2


2 Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil dicatat
oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo .................. L-10
3 Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000)
berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah,
Babo .......................................................................................................................... L-10
4 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar
Alam Teluk Bintuni ................................................................................................... L-11
5 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................................................................... L-11
6 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni L-11
7 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni ... L-12
8 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................ ................................................... L-12
9 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam
Teluk Bintuni ...................................................... ..................................................... L-12
10 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan
Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam
Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha) .................................................................. L-13
11 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni .. L-13
12 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar
Alam Teluk Bintuni .................................................................................................. L-14
13 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan
Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni
(20 m x 230 m = 0,46 ha) ........................................................................................ L-14
14 Rangkuman Hasil Workshop Tingkat Kabupaten Penyusunan Rencana Pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni 2005 ……………………………………….. ...................... L-15
15 Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature Reserve
Management Plan……………………………………………………………………….. L-20
16 A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the
traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni Bay
Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni ………………………….. L-21
17 Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan Kawasan
CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005) ………………………………………………… L-23
18 Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030……….. .. L-25

Daftar Isi xi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengalaman ketika krisis moneter memberikan pengalaman yang sangat berharga. Krisis ini
berdampak tidak hanya pada sistem perekonomian tetapi juga pada sistem lingkungan
(ekologi) nasional. Kondisi krisis menyebabkan upaya pemenuhan kepentingan ekonomi
melupakan aspek lingkungan. Pada banyak daerah dapat dijumpai terjadinya eksploitasi
sumberdaya alam yang mengabaikan kelayakan ekologis dan keberadaan kawasan lindung.
Kondisi ini seyogyanya menyadarkan bangsa Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Salah
satu upaya yang perlu dilaksanakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya yang
menyeluruh adalah melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat yang
mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan berada pada posisi yang seimbang.

Wilayah pesisir Indonesia, yang terdiri dari


tiga ekosistem utama, yaitu mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun,
Keberadaan ketiga ekoistem tersebut
sangat vital bagi produktivitas perairan dan
perikanan. Dari ketiga ekosistem pesisir
tersebut, ekosistem mangrove mempunyai
peran lebih menonjol. Luas mangrove di
Indonesia menyumbang 23,50% dari total

Gambar I-1. Cagar Alam Teluk Bintuni luas mangrove di dunia, yaitu kurang lebih
9,6 juta ha yang berada dalam wilayah
administrasi kawasan hutan dan non-kawasan hutan (Spalding et al., 1997). Hasil-hasil
penelitian juga telah menngkatkan pemahaman tentang nilai, fungsi, dan atribut ekosistem
mangrove. Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, biodiversitas mangrove dan
konservasinya telah menjadi perhatian dunia. Pada waktu yang sama, habitat kawasan
pesisir di setiap pulau-pulau di Indonesia berada dalam tekanan yang berat sebagai akibat
pertumbuhan penduduk dan pembangunan.

Skala dampak manusia pada eksositem mangrove di Indonesia telah secara dramatis selama
dekade terakhir memperlihatkan ancaman serius. Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk
Jakarta, misalnya, telah mengalami kerusakan yang melewati toleransi daya dukung
lingkungan, seperti eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang yang akan
menghilangkan fungsinya sebagai perlindungan alami terhadap badai dan gelombang,
tangkap lebih (over fishing) terhadap sumberdaya ikan yang akan mengakibatkan
musnahnya berbagai jenis ikan ekonomis penting, serta pencemaran perairan pesisir yang

Pendahuluan I-1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

akan mengurangi produksi ikan dengan merusak tempat pemijahan dan habitat yang bernilai
lainnya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).

Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi penyambung darat dan
laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi,
gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang
merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan
mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari
makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai.
Menurut Kusmana (2002) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan
mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan
lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4)
melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan
dan pelatihan.

Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat
bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya
semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih
perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api
yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia
bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya
(Noor et al. 1999).

Gambar I-2. Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni

Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat
diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di

Pendahuluan I-2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik
yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan
menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan
pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan
pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat
berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu
seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang
berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam Suhaeb, 1999).

Ekosistem mangrove menyediakan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak bagi
satwa liar, bahkan beberapa diantaranya termasuk kedalam jenis yang endemik atau
keberadaannya telah langka seperti harimau sumatra (Pantera tigris sumatranensis),
bekantan (Nasalis larvatus), serta beberapa jenis berang-berang (otters) (Noor 1995).
Produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah
perikanan. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus
hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar et. al., 1992).

Masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove juga mempunyai ketergantungan sangat


besar terhadap ekosistem mangrove tersebut, karena mereka dapat berperan sebagai
perusak ataupun penjaga hutan mangrove. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat
memperbaiki dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan pengelolaan yang baik agar
fungsi ganda dari hutan mangrove dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan
secara optimal.

Indonesia mempunyai areal hutan mangrove yang sangat besar, mencapai 4.152.000 Ha,
tetapi menurut Spalding (1997) dalam Noor dkk (1999) luas ini sudah mengalami penyusutan
sampai 40% terutama pada periode 1990-1999. Menipisnya areal mangrove di kawasan
pesisir ditunjukkan oleh luasan mangrove yang mengalami kerusakan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
pada Tahun 1997 dari total hutan mangrove 8,7
juta Ha sebesar 5,9 juta Ha telah mengalami
kerusakan dan hanya 2,8 juta Ha yang
kondisinya masih baik. Hal ini terjadi antara lain
diakibatkan oleh: kegiatan konversi mangrove
menjadi peruntukkan lain, terutama disebabkan
oleh tekanan penduduk untuk pemukiman,
lahan tambak, lahan pertanian, tempat Gambar I-3. Abrasi di Hutan Mangrove Cagar
Alam Teluk Bintuni
pendaratan kapal, serta bangunan lainnya. Dari

Pendahuluan I-3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

isu pokok lingkungan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hutan mangrove
sebagai ekosistem di kawasan pesisir telah mengalami kerusakan, penurunan luasan dan
mutu habitat sebesar 68 %.

Sejalan dengan semakin menipisnya mangrove. laju abrasi-erosi di kawasan pesisir


menunjukkan kecenderungan yang semakin tinggi. Terjadinya proses abrasi-erosi ini
diindikasikan oleh kenyataan yang menunjukkan garis pantai di beberapa tempat seperti di
daerah Kalimantan Barat dan Kabupaten Rembang hampir menyentuh badan jalan, merusak
areal kebun kelapa penduduk dan lahan pertanian lainnya. Kerusakan pesisir diperkirakan
mempunyai besaran dampak lebih dari 80 %. dimana abrasi sudah berjarak sekitar 3-5 m
dari posisi jarak lima tahun yang lalu (sekitar 30- 40 m).

Pulau Irian/Papua merupakan pulau dengan keanekaragaman hayati yang cukup besar.
Pulau ini memiliki 5-7% kekayaan hayati (biodiversity) dunia. Ini bisa dipahami karena secara
geografis pulau Irian mempunyai variasi yang luas, mulai dari gunung yang diselimuti es,
vegetasi pegunungan, dataran rendah sampai hutan rawa. Di Irian juga bisa dijumpai 14
ecoregion daratan dan 5 ecoregion air. Dari 19 ecoregion ini maka di dalam 8 ecoregion yang
tercatat dalam WWF Global dapat dijumpai keberadaan 200 habitat.

Di dalam kawasan Teluk Bintuni yang merupakan ecoregion #129 terdapat kawasan
mangrove yang cukup luas bahkan merupakan kawasan mangrove terbesar di dunia.
Analisis citra satelit TNC (2003) menunjukkan bahwa di Teluk Bintuni masih ada hutan
mangrove seluas 435.168 Ha dan merupakan luasan mangrove terbesar yang berada pada
satu kawasan di Indonesia. Penelitian Ruitenbeek (1992) menunjukkan bahwa hutan
mangrove di Teluk Bintuni mendukung keberadaan sejumlah industri dan secara ekonomi
cukup besar. Dari sektor perikanan dihasilkan US$ 35 juta per tahun, kayu chips US $ 1,5
juta dan perikanan artisanal US $ 10 juta per tahun.

Cagar Alam di Teluk Bintuni diusulkan untuk pertama sekali oleh WWF pada permulaan
tahun 1980, dengan total luas 450.000 Ha (Petocz, 1983). Usulan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan penetapan oleh Departemen Pertanian RI dengan SK Mentan No.
182/Kpts/UM/II/1982 dengan luasan Cagar Alam 300.000 Ha. Pada tahun 1991 PHKA/AWB
merevisi luasan dengan mengusulkan luas Cagar Alam ini menjadi 260.000 Ha (Zuwendra,
dkk, 1991). Pelaksanaan tata batas kawasan pada tahun 2000 oleh Biphut Manokwari
menetapkan luasan akhir dari kawasan adalah 124.850 Ha yang diperkuat dengan SK
Menhut No. 891/Kpts-II/1999. Pada saat yang bersamaan, perkembangan ekonomi di Teluk
Bintuni bergerak maju. Industri udang, woodchips dan LNG serta penetapan kabupaten baru
mengharuskan dibangunnya banyak infrastruktur dan baik langsung maupun tidak langsung
akan menyebabkan dampak pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Sampai saat ini rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni belum tersusun. Kawasan
saat ini dikepalai oleh Kepala Ressort dan hanya memiliki jagawana dengan fasilitas

Pendahuluan I-4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pendukung terbatas untuk melakukan pengawasan. Ketidaktersediaan rencana pengelolaan


menyebabkan aktivitas pengelolaan di Cagar Alam menjadi tidak terencana bahkan hampir
tidak ada. Perkembangan menjadi kabupaten baru menyebabkan pemerintah kabupaten
membutuhkan adanya pengelolaan sumberdaya alam yang baik. USAID dan CRMP/Mitra
Pesisir telah menyusun rencana pengelolaan untuk kawasan pesisir Teluk Bintuni, dimana
dokumen ini juga digunakan sebagai acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan kawasan
konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni. Disamping itu, dalam strategi pembangunan Teluk
Bintuni, pelibatan dukungan di luar pemerintahan menjadi perhatian penting bagi
pembangunan Teluk Bintuni. UNDP dan BP sudah terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam dan pembangunan kapasitas kelembagaan di Pemerintahan.

Khusus di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pernah dilakukan beberapa survey dan
penelitian khususnya pada kawasan ekosistem mangrove dan dapat digunakan sebagai
informasi ekologis daerah Cagar Alam. Survei ini menunjukkan bahwa mangrove di Cagar
Alam Teluk Bintuni tergolong kepada sistem yang relatif tidak kompleks – hanya terdapat 20
spesies tanaman mangrove, dibandingkan dengan hutan dataran rendah di sekitarnya yang
mengandung 1200 spesies tanaman. Tetapi, ekosistem mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni
mempunyai peran ekonomi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi kawasan Teluk
Bintuni. Ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya perikanan dari kawasan,
pengambilan kayu bakar dan bahan bangunan rumah, adanya sedimentasi akibat
pengelolaan kawasan hulu yang kurang baik menjadi ancaman bagi keberadaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Keberadaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang ada masih relatif
belum efektif dan efisien. Diharapkan adanya rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang baik akan memudahkan pengawasan bersama antara BKSDA Papua II dengan
pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni.

B Maksud dan Tujuan

Tujuan pengelolan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah untuk melestarikan habitat hutan
mangrove, hutan nipah dan pesisir di dalam kawasan untuk :

1. Menjamin perlindungan bagi kehidupan biota pesisir dan perairan, serta melindungi satwa
langka,

2. Menjamin keberlanjutan sumberdaya alam bagi penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,


pemanfaatan terbatas oleh masyarakat setempat dan pengembangan pariwisata alam.

3. Menyusun suatu struktur pengelolaan bersama yang lebih mandiri dan kapasitas
memadai.

4. Menerapkan zona pemanfaatan tradisional dengan memberikan hak penangkapan


sumberdaya perikanan di dalam kawasan khusus bagi penduduk kawasan.

Pendahuluan I-5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

C Sasaran

Sararan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tercapainya pelestarian dan
perlindungan keanekaragaman hayati di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni melalui
pola pengelolaan komprehensif yang efisien tetapi berdayaguna (efektif), sehingga mampu
menjamin keberadaan biota langka dan endemik, serta menjamin berlangsungnya
pemanfaatan potensi secara berlanjut (sustainable use) guna mendorong pembangunan
ekonomi daerah.

Secara umum sasaran pengelolaan meliputi aspek (i) perlindungan, (ii) konservasi, (iii)
pendidikan, (iv) pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
serta (v) peningkatan sistem pengelolaan.

C1. Perlindungan

x Pengukuhan hukum atas Batas kawasan baik di darat/Sungai dan laut.

x Penerapan suatu sistem zonasi di lapangan Cagar Alam Teluk Bintuni, yang
melindungi semua daerah yang memiliki nilai biologi tinggi.

x Penerapan sistem pengawasan yang efektif oleh staf jagawana Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk menegakkan peraturan.

x Peraturan Cagar Alam Teluk Bintuni yang jelas, dapat diterapkan, dan menjamin
perlindungan sumberdaya alam dan menghormati pemanfaatan tradisional.

x Perlindungan dan menjaga fungsi tempat pemijahan ikan dan biota perairan.

x Perlindungan dan pelestarian fauna dan flora kawasan pada habitat alamnya.

x Kegiatan pemanenan terbatas yang tidak mengancam populasi jenis manapun di


dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

C2. Konservasi

x Flora dan fauna kawasan dilestarikan pada ekosistem alamnya.

x Melakukan intervensi pengelolaan yang efektif bila terdapat spesies atau ekosistem
yang terancam.

x Pemeliharaan sebaik-baiknya rute-rute migrasi satwa di dalam kawasan.

x Pengembangan dan penerapan secara efektif sistem pemantauan dan evaluasi.

x Rehabilitasi atau pemulihan daerah yang mengalami degradasi lingkungan.

C3. Pendidikan

x Mengembangkan fasilitas dan infrastruktur untuk pendidikan dan penelitian tentang


konservasi sumberdaya alam di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Pendahuluan I-6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat sekitar kawasan Cagar


Alam Teluk Bintuni terhadap kelestarian kawasan.

x Peningkatan tingkat ketrampilan masyarakat setempat untuk memberikan


perlindungan komunitas terhadap kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

C4. Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan dan Berburu

x Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan satwa buru oleh masyarakat secara


tradisional.

x Perlindungan tempat pemijahan ikan terutama yang ada di dalam kawasan


Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Mengembangkan kearifan tradisional yang mendukung pemanfaatan


berkelanjutan sumberdaya perikanan dan satwa buru

Penelitian

x Penyusunan kesepakatan tentang hak kepemilikan intelektual khususnya bagi


kearifan tradisional.

x Pelaksanaan suatu rencana pemantauan dan inventarisasi biologi untuk habitat


di Cagar Alam Teluk Bintuni, terutama bagi habitat yang rentan dan spesies yang
terancam punah.

x Penyusunan suatu rencana penelitian menyeluruh dan dilaksanakan


bekerjasama dengan mitra mitra ilmiah terutama untuk menangani isu-isu penting
bagi kawasan.

C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan

x Pengembangan dan penerapan sistem pengelolaan yang berkelanjutan untuk Cagar


Alam Teluk Bintuni.

x Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia khususnya yang terlibat langsung


dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Peningkatan sarana dan prasarana Cagar Alam.

x Peningkatan partisipasi stakeholder lokal secara positif untuk mendukung


pengelolaan kawasan.

x Pelatihan dalam meningkatkan ketrampilan petugas khususnya jagawana (ranger)


Cagar Alam Teluk Bintuni agar mampu mengawasi dan megelola Cagar Alam Teluk
Bintuni secara lebih mandiri.

Pendahuluan I-7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

D. Ruang Lingkup

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni terdiri dari Rencana Pengelolaan jangka
Panjang (25 Tahun) dan Rencana Jangka Pendek (5 Tahun Pertama). Rencana tersebut
meliputi bahasan kebijakan, analisis masalah, rincian kegiatan dan pentahapan kegiatan baik
untuk pembanggunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan
pengamanan hutan, koordinasi, penelitian dan pendidikan.

E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni

Konsep pengelolaan kawasan perlu mempunyai tujuan ideal. Untuk itu diperlukan adanya
visi dan misi, dimana konsep ini akan diperjuangkan oleh pengelola. Pusat kepedulian atau
visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai Tahun 2030 adalah: TERWUJUDNYA
PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SESUAI FUNGSINYA
SECARA LESTARI, BERKELANJUTAN DAN BERDAYA GUNA. Visi atau pusat kepedulian
tersebut hanya akan terwujud apabila semua stakeholder membangun komitmen bersama
yang tercermin dalam kepedulian untuk bertindak melestarikan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni serta terbentuknya kesadaran publik secara luas di seluruh wilayah Kabupaten Teluk
Bintuni.

Misi merupakan gambaran deklaratif tentang tujuan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga,
organisasi atau kegiatan. Berdasarkan beberapa isu pengelolaan seperti yang dijabarkan
pada Bab selanjutnya, maka misi yang diemban dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk periode 25 tahun mendatang adalah:

1. Meningkatkan database dan sistem informasi yang memadai.

2. Meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat


menurunkan kualitas kawasan.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan tentang


pentingnya keberadaan Kawasan sebagai system penyanggah kehidupan.

4. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di di dalam dan sekitar Kawasan


melalui kegiatan pemberdayaan.

5. Menciptakan keutuhan dan kualitas Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .

6. Meningkatkan kinerja dan kemampuan pengelola Kawasan.

Misi inilah yang akan dijabarkan lebih lanjut menjadi program dan rencana aksi dalam
dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Pendahuluan I-8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

F. Metode Pendekatan

Mengingat bahwa sasaran dari kajian ini adalah tersusunnya rencana pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya (tahun 2005-2024) melalui pendekatan ekosistem
dan berbasis masyarakat, serta tersedianya rencana kegiatan selama 5 tahun.

Rencana kegiatan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni mempunyai
banyak komponen kegiatan yang didasarkan kepada potensi kawasan dan juga
permasalahan kawasan, maka diperlukan prinsip pendekatan yang terpadu dalam menyusun
Rencana Pengelolaan (Management Plan) Cagar Alam Teluk Bintuni. Hal ini dimaksudkan
agar rencana pengelolaan (management plan) bisa digunakan sebagai acuan bagi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Papua II-Sorong dan Departemen Kehutanan cq
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam serta Pemerintah Daerah
Kabupaten Teluk Bintuni untuk mengelola kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kerangka pendekatan yang akan digunakan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
disajikan dalam Gambar 1-4.

Untuk melihat fungsi dan peran dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) maka
dilakukan analisis stakeholder, khusus yang mempunyai peran terhadap kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni (CATB). Tujuannya adalah agar data dan informasi yang diperoleh
mengenai kondisi, aktivitas, persepsi dan aspirasi tentang CATB meliputi semua pihak yang
berkepentingan (Tabel I-1).

Tabel I-1. Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)

No Stakeholder
1 Departemen Kehutanan BKSDA Papua II Resort Bintuni
2 Bappeda Teluk Bintuni
3 Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Teluk Bintuni
4 Dinas Perikanan dan Kelautan Teluk Bintuni
5 Syahbandar Teluk Bintuni
6 Dinas Pertanian dan Perkebunan Teluk Bintuni
7 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
a. Mitra Pesisir
b. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Bintuni
c. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Lemason
d. Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni (YFDPMTB)
e. Ikatan Pemuda Teluk Bintuni (IPTB)
8 Masyarakat
A. Masyarakat di dalam Kawasan
* Distrik Idoor
1. Kampung Mamuranu/Anak Kasih

Pendahuluan I-9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

No Stakeholder
2. Kampung Tirasai
B. Bersinggungan dengan Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kampung Pasamai
2. Kampung Bumi Waraitama (SP 1)
3. Kampung Banjar Ausoy (SP 4)
4. Kampung Tuasai
5. Kampung Argo Sigemerai (SP 5)
6. Kampung Korano Jaya (SP 2)
C. Di luar Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kelurahan Bintuni Timur
2. Kelurahan Bintuni Barat
* Distrik Idoor
1. Kampung Yakati
2. Kampung Yensei
* Distrik Kuri
1. Kampung Naramasa

Stakeholders yang dilihat peran dan fungsinya antara lain : Departemen Kehutanan-BKSDA
Papua II Sorong, Sub BKSDA Resort Bintuni, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab.
Teluk Bintuni, Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Teluk Bintuni, Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kab. Teluk Bintuni, LSM (al, Mitra Pesisir, Lembaga Masyarakat Adat-LMA
Bintuni, LMA Lemason, Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni,
Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) dan masyarakat dari desa-desa yang berbatasan atau berada
dalam kawasan CATB. Wawancara pada lembaga pemerintahan dan LSM dilakukan secara
purposive dimana untuk pemerintah dilakukan 2 orang, LSM 1 orang sedangkan untuk
kelompok masyarakat 5 orang (Ketua Kampung, tokoh agama, tokoh adat dan 2 orang
anggota masyarakat). Total seluruh responden yaitu 87 orang, dimana untuk Masyarakat di
sekitar kawasan CATB jumlah responden totalnya 70 orang.

Metode Rapid Socio-economic Assessment - RSA diterapkan untuk mendapatkan gambaran


tentang persepsi dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat desa sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni. RSA merupakan pendekatan dengan indepth interview dan diskusi grup
terfokus (FGD) dimana peneliti hanya akan berperan menjadi fasilitator diskusi.

Metode FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat. Sedangkan Indepth Interview dilakukan untuk menggali data berdasarkan kasus-
kasus tertentu yang tidak bisa diungkapkan pada saat diskusi berlangsung seperti
pengalaman, perasaan dan motif yang berada dalam individu maupun kelompok.

Pendahuluan I - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Wawancara dilakukan dengan bantuan ”Kuesioner” agar pertanyaan lebih terfokus dan
menghindari kemungkinan melupakan hal-hal yang harus ditanyakan.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait
dan LSM – LSM yang aktif dalam pengembangan Teluk Bintuni; dan data primer yang
dikumpulkan selama proses penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menggambarkan hubungan antara
data yang satu dengan data lainnya. Selain itu untuk memperoleh rencana pengelolaan
untuk Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,
Opportunities, Threats).

Aspek biologi kawasan dikaji berdasarkan survey lapangan (field survey) dan telaah silang
dengan publikasi dan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni dan sekitarnya serta berbagai informasi yang diperoleh melalui penelusuran
pustaka, dan wawancara dengan berbagai stakeholder. Pengamatan yang dilakukan pada
hutan dataran rendah dilakukan dengan metode penjelajahan pada beberapa tempat untuk
melihata struktur dan komposisi jenis flora. Sedangkan untuk melihat struktur dan komposisi
jenis serta potensi flora mangrove, dilakukan dengan metode garis berpetak (line-plot
sampling method) serta metode penjelajahan (explorasi) pada beberapa lokasi yang
ditetapkan berdasarkan tipe ekosistem (Soerianegara, 1998). Pada setiap petak pengamatan
di lakukan pencatatan jenis, jumlah , tinggi, dan diameter (untuk tingkat vegetasi tiang dan
pohon). Selain itu, pada lokasi tempat pengamatan flora mangrove, juga dilakukan
pengamatan keberadaan jenis-jenis satwa dengan metode penglihatan langsung (direct
seen), melihat jejak kaki (footprint/trail), dan suara (noisy). Selain pengamatan langsung,
informasi keberadaan satwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang bermukim di kampong-
kampung di dalam dan di sekitar kawasan yang berhasil dikunjungi.

Pendahuluan I - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

I. PERSIAPAN II. PENGUMPULAN DATA III. PENGOLAHAN DATA V. ANALISIS

Interview Recor List Isu SWOT


- Daftar Stakeholder Sorting Daftar Rencana
Questionnaire Analysis
/Responder Prioritas Isu Strategi
Kesan/harapan
- Metode Survey Pengelolaan
Stakeholder
(Interview, terhadap Cagar Cagar Alam

Tujuan
Questionnaire) Alam Teluk Teluk Bintuni
Bintuni
IV. REVIEW PROGRAM
Program-program
Kabupaten PROSES SELEKSI
Aspek-aspek RENCANA KEGIATAN
Review Program-program
Pengelolaan TERPILIH DAN
Program-program BKSDA – Re Penngelolaan Cagar Alam
Biodiversity/ PENTAHAPAN
Survey Teluk Bintuni Teluk Bintuni
KEGIATAN
Item Category x Desain dan Program
Review Program-program
x Manfaat Lingkungan
PERTEMUAN & KONSULTASI Pengelolaan Pesisir
x Rencana
x BKSDA Papua II - Sorong Kabupaten Teluk Bintuni Pengembangan
Isu-isu Konservasi
Biodiversity per x Bappeda Propinsi Program
x Usulan Skenario

IBSAP dan Kebijakan


Aspect dari IBSAP Review Program-program

Konservasi SDA Hayati


x Bupati Kabupaten Teluk Bintuni
dan Strategi
x Dinas Kehutanan Kab. Teluk Konservasi Biodiversity
Pengelolaan Cagar
Cagar Alam Teluk Bintuni

Review Konsep Pengelolaan


Bintuni Alam
Review Kebijakan Pemda x Usulan
x Dinas Perikanan Kabupaten
x Identifikasi Review Kebijakan Pendidikan Kelembagaan
Rencana dan Strategi Pengelolaan

x Universitas Papua dan Penelitian di Cagar Alam


Masalah & Pendukung
x Instansi Terkait Kabupaten x Usulan Pentahapan
Kendala Kegiatan
x Masyarakat Adat Teluk Bintuni
x Inventarisasi & Pengelolaan Jangka

Teluk Bintuni
Identifikasi Panjang dan

Atlas Sumberdaya
Pendek
LOKAKARYA KABUPATEN

Gambar 1-4. Kerangka Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (General Framework)

Pendahuluan I - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Beberapa hal yang diperhatikan dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni adalah sebagai berikut :

a. Untuk mencapai pemanfaatan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni yang
lestari dan terpadu perlu diperhatikan kerentanan ekosistem kawasan konservasi,
kapasitas sumberdaya alam dan ketergantungan masyarakat di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni.

b. Dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya dalam


perencanaan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
melibatkan unsur sektor perikanan dan kelautan, mitra pesisir serta masyarakat adat;

c. Dalam rangka menetapkan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan Cagar Alam


Teluk Bintuni maka pengaturan akses ke sumberdaya tersebut harus memperhatikan
“hak penduduk sekitar kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni dan praktek turun-
temurun yang menggambarkan kearifan tradisional” dalam pengelolaan sumberdaya
alam sepanjang pola atau kegiatan tersebut sesuai dengan pembangunan yang
berkelanjutan

d. Pelibatan masyarakat sejak awal perencanaan dimaksudkan untuk menghindari konflik


diantara kelompok pemanfaat kawasan konservasi terutama dengan kelompok
pemanfaat dari lingkungan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ;

e. Untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari sektor terkait ke kawasan
konservasi dan di antara kelompok pemanfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
ditetapkan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat;

f. Perlu ditingkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan Cagar
Alam Teluk Bintuni untuk Penyusunan Rencana Pendayagunaan Kawasan Teluk dan
keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses pengelolaan;

g. Untuk membantu pengambilan keputusan mengenai Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
dilakukan pengkajian dengan mempertimbangkan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya;

h. Untuk perencanaan Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
diperhatikan beberapak aspek utama yang menjadi acuan, yaitu:

x Adanya keterkaitan ekologis baik antar ekosistem mangrove dan perairan di dalam
kawasan konservasi dengan areal budidaya penduduk;

x Dalam suatu kawasan konservasi, untuk Penyusunan Rencana Pengelolaan


biasanya terdapat lebih dari satu kelompok sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan;

Pendahuluan I - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Baik secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan konservasi secara
monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal
yang menjurus pada kegagalan usaha;

x Kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni pada umumnya merupakan


sumberdaya terbuka (open acces resources), walau secara khusus di Papua ada
batasan aturan hak adat, tetapi akses cukup terbuka untuk dapat dimanfaatkan oleh
semua orang.

i. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam penyusunan Rencana


Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Faktor dimensi ekologis, sosial
ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan menjadi faktor yang sangat berperan
dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (Gambar 1-5).

Tahap I Penentuan Prioritas Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni


Tujuan/Fokus

Tahap 2
Komponen
Pembangunan Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Regional
Berkelanjutan

Tahap III
Indikator a b c d e f g h i j k l m n o p
Pembangunan
Berkelanjutan

Tahap IV
Penataan Pemeliharaan Pemanfaatan Pengawasan Pengendalian Pemulihan Penelitian -
Strategi Pengembangan
Pengelolaan
Cagar Alam

Gambar I-5. Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kriteria indikator pembangunan berkelanjutan

Ekologi :

a. Kelestarian ekosistem dan fungsinya (hutan mangrove)

b. Kelestarian beranekaragamnya spesies dilindungi dan endemik

c. Daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pemanfaatan

d. Terpeliharanya kualitas air (sedimentasi tidak terlalu besar)

Pendahuluan I - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Ekonomi:

e. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

f. Dampak terhadap perekonomian secara makro

g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya pengguna kawasan mangrove

h. Keberlanjutan usaha dan akuntabilitas

Sosial Budaya:

i. Terpeliharanya kearifan dan budaya lokal

j. Keamanan dan ketentraman masyarakat

k. Kesehatan masyarakat

l. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan

Regional:

m. Aksesibilitas kawasan

n. Posisi kawasan dari sudut pandang sistem Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten

o. Posisi kawasan berdasarkan kondisi geografis

p. Status kepemilikan lahan

Pendahuluan I - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

II. KEADAAN UMUM KAWASAN

A. Risalah Kawasan

A.1 Informasi Umum Kawasan

A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) The Bintuni Bay Nature Reserve pertama kali
diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah:
1. Luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua
(Irian Jaya saat itu);
2. Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil
dan industri udang yang ada;
3. Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi
berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang
lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia
(Petocz, 1987).

Dari segi luasan, kawasan ini mengalami beberapa kali perubahan luasan. Luasan yang
diusulkan WWF pada tahun 1980-an adalah mencakup areal seluas kurang lebih 450.000
hektar (Petocz, 1983) (Gambar
II-1.).

Kemudian pada awal tahun 1982,


Departemen Pertanian Republik
Indonesia mengusulkan areal
seluas kurang lebih 357.300 ha
termasuk kelompok hutan
mangrove Sungai Aramasa,
Sungai Weperar, Sungai Wagura,
and Sungai Kaitero untuk
ditetapkan sebagai Kawasan
Cagar Alam. Pada tanggal 10
Gambar. II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang diusulkan
WWF/IUCN/PHPA Tahun 1983 Nopember 1982, Cagar Alam
Teluk Bintuni secara definitif ditunjuk sebagai daerah Cagar Alam melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 182/Kpts/UM/11/1982, yang meliputi areal seluas 300.000 ha.

Luasan tersebut ternyata lebih kecil daripada luasan yang diusulkan sebelumnya (357.300
ha). Hal ini karena areal seluas 57.300 ha telah dialih fungsikan menjadi hutan produksi
berdasarkan Forest Agreement No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara

Keadaan Umum Kawasan II - 1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Menteri Pertanian Republik Indonesia dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT
BUMWI), tentang realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 9 januari
1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan Di
Wilayah Propinsi Irian Jaya.

Pada tahun 1991, AWB/PHKA


melakukan suatu studi untuk
merevisi kembali luasan Cagar
Alam yang sudah ditetapkan
melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.
182/Kpts/UM/11/1982 dan usulan
WWF/IUCN/PHPA tahun 1983. Hal
ini karena terjadi tumpang tindih
peruntukan kawasan antara CATB
dengan areal Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) di sekitar kawasan
teluk Bintuni seperti PT Henrison

Gambar II-2. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata


Iriana, PT BUMWI, dan PT Yotefa
Batas Sub Biphut Manokwari Tahun 1999. Sarana Timber.

Berdasarkan beberapa alternatif di


atas, AWB/PHKA mengusulkan areal seluas ± 260.000 ha sebagai kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni, termasuk daerah daerah perairan teluk seluas ± 60.000 ha dengan koordinat
133° 131 - 134° 02’ BT dan 20 02’ - 20 30’ LS.

Pada tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di Kawasan cagar alam dilakukan oleh
PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT Henrison
Iriana dengan panjang batas yang terrealisasi sepanjang 77.247.76 meter. Selanjutnya,
dilakukan tata batas tahap kedua yang dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan (BIPHUT) Manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar dan
batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi 172.846,20 meter yang
kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan
Kawasan Hutan Propinsi dan perairan Papua, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni
adalah 124,850 Ha (Gambar II-2).

A.1.2 Letak dan Luas

Berdasarkan pembagian administrative pemerintahan, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni


(CATB) berada di wilayah kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Irian
Jaya Barat (IJB). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil

Keadaan Umum Kawasan II - 2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik,
kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor,
dan Distrik Kuri.

Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam, Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan
Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Irian Jaya Barat.

Cagar Alam Teluk Bintuni terletak di bagian timur Kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara
geografis terletak antara 02º.02'-02º.30' LS dan 133º.31' -134º.02' BT, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:

x Bagian utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber


x Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI
x Bagian Barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni
x Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana

Berdasarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan


Propinsi dan perairan Papua, luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni adalah124.850 Ha, dimana
lebih 90% areal merupakan ekosistem hutan mangrove.

A.1.3 Aksesibilitas

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai
kawasan CATB dari ibukota Propinsi Irian Jaya Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat
ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter milik Maskapai penerbangan
Merpati Nusantara ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45
menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh
kurang lebih 10 – 12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses
dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara
kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10 - 15 menit; (2) menggunakan perahu motor
(longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 - 45 menit. Dari hasil pengamatan di lapangan kawasan CATB juga dapat
diakses dari beberapa kampung berada di batas utara kawasan seperti disajikan pada Tabel
II-1.

Keadaan Umum Kawasan II - 3


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-1. Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni

No. Kampung Distrik Jarak ke CATB Sarana dan Jenis Transportasi


Kelurahan Bintuni Sungai dan Jalan Darat, Perahu
1 Bintuni r 2 km
Timur dayung/motor dan roda dua/empat
Sungai dan Jalan Darat, Perahu
2 Kelurahan Bintuni Barat Bintuni r 3 km
dayung/motor dan roda dua/empat
r 2 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu
3 Kampung Pasamai Bintuni
dayung/motor dan roda dua/empat

r 2K m
4 Waraitama/SP 1 Bintuni Jalan Darat, roda dua/empat

Kampung Korano r 1 Km Sungai dan Jalan Darat, Perahu


5 Bintuni
Jaya/SP 2 dayung/motor dan roda dua/empat

Kampung Banjar r 1 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu


6 Bintuni
Ausoy/SP 4 dayung/motor dan roda dua/empat

7 Kampung Tuasai Bintuni r 1 km Jalan Darat, roda dua/empat jalan kaki


Kampung Argo
8 Bintuni r 2 km Jalan Darat, jalan kaki
Sigemerai/SP 5
Dalam
9 KampungTirasai Bintuni -
Kawasan CATB
Dalam
10 Kampung Mamoranui Idor -
Kawasan CATB
Dalam
11 Kampung Anak Kasih Idor -
Kawasan CATB
12 Kampung Yakati Idor r 15 km Sungai, Perahu dayung/motor
13 Kampung Yensei Idor r 10 km Sungai, Perahu dayung/motor
14 Kampung Naramasa Kuri r 5 km Sungai, Perahu dayung/motor
Sumber : Hasil Survei Tim TNC (2005)

A.2 Kondisi Fisik Kawasan

A.2.1 Iklim

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni termasuk daerah tropika dan berdasarkan klasifikasi iklim
Koppen termasuk dalam tipe iklim Afa, yaitu daerah tropika basah yang bersuhu tinggi.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam tipe
iklim A, yaitu daerah sangat basah.

Curah hujan bulanan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni cukup bervariasi. Curah hujan
bulanan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dengan curah hujan maksimum dan rata-rata
masing-masing 38,61 inches (980,69 mm) dan 17,32 inches (439,93 mm). Sedangkan curah
hujan bulanan terendah terjadi pada bulan September dengan curah hujan maksimum dan
rata-rata berturut-turut 5,17 inches (131,32 mm) dan 3,34 inches (86,36 mm).

Keadaan Umum Kawasan II - 4


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya suhu udara berkisar antara 20,02 °C
sampai dengan 37,26 °C untuk basis data selama 3 tahun. Suhu udara maksimum terjadi
selama musim monson timur laut, yakni ketika terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan
selama periode siklus tahunan, variasi suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,74 °C
– 27,50 dengan variasi tidak lebih dari 2 °C. Nilai suhu udara rata rata bulanan adalah 26,92
°C dengan hampir 54% data yang terukur terletak dalam kisaran antara 23 °C hingga 27 °C,
dimana suhu bulanan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Januari

Kelembaban udara di kawasan berkisar antara 40% hingga 100%, namun sebagian besar
(hampir 60%) hasil pengukuran lebih besar dari 90%, dengan nilai rata-rata selama periode
pengukuran mencapai 90,2%. Kelembaban sangat tinggi terjadi di malam hari ketika suhu
udara rendah dan sedang terjadi hujan.

Data kecepatan angin selama tiga tahun (1997-2000) menggambarkan kecepatan angin di
Teluk Bintuni dan sekitarnya pada umumnya lambat hingga sedang dengan rata-rata 8
m/detik (28,8 km/jam).

Tekanan udara barometrik maksim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk adalah 1.013 milibar
(mb) dan minimumnya adalah 998,6 mb. Tekanan udara rata-rata sepanjang periode
pengukuran adalah 1.006,1 mb, dengan rentang pengukuran relatif lebih kecil, dan sekitar
90% data berada di antara 1.002,5 mb hingga 1.010mb (BP Pertamina, 2002).

A.2.2 Geologi

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), secara fisiografis terdiri dari daerah rawa/pasang
surut yang umumnya bervegetasi mangrove yang berbahan induk aluvium muda (recent
alluvium) dari zaman kwarter yang menutupi sedimen masam Tersier dan Pleistosin seperti
sandstone, shale, dan konglomerat (PT BUMWI, 1994).

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) merupakan kawasan rawan gempa yang selalu
diikuti dengan gelombang tsunami karena berada dalam wilayah tektonis yang aktif sebagai
akibat dari tubrukan dua lempengan besar.

A.2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi

Secara umum, kawasan Teluk Bintuni termasuk dalam kelompok Daerah Aliran Sungai (DAS)
Muturi, Aramasa, Korol-Bomberai, dan DAS Remu. Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
mengalir beberapa sungai besar yang bermuara ke Teluk Bintuni dan merupakan Sub-Das
dari DAS-DAS tersebut mulai dari sebelah barat, yaitu Sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai
Bokor, Sungai Tirasai, Sungai Sumber, Sungai Kodai, Sungai Rarjoi, Sungai Kamisayo,
Sungai Tatawori, Sungai Sorobaba, Sungai Yakati, Sungai Yensei, Sungai Sobrawara, dan

Keadaan Umum Kawasan II - 5


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Sungai Naramasa. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai daerah tampungan air


beberapa anak sungai yang bermuara ke sungai-sungai tersebut dan selanjutnya mengatur
pembuangan air ke Teluk Bintuni. Sungai-sungai tersebut memiliki debit yang cukup besar
sehingga pada saat musim penghujan terutama di bagian hulu sungai, debit air sungai-sungai
tersebut dapat naik beberapa kali lipat dan kadang-kadang dapat menyebabkan banjir
(menggenangi daerah sekitar). Saat musim hujan dan debit air meningkat biasanya warna air
sungai berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi
proses erosi pada daerah-daerah yang mengalirkan air tersebut ke sungai-sungai di
bawahnya. Di samping ketiga sungai yang selalu berair tersebut, terdapat pula kali-kali mati
yang hanya berair atau menyalurkan air (banjir) bila turun hujan lebat.

Kebutuhan masyarakat akan air minum dan MCK yang bermukim di sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni terutama di ibukota distrik Bintuni, Idoor, dan Kuri di peroleh dari sumur-
sumur yang digali, serta aliran sungai-sungai kecil yang melintasi atau mengalir di pinggiran
perkampungan penduduk. Khusus untuk Distrik Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni),
air minum dan cuci ada yang diperoleh dari sumur bor. Kebutuhan air masyarakat di
Kampung-Kampung di luar Ibukota Distrik lebih banyak memanfaatan air dari sungai-sungai
besar tersebut di atas serta beberapa sungai/kali kecil yang mengalir di dekat Kampung
mereka.

A.2.4 Tanah

Sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ditutupi oleh vegetasi mangrove dengan
jenis tanah organosol, gambut, dan aluvium dengan ciri-ciri sperti disajikan pada Tabel II-2

Tabel II-2. Jenis Tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Jenis Tanah Ciri-Ciri

Organosol, Jenuh air, lempung lanau, berwarna abu-abu, asam, komprebilitas tinggi,
Organik permeabilitas rendah-sedang, daya dukung rendah, dan tebal 1,5 – 2 m

Tekstur halus – kasar, porositas rendah – tinggi, berwarna gelap, draenase


Aluvium
buruk, bersifat alkali, dan sedikit asam.
Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005 dan Pemda Propinsi Papua, PEMKAB Manokwari, UNIPA, CRMP, 2003.

Pada daerah yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Bintuni, memiliki karakteristik
tanah fluvial deltatik dengan ciri-ciri: melengkung halus, relief rendah, berlumpur, dan beeting
pasir.

Keadaan Umum Kawasan II - 6


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

A.3 Kondisi Biologi Kawasan


A.3.1 Ekosistem
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mencakup dua tipe ekosistem utama, yakni ekosistem
hutan hujan dataran rendah dan ekosistem mangrove. Selain kedua ekosistem tersebut, di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga bisa dijumpai ekosistem hutan rawa campuran
dengan luasan yang sangat kecil. Seluruh ekosistem tersebut adalah ekosistem alami dan
sebagian vegetasinya masih terpelihara dengan baik. Hasil survei lapangan dengan
mengunjungi beberapa lokasi ekosistem (Gambar II.3) yang ada menunjukan bahwa secara
umum kondisi vegetasi pada kedua ekosistem tersebut masih terpelihara dengan baik,
walaupun pada beberapa bagian telah mengalami degradasi dalam luasan yang kecil akibat
aktivitas manusia.

Gambar II-3. Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005

A.3.1.1 Hutan Hujan Dataran Rendah

Ekosistem ini tersebar terutama pada batas-batas Utara dan Timur kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Suatu keunikan tersendiri bahwa di beberapa tempat di kawasan CATB, tipe
ekosistem ini juga dapat ditemui pada beberapa pulau mengrove baik berbentuk hamparan
pegunungan rendah maupun bukit-bukit kecil. Hal ini dapat dijumpai di Pulau Mangrove

Keadaan Umum Kawasan II - 7


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Maniai, Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Hutan Hujan Dataran Rendah (Lowland
Rainforest) ini membentuk lapisan tajuk dan sub tajuk (Gambar II-5) dengan
keanekaragaman jenis yang cukup tinggi dan diperkirakan 60-90% tumbuhan yang ada di
ekosistem ini merupakan spesies endemik.

Tipe ekosistem hutan dataran rendah


(hutan lahan kering) ini kebanyakan berada
di belakang formasi hutan mangrove
peralihan dan pada beberapa bagian
kawasan dapat dijumpai komunitas hutan
dataran rendah berada langsung di
belakang formasi hutan mangrove
(Gambar II-4).

Ekosistem hutan hujan dataran rendah


memiliki peran yang sangat penting Gambar II-4. Tipe hutan hujan dataran rendah
primer di belakang formasi hutan mangrove S. Simeri
sebagai salah satu komponen pendukung Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

kawasan. Dalam ekosistem hutan ini tumbuh beraneka ragam jenis flora mulai dari
tumbuhan tingkat rendah seperti fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Hutan
dataran rendah di kawasan CATB menyimpan berbagai spesies tumbuhan berkayu (pohon)
yang bernilai ekonomis tinggi seperti matoa (Pometia spp.), kayu besi/merbau (Intsia bijuga
dan I. palembanica), pulai (Alstonia spp.), Nyatoh (Palaquium sp.) Medang (Litsea sp.) serta
beberapa spesies dari famili Dipterocapaceae seperti mersawa (Anisoptera sp.), resak
(Vatica papuana), dan hopea (Hopea sp.).

Ekosistem ini umumnya tersusun atas vegetasi primer (Primary Forest) dan vegetasi
sekunder (Secondary Forest). Pada ekosistem yang tersusun oleh vegetasi primer terlihat
masih alami dan memiliki karakteristik strata tajuk yang jelas. Pada strata atas dan tengah
didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan berkayu seperti kayu besi/merbau (Intsia bijuga) dan
matoa (Pometia sp.), sedangkan
pada strata bawah ditumbuhi
perdu dan semak yang
mendukung berbagai tanaman
pemanjat, epifit, paku-pakuan,
dan jenis-jenis palem (Palmae)
termasuk juga berbagai jenis
rotan.

Sedangkan pada hutan hujan


dataran rendah sekunder (bekas Gambar II-5. Profil Struktur Hutan Dataran Rendah Di Kawasan
perladangan) didominasi oleh Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 8


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

jenis-jenis pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius) dan sirih
hutan (Piper sp.). Sebagian besar hutan dataran rendah sekunder adalah merupakan bekas
kebun masyarakat (Gambar II-6) dan bekas areal tempat penimbunan kayu (logyard) dari
HPH dan Kopermas yang beroperasi di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Selain sebagai habitat flora, ekosistem


hutan hujan dataran rendah merupakan
habitat berbagai jenis reptil seperti buaya
air tawar (Crocodylus novaguinensis),
burung mambruk (Goura cristata), burung
cenderawasih (Paradisae minor), Echidna
berparuh pendek (Tachyglossus
aculeatus), Echidna berparuh panjang
(Zaglossus bruijni), marga tikus
berkantung endemis yang aneh,
Gambar II-6. Tipe hutan hujan dataran rendah Dasyuridae, Bandycoot (Peroryctes
sekunder di dekat kampung Mamoranu, Kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni raffrayanus), kuskus (Phalanger
orientalis), possum kerdil (Cercatetus
caudatus, Distoechurus pennatus, dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus
fursinus), walabi hutan (Dorcpsis spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis). Bahkan menurut
Zuwendra, dkk. (1991) pada sungai jernih di ekosistem hutan dataran rendah dapat dijumpai
jenis ikan pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia, yang merupakan jenis endemik
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Ekosistem hutan dataran rendah, terutama yang berada pada batas luas kawasan Cagar
Alam juga dapat dipandang sebagi daerah penyanggah (Buffer zones) yang berfungsi
sebagai benteng pertahanan terhadap ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang
merupakan ekosistem terluas di kawasan.

A.3.1.2 Hutan Mangrove

Vegetasi hutan mangrove di Teluk Bintuni


secara umum dapat dibedakan menjadi 3
zona berdasarkan jenis pohon pembentuk
tajuk dominan, yaitu zona Avicenia-
Sonneratia, Rhizophora-Sonneratia, dan
Rhizophora-Bruguiera. Selain membentuk
zonasi seperti di atas, dijumpai juga Gambar II-7. Vegetasi mangrove Zona Avicenia –
Sonneratia di P. Maniai, Cagar Alam Teluk Bintuni.
beberapa jenis yang membentuk tegakan
murni.

Keadaan Umum Kawasan II - 9


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Berdasarkan pengamatan di lapangan, Zona Avicenia-Sonneratia dan Rhizophora-Sonneratia


adalah zona komunitas mangrove yang paling luar dan langsung berhadapan dengan
perairan Teluk Bintuni. Jenis yang dijumpai pada daerah ini didominasi oleh jenis Avicenia
alba, Avicenia marina, dan Rhizophora mucronata dengan tinggi pohon rata mencapai 10 m.
Substrat yang ada di bawah tegakan pada zona ini adalah endapan lumpur yang masih lunak
dan tanah lepas yang terendap oleh
pasang surut. Sedangkan substrat yang
ada di bawah wilayah mangrove terutama
untuk zona Avicenia-Sonneratia sudah
agak lebih padat. Pasang surut pada
daerah ini sangat nyata terlihat dengan
adanya perubahan permukaan air.

Sedangkan Zona Rhizophora-Bruguiera


merupakan wilayah hutan mangrove yang

Gambar II-8. Vegetasi mangrove Zona Rizhiphora- umumnya tumbuh lebih ke darat, terutama
Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni.
di sepanjang penggirian sungai-sungai
besar dan kecil yang bermuara ke perairan Teluk Bintuni. Secara umum, Rhizophora spp.
dan Bruguiera spp. Merupakan pohon-pohon pembentuk tajuk utama dalam zona ini. Lebih
lanjut jenis-jenis yang banyak dijumpai di zona ini adalah Rhizophora mucronata, R.
Apiculata, Bruguiera Gymnoriza, Bruguiera parviflora, Xylocarpus spp., Ceriops tagal,
Avicenia officinalis. Pada zona ini juga dijumpai jenis tumbuhan bawah, yaitu Acanthus
ebracteatus, Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum dan Avicenia intermedia (api-api
merah). Substrat yang ada di bawah tegakan pada zona ini sudah lebih keras dan kompak
(tidak lepas) yang di dominasi oleh faksi liat. Pasang surut dan banjir sangat nyata terlihat
dengan adanya perubahan permukaan air.

Gambar II-9. Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di Gambar II-10. Vegetasi nipah (Nypa fructicans)
S. Yensei Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni campuran pada zona pasang surut di S. Tirasai,
Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 10


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Disamping itu, pada zona peralihan pasang surut (intertidal zone) dan air tawar dan air asin di
hutan mangrove dan zona dataran banjir pinggiran sungai dan formasi yang menutupi
dataran banjir, dijumpai vegetasi nipah (Nypa fructicans) yang tumbuh bercampur dengan
tegakan mangrove dan umumnya terbentang di antara daerah semi saline hingga ke air tawar
permanen.

Pada daerah lebih ke arah daratan, jenis nipah (Nypa fructicans) tumbuh bercampur dengan
jenis mangrove Xylocarpus moluccensis (Wamesa: Kabau hitam) dan X. granatum
(Wamesa: Kabau merah) (Gambar II-9). Pada daerah yang paling dekat dengan zona
pasang surut vegetasi ini tumbuh bersama jenis mangrove dengan kerapatan cukup tinggi,
yaitu dari genus Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan Avicenia (Gambar II-10). Kehadiran
jenis-jenis mangrove ini semakin berkurang atau tidak hadir sama sekali pada daerah yang
lebih ke arah daratan di sepanjang sungai.

Hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat di kelompokan ke dalam
beberapa kelompok, yaitu kelompok hutan mangrove sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai
Weperar, Sungai Modan, dan Sungai Naramasa. Pada bagian luar vegetasi mangrove yang
berbatasan langsung dengan garis pantai/muara teluk, struktur jumlah pohonnya lebih kecil di
bandingkan dengan vegetasi mangrove yang tumbuh lebih ke belakang, terutama di
sepanjang sungai-sungai besar yang bermuara di kawasan perairan Teluk Bintuni. Hasil
penelusuran data sekunder diketahui bahwa informasi quantitatif tentang potensi mangrove di
kawasan CATB relatif kurang. Berikut adalah beberapa informasi kuantitatif potensi
mangrove di beberapa bagian CATB yang berhasil dihimpun dari hasil survei lapangan Tim
TNC (2005).

Kelompok hutan mangrove Sungai Wasian. Komunitas ini mangrove di daerah ini
membentuk formasi Avicenia-Sonneratia (bagian luar) dan Rhizophora-Bruguiera (bagian
tengah). Di bagian luar (dekat pantai) yang merupakan daerah pengendapan lumpur di
dominasi oleh jenis Sonneratia alba dengan kerapatan 270 pohon/ha, untuk tingkat pancang
dan semai dengan kerapatan berturut-turut 470 pohon/ha dan 5.000 anakan/ha. Sedangkan
pada bagian dalam (bagian tengah) ditemui jenis Rhizophora apiculata yang mendominasi
semua tingkatan vegetasi dengan kerapatan berturut-turut 260 pohon/ha untuk tingkat pohon,
730 pohon/ha untuk tingkat tiang, dan 6.000 anakan/ha untuk fase semai.

Kelompok hutan mangrove Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai). Pengamatan dilakukan
dengan membuat transek dan sub-plotnya sepanjang 100 meter yang tegak lurus dengan
dari tepi sungai/pantai ke bagian dalam pulau dengan azimut 1800, koordinat 133o52’31.6”E,
02o16’86.8’’S. Jumlah plot pengamatan ditentukan sebanyak 4 buah yang dibuat secara
kontinu dari tepi sungai/pantai, dan melakukan pencatatan terhadap jenis, jumlah individu tiap
jenis, diameter batang (tiang dan pohon), tinggi (tiang dan pohon).

Keadaan Umum Kawasan II - 11


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada


daerah ini didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora mucronata, Bruguiera sexangula,
B. Parviflora, B. Gymnorrhiza, dan Ceriops
tagal. Hasil analisis vegetasi menggambarkan
bahwa pada tingkat anakan/semai, pancang,
dan pohon, jenis R. mucronata menunjukan
kerapatan tertinggi masing 5000 anakan/ha,
363 anakan/ha, dan 162 pohon/ha sekaligus
menjadi spesies yang dominan pada semua
tingkatan vegetasi (Lampiran 4 dan 5).

Kelompok hutan mangrove Pulau Nusuama


(Koordinat: 133o51’86.5”E, 02o18’36.7’’S).
Metode yang digunakan dalam pengamatan
vegetasi mangrove di kawasan ini adalah
penjelajahan dalam suatu jalur yang
didampingi informan lokal untuk melihat
komposisi jenis mangrove yang ada. Hasil
Gambar II-11. Pengukuran dan mengambilan titik pengamatan menunjukan bahwa jenis-jenis
koordinat plot pengamatan vegetasi mangrove di
P. Kaboi di kawasan CATB. yang ditemukan hampir sama dengan jenis-
jenis yang ditemukan di Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni) yang didominasi oleh jenis
Rhizophora mucronata. Jenis lain yang ditemukan di daerah ini adalah Aegiceras
corniculatum, Bruguiera sexangula, Avicennia alba, B. parviflora, Ceriops decandra, B.
Gymnorrhiza, dan Ceriops decandra. Jenis-jenis yang yang ditemukan di daerah ini tidak
jauh berbeda dengan jenis mangrove pada kelompok hutan mangrove Pulau Nusuama. Hal
ini karena kondisi habitat dan letak kedua tempat tersebut relatif sama.

Kelompok hutan mangrove Sungai Simeri. Pengamatan mangrove di daerah ini dilakukan
dengan observasi pada beberapa bagian
hutan dengan menggunakan perahu motor
(longboat) serta pengamatan plot (Koordinat:
133o56’37.1”E, 02o07’07.0’’S). Hasil
observasi pada beberapa bagian hutan
menunjukan bahwa pada daerah pinggiran
sungai, vegetasi mangrove di daerah ini di
dominasi oleh jenis Xylocarpus spp. dan
Bruguiera spp. Hutan mangrove di daerah
terlihat seperti hutan tua atau hutan
Gambar II-12. Vegetasi mangrove S. Simeri di
kawasan CATB. mangrove sekunder yang membentuk pulau-

Keadaan Umum Kawasan II - 12


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pulau kecil, dengan karakter pohon-pohon Xylocarpus spp. yang tumbuh kerdil menyerupai
bonsai raksasa.

Hasil analisa vegetasi dari pengamatan transek menunjukan bahwa pada tingkat semai dan
pancang, jenis Rhizophora mucronata dan Xylocarpus molucensis merupakan jenis dominan
dengan Nilai Penting berturut-turut untuk semai 68 dan 56, tingkat pancang 178 dan 55
(Lampiran 6). Sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata
(INP=180) dan B. gymnorrhiza (INP=120.) (Lampiran 7).

Kelompok hutan mangrove Sungai Taberai. Plot pengamatan mangrove dibuat tegak
lurus Pulau dengan Azimut 280 dengan koordinat 133o57’08.2”E, 02o12’05.1’’S.
0
Hasil
pengamatan menunjukan bahwa pada daerah ini di dominasi oleh jenis-jenis Bruguiera
gymnorrhiza dan Ceriops decandra. Untuk jenis Rhizophora jumlahnya tidak terlalu banyak
ditemukan di wilayah ini sedangkan jenis Aegiceras corniculatum dan jenis Xylocarpus hanya
ditemukan satu-satu di pinggir sungai.

Kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni). Pada kelompok hutan
0 0
mangrove Pulau Maniai/Tanjung Pitabone (2 16’86.8”S, 133 52’ 31.6” E), untuk tingkat
anakan ditemui 8 jenis mangrove dari 3 famili (Rhizophoraceae, Myrsinaceae dan
Avicenniaceae) mangrove, yaitu Rhizophora mucronata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera
sexangula, Avicennia alba, B. parviflora, Ceriops decandra, dan B. Gymnorrhiza, sedangkan
pada tingkat pancang Ceriops decandra tidak ditemukan (Lampiran 8). Hasil tersebut
menunjukan bahwa pada tingkat anakan/semai, jenis R. mucronata menunjukan kerapatan
tertinggi (11875 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=84,44) dengan
persebaran yang paling merata (F=0,75), sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh
Aegiceras corniculatum (INP=64,70), kerapatan 500 semai/ha, dan tersebar paling merata
(F=0,42). Hal ini mengindikasikan bahwa khusus untuk kawasan mangrove tanjung Pitaboni
sudah cukup stabil untuk pertumbuhan permudaan jenis-jenis non-pionir.

Pada tingkatan vegetasi tiang, jenis yang ditemukan agak sedikit berkurang menjadi 5 jenis,
sedangkan pada tingkat pohon meningkat lagi menjadi 10 jenis (Lampiran 9). Vegetasi
mangrove pada tingkat tiang dan pohon, jenis Rhizophora apiculata merupakan spesies
dominan (INP=140,85 dan 96,48), dan sekaligus meruapakan spesies dengan kerapatan
tertinggi (150 pohon/ha dan 104,17 pohon/ha) dengan persebaran yang paling merata
(F=0,58 dan 0,75).

Hal yang menarik untuk disimak adalah berkurangnya jumlah jenis tertentu pada saat
mencapai tingkat tiang. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam dinamika populasi jenis-jenis
mangrove di daerah ini, terjadi pengurangan jenis (mortality) terhadap jenis-jenis tertentu,
sehingga kajian mendalam perlu dilakukan untuk melihat perkembangan populasi (dinamika
populasi) baik jenis maupun jumlah jenis mangrove mulai dari tingkat semai sampai
mencapai tingkat pohon.

Keadaan Umum Kawasan II - 13


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lebih lanjut ditemui bahwa


hutan mangrove di Tanjung
Pitaboni memiliki zonasi yang
tidak jelas (irreguler zonation),
dimana dalam satu transek
terjadi percampuran jenis
sampai pada zona belakang
(Gambar II-13). Hal ini diduga
karena kondisi substrat pada
daerah tersebut hampir merata
(seragam) akibat selalu
Gambar II-13. Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Tanjung
Pitaboni, Cagar Alam Teluk Bintuni terendam pada saat pasang
naik (high tide) sehingga jenis-
jenis yang seharusnya tidak berada pada zona depan, tengah, dan belakang bisa tumbuh
bercampur.

Kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi (020 04’.012’’S, 1330 53’.780’’E). Pada
kelompok hutan mangrove ini ditemukan 9 jenis untuk tingkat semai, yaitu Acrosticum
speciosum, Rizophora apiculata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus
granatum, Ceriops decandra, C. tagal, R. mucronata dan D. spathacea, namun pada tingkat
pancang hanya ditemukan 3 jenis, yaitu Ac. Speciosum, X. Granatum, dan D. spathacea
(Lampiran 11). Hasil ini menggambarkan bahwa pada tingkat anakan/semai dan pancang
didominasi oleh jenis Acrosticum speciosum dengan kerapatan tertinggi (9167 anakan/ha dan
600 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=62,94 dan 100,00), namun
persebaran hampir sama dengan jenis-jenis lain. Sedangkan untuk vegetasi mangrove
tingkat tiang dan pohon didominasi oleh Rizophora Apiculata (INP=86,50 dan 113,18),
kerapatan tertinggi masing-
masing 50 pohon/ha dan 100
pohon/ha, dan persebaran yang
hampir sama dengan jenis lain
untuk tingkat pancang dan pada
tingkat pohon penyebarannya
cukup luas dibanding jenis
lainnya (Lampiran 12).

Hal yang menarik untuk disimak


dari data yang diperoleh
(Lampiran 11 dan 12) adalah
Gambar II-14. Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Sungai
Sumberi Cagar Alam Teluk Bintuni menghilangnya jenis tertentu
seperti Rizophora Apiculata dan

Keadaan Umum Kawasan II - 14


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Bruguiera gymnorrhiza saat mencapai tingkat pancang dan tiang kemudian muncul lagi pada
saat mencapai tinkat pohon. Hal ini diduga terjadi kematian (mortality) pada proses dinamika
populasi di areal ini, namun hal perlu dikaji lebih jauh lagi penyebab penurunan jumlah jenis
tersebut.

Pola zonasi hutan mangrove di S. Sumberi (Gambar II-14) tidak jauh berbeda dengan hutan
mangrove Tanjung Pitaboni di masih terjadi percampuran jenis pada zona tengah dan
belakang. Pada komunitas hutan ini terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antar plot,
semakin dalam semakin menampakkan ke arah vegetasi peralihan yang dicirikan oleh
tumbuhnya jenis vegetasi peralihan ke hutan dataran rendah dan rawa air tawar seperti
Xylocarpus granatum dan D. spathacea. Berbeda dengan hutan mangrove Tanjung Pitaboni,
komposisi tajuk hutan mangrove di areal ini terlihat kurang teratur dan mulai membentuk
strata. Hal ini karena komposisi jenis dari komunitas ini mulai beragam dengan hadirnya
beberapa jenis vegetasi peralihan hutan dataran rendah (lowland forest).

Hutan mangrove S. Tirasai. Areal sepanjang S.Tirasai didominasi oleh jenis bakau kurap
(Rhizophora mucronata). Jenis lain yang tumbuh adalah Bruguiera parvifolia, Xylocarpus
moluccensis, Xylocarpus granatum, Avicennia alba, Aegiceras corniculatum, Pandanus
odoratissima, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada bagian hulu juga
ditemukan jenis Nypa fruticans, jenis palem yang tumbuh di pesisir sungai.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada kelokan bagian luar S. Tirasai
banyak dijumpai jenis Bruguiera parviflora kemudian Rhizophora mucronata pada lapis
kedua, sedangkan di bagian dalam kelokan didominasi oleh Sonneratia alba dan Avicenia
alba. Perbedaan jenis yang dominan antara bagian dalam dan bagian luar kelokan, mungkin
dipengaruhi oleh faktor sedimentasi atau deposit substrat lumpur. Pada bagian dalam
kelokan, arusnya lemah sehingga daya angkut airnya menurun yang mengakibatkan terjadi
penimbunan lumpur (akresi) dari hulu sungai. Endapan lumpur lunak hasil proses
sedimentasi ini sangat cocok untuk habitat jenis-jenis pionir seperti Sonneratia alba.
Sedangkan pada bagian luar kelokan arusnya relatif kuat, menyebabkan abrasi pada bagian
tepi dan proses sedimentasi berjalan lambat atau bahkan tidak terjadi yang berakibat jenis-
jenis pioner tidak bisa tumbuh.

Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan nilai rata-rata kubikasi vegetasi tingkat tiang
dan pohon untuk tiap hektar luasan mangrove adalah sebesar 107,4 m/ha (Lampiran 9 dan
12). Nilai kubikasi tertinggi ditunjukan oleh jenis A. alba dan R. apiculata dengan potensi
berturut-turut adalah 65.42 m3/ha dan 44,80 m3/ha (Lampiran 10 dan 13).

A.3.2 Species
Pada sub Bab sebelumnya telah dideskripsikan mengenai ekosistem alami penyusun
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang juga merupakan habitat dari berbagai species flora

Keadaan Umum Kawasan II - 15


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

maupun fauna. Terdapat banyak species penting yang berasosiasi dengan habitat dan
karakteristik biologi lainnya. Untuk itu perlu di ketahui keragaman species di kawasan
termasuk species-species (flora dan fauna) langka yang dilindungi serta species kunci.

A.3.2.1 Flora

Tabel II-3. Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem


Jenis-jenis flora yang terdapat di mangrove kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kawasan Cagar Alam TB sangat No. Spesies Famili
berhubungan erat dengan 1 Avicenia alba Aviceniaceae
ekosistem penyusun kawasan 2 Avicenia marina Aviceniaceae
3 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae
seperti telah di uraikan panjang
4 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae
lebar pada bagian sebelumnya. 5 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae
6 Ceriops decandra Rhizophoraceae
Untuk ekosistem hutan
7 Ceriops tagal Rhizophoraceae
mangrove, didominasi oleh flora 8 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae
mangrove dan jenis-jenis lain 9 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae
10 Sonneratia alba Soneratiaceae
yang biasa berasosiasi dengan
11 Sonneratia caseolaris Soneratiaceae
vegetasi mangrove. Hasil survei 12 Xylocarpus granatum Meliaceae
lapangan yang dilakukan Tim 13 Xylocarpus moluccensis Meliaceae
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
TNC (2005) berhasil
mengidentifikasi jenis-jenis mangrove sejati yang mendiami ekosistem mangrove pada
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel II-3.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa jenis-jenis mangrove pada Tabel II-3.
diperkaya lagi dengan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh berasosiasi dengan jenis mangrove
seperti disajikan pada Tabel II-4.

Jenis-jenis tersebut belum termasuk jenis-jenis dari kelompok epifit dan liana yang terlihat
banyak tersebar di kawasan. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis tumbuhan

Tabel II-4. Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove di Teluk Bintuni
mangrove kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. tergolong tinggi.
No. Spesie Famili
Selain flora ekosistem hutan
1 Acrosticum sp. Pteridaceae
2 Cerbera manghas Apocynaceae mangrove, hutan hujan dataran
3 Dolichandrone spathacea Bignonaceae rendah di kawasan Cagar Alam
4 Heritiera littoralis Sterculiaceae
Teluk Bintuni juga menyimpan
5 Lumnitzera littorea Combretaceae
6 Myristica hollrungii Myristicaceae keanekaragaman flora yang relatif
7 Nypa fruticans. Palmae tinggi, terutama dari jenis-jenis
8 Acanthus ilicifolius Acanthaceae
9 Aegialitis annulata Plumbaginaceae tumbuhan berkayu (Tabel II-5).
10 Aegiceras corniculatum Myrsinaceae
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Keadaan Umum Kawasan II - 16


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Pada strata tajuk didominasi oleh famili


Tabel II-5. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi
ekosistem hutan dataran Rendah di Kawasan Cagar antara lain Leguminosae,
Alam Teluk Bintuni.
Dipterocarpaceae, Moraceae, dan
No. Jenis Famili
1. Intsia spp. Caesalpiniaceae Caesalpiniaceae. Sedangkan pada strata
2. Pometia spp. Sapindaceae bawah ditumbuhi perdu dan semak yang
3. Callophylum sp. Guttiferae mendukung berbagai tanaman pemanjat,
4. Terminali sp. Combretaceae
5. Canarium sp. Burseraceae
epifit termasuk anggrek, paku-pakuan, dan
6. Vatica papuana Dipterocarpaceae jenis-jenis palem (Palmae) termasuk juga
7. Annisoptera sp. Dipterocarpaceae pelbagai jenis rotan. Sayangnya data dasar
8. Hopea sp. Dipterocarpaceae
Baccaurea
mengenai daftar tumbuhan/flora yang ada
9. Euphorbiaceae
10. b t t gnemon
Gnetum Gnetaceae di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
11. Gigantochola sp. Graminae belum tersedia. Dari sejumlah yang
12. Garcinia sp. Guttiferae
berhasil diidentifikasi, sebagian besar
13. Litsea sp. Lauraceae
14. Arthocarpus sp. Moraceae adalah jenis-jenis endemik dan beberapa
15. Ficus sp. Moraceae genus yang telah dilindungi undang-undang
16. Eugenia sp. Myrtaceae
Indonesia antara lain antara lain genus
17. Calamus sp. Palmae
18. Pandanus sp. Pandanaceae Nepenthes (Famili Nepenthaceae).
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Kemungkinan besar jenis-jenis yang
ditemui di daerah ini, juga ditemui di Cagar Alam Teluk Bintuni. Berdasarkan informasi dari
pengelola kawasan dan masyarakat setempat, di ekosistem hutan dataran bisa rendah juga
dijumpai jenis-jenis anggrek dari genus Bulbophyllum yang secara hukum Indonesia telah
dilindungi.

A.3.2.2 Fauna

Hasil pengamatan lapangan pada


beberapa lokasi di dalam kawasan
(Gambar II-16), menunjukan bahwa
Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki
keanekaragaman fauna yang cukup tinggi.
Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan
ketersediaan sumber daya seperti pakan,
air, tempat berlindung, serta tempat
berkembang biak yang sesuai dengan
kehidupan satwa liar baik dari jenis
Gambar II-15. Jenis anggrek (Bulbophyllum sp.) yang
burung, mamalia, reptil dan amfibi serta bisa ditemukan di hutan dataran rendah dan mangrove
di kawasan CATB
jenis avertebrata.

Keadaan Umum Kawasan II - 17


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Reptil dan Ampibi (Amphibians and Reptiles)


Kawasan CATB dan sekitarnya merupakan habitat penting bagi perkembangbiakan jenis-
jenis reptil dan amfibi. Hasil pengamatan langsung (direct seen) dan wawancara dengan
penduduk lokal, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya bisa dijumpai beberapa
jenis reptil dan amfibi seperti disajikan pada Tabel II-6

Tabel II-6. Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Status Konservasi

Dilindungi
Endemik

CITES1
No. Nama ilmiah Nama Lokasi

RDB2
Indonesia

1 Crocodylus porosus Buaya muara S. Tirasai ¥ H I V


2 Crocodylus novaguinensis Buaya air tawar K. Yakati ¥ H I -
3 Hydrosaurus amboinensis Soa-soa S. Sumberi ¥ - - -
4 Varanus sp. Biawak K.Mamuranu, K.Tirasai ¥ H II -
H. Mangrove K.
5 Varanu sindicus Biawak bakau ¥ C - -
Mamuranu
Mangrove dekat
6 Enhydris sp. Ular bakau - - - -
K.Mamuranu
Hutan Dataran rendah
7 Hydropis sp. Ular sanca - - - -
Tirasai
Ular coklat Hutan Dataran rendah
8 Boiga irregulatus - - - -
pohon Anak Kasih
Hutan Dataran rendah
Katak pohon
9 Litoria infrafenata Anak Kasih, Tirasai, - - - -
hijau
dan Mamuranu
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Keterangan:
H = Keputusan Menteri Pertanian No. 716/KPTS/Um/l0/1980
C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 327KPTS/Um/5/1978
V = Vulnerable (rentan)
1 2
Convention on International Trade in Endangered Species IUCN Red Book List of Threatened Species

Jenis-jenis herpetofauna yang disajikan pada


Tabel II.6, lebih sedikit dibandingkan dengan
hasil survei yang dilakukan BP Pertamina (2002)
di ekosistem mangrove dan hutan dataran
rendah Saengga dan Tanah Merah yang hampir
sama dengan ekosistem yang ada di Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu 27 spesies reptil dan 9
spesies amfibi. Hal ini memberi peluang
ditemukannya jenis-jenis herpetofauna lain
selain jenis-jenis yang disajikan pada Tabel II.6.

Terdapat tiga jenis, yaitu buaya muara


(Crocodylus porosus), buaya air tawar Gambar II-17. Jenis buaya muara (Crocodylus
porosus) yang ditemukan di kawasan CATB

Keadaan Umum Kawasan II - 18


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

(Crocodylus novaguinensis), dan biawak bakau (Varanus prafinuvi), termasuk kedalam jenis
satwa yang dilindungi dengan undang-undang di Indonesia (Petocz, 1983). Kedua jenis
satwa reptilia tersebut, yaitu C. porosus dan C. Novaeguinensis adalah satwa endemik New
Guinea dan telah tercatat dalam App. I CITES, yaitu jenis yang terancam punah dalam IUCN
Red Data Book (IUCN, 1979), dan termasuk jenis binatang yang dilindungi dengan Undang-
Undang di Indonesia, (SK Mentan No. 327/Kpts/um/5/1978 dan No. 176/Kpts/um/10/1978).

Gambar II.16. Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
2005

Burung (Birds)

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya memiliki keanekaragaman jenis burung
yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan ketersediaan sumberdaya
seperti pakan, air, tempat berlindung dan berkembang biak yang merupakan komponen
pendukung kehidupan satwa tersebut. Selama survei yang dilakukan oleh Tim TNC (2005),
yang dilakukan melalui pengamatan langsung (direct seen), suara (noisy), dan informasi dari
masyarakat lokal, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat kurang lebih 26
jenis burung yang tersebar di beberapa bagian kawasan CATB seperti disajikan pada Tabel
II-7.

Keadaan Umum Kawasan II - 19


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-7. Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Status Konservasi

Dilindungi
Endemik

CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

RDB2
1 Ardea sumatrana Cangak laut S. Muturi - F - NeT
S.Tirasai, S.Sumberi,
S.Simeri, S.
2 Cacatua galerita Kakatua Jambul Kunig ¥ B,C II -
Naramasa, K.
Mamuranu
Kampung Anak Kasih,
3 Casuarius bennetti Kasuari kerdil ¥ A II NeT
Mamuranu

Cenderawasih molek
Cicinnurus
4 (Magnificent Bird of S. Yakati ¥ - II -
magnificus
Paradise)

5 Cinclosoma ajax Anis puyuh ajax Muara Tirasai ¥ - - -


6 Colacalia esculenta Walet sapi S. Muturi, S. Wasian - - - -
7 Dacelo gaudichaud Kukubara perut merah S. Naramasa ¥ F - -
8 Dicrurus hottentottus S. Tatawori - - - -
9 Egretta ibis Kuntul Kerbau Muara Sungai Muturi ¥ - III
Kuntul perak (Bangau
10 Egretta intermedia S. Naramasa - - - -
putih)

11 Egretta sacra Kuntul karang S. Naramasa ¥ A,D,E -

Eopsaltria Robin bakau S. Wasian, S. Muturi,


12 - - - -
pulverulenta (Manggrove robin) S. Tatawori

S.Tirasai, S.Sumberi,
S.Simeri, S.
13 Falcon cenchroides Alap-alap layang - - II -
Naramasa, K.
Mamuranu

14 Geoffroyus geoffroy Kakatua paruh merah K. Anak Kasih - - - -


Mambruk ubiaat K. Naramasa, K.
15 Goura cristata ¥ - I Vul.
(dara mahkota) Mamuranu

16 Gygas alba Dara laut putih S. Tatawori - - - -


17 Halcyon cholaris Cekakak sungai S. Sumberi ¥ F - -
18 Larus novaehollandia Dara laut putih Muara Muturi - G - -
19 Lorius lory Nuri kepala hitam S. Muturi, S.Tirasai ¥ C II -
S.Tirasai, S.Sumberi,
Elang paria/ Alap-alap S.Simeri, S.
20 Milvus migrans - G II -
malam Naramasa, K.
Mamuranu

S. Sumberi, S. Anak
21 Nectarinia aspasia Burung madu hitam ¥ A,E,F - -
Kasih

22 Nectarinia jugularis Burung madu sriganti S. Sumberi ¥ A,E,F - -


Cenderawasih kuning Kampung Anak Kasih,
23 Paradisaea minor ¥ A,E,F II -
kecil Mamuranu

Keadaan Umum Kawasan II - 20


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Status Konservasi

Dilindungi
Endemik

CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

RDB2
24 Philemon buceroides Cikukua tanduk S. Kodai - F - -

Probosciger Sekitar Kampung


25 Kakatua raja ¥ B -
aterrimus Naramasa

Stercorarius
26 Camar S. Wasian - - - -
pomarinus

27 Sterna albifrons Dara laut kecil Perairan Pulau Modan - A - -

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Keterangan:
A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266
B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970
C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 7421KPTS/Um/12/1978 December 2, 1978
D = Keputusan Menteri Pertanlan No. 757/KPTS/Um/12/1979
E = Peraturan Pemerinlah NO.7 of 1999, 27 January 1999
F = Keputusan Menteri Pertanian No. 301/KPTS-Um/6/1991 June 10, 1991
G = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1935 No. 513
NeT = Near Threaten (hampir terancam)
V = Vulnerable (rentan)
1 Convention on International Trade in Endangered Species
2 IUCN Red Book List of Threatened Species

Jumlah tersebut (Tabel II-7) lebih sedikit dibandingkan hasil survei yang dilakukan Zuwendra
dkk., (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni (termasuk kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni) sedikitnya teramati 95 jenis burung, dimana 45 spesies diantaramya
sudah di lindungi oleh undang-undang, yang terdiri dari 75 spesies burung yang menetap
dan 20 spesies burung migran. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan BP Tangguh
dalam rangka penyususnan dokumen ANDAL melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni
khususnya daerah Sungai Saengga dan S. Manggosa yang memiliki kemiripan ekosistem
dengan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, berhasil teramati lebih dari 140 jenis burung (BP
Pertamina, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis burung di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian lebih serius baik dari
perlindungan dan penelitian. Besar kemungkinan, melalui penelitian yang lebih seksama,
keragaman jenis seperti yang disajikan pada Tabel II.7 tersebut di atas dapat bertambah.

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, diketahui bahwa Cagar Alam Teluk Bintuni
merupakan habitat jenis-jenis satwa endemik Papua serta satwa/fauna yang telah dilindungi
undang-undang. Hasil rangkuman dari sejumlah referensi pendukung antara lain Petocz
(1987), Petocz dan Raspado (1994), Behler dkk. (1986), Zuwendra dkk. (1991), Rudiyanto
(1996), dan BP Pertamina (2002) diketahui bahwa dari jenis satwa burung yang ada di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (hasil survei Tim TNC, 2005), 14 jenis diantaranya adalah

Keadaan Umum Kawasan II - 21


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

spesies endemik, 14 jenis telah dilindungi baik oleh hukum Indonesia maupun hukum
Internasional (CITES dan IUCN) seperti disajikan pada Tabel II.7. Menurut the Convention
on International Trade in Endangered Species (CITES), di antara spesies burung yang dapat
dijumpai di CATB, satu jenis burung mambruk (Goura cristata) masuk dalam Appendix I, tujuh
jenis lain (P. minor, F. cenchroides, C. magnificus, M. migrans, C. galerita, L. Lory, dan
Casuarius bennetti) masuk Appendix II, dan satu jenis (Egreta ibis) masuk Appendix III.
Selain itu menurut RDB (Red Data Book) jenis mambruk masuk dalam kategori “rentan”
(vurnerable), yaitu jenis mambruk ubiat/mahkota (G. cristata) dan dua jenis lagi dikategorikan
“hampir terancam”, yaitu A. sumatrana dan C. bennetti (Conservation International, 1999).

Jumlah jenis endemik untuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang berhasil dicatat
selama survei hampir sama dengan jumlah spesies burung endemik hasil survei Zuwendra
dkk. (1991) yang melaporkan bahwa di daerah CATB dan sekitar ditemukan paling sedikit
12 jenis endemik. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
menjadi penting sebagai habitat dan perkembangbiakan jenis-jenis endemik khususnya
satwa avifauna.

Kawasan Teluk Bintuni nampaknya merupakan daerah pencarian pakan (winter ground) dari
beberapa jenis burung pengembara (migran). Dalam survei dijumpai ratusan burung pelican
(Pelecanus conspicillatus) dan umukia raja (Tadorna rajah) pada beberapa bagian Cagar
Alam terutama pada daerah muara dengan bentangan bentik pasir. Menurut informasi dari
masyarakat setempat burung-burung tersebut akan datang pada bulan April – Mei dan
kemudian pergi pada bulan Desember saat musim ombak.

Mamalia (Mammals)

Hasil pengamatan selama survei dengan metode pengamatan langsung (direct seen) dan
jejak kaki (footprint/trail) serta informasi dari penduduk lokal, di kawasan ini bisa dijumpai 12
jenis mamalia, dua diantaranya merupakan jenis yang sudah dilindungi undang dan masuk
dalam appendix II CITES (Tabel II-8).

Tabel II-8. Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta
berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.

Status Konservasi
Dilindungi
Endemik

CITES1

No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi


RDB2

Pteropus K. Mamuranu, K. Anak


1 Kelelawar besar ¥ - - -
neohibernicus Kasih, K. Tirasai
2 Spilocuscus maculatus Kuskus bertotol K. Naramasa ¥ I II -
K. Mamuranu, K. Anak
3 Phalanger orientalis Kuskus kelabu ¥ I II -
Kasih

Keadaan Umum Kawasan II - 22


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Status Konservasi

Dilindungi
Endemik

CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

RDB2
K. Mamuranu, K. Anak
4 Cervus timorensis Rusa Intr A - -
Kasih
5 Dorcopsis muelleri Walabi hutan K. Naramasa ¥ - - V
K. Mamuranu, K. Anak
6 Dendrolagus ursinus Kangguru pohon ¥ B - -
Kasih
K. Mamuranu, K. Anak
7 Peroryctes raffayana Bandikot ¥ - - -
Kasih, K. Tirasai
K. Mamuranu, K. Anak
8 Sus crofa Babi hutan Intr - - -
Kasih, K. Tirasai
9 Pteropus conspilicatus Kelelawar K. Anak Kasih ¥ - - -
Pogonomys Tikus hutan
10 K. Anak Kasih, Tirasai ¥ - - -
macrourus dataran rendah
K. Mamuranu, K. Anak
11 Isodon macrourus Tikus tanah ¥ - - V
Kasih, K. Tirasai
12 Pristis microden Cucut gergaji Perairan Teluk ¥
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Keterangan:
A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266
B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970
I = Keputusan Menteri Pertanian No. 66/KPTS/Um/2/1973
V = Vulnerable (rentan)
Intr = Introduce
1 Convention on International Trade in Endangered Species
2 IUCN Red Book List of Threatened Species

Hasil pengamatan terhadap jenis-jenis mamalia yang disajikan pada Tabel II.8 hampir sama
dengan jenis-jenis mamalia yang ditemukan dalam survei yang dilakukan oleh Zuwendra,
Erftemeijer, dan Allen (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dijumpai mamalia seperti Echidna berparuh pendek (Tachyglossus aculeatus), Echidna
berparuh panjang (Zaglossus bruijni), marga tikus berkantung endemis yang aneh,
Dasyuridae, dan Bandycoot (Peroryctes raffrayanus) atau tikus, kuskus (Phalanger orientalis)
pada habitat hutan mangrove, possum kerdil (Cercatetus caudatus, Distoechurus pennatus,
dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus fursinus), walabi hutan (Dorcpsis
spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis), dan jenis-jenis Chiroptera yang merupakan
kelompok mamalia yang luar biasa aneka ragamnya, seperti kelelawar berhidung tabung,
rubah terbang, kelelawar ekor berarung, kelelawar tapal kuda, dan kelelawar mastif. Namun
jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang di lakukan oleh PT Geobis
Woodward-Clyde Indonesia pada tahun 1998 yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk
Bintuni /Bearau dapat ditemui kurang lebih 70 spesies mamalia yang terdiri dari 36 spesies
kelelawar (Chiroptera), 17 spesies marsupial (Marsupialia), 15 spesies binatang pengerat
(rodents), serta rusa dan babi hutan.

Kawasan perairan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat jenis lumba-lumba, seperti
jenis Seusa plumbea yang bersirip putih yang menurut informasi masyarakat, sering terlihat

Keadaan Umum Kawasan II - 23


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dalam satu group bermain mengikuti jalannya armada kapal penangkap udang untuk
mendapatkan ikan-ikan yang lebih kecil sebagai makanannya. Informasi yang diperoleh dari
penduduk bahwa di beberapa daerah muara sungai besar di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dapat dijumpai marga Delphinidae. Bahkan sejenis ikan paus berukuran besar pernah
terlihat di perairan Teluk Bintuni yang lebih dalam.

Ikan
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kawasan yang terkena pasang surut,
banyak dijumpai ikan gergaji (saw-fishes), hiu, dan ikan merah. Informasi dari penduduk
setempat bahwa ikan cucut gergaji (Pristis microden) yang merupakan ikan terbesar dan
telah dilindungi undang-undang yang sering masuk sampai ke sungai-sungai dalam kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan jenis hiu yang terdapat di perairan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah jenis hiu bodoh (Chyloscyllium punctatum dan C. Brevipinna) yang
dapat mencapai panjang 3 m. Informasi dari nelayan tradisional (penduduk lokal) diketahui
bahwa jenis Lutjanus johnii (ikan merah) dan Himantura uarnak (ikan pari) sering juga
tertangkap saat memancing di sungai-sungai dekat hutan mangrove di kawasan CA Teluk
Bintuni.

Mengacu pada informasi tersebut di atas, peran kawasan Cagar Alam Teluk menjadi sangat
penting bagi masyarakat sekitar kawasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama
ikan baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual sebagai pendapatan pendapatan
keluarga.

Hasil survei serta didukung oleh informasi dari penduduk setempat bahwa dii kawasan habitat
air tawar ditemukan ditemukan jenis ikan air tawar dimana dua di antaranya merupakan ikan
pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia. Jenis ikan tersebut merupakan jenia
endemik dan tersebar di beberapa sungai, rawa, dan danau di sekitar kawasan di mana
makanan utamanya adalah nyamuk. Jenis ikan ini sangat potensial untuk dijadikan ikan hias
sehingga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk mengembangkan jenis ini
untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Avertebrata
Perairan di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni merupakan habitat beberapa
jenis avertebrata, terutama dari jenis udang.
Beberapa jenis udang yang ditemui di
perairan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, yaitu udang tiger/Tiger Prawn
(Penaeus semisulcatus dan
Gambar II-18. Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang
Parapenaeopsis sculptilis), udang memiliki nilai ekonmis yang dapat ditemukan di
kawasan CATB

Keadaan Umum Kawasan II - 24


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

endeavour/Endeavour Prawn (Metapenaeus monoceros), Banana prawn (Penaeus


marguensis dan Penaeus indicus), udang raja/king prawn (Penaues hatisalcatus), dan lobster
(Panulirus ornatus). Hal ini menjadikan kawasan perairan sekitar CA Teluk Bintuni menjadi
penting sebagai habitat udang yang dapat mendukung industri udang komersial di Kabupaten
Teluk Bintuni.

Di kawasan perairan CA Teluk Bintuni juga di jumpai jenis avertebrata lain seperti jelly fish
(Scyphozoa), salps (Salpa sp.), mantis srimp (Squitta sp.), Crinoid sealilies, Gorgoniau corals
(Gorgonaceae), kerang timba/Bailer’s shells (Nilo acthiopicus dan Syrinx aruanus), serta jenis
kepiting bakau Scylla sp. (Gambar II-18).

B. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya

B.1 Penduduk

Jumlah penduduk yang berada di 14 Kampung di sekitar (di luar, bersinggungan dan di
dalam) Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) sampai dengan Bulan Maret 2005 yaitu sebanyak
9.557 Jiwa. Penduduk secara garis dibedakan atas dua, yaitu penduduk asli /lokal dan
pendatang. Penduduk asli adalah penduduk yang telah lama bermukim disekitara kawasan
Cagar Alam yang dikenal sebagai pemangku hak masyarakat hukum adat, sedangkan
penduduk pendatang yaitu berasal dari masyarakat transmigrasi dan atau para pedagang
serta penduduk Papua pendatang (dari Sorong, Biak, Serui dan tempat tempat lain diluar
Teluk Bintuni). Penduduk secara etnisitas selain didiami oleh etnis asli (Papua), juga terdapat
berbagai etnis pendatang lainnya, dari luar Papua seperti Jawa, Bugis, dan Ambon.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan, dari 14 kampung yang ada di
sekitar kawasan CATB, Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan kampung yang baru
terbentuk sehingga secara definitif belum ada. Anak kasih merupakan kampung yang baru
terbentuk pada tahun 2002, diawali dengan adanya mobilisasi penduduk marga pemangku
hak ulayat di Anak Kasih pada saat kopermas mulai beroperasi. Beberapa penduduk tersebut
berasal dari penduduk Kampung Mamuranu yang pada awalnya hanya membuat pondok dan
ladang disekitar daerah logyard yang dibuka oleh kopermas . Mamuranu adalah desa yang
berada di dalam kawasan CATB yang sudah ada sebeluk kawasan diusulkan dan ditunjuk
sebagai Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada tahun 2003 Dinas Sosial Propinsi Papua membuat
rumah semi permanen dengan jumlah 54 rumah, dimana pembuatan rumah-rumah tersebut
tidak ada koordinasi terutama dengan pihak BKSDA Papua 2, maupun pihak gereja
setempat .

Kampung Tirasai pada awalnya hanya berupa gubuk sebagai tempat berburu, pada tahun
1992 lokasi tersebut dibuka oleh PT. Henrison Iriana sebagai logyard. Ketika hadirnya
Kopermas maka kelompok Marga Imeri berniat membuka pemukiman baru di logyard Tirasai.

Keadaan Umum Kawasan II - 25


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Keinginan masyarakat untuk membentuk kampung baru, terlihat bahwa telah diajukan
permohonan untuk pemukiman baru di lokasi Logyard Tirasai ke Pemda Distrik Bintuni pada
tahun 2002. Pihak pemerintah daerah tidak mengkoordinasikan masalah tersebut dengan
KSDA Papua II Resort Bintuni, dan langsung memberi rekomendasi bahwa usulan mereka
akan ditindaklanjuti.

Sehingga sekarang masyarakat


penduduk Tirasai cukup banyak
bermukim disana sambil menantikan
surat keputusan tentang penetapan
status kampung tersebut .

Pada tahun 1994 melalui Program Bina


Desa PT Henrison Iriana, sebagian
masyarakat yang ada di Tirasai
mengikuti program tersebut yang
berlokasi di Pasamai. Akan tetapi
Gambar. II.19. Lokasi Pemukiman penduduk K. Pasamai dengan berbagai alasan sehingga
mulai awal tahun 2005, masyarakat tersebut sudah banyak kembali lagi ke Tirasai dan
sementara menenempati rumah bekas karyawan Kopermas yang sementara ini ditinggalkan.
Persebaran penduduk yang bermukim di sekitar kawasan berdasarkan kampung (Gambar
II.19) dan jenis kelamin disajikan pada Tabel II-9.

Tabel II-9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Sekitar Cagar Alam Teluk
Bintuni

Jumlah Jumlah Penduduk (Jiwa)


No. Kelurahan/Kampung Distrik Total
(KK) Perempuan Laki-laki
1 Bintuni Timur Bintuni 325 735 853 1588
2 Bintuni Barat Bintuni 606 1310 1471 2781
3 Pasamai Bintuni 42 74 82 156
4 Waraitama/SP 1 Bintuni 254 354 375 729
5 Korano Jaya/SP 2 Bintuni 123 257 271 528
6 Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni 191 347 445 792
7 Tuasai/Beimes/Ingruji Bintuni 209 282 274 556
8 Argo Sigemerai/SP 5 Bintuni 242 599 710 1309
9 Tirasai Bintuni 28 58 89 147
10 Mamuranu Idoor 20 55 70 125
11 Anak Kasih Idoor 15 36 47 83
12 Yakati Idoor 60 140 202 342
13 Yensei Idoor 50 92 127 219
14 Naramasa Kuri 35 85 117 202
Jumlah 2200 4424 5133 9557
Persentase 46,29 53,71 100
Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Keadaan Umum Kawasan II - 26


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Kampung Waraitama, Korano Jaya, Banjar Ausoy, Tuasai dan Argo Sigemerai merupakan
pemukiman transmigrasi yang letaknya bersinggungan dengan Kawasan CATB. Kampung
Mamuranu merupakan kampung yang berada didalam kawasan dan sudah ada sebelum
ditetapkannya Kawasan CATB, sedangkan Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan
perkampungan baru yang ada didalam kawasan. Sedangkan Kampung Yakati, Yensei dan
Naramasa merupakan kampung yang secara letak berada diluar kawasan akan tetapi
keterkaitannya terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan cukup
besar.

Luas wilayah Distrik (Kecamatan) Bintuni yaitu 7.926 Km2 (Atlas Sumberdaya Pesisir
Kawasan Teluk Bintuni, 2003), sedangkan Distrik Idoor dan Kuri tidak diperoleh data luasan
wilayah (karena merupakan distrik baru). Berdasarkan Tabel 10, bahwa kepadatan
penduduk di sekitar kawasan CATB masih rendah (1,2 jiwa/Km2). Akan tetapi seiring dengan
perkembangan Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten pemekaran baru, maka
potensi para penduduk pendatang akan semakin banyak sehingga jumlah penduduk dimasa
yang akan datang diprediksikan akan semakin cepat bertambah.

Gambar II-20. Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni 2005

Keadaan Umum Kawasan II - 27


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel II.10. memperlihatkan bahwa sebaran proporsi jumlah penduduk laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan proporsi jumlah penduduk perempuan. Ratio perbandingan antara
jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan adalah 1,16. Hasil pengamatan di lapangan
yang diperkuat dengan hasil penelitian Yalhimo (2003) memberi gambaran bahwa penduduk
yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar berusia
produktif (19–50 tahun) dengan persentase 49,63 %, disusul penduduk dengan kelompok
usia sekolah (7–18 tahun) sebesar 22,86 %. Persebaran penduduk yang bermukim di
kampung-kampung sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni berdasarkan kelompok umur disajikan
pada Tabel II.10.

Tabel II.10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Sekitar Cagar Alam Teluk
Bintuni

Kelompok Umur (Thn) Jumlah


No. Kelurahan/Kampung Distrik
0–6 7 -18 19 - 50 > 50 (Jiwa)
1 Bintuni Timur Bintuni 214 342 815 217 1588
2 Bintuni Barat Bintuni 243 617 1459 462 2781
3 Pasamai Bintuni 31 37 63 25 156
4 Waraitama/SP 1 Bintuni 84 170 351 124 729
5 Korano Jaya/SP 2 Bintuni 74 114 260 80 528
6 Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni 101 152 401 138 792
7 Tuasai/Beimes/Ingruji Bintuni 72 105 318 61 556
8 Argo Sigemerai/SP5 Bintuni 211 320 605 173 1309
9 TirasaI Bintuni 15 36 72 24 147
10 Mamuranu Idoor 26 29 55 15 125
11 Anak Kasih Idoor 13 18 43 9 83
12 Yakati Idoor 35 107 125 75 342
13 Yensei Idoor 29 63 97 30 219
14 Naramasa Kuri 15 75 80 32 202
Jumlah 1163 2185 4744 1465 9557
Persentase 12,17 22,86 49,63 15,34 100
Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

B.2 Mata Pencaharian

Masyarakat yang berada di sekitar (diluar,


bersinggungan dan di dalam) Cagar Alam Teluk
Bintuni (CATB), mayoritas bermatapencaharian
sebagai petani (45,80 %) dan diikuti oleh
nelayan (18,82 %). Hal ini terjadi karena
terutama Kampung (Desa) yang bersinggungan
dengan kawasan CATB, merupakan
Gambar II-21. Salah seorang anggota
permukiman transmigrasi sehingga masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah
melaut

Keadaan Umum Kawasan II - 28


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

penduduknya banyak yang bermatapencaharian sebagai petani. Akan tetapi untuk Kampung
(Desa) yang berada di dalam kawasan CATB seperti Kampung Mamuranu, Anak Kasih, dan
Tirasai serta kampung yang secara lokasi berada di luar, kawasan CATB seperti Kampung
Yakati, Yensei dan Naramasa akan tetapi bermatapencaharian didalam kawasan CATB yaitu
nelayan (18,82 %), berburu (2,82 %) dan menokok sagu (1,28 %). Ketiga jenis mata
pencaharian tersebut, sangat mengandalkan kepada sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan CATB, sehingga ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam kawasan
cukup besar.

Dengan persentase penduduk lebih dari 20 % yang mengandalkan sumberdaya alam


kawasan CATB secara langsung, dengan laju pertumbuhan penduduk 1-2 %/tahun,
diprediksikan dimasa yang akan datang tekanan terhadap kawasan CATB akan semakin
besar. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan kawasan CATB yang baik dengan
bekerjasama dengan masyarakat setempat sehingga kawasan CATB terjaga kelestariannya
dan masyarakat tetap dapat melakukan kehidupannya sehari-hari. Secara lengkap kondisi
penduduk berdasarkan matapencaharian dapat dilihat pada Tabel II-11.

Tabel II-11. Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni

Mata Pencaharian (Jiwa)


dan babi)
Menokok

TNI/ POL
Berburu
Nelayan

Swasta
(Rusa,
Buaya

Buruh

Lain2
Sagu

Distrik Kampung/Kelurahan
PNS/
Tani

Bintuni Bintuni Timur 138 61 0 0 17 17 28 64


Bintuni Barat 161 148 0 0 74 59 87 77
Pasamai 11 25 0 0 0 2 3 1
Waraitama/SP 1 16 187 0 0 13 3 24 11
Korano Jaya/SP 2 1 96 0 0 14 8 14 54
Banjar Ausoy/SP 4 27 154 0 0 0 29 26 9
Tuasai/Beimes/Ingruji 0 196 0 0 0 2 4 7
Argo Sigemerai/SP5 8 184 0 0 5 21 37 12
Tirasai 13 6 9 0 0 0 0 0
Idoor Mamuranu 9 2 7 0 0 2 0 0
Anak Kasih 7 1 7 0 0 0 0 0
Yakati 20 0 19 18 0 3 0 0
Yensei 16 9 10 12 0 3 0 0
Kuri Naramasa 14 4 15 0 0 0 2 0
Jumlah 441 1073 67 30 123 149 225 235
Persentase 18,822 45,80 2,86 1,28 5,25 6,35 9,60 10,04
Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Keadaan Umum Kawasan II - 29


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

B.3 Pendidikan dan Kesehatan

B.3.1 Pendidikan

Kualitas pendidikan dari penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni secara umum masih rendah, dengan kondisi sarana prasarana pendidikan yang
kurang memadai, terutama jumlah guru untuk setiap sekolah masih rendah. Sebagai contoh
rata-rata jumlah guru untuk tingkat sekolah dasar disetiap kampung (desa) sebanyak 1-3
orang. Secara umum untuk tingkat Kabupaten Teluk Bintuni, pelaksanaan pendidikan telah
berlangsung pada berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai
dengan Perguruan Tinggi (PT). Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan CATB
disajikan pada Tabel II-12. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar
kawasan CATB, pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap cagar alam dan pelestarian
alam masih rendah (84%). Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi tentang cagar alam
dan pelestarian alam yang mereka terima karena kurangnya sarana dan media informasi.

Tabel II-12. Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002

Sarana Pendidikan Jumlah


Distrik Kampung/Kelurahan
TK SD SMP SMU PT (unit)

Bintuni Bintuni Timur 1 2 1 2 1 7


Bintuni Barat 2 3 1 2 0 8
Pasamai 0 0 0 0 0 0
Waraitama/SP 1 0 0 0 0 0 0
Korano Jaya/SP 2 0 1 1 0 0 2
Banjar Ausoy/SP 4 1 1 1 0 0 3
Tuasai/Beimes/Ingruji 0 1 0 0 0 1
Argo Sigemerai/SP5 1 1 0 0 0 2
Tirasai 0 0 0 0 0 0
Idoor Mamuranu 0 1 0 0 0 1
Anak Kasih 0 0 0 0 0 0
Yakati 0 1 0 0 0 1
Yensei 0 1 0 0 0 1
Kuri Naramasa 0 1 (Rusak) 0 0 0 1
Jumlah 5 13 4 4 1 27
Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-12. menunjukan bahwa hampir semua kampung telah memiliki sarana pendidikan
untuk tingkat SD, sedangkan tingkat SMP dan SMU masih terkonsentrasi di pusat kota
Kabupaten Teluk Bintuni (kelurahan Bintuni Timur dan Bintuni Barat) serta daerah
pemukiman transmigrasi (kampung Korano Jaya/SP2 dan Banjar Ausoy/SP4).

Keadaan Umum Kawasan II - 30


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Terkonsentrasinya sarana pendidikan lanjutan di ibukota Kabupaten dan daerah transmigrasi


mengakibatkan banyak anak-anak usia sekolah lulusan sekolah dasar (SD) mengalami
kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMP). Hal yang sama juga di
alami para siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk melanjutkan sekolah ke
tingkat SMU. Kendala utama yang dirasakan adalah jarak sekolah lanjutan dengan
pemukiman mereka cukup jauh, juga sarana transportasi yang belum lancar/langka. Hal ini
membuat para siswa mengalami kesulitan untuk datang ke sekolah tepat waktu, bahkan
banyak dari mereka yang terpaksa tidak masuk sekolah (meliburkan diri) dalam waktu lama.

Permasalahan lain yang cukup menonjol hampir sama dengan sekolah-sekolah yang ada di
sekitar kawasan CATB, yaitu guru sebagai tenaga pengajar yang dirasakan masih kurang
terutama guru-guru bidang IPA dan bahasa Inggris baik pada tingkat SMP maupun tingkat
SMU.

B.3.2 Kesehatan

Sarana kesehatan yang ada di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni sangat terbatas. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (PusTu) hanya ada di ibukota
Kabupaten (Bintuni Barat) dan pemukiman transmigrasi (Banjar Ausoy/SP4), sedangkan
beberapa kampung lain di wilayah ini hanya memiliki poliklinik desa (Polindes) atau
posyandu. Pada kampung-kampung tertentu bahkan tidak memiliki sarana kesehatan sama
sekali seperti terlihat pada Tabel II-13.

Tabel II-13. Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Sarana Kesehatan Jumlah


Distrik Kampung/Kelurahan
Puskemas Pustu Polindes/P’Yandu (unit)
Bintuni Bintuni Timur 0 1 1 2
Bintuni Barat 1 0 1 2
Pasamai 0 0 0 0
Waraitama/SP 1 0 0 0 0
Korano Jaya/SP 2 0 0 0 0
Banjar Ausoy/SP 4 1 0 0 1
Tuasai/Beimes/Ingruji 0 0 0 0
Argo Sigemerai/SP5 0 0 0 0
Tirasai 0 0 0 0
Idoor Mamuranu 0 0 0 0
Anak Kasih 0 0 0 0
Yakati 0 0 0 0
Yensei 0 0 0 0
Kuri Naramasa 0 0 0 0
Jumlah 2 1 2 5
Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.

Keadaan Umum Kawasan II - 31


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Meskipun demikian rutinitas kunjungan dari para medis tetap dilakukan ke kampung-
kampung yang ada. Kendala yang menonjol dalam kunjungan petugas kesehatan adalah
masalah transportasi. Untuk ke kampung Yakati dan Yensei misalnya harus ditempuh dengan
menggunakan perahu motor (longboat) dengan waktu tempuh 4-6 jam, tergantung pasang
surutnya air.

Keadaan tenaga kesehatan yang ada di daerah sekitar kawasan juga masih terbatas seperti
disajikan pada Tabel II-14.

Tabel II-14. Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni tahun 2005

Tenaga Kesehatan
Distrik Kampung/Kelurahan
Dokter Mantri Perawat/Bidan Dukun Beranak
Bintuni Bintuni Timur 0 1 0 4
Bintuni Barat 1 7 12 3
Pasamai 0 0 0 1
Waraitama/SP 1 0 0 0 0
Korano Jaya/SP 2 0 1 0 1
Banjar Ausoy/SP 4 1 2 4 0
Tuasai/Beimes/Ingruji 0 0 0 2
Argo Sigemerai/SP5 0 0 0 0
Tirasai 0 0 0 0
Idoor Mamuranu 0 0 0 1
Anak Kasih 0 0 0 0
Yakati 0 0 0 3
Yensei 0 0 0 2
Kuri Naramasa 0 0 0 1
Jumlah 2 11 16 18
Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-14 memperlihatkan bahwa tenaga medis seperti dokter, mantri, dan bidan yang
terdapat di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sangat
kurang. Di ibukota Kabupaten hanya terdapat seorang dokter dan beberapa mantri serta
perawat/bidan yang bertugas di Puskesmas. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya
pelayanan pengobatan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Khusus untuk
pelayanan persalinan, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun beranak
(traditional healers) yang jumlahnya cukup banyak dan hampir tersedia di setiap kampung di
sekitar kawasan CATB.

Jenis penyakit yang paling umum di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan adalah
malaria, diare, penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), Frambusia, dan
penyakit mata dimana penyakit malaria, diare, dan ISPA merupakan penyakit yang banyak

Keadaan Umum Kawasan II - 32


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

diderita dan menjadi penyebab utama kematian. Hasil studi Yalhimo (2003) menunjukan
bahwa selama tahun 2003 terdapat 246 kasus malaria dan 135 kasus diare, 59 kasus ISPA
dibanding dengan 22 kasus penyakit kulit, 27 kasus Frambusia, dan 55 kasus penyakit mata.
Menonjolnya kasus malaria, diare, dan ISPA diduga disebabkan oleh lingkungan tempat
tinggal masyarkat yang dekat denagn hutan rawa dan mangrove yang merupakan tempat
berkembang biak nyamuk malaria, air baku untuk minum sangat kurang dan tidak memenuhi
standar baku kesehatan, serta kondisi lingkungan jalan umum yang berdebu pada musim
kemarau yang membuat kualitas udara menjadi buruk akibat banyaknya debu.

B.4 Agama
Penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar
sudah memeluk agama seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Hal ini ditunjang oleh
sarana ibadah yang cukup memadai (Tabel II-15).

Tabel II-15. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
berdasarkan Agama

Jumlah Jumlah Jumlah


Kristen
Distrik Kampung/Kelurahan Tempat Katolik Tempat Islam Tempat
Protestan
Ibadah Ibadah Ibadah
Bintuni Bintuni Timur 997 1 178 0 413 2
Bintuni Barat 2395 4 204 1 182 0
Pasamai 52 0 104 1 0 0
Waraitama/SP 1 203 1 37 0 489 3
Korano Jaya/SP 2 47 1 12 0 469 6
Banjar Ausoy/SP 4 70 1 38 0 684 5
Tuasai/Beimes/Ingruji 556 3 0 0 0 0
Argo Sigemerai/SP5 77 1 27 0 1205 6
Tirasai 147 0 0 0 0 0
Idoor Mamuranu/ Anak Kasih 208 1 0 0 0 0
Yakati 342 1 0 0 0 0
Yensei 219 1 0 0 0 0
Kuri Naramasa 187 1 8 0 7 0
Jumlah 5500 16 608 2 3449 22
Persentase 57,55 6,36 36,09
Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-15. memperlihatkan bahwa jumlah penduduk yang menganut agama kristen
protestan lebih besar dibandingkan jumlah penganut agama lain (57,55 %). Tempat ibadah
umumnya juga telah ada di setiap kampung (desa).

Keadaan Umum Kawasan II - 33


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

B.5 Kearifan Tradisional Masyarakat

Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih
memiliki kepercayaan bahwa tempat-tempat tertentu di daerah mereka masih dianggap
keramat (tempat pamali). Hasil wawancara dengan tokoh adat Naramasa (Bpk. Set Efredire)
menyatakan bahwa Pulau Modan merupakan tempat “pamali” dimana menurut kepercayaan
mereka di sana terdapat buaya putih, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk kesana.
Pulau Modan termasuk tanah adat Suku Kuri . Selain itu daerah yang dianggap sebagai
tempat “pamali” yaitu sekitar Pulau Jawarupai yaitu Sungai Asi Inabuo. Disamping itu masih
ada tempat tertentu yang oleh masyarakat dilindungi keberadaannya karena bernilai ritual
seperti mata air, goa, pohon-pohon tertentu, dan sebagainya. Bila dicermati aturan-aturan
mengenai pemanfaatan tanah-hutan seperti itu, pada hakekatnya sejalan dengan prinsip-
prinsip konservasi.

Salah satu pengelolaan sumberdaya alam di dalam CATB berkaitan dengan kearifan
tradisional masyarakat, khususnya masyarakat adat Wamesa adalah pada kegiatan
pengambilan hasil laut dari mangrove berupa kepiting (karaka). Dalam proses
pengambilan karaka, masyarakat biasanya tidak mengambil seluruh jumlah karaka
dalam satu liang (lubang) dengan pertimbangan karaka yang ditinggalkan dapat
berkembang biak. Selain itu dalam pengambilan/pemanenan hasil pohon sagu,
masyarakat adat Wamesa dalam menebang pohon sagu mencari yang tua/matang.
Indikator yang dipakai adalah pohon sagu yang telah berbunga dan menghasilkan
puting sari.

B.6 Pemanfaatan Sumberdaya Alam

B.6.1 Pandangan Masyarakat Adat terhadap sumberdaya alam (Tanah dan Hutan)

Masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)
memandang tanah dan hutan merupakan sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat bagi
kehidupan mereka sebagian pemilik hak ulayat. Oleh sebab itu mereka berusaha memiliki
tanah seluas-luasnya untuk dapat di pertahankan dalam jangka waktu lama serta untuk di
wariskan dari generasi ke generasi.

Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan CATB, memandang tanah dan hutan
sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Apalagi bila tanah tersebut mengandung
sumber daya tambang. Hal ini membuat masyarakat adat mulai berpikir tentang status tanah
dan hutan yang saat ini di kelola oleh “pihak-pihak luar” seperti areal transmigrasi dan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut keterangan dari Tokoh masyarakat Bintuni Bpk. Otto
Manibuy, masyarakat adat harus mendapat kompensasi apabila tanah adat mereka

Keadaan Umum Kawasan II - 34


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

diusahakan untuk usaha tertentu, hal tersebut merupakan usaha agar masyarakat adat tidak
hanya menjadi “penonton” tetapi juga merasakan hasil kegiatan yang dilakukan.

Masyarakat adat melihat hutan mempunyai fungsi ekonomi karena merupakan tempat
menggantungkan kehidupan sehari-hari. Hutan bagi masyarakat adat berfungsi sebagai
tempat berburu rusa, babi hutan, dan jenis-jenis burung tertentu sebagai sumber protein
keluarga, dan jenis burung lain seperti nuri, kakatua dan mambruk untuk di jual. Hutan juga
merupakan sumber sayuran, biji-bijian, dan obat-obatan.

Hutan bagi masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan CATB juga memiliki fungsi
sosial. Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sarana pemersatu hubungan sosial antar
warga dalam satu suku maupun antar suku. Masyarakat Suku Wamesa yang mengklaim
sebagian besar wilayah hutan yang ada didalam kawasan CATB, anggota masyarakatnya
juga tersebar di sekitar kawasan dan kota Bintuni. Dengan adanya kondisi tersebut rasa
persaudaran mereka tetap terikat kuat karena adanya rasa bersama dalam memiliki hutan
adat mereka.

Selain itu tinggi rendahnya status sosial (social status) seseorang atau sekelompok orang
dalam satu marga, klan, ataupun suku dapat di tentukan oleh seberapa luas tanah yang
dimiliki orang/kelompok/klain/marga/suku tertentu. Sebagai contoh pada Suku Sough yang
bermukim di sekitar kawasan CATB, marga Iba, Tiri, Sayori, Yettu, dan Horna “mengklaim”
sebagi kelompok dengan status sosial tinggi karena memiliki tanah yang sangat luas yang
membentang mulai dari pegunungan Arfak sampai ke Pesisir Teluk Bintuni.

B.6.2 Pola pemanfaatan sumberdaya alam.

Pemanfaatan sumber daya alam berupa tanah dan hutan oleh masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih mengandalkan kearifan tradisional.
Secara sosial budaya masyarakat memiliki ikatan erat dengan hutan, sehingga mereka bisa
bertahan hidup dari generasi ke geneeasi sampai saat ini.

Pola pemanfaatan sumber daya tanah secara tradisional biasanya mengacu pada sistem
kelembagaan yang meliputi aturan, nilai, norma dan hukum adat yang mengatur tentang
siapa, kapan, dan dimana seseorang atau kelompok orang boleh memanfaatkan tanah
termasuk sistem pewarisan konflik dan cara penyelesaiannya. Pola ini merupakan aturan tak
tertulis yang disepakati bersama oleh para pemilik tanah yang berlangsung turun temurun.

Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan CATB menunjukan
bahwa hutan merupakan sumber utama kehidupan. Hutan dimanfaatkan untuk memenuhi
beragam kebutuhan seperti kegiatan berkebun (perladangan berpindah), berburu binatang
liar, mencari ikan, menokok sagu, serta sebagai tempat pengambilan bahan baku untuk
pembuatan rumah.

Keadaan Umum Kawasan II - 35


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Dalam bertani misalnya, masyarakat menggantungkan hidupnya pada kegiatan berkebun


dimana mereka juga terikat pada aturan-aturan yang berlaku yang disepakati bersama.
Aturan-aturan tersebut antara lain:

(1) Lahan yang dikelola haruslah milik marga/klan/anggota suku;

(2) Lahan yang dikelola dianjurkan berdekatan dengan lahan milik anggota klan atau suku
lain dengan harapan memudahkan dalam pengerjaan dan pengontrolan bersama;

(3) Batas-batas lahan yang telah disepakati, tidak boleh diubah begitu saja tanpa
kesepakatan bersama antar anggota klan atau suku dengan harapan bahwa dalam
pengelolaannya tidak mengganggu kepentingan anggota yang lain;

(4) Pembukaan lahan, penebangan pohon, pembakaran, pemagaran, dan penanaman


sedapat mungkin dilakukan secara bersama-sama anggota klan atau suku yang lain
agar bila terjadi musibah seperti banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan dapat
dilakukan pengaturan dan penanggulangan secara bersama-sama oleh anggota atau
suku yang bersangkutan.

Aturan juga dibuat dalam berburu binatang liar dimana pola pemanfaatan dilakukan hanya
pada areal hutan yang merupakan milik klan atau suku yang bersangkutan. Hal ini senantiasa
diperhatikan karena bila kegiatan perburuan dilakukan tanpa didasarkan atas aturan batas-
batas tanah ulayat klan, bisa berdampak terhadap terjadinya pertentangan bahkan konflik.
Dari segi pemanfaatan hasil buruan, pada pelaksanaan kegiatan berburu, ada pemburu yang
adakalanya berhasil dari pada yang lain. Pemburu yang berhasil tersebut senantiasa
membagi-bagikan hasil buruannya kepada tetangganya dengan radius dua rumah juga
kepada keluarga dekat seperti kakek-nenek, orang tua, saudara kandung, atau para kerabat
dekat di luar radius tersebut.

Dalam meramu sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi seperti daun, bunga, buah, tunas
atau buah-buahan yang tumbuh di sekitar kampung atau dekat dengan kebun-kebun
penduduk, dapat di klaim sebagai milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan,
membersihkan atau yang punya lahan dimana tumbuhan tersebut berada dan selanjutnya
diwariskan kepada keturunannya. Dari segi pengumpulan bahan bangunan, pohon dan
tumbuhan yang biasanya digunakan untuk bangunan atau keperluan rumah tangga, yang
tumbuh disekitar pemukiman, dekat kebun, atau di kawasan pamali dapat diklaim sebagai
milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan atau membersihkannya, dan dapat
juga diwarisakan kepada keturunannya.

Pola pemanfaatan tersebut diatas, lebih berhubungan dengan prinsip-prinsip pengaturan


dalam memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga. Namun seiring dengan perkembangan
jaman, dimana “pihak luar” mulai masuk, para pemilik tanah mulai terperikat untuk

Keadaan Umum Kawasan II - 36


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

“menyerahkan” sumberdayanya untuk digunakan. Hal ini berdampak pada semakin


terkikisnya sistem kearifan tradisional yang mengandung nilai-nilai konservasi atas sumber
daya tanah.

Ketika masuk sistem ekonomis kapitalis yang berbasis pada penggunaan uang, maka
penggunaan hutan lebih banyak mengarah pada prinsip-prinsip ekonomi yang menghasilkan
keuntungan materiil. Hal ini karena ketika beroperasi sejumlah HPH, Hutan konversi untuk
program transmigrasi, pemukiman, dan lain-lain menyebabkan terjadinya perubahan struktur
pemilikan dan pola peruntukan yang telah lama dianut masyarakat. Areal hutan milik komunal
telah dikonversi untuk berbagai kepentingan sekaligus dan masyarakat menerima
kompensasi langsung. Umumnya kompensasi adalah berupa uang tunai dan pembangunan
rumah tinggal yang tentunya berdampak terhadap perubahan fungsi hutan untuk berbagai
stakeholder.

B.6.3 Pemanfaatan Sumberdaya Alam di Kawasan CATB.

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara fisik dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang
secara turun temurun telah berinteraksi dalam bentuk memanfaatkan sumberdaya alam baik
flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Bentuk interaksi dengan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu berupa pemanfaatan jenis-jenis flora dan fauna serta lahan untuk
kebun. Pemanfaatan beberapa jenis flora oleh masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai
bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan
tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih terfokus pada fauna perairan, seperti ikan,
kepiting, udang, dan kerang (bia).

Pola interaksi masyarakat sekitar dengan kawasan CATB yaitu dalam bentuk mata
pencaharian, dimana sebagian masyarakat ada yang bermatapencaharian sebagai nelayan,
berburu dan menokok sagu. Apabila melihat pola tersebut maka pemanfaatan sumberdaya
alam di kawasan CATB cukup intensif, dimana masyarakat mengamabil sumberdaya alam
tersebut hampir setiap hari. Jenis fauna yang ada di dalam kawasan CATB seperti
buaya,rusa dan beberapa jenis burung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hewan
buruan. Khusus untuk buaya, rusa dan babi merupakan fauna yang sering diburu dan telah
menjadi sumber mata pencaharian di beberapa kampung seperti Naramasa, Yakati, Yensei,
Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Buaya diambil kulitnya sedangkan rusa dan babi diambil
dagingnya untuk dibuat dendeng. Selain itu sumberdaya alam hutan mangrove berupa lahan
pada daerah peralihan telah dimanfaatkan sebagai kebun. Kegiatan pemanfaatan tersebut
telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.

Keadaan Umum Kawasan II - 37


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

B.6.3.1 Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut

Penangkapan ikan dan hasil perikanan lain


oleh masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan CA Teluk Bintuni umumnya masih
sederhana. Peralatan tangkap yang
digunakan masih bersifat tradisional seperti
tombak, seser dan sero. Selain itu sebagian
masyarakat sekitar kawasan juga sudah mulai
mengenal dan menggunakan alat tangkap
yang lebih modern yang diadopsi seperti
rawai dan jaring udang (trammel net).

Gambar II-22. Penangkapan ikan dengan


Dalam kegiatan penangkapan ikan dan hasil menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan
masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB
laut lainnya, masyarakat lokal yang bermukim
di dalam dan sekitar kawasan mengenal
beberapa cara/teknik penangkapan
tradisional, yaitu teknik penangkapan
“PELEKALI, JARING BALABUH, dan
MANCING”.

“PELEKALI”, yaitu penangkapan ikan dengan


cara membentangkan (memotong) muara
sungai/kali/kanal kecil dalam kawasan yang
terpengaruh pasang surut dan menggunakan Gambar II-23. Jenis siput bor Bactronophorus sp.
yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar
jaring bekas trawl. Teknik ini sudah kawasan CATB

berlangsung lama dan turun temurun dengan


memanfaatkan salah satu karakteristik fisik
kawasan yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Pada saat air sungai penuh/pasang
naik (high tide), pada mulut/muara
kali/sungai/kanal dalam kawasan
dibentangkan sejenis jaring (bekas trawl)
sampai ke dasar sungai dengan bantuan
tiang-tiang kayu mangrove dari jenis
Rizophora sp. Kolam-kolam yang terbentuk Gambar II-24. Jenis Kerang Polymesoda coaxan
yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan
saat air surut (low tide) selanjutnya di beri CATB

sejenis racun yang berasal dari tumbuhan


dikenal dengan “akar bore /tuba” yang dapat membuat ikan terbius “mabuk”.

Keadaan Umum Kawasan II - 38


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

“JARING BALABUH”, yaitu teknik penangkapan ikan, udang, dan hasil perikanan lain secara
tradisional dengan menggunakan jaring apung (lokal: jaring balabuh).

“MANCING”, yaitu penangkapan hasil laut terutama ikan di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Teluk Bintuni oleh penduduk lokal dengan menggunakan perahu dayung/motor. Alat
yang digunakan adalah alat pancing (nelon plus mata kail).

Pengumpulan hasil laut yang dimaksud disini adalah pengambilan/pengumpulan hasil


perikanan berupa kepiting (mud crabs) yang dalam istilah lokal disebut “Karaka”, kerang/siput
(shellfish), dan “Tambelo”, sejenis molusca (marine borer) yang hidup di dalam batang kayu
mangrove yang mati.

Pengumpulan hasil laut biasanya dilakukan di komunitas hutan mangrove oleh penduduk
lokal yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Teknik pengambilan
masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan “pengait” yang terbuat dari besi
dengan panjang r 1 m, keranjang, dan kantong (noken).

Pemanfaatan berbagai jenis ikan dan udang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap
jaring ”berlabuh” dan untuk ”pele kali”, pancing, akar bore (tuba) serta menggunakan perahu
mesin/tanpa mesin. Daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
kawasan CATB, hampir meliputi seluruh kawasan terutama di Sungai Tirasai, Muturi, Bokor,
Kodai serta sungai kecil lainnya. Sedangkan untuk menangkap kepiting (karaka)
menggunakan alat besi pengait.

Hasil wawancara dengan para nelayan


menunjukan bahwa, sekali melaut (sehari
semalam) mereka dapat menghasilkan 10-
30 tali ikan. Pada umumnya para nelayan
melaut tidak setiap hari, dalam seminggu
mereka melaut 2-3 kali. Jadi rata-rata
penghasilan kotor sekali melaut yaitu
Rp.100.000-300.000, hasil tersebut belum
dipotong oleh bahan bakar (harga bensin
Rp. 4.500/liter) yang memerlukan sekitar 15 Gambar II-25. Jenis Kepiting bakau Scilla sp. yang
liter (± Rp.70.000) dan dibagi dengan biasa dikumpulkan masyarakat lokal di dalam dan
sekitar kawasan CATB
nelayan lain (1 perahu 2 orang). Apabila
diasumsikan rata-rata pendapatan bersih = Rp. 200.000 – 70.000 = 130.000/2 = Rp.
65.000/orang sekali melaut maka penghasilan sebulan rata-rata adalah Rp.650.000-
Rp.975.000. Sedangkan untuk yang menangkap kepiting (karaka) pada umumnya
menggunakan perahu tanpa mesin/dayung (kole-kole) dan sekali melaut dapat menghasilkan
7- 10 ekor, sehingga dapat menghasilkan rata-rata Rp. 50.000-100.000/sekali melaut.
Pengumpulan hasil perikanan oleh masyarakat hanya dilakukan pada saat air surut (low tide),

Keadaan Umum Kawasan II - 39


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

khususnya bila pergantian pasang surut dan pasang naik terjadi pada siang hari. Hasil
wawancara dengan beberapa nelayan tradisional (pengumpul) bahwa dalam satu kali
pengambilan, tiap orang dapat mengumpul/mengambil 10-15 ekor/orang untuk “ karaka” dan
1-3 kantong/orang untuk kerang/siput.

Tabel II-16. Hasil Perikanan yang dihasilkan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) beserta harganya.

No Jenis Hasil Perikanan Satuan Harga (Rupiah)

1 Ikan Ekor Satu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000


2 Ikan Sembilan Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000
3 Ikan Kepala Batu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000
4 Ikan Congge Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 12000
5 Ikan Lasi Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000
6 Ikan Bubara Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000
7 Ikan Kakap Merah Ekor 10.000-35.000
8 Ikan Sisip Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000
9 Udang Kg 25.000
10 Kepiting (Karaka) Ekor 7.000-10.000
11 Tambelo Kantong 5.000-10.000
12 kerang/bia/siput Kantong 5.000-10.000
Sumber : Hasil Survei Tim TNC, 2005.

B.6.3.2 Pemanfaatan Tumbuhan

Keberadaan ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem mangrove di kawasan dirasa
sangat penting, terutama oleh masyarakat traditional yang bermukim di sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Hutan ini bagi masyarakat setempat merupakan sumber sumber
bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, dan bahan bangunan.

(a) (b) (c)

Gambar II-26. Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para,
dan (c) anyamankeranjang

Keadaan Umum Kawasan II - 40


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Khusus untuk pemanfaatan sebagai kayu bakar, masyarakat sekitar hanya memanfaatkan
ranting dan cabang yang gugur tanpa menebang pohon. Hal ini menjadikan hutan mangrove
terutama di kawasan CATB masih terpelihara dengan baik. Peralatan yang digunakan untuk
penebangan mangrove masih sederhana, yaitu menggunakan parang dan kapak.
Pengambilan kayu bakar dilakukan dengan mengumpulkan ranting/cabang pohon di hutan
dataran rendah dan pohon mangrove yang mati/gugur dan pohon mangrove yang tumbang
secara alami (akibat angin dan umur pohon tua).

Kehadiran jenis-jenis palem dalam ekosistem hutan dataran rendah membuat hutan ini
menjadi berarti bagi masyarkat sekitar. Masyarakat sekitar banyak memanfaatkan salah satu
komponen flora ini untuk berbagai macam keperluan.

Hasil survei Tim TNC (2005) menunjukan bahwa masyarakat suku Sough yang bermukim di
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memanfaatkan beberapa jenis palem yang
tumbuh di hutan dataran rendah CATB sebagai bahan makanan, bahan bangunan, obat
tradisional, serta senjata dan perkakas (Gambar II-27 dan Tabel II-17 ).

Tabel II-17. Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni

Jenis
No Kegunaan
(nama lokal)
Caryota rumpiana x Bagian pucuk diambil sebagai bahan makanan
1
(guta more) x Ijuk digunakan sebaga atat dan bubungan rumah
Calamus sp.1 x Batang dikupas dan dibersihkan dan digunakan sebagai pengikat
2
(aitaga moredek) pagar dan tiang rumah dan tali busur
Calamus sp.2 x Daun digunakan sebagai pembungkus makanan, terutama ubi yang
3
(aitaga cidemeh) ditumbuk
x Batang langsung digunakan untuk mengikat tiang rumah
Calamus sp.3
4 x Batang dibelah, dibersihkan sebagai tali busur
(aitaga besameh))
x Batang dianyam untuk pembuatan keranjang dan anyaman lain
x Batang dibelah sesuai ukuran, dibersihkan, dan digunakan sebagai
Licuala sp.
5 lantai rumah atau tempat duduk (para-para)
(beimes)
x Batang dibelah, dikikis sebagai bahan baku pembuatan busur panah
Pinanga sp.1 x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan busur dan hulu tombak
6
(Amough) (sejata tradisional)
Pinanga sp.2 x Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah
7
(Humog) x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah
x Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah/para-
Pinanga sp.3
para
8 (Corohuij moro)
x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah
x Daun digunakan sebagai pembungkus makanan
Sumber: Hasil survei TNC, 2005

Pemanfaatan sumberdaya mangrove dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu pemanfaatan
tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai

Keadaan Umum Kawasan II - 41


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

komponen utama kehidupan (primary biotic component). Khusus untuk masyarakat yang
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam, umumnya masih terbatas pada
pemanfaatan tingkat komponen ekosistem (flora dan fauna) sebagai komponen primer
kehidupan di hutan mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala traditional (traditional
uses).

Gambar II-27. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai Gambar II-28. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai
tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni. Alam Teluk Bintuni.

Pemanfaatan flora hutan mangrove secara traditional pada umumnya dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan rumah tangga. Jenis-jenis yang dimanfaatkan hanya
terbatas pada jenis mangrove dan nipah. Pemanfaatan jenis mangrove oleh masyarakat
lokal umumnya digunakan sebagai kayu bakar, perkakas, bahan bangunan rumah,
perlengkapan perahu tradisional (Gambar II-27), serta untuk keperluan tiang-tiang pagar
dalam kegiatan mencari ikan (fishing) yang dalam istilah lokal disebut “ tiang belo” (Gambar
II-28).

Khusus untuk vegetasi nipah, penduduk


asli di sekitar kawasan Cagar Teluk Bintuni,
yaitu masyarakat suku Sough, Kuri, dan
Wamesa dalam kehidupan lintas generasi
telah memanfaatkan tujuh bagian nipah
yang dapat dimanfaatkan, yaitu anak daun,
tulang daun, tangkai daun, pucuk, buah
malai dan akar. Pemanfaatan nipah oleh
masyarkat suku-suku ini antara lain sebagai
bahan makanan/minuman, bahan
Gambar II-29. Rumah tradisional masyarakat lokal
yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari bangunan seperti untuk atap dan dinding
vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
rumah (Gambar II-29), obat-obatan, energi,
perkakas, dan perlengkapan perahu tradisional, dan kerajinan.

Keadaan Umum Kawasan II - 42


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Berikut adalah rangkuman pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove di


kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, seperti disajikan pada Tabel II-18.

Tabel II-18. Pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove oleh masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Tujuan Jenis yang Bagian yang


No. Cara pemanfaatan
pemanfaatan dimanfaatkan dimanfaatkan
1 Bahan Nypah Fructicans Buah Buah mudah dibelah air dan daging
makanan/minuman dimakan dan diminum dengan rasa seperti
buah kelapa muda
Malai Malai dipotong kemudian disadp untuk
mengahsilkan nira (bobo), sejenis minuman
tradisional/lokal
Tangkai daun tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, diasapi
di atas tungku api, setelah kering dibakar,
abunya diambil dan disimpan di dalam
media bambu sebagai subtitusi GARAM
dapur.
2 Bahan Bangunan Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap dan kajang
(dinding) rumah, pondok, dan perahu yang
dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai
Tangkai daun x Untuk dinding, tangkai daun nipah
dijemur sampai kering, dipotong sesuai
ukuran kemudian dirakit sebagai
dinding
x Untuk para-para (tempat duduk),
tangkai daun dibersihkan selanjutnya
ditancapkan sepanjang bentangan
jaring sebagai penahan jaring agar
tidak terbawa arus air pasang dan surut
atau dipotong sesuai ukuran para –
para lalu disusun sebagai tempat
duduk saat memancing ikan.
Bakal tangkai Pucuk dibersihkan dari anak daun,
daun (pucuk) dibersihkan dibelah menjadi dua bagian
selanjutnya dimanfaatkan sebagai pengikat
pengganti paku untuk mengikat atap atau
kajang
Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah
3 Obat-obatan Nypah Fructicans akar Akar dibakar dan arangnya diletakan pada
gigi yang sakit
Rhizophora sp. Kulit Kulit diparut digunakan sebagai obet kudis
4 Energi (bahan Nypah Fructicans anak daun dan Anak daun maupun tangkai daun yang
bakar) tangkai daun telah kering diambil sejanjutnya dibakar
Bruguiera sp. Batang Digunakan langsung sebagai kayu bakar
Rhizophora sp. Batang, Digunakan langsung sebagai kayu bakar
ranting,
cabang
5 Perkakas anak daun x anak – anak daun dijahit pada bahan
mudah lentur dengan panjang r 50 –
60 cm, selanjutnya dibentuk menjadi
sebuah tabung yang berdiameter 25 –
30 cm dan tinggi 80 – 100 cm untuk
WADAH TEPUNG SAGU, AYAKAN
SAGU, dan KAMBOTI (pengganti
kantong)

Keadaan Umum Kawasan II - 43


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tujuan Jenis yang Bagian yang


No. Cara pemanfaatan
pemanfaatan dimanfaatkan dimanfaatkan
x sebagai pembungkus untuk memasak
(bakar) bahan makanan seperti sagu,
ikan, dan daging.
Tangkai daun Tulang dibersihkan kemudian dijadikan
sendok (gata-gata) yang digunakan untuk
mengkonsumsi makanan tradisional
(papeda)
Tulang daun sebagai sapu untuk membersihkan di
dalam dan di sekitar rumah.
6 Kerajinan Anak daun Anak daun dianyam membentuk kerajinan
tangan seperti topi, keranjang yang atasnya
terbuka (idate) dan tertutup (kirore).
7 Perlengkapan Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap perahu yang
perahu tradisional dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai

Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah


perahu

8 Tiang belo Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang-tiang


pancang (belo) untuk ditempatkan jaring
trawl dalam kegiatan “pele kali”
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

B.6.3.3 Tempat Berburu

Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar


Cagar Alam Teluk Bintuni dengan ekosistem
utama adalah manggrove yang kaya
berbagai jenis satwa liar seperti babi huta
(Sus sp.), rusa (Cervus timorensis), serta
berbagai jenis burang dan mamalia. Kondisi
ini menyebabkan dalam kehidupan lintas
generasi selalu melakukan aktivitas
perburuan maupun penangkapan terhadap
Gambar II-30. Dendeng rusa dan babi hutan yang
satwa liar untuk memenuhi akan protein diperoleh dari berburu di hutan sekitar kampung
Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni
hewani.

Dalam memenuhi kebutuhan akan protein, masyarakat yang bermukim di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni masih tergantung pada ketersediaanya di alam. Peranan kawasan CATB
menjadi penting sebagai sumber protein hewani bagi penduduk sekitar.

Selain pemanfaatan hasil perikanan berupa ikan, udang, dan kepiting, masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar CATB, terutama di Kampung Naramasa, Yakati dan Yensei
juga melakukan perburuan buaya di Sungai Naramasa, Sobrawara, Yensei dan Yakati.
Mereka berburu buaya minimal 2 orang (satu perahu) dan berburu pada saat malam hari.
Alat yang mereka gunakan berupa tombak, parang, senter serta perahu dayung (kole-kole).
Buaya yang diburu harus memiliki diameter badan antara 12 sampai 20 inci, karena ukuran

Keadaan Umum Kawasan II - 44


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

badan buaya tersebut yang laku di pasaran. Harga kulit buaya saat ini, yaitu rata-rata Rp.
15.000/inci. Selain diambil kulitnya daging
buaya dikonsumsi oleh masyarakat serta
“tangkur” buaya cukup laku di pasaran. Para
pembeli kulit, daging serta bagian lain dari tubuh
buaya hampir setiap minggu datang ke
kampung, hal ini mengindikasikan bahwa
permintaan terhadap komoditas tersebut cukup
tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat yang berburu buaya, hasil
tangkapan saat ini sudah semakin sulit di dapat.
Apabila dibandingkan dengan 5 sampai 10 tahun
Gambar II-31. Model Kandang pembesaran anakan
buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor. yang lalu, dalam waktu seminggu berburu
mereka dapat menghasilkan 7 sampai 10 ekor buaya. Sekarang sekali berburu memerlukan
waktu 1 – 2 minggu dan rata-rata hanya memperoleh 3 – 4 ekor. Usaha dari masyarakat
untuk melakukan pembesaran anakan buaya sudah mulai dilakukan di kampung Yensei,
Naramasa, dan Bintuni Timur. Dalam kegiatan ini, sekitar 7 – 10 ekor anak buaya dimasukan
dalam kandang anakan buaya berukuran 4 m x 6 m (Gambar II-31). Usaha yang
dikembangkan oleh masyarakat Yensei, Naramasa, dan Bintuni ini bisa dikembangkan di
Kampung lain atau dikembangkan skala usahanya, sehingga pola pemanfaatan buaya
dengan cara pengambilan dari alam lambat laun bisa dikurangi.

Perburuan lain terhadap fauna yang ada di kawasan CATB, yaitu rusa dan babi. Rusa dan
babi banyak terdapat di hutan dataran rendah di sekitar hutan mangrove. Dalam berburu
rusa dan babi dilakukan secara sendiri maupun berkelompok. Alat yang digunakan berupa
tombak, parang, panah, jerat serta anjing. Daging rusa dan babi di jual dalam bentuk
dendeng, harga pasaran sekarang yaitu Rp.15.000/Kg.

B.6.3.4 Tempat Berladang

Ladang dan kebun masyarakat yang


terdapat di dalam kawasan umumnya
berlokasi/letaknya jauh dari pemukiman.
Ladang atau kebun pada umumnya
diusahakan baik oleh masyarakat yang
tinggal di luar maupun di dalam kawasan
CATB. Pola perladangan adalah dengan
sistem perladangan berpindah yang
Gambar II-32 Lahan kebun dan bekas kebun
ditanami dengan jenis tanaman semusim, masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang berada
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 45


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

ubi-ubian, sayuran dan jenis tanaman buah-buahan dengan rata-rata luas lahan 0,25 – 1,0 ha
untuk tiap kepala keluarga.

Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan,
sebagai berikut :

x Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon


tingkat pancang dan tiang.

x Menebang pohon–pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian lahan tersebut
dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi
kering. Ranting pohon dan semak-belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat
dalam lahan/kebun dan atau dipinggir.

x Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak-belukar yang ada sudah

Kering dan kemudian hasil pembakaran berupa abu dibiarkan agar


terdekomposisi/bercampur dengan tanah yang ada.

x Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.

x Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru
dengan lama pengusahaan lahan (masa bera) 1-2 tahun.

B.6.3 Kepemilikan Lahan

Hasil survey lapangan Tim TNC (2005) berhasil mengidentifikasi kepemilikan lahan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat (Gambar II-33).

Secara tradisional, kawasan ini berada dalam pengelolaan wilayah adat tiga suku besar yakni
Suku SOUGH (marga Imeri, Yettu, Tiri, dan Iba), dan suku WAMESA (marga Fimbay,
Masyewi, Maboro, Kindewara, Kawab, Sirimbe, Waney, Tatiri, Kemon, dan Susumbokop),
dan suku KURI dari marga Urbon, Efredire, dan Pigo. Khusus untuk suku Wamesa, marga-
marga yang memiliki hak ulayat cukup besar di kawasan adalah Susumbokop, Tatitri,
Maboro, Manibuy, dan Kemon, sedangkan marga yang lain hanya memiliki kurang dari 15 %
dari total wilayah yang menjadi hak ulayat suku Wamesa (Hasil Survey Tim, 2005).

Suku Sough yang mendiami kawasan S. Wasian, S.Bintuni hingga S. Simeri lebih dikenal
dengan panggilan Manikion Parirei. Suku ini terutama dari marga Yettu dan Tiri “mengklaim”
wilayah hukum adat mereka meliputi wilayah muara Sungai Wasian, S. Bintuni, S. Tisai, S.
Banjar Ausoy, S. Muturi, dan S. Tirasay. Marga Imery meliputi S. Tirasay, Sungai Sumberi,
S. Tikamari, S. Anak Kasih, dan S. Simeri. Sedangkan Marga Iba memiliki wilayah hukum
adat mulai dari Sungai Sigirau sampai dengan S. Banjar Ausoy. Menurut informasi dari tokoh
kunci (Andarias Iba) di Kampung Tuasai bahwa tanah yang saat ini menjadi hak ulayat
marga Iba merupakan pemberian dari marga Yettu sebagai balas jasa atas bantuan marga

Keadaan Umum Kawasan II - 46


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Iba yang telah ikut membantu menyelesaikan masalah (perang saudara) yang waktu itu
dialami oleh marga Yettu. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat (Bernadus
Sioho) bahwa hal yang sama juga terjadi pada marga Sioho yang memiliki hak ulayat di
daerah Sungai Tikamari dan S. Anak Kasih yang merupakan pemberian dari marga Imery.

Gambar II-33. Peta Kepemilikan Lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat

Suku Wamesa khususnya marga Manibuy “mengklaim” bahwa sebelum adanya perang suku
wilayah adat mereka mulai dari Sungai Simeri hingga S. Manibuy. Marga Tatiri,
Susumbokop, Kemon, dan Maboro yang berasal dari kampung Yakati “mengklaim” wilayah
Gunung Taberay Pulau Nusuama, Pulau Kaboi sampai dengan Sungai Kodai. Marga
Fimbay, Sirimbe, Masyewi yang berasal dari kampung Yensei “mengklaim” wilayah hukum
adat mereka meliputi Pulau Maniai, P.Jawarupai dan P. Modan.

Sedangkan suku KURI mengklaim wilayah adat mereka meliputi daerah sekitar Sungai
Naramasa, S.Sobrowara, dan S. Modan. Menurut pengakuan orang Kuri, Pulau Modan
adalah milik orang Yensei ( Suku Wamesa). Sampai saat ini kepemilikan Pulau Modan masih
menjadi percebatan antara suku Wamesa dengan Suku Kuri. Hal ini terjadi karena menurut
sejarah yang diceritakan oleh tokoh adat Wamesa (Bpk. Adrian Tatiri) dan Kuri (Bpk. Set
Efredire), Pulau Modan pada jaman kerajaan Tidore merupakan pusat pemerintahan daerah
kekuasaan kerajaan Tidore di Irian. Kedua suku tersebut mengklaim bahwa suku merekalah
yang punya hanya aulat di Pulau Modan tersebut.

Keadaan Umum Kawasan II - 47


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Batas-batas kepemilikan tanah adat tersebut, belum merupakan batas adat yang mutlak.
Karena sampai saat ini belum dilakukan kesepakatan antara ketiga suku besar tersebut.
Kesepakatan mengenai batas tanah adat perlu segera dilakukan agar tidak terjadi “konflik”
antar ketiga suku dimasa yang akan datang. Hal tersebut diakui juga oleh Kepala Bidang
Sosekbud Bappeda Teluk Bintuni Bpk. Tessa,S.Sos, bahwa kesepakatan mengenai batas
tanah adat harus segera dilakukan agar tidak terjadi konflik antar suku, dan dimasa yang
akan datang Bappeda Teluk Bintuni akan mencoba memfasilitasi hal tersebut.

B.7 Sarana dan Prasarana Transportasi

Sarana transportasi yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni khususnya di 3 Distrik (Distrik
Bintuni, Distrik Idoor, Distrik Kuri) yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
terdiri dari sarana Transportasi Udara, Darat dan Sungai/Laut.

Transportasi Udara

Di Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni terdapat


sebuah lapangan terbang dengan konstruksi
aspal yang bisa di darati oleh jenis Pesawat
Twin-Otter (Gambar II.34) dan Cesna.
Penerbangan reguler ke kabupaten Teluk
Bintuni dilayani oleh maskapai Merpati
Nusantara, dengan frekuensi penerbangan
sekali seminggu (Kamis) dari manokwari dan
hari Minggu dari Sorong. Selain itu juga bisa
menggunakan pesawat carteran jenis cesna Gambar II.34. Sarana transportasi udara jenis Twin-
Otter di pelabuhan udara kota Bintuni yang melayani
milik AMA dari Manokwari, Akan tetapi penerbangan ke dan dari kota Bintuni
transportasi udara di Kabupaten Teluk Bintuni
sangat tergantung dari cuaca, apabila cuaca
buruk maka setiap maskapai tidak jadi
melakukan penerbangan .

Tansportasi Darat

Untuk mencapai kampung-kampung terdekat


di sekitar Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni
dapat di tempuh dengan menggunakan
kendaraan umum roda empat (taxi) dengan
jumlah armada yang terbatas. Disamping itu
juga tersedia sarana transportasi roda dua Gambar II-35. Sarana transportasi darat jenis land
cruiser (hardtop) yang melayani transportasi
(ojek) yang melayani penumpang umum Manokwari-Bintuni PP

Keadaan Umum Kawasan II - 48


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dalam kota dan ke kampung di sekitar kota Bintuni. Sedangkan transportasi darat yang
melayani penumpang umum yang akan berpergian ke luar kota/Kabupaten Teluk Bintuni
khususnya Manokwari menggunakan Hardtop (Gambar II-35) dengan waktu tempuh 12 – 16
jam.

Sarana transportasi darat yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni dengan
Kabupaten terdekat (Kabupaten Manokwari) adalah jalan timbunan (pengerasan) r 74 km
dan jalan beraspal r 126 km (Pemda Prov. Papua, Pemda Manokwari, Unipa, CRMP, 2003).

Keadaan transportasi jalan kota Bintuni adalah jalan beraspal (sebagian besar sudah rusak)
sepanjang 13 km yang menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman penduduk, sedangkan jalan
yang menghubungkan ibukota Kabupaten Teluk Bintuni dengan kampung-kampung di
sekitarnya adalah jalan tanah timbunan dan jalan tanah yang dipadatkan. Jumlah dan jenis
sarana transportasi darat yang ada di Kota
Bintuni disajikan pada Tabel II.20.

Tansportasi Sungai/Laut

Peran sarana transportasi sungai/laut


sangat penting untuk kampung-kampung di
sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB),
khususnya kampung-kampung yang berada
di wilayah pemerintah Distrik Idoor dan Kuri.
Sarana transportasi utama adalah perahu
motor atau longboat (Gambar II-36) dan
Gambar II-36. Sarana transportasi laut/sungai jenis
perahu dayung. longboat yang digunakan masyarakat di dalam dan sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni.
Akses beberapa kampung di sekitar Cagar
Alam Teluk Bintuni ke pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni menggunakan sarana transportasi
sungai/laut disajikan pada Tabel II-19.

Tabel II-19. Sarana dan Jenis Transportasi Kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik
dengan saran Transportasi Sungai/Laut.

No Kampung Sarana dan Jenis Waktu Keterangan


Transportasi Tempuh
1 Mamuranu Sungai & laut, perahu motor r 3 jam S.Kamisayo-Laut-S.Wasian
2 Anak Kasih Sungai & laut, perahu motor r 2,5 jam S.Anak kasih-S.Manibuy-Laut-
3 Yakati Sungai & laut, perahu motor r 4 jam S.Yakati-S.Tatawori-Laut-
S.Wasian
4 Yensei Sungai & laut, perahu motor r 4 jam S.Yensei-S.Tatawori-Laut-
S.Wasian
5 Naramasa Sungai & laut, perahu motor r 6 jam S. Naramasa-Laut-S.Wasian
Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.

Keadaan Umum Kawasan II - 49


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Selain itu untuk transportasi laut antar kabupaten,Teluk Bintuni telah memiliki sebuah
dermaga/pelabuhan. Jalur pelayaran yang mempunyai akses dari dan ke Teluk Bintuni
melalui Sorong adalah pelayaran reguler PT PELNI dan pelayaran swasta lain seperti
disajikan pada Tabel II-20.

Tabel II-20. Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan
pelayaran swasta lain

No Nama Kapal Trayek


1 KM Papua III Mkw-Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)
2 KM Lady Marina Merauke-Agats-Timika-Tual-Kaimana-Fakfak-Bintuni-Sorong (PP)
3 KM Bintang Satya Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)
4 KM Raflesia* Bintuni-Babo-Kelapa Dua-Sorong
5 KM Semuel* Belum dioperasikan
Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.
* Armada Milik PEMKAB Teluk Bintuni

B.8 Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB perlu dilakukan agar semua pihak mengetahui
betapa besarnya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan. Sehingga semua pihak merasa
perlu untuk melestarikan kawasan CATB, agar generasi yang akan datang masih dapat
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB
dilakukan hanya pada hutan mangrovenya, karena mayoritas kawasan merupakan hutan
mangrove.

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat kawasan CATB (ekosistem
hutan mangrove) didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak
berguna secara langsung (non use value) .

Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan
(use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value = NUV). UV adalah jumlah dari
nilai pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung
(indirect use value = IUV), nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah
dari nilai eksistensi (existensi value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan
demikian nilai ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut:

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + ( XV + BV)

Pendekatan penilaian dalam perhitungan nilai manfaat kawasan CATB (ekosistem hutan
mangrove) melalui perhitungan nilai total ekonomi yaitu menggunakan pendekatan produksi
dan nilai pasar (productivity and market values), pasar pengganti, pendekatan biaya ganti

Keadaan Umum Kawasan II - 50


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

(replacement cost), dan contingen valuation method dengan memanfaatkan data hipotetik
mengenai kesediaan membayar dan menerima (willingness to pay/ WTP and willingness to
accept/ WTA) dari pengguna sumberdaya ekosistem hutan mangrove.

Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann (1999)
mencoba membaginya kedalam 3 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii)
fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam terminologi yang sifatnya
holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki “keunikan” dan berfungsi secara sosial dan
ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove ini, selanjutnya dapat kita
lihat pada Tabel II-21.

Table II-21. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove

Fungsi Produksi Berkelanjutan Fungsi Pembawa dan Pangatur

Kayu bakar Pengendali erosi


Arang Penyerap dan recycle limbah manusia dan
polutan lainnya

Ikan Memelihara biodiversity


Udang Tempat migrasi habitat
Tannin Tempat pemijahan dan pembibitan

Nipa Supplai unsur hara (nutrient)


Obat-obatan Regenerasi nutrien

Perburuan tradisional, penangkapan ikan dan Melindungi dan memelihara terumbu karang
pengumpulan produk

Sumberdaya genetic

Sosial Ekonomi/ Fungsi Konversi Fungsi Informasi

Industri dan penggunaan lahan Informasi religius dan spiritual

Tambak Inspirasi artistic dan budaya


Usahatani padi Informasi pendidikan, sejaran dan
pengembangan ilmu pengetahuan

Habitat bagi penduduk asli


Tempat rekreasi

Perhitungan nilai ekonomi dari setiap jenis manfaat ekosistem hutan mangrove untuk nilai
aktual didasarkan atas asumsi-asumsi pada tingkat harga, produksi, biaya di sekitar kawasan
CATB. Sementara penilaian manfaat potensial dikawasan CATB dihitung dengan
pendekatan asumsi dalam penilaian ekonomi (Tabel II-22).

Keadaan Umum Kawasan II - 51


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-22. Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove)
(Rp/ha/thn) Asumsi Dasar Penilaian Manfaat (Aktual)
1 Kayu Bakar 2188 Luas mangrove 112.365 ha . Produksi 0.0625 m3/ha/th
harga Rp. 50.000/m3; biaya 30 % dari penerimaan
Produksi 150 bengkawang/ha/thn, harga atap daun nipah
2 Atap Daun Nipah 240000 Rp. 2000/bengkawang; biaya sekitar 20% dari penerimaan,
dengan luas areal nipah 480 ha
Produksi 1178 Ton/thn; harga rata-rata Rp. 10000/Tali (2 Kg)
3 Ikan 104837 = Rp 5.000/kg; Ikan besar (kakap merah) Rp.15.000/ekor (2 Kg)
Jadi Harga rata-rata Rp 10.000,
dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)
Produksi 1495 ton/tahun, harga US$ 6.25/kg (konversi Rp.
4 Udang 789976
9500/US$), dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)

5 Kepiting/Karaka 129024 Produksi 23,04 ekor/ha/thn dengan harga Rp.7.000/ekor; biaya


20% dari penerimaan

6 Kerang/bia 76200 Produksi 19,05 kg/ha/thn dengan harga rata-rata Rp.5.000/kg;


biaya 20% dari penerimaan
Satwaliar (Buaya, Didasarkan pada pendapatan penggunaan lokal (berburu dan
7 127264
Rusa, meramu) Rp. 6,5 juta/KK/ tahun, jumlah penduduk 2200 KK,
Babi, Burung) dibagi dengan luas areal mangrove
Penilaian berdasarkan produktivitas pertanian lokal Rp. 4,9
8 Pengendali Erosi 95937
juta/KK/ tahun (2200 KK), dibagi luas areal mangrove

Penyerapan Diproksi dari kandungan karbon hutan mangrove 19.926 kg/ha


9 3441763
Carbon di Riau (E.Hilmi, 2003) dan potensi tegakan 66 m3/ha,
dikonversi ke dalam tegakan mangrove per hektar (107 m3/ha);
harga carbon/kg = US $ 10/ton, konvers Rp. 9.500/US$
Nilai biodiversitas hutan mangrove perhektar US $ 1500
Manfaat pilihan
10 142500 km2/thn atau sekitar US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek, 1991)
biodiversitas
konversi Rp. 9.500/US$.
Manfaat Nilai manfaat keberadaan habitat mangrove US$ 2516/ha/thn
11 6291000
Keberadaan (Meilant, 1996) Konversi Rp. 9500 /US$
Habitat
No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove)
(Rp/ha/thn) Asumsi Pendugaan Nilai Potensial

1 Kayu Bangunan 942000 Luas mangrove 112.365 ha (157Pohon(Batang)/ha) jenis


Rhizopora sp, yang sering digunakan sebagai bahan bangunan
harga Rp.10.000/Batang,Potensi Luas panen tegakan
mangrove 22.473 ha (rotasi 20 thn), Biaya 40% dari
penerimaan
Potensi tegakan mangrove 107 m3/ha; diasumsikan potensi
17974000 yang digunakan untuk chip yaitu 80% yaitu 86 m3/ha, chipwood
2 Chip
plant = 300.000 m3/thn harga ekspor chip = US $ 40/m3,
dikonversi (Rp. 9500/US$), Biaya 45% dari penerimaan
Keterangan : Produksi ikan dan udang (1178 dan 1495 ton/tahun) merupakan produksi total perairan Teluk Bintuni 2003 (Sumber : Atlas
Sumberdaya Pesisir), Potensi tegakan mangrove marupakan potensi keseluruhan jenis dan diasumsikan semua dipakai untuk chip

Asumsi penilaian diatas dimasukkan unsur biaya yang merupakan biaya proses produksi
seperti tenaga kerja, serta biaya produksi lainnya. Jenis manfaat kayu bakar, sagu sampai
dengan satwa liar merupakan nilai aktual yang selama ini telah ada dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sementara jenis manfaat bahan bangunan dan chip merupakan nilai potensial.

Keadaan Umum Kawasan II - 52


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Sebagai suatu sumberdaya, penilaian ekosistem mangrove didasarkan kepada manfaat dan
fungsi-fungsi yang dihasilkan, baik fungsi produksi, ekologis, dan fungsi sosial ekonomi.
Penilaian total manfaat ekonomi dari ekosistem hutan mangrove meliputi penilaian manfaat
langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Total nilai
ekonomi yang dihitung yaitu nilai aktual dan nilai potensial. Nilai aktual adalah nilai
pemanfaatan hutan mangrove saat ini. Nilai potensial diaproksimasi dengan menghitung
manfaat potensial yang ada dan atau berpeluang dikembangkan jika masyarakat dapat
memanfaatkan secara optimal. Keragaan nilai manfaat ekosistem mangrove kawasan CATB
dapat dilihat pada Tabel II-23.

Tabel II-23. Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB

Jenis Manfaat Ekonomi Manfaat Ekonomi (Rp)


per Ha Total Kawasan
Manfaat Langsung
1 Kayu Bangunan 150,720 16,935,652,800
2 Chip 2,926,000 328,779,990,000
3 Kayu Bakar 2,939 330,240,444
4 Atap Daun Nipah 5,126 576,000,000
5 Ikan 31,715 3,563,699,192
6 Udang 238,984 26,853,479,297
7 Kepiting/Karaka 39,200 4,404,708,000
8 Kerang/Bia 20,000 2,247,300,000
9 Satwa Liar 11,296 1,269,225,100
3,425,980 384,960,294,833
Manfaat Tidak Langsung
1 Perangkap sedimen 95,937 10,780,000,000
2 Penyerapan Karbon 2,727,916 306,522,322,200
3 Manfaat Pilihan Biodiversitas 158,333 17,791,125,000
4 Manfaat Keberadaan Habitat 6,176,667 694,041,150,000
5 Penahan abrasi 5,522,160 620,497,508,400
6 Pencegah Intrusi 211,901 23,810,233,392
14,892,915 1,673,442,338,992
Manfaat Ekonomi Kawasan 18,318,895 2,058,402,633,825
Sumber : Perhitungan data lapangan

Berdasarkan hasil analisis data Tabel II-23, diketahui bahwa total nilai ekonomi ekosistem
mangrove dapat dibedakan menjadi manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat
langsung yang ada di kawasan juga ada yang tidak bisa dimanfaatkan dan ini dikategorikan
sebagai manfaat potensial atau manfaat kesempatan. Yang termasuk kedalam nilai ini
adalah manfaat kayu jika digunakan sebagai bahan baku chip dan kayu bangunan. Sebagai
kawasan konservasi, kayu dari Cagar Alam Teluk Bintuni tidak bisa dimanfaatkan sebagai

Keadaan Umum Kawasan II - 53


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

sumberdaya kayu terutama untuk kegiatan komersial. Kehilangan kesempatan ini akan
menghasilkan manfaat langsung bagi penduduk dan manfaat jasa lingkungan yang nilainya
jauh lebih besar. Jika dicermati maka terlihat dari manfaat langsung dan tidak langsung,
maka manfaat langsung hanya mencapai 18,7% (Rp. 3.425.980/Ha/Tahun) sedangkan
manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan mencapai 81,3% (Rp. 14.892.915/Ha/Tahun).

Keragaan nilai ekonomi manfaat langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove menurut
jenis dirinci sebagai berikut: nilai tegakan hutan mangrove sebesar 89.9% meliputi manfaat
kayu bakar, kayu bangunan dan chip. Nilai manfaat langsung yang dimanfaatkan masyarakat
dari kawasan mencapai 10.1% yaitu dari atap daun nipah, hasil perikanan dan satwa liar
(meliputi ikan, udang, kepiting/karaka, kerang/bia, buaya, rusa, babi dan burung)

Nilai manfaat tidak langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove sebagai fungsi
pengendali erosi Rp. 95.937/ha/tahun; dan sebagai penyerap carbon Rp. 2.727.916
/ha/tahun. Sementara manfaat pilihan terhadap keanekaragaman hayati hutan mangrove
sebesar Rp. 158.333/ha/tahun dan keberadaan habitat ekosistem hutan mangrove agar tetap
tersedia mempunyai nilai ekonomi Rp. 6.176.667 /ha/tahun (20,72%).

Analisis pendugaan terhadap nilai hutan mangrove Kawasan CATB merupakan gambaran
awal berapa besar nilai manfaatnya secara ekonomi . Nilai ini diprediksi masih lebih rendah,
karena belum semua manfaat hutan mangrove diperhitungkan seperti nilai manfaat obat-
obatan, konservasi habitat, perlindungan spesies langka serta hutan dataran rendah yang
luasnya ±10% dari luas kawasan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang
komprehensif tentang nilai manfaat ekonomi kawasan CATB.

Meskipun dari hasil pendugaan nilai manfaat ekonomi hasil perikanan, satwa liar dan atap
daun nipah relatif cukup kecil akan tetapi nilai tersebut sangat penting karena merupakan nilai
manfaat langsung yang setiap hari dirasakan oleh masyarakat didalam dan sekitar kawasan
CATB untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Secara nilai ekonomi memang kayu
mangrove untuk kayu bakar, kayu bangunan dan chip menunjukan nilai terbesar akan tetapi
nilai tersebut hanya jangka pendek (sesaat). Hal yang paling penting adalah bila hutan
mangrovenya hilang maka nilai manfaat lain seperti hasil perikanan, atap daun nipah, satwa
liar serta manfaat tidak langsung seperti pengendali erosi, sebagai penyerap karbon serta
nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati dan keberadaan habitat akan hilang. Oleh
karena itu kelestarian hutan mangrove perlu dijaga terus agar nilai atau manfaat lain yang
diperoleh selain nilai tegakan mangrove dapat tetap diperoleh.

C. Permasalahan

Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarkat di dalam dan sekitar
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) mengindikasikan adanya beberapa

Keadaan Umum Kawasan II - 54


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

permasalahan serius yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini bisa di kategorikan sebagai
ancaman (threat) bagi keberadaan kawasan saat ini dan masa datang.

C.1 Fisik

Permasalahan fisik yang dimaksud di sini adalah kondisi fisik kawasan saat ini yang telah
mengalami ganguan yang dapat mengancam keberadaan kawasan Cagar Alam seperti letak
kawasan, infrastruktur, pengelolaan DAS, dan tumpang tindih kawasan.

C.1.1 Letak Kawasan

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa letak kawasan Cagar Alam TB yang
sangat dekat dan pada beberapa bagian langsung berbatasan dengan pemukiman
penduduk. Bahkan beberapa kampung yang didiami oleh penduduk asli letaknya berada
dalam kawasan. Kampung-kampung yang letaknya dalam kawasan adalah Kampung
Mamuranu (Koordinat: S 20 14’8.71’’ dan E 1330 58’6.09’’), Kampung Anak Kasih (Koordinat:
E133 56.092S 20 03’ 0.69’’ dan E 1330 56’
0.92’’), Kampung Tirasai (Koordinat: S 20 03’
2.31’’ dan E 1330 51’ 6.37”). Kondisi
menyebabkan aksesibilitas masyarakat di
sekitar ke kawasan sangat mudah dan
sedikit mengalami kesulitan dalam
pengawasanya sehingga tekanan terhadap
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sangat
besar.

Hasil pengamatan di lapangan juga


Gambar II-37. Pembukaan lahan hutan dataran
rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat menunjukan bahwa letak kawasan Cagar
Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni Alam Teluk Bintuni juga berbatasan
langsung dengan hutan produksi yang merupakan areal penebangan beberapa Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) seperti PT Yotefa Sarana Timber di bagian Utara, PT Bintuni
Utama Murni Wood Industries (PT BUMWI) di bagian selatan dan PT Manokwari Lestari di
bagian Timur. Untuk keperluan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) atau logyard beberapa
industri perkayuan tersebut membuka beberapa bagian Cagar Alam Teluk Bintuni terutama
pada ekosistem hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove.

C.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Secara fisik, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mengalir beberapa sungai besar dan kecil
yang bermuara di perairan Teluk Bintuni dan mempunyai fungsi sebagai sarana transportasi
bagi masyarakat lokal. Hasil pengamatan di lapangan serta informasi dari masyarakat, pada

Keadaan Umum Kawasan II - 55


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

saat musim penghujan sungai-sungai tersebut seringkali meluap dan airnya berubah warna
coklat-keruh. Hal ini mengindikasikan besarnya tingkat erosi yang terjadi pada daerah hulu
(upland) sebagai akibat “laju pengrusakan” lahan hutan yang tak terkendali. Akibatnya
substrat yang terbawa banjir di musim hujan akan menumpuk membentuk delta di muara-
muara sungai di perairan Teluk Bintuni. Hal
ini diduga karena pengusahaan hutan yang
tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan banyak terjadi pada ekosistem
hutan hujan dataran rendah yang
menyimpan potensi jenis-jenis kayu yang
bernilai komersial. Kegiatan ini umumnya
dilakukan para pemegang HPH dan
Kopermas yang memiliki konsesi di sekitar
CATB.
Gambar II-38. Pengendapan lumpur (sedimentasi)
yang membentuk delta di muara S. Bintuni/Wasian di
dalam Kawasan CTAB
C.1.3 Infrastruktur

Hasil pengamatan di menunjukan bahwa infrastruktur pendukung dalam kegiatan


pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan yang cukup besar (124. 850
ha) sangat kurang memadai. Infrastruktur yang ada saat ini hanya berupa satu buah pondok
kerja berukuran 36 m2 yang sekaligus merupakan rumah tinggal kepala resort KSDA Bintuni.
Hal ini sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan terutama dalam hal pengawasan dan
perlindungan kawasan.

C.2 Biologi

Permasalahan internal biologi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih belum terlihat. Hal
ini karena sebagian besar ekosistem penyusun kawasan terutama ekosistem mangove
sebagai komponen ekosistem utama masih alami dan terpelihara dengan baik.

Permasalahan biologi yang bisa terlihat adalah permasalahan karena faktor eksternal yang
terjadi karena bukan merupakan hubungan antar ekosistem atau spesies . Hasil pengamatan
di lapangan berhasil diidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi pada
ekosistem/flora/fauna yang berada di dalam kawasan, yaitu degradasi dan perubahan
struktur hutan dataran rendah, degradasi sebagian kecil hutan mangrove, dan penurunan
populasi beberapa jenis satwa tertentu disebabkan oleh aktivitas manusia, gejala alam, dan
faktor sosial budaya.

Aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut, yaitu pembukaan


lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu oleh pengusaha HPH di sekitar kawasan,

Keadaan Umum Kawasan II - 56


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pemumahan, pemukiman dan perladangan oleh penduduk lokal di dalam dan sekitar
kawasan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur lain.

Terganggunya beberapa bagian ekosistem mangrove juga sebagai akibat gejala alam yang
disebabkan oleh angin dan erosi pinggiran sungai. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukan bahwa terdapat beberapa bagian dari ekosistem mangrove, terutama pada
daerah-daerah dengan sungai yang terbuka luas, telah mengalami kerusakan/hilang yang
diakibatkan oleh terpaan angin dan pengikisan pinggiran sungai oleh ombak pada saat
musim angin.

Faktor lain yang memberi andil dalam permasalahan lingkungan biologi kawasan adalah sosial
budaya, masyarakat lokal telah lama dan secara turun temurun bermukim di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi sosial budaya ini telah menciptakan suatu
interaksi dengan kawasan dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam baik flora maupun
fauna yang ada dalam kawasan maupun ekosistemnya. Pemanfaatan jenis-jenis flora oleh
masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti
pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih
terfokus pada perburuan satwa liar (seperti rusa, babi hutan, kasuari) dan fauna perairan
(seperti ikan, kepiting, udang, kerang). Sedangkan pemanfaatan ekosistem hanya dilakukan
oleh mayarakat lokal yang bermukim di dalam kawasan untuk keperluan tempat berkebun.

C.3. Sosial Ekonomi dan Budaya

Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar sangat berpengaruh besar terhadap
kelestarian CATB, terutama mata pencaharian yang wilayah kerjanya berada di dalam
kawasan. Karena hal ini berhubungan dengan adanya pengambilan beberapa jenis flora dan
fauna, dimana menurut peraturan yang ada sebenarnya hal itu dilarang. Akan tetapi karena
hal tersebut sudah dilakukan sebelum ditunjuk adanya kawasan CATB, maka pengaturan
yang melibatkan dan diterima semua pihak harus dilakukan. Beberapa permasalahan sosial
ekonomi dan budaya terhadap CATB adalah menurunnya hasil tangkapan dan buruan
sebagai akibat dari praktek penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan dan
perburuan satwa liar (buaya, rusa dan beberapa jenis burung), adanya perkampungan
logyard (tempat penimbunan kayu) di dalam kawasan, serta tumpang tindih antara batas
kawasan dengan penggunaan lahan lain.

C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan

Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, di sekitar CATB menempati urutan
kedua (18,82 %). Oleh karena itu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya
dalam mengambil hasil perikanan. Masyarakat yang bermata pencaharian nelayan

Keadaan Umum Kawasan II - 57


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

menggunakan alat tangkap jaring untuk “pele kali” , jaring berlabuh dan pancing, serta
menggunakan akar bore (tuba). Menurut informasi dari beberapa nelayan di dalam dan
sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni, hasil tangkapan ikan sudah semakin menurun bila di
bandingkan dengan beberapa tahun lalu (3-5 tahun lalu). Hasil tangkapan yang dulu masih
mendapat “ 2 sampai 3 ember” sekarang hanya dapat “0,5 sampai 1 ember”. Selain itu
daerah tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari
perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar
Teluk Bintuni. Hal ini diduga disebabkan oleh kegiatan penangkapan hasil yang tidak
memeperhatikan kelestarian lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya populasi
biota perairan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan serta informasi dari pengelola kawasan dan beberapa
nelayan lokal, berhasil diidentifikasi beberapa praktek penangkapan adalah penggunaan akar
bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut mabuk sehingga
mudah diambil, indikasi penangkapan ikan dengan menggunakan racun serangga
(insektisida), serta penggunaan pukat harimau (trawler) oleh perusahaan udang sampai ke
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .

Cara-cara penangkapan ikan yang merusak tersebut belum diberikan sangsi hukum yang
tegas. Minimnya sarana dan prasarana aparat (BKSDA Papua, II Resort Bintuni) yang hanya
ada satu orang petugas dengan luas kawasan yang sangat luas (124.850 hektar) serta belum
adanya koordinasi dengan aparat penegak hukum lain (Kepolisian dan Koramil) membuat
penegakan hukum sangat lemah.

C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Beberapa Jenis Burung

Masyarakat yang berada di sekitar kawasan CATB, ada yang bermatapencaharian dalam
berburu (Buaya, Rusa, Babi dan beberapa jenis burung), terutama masyarakat di Kampung
Naramasa, Yakati, Yensei, Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Berdasarkan hasil
wawancara dan survei lapangan, khusus untuk buaya diburu terutama oleh masyarakat
Naramasa, Yakati dan Yensei. Masyarakat tersebut berburu sepanjang Sungai Naramasa,
Yakati sampai ke dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu Sungai Sobrawara, alat
yang digunakan berupa tombak dan perahu tanpa mesin (kole-kole). Permintaan akan kulit
buaya menurut informasi dari masyarakat Naramasa masih cukup tinggi, dimana hampir
setiap minggu datang para pengumpul kulit buaya yang berasal dari Babo dan Bintuni untuk
selanjutnya dikumpulkan di Sorong lalu di jual ke Surabaya.

Keadaan Umum Kawasan II - 58


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Sedangkan rusa, babi dan beberapa jenis burung,


diburu di dalam kawasan CATB terutama di sekitar
Pulai Maniai, Nusuamar dan Modan. Alat yang
sering digunakan untuk berburu rusa dan babi yaitu
panah, tombak, jerat, anjing dan parang,
sedangkan untuk burung menggunakan senapan
angin. Cara masyarakat tersebut dalam berburu
dilakukan dengan dua cara yaitu berburu sendiri
dan berkelompok (5-10 orang). Hasil tangkapan
rusa dan babi, biasanya di jual dalam bentuk
dendeng.

Menurut hasil wawancara dengan beberapa


masyarakat yang bermatapencaharian berburu,
Gambar II-39. Masyarakat baru pulang
seiring dengan semakin bertambahnya jumlah berburu di dalam Kawasan CATB

penduduk, serta tingginya permintaaan atas hasil buruan tersebut menyebakan jumlah
buaya, rusa dan beberapa jenis burung sudah semakin berkurang. Hasil buruan waktu lalu
(5-10 tahun yang lalu), dalam 1-3 hari berburu bisa mendapatkan 5-10 ekor, tapi sekarang
mereka memerlukan waktu yang lebih lama (1-2 minggu) dengan hasil 1-2 ekor ataupun tidak
dapat hasil buruan sama sekali.

Berdasarkan kondisi diatas, dengan tingginya tingkat perburuan buaya, rusa dan beberapa
jenis burung, maka hal ini dapat mengancam kelestarian terutama buaya, rusa dan beberapa
jenis burung dimana fauna tersebut merupakan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada
di CATB.

C.3.3. Adanya Perkampungan di dalam Kawasan

Berdasarkan hasil survei lapangan


menunjukan bahwa ada beberapa kampung
(desa) yang berada di dalam kawasan
CATB yaitu Kampung Mamuranu, Anak
Kasih dan Tirasai. Keberadaan kampung-
kampung tersebut terutama Kampung
Mamuranu memang sudah ada sebelum
adanya penunjukan CATB. Dengan
keberadaan ketiga kampung tersebut, maka
masyarakat yang tinggal di kampung Gambar II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman
penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam
tersebut dalam melakukan aktivitasnya Kawasan CTAB
sehari-hari akan sangat tergantung pada sumberdaya alam yang ada di dalam CATB. Selain

Keadaan Umum Kawasan II - 59


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

itu dengan “dibentuknya” perkampungan baru seperti Kampung Anak Kasih dan Tirasai di
dalam CATB, akan semakin bertambahnya masyarakat yang tergantung terhadap
sumberdaya alam dalam aktivitasnya sehari-hari.

Kondisi diatas diperburuk dengan adanya pembuatan “perumahan sosial” oleh pihak Pemda
Propinsi Papua pada tahaun 2003, dengan dibangunnya 54 rumah semi permanen di
Kampung Anak Kasih (di dalam kawasan CATB), tanpa adanya koordinasi khususnya
dengan BKSDA resort Bintuni. Hal tersebut akan menambah jumlah masyarakat yang akan
tinggal di dalam kawasan CATB, sehingga semakin besar sumberdaya alam yang akan
diambil yang selanjutnya menyebabkan jumlah dan jenis flora maupun fauna di dalam
kawasan CATB semakin menurun.

C.3.4. Tumpang tindih antara Batas Kawasan dengan Penggunaan Lahan lain.

Pemukiman transmigrasi yang ada di sebelah Utara batas kawasan CATB mulai tahun 1994,
memberikan permasalahan yaitu adanya lahan usaha 2 (LU 2) Kampung Banjar Ausoy SP 4
(200 hektar) dan Waraitama SP 1 (160 hektar) masuk kedalam kawasan. Hal ini terjadi
karena tidak adanya koordinasi antara pihak transmigrasi dengan BKSDA Papua 2 Resort
Bintuni pada saat penetapan LU 2
tersebut serta belum dilaksanakannya
proses tata batas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan


masyarakat di semua kampung yang ada
di sekitar kawasan, lebih dari 60%
responden (46 responden atau 65,7%)
kurang mengetahui adanya batas
kawasan CATB. Hal ini menunjukan
bahwa proses penataan batas tahap 1 Gambar II-41 Diskusi dengan Masyarakat Banjar Ausoy
tentang Tumpang Tindih LU 2 dengan Batas kawasan
tahun 1997 (tata batas persekutuan) batas CATB

Utara dan Timur serta tahap 2 tahun 1999 batas Barat dan Selatan, belum tersosialisasi
dengan baik atau kurang melibatkan masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam rangka
rencana pengelolaanya, maka diperlukan proses penataan batas ulang dimana dalam
prosesnya melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan serta adanya proses sosialisasi.

C.3.4. Adanya Tempat Penimbunan Kayu (Logyard) di dalam Kawasan

Adanya hak pengusahaan hutan (HPH) mulai Tahun 1990 dan IPKMA (Izin Pemanfaatan
Kayu Masyarakat Adat)/ Kopermas (Tahun 2002) yang berada di sekitar serta bagian hulu
CATB memberikan dampak yang cukup besar terhadap kelestarian CATB. HPH/IPKMA
tersebut mengeluarkan kayu untuk selanjutnya di kumpulkan disuatu tempat yang disebut

Keadaan Umum Kawasan II - 60


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dengan Tempat Penimbunan Kayu (Logyard). Karena sarana angkutan selanjutnya untuk
membawa kayu keluar Bintuni menggunakan transportasi sungai dan laut, maka Logyard
tersebut dibuat di sekitar sungai dan pada umumnya posisinya berada di dalam kawasan
CATB. Beberapa Logyard yang berada di dalam kawasan CATB yaitu Logyard 4 (di Sungai
Muturi) PT. Yotefa Sarana Timber dan IPKMA/Kopermas, Logyard Anak Kasih di Sungai
Tikamari/Anak Kasih di buat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard Sumberi dibuat oleh
IPKMA/Kopermas, Logyard SP 5 di Sungai Sigirang dibuat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard 5
di Sungai Awarepi dibuat oleh IPKMA/Kopermas, serta Logyard SP 4 di Sungai Banjar Ausoy
di buat oleh IPKMA/Kopermas.

Keberadaan Logyard tersebut mengakibatkan datangnya masyarakat untuk tinggal di sekitar


Logyard tersebut, karena di lokasi tersebut telah dibangun rumah karyawan dan perkantoran
yang dilengkapi dengan sarana lain seperi listrik, air bersih serta sarana hiburannya lainnya.
Akibat lain yang ditimbulkan dengan adanya Logyard tersebut, yaitu semakin mudahnya
akses masyarakat untuk masuk kedalam kawasan CATB, karena jalan darat telah dibuat dari
daerah penebangan sampai ke Logyard. Dengan kondisi tersebut maka akan semakin
banyak masyarakat yang akan tinggal di dalam kawasan serta akses masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya alam di dalam CATB semakin besar sehingga akan mengurangi
jumlah dan jenis flora dan fauna yang ada.

D. Faktor Penghambat

Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni akan berhasil apabila bisa mengurangi
faktor penghambat yang ada. Faktor penghambat merupakan suatu kondisi dimana lembaga
pengelola dalam hal ini BKSDA Papua 2, tidak memiliki kewenangan (Authority) untuk
menyelesaikannya. Beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan
CATB antara lain :

D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada.,
Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni tahun 2004.
Berdasarkan dokumen RDTRK Kota Bintuni, Kota Bintuni meliputi Kampung Sibena sampai
dengan Kampung Argosigemerai (SP5). Pola ruang Kota Bintuni yang terbentuk berupa
Strip Development, dimana bentuk kotanya memanjang dari Barat ke Timur. Kondisi diatas
menimbulkan konsekuensi dari adanya dua “generator” aktivitas yang sama kuatnya. Satu
“generator” berada di ujung barat kota, kelurahan bintuni barat dan timur bersama-sama
dengan Kampung Sibena, yang merupakan cikal bakal Kota Bintuni, dan di ujung timur kota,
“generator” aktivitas baru yang muncul sebagai akibat keberadaan kawasan pusat

Keadaan Umum Kawasan II - 61


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni (dekat dengan Kampung Korano Jaya) beserta
kegiatan-kegiatan ikutan yang menyertainya.

Berdasarkan kondisi diatas maka dimasa yang akan datang, mulai dari Kampung Sibena
sampai dengan Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni diprediksi akan
menjadi kawasan pemukiman/perkantoran/perdagangan serta aktivitas lainnya. Apabila
melihat posisi dari kota yang memanjang sepanjang jalan, dimana sebelah Selatan dari jalan
dengan jarak 1 sampai 5 Km, merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) maka
akses masyarakat kedalam kawasan CATB akan semakin mudah. Hal ini akan menjadi
ancaman yang cukup serius terutama kawasan CATB di Bagian Barat dan Utara yang
berdekatan sepanjang jalan/perkampungan. Dengan semakin mudahnya akses masyarakat
ke dalam kawasan CATB, maka peluang masyarakat untuk mengambil flora, fauna dan
lahan untuk kebun akan semakin besar sehingga kelestarian CATB semakn menurun.

D.2 Kapasitas Pengelola Kawasan

Salah satu faktor penentu dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi adalah peranan dan
kapasitas pengelola baik dari jumlah (quantity) dan kemampuan (quality/skill). Kondisi saat
ini (current situation) menunjukan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan
yang cukup besar (± 124.850 ha) hanya di awasi oleh seorang kepala resort yang dibantu
dua orang jagawana. Hal ini diperparah lagi dengan minimnya sarana pendukung seperti
perahu motor (longboat) dan kemampuan managerial yang terbatas. Hal ini sangat
mempengaruhi atau bahkan boleh dikatakan sebagai faktor penghambat dalam mencapai
tujuan pengelolaan dan tujuan pembangunan suatu kawasan konservasi, khususnya Cagar
Alam.

D.3 Peran Masyarakat (Community involvement)

Kaitannya dengan pelestarian kawasan, peran masyarakat sekitar sangat strategis dan
prospekstif. Dikatakan strategis sebab tanpa partisipasi nyata masyarakat sekitar, tidak
mungkin kawasan konservasi tersebut akan lestari. Dikatakan prospektif dengan keyakinan
bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan tidak akan menolak upaya pemberdayaan
yang sangat terkait langsung dengan kepentingannya. Hasil pengamatan di lapangan
mengindikasikan bahwa peran masyarakat dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dalam ikut menjaga kelestarian kawasan masih rendah. Hal ini bisa terlihat dari
terganggunya beberapa bagian kawasan Cagar Alam yang juga “melibatkan” masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan seperti pembukaan lahan untuk logyard milik Kopermas dan
perambahan hutan untuk kegiatan perladangan (shifting cultivation). Kemungkinan besar
karena pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kawasan relatif kurang bahkan tidak
mengerti sama sekali.

Keadaan Umum Kawasan II - 62


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

III. KEBIJAKAN

A. Dasar Hukum

Peraturan-peraturan Perundangan yang terkait dengan Pengelolaan Cagar Alam di Indonesia


adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945, Pasal 33 ayat 3

2. UU NO.5 tahun 1960, tentang Agraria

3. UU No. 11 tahun 1974, tentang Irigasi

4. UU No.5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan


Ekosistemnya

5. UU NO.9 tahun 1990, tentang Pariwisata

6. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang

7. UU No. 5 tahun 1994, tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati

8. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

9. UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan

10. UU NO.31 tahun 2004, tentang Perikanan

11. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

12. PP No. 64 tahun 1967, tentang Delegasi Wewenang Perkenbunan, Perikanan


dan Kehutanan kepada Daerah .Swantara" Tingkat I

13. PP No. 29 Tahun 1986, tentang Analisa Lingkungan

14. PP No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan

15. PP No. 20 tahun 1990, tentang Pemantauan Polusi Air

16. PP No. 27 tahun 1991, tentang Rawa-rawa

17. PP No. 35 tahun 1991, tentang Sungai-sungai

18. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

19. PP No. 47 tahun 1997, tentang Tata Ruang Wilayah Nasional

20. PP No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam

21. PP No. 27/1999 tentang AMDAL

Kebijakan III - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

22. PP No. 63 tahun 2002, tentang Hutan Kota

23. PP No. 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan

24. PP No. 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan

25. Perpu No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41
tentang Kehutanan

26. Keppres No. 57 tahun 1989, tentang Komisi Pengarah untuk Pengelolaan
Klasifikasi Lahan Nasional

27. Keppres No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

28. Keppres No. 48/1991 tentang Pengesahan Konvensi Ramsar

29. Instruksi Mendagri No. 26/1997, tentang Perlindungan Hutan Mangrove sebagai
Jalur Hijau

B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia

Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada konservasi keanekaragaman hayati.


Kebijakan ini dapat dilihat dalam BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993) dan
IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategi and Action Plan, 2003). Kondisi kenaekaragaman
hayati (biodiversity) Indonesia dan proses degradasi yang terjadi dapat dilihat di dalam
IBSAP. Sumber atau penyebab degradasi ini antara lain adalah kebakaran hutan,
perambahan hutan, penebangan liar, penggunaan teknologi yang merusak, kurangnya
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati dan lingkungan.
Selain itu, kurangnya kelengkapan peraturan dan perundangan serta lemahnya penegakan
hukum dalam bidang konservasi biodiversity/lingkungan juga menyebabkan proses degradasi
semakin cepat.

Ada sedikit perbedaan antara BAPI dan IBSAP, antara lain :

- BAPI 1993 digunakan hanya untuk memahami histori action plan nasional sebagai
dokumen nasional pertama dalam konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

- IBSAP 2003 sebagai dokumen nasional kedua dalam konservasi keanekaragaman hayati
di Indonesia, menggantikan BAPI 1993, yang merupakan rujukan utama yang digunakan
sebagai pembanding untuk identifikasi isu-isu konservasi di Indonesia.

B.1. BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia) 1993

Sebelum meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai


Keanekeragaman Hayati, Indonesia telah menyusun BAPI. Dengan adanya BAPI 1993 maka

Kebijakan III - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

diharapkan akan ada panduan untuk menetapkan prioritas dan investasi di bidang konservasi
keanekaragaman hayati terutama untuk periode Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) V dan VI (hingga 1999). Tujuan ataupun sasaran yang ditetapkan adalah
mengkonservasi sebanyak mungkin keanekaragaman hayati untuk menjadi tumpuan
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Tujuan utama dari BAPI 1993 adalah :

1. Memperlambat laju kehilangan tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang
serta habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan
keanekaragaman hayati.

2. Mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman


hayati nasional, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan dan
masyarakat luas.

3. Memperluas pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dan lebih ramah


lingkungan dibandingkan praktik yang telah berlangsung selama ini.

Prioritas dari BAPI ada 4 (empat) kegiatan utama, yaitu :

1. Konservasi in-situ taman nasional dan kawasan lindung daratan;

2. Konservasi in-situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan basah dan
kawasan budidaya pertanian;

3. Konservasi sumberdaya pesisir dan laut;

4. Konservasi eks-situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varietas, dan
program penangkaran.

Di dalam BAPI tidak disebutkan pihak/lembaga yang dengan tegas bertanggungjawab


menjamin implementasi serta pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Selain itu,
BAPI 1993 juga tidak mempunyai dasar hukum formal dalam struktur perundangan nasional
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Aspek sosial ekonomi, NGO
dan kerjasama internasional juga tidak terdapat dalam dokumen BAPI 1993. Isu-isu yang
ada dalam BAPI adalah :

1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan, yaitu isu mengenai kapasitas SDM

2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, terdiri dari konservasi in-situ
dan eks-situ biodiversity, partisipasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan, serta
valuasi biodiversity.

3. Isu yang terkait dengan aspek sistem informasi dan teknologi, yaitu isu mengenai riset
dan training.

Kebijakan III - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

B.2. IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003

IBSAP 2003 merupakan penyempurnaan dari BAPI 1993 dan merupakan strategi dan
rencana aksi biodiversity nasional. IBSAP 2003 mempunyai tujuan :

1. Melakukan kajian atas kebutuhan dan aksi prioritas yang tercantum dalam BAPI 1993
untuk mengetahui apa saja yang sudah dicapai, apa yang belum dilaksanakan, dan
mencari penyebab mengapa dana dan/atau motivasi yang diperlukan belum
didapatkan;

2. Mengidentifikasi kebutuhan dan aksi prioritas yang baru dan merevisi rencana aksi
menurut perubahan yang mungkin akan terjadi pada kebijakan lingkungan hidup di
masa yang akan datang;

3. Menentukan peluang dan kendala yang ada saat ini dalam konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan atas keanekaragaman hayati secara efektif, termasuk
kekurangan dalam pengetahuan yang ada dan sasaran serta tindakan yang realistis
untuk menutup kekurangan ini;

4. Menyusun strategi baru yang jelas, dan disertai dengan rencana aksi yang rinci.

Isu-isu tentang biodiversity adalah sebagai berikut :

1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan/kelembagaan, terdiri dari isu masalah
kebijakan yang over eksploitasi, sentralistis, sektoral, dan tidak partisipatif, serta
penegakan hukum dan kelembagaan yang lemah;

2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, mencakup isu mengenai
eksploitasi berlebih, degradasi sumberdaya hayati, globalisasi bisnis keanekaragaman,
introduksi spesies dan varietas eksotik, konversi habitat yang tinggi, pencemaran
lingkungan, dan kekeliruan penilaian sumberdaya;

3. Isu yang terkait dengan aspek sosial ekonomi, mencakup isu mengenai tekanan
penduduk, kemiskinan, pembagian manfaat yang tidak adil, serta kapasitas SDM yang
tidak memadai.

4. Isu yang terkait dengan sistem informasi dan teknologi, mencakup isu mengenai riset
dan sistem informasi yang tidak memadai, serta penggunaan teknologi yang merusak;

5. Isu dalam aspek peran NGO dan kerjasama internasional, terkait dengan kerjasama
internasional dan kesadaran, pemahaman dan kepedulian.

Kebijakan III - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

C. Sektor Kehutanan

C.1. Pengelolaan Hutan Lestari

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove


merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam
pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang
rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis
atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi
(Pasal 43).

Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat
1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional
menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan
pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem
hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen
Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan
sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka
melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang
antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur)
yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA

Departemen Kehutanan menetapkan kebijakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor


SK.456/Menhut-II/2004 tanggal 29 Nopember 2004 tentang 5 (lima) Kebijakan Prioritas
Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu tahun
2005 – 2009 diarahkan kepada :

1. Pemberantasan pencurian kayu di Hutan Negara dan Perdagangan Kayu Illegal.

Kegiatan ini adalah meminimalisir penebangan liar dan pencurian kayu sesuai dengan
kewenangan Departemen Kehutanan.

2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.

3. Rehabilitasi dan konservasi Sumberdaya Hutan.

Kegiatan ini meningkatkan konsolidasi semua aparat Departemen Kehutanan dalam


rangka meningkatkan kinerja rehabilitasi dan konservasi.

4. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan.

5. Pemantapan Kawasan Hutan.

Kebijakan III - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P.13/Menhut-II/2005 tanggal 13 Juni 2005


tentang Organisasi dan Tata Hubungan Kerja Departemen Kehutanan, tugas dan fungsi
Direktorat Jenderal PHKA adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi
teknis di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud di atas, Ditjen PHKA menyelenggarakan fungsi:

1. Penyiapan rumusan kebijakan Departemen Kehutanan di bidang Penyidikan dan


Perlindungan Hutan, Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan
Keanekaragaman Hayati, serta Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian


Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta
Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang Penyidikan dan
Perlindungan Hutan, Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan
Keanekaragaman Hayati, serta Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan standar, norma, pedoman,


kriteria dan prosedur di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian
Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta
Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

5. Pelaksanaan administrasi di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian


Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta
Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.

Dari tugas pokok dan fungsi di atas, maka tugas PHKA tidak hanya di dalam kawasan
konservasi saja, tetapi meliputi seluruh kawasan hutan yang ada di Indonesia. Untuk itu
dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi Direktorat Jenderal
PHKA di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut :

1. Sekretariat Direktorat Jenderal PHKA

2. Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan

3. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

4. Direktorat Konservasi Kawasan

5. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati

6. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

7. Balai Konservasi Sumber Daya Alam

8. Balai Taman Nasional

Kebijakan III - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Kegiatan Pengelolaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, semakin


lama semakin berat tantangannya, dengan demikian diperlukan adanya kegiatan-kegiatan
yang bersifat strategis sehingga dapat mendukung upaya konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Untuk itu pemahaman secara menyeluruh posisi konservasi dalam
pembangunan nasional harus dipahami dan diketahui secara menyeluruh oleh seluruh
personil lingkup Ditjen PHKA.

Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan Konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya secara benar dan terarah diperlukan perencanaan yang
menyeluruh, sinergis dan strategis sehingga mampu memberikan manfaat kepada seluruh
masyarakat secara optimal. Dalam rangka penyusunan rencana strategis di atas, perlu
dipahami oleh seluruh unsur pengelola maupun para pihak hal-hal yang berkaitan dengan
kondisi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya saat ini.

Rencana Stratejik Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam merupakan
penjabaran dari Renstra Departemen Kehutanan dimana dalam penyusunannya didasarkan
kepada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004,
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004,
Perauran Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004,
Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/KPTS-II/2001, Peraturan Menteri Kehutanan
P.13/Menhut-II/2005.

Sedangkan visi dan misi dan Ditjen PHKA adalah sebagai berikut :

1. Pernyataan Visi

Keadaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) sampai


saat ini tidak banyak mengalami perubahan seperti lima tahun sebelumnya yaitu antara
lain meliputi :

a. Permasalahan Kawasan

Sampai saat ini yang berkaitan dengan status kawasan konservasi belum secara
keseluruhan sudah dikukuhkan, dengan kata lain belum seluruhnya mempunyai
batas di lapangan yang jelas. Sehingga hal ini sering menimbulkan konflik dengan
pihak lain. Disamping itu pengelolaan kawasan belum seluruhnya dilaksanakan
dengan standar, norma dan kriteria yang jelas, sehingga KSDAHE belum secara
optimal dan efektif memberikan manfaat kepada masyarakat.

b. Perlindungan Hutan dan Penegakan Hukum

Dampak krisis multi dimensi yang dialami oleh Bangsa Indonesia mengakibatkan
terjadinya permasalahan sosial yang memprihatinkan, beberapa kasus yang terjadi
antara lain: terjadinya kesenjangan sosial, kebutuhan lahan garapan yang sangat

Kebijakan III - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

besar (lapar lahan) sehingga menimbulkan konflik lahan, masih lemahnya akses
masyarakat terhadap pengelolaan hutan, kecenderungan memperoleh hasil cepat
melalui kegiatan illegal (over cutting, penebangan liar, penyelundupan kayu,
perambahan hutan dan sebagainya). Gangguan terhadap kawasan konservasi dan
kawasan hutan lainnya juga terjadi akibat kebakaran hutan (harmfull fire). Hal ini
terjadi disebabkan pengelolaan hutan yang kurang baik serta ditunjang oleh
kurangnya sumberdaya yang ada untuk penanggulangan kebakaran hutan, dimana
kebakaran hutan ini sudah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan juga secara
internasional timbul ”Transboundary haze pollution”, yang menjadi sorotan
internasional.

c. Pemanfaatan SDAHE

Pemanfaatan flora dan fauna masih banyak menimbulkan dampak negatif seperti
misalnya maraknya penyelundupan flora dan fauna. Sampai saat ini, Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang KSDA masih perlu ditingkatkan. Manfaat
kawasan konservasi tidak seluruhnya diukur dari PNBP, tetapi juga manfaat lain yang
bukan dalam bentuk uang (ekonomis) juga harus diperhatikan dan ditingkatkan serta
dipublikasikan tentang pentingnya manfaat KSDAHE bagi pembangunan, sehingga
dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

d. Kelembagaan

Pemerintah dan lembaga yang menangani atau mengelola KSDAHE sampai saat ini
masih jauh dari standar, norma dan kriteria yang ada. Hal-hal yang perlu ditingkatkan
antara lain : level organisasi, SDM, sarana dan prasarana, disamping itu juga
membentuk organisasi pengelola yang baru.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas maka dalam lima tahun mendatang
visi yang harus dicapai dan dipahami oleh jajaran Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam baik di pusat maupun di daerah adalah :

“Mewujudkan Kawasan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan


Ekosistemnya yang Aman dan Mantap secara Legal Formal, Didukung
Kelembagaan yang Kuat dalam Pengelolaannya serta Mampu Memberikan Manfaat
Optimal Kepada Masyarakat”.

2. Pernyataan Misi

Untuk mewujudkan visi dalam lima tahun mendatang, diperlukan bentuk nyata
implementasinya dan menggambarkan yang seharusnya terlaksana. Dari visi tersebut
ditetapkan empat misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
sebagai berikut :

Kebijakan III - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

MISI DIREKTORAT JENDERAL PHKA :

Misi 1. Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya.

Agar pengelolaan KSDAHE dapat tercapai tujuannya dengan baik, maka kawasan
konservasi yang dikelola harus jelas batas-batasnya, sehingga tidak menimbulkan konflik
dengan pihak lainnya. Disamping itu pengelolaan yang seharusnya dilaksanakan pada
kawasan konservasi tersebut harus jelas kriteria, norma dan standar pengelolaan
kawasan konservasi.

Misi 2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.

Sampai saat ini gangguan terhadap hutan dan hasil hutan semakin meningkat, hal ini
terlihat dari laju kerusakan hutan setiap tahunnya mencapai 2,83 juta hektar. Disamping
itu kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Dengan adanya
kejadian tersebut tentunya akan menyulitkan pengelolaan kawasan konservasi maupun
kawasan hutan lainnya, sehingga tidak mencapai fungsi secara optimal. Dengan
demikian gangguan terhadap kawasan konservasi maupun kawasan hutan serta
tumbuhan dan satwa liar harus dieliminir sedemikian rupa.

Misi 3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.

Pemanfaatan SDA perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal. Sampai saat ini
PNBP bidang PHKA dirasa masih sangat kecil kontribusinya di sektor kehutanan.
Pemanfaatan SDA yang potensial untuk dikembangkan meliputi wisata alam, jasa
lingkungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Namun demikian tidak semua
pemanfaatan jasa KSDAHE diidentikkan dengan pendapatan dalam bentuk uang. Oleh
karenanya, perlu adanya penyebarluasan informasi agar dapat dipahami oleh semua
pihak, sehingga KSDAHE dapat didukung dan dilaksanakan dengan baik.

Misi 4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,


perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung KSDAHE masih


perlu ditingkatkan. Disamping itu SDM, dana sarana dan prasarana yang ada perlu
dioptimalkan dan ditingkatkan. Pengelolaan KSDAHE tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh
pemerintah, maka dalam pengelolaan ini kemitraan sangat diperlukan. Pola kemitraan
perlu dikembangkan dan diwujudkan dalam pengelolaan KSDAHE.

Adapun tujuan dari masing-masing misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, sebagai berikut:

Kebijakan III - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Misi 1 : Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,


dengan tujuan :

1. Meningkatkan efektifitas pengelolaan KSA/KPA/TB/HL sesuai fungsi kawasan

2. Mengembangkan KSA, KPA baru di 32 Propinsi

3. Memfasilitasi (pembinaan kawasan di luar kawasan konservasi) pengelolaan


ekosistem esensial

4. Meningkatkan upaya pengawetan tumbuhan dan satwa liar

Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum, dengan tujuan :

Meningkatkan upaya perlindungan hutan, kawasan konservasi sumberdaya alam hayati


dan ekosistemnya serta pengendalian kebakaran hutan dan penegakan hukum.

Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian, dengan tujuan :

1. Meningkatkan pemanfaatan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan
jasa lingkungan serta mengembangkan Bina Cinta Alam

2. Meningkatkan pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL)

Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,


perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
dengan tujuan :

1. Memantapkan institusi pengelola KSDAHE

2. Mewujudkan SDM yang mampu mendukung pengelolaan KSDAHE

3. Memantapkan perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan kehutanan


dibidang PHKA, di Pusat dan 66 UPT

4. Mewujudkan pemenuhan sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE

5. Memantapkan peraturan perundang-undangan bidang KSDAHE

6. Meningkatkan peran masyarakat dan para pihak terkait dalam kemitraan


pengelolaan KSDAHE dan perlindungan hutan.

Adapun sasaran dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :

Misi 1 :Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,


dengan sasaran :

1. Terbangunnya 20 taman nasional model

2. Terselesaikannya proses pengukuhan 150 KSA, KPA, dan TB

Kebijakan III - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

3. Terselesaikannya penataan zona/blok di 300 KSA, KPA dan TB

4. Terselesaikannya site plan pada zona/blok pemanfaatan di 200 KPA dan TB

5. Terlaksananya pembinaan habitat TSL di SM, KPA dan TB seluas 100.000 ha.

6. Terlaksananya evaluasi fungsi KSA, KPA, TB dan HL pada 200 kawasan

7. Terselesaikannya penetapan daerah penyangga kawasan konservasi di 66 UPT


dan pembinaan daerah penyangga KPA, KSA di 300 lokasi

8. Terkelolanya data informasi dan publikasi konservasi KSDAHE di pusat dan 6 UPT.

Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum, dengan sasaran :

1. Terlaksananya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan: perambahan


kawasan, penebangan liar, peredaran hasil hutan illegal termasuk TSL, perburuan
TSL, perusakan habitat, kebakaran hutan/hot spot dan pencurian TSL di 32
propinsi

2. Terwujudnya peningkatan kemampuan operasional pengendalian kebakaran hutan


meliputi: pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutan di 32
propinsi

3. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka


perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan di 32 propinsi.

Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian dengan sasaran :

1. Terwujudnya peningkatan pengusahaan pariwisata alam di 32 propinsi

2. Terlaksananya pemanfaatan jasa lingkungan di HL, HP dan kawasan konservasi


(prioritas perdagangan carbon, pemanfaatan air) di 15 propinsi.

3. Terbentuknya kader konservasi tingkat madya dan utama serta terbinanya


kelompok pecinta alam, kelompok swadaya masyarakat, kelompok profesi serta
kader konservasi di 66 UPT.

4. Terlaksananya pengkajian, penelitian dan pengembangan (kalitbang) tumbuhan


dan satwa liar di 66 UPT.

5. Terlaksananya penangkaran jenis TSL di 66 UPT.

6. Terlaksananya penyiapan penyelenggaraan perburuan di 5 TB, Kebun Buru dan


Blok Buru (KB dan BB).

7. Terlaksananya pengendalian perburuan liarTSL di 66 UPT.

8. Terlaksananya pengendalian peredaran TSL di 32 BKSDA.

Kebijakan III - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

9. Terlaksananya pengendalian peragaan dan pertukaran TSL di 50 lembaga


konservasi.

10. Terlaksananya peningkatan budidaya tanaman obat-obatan di 66 UPT.

11. Terlaksananya pengendalian pemeliharaan TSL untuk kesenangan di 32 BKSDA.

Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,


perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
dengan sasaran :

1. Terwujudnya institusi yang mampu menyelenggarakan pengelolaan KSDAHE dan


mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat

2. Meningkatnya jumlah dan kompetensi SDM aparatur struktural, non struktural dan
fungsional

3. Meningkatnya sistem perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan


kehutanan bidang PHKA

4. Terpenuhinya sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE di pusat dan daerah


(66 UPT).

5. Terwujudnya peraturan perundangan yang mendukung pengelolaan KSDAHE

6. Meningkatnya kesadaran masyarakat dan keterlibatan para pihak dalam


mendukung tercapainya KSDAHE dan perlindungan hutan.

Adapun strategi dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :

a. Misi 1 : Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya, setrategi adalah :

1. Percepatan proses pembangunan 20 TN model

2. Percepatan penataan zona/blok di 300 KSA,KPA dan TB

3. Percepatan penyelesaian site plan pada zona/blok pemanfaatan di 200 KPA,


TB

4. Koordinasi pelaksanaan pembinaan habitat TSL di SM, KPA dan TB seluas


100. 000 ha

5. Optimalisasi pelaksanaan evaluasi fungsi KSA, KPA, TB dan HL, pada 200
kawasan

6. Percepatan penyelesaian penetapan daerah penyangga kawasan konservasi di


66 UPT dan pembinaan daerah penyangga KPA,KSA di 300 lokasi

7. Optimalisasi pengelolaan data informasi dan publikasi konservasi SDAHE

Kebijakan III - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

8. Percepatan penyelesaian identifikasi tipe-tipe ekosistem dan terpenuhinya


keterwakilannya di kawasan konservasi di 32 propinsi

9. Koordinasi pengelolaan TSL dan kawasan konservasi yang termasuk di dalam


kesepakatan internasional

10. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan habitat satwa migran dan ekosistem


karst di 20 lokasi

11. Percepatan penyelenggaraan penetapan dan pengelolaan satwa liar yang


dilindungi dan tidak dilindungi (3 jenis)

12. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta


habitatnya di 66 UPT

b. Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum setrategi


adalah :

1. Koordinasi pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana


kehutanan: perambahan kawasan, penebangan liar; peredaran hasil hutan illegal
termasuk TSL, perburuan TSL, perusakan habitat, kebakaran hutan/hot spot dan
pencurian TSL di 32 propinsi

2. Peningkatan kemampuan operasional pengendalian kebakaran hutan meliputi :


pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran hutan di 32
propinsi.

3. Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka


perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan di 32 propinsi.

c. Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati


dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian, strateginya adalah :

1. Peningkatan pengusahaan pariwisata alam, di 32 propinsi

2. Optimalisasi pelaksanaan pemanfaatan jasa lingkungan di HL,HP dan Kawasan


Konservasi (prioritas perdagangan carbon , pemanfaatan air) di 15 propinsi

3. Percepatan pembentukan kader konservasi tingkat madya dan utama serta


terbinanya kelompok pencinta alam, kelompok swadaya masyarakat, kelompok
profesi serta kader konservasi di 66 UPT

4. Optimalisasi pelaksanaan pengkajian, penelitian dan pengembangan (kalitbang)


tumbuhan dan satwa liar di 66 UPT.

5. Optimalisasi pelaksanaan penangkaran jenis TSL di 66 UPT

6. Koordinasi pelaksanaan penyiapan penyelenggaraan per-buruan di 5 TB, Kebun


Buru & Blok Buru (KB, KB & BB)

Kebijakan III - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

7. Koordinasi pelaksanaan pengendalian perburuan liar TSL di 66 UPT

8. Koordinasi pelaksanaan pengendalian peredaran TSL di 32 BKSDA.

9. Koordinasi pelaksanaan pengendalian peragaan dan pertukaran TSL di 50


lembaga konservasi.

10. Optimalisasi Pelaksanaan peningkatan budidaya tanaman obat-obatan di 66


UPT.

11. Koordinasi pelaksanaan pengendalian pemeliharaan untuk kesenangan di 32


BKSDA

c. Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka


pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, strateginya adalah :

1. Mewujudkan institusi yang mampu menyelenggarakan pengelolaan KSDAHE,


dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat secara optimal.

2. Meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM aparatur struktural, non struktural


dan fungsional.

3. Meningkatkan sistem perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan


kehutanan bidang PHKA.

4. Memenuhi sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE di pusat dan daerah (66
UPT).

5. Mewujudkan peraturan perundangan yang mendukung pengelolaan KSDAHE.


Meningkatkan kesadaran masyarakat dan keterlibatan para pihak dalam
mendukung tercapainya KSDAHE dan perlindungan hutan.

Untuk mencapai sasaran pembangunan kehutanan bidang PHKA tahun 2005-2009,


kebijakan mengacu pada 5 (lima) kebijakan ptrioritas pembangunan kehutanan, sebagai
berikut :

a. Kebijakan Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan Perdagangan


Kayu Illegal

Kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama dari seluruh
pemangku kepentingan bahwa pencurian kayu dan peredaran kayu illegal yang
telah berkembang sangat memprihatinkan dan mengakibatkan penurunan fungsi
kawasan konservasi, fragmentasi habitat, masalah sosial, ekonomi, dan budaya.

b. Kebijakan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara proses ekologis


esensial dan sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumber daya alam

Kebijakan III - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

hayati dan ekosistemnya, memanfaatkan sumber daya alam hayati dan


ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian serta mempercepat pulihnya
kawasan konservasi yang rusak sehingga kembali berfungsi normal.

c. Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi serta mengakomodir kegiatan


masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dampak yang diharapkan dari kebijakan
tersebut adalah berkembangnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar
kawasan konservasi melalui perolehan manfaat secara langsung atau tidak
langsung bagi pelaku usaha maupun mitra.

x Memperkuat kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat/para pemangku


kepentingan dalam kegiatan konservasi dan rehabilitasi SDA.

x Penguatan usaha produktif masyarakat sekitar kawasan konservasi.

d. Kebijakan Pemantapan Kawasan Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat pemantapan penataan kawasan


konservasi. Dalam rangka peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan
konservasi akan sangat ditentukan oleh kepastian status suatu kawasan.

Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, program pembangunan kehutanan
bidang PHKA, mengacu pada program nasional sebagaimana program dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 serta Program Departemen
Kehutanan. PHKA mempunyai 5 program untuk menampung kegiatan-kegiatan
pembangunan kehutanan bidang PHKA. Program tersebut adalah:

a. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negri.

b. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan.

c. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam.

d. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan


Lingkungan Hidup.

e. Program Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam

Pola pembangunan dan pemanfaatan hutan di masa lalu yang hanya berorientasi kepada
pembalakan (timber oriented) tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai
lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, telah cenderung
terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan, sehingga potensi sumberdaya alam lainnya
seperti hasil hutan non-kayu (flora dan fauna) dan jenis lingkungan menjadi rusak dan hilang

Kebijakan III - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

tanpa memberikan hasil yang optimal. Hal tersebut telah pula memunculkan dan tumbuhnya
konglomerasi, dan terabaikannya hak-hak masyarakat sekitar hutan, serta menyebabkan
hilangnya akses masyarakat sekitar hutan untuk dapat menikmati kekayaan alam hutan
tersebut dan kesejahteraan mereka tetap tertinggal.

Memperhatikan hal tersebut, hendaknya program pembangunan dan pemanfaatan hutan dan
kawasan konservasi dari aspek konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di masa
mendatang harus diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multi fungsi, dengan
memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan
mengutamakan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Ketentuan hukum yang mengatur mengenai keberadaan dan pengelolaan kawasan


konservasi antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
serta Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian alam.

Berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita mengenal hutan
dan klasifikasinya sebagai berikut :

ƒ Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam
hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu : fungsi
konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.

ƒ Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang
bersama-sama dengan unsur non-hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.

ƒ Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas :

o Hutan konservasi

o Hutan lindung, dan

o Hutan produksi

Berdasarkan UU No 41 ini, pengertian hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Sedang dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kita mengenal kawasan
konservasi dan salah satunya adalah kawasan suaka alam. Dalam UU ini, pengertian

Kebijakan III - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. Salah satunya adalah kawasan cagar alam

Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Adapun kriteria untuk
penunjukan dan penetapan sebagai kawasan cagar alam seperti yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam :

ƒ Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem:

ƒ Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;

ƒ Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak
atau belum diganggu manusia;

ƒ Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan
yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses ekologis secara alami;

ƒ Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau

ƒ Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang


langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Pemanfaatan potensi kawasan konservasi hanya akan dapat dilaksanakan secara konseptual
dan terencana apabila potensi kawasan yang ada tersebut diketahui peran dan fungsinya.
Peran dan fungsi kawasan menjadi titik tolak kepentingan pemanfaatan dari segi nilai
ekologis dan nilai finansial. Oleh karena itu pengetahuan mengenai nilai potensi merupakan
hal yang penting untuk pemberdayaan manfaat kawasan konservasi. Pemanfaatan kawasan
konservasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus bertujuan
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi
kawasan konservasi. Beberapa fungsi dari kawasan konservasi termasuk Cagar Alam
adalah sebagai berikut

x Fungsi tata air. Cagar alam sebagai salah satu kawasan hutan pelestarian alam adalah
hutan dengan ciri khas tertentu yang memiliki fungsi pokok perlindungan serta penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan cagar alam juga memiliki peranan yang sangat penting untuk perlindungan
fungsi tata air (hidro-orologis). Perlindungan fungsi tersebut berperan pula di dalam

Kebijakan III - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan. Namun peran dan fungsi


tersebut nampaknya pada saat ini belum sepenuhnya dinilai secara kuantitatif dari
manfaat finansial serta baru dinilai secara mikro dari nilai ekologinya.

Dimasa mendatang dimana sumberdaya air akan menjadi terbatas maka peran kawasan
konservasi, khususnya cagar alam dengan fungsi hidro-orologisnya akan memainkan
peranan yang berarti, khususnya bagi penyediaan dan kelangsungan sumberdaya air
untuk kawasan pemukiman, industri dan lain-lainnya. Pada kawasan cagar alam
mangrove, fungsi pengendali intrusi air asin dan pengendali banjir akan menjadi fungsi
penting kawasan bagi masyarakat sekitar kawasan.

Studi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut harus mulai untuk terus dikembangkan,
sehingga nilai-nilai pemanfaatan kawasan konservasi dari segi nilai ekologis akan
semakin diketahui masyarakat luas, dan hal tersebut diharapkan akan menyadarkan
mereka untuk selalu berupaya melestarikan dan menjaga keberadaan kawasan
konservasi bagi kelangsungan sistem penyangga kehidupan dan peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat secara regional, nasional dan bahkan internasional.

x Pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi tanpa merusak lingkungan


dan mengurangi fungsi utamanya seperti pemanfaatan wisata alam, pemanfaatan
keindahan dan kenyamanan.

x Manfaat O2, CO2 dan penyerap panas. Kawasan konservasi di daerah tropis memiliki
peranan yang sekarang dikenal sebagai paru-paru dunia, berbagai jenis tumbuhan mulai
dari yang bersifat semak belukar sampai bentuk pohon memiliki kemampuan untuk
menyerap gas karbondioksida untuk kemudian dirubah menjadi gas oksigen, yang
membuat iklim mikro menjadi lebih nyaman. Disamping itu beberapa jenis dari tumbuhan
yang terpelihara dan terlindungi secara baik di kawasan-kawasan konservasi berperan
pula untuk mencegah polusi udara dan pemanasan global. Pemanfaatan kawasan
konservasi untuk berperan sebagai penyerap gas karbondioksida maupun zat polutan
serta sebagai penghasil oksigen maupun penyerapan efek panas dari gas rumah kaca
belum banyak dikemukakan secara kuantitatif dari segi nilai ekologi maupun finansial.
Studi-studi yang berkaitan dengan kepentingan pemanfaatan kawasan konservasi untuk
hal tersebut harus mulai untuk dikembangkan.

x Sumber Plasma Nutfah. Menggunakan kawasan konservasi sebagai sumber plasma


nutfah dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, untuk plasma nutfah tersebut
dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan seperti antara lain untuk kepentingan
budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias, dan lain-
lain.

x Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada kawasan konservasi. Merupakan bentuk
kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama

Kebijakan III - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

kawasan konservasi, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah,
dan lain-lain. Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi.

Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan
bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaanya berhak :

ƒ Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari


masyarakat adat yang bersangkutan;

ƒ Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang;

ƒ Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

Pemanfaatan tradisional yang diperbolehkan hanyalah pemanfaatan potensi kawasan


berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan untuk kepentingan pemenuhan
kebutuhan spiritual masyarakat lokal/setempat/sekitar kawasan konservasi yang
dilaksanakan oleh masyarakat lokal/setempat/sekitar taman nasional sendiri dengan
mempergunakan peralatan tradisional dan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.

Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan ekosistemnya maka kegiatan pemanfaatan tradisional menjadi salah
satu aktivitas yang harus diadopsi dalam kegiatan pengelolaan kawasan cagar alam.

x Kegiatan Penelitian dan Pendidikan. Sesuai fungsi kawasan konservasi, kawasan


cagar alam haruslah mengakomodasi kegiatan penelitian dan pendidikan. Bentuk dan
materi penelitian dan pendidikan perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bentuk penelitian terapan, misalnya
penelitian tentang teknologi konservasi sumberdaya alam atau penelitian murni, antara
lain penelitian tentang tingkah laku satwa, dapat dilangsungkan dalam kawasan
konservasi.

Untuk pendayagunaan dan hasilguna, maka pengelolaan dan penelitian dan pendidikan
diarahkan pada kegiatan, sebagai berikut :

ƒ Identifikasi obyek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem dan sosial ekonomi budaya
masyarakat.

ƒ Penyusunan skala prioritas pelaksanaan program penelitian yang disesuaikan


dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan konservasi.

ƒ Pengembangan bentuk kerjasama dengan masyarakat.

Kebijakan III - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

ƒ Pengembangan sistem promosi rencana penelitian dan hasil penelitian kepada


masyarakat luas.

C.4. Pengelolaan Cagar Alam

Melihat kondisi dan permasalahan yang terjadi saat ini pada kawasan konservasi maka
kebijaksanaan pengelolaan kawasan konservasi mengalami perubahan paradigma. Bila
dimasa lalu titik berat pengelolaan kawasan konservasi lebih difokuskan pada aspek
perlindungan dan pengawetan, antara lain diwujudkan dengan penunjukan kawasan
konservasi dan hutan lindung, penetapan jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi, dan
berbagai upaya pengamanan dan perlindungan serta kegiatan preventif lainnya. Oleh karena
itu, dalam rangka mewujudkan seluruh aspek konservasi dalam pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi termasuk cagar alam,
maka bobot peningkatan dan pengembangan aspek pemanfaatan berdasarkan azas
kelestarian menjadi titik berat dengan didukung perlindungan dan pengawetan yang
memadai. Dengan memperhatikan perkembangan keadaan yang berjalan tersebut kebijakan
pembangunan kawasan konservasi termasuk cagar alam diarahkan untuk mengemban misi
terwujudnya manfaat optimal konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi
kesejahteraan masyarakat, untuk mewujudkan misi tersebut serta dipandu dengan ketetapan
GBHN tahun 1999 yang menekankan kepada perwujudan pengelolalan sumber daya alam
hutan secara lestari, berkeadilan dan mandiri untuk sebesar-besarnya, kesejahteraan rakyat,
maka ditetapkan program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di dalam
pengelolaan kawasan konservasi sebagai berikut :

a. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kawasan-kawasan konservasi sehingga


benar-benar mencerminkan kepentingan konservasi keanekaragaman jenis flora dan
fauna, kekhasan, keunikan dan keindahan sumber daya alam .

b. Mengembangkan kawasan konservasi keanekaragaman hayati yang memenuhi


persyaratan dan kriteria baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan,
guna lebih menjamin keberadaan dan keterwakilan tipe-tipe ekosistem dan gejala alam
lainnya;

c. Meningkatkan pembinaan satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui
peningkatan kegiatan inventarisasi, rehabilitasi dan pembinaan habitat guna menjamin
kelestarian populasi jenis dan pemanfaatannya.

d. Meningkatkan pembinaan kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa)
melalui penilaian keunikan dan keasliannya serta mengembangkan pengelolaannya
melalui model pengelolaan yang memadai dan diharapkan mampu memberikan manfaat
bagi peningkatan kesejahteraan dan kesadaran konservasi masyarakat setempat.

Kebijakan III - 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

e. Meningkatkan pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi alam melalui


pengembangan pengelolaan yang mantap dan memadai, mendorong pemanfaatan
secara lestari dan optimal dari fungsi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian,
pendidikan konservasi dan menunjang budidaya, serta diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan kesadaran konservasi masyarakat
setempat.

f. Meningkatkan keterpaduan pembangunan kawasan konservasi dengan pembangunan


wilayah, sehingga kawasan konservasi tersebut mampu mendukung dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi pembangunan wilayah serta peningkatan kesejah-teraan dan
kepedulian konservasi pada masyarakat.

g. Meningkatkan pembinaan konservasi keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi


dan di luar kawasan hutan baik daratan dan perairan.

h. Meningkatkan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bentuk


partisipasi aktif yang positif sebagai masukan bagi pemerintah dalam pelaksanaan
operasional konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

i. Mendorong dan meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pengelolaan


kawasan konservasi yang telah diproyeksikan dalam ketentuan Undang-Undang No. 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.

j. Meningkatkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hutan dari kawasan hutan
dan kawasan konservasi guna peningkatan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
disekitar hutan melalui kegiatan penunjang budidaya.

k. Pemanfaatan dan peningkatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam


pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, sehingga mampu memberikan manfaat dan
hasil produk yang ramah lingkungan dan terstandarisasi.

l. Melakukan dan mengembangkan pendekatan baru dalam analisis biaya dan keuntungan
dengan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan dan sosial dengan disertai kajian
dampak lingkungan dan sosial, pemantauan dan pengawasannya secara konsisten di
lapangan.

m. Membangun dan mengembangkan peranserta aktif masyarakat disekitar hutan dan


kawasan konservasi dalam mengembangkan usaha ekonomi berbasis sumberdaya alam
setempat dan mampu melestarikan potensi keanekaragaman hayati yang ada.

n. Memberdayakan dan mengembangkan lebih lanjut kearifan dan tradisi masyarakat


setempat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan
dan lestari dalam upaya pelestarian hutan dan konservasi alam.

Kebijakan III - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

o. Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat melalui berbagai pelatihan dan


pendidikan mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai kerusakan
lingkungan dan pelestariannya.

p. Membangun dan menggali sumber pendanaan untuk konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistem melalui trust fund atau debt for nature swap serta mendorong
pengelola kawasan konservasi untuk mengembangkan kemampuan pendanaan secara
mandiri di dalam pengelolaan kawasannya.

q. Meningkatkan peran aktif para ahli konservasi, lembaga masyarakat dibidang politik dan
sebagainya untuk mampu mendorong terciptanya berbagai peraturan dan kelembagaan
yang mendukung upaya pelestarian alam dan lingkungan.

r. Meningkatkan supremasi hukum dan memberikan sanksi yang tegas dan jera terhadap
para pelanggar yang berkaitan dengan pelestarian alam dan lingkungan.

Untuk pencapaian program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di


kawasan konservasi, maka kegiatan prioritas yang dapat dilaksanakan adalah :

a. Peningkatan inventarisasi potensi kawasan hutan yang mencakup seluruh potensi flora,
fauna, jasa lingkungan dan ekosistem, sehingga secara bertahap pengetahuan mengenai
potensi dan kegunaan setiap komponen penyusun ekosistem dan dapat diungkapkan dan
diketahui, serta hal ini penting di dalam perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan
secara berkelanjutan, lestari, efektif dan efesien.

b. Pemantapan kawasan melalui kegiatan kajian potensi satuan unit pengelolaan ekosistem
yang efektif dan efisien, penataan batas, pengukuran, pemetaan dan pengukuhan status
kawasan, guna memberikan kepastian pengelolaan dan pemanfaatan secara
berkelanjutan dan lestari, serta penegakan hukum bagi kasus penindakan pelanggaran
dan perusakan kawasan.

c. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang mampu mendukung


semua upaya pengelolaan kawasan konservasi secara efektif, efisien, berkelanjutan dan
lestari.

d. Pengembangan kegiatan penelitian dan ilmu pengetahuan, termasuk membangun sistem


informasi dan data base sebagai basis untuk mendukung serta membantu penyelesaian
permasalahan yang dihadapi maupun pengambilan keputusan dalam pengelolaan
kawasan konservasi secara berkelanjutan dan lestari.

e. Pengembangan partisipasi dan swakarsa masyarakat dalam pengelolaan kawasan


konservasi secara adil, mandiri, berkelanjutan dan lestari.

Kebijakan III - 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

f. Pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi yang mampu mendorong


berkembangnya iklim usaha yang kondusif dalam pemberdayaan ekonomi
rakyat/masyarakat disekitar kawasan yang mampu mendukung ekonomi nasional.

g. Mewujudkan perlindungan dan pengamanan sumberdaya alam hayati dan ekosistem


pada kawasan konservasi melalui peranserta secara aktif dari masyarakat di sekitarnya.

h. Rehabilitasi dan revitalisasi habitat-habitat yang mengalami degradasi dan pragmentasi di


dalam upaya mencegah kepunahan plasma nutfah dan penyelamatan kekayaan
keanekaragaman hayati.

i. Pengembangan sistem pengawasan dan pengendalian yang diikuti dengan penerapan


sanksi yang tegas pada tiap bentuk pelanggaran dan kerusakan terhadap kawasan dan
potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem agar pengelolaan dan pemanfaatannya
dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.

j. Pengembangan kelembagaan termasuk ketentuan peraturan perundangan, organisasi


pengelolaan yang secara kondusif mampu meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati dan ekosistem secara lestari, efektif dan efisien.

C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan kawasan hutan khususnya hutan mangrove di Indonesia terususun dalam suatu
strategi Nasional yang merujuk kepada pola pengelolaan lingkungan di dalam Agenda 21
Indonesia. Strategi Nasional Ekosistem Mangrove dan Agenda 21 Indonesia memuat antara
lain :

1. Perencanaan terpadu dan pengembangan sumberdaya di zona pantai:

x Memusatkan perhatian pada masalah monitoring, evaluasi dan administrasi


sumberdaya.

x Memonitor dan melindungi lingkungan pantai dan lautan.

x Memusatkan perhatian pada permasalahan polusi laut yang timbul di daratan.

2. Pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan

x Menyoroti kesulitan sekitar keseimbangan antara konservasi sumberdaya alam yang


tidak dapat pulih dan penggunaan sumberdaya biologi secara berkesinambungan.

3. Mensejahterakan dan memberdayakan masyarakat pantai

x Mempertelakan masalah-masalah kemiskinan dan kesempatan ekonomi yang


terbatas yang dihadapi masyarakat pantai, serta mencari institusi dan strategi yang
dapat menanggulangi permasalahan tersebut.

Kebijakan III - 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Di lingkup Departemen, departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan
mangrove adalah Departemen Kehutanan. Landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus
berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-
konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya.

Di dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove,


Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah,
yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi
dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang
membidangi kehutanan).

Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi


mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove
(Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang
selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat
informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi Mangrove di
Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai – Sulawesi Selatan (untuk
wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat – Sumatera Utara (untuk wilayah
Sumatera dan Kalimantan).

Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah,
Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya
rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan
bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.

Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan


hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3)
Penggalangan dana dari berbagai sumber.

Secara umum, pengelolaan kawasan mangrove khususnya kawasan cagar alam haruslah
sesuai dengan “prinsip pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk
mencapai tujuan ini maka secara umum kebijakan yang ada berdasar dan berpedoman
kepada :

x Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian


kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi
dan seimbang (Pasal 2 UU No. 5/1990).

x Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan


terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keselmbangan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upava peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. (Pasal 3 UU No. 5/1990).

Kebijakan III - 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan (Pasal
5 UU No. 5/1990) :

o perlindungan sistem penyangga kehidupan;

o pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

o Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Secara khusus, dalam hal pengelolaan hutan Mangrove maka aspek perencanaan menjadi
sangat penting. Dalam hal ini, perencanaan juga memuat aspek dan informasi sebagai
berikut :

x Perencanaan Kehutanan meliputi : inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan,


penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
penyusunan rencana kehutanan. (Pasal12 UU No. 41/1999).

x Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan


hutan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan tersebut. (Pasal14 UU
No. 41/1999).

x Pemerintah Propinsi menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan lindung


dalam suatu Peraturan Daerah. Pemerintah Kabupaten menjabarkan lebih lanjut
kawasan lindung ke dalam peta yang lebih detil dengan Peraturan Daerah. (Pasal 34
Keppres No. 32/1990).

x Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem


penyangga kehidupan. (UU No. 5/1990).

Secara spesifik, rencana atau pokok kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan
mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan
baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual.
Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Operasional Teknis

Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan
operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT
(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis
Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan
dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit
percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18
Propinsi.

2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove.

3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi).

Kebijakan III - 25
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove.

5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten.

D. Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya wilayah


agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan demikian
pengembangan wilayah adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara
keseluruhan. Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten Pemekaran (12
November 2002) dari Kabupaten Manokwari harus segera memecahkan beragam
permasalahan yang dihadapi masyarakat, kesenjangan antar wilayah, pengembangan
sentra-senta produksi, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah beberapa dari
sejumlah program pembangunan yang harus dilaksanakan.

Berdasarkan kondisi diatas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dituntut untuk
memaksimalkan semua sumberdaya yang ada (manusia, alam dan buatan) untuk
mewujudkan pembangunan di semua bidang. Salah satu modal pembangunan dari
Kabupaten Teluk Bintuni yaitu sumberdaya alam (SDA) yaitu berupa SDA hutan, perikanan,
pertanian, pertambangan (batubara), serta gas bumi (LNG Tangguh). SDA alam yang ada di
kabupaten Teluk Bintuni diantaranya yaitu berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB). SDA hasil perikanan merupakan SDA yang banyak terdapat di dalam kawasan
CATB. Selain itu flora serta fauna yang eksotis (mangrove, buaya, rusa, serta beberapa jenis
burung) terdapat di dalam kawasan CATB. Sesuai dengan fungsinya yang merupakan
kawasan konservasi, CATB memiliki peranan yang cukup besar dalam menjaga kelestarian
ekosistem di sekitar Teluk Bintuni. Akan tetapi seiring dengan rencana pembangunan yang
akan dilakukan, kawasan CATB tidak akan terlepas dari pengaruh untuk dimanfaatkan
sebagai modal pembagunan. Oleh karena itu setiap rencana pembangunan yang akan
dilakukan oleh pemda, harus ada koordinasi dengan BKSDA Papua 2 yang memiliki kantor
Resort di Bintuni.

D.1. Tinjauan Penataan Ruang Kota Kabupaten Teluk Bintuni

Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan
perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan
keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain).
Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan tata
ruang (Clayton and Dent, 1993, dalam Rustiadi et al., 2003):

1. Kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah


terjadinya perubahan yang tidak diinginkan

Kebijakan III - 26
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. Adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang


disusun.

Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan
suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Sasaran utama dari
perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang
terbaik, namun biasanya dapat dikelompokan atas tiga sasaran umum: 1) efisiensi, 2)
keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan 3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk
pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang
diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus
merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya
perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang
juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik dan sosial sehingga menjamin peningkatan
kesejahteraan secara berkelanjutan.

Gambar III-1. Rencana Pola Perkembangan Kota Bintuni sebagai Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada,
sehingga terdapat kesulitan untuk mengetahui arahan pembangunan untuk tingkat
Kabupaten., Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni
tahun 2004. RDTRK Kota Bintuni dapat dijadikan sebagai dasar untuk melihat arahan
pembangunan yang akan mempengaruhi terhadap kawasan, karena kawasan CATB
letaknya berdekatan dengan Kota Bintuni. Berdasarkan RDTRK Kota Bintuni, ibu kota

Kebijakan III - 27
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

kabupaten mulai dari Kampung Sibena sampai dengan Kampung Argosigemerai (SP5), serta
telah dibangunnya pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni yang berjarak 27 Km
sebelah Timur dari Kota Bintuni (dekat Kampung Korano Jaya). Selain itu berdasarkan
RDTRK Kota Bintuni, Kampung Argo Sigemerai direncanakan sebagai kawasan komersil dan
bisnis baru berskala regional.

Berdasarkan kondisi diatas maka dapat dilihat bahwa batas Barat Laut dan Utara kawasan
CATB, merupakan daerah yang sangat dekat dengan perkampungan dan pusat aktivitas
lainnya. Agar kawasan CATB dapat terjaga dengan baik maka perlu adanya daerafh buffer
antara jalan dengan batas kawasan CATB. Selain itu untuk mengurangi tekanan terhadap
penggunaan lahan, maka setiap pemanfaatan/penggunaan lahan dilakukan di sebelah Utara
jalan Trans Bintuni – Manokwari..

Perencanaan pengembangan sektor pertanian/perkebunan sebaiknya dikembangkan di


sebelah Utara jalan Trans Bintuni – Manokwari, karena daerah tersebut merupakan daerah
hutan dataran rendah serta menjauh dari batas kawasan CATB. Selain itu untuk
pengembangan sektor lain seperti perikanan diharapkan dilakukan di luar kawasan CATB,
agar tidak terjadinya konflik kepentingan karena kawasan tersebut merupakan kawasan
konservasi.

D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam dengan Daerah Sekitarnya

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) secara geografis merupakan daerah hilir dari
beberapa sungai besar seperi Sungai Muturi, Bokor, Tirasai, Kodai, Tatawori, Naramasa
serta beberapa sungai kecil lainnya, untuk selanjutnya aliran sungai tersebut masuk ke Teluk
Bintuni. Daerah hulu dari sungai-sungai tersebut merupakan kawasan hutan yang sampai
saat ini masih merupakan hutan produksi. Dengan adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
maka kondisi hutan di bagian hulu sungai tersebut semakin rusak sehingga dapat
mengakibatkan erosi dan tingkat sedimentasi di setiap sungai semakin besar. Melihat kondisi
diatas maka kawasan CATB merupakan daerah buffer sebelum aliran sungai masuk ke Teluk
Bintuni.

Perubahan pola penggunaan lahan di hulu DAS dari hutan alam menjadi usaha hutan baik
oleh masyarakat maupun HPH, ditambah dengan usaha pertanian yang tidak sesuai daya
dukung lahan menyebabkan laju erosi dan sedimentasi bertambah. Penambahan besar erosi
dan sedimentasi menyebabkan tekanan terhadap kawasan cagar alam semakin besar.
Sedimentasi yang memasuki kawasan mempunyai peran ganda, sebagai potensi pendukung
keberadaan ekosistem mangrove dan sekaligus ancaman. Mangrove hanya bisa
berkembang jika ada suplai sedimen sebagai substrat pertumbuhan. Tetapi bila sedimentasi
bertambahnya sangat cepat maka laju perubahan semakin cepat dimana perubahan dari
ekosistem mangrove menjadi hutan dataran rendah lebih cepat dari terbentuknya mangrove

Kebijakan III - 28
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

baru. Jika ini berkembang terus maka luas kawasan hutan mangrove semakin kecil dan
keberadaan cagar alam ini menjadi terancam. Perubahan ekosistem ini akan menyebabkan
terjadinya kehilangan fungsi ekonomi kawasan sebagai spawning ground bagi ikan, kepiting,
udang yang merupakan sumber pencaharian masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni

Pada sisi lain, pola transportasi ke dan dari Kabupaten umumnya menggunakan sungai.
Kondisi ini menyebabkan akses di dekat dan dalam kawasan sangat intens untuk
transportasi. Sungai Wasian (Sungai Steenkol) yang merupakan batas alam sebelah Timur
kawasan CATB, merupakan ”pintu gerbang” bagi masuknya kapal penumpang/barang dari
Sorong ataupun daerah lain. Melihat posisi muara sungai tersebut yang sangat dipengaruhi
oleh sungai-sungai yang berasal dari kawasan CATB (terutama Sungai Muturi) dimana
tingkat sedimentasinya sudah tinggi, maka berdasarkan pengamatan lapangan sedimentasi
di muara Sungai Wasian semakin mempersempit muaranya. Dengan kondisi demikian maka
bukan hal yang mustahil dimasa yang akan datang kapal-kapal tidak dapat lagi masuk ke
Sungai Wasian, sehingga dari perhubungan laut Kabupaten Teluk Bintuni akan terisolir. Hal
tersebut menunjukan bahwa peranan kawasan CATB sebagai daerah buffer bagi aliran
sungai yang bermuara di Teluk Bintuni cukup besar, sehingga hal yang sangat penting untuk
menjaga kelestarian kawasan CATB.

Teluk Bintuni terkenal sebagai daerah penghasil beberapa jenis hasil perikanan seperti ikan,
udang, kepiting (karaka) dan lain-lain. Hal ini ditunjukan dengan berdirinya perusahaan-
perusahaan perikanan, salah satunya yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro
Distrik Babo. Selain itu banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Bintuni atau
kawasan CATB yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Kawasan CATB mayoritas
wilayahnya (lebih dari 90%) merupakan hutan mangrove (mangi-mangi) dengan luasan
seluruhnya 124.850 hektar, yang merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat
memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya. Berdasarkan kondisi diatas
menunjukan bahwa kawasan CATB merupakan ”rumah/gudang” dari beberapa jenis hasil
perikanan, sehingga memiliki peranan yang cukup penting bagi keberlangsungan produksi
perikanan di Teluk Bintuni dan sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas menunjukan bahwa kawasan CATB perlu dijaga


kelestariannya, karena memiliki peranan yang cukup penting dalam menjaga fungsinya
sebagai buffer bagi aliran sungai yang masuk ke Teluk Bintuni serta sebagai ”rumah/gudang”
bagi berbagai jenis hasil perikanan agar Teluk Bintuni tetap menjadi daerah penghasil ikan.
Oleh karena itu dalam kebijakan pengembangan wilayah, diharapkan agar dapat
meminimalkan akses/pemanfaatan terhadap kawasan CATB agar kelestariannya dapat
terjaga.

Kebijakan III - 29
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

IV. ANALISIS PERMASALAHAN

A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan

Aspek pengelolaan menguraikan tentang tujuan pengelolaan, evaluasi kondisi pengelolaan,


dan input-input dalam rangka merumuskan strategi kebijaksanaan. Sedangkan aspek
kebijaksanaan menguraikan tentang perkembangan kebijakan yang ada dan digunakan
sebagai dasar untuk memenuhi fungsi kawasan beserta efektifitasnya. Pengelolaan dan
kebijaksanaan dalam analisis difokuskan kepada tujuan penyusunan Rencana Pengelolaan
Kawasan.

A.1 Permasalahan

A.1.1 Aspek Pengelolaan

Dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, permasalahan yang merupakan kelemahan


yang bersifat teknis dan atau non-teknis merupakan hal sering terjadi. Permasalahan ini juga
dijumpai di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa permasalahan dari aspek
pengelolaan yang berhasil teridentifikasi antara lain adalah :

1. Status Kawasan secara yuridis formal masih lemah

Status kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni sampai saat ini masih dalam status
hukum penunjukan dan belum penetapan. Disamping itu, tata ruang daerah juga belum resmi
ada. Kondisi ini secara hukum membuat kepastian kawasan menjadi sangat rawan karena ke
depan, proses perkembangan wilayah dan tekanan terhadap cagar alam cukup besar,
sementara status masih penunjukan. Jika pemerintah daerah membuat perda dalam tata
ruang yang mengurangi atau menghilangkan cagar alam, maka tidak ada alasan untuk
membatalkannya karena secara hukum, keberadaan kawasan masih dalam tahap
penunjukkan dan belum penetapan.

2. Kurangnya koordinasi Pengelola Cagar Alam dengan jajaran Pemerintah Daerah

Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sepenuhnya ditangani oleh institusi
yang berstatus instansi pusat dan wewenang kendali ada pada BKSDA Papua II Sorong dan
bukan di wilayah atau kawasan Cagar Alam. Kondisi ini sangat potensial menyebabkan
kegiatan pengelolaan belum bisa maksimal dan efektif. Informasi yang diperoleh dari
pengelola teknis Cagar Alam Teluk Bintuni menunjukan bahwa tanggung jawab pengelolaan
terkesan sepenuhnya berada di tangan KSDA Bintuni dan belum mendapat dukungan dari
pemerintah daerah, padahal pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi juga menjadi

Analisis Permasalahan IV - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

bagian tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi sebagai kabupaten baru juga menjadi
salah satu penyebab masalah ini muncul. Peranan institusi pengelola dalam mengikuti
mekanisme koordinasi dan birokrasi dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) juga masih kurang
efektif. Ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan struktur dan eselonisasi antara
pengelola dengan dinas di dalam Pemda. Hal ini di perparah lagi dengan birokrasi yang
panjang yang harus di tempuh oleh institusi pengelola di daerah dalam membuat kebijakan-
kebijakan yang menyangkut pengelolaan kawasan karena tanggungjawab dan kendali masih
ada di BKSDA Papua II yang berkedudukan di Sorong.

Selain dengan pemerintah daerah di


Kabupaten, koordinasi yang lemah juga
terlihat muncul dengan pemerintah propinsi.
Teluk Bintuni yang dulunya masih kecamatan
dan berinduk di Propinsi Papua mempunyai
kendala jarak. Akibatnya, koordinasi yang
lemah ini juga terlihat dari ditemukannya
pembangunan pemukiman masyarakat di
Anak Kasih oleh Dinas Sosial Propinsi Papua
Gambar IV-1. Pemukiman di Desa Anak Kasih
dan lokasi ini berada di dalam kawasan cagar
yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua
alam. Seharusnya penempatan wilayah dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni.
pemukiman baru didasarkan kepada peta dan
tata ruang wilayah sehingga keberadaan kawasan konservasi dan batasnya bisa menjadi
pertimbangan pembangunan.

3. Peran institusi pengelola belum maksimal.

Institusi pengelola kawasan konservasi di daerah, dalam hal ini Balai Konservasi Sumberdaya
Alam (BKSDA) Papua II merupakan perpanjangan tangan institusi pusat (PHKA). Dalam
aktivitas kegiatannya, balai membawahi kegiatan pengelolaan kawasan di 14 Kabupaten,
seperti : Kabupaten Biak, Numfor, Serui, Waropen, Manokwari, Teluk Wondama, Teluk
Bintuni, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Fak-fak, Kaimana, Mimika, dan kota Sorong.
Khusus untuk Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni, institusi pengelola kawasan konservasi yang
ada adalah Resort KSDA Bintuni yang membawahi dua kawasan Cagar Alam, yaitu Cagar
Alam Wagura Kote dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Bila dilihat dari kondisi geografis, luas
kawasan, beragamnya obyek yang harus dikelola, serta “rumitnya” mekanisme birokrasi yang
harus diikuti, tanggung jawab instansi ini terasa sangat berat dalam mencapai tujuan
pengelolaan kawasan. Keberadaan koordinasi yang berada di Sorong dan aksesibilitas serta
komunikasi ke wilayah Teluk Bintuni juga menjadi salah satu sebab kurang optimalnya peran
institusi pengelola.

Analisis Permasalahan IV - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

4. Minimnya kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

Dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni, tanggung jawab
pengelolaan kawasan hanya ditangani oleh tiga orang personil yang terdiri dari 1 orang Kepala
Resort dan 2 orang tenaga Polisi Kehutanan. Hal ini tidak sebanding dengan luasan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu kurang lebih 124.850 ha dan Cagar Alam Wagura Kote, yaitu
kurang lebih 15.000 ha. Khusus untuk Cagar Alam Teluk Bintuni, pengelolaan dilakukan oleh
Kepala Ressort dan 3 orang Jagawana (Tabel IV-1).

Dari data personil


Tabel IV-1. Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk
pengelola kawasan
Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005.
pada Tabel di atas
Status/Golongan/
tergambar bahwa No. Kualifikasi Keterangan
Masa Kerja
kapasitas pengelola 1. PNS/III-a/22 tahun Sarjana Hukum Kepala Resort
yang ada saat ini 2. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana

masih kurang 3. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana


Sumber: Resort KSDA Bintuni
memadai. Hal ini
terlihat dari kualifikasi dari pengelola yang semuanya tidak memiliki latar belakang pendidikan
kehutanan. Dengan kekuatan pengelola seperti ini, proses pencapaian tujuan pengelolaan
kawasan akan sangat jauh dari yang diharapkan.

5. Minimnya sarana dan prasarana penunjang.

Dalam kegiatan pengelolaan kawasan Cagar


Alam Teluk Bintuni, institusi pengelola saat ini
ditunjang oleh sarana dan prasarana yang
sangat minim. Berdasarkan hasil pengamatan
di lapangan dan informasi dari kepala Resort
KSDA Bintuni, sarana prasarana yang ada
masih jauh dari memadai. Kawasan cagar
alam dengan luas 125.000 Ha, dominan
kawasan mangrove dan kawasan sungai
hanya didukung prasarana pengelola yang Gambar IV-2. Satu-satu sarana transportasi
sangat minim yaitu satu motor, tanpa ada dalam menunjang kegiatan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
longboat atau speedboat (Tabel IV-2).

Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang dituntut, sarana dan prasarana penunjang
yang ada sangat kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari
pengelolaan kawasan. Pengawasan dan patroli yang efektif serta upaya untuk pembinaan dan
koordinasi dengan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan sangat tidak
mendukung dengan sarana yang ada. Upaya penambahan sarana dan petugas menjadi
salah satu prioritas yang harus dilakukan agar aksesibilitas pengelola ke dalam kawasan dan

Analisis Permasalahan IV - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

melakukan pembinaan masyarakat semakin baik. Pembinaan masyarakat akan meningkatkan


peran aktif masyarakat dalam pengelolaan cagar alam, khususnya pengawasan dan
perlindungan.

Tabel IV-2. Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
sampai dengan Juli tahun 2005

No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit) Kondisi Keterangan

1. Pondok kerja ukuran 36 M2 1 Sedang Perlu perbaikan


2. Motor Dinas 1 Buruk Perlu perbaikan
3. Mesin ketik 2 Rusak -
Sumber: Resort KSDA Bintuni

6. Data dasar kawasan.

Informasi yang di peroleh dari pengelola kawasan menunjukkan bahwa kajian dan penelitian
telah banyak dilakukan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, namun hasil-hasilnya tidak
terdokumentasi dengan baik sebagai arsip yang ditinggalkan pada institusi pengelola baik di
BKSDA Papua II Sorong maupun di Ressort Bintuni. Hal ini juga diperkuat dari hasil
penelusuran data sekunder, dari data yang telah terdokumentasi yang bersumber dari
beberapa stakeholder seperti Perguruan Tinggi, LSM, BP Tangguh, dan Pemerintah Daerah,
ternyata informasi dasar kawasan masih belum memadai dalam menunjang kegiatan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Dari informasi kegiatan yang pernah dilakukan di kawasan Cagar Alam baik di dalam
Departemen Kehutanan maupun di luar kehutanan, hampir tidak dijumpai adanya data dan
laporan hasil kegiatan yang terdokumentasi di pengelola. Salah satu contoh adalah laporan
kegiatan tata batas kawasan. Kegiatan ini sudah dilakukan tahun 1999 tetapi peta hasil
pengukuran dan laporan kegiatannya tidak dijumpai sebagai dokumen di resort atau lokasi
cagar alam. Hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem dokumentasi data tentang kawasan
dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja dari pengelola kawasan

7. Tidak tersedianya proporsi dana yang seimbang dengan luas kawasan.

Perubahan kebijakan keuangan untuk pengelolaan kawasan dimana sebelumnya bersumber


dari dana APBN, sekarang hanya menerima dana yang bersumber dari Dana Reboisasi.
Sumber dana ini hanya digunakan untuk membiayai kegiatan pengelolaan kawasan yang lebih
dikategorikan sebagai dana rutin seperti pengamanan kawasan, pembinaan kader, dan dana
pameran konservasi dan tidak dikhususkan untuk pembangunan kawasan.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi, prinsip pencegahan selalu dipandang lebih baik
dibandingkan dengan rehabilitasi atau perbaikan. Akan tetapi prinsip ini belum terlaksana di

Analisis Permasalahan IV - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi hutan mangrove yang relatif
masih baik dan tekanan kerusakan yang belum besar diduga menjadi salah satu sebab
kurangnya perhatian dalam pengelolaan. Ini tergambar dari alokasi dana untuk Cagar Alam
Teluk Bintuni yang sangat kecil, padahal dari segi luas kawasan, Cagar Alam Teluk Bintuni
membutuhkan alokasi dana yang cukup besar dalam pengelolaannya, khusus dalam
pengawasan. Aksesibilitas yang dominan lewat air membutuhkan biaya patroli yang cukup
besar. Disamping itu, penyuluhan kepada masyarakat yang berada di dalam maupun di
sekitar kawasan juga sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan bisa didukung oleh
masyarakat.

8. Minimnya perangkat lunak yang tersedia.

Pedoman dan petunjuk teknis bagi pengelolaan kawasan dan jenis yang merupakan
perangkat lunak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan masih belum tersedia di
Pondok Kerja Resort KSDA Bintuni. Padahal perangkat ini sangat diperlukan dalam
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Hal ini menyebabkan kegiatan
pemberdayaan masyarakat sulit dilakukan dan diukur keberhasilannya. Disamping itu,
ketidaktersediaan buku saku pengelolaan dan pedoman koordinasi juga menyebabkan upaya
pengelolaan terbentur pada masalah legalitas kegiatan. Hal lain yang menjadi permasalahan
adalah pola pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan dimana mereka
umumnya adalah masyarakat tradisional yang tidak terbiasa berurusan dengan kondisi yang
serba formal. Untuk itu sangat diperlukan adanya pedoman bagi pelaksana teknis pengelolaan
Cagar Alam.

9. Ketidakjelasan batas kawasan di lapangan.

Batas kawasan yang jelas akan membuat semua pemangku kepentingan memahami dan
menyadari keberadaan kawasan Cagar Alam. Batas yang tidak jelas dapat menyebabkan
terjadinya tumpang tindih penggunaan dan sangat potensial menjadi sumber konflik. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa batas kawasan berupa pal-pal batas tidak
ditemui lagi atau telah rusak dimakan usia. Menurut informasi dari Kepala Resort KSDA
Bintuni, pada tahun 1997 telah dilakukan penataan batas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
oleh konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari pada tahun
1999.

Dalam pelaksanaan tata batas kawasan, pola pemetaan dan kegiatan partisipatif sangat
diperlukan. Ketidakjelasan batas kawasan dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait
mengakibatkan pada beberapa bagian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terjadi tumpang
tindih dengan peruntukan lain. Hal ini dapat dijumpai pada batas barat-laut kawasan dimana
dijumpai adanya tumpang tindih kawasan cagar alam dengan lahan usaha II untuk peserta

Analisis Permasalahan IV - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

transmigrasi nasional. Seharusnya dalam peta akhir tata batas, areal transmigrasi ini sudah
dikeluarkan dari areal cagar alam.

10. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kawasan.

Apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap kawasan diukur dari bagaimana masyarakat
memperlakukan kawasan Cagar Alam. Baik buruknya apresiasi ini sangat ditentukan
pemahaman dan pengetahuan mereka. Di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
apresiasi ini terlihat masih kecil. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan yang berkaitan
dengan pembukaan lahan untuk pembuatan tempat penimbunan kayu, perladangan,
pemukiman, dan penebangan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Dari wawancara
diketahui bahwa ini bisa terjadi karena kurangnya penyuluhan, penyebaran informasi dan
sosialisasi kawasan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat adanya keterbatasan dari pengelola
teknis kawasan untuk bisa berkunjung ke desa-desa yang menggunakan transportasi melalui
air/sungai.

A.1.2 Aspek Kebijakan

Berdasarkan penjelasan dari institusi pengelola kawasan, sampai pada saat disusunnya
rencana pengelolaan kawasan ini relatif hampir tidak pernah ada kebijakan yang diambil oleh
pengelola teknis (resort) untuk memenuhi fungsi kawasan. Kegiatan yang pernah ada
hanyalah penataan kawasan berupa keterlibatan pengelola dalam kegiatan penataan batas
definitif bersama konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari
pada tahun 1999. Sejak itu tidak pernah ada kebijakan penataan sampai rencana ini disusun.
Selain itu, kegiatan pengawasan kawasan pernah dilakukan beberapa kali, namun itupun
hanya bersifat insidentil yang bersamaan dengan penelitian atau survei yang dilakukan oleh
beberapa LSM konservasi. Kegiatan pengawasan secara periodik tidak pernah ada di
kawasan. Penyebab utama adalah tidak tersedianya sarana untuk melakukan pengawasan
dari sungai dimana lebih dari 90% kawasan merupakan hutan mangrove sementara sarana
transportasi pengelola adalah motor.

A.2 Altenatif pemecahan masalah

Dari beberapa permasalahan pengelolaan kawasan tersebut di atas, diketahui bahwa


kelemahan-kelemahan yang muncul lebih banyak di pengaruhi oleh faktor internal. Apabila
kondisi ini dibiarkan akan dapat menjadi faktor penghambat dalam rangka mencapai tujuan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa alternatif pemecahan masalah
yang dapat diberikan sehubungan dengan kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel IV-3.

Analisis Permasalahan IV - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-3. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders
Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
Status Kawasan secara x Peningkatan status kawasan Ditjen PHKA dan BKSDA Papua II dan
yuridis formal masih lemah secara yuridis formal dan BAPLAN Biphut
(Kawasan CATB berstatus ditetapkan sebagai Kawasan
penunjukan) Cagar Alam

x Pengakuan Keberadaan Cagar PEMDA Teluk Bintuni BKSDA Papua II,


Alam Teluk Bintuni secara legal dan BKSDA Papua II, Resort KSDA Bintuni,
formal oleh Pemerintah Daerah Resort KSDA Bintuni LSM lokal dan NGO

Kurangnya koordinasi x Peningkatan status pengelola Ditjen PHKA BKSDA Papua II


dengan jajaran Pemerintah kawasan.
Daerah.
Belum maksimalnya x Penambahan jumlah personil Ditjen PHKA BKSDA Papua II
peranan institusi pengelola pengelola.
dan minimnya kapasitas
dan jumlah sumberdaya x Meningkatkan kemampuan BKSDA Papua II Unipa Manokwari,
pengelola personil pengelola melalui Dirjen PHKA Jakarta,
berbagai kesempatan pendidikan BP Tangguh Project
dan latihan pengelolaan
kawasan konservasi yang lebih
profesional.
Minimnya sarana dan x Peningkatan mutu dan BKSDA Papua II BP Tangguh Project,
prasarana Penunjang pemeliharaan sarana prasarana PEMDA Teluk Bintuni
yang telah ada.

x Pembangunan sarana dan BKSDA Papua II BP Tangguh Project,


prasarana penunjang PEMDA Teluk Bintuni
pengelolaan seperti
pembangunan kantor resort,
pondok kerja, pondok jaga,
menara pengawas, dan
pengadaan perahu motor.
Minim data dasar kawasan x Inventarisasi potensi kawasan BKSDA Papua II Unipa Manokwari
secara menyeluruh. (koordinasi)

x Mempromosikan kegiatan BKSDA Papua II Unipa Manokwari


penelitian dan kajian untuk (koordinasi)
menggambarkan kondisi
kawasan, baik di bidang SOSEK,
BIOLOGI, dan FISIK kawasan.

x Pengumpulan hasil-hasil BKSDA Papua II Unipa Manokwari ,


penelitian dan pengembangan LSM, dan Lembaga
yang pernah dilakukan di Penelitian, BP
kawasan melalui kerjasama Tangguh Project
dengan mitra lain seperti PT, (koordinasi)
LSM (lokal dan internasional),
Lembaga Penelitian, Investor,
dan Pemerintah Daerah.
Tidak memadainya x Alokasi dana untuk kegiatan Dirjen PHKA BKSDA Papua II
proporsi dana dengan luas pengelolaan yang cukup
kawasan memada melalui mekanisme
skala prioritas.

x Membangun kerjasama dengan BKSDA Papua II Unipa Manokwari ,


stakeholder yang lain seperti LSM, dan Lembaga
LSM dan Pemerintah daerah Penelitian
melakukan kegiatan pengelolaan
kawasan, sehingga beban yang
harus ditanggung institusi
pengelola menjadi lebih ringan.

Analisis Permasalahan IV - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders
Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
Minimnya perangkat lunak x Pembuatan pedoman BKSDA Papua II BP Tangguh Project,
pengelolaan kawasan dan jenis. Unipa Manokwari ,
LSM, dan Lembaga
Penelitian (koordinasi)

x Penyederhanaan pedoman BKSDA Papua II BP Tangguh Project,


penegelolaan yang ada sehingga Unipa Manokwari ,
mudah dipahami masyarakat di LSM, dan Lembaga
dalam dan sekitar kawasan, Penelitian (koordinasi)
terutama untuk kegiatan-
kegiatan yang dapat
meningkatkan keikutsertaan
masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
Ketidakjelasn batas x Pemeliharaan batas kawasan. BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat
kawasan di lapangan. yang bermukim di
dalam dan sekitar
kawasan

x Rekonstruksi batas kawasan bila BKSDA Papua II, Kelompok Masyarakat


dirasa perlu. Biphut yang bermukim di
dalam dan sekitar
kawasan
Kurangnya apresiasi x Meningkatkan sosialisasi kepada BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat
masyarakat terhadap masyarakat tentang pentingnya yang bermukim di
kawasan. Cagar Alam Teluk Bintuni dalam dan sekitar
sebagai penyangga sistem kawasan
kehidupan masyarakat di dalam
dan sekitar kawasan.
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

B. Aspek Biologi Kawasan

Pemekaran Kawasan Teluk Bintuni menjadi Kabupaten Teluk Bintuni membawa beberapa
konsekuensi logis seperti pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan bertambahnya
kebutuhan lahan baru untuk berbagai keperluan seperti perumahan, jalan, jembatan,
dermaga, dan infrastruktur lainnya. Hal ini dapat memicu semakin meningkatnya tekanan
terhadap sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada di daerah ini, termasuk ekosistem
penyusun kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Meningkatnya tekanan ini dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdayanya, baik secara langsung seperti
konversi lahan maupun tidak langsung, misalnya pencemaran oleh limbah kegiatan
pembangunan.

B.1 Permasalahan

B.1.1 Ekosistem

Kawasan CagarAlam Teluk Bintuni tersusun oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan
mangrove sebagai penyusun utama kawasan dan hutan hujan dataran rendah. Kedua
ekosistem penyusun kawasan ini adalah ekosistem alami dan sebagian besar masih

Analisis Permasalahan IV - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

terpelihara dengan baik, kecuali beberapa bagian ekosistem hutan hujan dataran rendah dan
sebagian kecil hutan mangrove telah mengalami gangguan/tekanan akibat faktor manusia
seperti pembukaan lahan untuk pemukiman, tempat penimbunan kayu (logyard), penebangan
liar, perladangan, serta lahan usaha untuk peserta transmigrasi nasional, dan sebagai akibat
gejala alam seperti erosi tepi dan angin.

Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah

Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa permasalahan dan ancaman utama


terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasan CATB adalah
degradasi ekosistem yang merupakan akibat dari beberapa aktivitas manusia seperti disajikan
pada Tabel IV-4.

Tabel IV-4. Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Permasalahan Stakeholder/penyebab Keterangan

Degradasi Pembukaan lahan untuk tempat Ada yang dilakukan sebelum tata batas
ekosistem penimbunan kayu (logyard) oleh definitif kawasan
HPH dan Kopermas.

Penebangan liar (illegal logging) Pelaku kegiatan ini belum bisa di


justifikasi dan memerlukan pengamatan
yang lebih seksama.

Perladangan (cultivated land) Terutama dilakukan oleh masyarakat


yang bermukim di dalam kawasan

Pemukiman penduduk Memanfaatkan bekas logyard dan ada


yang dibuka jauh sebelum ditunjuk
sebagai kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni.
Sumber: Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-4 mengindikasikan bahwa ekosistem hutan dataran rendah sedang menghadapi dua
permasalahan utama, yaitu degradasi ekosistem dan tumpah tindih kawasan. Hasil
pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa bagian ekosistem ini, baik yang
berada di pulau mangrove maupun di batas Timur, Utara, dan Barat Laut kawasan CATB
sebagian telah mengalami kemunduran. Kemunduran yang terjadi pada ekosistem ini
sebagian besar disebabkan oleh adanya intervensi manusia seperti pembukaan lahan untuk
tempat penimbunan kayu (logyard) oleh beberapa HPH dan KOPERMAS yang beroperasi di
sekitar kawasan, pembuatan kebun masyarakat, serta untuk keperluan pemukiman penduduk
lokal. Selain itu, pada beberapa bagian ekosistem ini telah terjadi penebangan, terutama
pohon-pohon jenis komersil seperti merbau dan matoa. Temuan di lapangan menunjukan

Analisis Permasalahan IV - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

terdapat beberapa tempat penimbunan kayu (logyard) yang terdapat dalam pada ekosistem
hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam (Tabel IV-5).

Tabel IV-5. Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan
dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Tahun
2005.

Letak
Logyard Dibuka oleh Keterangan
Lokasi GPS
0
Logyard II PT.Henrison S.Tirasai S 2 03’ 13.9’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
Iriana 0
E 133 51’ kawasan dan Masih digunakan
38.2” oleh Kopermas dan HPH PT
Manokwari Lestari.
Logyard PT Yotefa S. Ausoi S 20 06’ 04.4’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
III Sarana Timber 0
E 133 40’ kawasan dan masih digunakan
13.4” oleh Kopermas.

Logyard PT Yotefa S. Muturi S 20 06’ 25.5’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
IV Sarana Timber 0
E 133 43’ kawasan dan masih digunakan
49.6” oleh PT Yotefa Sarana Timber
dan Kopermas.
Logyard Kopermas S. Tikamari/ S 20 03’ 04.1’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
Anak Anak Kasih 0
E 133 56’ kawasan dan digunakan sebagai
kasih 05.5’’ areal pemukiman K. Anak Kasih.

Logyard Kopermas S. Sumberi S 20 02’ 39.4’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
Sumberi E133 55.02.3” kawasan dan masih digunakan
oleh Kopermas.
Logyard Kopermas S. Sigirau S 20 07’.18.3” Dibuat sesudah adanya tata batas
Sp V E1330 37’.86.5” kawasan sementara non aktif.

Logyard V Kopermas S. Awarepi S 20 09’ 30.56’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
E1330 34’ 47.2” kawasan dan sudah tidak
digunakan tapi sekarang
diupayakan untuk dijadikan
Dermaga Fery (ASDP).
Logyard Kopermas S. Ausoi S 20 06’.36.9” Dibuat sesudah adanya tata batas
SP IV E1330 40’.57.8” kawasan dan sudah tidak
digunakan
Sumber: Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-5 menunjukan bahwa di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang secara
hukum merupakan daerah konservasi terdapat aktivitas pembukaan lahan untuk keperluan
pembuatan logyard yang jumlahnya dapat mengancam keberadaan eksositem yang ada,
khususnya ekosistem hutan dataran rendah. Tempat-tempat tersebut setelah digunakan oleh
pemegang HPH dan Kopermas belum dilakukan rehabilitasi. Bahkan terdapat beberapa
logyard yang sudah tidak digunakan oleh pemegang HPH masih digunakan oleh KOPERMAS
untuk tempat penimbunan kayu sebelum dilakukan pemuatan ke tongkang.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, informasi dari pengelola kawasan dan


masyarakat yang bermukim di areal tersebut, pembukaan lahan untuk keperluan logyard

Analisis Permasalahan IV - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

tersebut terjadi sebelum dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka
sebelum adanya tata batas kawasan sebagian besar dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan CATB. Namun setelah adanya tata batas kawasan,
areal tersebut tidak direhabilitasi bahkan digunakan kembali oleh sebagian Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang dibangun
setelah adanya tata batas kawasan semuanya dibuka oleh Kopermas. Pembukaan lahan ini
dimungkinkan karena letak areal penebangan HPH/Kopermas yang langsung berbatasan
dengan ekosistem hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni. Selain itu, untuk keperluan
pengangkutan kayu bulat/gergajian para pemegang HPH dan Kopermas “tidak memiliki”
alternatif lain dan lebih banyak memilih alternatif melalui sungai-sungai yang ada dalam Cagar
Alam Teluk Bintuni, sehingga pembuatan tempat penimbunan kayu (logyard) di tepi-tepi
sungai yang ada dalam kawasan CATB tidak bisa terhindarkan.

Gambar IV-3. Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai
logyard di S. Sumberi di kawasan CATB

Kegiatan perladangan/berkebun juga merupakan faktor yang memberi andil terhadap


kemunduran eksositem hutan dataran rendah. Hasil pengamatan di lapangan, beberapa
bagian ekosistem ini telah dibuka untuk keperluan pembuatan kebun masyarakat, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat lokal yang yang
bermukim di kampung Mamuranu dan Anak
Kasih yang ada dalam kawasan CATB.

Kegiatan perladangan/membuka kebun ini


lebih banyak dilakukan oleh masyarakat
yang bermukim dalam dalam kawasan.
Lokasi kebun masyarakat pada ekosistem
ini lebih banyak terdapat pada beberapa
pulau mengrove baik berbentuk hamparan
pegunungan rendah maupun bukit-bukit Gambar IV-4. Kebun masyarakat lokal yang
kecil seperti Pulau Mangrove Maniai, bermukim di Kampung Mamuranu di kawasan
CATB
Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Cara

Analisis Permasalahan IV - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

berkebun yang digunakan adalah sistem tebas bakar (slashed and burned system) dan telah
berlangsung lama dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Pola pembukaan lahan atau
kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat
pancang dan tiang;

b. Menebang pohon-pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian dibiarkan beberapa
waktu tertentu agar bekas tebangan mengering;

c. Setelah kering, bekas tebangan berupa ranting dan semak belukar dikumpulkan pada
suatu tempat dalam kebun dan atau di pinggiran kebun, kemudian dibakar;

d. Penanaman sesuai jenis yang akan diusahakan.

Lahan tersebut umumnya diusahakan selama 1 – 2 tahun (3 – 4 kali panen), kemudian


mereka akan berpindah ke lahan yang baru. Waktu (masa bera) yang diperlukan untuk
mengusahakan kembali bekas kebun yang ditinggalkan adalah 3-5 tahun. Luas lahan yang
diusahakan bervariasi antara 0,2 – 1,0 ha tiap kepala keluarga.

Pembukaan lahan untuk keperluan pemukiman


pada kawasan dan sekitar kawasan yang
dijumpai ada beberapa pola, seperti (i)
memanfaatakan bekas logyard yang
ditinggalkan oleh Kopermas seperti Kampung
Anak Kasih, (ii) pembukaan lahan pemukiman
oleh pemegang HPH dalam kawasan, seperti
Kampung Tirasai yang dibangun oleh PT
Henrison Iriana, (iii) serta pemukiman yang
Gambar IV-5. Salah satu logyard yang dibuka oleh masyarakat sendiri seperti
memanfaatkan sebagian ekosistem
Kampung Mamuranu. Pembukaan lahan untuk
mangrove di S. Tirasai di Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni. pemukiman, seperti juga pada kegiatan
pembukaan lahan untuk logyard, ada yang di lakukan sebelum tata batas kawasan, yaitu
Kampung Tirasai dan sesudah tata batas kawasan, yaitu Kampung Anak Kasih. Khusus untuk
pemukiman masyarakat Kampung Mamuranu yang berada dalam kawasan CATB,
keberadaanya sudah ada sejak kawasan ini belum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam.

Pada beberapa bagian kawasan CATB, terutama pada bagian sebelah utara yang langsung
berbatasan dengan beberapa areal konsesi HPH dan Kopermas, kawasan CATB telah
mengalami sedikit tekanan/gangguan oleh adanya penebangan. Informasi yang diperoleh dari
pengelola kawasan CATB, kegiatan ini dilakukan sebelum adanya tata batas kawasan atau
karena “ketidakjelasan” batas kawasan di lapangan.

Analisis Permasalahan IV - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Kemunduran ekosistem hutan dataran rendah yang disebabkan oleh beberpa hal tersebut di
atas akan membawa beberapa konsekuensi terganggunya fungsi ekosistem tersebut sebagai
salah satu penyusun kawasan CATB. Beberapa hal yang lebih jauh dapat ditimbulkan
sebagai akibat kemunduran eksositem ini antara lain:

1. Perubahan iklim mikro (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dapat mempengaruhi
pertumbuhan permudaan alam pada ekosistem ini.

2. Perubahan struktur hutan yang bisa mengakibatkan terganggunya habitat yang


merupakan tempat berkembangbiak jenis-jenis satwa.

3. Terinvasinya areal-areal bekas kebun masyarakat dengan jenis-jenis tumbuhan pionir


seperti Macaranga (Macaranga mappa dan M. Tanarius) yang menggantikan jenis asli
seperti Matoa (Pometia spp.), Merbau (Intsia spp.), dan jenis-jenis dari famili
Dipterocarpaceae.

4. Masuknya jenis-jenis luar (introduksi) yang bisa menjadi sumber pembawa hama dan
penyakit.

Dengan melihat kondisi permasalahan dan lebih jauh yang dapat terjadi di ekosistem ini, maka
perlindungan, pelestarian, dan rehabilitasi menjadi suatu hal yang mendesak di lakukan
dalam rencana pengelolaan kawasan ke depan.

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas alami dan
pertumbuhannya masih terlihat cukup baik. Ekosistem mangrove ini terlihat cukup dinamik
yang diindikasikan oleh pertambahan luasan di beberapa bagian dan pengurangan luasan di
bagian lain yang terjadi secara alami. Ekosistem mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni
paling luas dan paling sedikit mendapat gangguan di kawasan Asia Pasifik dan perlu
mendapat perhatian (Ruitenbeek, 1992). Hasil pengamatan lapangan mengidentifikasi bahwa
permasalahan utama yang dihadapi ekosistem ini adalah degradasi lahan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia (Tabel IV-6).

Penyebab utama kemunduran ekosistem ini secara langsung adalah akibat pembukaan lahan
untuk pembuatan logyard dan pemukiman penduduk, aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH
dan Kopermas yang memanfaatkan sungai, pemanfaatan oleh penduduk setempat, serta
akibat faktor alam seperti erosi tepi sungai dan angin. Secara tidak langsung, ekosistem ini
juga terancam degradasi sebagai akibat dari dari pengusahaan hutan yang dilakukan di
bagian atas (upland) kawasan yang tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan.

Analisis Permasalahan IV - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-6. Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan


ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Permasalahan Penyebab Keterangan

Degradasi x Pembukaan lahan (land clearing) Ada yang dilakukan sebelum tata
ekosistem untuk tempat penimbunan kayu batas definitif kawasan
(logyard) HPH dan Kopermas.

x Aktivitas pengangkutan kayu oleh Penggunaan tongkang dalam


HPH dan Kopermas pengangkutan kayu di sungai.

x Pemukiman dan perumahan Memanfaatkan bekas logyard dan ada


penduduk. yang dibuka jauh sebelum ditunjuk
sebagai kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni.

x Pemanfaatan pohon mangrove Untuk keperluan kayu bakar, tiang


oleh penduduk lokal. rumah, dan tiang belo.

x Erosi tepi sungai, abrasi pantai, Karena gejala alam dan aktivitas
dan angin. manusia

x Perubahan masukan dari Pengusahaan hutan daerah atas


ekosistem air tawar dan (upland/ hinterland) yang tidak
sedimentasi yang sangat besar memperhatikan kelestarian lingkungan.

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Seperti yang terjadi pada ekosistem hutan dataran rendah, kasus yang yang sama juga
terjadi pada ekosistem ini namun pada skala luasan yang lebih kecil. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa sebagian kecil luasan hutan mangrove ikut dibuka dalam
pembukaan lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu (logyard), terutama pada bagian
pinggiran sungai. Pembukaan lahan untuk keperluan logyard tersebut terjadi sebelum
kegiatan dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka sebelum adanya
tata batas kawasan sebagian besar
dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan
CATB. Namun setelah adanya tata batas
kawasan, areal tersebut tidak direhabilitasi
bahkan sebagian besar masih digunakan
oleh HPH maupun Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam
Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang
dibangun setelah adanya tata batas
Gambar IV-6. Bentuk gangguan ekosistem
mangrove yang diakibatkan oleh tongkang
kawasan semuanya dibuka oleh
pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Kopermas.
Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Pada beberapa bagian ekosistem ini juga dijumpai kerusakan/gangguan dalam skala kecil
sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan kayu oleh oleh HPH dan Kopermas yang
memanfaatkan beberapa sungai di kawasan Cagar Alam. Kegiatan ini biasanya
menggunakan sarana Tug Boat dan Tongkang. Hasil pengamatan di lapangan dan
wawancara dengan penduduk lokal bahwa beberapa bagian hutan mangrove yang tumbuh di
tepi-tepi sungai di kawasan ada yang tumbang atau patah yang disebabkan oleh lalu lintas
Tongkang dalam mengangkut kayu dari logyard menuju ke perairan Teluk.

Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove juga datang dari pemanfaatan vegetasi
mangrove oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Hasil pengamatan
di lapangan menunjukan bahwa pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala tradisional/subsistem
(traditional uses) untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, perkakas, bahan
bangunan rumah, serta untuk keperluan tiang-tiang pagar dalam kegiatan mencari ikan
(fishing) yang dalam istilah lokal disebut “tiang belo”. Namun menurut informasi dari pengelola
kawasan bahwa pada beberapa bagian kawasan, terutama pada batas sebelah barat laut di
pinggiran Sungai Wasian, pemanfaatan vegetasi mangrove sudah berkembang untuk
keperluan kayu bakar dan bahan bangunan,
sehingga masyarakat sudah mulai
melakukan penebangan pohon mangrove
dari jenis Bruguiera sp. Hal ini
dimungkinkan karena hutan mangrove pada
batas Barat Laut kawasan posisinya sangat
dekat dengan pemukiman sehingga
aksesibilitas sangat mudah. Seiring dengan
berkembangnya Kabupaten Teluk Bintuni
dimana salah satu konsekuensi laju
pertambahan penduduk yang semakin Gambar IV-7. Kerusakan hutan mangrove akibat
cepat, aktivitas ini dapat mengancam erosi tepi dekat muara sungai Wasian di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. .
keberadaan ekosistem pada beberapa
waktu ke depan.

Degradasi ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, selain diakibatkan oleh
faktor manusia, juga tidak jarang diakibatkan oleh faktor alam seperti erosi tepi sungai dan
angin. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian ini paling banyak terjadi
pada ekosistem mangrove yang tumbuh di pinggiran pada daerah dekat muara sungai-sungai
besar seperti Sungai Wasian, S. Muturi, S. Bokor, S. Tatawori, dan S. Naramasa. Dari data
iklim yang diperoleh, terutama kecepatan angin, pada bulan-bulan tertentu, yaitu periode Juni
– Agustus yang merupakan musim monson tenggara biasanya bertiup angin tenggara yang
cukup kencang dengan kecepatan lebih dari 90 km/jam. Sedangkan pada periode Desember

Analisis Permasalahan IV - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

- Pebruari yang merupakan musim monson barat-laut, kecepatan angin kadang mencapai
lebih dari 30 km/jam. Kondisi ini menyebabkan perairan di sungai-sungai besar tersebut
bergelombang yang sering menghantam pinggiran sungai yang ditumbuhi vegetasi mangrove
sehingga terjadi “abrasi”. Tiupan angin kencang tersebut juga menyebabkan robohnya
pohon-pohon mangrove di beberapa bagian kawasan. Dari studi yang dilakukan oleh Tim
TNC (2003) diketahui bahwa luasan mangrove Pulau Karaka yang menurut peta Citra Satelit
Lansat tahun 1989 adalah 15,19 hektar telah berkurang luasnya menjadi 6,81 hektar
berdasarkan peta Citra Satelit Lansat tahun 2002. Hilangnya sebagian luasan hutan
mangrove di daerah ini diduga lebih banyak disebabkan oleh “abrasi” pantai.

Hal lain yang yang menjadi ancaman terhadap degradasi yang dihadapi ekosistem ini adalah
dampak yang akan ditimbulkan oleh perubahan masukan (input) dari ekosistem air tawar.
Perubahan masukan ini dapat berupa meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan
berkurangnya masukan unsur hara (nutrient) yang terjadi secara simultan. Secara alami
masukan air tawar dari atas ekosistem mangrove sangat diperlukan sebagai salah satu
sumber unsur hara (nutrient) selain air hujan untuk pertumbuhan. Pada saat masukan yang
diterima lebih banyak berasal dari aliran permukaan (runoff), secara kuantitatif jumlah input air
tawar meningkat namun secara kualitatif berupa kandungan bahan organik menurun. Hal ini
karena yang terangkut oleh runoff adalah berupa material kasar yang berasal dari lapisan
tanah yang lebih dalam dan bukan merupakan bahan halus berupa humus sebagai hasil
dekomposisi yang terjadi di lantai hutan di atasnya. Material ini hanya akan tertumpuk di
ekosistem ini dalam bentuk delta-delta di kelokan sungai maupun di daerah muara. Apabila
hal ini berlangsung dalam waktu lama, akan berakibat pada pertumbuhan vegetasi mangrove
menjadi terhambat (Lugo and Snedaker, 1974). Hasil penelitian Lugo dan Clintron (1975)
mengatakan bahwa hutan mangrove dengan komposisi pohon-pohon yang tinggi sangat
rentan terhadap kerusakan bila berkembang pada kondisi aliran permukaan yang tinggi.
Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa masukan air tawar yang masuk ke
dalam eksosistem mangrove lebih banyak merupakan aliran permukaan. Menurut informasi
penduduk setempat, pada saat musim hujan, sungai-sungai yang bermuara di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni sering meluap (banjir) dengan warna air berubah menjadi coklat-
keruh. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem daerah atas (upland) telah
mengalami gangguan. Adanya beberapa HPH, Kopermas, dan pemukiman di daerah atas
diduga sebagai penyebab meningkatnya aliran permukaan yang masuk ke kawasan.
Berdasarkan data iklim yang ada, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitar setiap tahun
mendapat rata-rata curah hujan yang tinggi, yaitu lebih dari 3000 mm, dimana pada bulan-
bulan tertentu seperti bulan Pebruari, Nopember, dan Desember curah hujan bulanannya
cukup tinggi. Kondisi ini membuat daerah kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya
sangat rentan terhadap erosi/aliran permukaan bila tidak dikelola berdasarkan asas
kelestarian.

Analisis Permasalahan IV - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Implikasi negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove sebagai dampak dari beberapa
permasalahan tersebut di atas adalah terganggunya fungsi ekologis penting dari ekosistem ini
seperti peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur
dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, penghasil sejumlah besar
detritus (daun dan dahan pohon mangrove yang rontok), daerah asuhan (nursery ground),
daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)
bermacam biota perairan,

B.1.2 Flora dan Fauna

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup
tinggi. Flora di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu mosaik yang terdiri dari
dua tipe vegetasi utama, yaitu hutan mangrove dan hutan hujan dataran rendah. Pada habitat
tersebut tumbuh berbagai spesies tumbuhan, baik spesies tumbuhan yang memiliki nilai
ekonomis maupun spesies kunci (key species). Kondisi fisiografi kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dan ketersediaan sumber daya seperti pakan, air, tempat berlindung, serta tempat
berkembang biak yang sesuai dengan
kehidupan fauna juga sangat mendukung
kehadiran satwa liar baik dari jenis avifauna,
mamalia, reptil dan amfibi serta jenis
avertebrata.

Dari sejumlah jenis satwa yang ada di


kawasan, beberapa di antaranya merupakan
spesies endemik dan jenis-jenis yang
keberadaannya di alam sudah dilindungi
undang-undang nasional maupun
Gambar IV-8. Terinvasinya hutan bekas
perladangan oleh jenis pionir di K. Mamurana, international. Bahkan beberapa diantara
CATB.
satwa yang ada, keberadaanya di alam
sudah masuk dalam kategori terancam punah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh
kompoen flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah berkurangnya jenis-
jenis flora asli, penurunan populasi beberapa jenis satwa liar, dan minimnya data dasar
tentang flora dan fauna di kawasan.

1. Terancamnya habitat flora setempat

Hal ini merupakan dampak dari degradasi ekosistem sebagai akibat kegiatan manusia seperti
pembukaan lahan untuk pembuatan logyard dan kebun masyarakat. Ini sangat terlihat nyata
pada ekosistem hutan dataran rendah yang letaknya berbatasan langsung dengan areal hutan
produksi, pemukiman dan kebun penduduk. Dari segi ekologi, kegiatan ini sangat
berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi permudaan dari jenis-jenis asli yang pada

Analisis Permasalahan IV - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

umumnya merupakan jenis-jenis yang tahan naungan (toleran). Regenerasi jenis-jenis ini,
terutama pada fase kecambah, semai, dan pancang sangat peka terhadap perubahan iklim
mikro dan naungan. Perubahan iklim mikro dan naungan dapat menekan pertumbuhan jenis-
jenis ini. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada beberapa bekas lahan yang
dibuka untuk tujuan tersebut di atas, hutan sekunder yang terbentuk didominasi jenis-jenis
pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius ) dan sirih hutan (Piper
sp.).

2. Penurunan populasi dan keanekaragaman jenis satwa.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa penurunan populasi dan keanekaragaman


jenis satwa diduga diakibatkan oleh degradasi ekosistem dan perburuan yang berlebihan
(overhunting) baik yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
kawasan maupun pendatang dari luar kota Bintuni.

Penurunan populasi satwa, khususnya biota perairan diduga juga disebabkan adanya isu
penggunaan racun serangga (agriculture pesticide) dalam penangkapan hasil laut.
Berkurangnya keanekaragaman jenis satwa
di kawasan juga diduga disebabkan oleh
aktivitas beberapa industri kehutanan yang
memanfaatkan sungai-sungai di dalam
kawasan Cagar Alam sebagai sarana
transportasi seperti kapal penarik (tug boat).

Terganggunya beberapa bagian ekosistem


kawasan akibat kegiatan manusia
membawa implikasi pada perubahan
struktur dan komposisi vegetasi. Hal ini
mengakibatkan menurunnya kualitas habitat
Gambar IV-9. Jenis burung mambruk (Goura
yang sangat berpengaruh terhadap cristata) yang telah dilindung undang-undang
yang populasinya terancam
kehidupan satwa liar yang menghuni
beberapa tipe ekosistem di kawasan. Burung Mambruk (Goura cristata), Kasuari kerdil
(Casuarius benetti), dan cenderawasih minor (Paradisaea minor) misalnya, menurut informasi
penduduk yang bermukim di K. Tirasai, Anak Kasih, Sumberi, Mamuranu, dan Naramasa
bahwa dalam kurun waktu lebih 10 tahun yang lalu, jenis-jenis burung ini masih bisa dijumpai
di sekitar kampung dan masih mudah bagi mereka untuk menangkap jenis-jenis satwa ini.

Akan tetapi saat ini, keberadaannya jenis-jenis satwa tersebut sangat jarang dijumpai sekitar
kampung. Hal ini diduga karena jenis satwa ini sangat rentan terhadap gangguan habitat yang
sekaligus tempat berkembang biak jenis-jenis satwa ini. Untuk berkembang, jenis-jenis
cenderawasih seperti cenderawasih minor (Paradisea minor) dan cenderawasih indah (Ptiloris
magnificus), secara khusus, membutuhkan habitat berupa hutan dengan karakter tajuk yang

Analisis Permasalahan IV - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

cukup Iebat, utuh (belum mengalami


kerusakan) dengan vegetasi pepohonan
besar yang tumbuh rapat dan tajuknya
terdiri atas tiga strata. Hal yang sama juga
terjadi pada beberapa satwa mamalia
seperti rusa (Cervus timorensis), babi hutan
(Sus scrofa), Kangguru pohon
(Dendrolagus ursinus), kuskus bertotol
(Spilocuscus maculatus), dan kuskus
kelabu (Phalanger orientalis), serta jenis
Gambar IV-10. Jenis burung kasuari kerdil reptil seperti buaya muara (Crocodylus
(casuarius benetti) yang telah dilindung undang-
undang yang populasinya terancam
porosus) dan biawak (Varanus sp.).
Habitat jenis-jenis satwa tersebut telah
terdesak sebagai akibat aktivitas manusia.

Selain isu degradasi ekosistem, faktor


perburuan liar juga diduga memberi andil
terhadap menurunnya populasi beberapa
jenis satwa di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, informasi dari pengelola
kawasan, serta informasi dari masyarakat
setempat bahwa perburuan satwa liar,
seperti rusa dan babi hutan, diketahui
Gambar IV-11. Jenis kuskus bertotol
(Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung
bahwa ada tiga pemangku kepentingan
undang-undang yang sudah jarang dijumpai di utama yang terlibat dalam perburuan satwa
hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni.
liar di kawasan CA, yaitu oknum aparat
keamanan, masyarakat lokal, dan
pedagang satwa (trader/middlemen). Pada
awalnya, perburuan satwa dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan
sendiri (subsisten), namun seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk,
permintaan akan daging buruan meningkat
pula. Bahkan hasil buruan yang telah
diproses menjadi dendeng merupakan
barang oleh-oleh (souvenir) yang biasa
Gambar IV-12. Jenis satwa buaya muara
(Crocodylus porosus) yang telah dilindung dicari tamu-tamu yang datang ke Bintuni.
undang-undang populasinya menurun akibat
Hal ini mengakibatkan jumlah satwa yang
perburuan liar di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Analisis Permasalahan IV - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

diburu semakin meningkat pula. Metode perburuan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan lampu senter dan tombak, pemasangan jerat (perangkap), dan kadang-kadang
menggunakan senjata (melibatkan oknum petugas keamanan).

Menurunnya populasi satwa yang sering diburu oleh pihak tersebut dapat dilihat dari trend
hasil buruan yang diperoleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang semakin turun.
Hasil dari pertemuan kampung (village meeting) yang dilakukan di beberapa kampung seperti
K. Tirasai, Anak Kasih, Mamuranu, Yensei, Yakati dan Kampung Naramasa tergambar bahwa
kecenderungan (trend) hasil buruan dan tangkapan masyarakat menurun tajam dalam
sepuluh tahun terakhir. Hasil buruan rusa dan babi misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu
masyarakat yang berburu hanya dengan menggunakan peralatan tradisional seperti lampu
senter dan tombak dengan lokasi tempat berburu yang tidak terlalu jauh dari kampung
mereka, dapat menghasilkan sampai 10 ekor rusa atau babi hutan. Namun saat ini hanya
bisa membawa pulang satu atau dua ekor dan tidak jarang pulang tanpa hasil buruan. Lokasi
buruan pun semakin jauh dari kampung mereka. Kecenderungan yang sama juga terjadi
pada hasil tangkapan satwa perairan seperti ikan, udang, dan siput.

Kondisi fisiografis serta ketersediaan pakan yang cukup membuat kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni merupakan habitat yang cocok bagi tempat berkembang biaknya buaya muara
Crocodylus porosus. Hasil survei yang dilakukan oleh WWF-IUCN-PHPA pada tahun 1985
dan FAO-PHPA pada tahun 1988 ternyata populasi buaya di kawasan Teluk Bintuni menurun
tajam. Penyebab utama menurunnya populasi buaya ini adalah karena perburuan terhadap
buaya besar dan buaya kecil serta pengambilan telur yang kurang terkendali, yang merupakan
salah satu mata pencaharian pokok penduduk setempat.

Disamping isu penurunan populasi, keanekaragaman fauna di kawasan juga diduga


mengalami pengurangan. Hal ini terlihat nyata pada jenis satwa burung yang banyak
menempati habitat mangrove dan hutan dataran rendah. Menurut hasil survei yang dilakukan
Zuwendra dkk. (1991) sedikitnya teramati 95 jenis burung di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dan sekitarnya. Namun selama survei lapangan yang dilakukan hanya berhasil
tercatat kurang lebih 26 jenis burung. Dari jumlah tersebut, keberadaan beberapa beberapa
jenis di antaranya diperoleh berdasarkan informasi dari penduduk yang bermukim di dalam
kawasan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman jenis, khususnya jenis
avifauna di kawasan mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir.

Selain menurunnya kualitas habitat akibat degradasi ekosistem, hal lain yang memberi andil
menurunnya keanekaragaman jenis satwa di kawasan adalah aktivitas pengusahaan hutan
yang menggunakan alat-alat mekanik yang menimbulkan kebisingan, khususnya penggunaan
kapal penarik (tug boat) yang memanfaatkan beberapa sungai-sungai dalam kawasan.
Kebisingan ini diduga mengakibatkan jenis-jenis satwa tertentu, terutama burung, bermigrasi
ke tempat yang lebih “aman”.

Analisis Permasalahan IV - 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

3. Kurangnya Data Dasar.

Permasalahan lain yang dihadapi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, khususnya aspek flora
dan fauna yang menempati ekosistem kawasan, adalah minimnya data flora dan fauna yang
tersedia. Pengelola hampir tidak memiliki data dasar tentang flora dan fauna sehingga
pengelolaan tidak pernah didasarkan kepada informasi data. Kurangnya data dasar flora dan
fauna kawasan Cagar Alam terutama disebabkan karena studi atau kegiatan penelitian
tentang keberadaan fauna di kawasan masih sangat jarang. Padahal ketersediaan data dasar
yang memadai, terutama data kuantitatif suatu kawasan konservasi merupakan salah satu
faktor penting dalam proses pengelolaan kawasan. Beberapa aspek flora kawasan yang
dirasa belum memadai adalah daftar (check list) jenis-jenis, potensi, serta penyebaran flora di
kawasan. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat diketahui jenis-jenis flora yang
merupakan spesies kunci dan spesies yang dilindungi yang sangat menunjang dalam kegiatan
pengelolaan kawasan.

Kondisi minimnya data dasar selain terjadi pada komponen flora kawasan juga terjadi pada
komponen fauna. Penelusuran data sekunder yang dilakukan menunjukan bahwa informasi
tentang keanekaragaman, dinamika populasi, dan penyebaran fauna di kawasan masih
kurang memadai dalam mendukung kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Ketersedian informasi tersebut sangat penting guna menjawab dua pertanyaan umum yang
sering muncul dan di hadapi para pengelola kawasan konservasi seperti juga kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu:

1. Komunitas spesies apa yang terdapat dalam kawasan konservasi, dimana dan berapa
jumlahnya?

2. Bagaimana kecenderungan (trend) atau dinamika populasi dari waktu ke waktu?

B.2 Altenatif pemecahan masalah

Permasalahan biologi kawasan yang lebih banyak di pengaruhi oleh faktor eksternal apabila
dibiarkan akan menjadi faktor pemnghambat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Oleh karena itu sesegera mungkin dicarikan alternatif
pemecahan masalahnya (Tabel IV-7, Tabel IV-8, Tabel IV-9).

Analisis Permasalahan IV - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-7. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung

Degradasi x Pembukaan lahan x Rehabilitasi Dinas Kehutanan BKSDA Papua


ekosistem (land clearing) ekosistem dengan Kabupaten Teluk II c.q Resort
untuk tempat jenis-jenis yang Bintuni. KSDA Bintuni
penimbunan kayu sesuai dengan (Koordinasi).
(logyard) HPH dan kualitas tempat
Kopermas. tumbuh.

x Aktivitas x Larangan BKSDA Papua II Dinas Pertania


pengangkutan pembukaan lahan. c.q Resort KSDA Kabupaten
kayu oleh HPH Bintuni Teluk Bintuni
dan Kopermas. (Koordinasi)

x Pemukiman dan x Relokasi Logyard Dinas Kehutanan BKSDA Papua


perumahan ke luar kawasan Kabupaten Teluk II c.q Resort
penduduk. Cagar Alam Teluk Bintuni KSDA Bintuni
Bintuni bila (Koordinasi)
memungkinkan.

x Pemanfaatan x Penataan kawasan BKSDA Papua II Kelompok


pohon mangrove dalam bentuk c.q Resort KSDA Masyarakat
oleh penduduk pembagian blok Bintuni Pemanfaat
lokal. ekosistem kedalam
2 blok, yaitu blok inti
dan blok
“pemanfaatan”.

x Erosi tepi sungai, x Minimalisasi Dinas Kehutanan BKSDA Papua


abrasi pantai, dan kegiatan Kabupaten Teluk II c.q Resort
angin. penebangan di Bintuni KSDA Bintuni
daerah atas (Koordinasi)
(upland) kawasan.

x Perubahan x Penindakan secara BKSDA Papua II Polres Teluk


masukan dari tegas dengan c.q Resort KSDA Bintuni
ekosistem air pemberlakuan Bintuni (Koordinasi)
tawar. hukum yang berlaku
x Penebangan liar untuk menghentikan
(illegal logging). kegiatan tersebut.

x Perladangan x Monitoring dan BKSDA Papua II Dinas Pertania


(cultivated land) kontrol secara c.q Resort KSDA Kabupaten
kontinyu terhadap Bintuni Teluk Bintuni
luasan logyard yang (Koordinasi)
sudah ada sehingga
tidak ada
penambahan
luasan areal
logyard.

x Pemasangan tanda BKSDA Papua II Kelompok


larangan menebang c.q Resort KSDA Masyarakat
di kawasan. Bintuni bermukim di
dalam - sekitar
kawasan

x Pembinaan dan BKSDA Papua II Kelompok


penerangan tentang c.q Resort KSDA Masyarakat
pentingnya Bintuni yang bermukim
kawasan. di dalam dan
sekitar
kawasan

Analisis Permasalahan IV - 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung

x Mengikut sertakan BKSDA Papua II Kelompok


masyarakat dalam c.q Resort KSDA Masyarakat
perlindungan dan Bintuni yang bermukim
pengawasan di dalam dan
kawasan. sekitar
kawasan

x Pembinaan Dinas Pertanian x BKSDA


terhadap peladang dan Kehutanan Papua II c.q
di dalam kawasan Kabupaten Teluk Resort
melalui penerapan Bintuni KSDA
teknologi Bintuni
pemanfaatan lahan (Koordinasi)
minimal dengan x Kelompok
tetap Masyarakat
memperhatikan pemanfaat.
kebutuhan.

x Anjuran Dinas Pertanian x Kelompok


penggunaan Kab. Teluk Bintuni Masyarakat
spesies lokal bukan (Koordinasi). pemanfaat.
introduksi. x BKSDA
Papua II c.q
Resort
KSDA
Bintuni
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-8. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung

Degradasi 1. Pembukaan 1. Rehabilitasi Dinas Kehutanan BKSDA Papua II c.q


ekosistem lahan untuk ekosistem dengan Kabupaten Teluk Resort KSDA
tempat jenis-jenis asli yang Bintuni. Bintuni (Koordinasi).
penimbunan sesuai dengan
kayu kualitas tempat
(logyard) oleh tumbuh yang ada.
HPH dan
2. Penindakan secara BKSDA Papua II c.q Polres Teluk Bintuni
Kopermas.
tegas dengan Resort KSDA (Koordinasi)
pemberlakuan Bintuni .
hukum yang berlaku
untuk menghentikan
kegiatan tersebut.
3. Monitoring dan BKSDA Papua II c.q Dinas Kehutanan
kontrol secara Resort KSDA Kabupaten Teluk
kontinyu terhadap Bintuni . Bintuni (Koordinasi).
luasan logyard yang
sudah ada sehingga
tidak ada
penambahan luasan
areal logyard.

Analisis Permasalahan IV - 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung

4. Pemindahan logyard BKSDA Papua II c.q Dinas Kehutanan


ke lokasi di luar Resort KSDA Kabupaten Teluk
kawasan. Bintuni . Bintuni (Koordinasi).
2. Penebangan 1. Pemasangan tanda BKSDA Papua II c.q Kelompok
liar (illegal larangan menebang Resort KSDA Masyarakat yang
logging) di kawasan. Bintuni bermukim di dalam
dan sekitar kawasan
2. Penegakan hukum. BKSDA Papua II c.q Polres Teluk Bintuni
Resort KSDA (Koordinasi)
Bintuni .
3. Penyadaran tentang BKSDA Papua II c.q Kelompok
pentingnya kawasan. Resort KSDA Masyarakat yang
Bintuni bermukim di dalam
dan sekitar kawasan
4. Mengikutsertakan BKSDA Papua II c.q Kelompok
masyarakat dalam Resort KSDA Masyarakat yang
perlindungan dan Bintuni bermukim di dalam
pengawasan dan sekitar kawasan
kawasan.
3. 1. Pembinaan terhadap Dinas Pertanian dan 1. BKSDA Papua II
Perladangan peladang di dalam Kehutanan c.q Resort
(cultivated kawasan melalui Kabupaten Teluk KSDA Bintuni
land) penerapan teknologi Bintuni (Koordinasi).
pemanfaatan lahan 2. Kelompok
minimal dengan Masyarakat
tetap memperhatikan pemanfaat.
kebutuhan.
2. Anjuran penggunaan Dinas Pertanian 1. Kelompok
spesies lokal bukan Kab. Teluk Bintuni Masyarakat
introduksi. (Koordinasi). pemanfaat.
1. BKSDA Papua II
c.q Resort
KSDA Bintuni
4. Pemukiman Pembinaan dan BKSDA Papua II c.q Kelompok
penduduk penerangan tentang Resort KSDA Masyarakat yang
pentingnya kawasan. Bintuni bermukim di dalam
dan sekitar kawasan
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-9. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.

Alternatif pemecahan Stakeholders


Permasalahan Penyebab
masalah Penanggungjawab Pendukung
Berkurangnya Degradasi 1. Rehabilitasi ekosistem Dinas Kehutanan BKSDA Papua
jenis-jenis flora habitat dengan jenis-jenis yang Kabupaten Teluk II c.q Resort
asli sesuai dengan kualitas Bintuni. KSDA Bintuni
tempat tumbuh. (Koordinasi).
2. Penegakan hukum yang BKSDA Papua II c.q Polres Teluk
berlaku untuk Resort KSDA Bintuni Bintuni
menghentikan kegiatan . (Koordinasi)
yang mengakibatkan
kemunduruan habitat.

Analisis Permasalahan IV - 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Alternatif pemecahan Stakeholders


Permasalahan Penyebab
masalah Penanggungjawab Pendukung
3. Relokasi Logyard ke luar BKSDA Papua II c.q Dinas
kawasan Cagar Alam Resort KSDA Bintuni Kehutanan
Teluk Bintuni bila . Kabupaten
memungkinkan. Teluk Bintuni
(Koordinasi).
4. Penyuluhan dan BKSDA Papua II c.q Dinas
penerangan tentang Resort KSDA Bintuni Kehutanan
penting keutuhan . Kabupaten
ekosistem sebagai Teluk Bintuni
habitat satwa dan (Koordinasi).
keberadaannya di
kawasan.
Penurunan Perburuan liar/ 1. Larangan perburuan BKSDA Papua II c.q Kelompok
Populasi satwa berlebihan satwa liar bagi Resort KSDA Bintuni Masyarakat
masyarakat yang bukan yang bermukim
pemilik hak ulayat dan di dalam dan
tidak tinggal dan sekitar kawasan
menetap di dalam dan
sekitar kawasan.
2. Pembatasan perburuan BKSDA Papua II c.q Kelompok
satwa oleh masyarakat Resort KSDA Bintuni Masyarakat
yang pemilik hak ulayat yang bermukim
dan menetap di dalam di dalam dan
dan sekitar kawasan sekitar kawasan
hanya untuk
pemenuhan kebutuhan
ekonomi keluarga.
3. Larangan perburuan BKSDA Papua II c.q Kelompok
terhadap satwa yang Resort KSDA Bintuni Masyarakat
dilindungi dan masuk yang bermukim
dalam kategori di dalam dan
terancam. sekitar kawasan
Penggunaan Larangan keras BKSDA Papua II c.q Kelompok
Racun menggunakan bahan kimia Resort KSDA Bintuni Masyarakat
dalam penangkapan hasil yang bermukim
perikanan. di dalam dan
sekitar kawasan
Perubahan Penggunaan 1. Minimalisasi Dinas Kehutanan BKSDA Papua
Keanekaragama alat-alat penggunaan peralatan Kabupaten Teluk II c.q Resort
n jenis satwa mekanik oleh mekanik dengan tingkat Bintuni. KSDA Bintuni
HPH dan kebisingan yang tinggi di (Koordinasi).
Kopermas dalam kawasan CA..
2. Pemetaan tempat- BKSDA Papua II c.q Kelompok
tempat penting bagi Resort KSDA Bintuni Masyarakat
perkembangan satwa yang bermukim
liar seperti tempat di dalam dan
pemijahan biota sekitar kawasan
perairan, tempat
perkawinan burung, dan
tempat bertelur buaya
dan burung.
3. Pemberdayaan Dinas Kelautan dan BKSDA Papua
masyarakat misalnya Perikanan Teluk II c.q Resort
penangkaran buaya dan Bintuni KSDA Bintuni .
keramba apung di Mitra Pesisir
sungai. Teluk Bintuni
4. Pengaturan pemanfaat- Dinas Kelautan dan BKSDA Papua
an sumberdaya di Perikanan Teluk II c.q Resort
kawasan, (sistem “sasi”) Bintuni KSDA Bintuni .

Analisis Permasalahan IV - 25
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Alternatif pemecahan Stakeholders


Permasalahan Penyebab
masalah Penanggungjawab Pendukung
Kurangnya data Minimnya Penelitian dan monitoring Universitas Negeri BKSDA Papua
dasar studi/penelitian yang intensif terhadap Papua Manokwari II c.q Resort
dan monitoring keberadaan flora dan fauna KSDA Bintuni .
flora dan fauna kawasan. Dinas Kelautan
di kawasan dan Perikanan
Teluk Bintuni
Mitra Pesisir
Teluk Bintuni
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

C. Aspek Sosial dan Ekonomi dan Budaya

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif apabila dalam proses perencanaannya memperhatikan semua aspek termasuk
aspek sosial ekonomi dan budaya.

C.1 Permasalahan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan permasalahan dari aspek sosial
ekonomi dan budaya dalam rangka rencana pengelolaan kawasan CATB, yaitu
pengembangan partisipasi masyarakat, Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan
Pengembangan Pendidikan dan Penelitian.

C.1.1 Rendahnya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai upaya untuk menunjukan
keikutsertaan individu/kelompok dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan
pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan.
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, terutama masyarakat
pedesaan dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu : (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas
bersama dalam proyek pembangunan khusus; dan (2) Partisipasi sebagai individu di luar
aktivitas bersama.

Dari pendapat Kontjaraningrat tersebut terdapat dua sumber munculnya partisipasi


masyarakat, yaitu partisipasi masyarakat karena dorongan atau motivasi dari luar dan
partisipasi karena keinginan dari diri manusia itu sendiri. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitar kawasan CATB, partisipasi masyarakat yang perlu dilakukan, yaitu harus
adanya dorongan atau motivasi dari luar dalam hal ini bisa di inisiasi oleh BKSDA Papua II cq
Resort Bintuni atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga swadaya masyarakat
yang sudah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan CATB
diantaranya yaitu LSM Mitra Pesisir. Kegiatan yang sedang dilakukan sekarang adalah

Analisis Permasalahan IV - 26
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

menyusunan rencana strategis (Renstra) Pengelolaan Kawasan Pesisir Kabupaten Teluk


Bintuni. LSM tersebut dapat dijadikan sebagai mitra dalam rangka mengembangkan
partisipasi masyarakat.

Hasil pengamatan di lapangan serta infromasi dari pengelola kawasan bahwa partisipasi
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang sangat diperlukan dalam rangka rencana
pengelolaan kawasan CATB masih rendah. Hal ini diduga karena tingkat pengetahuan serta
pemahaman tentang fungsi kawasan cagar alam sebagai penyanggah sistem kehidupan
masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya tumpang tindih kawasan dengan lahan usaha II
transmigrasi (Waraitama dan Banjar Ausoy) dengan luas total 360 hektar serta adanya
pembangunan 54 rumah di Kampung Anak Kasih, serta beberapa kegiatan ilegal seperti
perburuan dan pembukaan lahan untuk perladangan dan logyard di dalam kawasan.
Penyebabnya diduga karena kurangnya kegiatan sosialisasi tentang fungsi kawasan CATB.
Kemungkinan besar terjadi karena minimnya media dan sarana informasi mengenai
keberadaan Cagar Alam dan pelestarian alam.

C.1.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Secara turun temurun, masyarakat lokal yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni telah berinteraksi dengan kawasan dalam bentuk memanfaatkan
sumberdaya alam baik flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Sumberdaya alam
yang banyak dimanfaatkan antara lain, yaitu untuk fauna adalah berbagai jenis ikan, udang,
kepiting (karaka), buaya, rusa,babi serta berbagai jenis burung. Sedangkan flora, yaitu nipah
dan tanaman mangrove serta sagu (di sekitar Yensei dan Yakati). Kegiatan pemanfaatan
tersebut telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.

Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat menunjukan bahwa


kecenderungan (trend) produksi, khususnya sumber daya alam fauna baik berupa hasil
tangkapan maupun buruan menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
nelayan misalnya, hasil tangkapan dibandingkan dengan 3-5 tahun lalu sudah semakin
menurun. “Dulu kita kalo mencari bisa bawa pulang 2 sampai 3 ember, sekarang hanya
dapat setengah sampe 1 ember”, ungkap beberapa penduduk lokal yang biasa melakukan
aktivitas penangkapan hasil laut di beberapa kampung yang dikunjungi. Selain itu daerah
tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari
perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar
Teluk Bintuni.

Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan perburuan satwa liar seperti rusa, babi hutan, dan
satwa burung. Informasi dari masyarakat menunjukan bahwa berburu satwa liar seperti
disebutkan di atas sudah semakin sulit. Sepuluh tahun lalu satwa rusa banyak terlihat di

Analisis Permasalahan IV - 27
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

sekitar perkampungan, seperti Kampung Mamuranu dan Tirasai. Kondisi saat ini sudah sangat
jauh berbeda, dimana kegiatan perburuan tidak lagi di sekitar kampung atau hutan mangrove,
akan tetapi kearah pegunungan di luar kawasan CATB.

Sedangkan untuk masyarakat yang memanfaatkan batang mangrove, daun nipah serta sagu,
pada umumnya hanya untuk dikonsumsi/penggunaan sendiri dengan jumlah yang cukup
sedikit. Batang mangrove yang kecil biasanya diambil untuk kayu bakar, sedangkan yang
besar untuk tiang rumah. Daun nipah diambil untuk membuat atap rumah, sedangkan sagu
untuk konsumsi sehari-hari (di Yensei dan Yakati) .

Berdasarkan kondisi diatas, dapat dilihat bahwa ketergantungan masyarakat terutama yang
bermatapencaharian sebagai nelayan, berburu dan menokok sagu terhadap sumberdaya alam
baik fauna maupun flora di dalam kawasan CATB cukup tinggi. Dengan melihat trend hasil
tangkapan yang semakin menurun maka dapat diprediksikan jumlah populasi fauna yang ada
di dalam kawasan CATB semakin menurun. Salah satu faktor penyebab kecenderungan
(trend) produksi ini adalah pola pemanfaatan yang tidak begitu memperhatikan aspek
kelestarian hasil. Hasil pengamatan di lapangan, berhasil diidentifikasi beberapa pola
pemanfaatan sumber daya alam, khususnya fauna yang diduga menjadi faktor penyebab
produksi tangkapan dan buruan sebagai berikut:

1. Penggunakan akar bore (tuba) dan indikasi penggunaan racun serangga


(insektisida).

Penggunaan akar bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut
mabuk sehingga mudah diambil. Menurut informasi beberapa nelayan dari beberapa
kampung (desa) di sekitar CATB, pengaruh dari akar bore tersebut cepat hilang (2-3 hari) di
lokasi tersebut, serta yang terpengaruh hanya ikan. Dampak dari penggunaan jenis racun ini
terhadap populasi biota laut seperti ikan memang tidak langsung terlihat seketika, apalagi bila
penggunaannya hanya dalam jumlah yang sedikit. Tetapi bila digunakan terus menerus, akan
terjadi akumulasi dan dapat mengancam perkembangbiakan biota perairan, namun hal ini
perlu pengkajian yang lebih dalam.

Berdasarkan informasi dari pengelola kawasan dan beberapa nelayan lokal, terdapat indikasi
penggunaan bahan kimia pembasmi hama (insektisida) jenis Dhesis 2,5 dan Apoda dalam
kegiatan penangkapan hasil laut, terutama ikan. Padahal jenis bahan kimia tersebut dapat
mengakibatkan ikan-ikan mati serta fauna atau flora lain pun ikut mati. Hal tersebut yang saat
ini menjadi permasalahan, dimana kualitas air semakin menurun (tercemar) karena
penggunaan obat kimia tersebut yang dapat berakibat buruk terhadap kesinambungan hasil.

2. Penggunaan pukat harimau (trawl) oleh Kapal Penangkap udang.

Kondisi lain yang menyebabkan semakin menurunnya jenis dan jumlah perikanan di dalam
CATB yaitu mulai tahun 1988 sampai dengan Februari 2005, terdapat beberapa perusahaan

Analisis Permasalahan IV - 28
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

penangkapan udang salah satunya, yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro.
Saat ini perusahaan tersebut menghentikan operasi penangkapan untuk sementara waktu,
dengan alasan perubahan manajemen. Seharusnya daerah penangkapan perusahaan
tersebut berada di perairan Teluk Bintuni, akan tetapi kenyataannya perusahaan tersebut
menangkap udang masuk sampai ke sungai-sungai di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu
Sungai Muturi, Bokor dan Naramasa. Dengan menggunakan jaring pukat harimau (trawler)
dan kapal cukup besar, perusahaan tersebut menangkap semua hasil perikanan yang ada,
akan tetapi karena perusahaan tersebut hanya mengambil udang saja, maka ikan (terutama
yang kecil) yang tertangkap di buang begitu saja.

Berdasarkan kondisi diatas, maka penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan
merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera dicarikan penyelesaiannya agar
kelestarian CATB dapat dijaga, sehingga fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding
ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)
bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya dapat lestari.

C.2 Alternatif Pemecahan Masalah

Agar masyarakat sekitar kawasan CATB


serta pihak-pihak yang berkepentingan lain
ikut terlibat secara aktif berpartisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, serta
pengawasan kawasan CATB, maka sebagai
langkah awal perlu dilakukan proses
pembelajaran bagi semua pihak baik melalui
sosialisasi, pengadaan media informasi
tentang pelestarian alam serta berbagai
aktivitas lainnya yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahamannya.

Sebagai alternatif pemecahan masalah


rendahnya partisipasi masyarakat dan adanya
pemanfaatan sumberdaya alam di dalam
kawasan CATB yang tidak ramah lingkungan
dapat dilakukan berupa:

1. Peningkatan partisipasi masyarakat


Gambar IV-13. Diskusi Bersama Masyarakat
(melibatkan masyarakat dalam setiap
K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam Rangka
kegiatan pengelolaan) serta penyuluhan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni
yang intensif kepada masyarakat yang
ada didalam dan sekitar kawasan CATB

Analisis Permasalahan IV - 29
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. Adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan CATB yang ramah


lingkungan

Masyarakat sekitar kawasan CATB, terkelompokan dalam beberapa kampung. Hal ini dapat
dijadikan dasar sebagai awal partisipasi mereka berdasarkan kampung (desa). Setiap
kampung memiliki aparat serta pada umumnya berkelompok menurut asal/sukunya masing-
masing. Pada setiap kampung dibangun pengetahuan dan pemahaman tentang cagar alam
dan pelestarian alam lalu dibentuk semacam kelompok kerja (Pokja) yang anggotanya dipilih
oleh mereka sendiri. Setelah masing-masing kampung (desa) memiliki Pokja, maka
selanjutnya dilakukan adanya pertemuan antar Pokja dari masing-masing kampung untuk
dibangun pemahaman bersama tentang pelestarian alam serta merumuskan rencana kerja
yang akan dilakukan. Setelah itu dilakukan pertemuan dengan aparat pemerintah untuk
mensinkronkan dengan rencana pembangunan pemerintah.

Sebagai langkah awal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam penyusunan


rencana pengelolaan Kawasan CATB telah dilakukan diskusi di 14 kampung yang berada
didalam, bersinggungan dan diluar kawasan. Diskusi tersebut dirancang sedemikian rupa
sehingga masyarakat yang ikut dalam diskusi tersebut terlibat aktif dan peneliti hanya
berfungsi sebagai fasilitator. Beberapa isu strategis dari hasil diskusi disetiap kampung
tersebut diantaranya yaitu masalah sosialisasi kawasan, pemanfaatan sumberdaya alam
(flora dan fauna) serta harapan masyarakat untuk ikut terus terlibat dalam setiap kegiatan di
Kawasan CATB.

Gambar IV-14. Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan
2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan.

Sebagai contoh nyata partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan CATB, yaitu dalam
hal tata batas (ulang) dan pengamanan kawasan. Pada kegiatan tata batas, pelaksana
melakukan penatabatasan melibatkan masyarakat sekitar kawasan (mengetahui, ikut dalam
proses tata batas dan menyetujui batas). Proses tata batas yang dilakukan disekitar suatu
kampung, maka Pokja disekitar kampung tersebut yang akan ikut aktif terlibat. Demikian juga
dalam pengamanan kawasan, akan lebih efisien dan efektif apabila pengamanan dilakukan

Analisis Permasalahan IV - 30
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

oleh seluruh masyarakat (Pokja) yang ada di sekitar kawasan CATB, dimana sebelumnya
telah terbentuk kesepakatan mengenai keharusan menjaga wilayah kampung (desa) masing-
masing terutama yang masuk kedalam kawasan CATB dari usaha-usaha yang dapat merusak
kelestariannya.

Diskusi disetiap kampung tersebut, ditindaklanjuti dengan mengadakan Lokakarya


Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan CATB pada tanggal 1 dan 2 Juni 2005 untuk
menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan. Pada hari pertama lokakarya
diadakan pertemuan khusus untuk masyarakat dan pada hari kedua dilakukan pertemuan
dengan semua stakeholder. Sebagai langkah awal untuk melakukan ”Pengaturan
pemanfaatan sumberadaya alan didalam kawasan CATB”, pada pertemuan hari pertama
dihasilkannya ”Kesepakatan Masyarakat” yang ditandatangani oleh perwakilan dari 14
kampung, bagaimana mengelola kawasan CATB secara bersama-sama. Butir-butir
kesepakatan tersebut antara lain :

Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam Kawasan CATB, siapapun boleh mencari
makan didalam kawasan tanpa memandang suku/marga/batas-batas wilayah adat asalkan
mematuhi aturan kesepakatan yang sudah dibuat. Kegiatan yang ”Boleh” dilakukan antara
lain adalah:

1. Kami dapat melakukan penangkapan hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang,


karaka, siput atau bia dan hasil laut lainnya

2. Kami dapat berkebun dan mendapat bantuan bimbingan teknis dari dinas terkait
(Untuk Masyarakat di dalam kawasan)

3. Kami dapat melakukan pemanfaatan kayu mangi-mangi untuk kayu bakar sendiri
(bukan untuk dijual) dan kegiatan menangkap ikan ”pele kali”

4. Kami dapat berburu hewan atau satwa liar seperti buaya, rusa, babi hutan dan burung

5. Kami boleh menangkap ikan dengan dengan menggunakan ”akar bore” dan jaring

Kegiatan yang ”Tidak Boleh” dilakukan didalam kawasan CATB antara lain:

1. Tidak boleh menggunakan obat (bahan kimia) dalam menangkap ikan, udang dll

2. Tidak boleh menebang mangi-mangi atau bakar dari cagar alam dalam skala besar
untuk keperluan usaha kayu atau tambak atau lainnya

3. Tidak boleh menebang kayu di hutan tanah kering atau gunung didalam cagar alam

4. Tidak membolehkan kapal-kapal yang berlayar di sungai untuk membuang sampah


atau limbah minyak atau bahan kimia ke sungai

5. Tidak boleh kapal besar atau kapal udang atau kapal pukat harimau untuk beroperasi
di dalam kawasan cagar alam

Analisis Permasalahan IV - 31
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

6. Tidak boleh ada eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan cagar alam Teluk
Bintuni

Untuk mendukung pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, masyarakat akan
mendukung berupa :

1. Kami akan melaporkan pelanggaran kesepakatan yang terjadi kepada pengelola


Cagar Alam Teluk Bintuni

2. Kami akan menangkap langsung pelanggaran aturan yang sudah disepakati bersama

3. Pembentukan kelompok kerja disetiap kampung yang ada di dalam dan sekitar
kawasan yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan rencana kegiatan pengelolaan

Masyarakat juga berharap pemerintah daerah turut mendukung kegiatan pengelolaan cagar
alam. Untuk itu masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan hal-hal :

1. Membuat peraturan daerah mengenai cagar alam

2. Melakukan pembinaan dan penyuluhan serta pendampingan yang terus menerus


kepada masyarakat di dalam dan sekitar cagar alam, khusus untuk peningkatan
ekonomi masyarakat

3. Kami meminta pemerintah daerah memberikan perhatian lebih besar pada pendidikan
masyarakat.

Butir-butir ”Kesepakatan Masyarakat” tersebut merupakan suatu upaya untuk ”mengatur


pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan CATB”, serta perlu ditanggapi secara bijak
oleh pihak pengelolaa (BKSDA Papua II Sorong cq. Resort Bintuni) karena hal tersebut
merupakan aspirasi/harapan dan niat dari masyarakat sekitar kawasan CATB untuk ikut aktif
dalam melestarikan kawasan tetapi tanpa melupakan kebutuhan hidup masyarakat sehari-
hari. Karena kita sadari bersama bahwa peranan masyarakat sekitar terhadap kelestarian
kawasan CATb sangat besar.

Masyarakat mengharapkan masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan terutama hasil perikanan, dan satwa liar serta mangrove secara terbatas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Pemanfaatan ini tetap diimbangi dengan adanya
larangan menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan, menebang mangrove untuk
industri atau tambak serta pelarangan kapal trawl/pukat harimau masuk kedalam kawasan
CATB. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat berkeinginan untuk tetap menjaga kelestaraian
kawasan CATB. Akan tetapi hal tersebut perlu didukung oleh sosialisasi dan penyuluhan yang
baik dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Karena bukan hal yang tidak
mungkin suatu saat nanti akan datang investor yang menawarkan sejumlah uang untuk
membuka usaha (tambak dll) didalam kawasan dengan memanfaatkan ”masyarakat adat”
yang mayoritas kurang mampu secara ekonomi. Apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat

Analisis Permasalahan IV - 32
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

tetap menjadi perhatian, maka masyarakat sekitar kawasan CATB diharapkan tidak akan
mudah tergoda oleh para pengusaha yang hanya melihat keuntungan ekonomi saja.

Dengan alternatif pemecahan masalah yaitu berupa peningkatan peran serta masyarakat,
sosialisasi serta adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam didalam kawasan CATB,
maka diharapkan kawasan CATB dapat dijaga kelestariannya dan masyarakat sekitar bisa
meningkatkan taraf kehidupannya secara sosial dan ekonomi.

Berikut adalah rangkuman permasalahan dan alternatif pemecahan masalah terhadap aspek
Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel
IV-10.

Tabel IV-10. Permasalahn dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan
masalah Penanggungjawab Pendukung

Rendahnya Pengetahuan Penyuluhan tentang BKSDA Papua II c.q Kelompok Masyarakat


dan pemahaman tentang Keberadaan Cagar Alam Resort KSDA Bintuni yang bermukim di dalam
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitar kawasan
Rendahnya Partisipasi Melibatkan masyarakat BKSDA Papua II c.q Kelompok Masyarakat
Masyarakat dalam setiap kegiatan Resort KSDA Bintuni yang bermukim di dalam
dan sekitar kawasan
Penangkapan Hasil Penyuluhan dan Dinas Kelautan dan 1. BKSDA Papua II c.q
Perikanan yang Tidak penerangan yang intensif Perikanan Teluk Resort KSDA Bintuni.
Ramah Lingkungan kepada masyarakat di Bintuni 2. Mitra Pesisir Teluk
(Penggunakan akar bore dalam dan sekitar Bintuni
(tuba) dan Indikasi kawasan, khususnya
penggunaan racun nelayan tentang bahaya
serangga) dari penggunaan bahan
kimia terhadap
kesinambungan hasil
tangkapan
Penggunaan pukat Penegakan hukum BKSDA Papua II c.q Dinas Kehutanan
harimau (Trawl) oleh Resort KSDA Bintuni . Kabupaten Teluk Bintuni
Kapal Penangkap udang (Koordinasi).
di dalam kawasan CATB
Adanya Perkampungan di Pemberdayaan BKSDA Papua II c.q Dinas Kehutanan
dalam Kawasan Cagar masyarakat Resort KSDA Bintuni . Kabupaten Teluk Bintuni
Alam Teluk Bintuni (Pelatihan/bimbingan (Koordinasi).
(CATB) teknis pembuatan
dendeng manis,abon,
kerajinan dari kulit buaya,
dan budidaya pertanian)
Tumpang tindih antara Rekonstruksi Pal Tata BKSDA Papua II c.q Kelompok Masyarakat
Batas Kawasan Cagar Batas Resort KSDA Bintuni yang bermukim di dalam
Alam Teluk Bintuni dan sekitar kawasan
(CATB) dengan
Penggunaan Lahan lain.
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Analisis Permasalahan IV - 33
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Perencanaan Skenario adalah sebuah alat manajemen yang strategis yang dapat
merangsang berbagai pemikiran mengenai kemungkinan–kemungkinan di masa depan.
Skenario ini dapat pula menghasilkan suatu strategi yang kokoh, merangsang pemikiran dan
perdebatan mendalam atas isu pokok penting, yang mengfokuskan pemikiran ke masa depan
bukan pada masa kini atau masa lampau.

Berikut adalah beberapa skenario yang didasarkan pada kondisi kawasan yang mungkin
dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai tahun 2030.

D.1 Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik

Skenario ini merupakan kondisi ideal yang dapat diwujudkan dan merupakan skenario yang
didambaan kita semua. Skenario ini menggambarkan situasi dimana kebijakan Pemerintah
Pusat (Departemen Kehutanan) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang dapat
mengakomodir semua kepentingan stakeholder yang ada dengan tetap memperhatikan fungsi
dan peruntukan kawasan. Kebijakan yang ideal dan didukung oleh kelembagaan baik
pengelola kawasan maupun pemangku kepentingan lainnya yang bersifat demokratif akan
membuat terciptanya program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari,
berkelanjutan dan berdayaguna.

Beberapa ciri skenario ini antara lain:

x Status kawasan yang sudah jelas sebagai kawasan Cagar Alam melalui penetapan
Menteri Kehutanan, didukung Peraturan Daerah dan keberadaan kawasan Cagar Alam
terlihat jelas dalam Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni;

x Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah
Pusat dalam hal ini BKSDA Papua II Sorong dan sudah disosialisasikan kepada semua
pemangku kepentingan. Dukungan dan partisipasi aktif dari semua pemangku
kepentingan membuat pengelolaan kawasan bersifat aspiratif;

x Tidak ada lagi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan dalam kawasan;

x Masyarakat sadar dan secara bersama-sama memelihara keutuhan kawasan;

x Pembangunan fisik yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan kawasan tidak dijumpai;

x Tidak ada klaim hak ulayat dari masyarakat adat terhadap keberadaan kawasan;

x Pemberdayaan masyarakat asli/pemilik ulayat berjalan efektif;

x Pemanfaatan terbatas oleh masyarakat adat di bawah bimbingan pengelola;

Sasaran akhir dari skenario ini adalah penyadaran publik telah terbentuk secara mantap
bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pelestariannya menjadi tanggung jawab bersama,

Analisis Permasalahan IV - 34
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

manfaatnya dinikmati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat serta keutuhan
kawasan menjadi kebanggaan kita bersama pula.

D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik

Skenario ini menggambarkan kondisi dimana kebijakan pengelolaan kawasan yang


dikeluarkan oleh pemerintah tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dan keutuhan
kawasan. Kebijakan yang dikeluarkan hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi daerah
dan untuk kepentingan kelompok tertentu semata dengan dalih kepentingan masyarakat
secara umum. Namun demikian, ada upaya bersama oleh kelompok pemerhati lingkungan
untuk membentuk aliansi memperjuangkan dan mempertahankan kelestarian dan keutuhan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai kawasan ekosistem kebanggaan seluruh
penduduk Kabupaten Teluk Bintuni. Kelompok pemerhati lingkungan ini berasal dari
masyarakat pemilik ulayat, akademisi, legislatif dan NGO lokal dan internasional yang masih
peduli dan berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan kelestarian kawasan. Kelompok ini
memperjuangkan terbentuknya kelembagaan pengelolaan yang demokratif dan partisipatif.

Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain :

x Kebijakan pembangunan sarana fisik dalam kawasan yang tidak berhubungan dengan
fungsi kawasan sebagai Cagar Alam masih diijinkan;

x Ijin pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan kelompok tertentu;

x Kelompok pemerhati lingkungan secara bersama-sama berjuang untuk mempertahankan


kawasan, walaupun pemanfaatan kawasan oleh pemerintah secara sepihak tetap ada;

Dalam skenario ini, pemerhati lingkungan terkadang optimis, terkadang pesimis dalam
memperjuangkan keutuhan dan kelestarian kawasan. Sekalipun demikian, mereka tetap
berjuang diantara berbagai tekanan kepentingan tersebut dengan keyakinan bahwa berjuang
diatas jalur kebenaran demi kepentingan bersama, cepat atau lambat pasti akan terwujudkan
diatas panji demokratisasi.

D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik

Skenario ini adalah kebijakan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau
diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun
peraturan daerah tentang pengelolaan kawasan yang aspiratif, namun para pemangku
kepentingan dalam kawasan (stakeholders) tidak memperhatikan atau melaksanakannya.
Pemangku kepentingan (stakeholder) hanya melaksanakan kegiatan pengelolaan kawasan
berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masing-masing lembaga/institusinya saja. Pada
akhirnya, setiap instansi hanya mementingkan pencapaian tujuan masing-masing tanpa
memperdulikan tujuan bersama seperti yang tertuang dalam Rencana Pengelolaan Kawasan
(RPK).

Analisis Permasalahan IV - 35
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain:

x Kegiatan yang dilakukan dalam kawasan oleh beberapa instansi, dilaksanakan secara
sektoral, walaupun lokasi dan sasaran kegiatannya sama pada satu wilayah;

x Koordinasi instansi teknis dan instansi terkait lainnya tidak berjalan sesuai dengan yang
direncanakan dalam rencana pengelolaan kawasan.

D.4. Kebijakan Sentralistik & Kelembagaan Otokritik

Skenario ini adalah situasi terburuk yang dapat terjadi, kebijakan pemerintah yang tidak
aspiratif dibarengi dengan kelembagaan pemangku kepentingan yang kaku dalam
menerapkan kebijakan serta otoriter dalam menjalankan aturan tanpa mau menerima
masukan dari berbagai stakeholder. Skenario ini dicirikan oleh kebijakan yang diambil hanya
memberi peluang kepada pemodal mampu tertentu untuk mengelola kawasan sesuai
keinginan pemodal tanpa memperhatikan fungsi penetapan kawasan. Pemangku kawasan
mendukungnya dengan dalih bahwa telah sesuai aturan tanpa memperhatikan dampak teknis
yang akan terjadi yang akhirnya akan merubah fungsi kawasan.

E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA)

Pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threat) untuk Rencana


Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan pendekatan yang didasarkan
pada Kekuatan ,Kelemahan, Peluang dan Ancaman kondisi kawasan CATB. Tahapan
analisis SWOT yang dilakukan meliputi : tahapan identifikasi dan penilaian faktor internal dan
eksternal, analisis keterkaitan unsur SWOT dan tahapan penentuan alternatif rencana
pengelolaan.

Dalam analisis potensi dan kelemahan serta kekuatan dan peluang, issu-issu yang terjadi
dapat diidentifikasi menjadi dasar kajian antara lain :

1. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi
mengenai kawasan.

2. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam


Cagar Alam Teluk Bintuni.

3. Kurangnya kesadaran masyarakat tentangnya penting pelestarian kawaan Cagar Alam


Teluk Bintuni.

4. Adanya perkampungan dan Logyard di dalam kawasan CATB sehingga pemanfaatan


flora, fauna, lahan akan semakin besar.

Analisis Permasalahan IV - 36
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

5. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya, rusa,
cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang mengunakan
bahan kimia dalam menangkap ikan.

6. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan batas sebelah Utara
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

7. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang memperhatikan
aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam pengangkutan kayu melalui
sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan peralatan mekanis seperti buldoser,
logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan kebisingan dan pencemaran yang
menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.

8. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

9. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

E.1 Identifikasi dan penilaian faktor internal dan eksternal

Faktor internal yaitu Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness), sedangkan faktor
eksternal yaitu Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat). Analisis kekuatan yang
dimaksud adalah potensi atau keunggulan yang dimiliki kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dalam aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi kawasan serta sosial ekonomi dan
budaya yang sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan sebagai Cagar Alam.

Kelemahan yang dimaksud, yaitu kondisi aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi
kawasan serta sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat menghambat program
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Peluang yang dimaksud adalah kondisi
eksternal yang dapat mendatangkan keuntungan apabila dapat memanfaatkannya. Berbagai
peluang yang tersedia dapat dikembangkan secara optimal berdasarkan potensi, hambatan
dan rencana program pengelolaan sebagai kawasan Cagar Alam.

Ancaman adalah keadaan eksternal yang apabila dibiarkan akan menjadi faktor penghambat
terhadap keberhasilan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Ancaman ini
perlu diwaspadai dan harus diatasi karena dapat memberikan pengaruh terhadap bisa atau
tidaknya faktor-faktor peluang untuk dimanfaatkan.

Hasil analisis SWOT Aspek Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial
Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah sebagai berikut :

Kekuatan (Strength)

S1. SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan
perairan Papua, termasuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Analisis Permasalahan IV - 37
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

S2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya.

S3. Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas
alami dan pertumbuhannya masih terlihat cukup baik, sehingga fungsi ekologinya
sebagai tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground),
dan tempat pemijahan (spawning ground) masih bekerja dengan.

S4. Keanekaragaman flora yang cukup tinggi mulai dari tumbuhan tingkat rendah seperti
fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi, baik spesies tumbuhan yang memiliki
nilai ekonomis maupun spesies kunci (key species) dengan keendemikan jenis yang
cukup tinggi.

S5 Beberapa jenis fauna yang ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan jenis
endemik dan sudah dilindungi undang-undang nasional maupun internasional, bahkan
beberapa jenis burung tertentu sudah masuk dalam kategori hampir terancam (near
threatend).

S6. Adanya kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Kelemahan (Weakness)

W1. Lemahnya koordinasi institusi pengelola dengan Pemerintah Daerah.

W2. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

W3. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi
mengenai kawasan.

W4. Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat tentang cagar alam dan
pelestarian alam

W5. Lemahnya penegakan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan pengrusakan di dalam
kawasan, terutama bagi para nelayan yang menggunakan obat kimia saat mencari ikan.

Peluang (Opportunity)

O1. Dukungan bantuan dari donor baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional dan
Internasional, yang peduli terhadap kelestarian ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni.

O2. UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

O3. Kawasan CATB merupakan tempat mencari kehidupan bagi sebagian masyarakat di
sekitar kawasan, sehingga apabila diberi penyuluhan tentang fungsi dan manfaat dari
kelestariannya maka partisipasi masyarakat akan besar.

O4. Belum tersusunnya Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Teluk Bintuni, sehingga
dapat mendorong dalam rencana penyusunan RUTR Kabupaten untuk menjadikan
kawasan CATB sebagai “Paru-paru” Kabupaten Teluk Bintuni.

Analisis Permasalahan IV - 38
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

O5. Adanya beberapa LSM (seperti Mitra Pesisir) yang telah melakukan kegiatan
pengelolaan lingkungan di sekitar pesisir Teluk Bintuni, untuk dijadikan sebagai mitra
dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

O6. Kawasan CATB yang berfungsi sebagai buffer bagi Teluk Bintuni, sehingga sangat
penting untuk menjaga kelestariannya

Ancaman (Threat)

T1. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.

T2. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya,
rusa, cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang
mengunakan bahan kimia dalam menangkap ikan.

T3. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam
pengangkutan kayu melalui sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan
peralatan mekanis seperti buldoser, logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan
kebisingan dan pencemaran yang menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.

T4. Adanya perkampungan dan Logyard di dalam kawasan CATB sehingga pemanfaatan
flora, fauna, lahan akan semakin besar.

T5. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan Batas sebelah Utara
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

E.2 Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT

Dari hasil analisis diatas, disusun rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB). Rencana pengelolaan dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan Aspek
Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan
CATB untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk
menghadapi ancaman yang datang (ST), pengurangan kelemahan dari kondisi yang ada
dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk
menghadapi ancaman yang akan datang (WT).

Analisis Permasalahan IV - 39
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-11. Matriks Hasil Analisis antar unsur SWOT

Peluang (O) Ancaman (T)


Strategi Strategi
1. Inventarisasi dan pemetaan sebaran 1. Rekonstruksi Tata Batas (S1, T4)
flora, fauna dan ekosistem 2. Pemanfaatan terbatas sumberdaya
(S3,S4,S5,O1) alam dari Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni (S2, S3, T4)
3. Pemantauan rutin (S3, S4, S5, T2)
4. Monitoring dampak lingkungan (S4,
S5, T3, T4, T5)
Kekuatan (S) 5. Perlindungan jenis flora/fauna
beserta habitatnya (S4, S5, T3)
6. Pencegahan bahaya erosi,
sedimentasi dan Rehabilitasi
kawasan CATB (S3, S5, S6,T3, T4)
7. Penyuluhan terhadap pentingnya
eksistensi kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni sebagai penyanggah
sistem kehidupan (S4,O6,T1)

Strategi Strategi
1. Sistem informasi dan Database (W3, 1. Penegakan hukum (W5, T2)
O1) 2. Patroli gabungan dan koordinasi
Kelemahan 2. Sarana prasarana pengelolaan (W2, pengamanan (W1,W5, T2, T4, T5)
(W) O1, O2)
3. Sarana prasarana pendidikan (W2,
W4, O1, O2, O5).
4. Sarana dan prasarana penelitian
(W2, W4, O1, O2, O5).

F. Perumusan Strategi Pengelolaan

Dari analisis SWOT dari data kajian pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni maka isu
strategis yang terkait dengan pengelolaan CATB yang berhasil diidentifikasi menjadi dasar
bagi penyusunan rencana aksi. Deskripsi rencana aksi ini menjadi indikator bagi penilaian
keberhasilan dan dasar bagi monitoring dan evaluasi.

STRATEGI 1. REKONSTRUKSI TATA BATAS KAWASAN

Sasaran:

Batas kawasan menjadi jelas dan diketahui semua pihak terkait

Kegiatan:

x Pembuatan jalur rintisan di sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah

x Penggantian pal batas yang rusak

x Pemasangan plat seng tanda batas

Analisis Permasalahan IV - 40
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Indikator:

x Tersedianya jalur rintisan sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah

x Terpasangnya pal batas kawasan baru yang jelas

x Terpasangnya plat seng sebagai tanda batas kawasan pada pohon-pohon di sepanjang
batas kawasan.

STRATEGI 2. PENEGAKAN HUKUM

Sasaran:

Terciptanya suatu pemahaman yang menyeluruh terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan
di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

x Pembuatan peraturan khusus tentang larangan dan sangsi bagi perburuan dan
pemanfaatan flora dan fauna yang dilindungi

x Pembuatan aturan sederhana yang menyangkut pemanfaatan eksklusif bersyarat dan


lestari sda di Cagar Alam Teluk Bintuni untuk masyarakat adat

x Sosialisasi aturan tentang larangan dan sangsi terhadap kegiatan illegal di kawasan
kepada semua stakeholder

Indikator:

x Tersedianya aturan khusus tentang larangan dan sangsi terhadap pelanggaran yang
terjadi di dalam kawasan

x Terciptanya pemahaman yang utuh oleh masyarakat adat terhadap pemanfaatan terbatas
oleh masyarakat adat

x Meningkatnya pemahaman seluruh pemangku kepentingan terhadap hal-hal yang tidak


diperkenankan dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

STRATEGI 3. PEMANTAUAN/PATROLI RUTIN

Sasaran:

Terjaganya keamanan kawasan dari kegiatan-kegiatan yang dapat menurunkan kualitas


kawasan.

Kegiatan:

x Patroli terjadwal oleh internal pengelola.

Analisis Permasalahan IV - 41
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Pelatihan Jagawana/Polisi Hutan untuk meningkatkan kemampuan pengawasan

x Penyuluhan dan penerangan tentang pentingnya keberadaan kawasan.

x Pembuatan pedoman pemantauan bagi pengelola kawasan

Indikator:

x Meningkatnya keamanan kawasan dari kegiatan-kegiatan ilegal.

x Meningkatnya kemampuan pengelola dalam kegiatan pengamanan kawasan

x Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi kawasan sebagai


penyangga sistem kehidupan.

x Tersedianya pedoman pemantauan sebagai acuan bagi pengelola dalam melakukan


kegiatan pemantauan.

STRATEGI 4. PATROLI GABUNGAN DAN KOORDINASI PENGAMANAN

Sasaran:

Terciptanya suatu pemahaman bersama antar stakeholder terhadap tanggung jawab


pengamanan dan pengawasan kawasan

Kegiatan:

x Koordinasi dengan instansi terkait dalam merencanakan pengamanan terpadu

x Patroli terpadu yang melibatkan beberapa instansi terkait

Indikator:

x Terciptanya kerjasama dan koordinasi antara pengelola dan instansi terkait dalam
pengamanan kawasan

x Menurunnya tingkat gangguan keamanan kawasan

STRATEGI 5. INVENTARISASI DAN PEMETAAN KEBERADAAN FLORA, FAUNA


DAN EKOSISTEM KAWASAN

Sasaran:

Data Dasar FLORA, FAUNA, DAN EKOSISTEM yang memadai dalam menunjang
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

x Identifikasi tipe ekosistem dan pemetaan penutupan lahan di Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 42
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Inventarisasi dan pemetaan status flora dan fauna kawasan

x Penelitian dinamika ekosistem dan populasi flora dan fauna kawasan

x Inventarisasi, identifikasi, dan pemetaan tempat khusus bagi perkembangbiakan, bertelur,


dan pemijahan di kawasan

x Pembuatan petak ukur permanen

x Pengumpulan hasil-hasil penelitian tentang flora, fauna, dan ekosistem yang pernah
dilakukan di CATB

Indikator:

x Tersedianya data tipe ekosistem dan penutupan lahan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

x Tersedianya informasi dan peta kondisi flora dan fauna kawasan.

x Tersedianya informasi perubahan ekosistem dan populasi flora dan fauna kawasan

x Adanya prasarana untuk kepentingan penelitian dan pendidikan

x Terdokumentasinya hasil-hasil penelitian dan kajian tentang ekosistem dan flora fauna
kawasan secara menyeluruh.

STRATEGI 6. PERLINDUNGAN JENIS FLORA/FAUNA BESERTA HABITATNYA

Sasaran:

Terjaminnya keberadaan flora dan fauna dan keutuhan habitanya di kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni.

Kegiatan:

x Kerjasama dengan institusi terkait dalam upaya perlindungan jenis flora dan fauna di
kawasan.

x Pemasangan tanda larangan dan pembuatan poster, brosur, atau leaflet tentang jenis-
jenis flora/fauna langka dan dilindungi serta larangan perburuan/pemanfaatannya.

x Penelitian tentang keberadaan flora/fauna langka, dilindungi, dan atau terancam di Cagar
Alam Teluk Bintuni.

x Pengamatan dan perkembangan flora/fauna di petak ukur permanen.

Indikator:

x Terjalinnya kerjasama yang baik dengan institusi terkait yang menunjang kegiatan
perlindungan dan pengembangan

Analisis Permasalahan IV - 43
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Meningkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan flora/fauna


langka, dilindungi, dan atau terancam punah di Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Tersedianya informasi yang memadai tentang keberadaan flora/fauna langka, dilindungi,


dan atau terancam punah di Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Tersedianya informasi tentang perkembangan flora/fauna tertentu untuk kepentingan


penelitian dan pengembangan.

STRATEGI 7. PENCEGAHAN BAHAYA EROSI DAN SEDIMENTASI DAN


REHABILITASI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

Sasaran:

Pulih dan terjaganya keutuhan ekosistem kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan::

x Pencegahan kerusakan ekosistem sebagai akibat aktivitas manusia

x Rehabilitasi kawasan yang telah mengalami kerusakan di Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Penelitian dan kajian yang intensif tentang tingkat kerusakan ekosistem kawasan.

Indikator:

x Menurunnya tingkat kerusakan ekosistem kawasan akibat aktivitas manusia.

x Meningkatnya kualitas ekosistem kawasan

x Tersedianya informasi yang memadai tentang laju kerusakan ekosistem kawasan dalam
menunjang kegiatan pengelolaan.

STRATEGI 8. PENYULUHAN TERHADAP PENTINGNYA EKSISTENSI KAWASAN


CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SEBAGAI PENYANGGAH SISTEM
KEHIDUPAN

Sasaran:

Terciptanya Kesadaran dan Penghargaan masyarakat terhadap keberadaan kawasan Cagar


Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

x Penyuluhan dan penerangan yang intensif tentang pentingnya keberadaan kawasan


sebagai penyanggah kehidupan

Analisis Permasalahan IV - 44
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Pembuatan poster, leaflet, dan atau brosur tentang fungsi kawasan bagi kehidupan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

Indikator:

x Meningkatnya kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan


kawasan CATB

x Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan kawasan Cagar Alam Teluk


Bintuni.

STRATEGI 9. PEMANFAATAN TRADISIONAL SDA DI KAWASAN CAGAR ALAM


TELUK BINTUNI

Sasaran:

Meningkatnya Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
Kawasan CATB

Kegiatan:

x Pembuatan panduan pemanfaatan sda di kawasan bagi pengelola

x Pembuatan poster tentang pemanfaatan sda secara lestari

x Penelitian tentang pola perkembangbiakan satwa, teknik perbanyakan tanaman berguna,


siklus hidup biota perairan, serta inventarisasi jenis-jenis komoditi pertanian setempat.

x Kerjasama dengan instansi terkait dalam kegiatan penyuluhan dan pendampingan

x Penerapan sistem penangkapan hasil perikanan yang ramah lingkungan

x Penerapan sistem pertanian yang memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan

x Pemanfaatan satwa liar tertentu di bawah bimbingan pengelola bekerjasama dengan


instansi terkait.

x Pembuatan sistem data terhadap hasil-hasil penelitian/kajian yang berhubungan


pemanfaatan terbatas.

Indikator:

x Tersedianya panduan pemanfaatan bagi pengelola kawasan

x Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang


lestari.

Analisis Permasalahan IV - 45
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

x Tersedianya informasi menyangkut pola perkembangbiakan satwa, cara perbanyakan


tanaman berguna, siklus hidup biota perairan, serta jenis-jenis komoditi pertanian
setempat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

x Terjalinnya kerjasama yang baik dengan instansi terkait yang menunjang kegiatan
pengelolaan kawasan

x Berkurang bahkan tidak ada lagi aktivitas penangkapan ikan menggunakan cara-cara
yang tidak ramah lingkungan.

x Berkurangnya tekanan terhadap keberadaan ekosistem kawasan sebagai akibat


perluasan lahan pertanian

x Terciptanya pola pemanfaatan satwa liar yang memperhatikan keseimbangan alam.

x Tersedianya sistem data dari hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan kegiatan
pemanfaatan terbatas oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

STRATEGI 10. SISTEM INFORMASI DAN DATA BASE

Sasaran:

Tersedianya sistem informasi data yang memadai untuk semua aspek kegiatan pengelolaan
dalam rangka menunjang perencanaan dan pengembangan kawasan

Kegiatan:

x Koordinasi dengan instansi terkait dalam mengembangkan SIG

x Pengadaan perangkat keras dan lunak untuk menunjang sistem informasi dan basis data

x Peningkatan kemampuan pengelola dalam penguasaan teknik SIG dan data base

x Mengumpulkan dan memelihara koleksi media-media informasi

Indikator:

x Terciptanya kerjasama dalam mengembangkan SIG dan basis data kawasan

x Tersedianya perangkat penunjang kegiatan SIG dan data base

x Tersedianya tenaga pengelola dengan kemampuan yang memadai di bidang SIG dan
basis data.

x Tersedianya koleksi media informasi yang memadai dalam menunjang kegiatan penelitian,
pendidikan dan pengembangan kawasan

Analisis Permasalahan IV - 46
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

STRATEGI 11. SARANA PRASARANA PENUNJANG KEGIATAN PENGELOLAAN


KAWASAN

Sasaran:

Tersedianya sarana prasarana yang memadai dalam rangka menunjang kegiatan


pengelolaan, pendidikan, dan penelitian.

Kegiatan:

x Pengadaan dan pemeliharaan sarana prasarana pengelolaan seperti kantor/pondok kerja

x Pembuatan brosur/leaflet/buku/ serta media lain tentang keberadaan dan fungsi Cagar
Alam Teluk Bintuni.

x Pengadaan dan pemeliharaan Pusat komunikasi dan informasi (PUSKOMIN) kawasan.

x Pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana penelitian seperti pondok peneliti.

Indikator:

x Tersedia dan terpeliharanya sarana prasarana pengelolaan seperti bangunan kantor dan
pondok kerja pengelola yang memadai selain bangunan kantor yang sudah ada

x Tersedianya prasarana penerangan yang memadai untuk kepentingan pendidikan

x Tersedia dan terpeliharanya sarana berupa pusat komunikasi dan informasi kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.

x Tersedia dan terpeliharanya sarana penelitian di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Analisis Permasalahan IV - 47
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

V. RENCANA KEGIATAN

A. UMUM

Rencana kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni didasarkan kepada hasil analisis
dari permasalahan dan kondisi yang ada. Hasil analisis SWOT dari peluang, kekuatan,
kelemahan dan hambatan yang ada menunjukkan adanya pilihan strategi yang harus
dilakukan.

Pilihan strategi ini diterjemahkan menjadi rencana kegiatan yang difokuskan kepada
beberapa aspek yang mengacu pada Rencana Stratejik (Renstra) Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Tahun 2005 – 2009 merupakan tindak
lanjut dari Undang-undang Nomor : 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Nomor 21 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Beberapa
aspek pengelolaan yang menjadi fokus dalam rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektivitas
Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati,
Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, dan aspek
Pemanfaatan. Disamping aspek-aspek pengelolaan tersebut, di dalam Rencana kegiatan
pengelolaan kawasan ini, secara khusus juga memuat usulan kegiatan Pembangunan
Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan Pengelolaan.

Dalam implementasi kegiatan Rencana Pengelolaan Kawasan, aspek tersebut yang menjadi
fokus dalam rencana kegiatan yang diusulkan dilakukan berdasarkan skala prioritas yang
dituangkan dalam bentuk Rencana kerja tahunan, lima-tahunan, dan duapuluh lima-tahunan.
Berikut adalah skala prioritas aspek-aspek kegiatan dalam Rencana Kerja Pengelolaan
Kawasan selama duapuluh lima tahun seperti disajikan pada Tabel V-1.

Tabel V-1. Prioritas Rencana Kegiatan Pengelolaan Kawasan Selama Duapuluh Lima
Tahun (2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni.

Implementasi Kegaiatan
No Aspek Kegiatan Lima Thn Lima Thn
Lima Thn I Lima Thn II Lima Thn V
III IV
2006-2010 2011-2015 2026-2030
2016-2020 2021-2025
1. Pemantapan Kawasan +++++
2. Peningkatan efektifitas
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengelolaan Kawasan
3. Pengembangan
Konservasi jenis dan
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Keanekaragaman
Hayati
4. Perlindungan dan
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengamanan Kawasan

Rencana Kegiatan V-1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Implementasi Kegaiatan
No Aspek Kegiatan Lima Thn Lima Thn
Lima Thn I Lima Thn II Lima Thn V
III IV
2006-2010 2011-2015 2026-2030
2016-2020 2021-2025
5. Pendukung/Kelembaga
+++++ +++++ +++++
an
6. Pemanfaatan +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
7. Sarana Prasarana
Pendukung Kegiatan +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengelolaan.

B. RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN

B.1 Pemantapan Kawasan

Dalam mengelola suatu kawasan konservasi yang lebih baik dan mantap, status hukum dari
kawasan tersebut merupakan suatu hal yang penting. Berikut adalah beberapa Rencana
kegiatan yang diusulkan dalam rangka pemantapan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

1. Kepastian Hukum Kawasan. Kepastian hukum yang dimaksud di sini adalah kegiatan
yang memberikan kepastian hukum yang jelas atas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
yang saat ini masih berstatus Penunjukan bukan Penetapan oleh Menteri Kehutanan.
Untuk itu proses kepastian hukum dengan menetapkan status hukum kawasan menjadi
prioritas utama.

2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh
Pemerintah Daerah. Proses penetapan kawasan Cagar Alam menjadi definitif juga harus
ditindak lanjuti dalam peraturan daerah yang mensahkan keberadaan kawasan di dalam
tata ruang propinsi maupun kabupaten.

3. Rekonstruksi pal batas, yaitu pemasangan kembali pal batas secara menyeluruh.
Kegiatan ini harus dilakukan secara koordinatif serta partisipatif dengan pihak-pihak lain
yang berkompeten dan terkait. Kegiatan ini akan dilaksanakan bersama Bappeda,
Pemerintah Kecamatan dengan masyarakat. Untuk memastikan posisi awal jalur batas
digunakan GPS atau mengikuti tata batas awal. Pelaksanaan pemasangan kembali pal
batas kawasan akan dilakukan secara bertahap. Rekostruksi pal batas diperlukan untuk
menetapkan kawasan dalam status hukum yang jelas. Rekonstruksi pal batas bukan
melakukan tata batas ulang tetapi berupa pemasangan kembali pal batas yang pernah
ada sesuai koordinat yang ada secara menyeluruh mulai dari titik nol. Total panjang
batas dengan daratan diperkirakan 125 km dari total batas 250 km.

4. Kerjasama. Kerjasama yang dimaksud disini adalah pelibatan stakeholder di luar


pengelola kawasan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan,
khususnya dalam kegiatan rekonstruksi pal batas Kawasan.

Rencana Kegiatan V-2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Adapun rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk menunjang kegiatan pemantapan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel V-2.

Tabel V-2. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


1. Kepastian Hukum Kawasan Pembuatan SK. Menteri tentang Penetapan
Kawasan
2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam 1. Pembuatan SK. Bupati Tentang Keberadaan
Teluk Bintuni secara legal formal oleh Cagar Alam
Pemerintah Daerah
2. Pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang
Cagar Alam Teluk Bintuni.
3. Rekonstruksi pal batas 1. Pengadaan/pembuatan pal batas
2. Pemasangan Pal batas kawasan
4. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder terkait untuk
kegiatan Rekonstruksi Pal Batas

B.2 Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan Cagar alam Teluk
Bintuni sesuai fungsi kawasan. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam
menunjang aspek ini adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Pedoman


ini nantinya akan diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan
(POLHUT) yang berisi tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.

2. Pemasangan Papan Petunjuk Kawasan. Papan petunjuk yang dimaksud disini adalah
papan petunjuk batas kawasan, keberadaan kawasan, dan papan pengumuman yang
berisi aturan dan larangan.

3. Pemeliharaan batas Kawasan. Tapal batas di lapangan sedapat mungkin dapat terlihat
jelas dan mudah diidentifikasi misalnya batas alam dan tanda-tanda buatan manusia,
sehingga batas tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi. Jalur dan pal batas
memerlukan pemeliharaan dan pengamanan secara teratur oleh petugas. Pemeliharaan
batas ini dilakukan mulai tahun 1 sampai tahun ke 5 dan selanjutnya dilakukan
pemeliharaan rutin setiap 2 tahun.

4. Kajian/Penelitian Potensi Fungsi Kawasan. Melakukan penelitian yang berkaitan


dengan kepentingan penataan Kawasan.

5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok. Kegiatan ini bertujuan untuk menata kawasan
ke dalam blok-blok.

Rencana Kegiatan V-3


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

6. Pengadaan Poster/Leaflet Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Kegiatan bertujuan untuk


menyebarluaskan informasi dan meningkatkan pengetahuan/kesadaran masyarakat
tentang keberadaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni serta fungsinya sebagai sistem
penyangga kehidupan.

7. Penelitian. Dampak di luar kawasan dapat berupa dampak positif dalam bidang ekonomi
seperti perbaikan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, dan adanya peluang
usaha baru. Sedangkan dampak negatifnya berupa pengaruh budaya luar terhadap
pelestarian budaya kawasan, keamanan dan stabilitas wilayah, serta konsumerisme
berkembang di masyarakat setempat sehingga dapat menyebabkan eksploitasi
sumberdaya alam berlebihan.

Untuk memonitor kemungkinan yang ditimbulkan oleh adanya pengembangan wilayah


maka pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, maka direncanakan ada kegiatan
Monitoring Dampak Lingkungan setiap tahun sekali. Hasil studi ini sangat berguna
sebagai salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan pengembangan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Monitoring dampak lingkungan ini
pelaksanaannya dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain seperti perguruan
tinggi atau LSM.

8. Pembinaan Masyarakat. Kegiatan ini ditujukan untuk membina masyarakat yang


bermukim di dalam dan sekitar Kawasan, khusus yang bermukim di blok penyangga
(Buffer block).

9. Pelibatan Masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam kegiatan


pengelolaan kawasan, sehingga dirasa perlu untuk melibatkan mereka dengan
pembentukan suatu kelompok kerja yang dapat membantu pengelola dalam memberikan
masukan ataupun pemecahan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan.

10. Sistem Informasi Geografis dan Database. Sistern Informasi Geografis (Geographical
Information System) adalah alat analisis yang sangat ampuh untuk perencanaan
pengembangan Kawasan Konservasi. Untuk pengembangan SIG diperlukan koordinasi
dengan instansi-instansi yang lain terkait. Hasil penelitian yang diuraikan di atas
dimanfaatkan untuk pembaharuan informasi tematis kawasan. SIG juga bermanfaat untuk
produksi bahan media informasi dan komunikasi.

Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dapat melakukan atau memfasilitasi penelitian
mengenai klasifikasi ekosistem, klasifikasi habitat dan inventarisasi. Data tersebut
merupakan baseline data yang dibutuhkan untuk evaluasi pengembangan ekosistem
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Karena keterbatasan tenaga lapangan di Cagar
Alam Teluk Bintuni, sebanyak mungkin penelitian akan dilakukan oleh pihak lain,
terutama peneliti dari perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni dapat membantu dan memfasilitasi penelitian tersebut dengan

Rencana Kegiatan V-4


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

bantuan sarana dan pemberian izin untuk menciptakan kondisi yang produktif untuk para
peneliti. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk melengkapi database dan SIG yang
dikembangkan untuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Database dikembangkan untuk melengkapi Sistem Informasi Pengelolaan atau


Management Information System (MIS) yang sedang dikembangkan untuk kawasan
konservasi di Indonesia. Untuk kepentingan tersebut Cagar Alam Teluk Bintuni akan
mengumpulkan dan memelihara koleksi media-media informasi meliputi: 1) buku,
majalah, dan jurnal; 2) media informasi termasuk brosur, poster, gambar tempel; 3)
koleksi foto, slide, dan film; 4) peta (termasuk peta rupa bumi, pola penggunaan lahan,
peta navigasi, dsb).

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan


Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada Tabel V-3.

Tabel V-3. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


1. Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan 1. Pengadaan buku saku/panduan pemeliharaan
Pengelolaan Kawasan batas kawasan
2. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan
pemeliharaan kawasan.
3. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan
pengelolaan potensi kawasan.
4. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan
perlindungan dan pengamanan kawasan.
5. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan
penelitian dan pengembangan kawasan.
2. Papan Petunjuk Kawasan Pengadaan dan Pemasangan papan pengumuman
dan petunjuk di sepanjang jalur rintisan dan
beberapa pulau yang sering dilewati
masyarakat/pelayaran.
3. Pemeliharaan Batas Kawasan 1. Pembuatan jalur rintisan dan jalan setapak pada
batas kawasan dengan lebar 2 meter.
2. Memberikan tanda batas pada pohon di batas
kawasan dengan nomor, plat seng dan tanda cat
pada pohon di jalur batas Kawasan.
3. Memperbaiki pal batas yang sudah rusak atau
hilang.
4. Kajian potensi fungsi kawasan 1. Identifikasi dan Pemetaan tipe ekosistem yang
ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
2. Identifikasi dan Pemetaan Penutupan Lahan
sesuai Ekosistem.

Rencana Kegiatan V-5


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


5. Arahan Penataan dan Penetapan Penataan dan pembuatan peta arahan blok di dalam
Blok kawasan
6. Pengadaan Poster/Leaflet Kegaiatn 1. Pengadaan Poster Pemanfaatan Lestari
Pengelolaan Kawasan.
2. Pengadaan Poster Jenis-Jenis Flora/Fauna
langka dan di lindungi di Kawasan CATB
3. Pengadaan Poster tentang kondisi fekosistem di
Kawasan CATB
7. Pembinaan masyarakat Pembinaan masyarakat yang bermukim di blok
penyangga kawasan tentang pentingnya
keberadaan kawasan sebagai penyanggah sistem
kehidupan
8. Pembuatan Kelompok Kerja dalam Kegiatan
Pelibatan Masyarakat
Pengelolaan Kawasan
9. Penelitian 1. Penelitian tentang dampak lingkungan
2. Kajian tentang dampak dari rencana
pembangunan wilayah
Sistem Informasi Geografis dan Pengadaan sistem informasi geografis (SIG) dan
10.
Database pemutahiran data hasil-hasil peneltian

B.3 Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati

Kegiatan pengembangan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati berkaitan dengan


kegiatan penelitian, pengembangan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya, terutama
yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
upaya pengawetan tumbuhan dan satwa liar dan memfasilitasi pengelolaan ekosistem
esensial. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam menunjang aspek ini adalah
sebagai berikut:

1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan


pemeliharaan flora dan fauna beserta habitatnya. Pedoman ini nantinya akan
diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang berisi
tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.

2. Penelitian/Kajian Tentang Kondisi Flora, Fauna, dan Ekosistem Kawasan. Kegiatan


bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi flora dan fauna kawasan beserta habitatnya
dalam mendukung upaya kegiatan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

3. Pembinaan Habitat. Kegiatan ini lebih difokuskan pada penilaian kondisi ekosistem
Kawasan yang merupakan habitat flora dan fauna kawasan.

Rencana Kegiatan V-6


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

4. Pengendalian. Uraian mengenai upaya pengendalian, misalnya pengendalian jenis


eksotik. Upaya yang dilakukan seperti introduksi spesies yang memiliki potensi sebagai
hama, introduksi spesies yang fungsinya sama dengan spesies lokal dan lain-lain.

Pencegahan Hama dan Penyakit. Dalam ekosistem hutan alam yang strukturnya terdiri
dari berbagai jenis biota, tidak seumur dan kondisi ekosistemnya relatif stabil, hama
penyakit tanaman jarang sekali mengalami ledakan yang dapat merugikan komunitas
hutan. Gejolak populasi hama penyakit hutan biasanya bisa diatasi dengan kemampuan
alam sendiri sehingga alam dapat pulih kembali. Cagar Alam Teluk Bintuni mungkin
harus lebih memperhatikan kemungkinan adanya hama penyakit berbahaya di daerah-
daerah pertanian dalam kawasan atau sekitar batas kawasan. Kegiatan pemantauan
oleh petugas terhadap hama penyakit di daerah-daerah tersebut perlu dilakukan secara
periodik atau dengan memperhatikan laporan-laporan dari masyarakat tentang hama dan
penyakit tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan kemungkinan invasi biota eksotik ke
dalam kawasan, oleh karena itu bila ada kasus hama dan penyakit yang dianggap
membahayakan kawasan, maka harus segera dicarikan jalan pemecahannya baik secara
preventif maupun refresif. Secara umum kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :

x Pemusnahan jenis tumbuhan eksotik yang berpotensi ekspansif yang ada di


kawasan.

x Penyuluhan dan sosialiasi larangan introduksi spesies eksotik.

x Melakukan penelitian Inventarisasi, Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik yang


ada di kawasan CATB.

Perlindungan Jenis. Secara umum penyadaran masyarakat dan instansi terkait tentang
status biota yang dilindungi perlu ditingkatkan. Beberapa biota yang dilindungi perlu
usaha perlindungan khusus. Untuk aktivitas perlindungan jenis ini, aktivitas yang dapat
dilakukan adalah :

x Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan
saat berburu masyarakat.

x Membuat papan larangan perburuan satwa dilindungi.

x Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi
dan hampir punah.

5. Pemulihan. Pemulihan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan adanya kerusakan


dan perubahan dalam bentang lahan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk
bisa mengelola perubahan bentang lahan baik karena aktivitas manusia maupun alam,
pengelola kawasan CATB harus berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam hal ini,
kerusakan dan upaya pencegahan kerusakan dikelompokkan dalam rencana kegiatan
pemulihan. Kegiatan ini antara lain adalah :

Rencana Kegiatan V-7


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan sedimentasi. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
belum memiliki informasi yang lengkap tentang lokasi yang rawan abrasi-erosi dan lokasi
penumpukan sedimen, namun sudah mulai ada indikasi di beberapa lokasi adanya
pengaruh abrasi-erosi dan sungai semakin kecil, di muara semakin banyak calon pulau.
Pengelolaan terutama ditujukan pada daerah-daerah yang rawan abrasi-erosi yang
biasanya terjadi di lokasi yang terkena gelombang besar. Sementara pengelolaan
sedimen sangat terkait dengan upaya Dinas Kehutanan membangun pengelolaan hutan
berkelanjutan di areal HPH dan hutan masyarakat. Dalam rangka menunjang kegiatan ini,
perlu dilakukan melalui pembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan
instansi-instansi terkait.

Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada saat ini dalam kawasan telah ada
kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara tradisional berupa usaha perikanan
(penangkapan), usaha perladangan/kebun rakyat, disamping adanya pembukaan wilayah
Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai areal log-yard beberapa usaha kehutanan masyarakat.
Adanya kegiatan ini sangat mempengaruhi keutuhan ekosistem kawasan yang juga akan
berpengaruh terhadap flora dan fauna penting dalam kawasan. Oleh karena itu perlu
diupayakan kegiatan sebagai berikut:

x Penyusunan rencana teknik rehabilitasi kawasan yang rusak.

Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan rehabilitasi perlu disusun perencanaan teknis
terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan mitra kerja
yang berkaitan seperti perguruan tinggi, LIPI dan LSM.

x Rehabilitasi kawasan dengan tanaman asli. Terutama di bekas logyard HPH dan
kopermas yaitu di Tirasai, Sumberi, Logyard SP V S. Awarapi, Logyard SP IV S.
Ausoi. Untuk itu diperlukan :

x Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal yang sesuai dengan ekosistem
kawasan yang akan direhabilitasi.

x Penanaman atau rehabillitasi dengan menggunakan kerjasama dengan


masyarakat dan dukungan pihak III.

x Pemeliharaan tanaman.
x Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan antara lain
adalah :

x Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa sungai utama di dalam kawasan

x Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem dan penyebabnya di dalam


kawasan CATB

Rencana Kegiatan V-8


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini bertujuan untuk memutakhirkan


informasi kondisi flora dan fauna beserta habitatnya guna penunjang kegiatan
pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

7. Kerjasama. Melakukan kerjasama dan membuat MOU kerjasama antara BKSDA Papua
II Sorong cq Ressort Bintuni dengan lembaga penelitian, Universitas, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional, maupun internasional.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam mengembangkan konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada
Tabel V-4.

Tabel V-4. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
mengembangkan konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


1. Buku Panduan 1. Pengadaan Buku Panduan Pemeliharaan
flora/fauna dan ekosistem kawasan
2. Pengadaan Buku Panduan Pengendalian
flora/fauna dan ekosistem kawasan
3. Pengadaan Buku Panduan Rehabilitasi
kawasan
2. Penelitian/Kajian tentang 1. Inventarisasi dan Pemetaan Status Flora
keadaan flora dan fauna kawasan dan Fauna di Kawasan
2. Penelitian tentang Dinamika Populasi Flora
dan Fauna
3. Inventarisasi dan identifiksasi Jenis
Tumbuhan Berguna dan Langka di Kawasan
4. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora
dan fauna eksostik di kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni
5. Dampak negatif dari kehadiran jenis-jenis
eksotik di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni
6. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
kegiatan pertanian secara luas
7. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora
dan fauna eksotik di kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni
3. Pembinaan Habitat 1. Inventarisasi dan pemetaan tempat khusus
bagi perkembangbiakan, bertelur, dan
pemijahan (spawning ground) di kawasan
2. Penelitian tentang dinamika ekosistem di
Cagar Alam Teluk Bintuni
3. Pembuatan petak ukur permanen
4. Pembuatan jalur/jalan setapak untuk
keperluan pendidikan dan penelitian
4. Pengendalian
a. Pencegahan Hama dan 1. Pemusnahan jenis tumbuhan atau eksotik
Penyakit yang berpotensi ekspansif yang ada di
kawasan.

Rencana Kegiatan V-9


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


2. Penyuluhan dan sosialiasi larangan
introduksi spesies eksotik.
3. Melakukan penelitian Inventarisasi,
Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik
yang ada di kawasan CATB.
b. Perlindungan Jenis 1. Melakukan penelitian detail tentang masa
bunting satwa buruan untuk menentukan
saat berburu masyarakat
2. Membuat papan larangan perburuan satwa
dilindungi
3. Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan
atau larangan berburu satwa dilindungi dan
hampir punah
5. Pemulihan
a. Pencegahan bahaya erosi- Pembentukan Forum Koordinasi yang
abrasi dan sedimentasi mengikutsertakan instansi-instansi terkait.

b. Rehabilitasi Kawasan Cagar 1. Penyusunan rencana teknik rehabilitasi


Alam Teluk Bintuni kawasan yang rusak.
2. Rehabilitasi kawasan
x Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal
yang sesuai dengan ekosistem kawasan
yang akan direhabilitasi
x Penanaman atau rehabillitasi dengan
menggunakan kerjasama dengan
masyarakat dan dukungan pihak III
x Pemeliharaan tanaman.
c. Penelitian yang dapat 1. Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa
dilakukan berkaitan dengan sungai utama di dalam Kawasan.
upaya pemulihan 2. Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem
dan penyebabnya di dalam kawasan CATB.
6. Pengembangan system data 1. Potensi sumberdaya hayati (flora/fauna) di
base Cagar Alam Teluk Bintuni
2. Data sosial ekonomi dan budaya
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
3. Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan yang pernah dilakukan di
kawasan
7. Kerjasama Pembuatan MOU dalam menunjang kegiatan
Pengembangan Konservasi Jenis dan
Keanekaragaman Hayati.

B.4 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan bertujuan untuk meningkatkan upaya


perlindungan hutan serta penegakan hukum di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Perlindungan dan pengamanan kawasan yang akan dilakukan didalam pengelolaan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah pengamanan dalam rangka penggunaan sumberdaya alam,
pelanggaran batas berupa pemukiman penduduk dan perladangan berpindah, penebangan
kayu secara liar, pengumpulan hasil hutan, penggembalaan ternak dan lain-lain.

Rencana Kegiatan V - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Upaya pengamanan umum yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan untuk mengamankan


dan memonitor setiap gangguan terhadap keutuhan kawasan. Untuk mendukung maka
diperlukan beberapa kegiatan, antara lain :

1. Pengamanan Rutin (patroli). Sesuai dengan prinsip pengelolaan yang efisien dan
cost-effective, pencegahan kerusakan habitat akibat kegiatan pemanfaatan dilakukan
oleh pemanfaat sendirl.

Kegiatan perlindungan dan pengamanan rutin diusulkan dapat dilakukan oleh pengelola
Kawasan (POLHUT), pemantauan berbasis masyarakat atau pihak swasta yang bersifat
sukarela (voluntir) di bawah arahan dan panduan dari pengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni, serta pengamanan/patroli gabungan yang melibatkan instansi terkait yang lain.

Patroli gabungan yang bekerjasama dengan instansi terkait perlu dilakukan minimal
setahun dua kali. Demikian pula halnya dengan kerjasama dalam pengamanan yang
bersifat sporadis, berdasarkan laporan masyarakat setempat. Operasi sebaiknya
dilaksanakan jika keadaan keamanan benar-benar membutuhkan dukungan dari unsur
pengamanan lain seperti dari Polri dan TNI serta Pemda. Jika keadaan relatif aman,
maka intensitas operasi gabungan bisa dikurangi atau bahkan ditiadakan.

Pengamanan Cagar Alam Teluk Bintuni memerlukan koordinasi yang baik tidak saja
antar instansi terkait tetapi juga dengan tokoh masyarakat di sekitar kawasan. Oleh
karena itu koordinasi ini harus terus dilakukan dari waktu ke waktu minimal setiap akan
dan setelah pelaksanaan operasi gabungan.

Kegiatan pengamanan harus direncanakan dan apabila perlu, rute patroli dapat
diprogramkan di GPS sebelum berangkat. Sistem patroli harus sporadis agar rutinitas
patroli tidak dapat dipelajari oleh pelanggar. Setiap petugas harus mengetahui batas
kawasan dan peraturannya dan faktor yang dilindungi. Setiap petugas harus juga
mempelajari pola hidup dan kegiatan masyarakat setempat agar dapat mengidentifikasi
pendatang dari luar. Petugas lapangan harus siap bertindak berdasarkan informasi yang
berasal dari masyarakat karena mereka berada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
setiap hari, mereka merupakan mata pengawasan yang sangat efisien.

2. Penegakan Hukum. Penegakan peraturan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus
merupakan lintas sektoral yang melibatkan otoritas pengelola CATB, polisi, Dinas
Perikanan, TNI dan masyarakat setempat. Untuk mendukung kegiatan penegakan
hukum di Kawasan CATB, perlu diusulkan beberapa kegiatan penunjang, yaitu:

x Pembuatan Peraturan dan Larangan yang sederhana dan jelas

Peraturan yang ada perlu dievaluasi untuk memastikan relevansi dan


ketepatgunaannya dalam pengamanan kawasan CATB. Upaya untuk membuat

Rencana Kegiatan V - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

peraturan menjadi jelas, bisa dimengerti dan sesuai dengan tujuan konservasi serta
pemanfaatan berkelanjutan perlu dilakukan.

x Sosialisasi Peraturan

Aturan harus disosialisasikan dan fungsi serta peran setiap stakeholder harus jelas
sehingga tidak ada interpretasi ganda. Perlu juga dibuat peraturan khusus dan
disepakati semua pihak, terutama peraturan yang melarang semua kegiatan
ekstraktif yang merusak kawasan CATB. Pelarangan penggunaan trawl, bahan
kimia, bom, pelarangan penebangan hutan di CATB untuk usaha kehutanan,
perikanan dan perkebunan perlu dibuat dan dilaksanakan. Khusus untuk masyarakat
adat perlu juga dibuatkan aturan khusus yang menyangkut pemanfaatan eksklusif di
dalam kawasan tetapi dengan syarat tertentu dan mendukung pemanfaatan lestari.

3. Pembuatan Buku Panduan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-5.

Tabel V-5. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


1. Pengamanan Rutin (patroli) 1. Patroli rutin oleh pengelola kawasan
2. Patroli gabungan
3. Patroli rutin berbasis masyarakat dan pihak
swasta (voluntir)
2. Penegakan Hukum 1. Pembuatan peraturan khusus tentang larangan
dan sanksi bagi perburuan dan pemanfaatan flora
dan fauna yang dilindungi
2. Pembuatan aturan sederhana yang menyangkut
pemanfaatan eksklusif bersyarat dan lestari di
dalam kawasan untuk masyarakat adat
3. Sosisalisasi aturan tentang larangan dan sanksi
terhadap kegiatan ilegal di kawasan kepada
semua stakeholder
3. Buku Panduan Pengadaan buku Panduan Perlindungan dan
pengamanan Kawasan CATB

B.5 Pendukung /Kelembagaan

Kegiatan pendukung/kelembagaan ditujukan untuk memantapkan institusi pengelola kawasan


serta mewujudkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang mampu mendukung pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Rencana Kegiatan V - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

1. Peningkatan Kapasitas Pengelola. Tekanan terhadap Cagar Alam di masa depan akan
lebih berat dan dibutuhkan kapasitas SDM khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang lebih
baik. Untuk itu perlu ada pelatihan dan training kepada jagawana.

2. Penambahan Jumlah Personil Pengelola. Saat ini petugas di Ressort Teluk Bintuni
hanya ada 2 petugas sementara per 10.000 Ha dibutuhkan 1 orang polisi hutan. Berarti
dibutuhkan 10-12 orang Polisi Hutan (POLHUT) untuk Cagar Alam Teluk Bintuni.
Direncanakan akan ada 10 petugas lapangan, setiap saat 5 di antaranya menjaga
koordinasi dan komunikasi dengan kelompok pemanfaat di lapangan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-6.

Tabel V-6. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan


1. Peningkatan Kapasitas Pengelola 1. Pelatihan jagawana voluntir
2. Pelatihan/Penyegaran Polhut
2. Personil Pengelola Penambahan jumlah personil pengelola, khususnya
Polisi Hutan (POLHUT)

B.6 Pemanfaatan

Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud disini lebih banyak difokuskan pada kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Dari survei dan pertemuan dengan masyarakat dalam pembahasan rencana pengelolaan
kawasan ternyata bahwa masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan sangat
menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada keberadaan Cagar Alam.
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun
sebelum daerah ini ditunjuk sebagai Kawasan Konservasi. Walaupun demikian, masyarakat
adat yang merupakan pemilik hak ulayat kawasan dan bermukim di dalam dan sekitar
kawasan masih berkomitmen untuk menjaga keberadaan CATB dengan membangun suatu
kesepakatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan CATB
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam ini seperti yang telah di bahas pada
Bab V.

1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan


pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan. Pedoman ini nantinya akan diperuntukan
kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) dan kelompok masyarakat
pemanfaat.

Rencana Kegiatan V - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. Pemanfaatan Hasil Perikanan. Penduduk yang memiliki hak ulayat dan tinggal di dalam
dan sekitar kawasan diperbolehkan memanfaatkan hasil perikanan dari dalam kawasan
secara tradisional. Pengembangan dan pengawasan pemanfaatan hasil setempat
dilakukan Balai KSDA cq Ressort pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dengan pemilik
hak ulayat yang tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan berdasarkan
kesepakatan bersama. Kesepakatan ini juga mencakup pemanfaatan oleh masyarakat
desa sekitar kawasan yang bukan pemilik hak ulayat.

Sistem pengaturan pemanfaatan tradisional sumberdaya perikanan seharusnya dilakukan


masyarakat pemilik hak ulayat dan tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan
secara tertulis dengan bimbingan BKSDA. Untuk itu, pengelola cagar alam harus
membangun pemahaman dan pentingnya kearifan tradisional dikembangkan dan dapat
diketahui pihak lain.

Pengembangan usaha perikanan di dalam kawasan hanya diperkenankan kepada


pemilik hak ulayat dan tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Usulan untuk
pengembangan usaha budidaya lain misalnya budidaya ikan di sungai dengan keramba
harus diajukan kepada pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dan bimbingan teknis untuk
pemanfaatan dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait (Dinas Perikanan dan
Kelautan) dan Mitra Pesisir.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

x Penyuluhan manfaat perlindungan kawasan mangrove bagi produksi perikanan

x Pembinaan masyarakat soal pemanfaatan perikanan di dalam kawasan yang ramah


lingkungan dan tidak merusak mangrove, bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan
Kelautan serta LSM Mitra Pesisir, seperti :

o Pelatihan budidaya ikan dalam keramba apung di sungai

o Pengenalan sistem “sasi” agar ada peluang recovery dari sumberdaya yang
dimanfaatkan

o Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring penangkap ikan, bekerjasama


dengan Dinas Perikanan dan Kelautan

x Melakukan sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di dalam kawasan Cagar


Alam

3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan. Ancaman utama dari kegiatan pertanian
dan perkebunan di dalam dan sekitar kawasan adalah penggunaan pestisida, herbisida
dan pupuk buatan, dan masalah lainnya menyangkut konservasi tanah. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni akan bekerja sama dengan Dinas Pertanian dalam memfasilitasi
masyarakat yang ada di sekitar dan dalam kawasan kepada akses terhadap pola

Rencana Kegiatan V - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pertanian yang lebih efisien. Dengan pengembangan pola pertanian dan perkebunan
yang lebih efisien kecenderungan untuk perluasan lahan dapat dicegah, serta
pendapatan petani dapat ditingkatkan.

Usaha pertanian dan kebun masyarakat di dalam kawasan dimungkinkan jika


peruntukannya adalah untuk konsumsi sehari-hari dan harus dipetakan untuk mencegah
perluasan. Pengembangan usaha perkebunan dengan skala luas dan jenis introduksi
dilarang dilakukan di dalam kawasan. Pengembangan kawasan budidaya perkebunan di
sekitar kawasan harus berkoordinasi dengan BKSDA agar tidak terjadi tumpang tindih
kawasan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan masyarakat, ada beberapa
kegiatan yang bisa dilakukan, antara lain adalah :

x Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian dengan memperhatikan kelestarian


lingkungan

x Penerapan Sistem Pertanian yang Berkelanjutan

o Pengenalan sistem agroforestry khusus bagi penduduk yang ada di dalam


kawasan

o Pelatihan budidaya pertanian menetap secara terbatas pada pemukiman


penduduk di dalam kawasan

o Penyediaan bibit tanaman setempat.

x Pemanfaatan terbatas satwa liar

o Pengembangan dan Pembinaan upaya perbesaran buaya di desa Naramasa,


Yensei, Yakati, Mamuranu

o Pembinaan pengaturan waktu berburu sesuai dengan hasil penelitian yang


dilakukan

o Pelatihan dan bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari kulit buaya di Desa
Naramasa, Yensei dan Yakati

o Pelatihan dan bimbingan teknis untuk pembuatan dendeng manis, abon dari
daging babi dan rusa, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Kabupaten

x Penyuluhan dan sosialisasi masa berburu berdasarkan hasil kajian/penelitian.

4. Penelitian. Kegiatan penelitian disini lebih difokuskan pada studi dalam rangka
mendukung kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara lestari dan berkelanjutan.

5. Kerjasama. Kerjasama ditujukan untuk membangun kesepahaman bersama dengan


stakeholder terkait seperti Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan
Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan, khususnya
aspek pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan.

Rencana Kegiatan V - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini dimaksudkan untuk pemutakhiran


informasi kawasan khususnya hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam oleh penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-7.

Tabel V-7. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan

2. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan dan


Perikanan tentang manfaat perlindungan
kawasan mangrove bagi produksi perikanan

2. Sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di


dalam kawasan Cagar Alam

3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”.

4. Pelatihan dan pendampingan pembuatan


keramba apung di sungai

5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring

3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan 1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian


Perburuan Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan

2. Pengenalan sistem agroforestri.

3. Pelatihan budidaya pertanian menetap, terutama


di kampung yang berada di dalam kawasan
CATB

4. Pelatihan pembesaran anakan buaya

5. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan kerajinan


dari bahan baku kulit buaya

6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan dendeng


manis dan abon dari daging rusa

7. Pengenalan cara perburuan satwa liar seperti rusa


dan babi hutan dengan memperhatikan waktu-
waktu beranak dan mengasuh anak

4. Penelitian 1. Penelitian dan kajian pola perkembangbiakan


satwa dan lokasi perburuan

2. Penelitian dan kajian teknik perbanyakan


tanaman, khususnya tanaman berguna di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

3. Penelitian dan kajian tentang pola siklus hidup


biota laut tertentu seperti ikan, udang, dan
kepiting (karaka) di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni

4. Inventarisasi jenis-jenis komoditi pertanian


setempat

5. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder terkait untuk


menunjang kegiatan pemanfaatan.

1. Potensi sumberdaya hayati (flora/fauna) berguna


6. Pengembangan sistem data base
di Cagar Alam Teluk Bintuni

2. Musim perkembang biakan flora dan fauna di


Cagar Alam Teluk Bintuni

C. SARANA DAN PRASARANA

Membuat rencana pembangunan sarana dan prasarana dengan prioritas pentahapan


pembangunannya. Dalam perencanaan ini perlu dipertimbangkan guna kepentingan
pengelolaannya antara lain :

C.1. Sarana prasarana pengelolaan :

a. Bangunan kantor

Mengingat Cagar Alam Teluk Bintuni berada pada Kabupaten yang akan berkembang
sangat cepat, sarana kantor sangat dibutuhkan, baik sebagai pusat kegiatan pengelolaan
maupun pusat informasi. Kebutuhan sarana yang harus dilengkapi adalah :

x Pembebasan lahan : 500 m2


x Bangunan kantor : 1 Unit, ukuran 90 m2.
x Barak polisi hutan : 1 unit, untuk 6 keluarga, 108 m2
x Sarana listrik : 1 unit Genset 3 KW
x Sarana air bersih : Sumur bor, mesin air dan tower air
x Sarana Komunikasi : SSB 1 unit, Handy talky 7 unit dan menara SSB
x Sarana Transportasi : Motor 2 unit,
1 unit Speedboat 80 pk
1 unit longboat 40 pk
x Sarana kerja : 3 unit CPU + printer + peralatan kantor lainnya
7 unit GPS
7 unit kompas suunto

Rencana Kegiatan V - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

b. Jalan patroli

Di Cagar Alam harus ada jalan patroli, yang dapat menjangkau keseluruh kawasan
sehingga memudahkan bagi petugas untuk melaksanakan tugasnya. Di CA Teluk
Bintuni, jalur air merupakan salah satu cara yang terpenting. Tetapi pada batas kawasan
yang berbatasan dengan hutan dataran rendah, jalan patroli dapat digabung bersama
jalur batas rintisan sehingga lebih efisien (berkaitan dengan pemeliharaan batas
kawasan). Aktivitas patroli bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan batas.

c. Pondok kerja

Bangunan ini diperuntukan bagi unit pengelola terkecil, dilengkapi dengan perlengkapan
yang memadai untuk kegiatan yang akan ditangani di tempat tersebut. Pondok kerja di
dalam CA Teluk Bintuni direncanakan akan menjadi 4 unit di luar kantor. Letak pondok
kerja ini adalah di Kampung Banjar Ausoy, Naramasa, Kampung Mamuranu dan Tirasai.
Sarana yang dibutuhkan antara lain :

x Pembebasan lahan : 3 unit, ukuran setiap lokasi 100 m2


x Bangunan pondok kerja : 3 unit, ukuran setiap pondok 48 m2
x Generator listrik : 3 unit kapasitas 2.5 KW
x Pompa air : 3 unit sumur bor, pompa air dan tower
x Sarana Komunikasi : SSB 3 unit, Handy talky 3 unit
x Peralatan Kerja : 3 unit Mesin Tik 80 cm
3 unit GPS
d. Pondok jaga dan Menara Pengawas

Untuk pengamatan satwa, sarana ini penting untuk : pengamatan satwa, keindahan alam
dan kebakaran. Lokasi pembangunan menara pengamat adalah di Awarepi, Simeri,
Pulau Modan, Pulau Bore.

C.2. Sarana prasarana pendidikan

a. Pusat informasi

Di Cagar Alam Teluk Bintuni, kantor dapat difungsikan sebagai pusat informasi.

b. Papan petunjuk

Sarana ini harus ada di Cagar Alam. Termasuk di dalam papan petunjuk ini adalah papan
pengumuman, papan larangan dan rambu-rambu peringatan. Penempatan diatur di
tempat yang strategis mudah dilihat.

x Papan Petunjuk ttg kawasan : 50 unit


x Papan Larangan & informasi : 100 unit, diutamakan di jalur batas rintisan
yang berdekatan dengan kampung

Rencana Kegiatan V - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

c. Jalan setapak

Di Cagar Alam sarana ini diperuntukan sebagai sarana patroli dan pendidikan, yang
berfungsi untuk pengamanan dan memudahkan melihat obyek wisata tertentu di Cagar
Alam Teluk Bintuni. Jalan setapak permanen di dalam kawasan mangrove dibangun pada
tempat yang ada menara pengamat dan petak ukur permanen saja.

C.3. Sarana dan prasarana penelitian

a. Pusat informasi dan sarana penelitian

Bangunan ini dapat dibuat di dalam kawasan sesuai kepentingannya. Di Cagar Alam
Teluk Bintuni, pusat informasi dan data base dibangun bersamaan dengan kantor (satu
bangunan). Disamping itu, perlu juga dibangun beberapa sarana seperti :

x Pembangunan stasiun iklim dan cuaca

Karena situasi iklim dan cuaca belum diketahui dengan pasti, maka perlu
dibangun stasiun klimatologi dan meteorologi. Data dan informasi dari stasiun ini
dapat digunakan untuk kelengkapan data base dan sistem informasi geografis
kawasan. Curah hujan di kawasan dan sekitarnya berlangsung sepanjang tahun,
dan jarang terjadi bulan kering.

x Stasiun pengamat air sungai otomatis (AWLR : automatic water level recording)

Pembangunan AWLR sangat membantu pengelola CATB dalam memantau


dampak dari perubahan penggunaan lahan yang ada di hulu terhadap CATB.
Lokasi yang diusulkan dibangun AWLR adalah Sungai Muturi,

x Pembuatan pondok penelitian terapung

Pondok peneliti untuk kebutuhan penelitian di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni
sebaiknya tidak dibangun di banyak tempat. Untuk itu perlu dikembangkan dan
dibangun pondok peneliti terapung yang bisa dipindah-pindah tergantung lokasi
wilayah penelitian. Ini akan membuat waktu penelitian tidak terbuang akibat
mobilitas yang terbatas. Pondok ini bisa dipindah dengan menggunakan
longboat

b. Jalan rintis penelitian

Dibuat sesuai kepentingan dan sederhana.

c. Laboratorium alam (areal penelitian)

Penempatan areal lokasi penelitian disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Yang
dapat dilakukan adalah membangun petak ukur permanen. Lokasi pengamatan atau

Rencana Kegiatan V - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

laboratorium alam akan sangat tergantung dari penelitian tentang pemetaan flora-fauna di
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

d. Pondok atau rumah tamu peneliti

Pondok peneliti permanen dibangun disamping bangunan kantor pengelola Cagar Alam
Teluk Bintuni. Sarana penelitian berupa pondok peneliti yang punya mobilitas tinggi juga
dibangun dengan membuat pondok yang bisa dipindah-pindah di sungai dengan ditarik
boat. Ini sesuai dengan areal Cagar Alam yang didominasi areal sungai dan mangrove.

Rencana Kegiatan V - 20
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

VI. PEMBIAYAAN

A. Sumber Dana
Sumber dana dalam pembangunan dan pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dapat menggunakan dana APBN, Non APBN atau dana
lainnya antara lain berupa bantuan dalam dan luar negeri. Penggalangan biaya pengelolaan dari swasta khususnya yang ada di daerah Kabupaten
Bintuni dapat dilakukan oleh pengelola dengan sepengetahuan Kepala Balai KSDA Papua II Sorong. Bantuan dan dukungan ini tidak harus dalam
bentuk uang tetapi dapat dalam bentuk barang. Misalnya, sumbangan dalam bentuk pengadaan sarana komunikasi, patroli atau bangunan kantor.

Bantuan juga dapat digalang oleh LSM atau organisasi lainnya dan pelaksanaan pembangunan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk
pemberi - penggalang dana tetapi harus sepengetahuan BKSDA Papua II Sorong. Semua asset yang dibangun di dalam kawasan atau mendukung
pelaksanaan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menjadi asset dari Cagar Alam atau pemerintah Indonesia. Mekanisme pengusulan
permohonan bantuan kegiatan dan penanggungjawab pelaksanaan disajikan dalam Gambar VI-1.

Pembuat Usulan Program/Kegiatan Pemberi Dana Proposal Dana Pemerintah


Disetujui Indonesia

Pengelola CATB BKSDA Papua II Departemen


Sorong Kehutanan
Pelaksanaan - Implementasi
Swasta
Usulan Pembangunan atau Aktivitas
Pengelolaan Cagar Alam NGO/LSM Penanggungjawab :
x Proposal Pengelolaan BKSDA Papua II Sorong
x Proposal Penelitian Pelaksana :
x Proposal Pembangunan Sarana Negara Asing Pengelola Teknis Cagar Alam Teluk Bintuni
Swasta
LSM

Gambar VI-1. Alur Pengusulan Pelaksanaan Kegiatan dan Implementasi Kegiatan

Pembiayaan VI - 1
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

B. Rincian Biaya

Rincian biaya untuk kegiatan pengelolaan disajikan dalam Tabel VI-1 dan Tabel VI-2 sedangkan untuk rencana biaya pengadaan sarana dan prasaran
penunjang kegiatan pengelolaan disajikan pada Tabel VI-3. dan Tabel VI-4.

Tabel VI-1. Rencana alokasi biaya pengelolaan Kawasan CATB jangka pendek (tahunan) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010).

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

1 Pemantapan Kawasan
a. Kepastian Hukum kawasan Pembuatan SK Defenitif - - - -
b. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam 1. Pembuatan SK Bupati - - - -
Teluk Bintuni secara legal formal oleh
- - - -
Pemerintah Daerah 2. Pembuatan Perda tentang Cagar Alam

1. Pembuatan Jalur Rintisan dan jalan


c. Rekonstruksi Pal Batas 125 Km 900,000 22,500 22,500 22,500 22,500 22,500 112,500
setapak (km)
2. Pembuatan Pal batas 1 Paket 1,114,000 1,114 1,114
3. Pembuatan Plat Seng tanda batas 1 Paket 3,100,000 3,100 3,100
Pembuatan MOU dengan stakeholder - - - -
d. Kerjasama terkait untuk kegiatan Rekonstruksi Pal
Batas

2 Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan


a. Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan 1. Pengadaan buku saku/panduan
20 Unit 30,000 1,200 1,200
Pengelolaan Kawasan pemeliharaan batas kawasan
2. Pengadaan buku saku/panduan/juknis
20 Unit 30,000 1,200 1,200
kegiatan pengelolaan potensi kawasan.
3. Pengadaan buku saku/panduan/juknis
kegiatan perlindungan dan 20 Unit 30,000 1,200 1,200
pengamanan kawasan.
b. Papan Petunjuk Kawasan Pembuatan Papan Pengumuman dan
50 Paket 1,650,000 41,250 41,250 82,500
Petunjuk Kawasan

Pembiayaan VI - 2
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

1. Pemeliharaan Jalur Rintisan dan jalan


c. Pemeliharaan Batas Kawasan 50 Km 900,000 22,500 22,500 45,000
setapak (km)
2.Penggantian Pal Rusak 1 Paket 1,114,000 - - - 1,114 1,114
3.Pembuatan Plat Seng tanda batas 1 Paket 3,100,000 - - - 3,100 3,100
d. Kajian potensi fungsi kawasan 1. Identifikasi Tipe Ekosistem dan
- - - - - - - - -
pemetaan penutupan lahan di CATB
2. Penataan dan pembuatan peta
- - - - - - - - -
Penutupan Lahan di Dalam Kawasan
1. Pengadaan Poster Pemanfaatan
e. Pembuatan Poster/Leaftlet 150 Paket 22,500 3,375 - - - - 3,375
Lestari
2. Pengadaan Poster Jenis-Jenis
Flora/Fauna langka dan di lindungi di 150 Paket 22,500 - 3,375 - - 3,375 3,375
Kawasan CATB
3. Pengadaan Poster tentang kondisi
150 Paket 22,500 - - - - 3,375 3,375
ekosistem di Kawasan CATB
Pembinaan masyarakat yang bermukim di
blok penyangga Kawasan tentang
g. Pembinaan masyarakat 5 Paket 9,900,000 9,900 9,900 9,900 9,900 9,900 49,500
pentingnya keberadaan kawasan sebagai
penyangga sistem kehidupan
h. Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan
Pembuatan Kelompok Kerja 1 Paket 10,450,000 10,450 - - - - -
Pengelolaan Kawasan
i. Penelitian Penelitian tentang dampak lingkungan 1 Paket 37,500,000 - - - 37,500 - 37,500
Kajian tentang dampak dari rencana
1 Paket 37,500,000 - - 37,500 - - 37,500
pembangunan wilayah
Pengadaan system informasi geografis
j. Sistem Informasi Geografis dan
(SIG) dan pemutakhiran data hasil-hasil 1 Paket 37,500,000 - - - - 37,500 37,500
Database
peneltian

3 Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati


1. Pengadaan Buku Panduan
a. Buku Panduan Pemeliharaan flora/fauna dan 1 Paket 10,000,000 - 10,000 - - - 10,000
ekosistem kawasan

Pembiayaan VI - 3
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

2. Pengadaan Buku Panduan


Pengendalian flora/fauna dan 1 Paket 10,000,000 - - - 10,000 - 10,000
ekosistem kawasan
b. Penelitian/Kajian tentang keadaan flora 1. Inventarisasi dan Pemetaan jenis Flora
1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
dan fauna kawasan dan Fauna di Kawasan
2. Penelitian ttg Dinamika Populasi Flora
1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
dan Fauna
3. Inventarisasi dan identifiksasi Jenis
Tumbuhan Berguna dan Langka di
Kawasan 5 Paket 37,500,000 37,500 37,500

4. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis


flora dan fauna eksostik di kawasan 1 Paket 37,500,000 37,500
37,500
Cagar Alam Teluk Bintuni
5. Dampak negatif dari kehadiran jenis-
jenis eksotik di kawasan Cagar Alam 1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
Teluk Bintuni
6. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
kegiatan pertanian secara luas
c. Pembinaan Habitat 1. Inventarisasi dan pemetaan tempat
khusus bagi perkembangbiakan,
3 Paket 37,500,000 37,500 37,500
bertelur, dan pemijahan (spawning
ground) di kawasan
2. Penelitian tentang dinamika ekosistem
2 Paket 37,500,000 37,500 37,500
di Cagar Alam Teluk Bintuni
3. Pembuatan petak ukur permanen 1 Paket 16,950,000 16,950 16,950
4. Pembuatan jalur/jalan setapak untuk
1 Km 65,000 65,000 65,000
keperluan pendidikan dan penelitian.
d. Pengendalian
a. Pencegahan Hama dan Penyakit 1. Pemusnahan jenis tumbuhan atau
eksotik yang berpotensi ekspansif 1 Paket 9,900,000 9,900
yang ada di Kawasan.
2. Penyuluhan dan sosialiasi larangan
2 Paket 9,900,000 9,900 9,900
introduksi spesies eksotik.

Pembiayaan VI - 4
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

b. Perlindungan Jenis 1. Melakukan penelitian detail tentang


masa bunting satwa buruan untuk
menentukan saat berburu masyarakat
2. Membuat papan larangan perburuan
10 Paket 16,500,000 16,500 16,500
satwa dilindungi
3. Membuat brosur, leaflet dan poster
imbauan atau larangan berburu satwa
dilindungi dan hampir punah
e. Pemulihan
a. Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan Pembentukan Forum Koordinasi yang
sedimentasi mengikutsertakan irstansi-instansi terkait.
b. Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam 1. Penyusunan rencana teknik
1 Paket 9,900,000 9,900 9,900
Teluk Bintuni rehabilitasi kawasan yang rusak.
2. Rehabilitasi kawasan
x Pengadaan benih atau bibit
tanaman lokal yang sesuai
dengan ekosistem kawasan
yang akan direhabilitasi.
x Penanaman atau rehabillitasi
dengan menggunakan
kerjasama dengan masyarakat
dan dukungan pihak III.
c. Peneltian 1. Penelitian tingkat dan laju sedimentasi
di beberapa sungai yang bermuara di 1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
kawasan
2. Penelitian dan kajian laju kerusakan
ekosistem dan penyebabnya di 1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
f. Pengembangan system data base 1. Potensi sumberdaya hayati
(flora/fauna) di Cagar Alam Teluk 2 Paket 10.000.000 10.000 10.000 20.000
Bintuni
2. Data sosial ekonomi dan budaya
masyarakat di dalam dan sekitar 2 Paket 10.000.000 10.000 10.000 20.000
kawasan

Pembiayaan VI - 5
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

3. Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan


pengembangan yang pernah dilakukan 5 Paket 5,000,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 25,000
di kawasan
Pembuatan MOU dalam menunjang
kegiatan Pengembangan Konservasi
e. Kerjasama Jenis dan Keanekaragaman Hayati 1 Paket 5,000,000 5,000 5,000

4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


a. Pengamanan Rutin (patroli) 1. Patroli rutin oleh pengelola kawasan 240 Paket 120,000 5,760 5,760 5,760 5,760 5,760 28,800
2. Patroli gabungan 5 Paket 9,500,000 9,500 9,500 9,500 9,500 9,500 47,500
3. Patroli rutin berbasis masyarakat dan
5 Paket - Voluntir
pihak swasta (volunteer)
e. Penegakan Hukum 1. Pembuatan peraturan khusus tentang
larangan dan sangsi bagi perburuan
- Unit - -
dan pemanfaatan flora dan fauna yang
dilindungi
2. Pembuatan aturan sederhana yang
menyangkut pemanfaatan eksklusif
- Unit - -
bersyarat dan lestari di dalam kawasan
untuk masyarakat adat
3. Sosisalisasi aturan tentang larangan
dan sangsi terhadap kegiatan ilegal di
kawasan kepada semua stakeholder
d. Pembuatan Panduan Buku Panduan Perlindungan dan
pengamanan Kawasan CATB

5. Pendukung /Kelembagaan
a. Personil Pengelola Penambahan personil pengelola kawasan PHKA
b. Pelatihan/Penyegaran 1. Pelatihan jagawana volunteer 6 paket 7.500.000 15.000 7.500 7.500 7.500 7.500 45.000
2. Pelatihan/Penyegaran Polhut 5 paket 10.000.000 20.000 10.000 10.000 10.000 50.000

Pembiayaan VI - 6
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

6. Pemanfaatan -
a. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan 2 - - -
b. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan
dan Perikanan tentang manfaat
2 Paket 20,900,000 20,900 20,900 41,800
perlindungan kawasan mangrove bagi
produksi perikanan
2. Sosialisasi larangan penggunaan
bahan kimia di dalam kawasan Cagar 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
Alam
3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”. 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
4. Pelatihan dan pendampingan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
pembuatan keramba apung di sungai
5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
jaring
c. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan 1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian
Perburuan Penyuluhan tentang pentingnya sistem
2 Paket 20,900,000 20,900 20,900 41,800
Pertanian dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan
2. Pengenalan sistem agroforestri. 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
3. Pelatihan budidaya pertanian menetap,
terutama di kampung yang berada di 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
dalam kawasan CATB
4. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
kegiatan pertanian secara luas.
5. Pelatihan pembesaran anakan buaya 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
kerajinan dari bahan baku kulit buaya
7. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
dendeng manis dan abon dari daging 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
rusa
8. Pengenalan cara perburuan satwa liar
seperti rusa dan babi hutan dengan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
memperhatikan waktu-waktu beranak
dan mengasuh anak

Pembiayaan VI - 7
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke Total 5


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan (x`000) tahun
(Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 (x’000)

d. Penelitian 1. Penelitian dan kajian pola


perkembangbiakan satwa dan Lokasi 2 Paket 37,500,000 37,500 37,500 75,000
perburuan
2. Penelitian dan kajian teknik
perbanyakan tanaman, khususnya
- - - -
tanaman berguna di kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni
3. Penelitian dan kajian tentang pola
siklus hidup biota laut tertentu seperti
2 Paket 37,500,000 37,500 37,500 75,000
ikan, udang, dan kepiting (karaka) di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
4. Inventarisasi jenis-jenis komoditi
1 Paket 10,000,000 10,000 10,000
pertanian setempat
e. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder
terkait untuk menunjang kegiatan 2 Paket 2,500,000 2,500 2,500 -
Pemanfaatan
f. Pengembangan sistem data base 1. Potensi sumberdaya hayati
(flora/fauna) berguna di Cagar Alam 1 Paket 10,000,000 10,000 10,000
Teluk Bintuni
2. Musim perkembang biakan flora dan
1 Paket 10,000,000 10,000 10,000
fauna di Cagar Alam Teluk Bintuni

Pembiayaan VI - 8
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Tabel VI-2. Rencana alokasi biaya pengelolaan Kawasan CATB jangka panjang (lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030).

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

1 Pemantapan Kawasan
- - -
a. Kepastian Hukum kawasan Pembuatan SK Defenitif
-
- - -
b. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam x Pembuatan SK Bupati
-
Teluk Bintuni secara legal formal oleh
Pemerintah Daerah - - -
x Pembuatan Perda tentang Cagar Alam
-
x Pembuatan Jalur Rintisan dan jalan
c. Rekonstruksi Pal Batas 125 Km 900 112500 112,500
setapak (km)
x Pembuatan Pal batas 1 Paket 1.114 1,114 1,114
x Pembuatan Plat Seng tanda batas 1 Paket 3.100 3,100 3,100
Pembuatan MOU dengan stakeholder - - -
d. Kerjasama terkait untuk kegiatan Rekonstruksi Pal -
Batas

2 Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan


a. Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan 1. Pengadaan buku saku/panduan
20 Unit 1,200 1.200
Pengelolaan Kawasan pemeliharaan batas kawasan 30.000 -
2. Pengadaan buku saku/panduan/juknis
20 Unit 1,200 1.200
kegiatan pengelolaan potensi kawasan. 30,000
3. Pengadaan buku saku/panduan/juknis
kegiatan perlindungan dan 20 Unit 1,200 1.200
30,000
pengamanan kawasan.
b. Papan Petunjuk Kawasan Pembuatan Papan Pengumuman dan
50 Paket 1,650 82.500 82.500 82.500 247.500
Petunjuk Kawasan
1. Pemeliharaan Jalur Rintisan dan jalan
c. Pemeliharaan Batas Kawasan 50 Km 900 45.000 45.000 45.000 135.000
setapak (km)
2.Penggantian Pal Rusak 5 Paket 1,114 1.114 1.114 1.114 1.114 1.114 5.570
3.Pembuatan Plat Seng tanda batas 3 Paket 3.100 3.100 - 3.100 - 3,100 9.300

Pembiayaan VI - 9
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

d. Kajian potensi fungsi kawasan 1. Identifikasi Tipe Ekosistem dan


3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 - 112.500
pemetaan penutupan lahan di CATB
2. Penataan dan pembuatan peta
3 Paket 37.500 - 37.500 - 37.500 37.500 37.500
Penutupan Lahan di Dalam Kawasan
1. Pengadaan Poster Pemanfaatan
e. Pembuatan Poster/Leaftlet 450 Paket 22.5 3.375 3.375 3.375 - - 10.125
Lestari
2. Pengadaan Poster Jenis-Jenis
Flora/Fauna langka dan di lindungi di 450 Paket 22,5 3.375 3.375 3.375 - - 10.125
Kawasan CATB
3. Pengadaan Poster tentang kondisi
450 Paket 22,5 3.375 3.375 3.375 - - 10.125
ekosistem di Kawasan CATB
Pembinaan masyarakat yang bermukim di
blok penyangga Kawasan tentang
f. Pembinaan masyarakat 20 Paket 9,900 49.500 49.500 49.500 49.500 198.000
pentingnya keberadaan kawasan sebagai
penyangga sistem kehidupan
g. Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan
Pembuatan Kelompok Kerja 1 Paket 10.450 10.450 - - - - 10.450
Pengelolaan Kawasan
h. Penelitian 1. Penelitian tentang dampak lingkungan 2 Paket 37.500 - 37.500 - 37.500 - 75.000
2. Kajian tentang dampak dari rencana
1 Paket 37.500 37.500 - - - 37,500
pembangunan wilayah
Pengadaan system informasi geografis
i. Sistem Informasi Geografis dan
(SIG) dan pemutakhiran data hasil-hasil 5 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 37.500 37.500 187.500
Database
peneltian

3 Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati


1. Pengadaan Buku Panduan
a. Buku Panduan Pemeliharaan flora/fauna dan 1 Paket 10.000 10.000 - 10.000
ekosistem kawasan
2. Pengadaan Buku Panduan
Pengendalian flora/fauna dan 1 Paket 10.000 10.000 - 10.000
ekosistem kawasan
b. Penelitian/Kajian tentang keadaan flora 1. Inventarisasi dan Pemetaan jenis Flora
3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
dan fauna kawasan dan Fauna di Kawasan

Pembiayaan VI - 10
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

2. Penelitian ttg Dinamika Populasi Flora


2 Paket 37.500 37.500 37.500 65.000
dan Fauna
3. Inventarisasi dan identifiksasi Jenis
Tumbuhan Berguna dan Langka di 3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
Kawasan
4. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis
flora dan fauna eksostik di kawasan 1 Paket 37.500 37.500 37.500
Cagar Alam Teluk Bintuni
5. Dampak negatif dari kehadiran jenis-
jenis eksotik di kawasan Cagar Alam 2 Paket 37.500 37.500 37.500 65.000
Teluk Bintuni
6. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
kegiatan pertanian secara luas
c. Pembinaan Habitat 1. Inventarisasi dan pemetaan tempat
khusus bagi perkembangbiakan,
3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
bertelur, dan pemijahan (spawning
ground) di kawasan
2. Penelitian tentang dinamika ekosistem
5 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 37.500 37.500 187.500
di Cagar Alam Teluk Bintuni
3. Pembuatan petak ukur permanen 3 Paket 16.950 16.950 16.950 16.950 50850
4. Pembuatan jalur/jalan setapak untuk
5 Km 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 250.000
keperluan pendidikan dan penelitian.
d. Pengendalian
a. Pencegahan Hama dan Penyakit 1. Pemusnahan jenis tumbuhan atau
eksotik yang berpotensi ekspansif yang 1 Paket 9.900 9.900 9.900
ada di Kawasan.
2. Penyuluhan dan sosialiasi larangan
2 Paket 9.900 9.900 9.900 19.800
introduksi spesies eksotik.
b. Perlindungan Jenis 1. Melakukan penelitian detail tentang
masa bunting satwa buruan untuk 3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
menentukan saat berburu masyarakat
2. Membuat papan larangan perburuan
5 Paket 16.500 16.500 16.500 16.500 16.500 16.500 82500
satwa dilindungi

Pembiayaan VI - 11
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

3. Membuat brosur, leaflet dan poster


imbauan atau larangan berburu satwa 450 Paket 22.5 3.375 3.375 3.375 - - 10.125
dilindungi dan hampir punah
e. Pemulihan
a. Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan Pembentukan Forum Koordinasi yang
1
sedimentasi mengikutsertakan irstansi-instansi terkait.
b. Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Penyusunan rencana teknik rehabilitasi
1 Paket 9.900 9.900 9.900
Teluk Bintuni kawasan yang rusak.
Rehabilitasi kawasan
1. Pengadaan benih atau bibit tanaman
lokal yang sesuai dengan ekosistem 3 Paket 50.000 50.000 50.000 50.000 150.000
kawasan yang akan direhabilitasi.
2. Penanaman atau rehabillitasi
dengan menggunakan kerjasama
3 Paket 50.000 50.000 50.000 50.000 150.000
dengan masyarakat dan dukungan
pihak III.
c. Peneltian 1. Penelitian tingkat dan laju sedimentasi
di beberapa sungai yang bermuara di 3 Paket 50.000 50.000 50.000 50.000 150.000
kawasan
2. Penelitian dan kajian laju kerusakan
ekosistem dan penyebabnya di 3 Paket 37.500 37.500 37.500 37.500 112.500
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
f. Pengembangan system data base 1. Potensi sumberdaya hayati
(flora/fauna) di Cagar Alam Teluk 2 Paket 10.000 10.000 10.000 20.000
Bintuni
2. Data sosial ekonomi dan budaya
masyarakat di dalam dan sekitar 2 Paket 10.000 10.000 10.000 20.000
kawasan
3. Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan yang pernah dilakukan 5 Paket 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 25.000
di kawasan
Pembuatan MOU dalam menunjang
kegiatan Pengembangan Konservasi
e. Kerjasama Jenis dan Keanekaragaman Hayati 1 Paket 5.000 5.000 5.000

Pembiayaan VI - 12
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


a. Pengamanan Rutin (patroli) 1. Patroli rutin oleh pengelola kawasan 1240 Paket 120 28.800 28.800 28.800 28.800 28.800 144.000
2. Patroli gabungan 25 Paket 9.500 47.500 47.500 47.500 47.500 47.500 237.500
3. Patroli rutin berbasis masyarakat dan
25 Paket 1.500 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 37.500
pihak swasta (volunteer)
e. Penegakan Hukum 1. Pembuatan peraturan khusus tentang
larangan dan sangsi bagi perburuan
5 paket 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 37.500
dan pemanfaatan flora dan fauna yang
dilindungi
2. Pembuatan aturan sederhana yang
menyangkut pemanfaatan eksklusif
5 paket 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 37.500
bersyarat dan lestari di dalam kawasan 7.500
untuk masyarakat adat
3. Sosisalisasi aturan tentang larangan
dan sangsi terhadap kegiatan ilegal di 5 paket 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 75.000
kawasan kepada semua stakeholder
d. Pembuatan Panduan Buku Panduan Perlindungan dan
2 paket 7.500 7.500 7.500 15.000
pengamanan Kawasan CATB

5. Pendukung /Kelembagaan
a. Personil Pengelola Penambahan personil pengelola kawasan 3 paket PHKA
b. Pelatihan/Penyegaran 1. Pelatihan jagawana volunteer 15 paket 7.500 45.000 22.500 22.500 22.500 112.500
2. Pelatihan/Penyegaran Polhut 15 paket 10.000 50.000 50.000 50.000 150.000

6. Pemanfaatan -
a. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan 2 paket 7.500 7.500 7.500 15.000
b. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan
dan Perikanan tentang manfaat
10 Paket 20.900 41.800 41.800 41.800 41.800 41.800 209.800
perlindungan kawasan mangrove bagi
produksi perikanan

Pembiayaan VI - 13
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

2. Sosialisasi larangan penggunaan


bahan kimia di dalam kawasan Cagar 4 Paket 9.900 9.900 9.900 9.900 9.900 39.600
Alam
3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”. 5 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 20.900 20.900 104.500
4. Pelatihan dan pendampingan
3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
pembuatan keramba apung di sungai
5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan
3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
jaring
c. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan 1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian
Perburuan Penyuluhan tentang pentingnya sistem
10 Paket 20,900 41.800 41.800 41.800 41.800 41.800 209.000
Pertanian dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan
2. Pengenalan sistem agroforestri. 3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
3. Pelatihan budidaya pertanian menetap,
terutama di kampung yang berada di 3 Paket 20,900 20.900 20.900 20.900 62.700
dalam kawasan CATB
4. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
2 Paket 37.500 37.500 37.500 65.000
kegiatan pertanian secara luas.
5. Pelatihan pembesaran anakan buaya 3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
kerajinan dari bahan baku kulit buaya
7. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
dendeng manis dan abon dari daging 3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
rusa
8. Pengenalan cara perburuan satwa liar
seperti rusa dan babi hutan dengan
3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
memperhatikan waktu-waktu beranak
dan mengasuh anak
d. Penelitian 1. Penelitian dan kajian pola
perkembangbiakan satwa dan Lokasi 10 Paket 37,500 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 375,000
perburuan
2. Penelitian dan kajian teknik
perbanyakan tanaman, khususnya
3 Paket 20.900 20.900 20.900 20.900 62.700
tanaman berguna di kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni

Pembiayaan VI - 14
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Harga Rencana Biaya pada Periode Tahun ke (x`000) Total 25


No Kegiatan Komponen Volume Satuan Satuan tahun
2006- 2011- 2016- 2021- 2025-
Rp x 000 2010 2015 2020 2025 2030 (x’000)

3. Penelitian dan kajian tentang pola


siklus hidup biota laut tertentu seperti
10 Paket 37,500 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 375,000
ikan, udang, dan kepiting (karaka) di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
4. Inventarisasi jenis-jenis komoditi
2 Paket 10.000 10.000 10.000 20.000
pertanian setempat
e. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder
terkait untuk menunjang kegiatan 3 Paket 5.000 5.000 5.000 5.000 15.000-
Pemanfaatan
f. Pengembangan sistem data base 1. Potensi sumberdaya hayati
(flora/fauna) berguna di Cagar Alam 3 Paket 10.000 10.000 10.000 10.000 30.000
Teluk Bintuni
2. Musim perkembang biakan flora dan
3 Paket 10.000 10.000 10.000 10.000 30.000
fauna di Cagar Alam Teluk Bintuni

Pembiayaan VI - 15
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Tabel VI-3. Rencana Alokasi Biaya Pengadaan Sarana dan Prasarana untuk Jangka Pendek (per tahun) pada Periode 5 Tahun Pertama (2006-2010)

Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
1 Sarana Pengelolaan
Kantor
Pembebasan Lahan Kantor 500 150,000 75,000
Pengadaan Kantor/pondok
(KPPN.066/33.51) Bangunan Kantor (m) 90 1 1,750,000 157,500 157,500
Barak Polhut (untuk 6 orang atau klg) 162 1,500,000 243,000 243,000
Genset Kantor (4.5 KW) 1 1 7,500,000 -
Komputer P IV 2 unit 10,000,000 10,000 10,000 20,000
Printer A3 (HP 1180C)+ USB
Conector 1 unit 4,000,000 4,000 4,000
Peralatan kantor 3 paket 7,500,000 7,500 7,500 7,500 22,500
Faksimil 1 unit 1,500,000 1,500 1,500
Pengadaan Sambungan Telpon 1 unit 250,000 250 250
Radio SSB 1 25,000,000 25,000 25,000
GPS 7 3,500,000 10,500 7,000 7,000 24,500
Kompas Sunto 7 1,000,000 3,000 2,000 2,000 7,000
Speed boat patroli 40 PK 1 75,000,000 75,000 75,000
Longboat patroli 40 pk 1 30,000,000 30,000 30,000
Handy talky 7 5,000,000 10,000 10,000 10,000 5,000 35,000
motor roda 2 1 unit 20,000,000 20,000 20,000
Sarana air bersih 1 15,000,000 15,000 15,000
-
Bangunan Kantor (m) + barak 252 1 35,000 8,820 8,820 17,640
Pemeliharaan Kantor
(KPPN.066/33.51) Halaman kantor 500 5,000 2,500 2,500 2,500 2,500 2,500 12,500
komputer dan printer 4 unit 500,000 2,000 2,000 2,000 2,000 8,000
Peralatan kantor 2,500,000 2,500 2,500
Radio SSB 1 unit 900,000 900 900 900 900 900 4,500

Pembiayaan VI - 16
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
Handy talky 7 unit 250,000 500 1,000 1,500 1,750 1,750 6,500
Speed boat patroli (operasional) 1 6,000,000 6,000 6,000 12,000
Longboat patroli (operasional) 2 3,500,000 3,500 3,500 3,500 10,500
Motor roda 2 1 1,550,000 1,550 1,550 3,100
opeasional genset (liter bensin) 1 tahun 9,000,000 9,000 9,000 9,000 9,000 9,000 45,000
Biaya Telpon 1 1,200,000 1,200 1,200 1,200 1,200 1,200
-
Pondok Kerja -
Pondok kerja (m) 48 3 unit 1,750,000 84,000 84,000 84,000 252,000
Bangunan Pondok kerja
(KPPN.066/33.51) Pembebasan lahan (m) 100 3 petak 50,000 5,000 5,000 5,000 15,000
Genset Pondok kerja, 1,5KW 3 unit 2,500,000 2,500 2,500 2,500 7,500
Mesin tik 60 cm 3 1,000,000 1,000 1,000 1,000 3,000
Radio SSB 3 25,000,000 25,000 25,000 25,000 75,000
GPS 3 3,500,000 3,500 3,500 3,500 10,500
Handy talky 3 5,000,000 5,000 5,000 5,000 15,000
Longboat patroli, 25 pk 3 20,000,000 20,000 20,000 20,000 60,000
Peralatan pondok kerja 3 7,500,000 7,500 7,500 7,500 22,500
Sarana air bersih 3 5,000,000 5,000 5,000 5,000 15,000
-

Pemeliharaan
(KPPN.066/33.51) Pondok kerja (m) 48 3 35,000 1,680 3,360 5,040 10,080
Operasional Genset 3 7,500,000 7,500 15,000 22,500 22,500 67,500
Operasional longboat 3 15,000,000 15,000 30,000 45,000 45,000 135,000
Mesin tik 60 cm 3 50,000 50 100 150 150 450
Radio SSB 3 900,000 900 1,800 2,700 2,700 8,100
Handy talky 3 250,000 250 500 750 750 2,250
Longboat patroli 3 3,500,000 3,500 7,000 10,500 10,500 31,500
Peralatan pondok kerja 3 2,500,000 2,500 5,000 7,500 7,500 22,500
-

Pembiayaan VI - 17
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
2 Sarana Pendidikan Brosur/leaflet/buku komik cagar alam -
Pusat data n informasi -
-
3 Sarana Penelitian -

Pengadaan pondok Pondok Peneliti (dlm kompleks


penelitian(KPPN.066/33.51) kantor) 48 m 1,750,000 84,000 - - - - 84,000
Stasiun Pengamat Cuaca 3 unit 15,000,000 15,000 - 15,000 - 15,000 45,000
Stasiun Pengamat Air Sungai 1 unit 75,000,000 - - 75,000 - - 75,000
Pondok Peneliti terapung (m) 48 2,000,000 - 96,000 - - - 96,000
Longboat untuk peneliti (40 pk) 1 unit 30,000,000 - 30,000 - - - 30,000
-
Pemelliharaan Pondok Peneliti 48 35,000 - 1,680 1,680 1,680 1,680 6,720
Stasiun Pengamat Cuaca 1 600,000 - 600 600 600 600 2,400
Stasiun Pengamat Air Sungai 1 1,200,000 - - - 1,200 1,200 2,400
Pondok Peneliti terapung 48 35,000 - - 1,680 1,680 1,680 5,040
Longboat untuk peneliti (40 pk) - - - - - -

Pembiayaan VI - 18
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Tabel VI-4. Rencana Alokasi Biaya Pengadaan Sarana dan Prasarana untuk Jangka Panjang (per tahun) pada Periode 25 Tahun (2006-2030)

Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000) Total 25


No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan Harga Satuan tahun
2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 x 000.000
1 Sarana Pengelolaan
Kantor
Pembebasan Lahan
Kantor 500 150,000 75,000 75,000
Pengadaan Kantor/pondok Bangunan Kantor
(KPPN.066/33.51) (m) 90 1 1,750,000 157,500 157,500
Barak Polhut (untuk
6 orang atau klg) 162 1,500,000 243,000 243,000
Genset Kantor (4.5
KW) 1 1 7,500,000 - -
Komputer P IV 3 unit 10,000,000 20,000 10,000 20,000 10,000 60,000
Printer A3 (HP
1180C)+ USB
Conector 1 unit 4,000,000 4,000 4,000 8,000
Peralatan kantor 3 paket 7,500,000 22,500 22,500
faksimil 1 unit 1,500,000 1,500 - - - - 1,500
Pengadaan
Sambungan Telpon 1 unit 250,000 250 - - - - 250
Radio SSB 1 25,000,000 25,000 - - - - 25,000
GPS 7 3,500,000 24,500 - - - - 24,500
Kompas Sunto 7 1,000,000 7,000 - - - - 7,000
Speed boat patroli
40 PK 1 75,000,000 75,000 - - - - 75,000
Longboat patroli 40
pk 2 30,000,000 30,000 30,000 - - - 60,000
Handy talky 7 5,000,000 35,000 - - - - 35,000
motor roda 2 4 unit 20,000,000 20,000 20,000 - 20,000 20,000 80,000
Sarana air bersih 1 15,000,000 15,000 - - - - 15,000
-
Bangunan Kantor
Pemeliharaan Kantor (m) + barak 252 1 35,000 17,640 17,640 17,640 17,640 17,640 88,200
(KPPN.066/33.51) Halaman kantor 500 5,000 12,500 12,500 12,500 12,500 12,500 62,500
komputer dan
printer 4 unit 500,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 40,000
Peralatan kantor 2,500,000 12,500 12,500 12,500 12,500 12,500 62,500
Radio SSB 1 unit 900,000 4,500 5,175 5,400 5,625 5,850 26,550
Handy talky 7 unit 250,000 6,500 7,475 7,280 8,125 8,450 37,830
Speed boat patroli 1 6,000,000 12,000 30,000 30,000 30,000 30,000 132,000
Longboat patroli 2 3,500,000 10,500 21,000 21,000 21,000 21,000 94,500

Pembiayaan VI - 19
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000) Total 25


No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan Harga Satuan tahun
2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 x 000.000
Motor roda 2 3 1,550,000 3,100 6,200 6,200 9,300 12,400 37,200
opeasional genset
(liter bensin) 1 tahun 9,000,000 45,000 45,000 45,000 45,000 45,000 225,000
Biaya Telpon 1 1,200,000 1,200 1,200 1,200 1,200 1,200
-
Pondok Kerja -
Pondok kerja (m) 48 3 unit 1,750,000 252,000 - - - - 252,000
Pengadaan Pondok kerja Pembebasan lahan
(KPPN.066/33.51) (m) 100 3 petak 50,000 15,000 - - - - 15,000
Genset Pondok
kerja, 1,5KW 3 unit 2,500,000 7,500 - - - - 7,500
Mesin tik 60 cm 3 1,000,000 3,000 - - - - 3,000
Radio SSB 3 25,000,000 75,000 - - - - 75,000
GPS 3 3,500,000 10,500 - - - - 10,500
Handy talky 3 5,000,000 15,000 - - - - 15,000
Longboat patroli, 25
pk 3 20,000,000 60,000 - - - - 60,000
Peralatan pondok
kerja 3 7,500,000 22,500 - - - - 22,500
Sarana air bersih 3 5,000,000 15,000 - - - - 15,000
-
Pemeliharaan Pondok kerja (m) 48 3 35,000 10,080 25,200 25,200 25,200 25,200 110,880
(KPPN.066/33.51) Operasional Genset 3 7,500,000 67,500 112,500 112,500 112,500 112,500 517,500
Operasional
longboat 3 15,000,000 135,000 225,000 258,750 310,500 281,250 1,210,500
Mesin tik 60 cm 3 50,000 450 518 540 563 585 2,655
Radio SSB 3 900,000 8,100 9,315 9,720 10,125 10,530 47,790
Handy talky 3 250,000 2,250 2,588 2,700 2,813 2,925 13,275
Longboat patroli 3 3,500,000 31,500 52,500 52,500 52,500 52,500 241,500
Peralatan pondok
kerja 3 2,500,000 22,500 25,875 27,000 28,125 29,250 132,750
-
Brosur/leaflet/buku
2 Sarana Pendidikan komik cagar alam 2 paket 5,000,000 -
Pusat data n
informasi 1 -

3 Sarana Penelitian -
Pondok Peneliti
Pengadaan pondok (dlm kompleks
penelitian(KPPN.066/33.51) kantor) 48 m 1,750,000 84,000 - - - - 84,000

Pembiayaan VI - 20
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000) Total 25


No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan Harga Satuan tahun
2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 x 000.000
Stasiun Pengamat
Cuaca 3 unit 15,000,000 15,000 - 15,000 - 15,000 45,000
Stasiun Pengamat
Air Sungai 1 unit 75,000,000 - - 75,000 - - 75,000
Pondok Peneliti
terapung (m) 48 2,000,000 - 96,000 - - - 96,000
Longboat untuk
Peneliti (40 pk) 1 unit 30,000,000 - 30,000 - - - 30,000
-
Pemelliharaan Pondok Peneliti 48 35,000 - 1,680 1,680 1,680 1,680 6,720
Stasiun Pengamat
Cuaca 1 600,000 - 600 600 600 600 2,400
Stasiun Pengamat
Air Sungai 1 1,200,000 - - - 1,200 1,200 2,400
Pondok Peneliti
terapung 48 35,000 - - 1,680 1,680 1,680 5,040
Longboat untuk
peneliti (40 pk) 1 1 7,500,000 - 37,500 37,500 37,500 37,500 150,000

Pembiayaan VI - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

VII. PENGORGANISASIAN

A. Pembinaan SDM, Kelembagaan, dan Koordinasi

A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM

Pelaksanaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan BKSDA Papua II cq Resort
Bintuni. Prinsip pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bersifat terpadu dan partisipatif. Untuk
itu dibutuhkan kerangka logis pengelolaan yang efisien dan dinamis, yang terutama
didasarkan pada strategi komunikasi, koordinasi, multistakeholders, dan pendidikan. Sebagai
pihak pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, BKSDA harus memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, untuk melancarkan kegiatan
pengelolaan kawasan dan terpadu dengan pembangunan di wilayah sekitarnya. Secara
struktural, diusulkan beberapa posisi yang bersifat fungsional penuh, untuk menunjang
pengelolaan yang optimal.

Kelembagaan Resort KSDA Teluk Bintuni yang langsung mengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni berada langsung di bawah BKSDA Papua II. Secara administratif BKSDA Papua II
akan berkoordinasi dan bertanggung jawab kepada Departemen Kehutanan. Untuk
mewujudkan pola pengelolaan yang efisien dan dinamis, dibutuhkan ukuran pengelolaan
yang kecil tetapi efektif. Kepala Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus lebih bersifat
fungsional, agar mampu mengoptimalkan pola pengelolaan yang koordinatif dan partisipatif
dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. Oleh karena itu,
program-program pengembangan sumberdaya manusia, baik berupa pelatihan dalam lingkup
Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, maupun lingkup lainnya merupakan
kebutuhan penting. Kebutuhan pelatihan bersifat dinamis, sesuai dengan
kemajuan-kemajuan teknologi dan prinsip-prinsip umum pengelolaan.

Untuk itu, jumlah personal di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni diusulkan bertambah sesuai
dengan pos pengawasan yang diusulkan, dimana setiap pos akan diisi satu sampai 2 orang
Polisi Hutan. Disamping itu perlu mengoptimalkan kemampuan teknis masing-masing
personalia yang ada dalam proses pengelolaan. Ini bertujuan untuk mengefisienkan
anggaran personalia, tetapi mengoptimalkan anggaran operasional dan pengelolaan
inventarisasi perlengkapan di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni.

Disamping itu, pola peran partisipatif masyarakat dan pihak swasta yang ada di sekitar Teluk
perlu dilibatkan. Penerapan adanya Polisi Hutan volunteer yang biayanya dibebankan kepada
pihak swasta yang berniat membantu dapat dikembangkan tetapi garis komando terhadap
Polisi Hutan ini ada di Kepala Resort dan pihak swasta hanya sebatas memberikan dukungan
berupa fasilitas.

Pengorganisasian VII - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

x Meningkatkan status pengelolaan kawasan konservasi di Teluk Bintuni menjadi seksi


KSDA mengingat di wilayah ini ada 2 kawasan cagar alam (Cagar Alam Teluk Bintuni
dan Wagura Kote) atau Cagar Alam Teluk Bintuni

x Menambah jumlah Polisi Hutan sehingga setiap wilayah pengawasan yang ada terisi
dengan Polisi Hutan penanggungjawab wilayah

x Melakukan pelatihan Polisi Hutan dalam bidang pengamanan hutan, pemberdayaan


masyarakat dan komunikasi

x Melakukan kerjasama dalam pengawasan kawasan dengan membina Polisi Hutan


volunteer dengan kerjasama pihak III

A.2. Kebijakan Pengelolaan

Di dalam pengelolaan cagar alam, semua aktivitas pengelolaan saling mendukung satu sama
lain. Aktivitas pengawasan dapat memberikan informasi dan data untuk kepentingan
pemeliharaan dan selanjutnya penataan. Di lain pihak, pelaksanaan penelitian dan
pengembangan akan memperkaya informasi untuk kepentingan pemeliharaan, pemanfaatan,
pengendalian dan pemulihan di kawasan cagar alam (Gambar VII-1).

Penataan Pemeliharaan Pemanfaatan

Pengawasan Pemulihan

Perlindungan
dan
Pengendalian Pengembangan

Gambar VII-1. Struktur Arus Informasi dari Tahapan Pelaksanaan Pengelolaan di Cagar
Alam Teluk Bintuni

Struktur organisasi dan sumberdaya manusia perlu di evaluasi terus-menerus melalui suatu
analisis beban kerja dan kebutuhan tenaga sehingga diharapkan lebih berdayaguna dan
berhasilguna serta dapat mengantisipasi beban pekerjaan yang akan dihadapi dan
direncanakan.

Pengorganisasian VII - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Dalam rangka menyesuaikan beban pekerjaan yang terus berkembang maka dari hasil
analisis diperlukan penambahan tenaga pada berbagai bidang keahlian, yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan formasi dan biaya yang
tersedia. Untuk menunjang pelaksanaan pengelolaan, kepastian hukum kawasan juga harus
menjadi perhatian. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan Cagar Alam menjadi
tanggungjawab semua pihak dan keberadaan serta pemanfaatan berhasil guna bagi
masyarakat sekitar. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

x Membentuk forum Komunikasi dan Kelompok Masyarakat Pengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni.

Forum ini dibentuk dengan tujuan cagar alam lestari. Forum ini merupakan forum
multistakeholder dan menjadi forum atau wadah komunikasi yang membicarakan semua
kegiatan yang akan dilakukan di Cagar Alam. Dalam pelaksanaannya, forum ini bisa
menjadi perpanjangan tangan atau sumber informasi bagi Badan Monitoring

Pada sisi lain, kelompok masyarakat yang mencari nafkah dari dalam kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni juga harus diorganisir. Tujuannya adalah untuk memudahkan
pengawasan dan koordinasi sekaligus menjadi mata rantai pengawasan di seluruh
kawasan cagar alam

x Membantu pemerintah daerah dalam perumusan peraturan daerah khusus untuk


keberadaan kawasan konservasi Cagar Alam dalam tata ruang kabupaten.

A.3. Koordinasi Dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan antara pengelola CATB dengan instansi di
atasnya yaitu BKSDA Papua II Sorong. Koordinasi khususnya dibutuhkan untuk menjangkau
pihak-pihak di lain dalam intansi Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi dan Pusat,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, dan swasta.

A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain

Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan oleh pengelola Cagar Alam (Resort BKSDA)
dengan instansi terkait lain di dalam kabupaten dapat berlangsung optimal untuk membuka
peluang koordinasi dan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Koordinasi secara khusus dengan pemerintah Pemerintah Propinsi dan Pusat,
Lembaga Pendidikan dan Penelitian, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
media massa, dan swasta dilakukan oleh BKSDA atau Resort dengan sepengetahuan
BKSDA Papua II.

Pengorganisasian VII - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

1. Lingkup Pemerintah Kabupaten

Agar strategi dan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat sejalan
dan terpadu dengan strategi dan program pembangunan Daerah Kabupaten Teluk
Bintuni, maka pengelola CATB harus berkoordinasi dengan instansi dalam lingkup
Pemerintah Kabupaten, sebagai berikut: 1) Dinas Perikanan dan Kelautan; 2) Dinas
Pariwisata; 3) Dinas Kehutanan; 4) Dinas Tanaman Pangan; 5) Dinas Perhubungan; 6)
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah; 7) Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah; 8) Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 9) Dinas Pendidikan; 10) Dinas
Permukiman dan Prasarana Wilayah; serta 11) Kepolisian dan TNI. Bentuk koordinasi
yang dilakukan dalam hal ini berupa pelaporan, informasi, kerja sama kegiatan, dan
konsultasi.

2. Lingkup Pemerintah Propinsi dan Pusat

BKSDA Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus berkoordinasi dengan Pemerintah
Propinsi Irian Jaya Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dan instansi
teknis lainnya Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, informasi dan
kerjasama kegiatan.

3. Lembaga Pendidikan dan Penelitian

Dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia, berkaitan dengan keterlibatan


masyarakat luas serta usaha peningkatan kesadartahuan masyarakat tentang nilai dan
manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni, maka koordinasi dalam kegiatan pendidikan dan
penelitian sangat penting dilakukan. Koordinasi tersebut meliputi: 1) Lembaga Pendidikan
Dasar, Menengah, dan Umum se Kabupaten Teluk Bintuni dan 2) Perguruan Tinggi.

Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, kerjasama kegiatan dan konsultasi.
Kegiatan-kegiatan penelitian oleh lembaga-lembaga internasional untuk tingkat
operasional diatur sepenuhnya oleh Ditjen PHKA dan BKSDA Papua II Sorong.

4. Masyarakat Setempat

Guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan yang efisien dan partisipatif, maka


koordinasi dengan masyarakat setempat sangat penting dilakukan. Koordinasi dengan
masyarakat setempat, terutama dengan: 1) Aparat desa; 2) Badan Perwakilan Kampung
atau Lembaga Masyarakat Adat (LMA); 3) Tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua
kegiatan koordinasi dengan masyarakat setempat dilaporkan kepada BKSDA Papua II
Sorong dan Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

Pengorganisasian VII - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

5. Lembaga Swadaya Masyarakat

LSM memiliki peran penting baik sebagai fasilitator atau pendamping masyarakat,
maupun sebagai pengumpan masukan-masukan alternatif bagi strategi dan kebijakan
pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk itu koordinasi antara Resort Cagar Alam
Teluk Bintuni dengan LSM baik di Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya, maupun dari
luar teluk, sangat dibutuhkan. Koordinasi tersebut terutama dengan:

1) LSM internasional: The Nature Conservancy (TNC), WWF, Conservation International


(CI) dan lain-lain

2) LSM nasional: Yayasan Kehati, Walhi, dan sebagainya

3) LSM lokal: , dan lain-lain

Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua
kegiatan koordinasi dengan LSM dilaporkan kepada BKSDA Papua II Sorong dan
Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

6. Media Massa

Usaha untuk menumbuhkan kesadartahuan dan keterlibatan masyarakat dalarn


pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sulit tercapai apabila komunikasi dan informasl
hanya dilakukan oleh Kepala Resort Cagar Alam Teluk Bintuni atau BKSDA Papua II
Sorong. Dukungan media massa bagi strategi komunikasi dan informasi pengelolaan
akan memperluas daya imbasnya, tidak hanya untuk masyarakat sekitar tetapi juga
mampu menjangkau tingkat nasional dan internasional. Media masa dalam hal ini, adalah
media cetak, media elektronik, dan media alternatif.

7. Swasta

Koordinasi dengan swasta juga tidak kalah penting, terutama perusahaan besar di
Kabupaten Teluk Bintuni. Perusahaan swasta ini bisa berperan aktif bersama Resort
untuk mengawasi atau pengamanan kawasan Cagar Alam. Swasta bisa juga berperan
dalam memfasilitasi keberadaan Polisi Hutan volunteer untuk pengawasan.

Secara umum, para pemangku kepentingan di Teluk Bintuni yang dapat berperan dalam
pengelolaan Cagar Alam perlu mengetahui peran apa saja yang bisa dilakukan. Masyarakat
sebagai salah satu pemangku kepentingan (stake holder) dapat berperan sebagai Polisi
Hutan volunteer yang membantu proses pengawasan sekaligus juga menjadi pengguna jasa
cagar alam. Masyarakat di dalam pengelolaan cagar alam bias menjadi perpanjangan
tangan dari kepala Polisi Hutan sebagai pengelola teknis di daerah pengelolaan cagar alam
untuk mengumpulkan banyak informasi yang berguna bagi pengelolaan.

Pengorganisasian VII - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Disamping itu, masyarakat juga bias berperan sama untuk badan monitoring. Kondisi ini
menempatkan pelaksana teknis pengelolaan akan diawasi secara menyeluruh, baik oleh
masyarakat maupun oleh badan monitoring. Akan tetapi dalam perannya untuk pengelolaan,
masyarakat juga harus berkoordinasi dengan cagar alam.

Ka BKSDA Papua II Badan Monitoring


Sorong
Masyarakat

Dalam Kawasan CA dan x Universitas Papua


Swasta di sekitar kawasan CA x LMA
Teluk Bintuni x Bappeda Kab TB
Kepala Ressort x Dinas Kehutanan
Cagar Alam
x Dinas Perikanan
Teluk Bintuni

Polisi Forum Kelompok


Hutan Komunikasi Pemanfaat

Gambar VII-2. Struktur Sistem Pengelolaan Kawasan Cagar Alam

Posisi bada monitoring yang berada di luar struktur internal BKSDA ataupun pelaksana teknis
Cagar Alam membuat badan ini lebih independent dalam melakukan tugasnya untuk
mengawasi pelaksanaan pengelolaan tetapi badan ini terikat kepada rencana pengelolaan
kawasan. Keanggotaan dari badan yang cukup beragam akan membuat sinkronisasi
kegiatan dengan instansi terkait di lingkup Kabupaten Teluk Bintuni bias berjalan dengan baik
(Gambar VII-2).

B. Tanggungjawab dan Administrasi

Secara administrasi, tanggungjawab pelaksanaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni


berada di bawah BKSDA Papua II Sorong. Di dalam pelaksana teknis, kepala resort
bertanggungjawab sepenuhnya bagaimana melakukan implementasi pengelolaan kawasan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan, dikembangkan adanya peran badan monitoring
pengelolaan kawasan yang direncanakan dalam dokumen rencana pengelolaan. Badan ini
akan memberikan input kepada resort dan BKSDA sebagai penanggungjawab.

Pengorganisasian VII - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Ka BKSDA Papua II
Sorong Badan Monitoring

x Universitas Papua
x LMA
x Bappeda Kab TB
Kepala Polisi Hutan x Dinas Kehutanan
Administrasi Cagar Alam Teluk Bintuni x Dinas Perikanan

Ka Wilayah Naramasa
Ka Wilayah Mamuranu Ka Wilayah Tirasai

Polisi Hutan Polisi Hutan Polisi Hutan

Gambar VII-3. Struktur Organisasi Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Kawasan CATB (Cagar Alam Teluk Bintuni) dengan luasan yang cukup besar sebaiknya
dikelola dengan jumlah staf yang memadai. Untuk itu direncanakan untuk menambah staf
dan struktur pengelola dengan membuat adanya kantor pembantu pada beberapa wilayah,
seperti Naramasa, Mamuranu, Tirasai. Setiap kantor wilayah ini akan bertanggungjawab ke
kepala resort dalam melaksanakan tugas pengelolaan kawasan. Di setiap wilayah pembantu
akan diisi juga dengan Polisi Hutan (Gambar VII-3).

Tugas dan Fungsi :

Kepala Polisi Hutan

1. Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan

2. Mengkoordinir Polisi Hutan yang ada di Cagar Alam Teluk Bintuni dalam melaksanakan
tugas pengelolaan kawasan

3. Bertanggungjawab terhadap koordinasi dengan instansi lain yang ada di Kabupaten


Teluk Bintuni

4. Membangun kerjasama dengan instansi swasta yang ada di Kabupaten untuk


Pengelolaan CA dan melaporkan kepada Ka BKSDA

5. Menyusun pengawasan dan evaluasi bulanan pelaksanaan rencana pengelolaan

6. Memberikan laporan pelaksanaan kepada Kepala BKSDA Papua II Sorong

Polisi Hutan

1. melakukan tugas Polisi Hutan

Pengorganisasian VII - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. membantu kepala Polisi Hutan dalam pengelolaan CA

3. memberikan laporan dan evaluasi pekerjaan setiap bulan kepada kepala Polisi Hutan

Administrasi

1. Melakukan tugas adminstrasi kantor resort

2. Bertanggungjawab terhadap dokumentasi kegiatan resort

3. Membantu kepala Polisi Hutan dalam pengarsipan dokumen penelitian dan rencana
penelitian

4. Membantu kepala Polisi Hutan dalam mengelola data base kawasan

5. Membantu kepala Polisi Hutan dalam mengkoordinasi kegiatan penelitian di kawasan

C. Penyusunan Staf

Kebutuhan staf untuk pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu ditingkatkan baik jumlah
maupun kualitas. Untuk luas CATB yang mencapai 124.000 Ha dibutuhkan tambahan tenaga
Polisi Hutan yang bisa berfungsi ganda, baik dalam pengawasan, penyuluhan dan
pembinaan masyarakat. Untuk efisien dan efektifnya pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni,
kebutuhan tenaga tidak hanya dari jumlah tetapi juga kualifikasi harus memadai. Kulitas
pengelola juga bisa dipenuhi dengan adanya pelatihan.

Kepala Polisi Hutan/Kepala Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni/Kepala Resort :

x Pendidikan Sarjana/D3 Kehutanan masa kerja 3-5 tahun, atau

SMA dengan masa kerja lebih dari 15 tahun bekerja sebagai Polisi Hutan di Cagar
Alam

x Pernah mengikuti pendidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penjenjang teknis
kehutanan (PTK), pelatihan penyusunan program, pemberdayaan masyarakat,
penyuluhan dan perencanaan partisipatif.

Kepala Wilayah (penanggungjawab wilayah) :

x Pendidikan D3 Kehutanan masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa kerja 5-10
Tahun sebagai Polisi Hutan

x Pernah mengikuti pelatihan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat

Polisi Hutan (Pohut)

1. Mengikuti pendidikan polisi kehutanan

Staf Komputer dan Administrasi

Pengorganisasian VII - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. Pendidikan D3 komputer/administrasi masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa
kerja 5-7 tahun di bidang komputer/administrasi

Kebutuhan tenaga untuk pengelolaan Cagar Alam direncanakan akan dipenuhi sampai pada
periode 2020 dan kapasitasnya juga akan diperkuat melalui kegiatan pelatihan dan kursus.
Bila kebutuhan staf di daerah tidak ada yang memenuhi, maka syarat minimal harus dipenuhi
dan ketrampilan akan dipenuhi lewat pelatihan (Tabel VII-1) dan rencana kebutuhan
pembiayaan didasarkan kepada standard biaya 2005 (Tabel VII-2)

Tabel VII-1. Kondisi Staf Pengelola Cagar Alam dan Rencana Pemenuhan Staf berserta
Rencana Pelatihan

Kebutuhan Staff Pemenuhan Tenaga


Kualifikasi
No Aktivitas/Kegiatan 2006- 2011- 2016- 2021- 2026-
Eksisting Kebutuhan Selisih
2010 2015 2020 2025 2030
A Staf
1 Polisi Hutan Senior/Kepala 1 1 0 Sarjana/ 0
Resort D3
2 Polisi Hutan (polhut)
x Polhut Pelaksana Pemula 0 6 6 D3/ SLTA 3 2 1

x Polhut Pelaksana 1 6 5 D3/ SLTA 2 3


3 Administrasi
Staf komputer dan 0 1 1 D3/ SLTA 1
administrasi
B Pelatihan
x Pelatihan Pengenalan - ¥ 3 1 1 1 1
Jenis

x Pelathan Pemberdayaan - ¥ 3 2 1 1 1
Masyarakat
x Pelatihan Penyusunan - ¥ 3 1 1 1 1
Program
x Pelatihan Penyuluhan - ¥ 3 2 1 1 1

x Pelatihan Pembuatan Data - ¥ 2 1


Base
x Pelatihan GIS - ¥ 1 1 1 1 1

x Pelatihan Perencanaan - ¥ 1 1 1 1 1
Partisipatif

Pengorganisasian VII - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel VII-2. Rencana Kebutuhan Biaya Pemenuhan Staf dan Rencana Pelatihan di Cagar
Alam Teluk Bintuni

Rencana Biaya (Rp. X 000)


No Aktivitas/Kegiatan 2006- 2011- 2016- 2021- 2026- Sumber
2010 2015 2020 2025 2030 Dana
A Staf APBN
1 Polisi Hutan Senior/Kepala 96,000,
Resort
2 x Polisi Hutan (polisi Hutan)
x Polhut Pelaksana Pemula 396,000
x Polhut Pelaksana 468,000
3 x Administrasi
x Staf komputer dan 60,000
administrasi
B Pelatihan dan Kursus APBN,
Swasta
x Pelatihan Pengenalan Jenis 15,000 6,500 7,150 7,865 8,651
x Pelathan Pemberdayaan 12,000 8,800 4,400 4,400 4,400
Masyarakat
x Pelatihan Penyusunan 15,000 5,000 5,000 5,000 5,000
Program
x Pelatihan Penyuluhan 12,000 8,800 4,400 4,400 4,400
x Pelatihan Pembuatan Data 6,000 3,000
Base
x Pelatihan GIS 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000
x Pelatihan Perencanaan 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000
Partisipatif

Pengorganisasian VII - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

VIII. MONITORING DAN EVALUASI

Kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan proses yang
berkelanjutan, sehingga pemantauan dan evaluasi kegiatan merupakan hal yang sangat
penting dilakukan agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang ditetapkan. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru
akan muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa
strategi-strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu
dievaluasi dan dimodifikasi.

Secara umum melakukan kegiatan monitoring berarti melakukan dua hal, yaitu pertama
pemantauan atas rencana-rencana yang telah dibuat, kedua membandingkan kinerja dengan
ukuran yang telah di buat, memutuskan apakah perlu ada perubahan rencana dan membuat
perbaikan-perbaikan. Tetapi, dalam sistem manajemen konservasi, terminologi ini
dimodifikasi untuk mengetahui perbedaan antara kejadian-kejadian alami, survei,
pemantauan, pengamatan dan penelitian. Sedangkan evaluasi berarti mengidentifikasi apa
yang sudah dicapai dan mana yang belum serta apa yang harusnya dilakukan ke depan
dengan melibatkan atau mengumpulkan umpan balik dari stakeholder-stakeholder kunci dan
pengelola.

A. PELAKSANA KEGIATAN

Kegiatan pemantauan yang dilanjutkan dengan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan


kawasan disarankan untuk dilakukan oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni
maupun oleh Forum komunikasi yang independen.

A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Pemantaun dan evaluasi yang dilakukan disini adalah merupakan kegiatan rutin dari
pengelola kawasan terhadap kinerja anggota pengelola. Pemantauan dan evaluasi oleh
unsur internal ini bisa berupa pengawasan melekat oleh atasan langsung baik di kantor
maupun di lapangan. Pengawasan tersebut bisa diwujudkan berupa kegiatan pembinaan ke
lokasi secara reguler atau dengan kunjungan/inspeksi mendadak.

Cara lain untuk pemantauan dan evaluasi kegiatan adalah dengan mengirimkan laporan
periodik dan laporan khusus dari hirarki yang lebih rendah kepada pejabat di atasnya
(misalnya dari petugas wilayah kepada kepala resort, dst). Demikian juga pelaksanaan rapat
rutin yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional, serta rapat berkala
yang diikuti oleh semua pegawai Ressort KSDA Teluk Bintuni. Hal ini akan sangat efektif
dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan baik yang menyangkut kemajuan

Monitoring dan Evaluasi VIII - 1


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

kegiatan maupun permasalahan yang dihadapi. Pemecahan masalah biasanya dapat lebih
cepat ditangani dibanding hanya komunikasi surat atau laporan.

A.2. Forum Komunikasi Independen

Selain Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang
dilakukan oleh pengelola kawasan, kehadiran dan peran suatu Forum Komunikasi yang
independen sangat diperlukan. Forum ini diharapkan selain berperan dalam mengevaluasi
kinerja rencana kerja yang telah dibuat, juga berfungsi sebagai kontrol dalam pelaksanaan
kegiatan pengelolaan kawasan.

A.2.1 Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB

Untuk keperluan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan, komposisi


forum komunikasi diharapkan memperhatikan tidak hanya kapasitas personil tetapi juga
faktor keterwakilan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan pengelolaan
kawasan. Berikut adalah komposisi forum komunikasi yang akan dusulkan dengan
memperhatikan aspek kemampuan pelaksana dan keterwakilan pemangku kepentingan
utama dalam pengelolaan kawasan:

1. Universitas Negeri Papua

Institusi ini perlu mendapat pertimbangan sebagai pelaksana kegiatan monitoring dan
evaluasi kegiatan pengelolaan. Dari segi kemampuan personil yang ada, tidak diragukan
lagi institusi ini telah memiliki sumberdaya manusia yang handal dan pengalaman dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan baik kawasan
konservasi maupun kegiatan kehutanan lainnya. Disamping itu, dukungan peralatan
yang ada dirasa cukup memadai untuk suatu kegiatan pemantauan dan evaluasi. Saat
ini institusi ini telah memiliki laboratorium Geographical Information System (GIS) dengan
beberapa perangkat keras dan lunak yang memadai dan dipimpin oleh seorang kepala
laboratorium yang telah memiliki kualifikasi yang cukup dalam memonitor dinamika suatu
kawasan konservasi. Berikut adalah kondisi peralatan dan personil pendukung yang ada
di Laboratorium GIS yang bernaung di bawah Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri
Papua Manokwari seperti disajikan pada Tabel VIII-1. dan VIII-2.

Monitoring dan Evaluasi VIII - 2


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel VIII-1. Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa

No. Nama Spesifikasi Jumlah Sumber Tahun Status Ket.


Barang Pengadaan
1. Komputer Pentium I, 256 1 Unit - - Inventaris Baik
Hardwares MHz, 16 M, 40 G
Pentium II, 256 1 Unit P2T, Faperta 2000 Inventaris Baik
MHz, 32 M, 2 G Uncen
Pentium IV, 1,7 1 Unit Semi Que IV 2002 Inventaris Baik
GHz, 600 Mb, 20 G Jrs Kehutanan
Pentium IV, 3.0 1 Unit Diploma 2003 Inventaris Baik
GHz, 1.0 Gb, 20 G MHAP
Fahutan Unipa
Pentium IV, 2.26 5 Unit Diploma 2004 Inventaris Baik
GHz, 261 Mb, 40 G MHAP
Fahutan Unipa
2. Komputer ILWIS 3.1, 1 Unit 2000 Inventaris Baik
Soft wares Lisenced
ArcView 3.3 1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik
Lisenced
Citra Landsat 7 5 Scene TNC 2002 Inventaris Baik
ETM, Teluk Bintuni
Citra Landsat 7 5 Scene Proyek Atlas 2002 Inventaris
ETM. Sarmi SD Pesisir
Unipa
3. Meja 1 Unit Semi Que IV 2002 Baik
Digitasi Jrs Kehutanan
Portable
4. Meja 1 Unit Bappeda TK I 1999 Pinjaman Baik
Digitasi Irian Jaya
Gulung
5. Ploter A1, Epson Stylus 1 Unit P2T Faperta 2000 Inventaris Baik
pro 7500 Uncen
6. Ploter Calcom 1 Unit Bappeda TK I 2000 Pinjaman Baik
Irian Jaya
7. Scanner 1 Unit P2T Faperta 2000 Inventaris Rusa
Uncen k
8. D-Link 10/100 Fast 1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik
Ethernet Switch
DES-1008D, 8 link
9. Kamera Kodak Easy Share 1 Unit P2T Faperta 2000 Inventaris Baik
Digital Uncen
10. UPS Pro Link Pro 2100, 1 Unit Semi Que IV 2003 Inventaris Baik
1000 W Jrs Kehutanan
11. Stabilazer UNION 50/60 Hz, 1 Unit Semi Que IV 2002 Inventaris Baik
500 VA Jrs Kehutanan
12. Elektrik - - Lab. 2002/ Inventaris Baik
Kid Biometrika dan 2005
GIS

Monitoring dan Evaluasi VIII - 3


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Tabel VIII.2. Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa

No. Nama pengelola Kualifikasi Pelatihan SIG Sponsor

1. Yosias Gandhi Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk TNC &


pengelolaan Kawasan CA Tahun UNIPA
2001, Unipa Manokwari.
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi TNC
Mangrove di Teluk Bintuni Tahun
2001, Unipa Manokwari
3. Presentasi Hasil Pelatihan SIG pada TNC
CA Teluk Bintuni di Biologi Conference
IV, Goroka, PNGTahun 2002,
4. Remote Sensing and GIS for Coastal TNC
Zone ManagementTahun 2003,
BIOTROP, Bogor
2. Julius D. Nugroho Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk TNC &
pengelolaan Kawasan CA Tahun UNIPA
2001, Unipa Manokwari.
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi TNC
Mangrove di Teluk Bintuni Tahun
2001, Unipa Manokwari
3. Remote Sensing and GIS for Coastal TNC
Zone Management Tahun 2003,
BIOTROP, Bogor
3. Yoseph Rahawarin Sarjana 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk TNC &
pengelolaan Kawasan CA Tahun UNIPA
2001, Unipa Manokwari.
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi TNC
Mangrove di Teluk Bintuni Tahun
2001, Unipa Manokwari
4. Christian Imburi Sarjana Magang SIG untuk pemula di Biotrop, Unipa
Bogor, Tahun 2004, BIOTROP, Bogor
5. Fransina Kesaulija Sarjana Pelatihan Pengenalan SIG untuk TNC &
pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, UNIPA
Unipa Manokwari.

Selain itu, institusi ini telah beberapa kali menjalin kerjasama dengan beberapa LSM dan
Pemerintah Daerah dalam penelitian dan pengkajian di kawasan Teluk Bintuni, termasuk
daerah Cagar Alam Teluk Bintuni. Kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi ini dalam
kegiatan monitoring dan evaluasi adalah lebih banyak difokuskan pada pemantauan dan
mengevaluasi keberhasilan kegiatan, membantu mengidentifikasi dan memfasilitasi
pemecahan masalah-masalah, khususnya yang berhubungan dengan aspek keilmuan yang
dihadapi pengelola.

2. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Selain melakukan monitoring dan evaluasi internal sebagai institusi pengelola, sebagai
pemegang kendali kegiatan pengelolaan kawasan, institusi ini juga diharapkan berperan
dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi secara eksternal. Dari peran dan fungsi yang akan

Monitoring dan Evaluasi VIII - 4


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

dimainkan oleh institusi ini dalam kegiatan pengelolaan, segala bentuk permasalahan dan
hambatan dalam implementasi rencana kegiatan di lapangan akan lebih banyak diketahui
oleh institusi ini. Sehingga diharapkan dalam kegiatan evaluasi kegiatan pengelolaan yang
akan dilakukan oleh forum komunikasi, institusi akan banyak berperan dalam
mengkomunikasikan masalah dan hambatan yang ditemui dengan stakeholder yang lain
dalam di forum ini.

3. Masyarakat adat yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa dalam keberhasilan kegiatan pengelolaan


kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus banyak melibatkan komponen masyarakat adat
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Selain partisipasi langsung masyarakat dalam
kegiatan rencana kelola, peran masyarakat adat, yang di wakili oleh Lembaga Musyawara
Adat (LMA) Bintuni dan Lemasom, dalam kegiatan monitoring sekaligus evaluasi
implementasi kegiatan pengelolaan dirasa penting. Peran masyarakat adat dalam kegiatan
monitoring dan evaluasi lebih di fokuskan pada mengkaji atau memantau peristiwa-peristiwa
yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap nilai dan fungsi kawasan. Kegiatan ini
umumnya adalah koordinasi kegiatan dalam bentuk bentuk konsultasi, pengarahan dan
kerjasama dengan kelompok target yang beragam, sesuai dengan tipe kelompok pemanfaat
dan tipe dampak. Koordinasi untuk kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan meliputi
Forum Koordinasi dan Wadah Partisipasi. Koordinasi juga diperlukan dengan masyarakat
setempat, serta pemanfaat potensi kawasan yang lainnya. Melalui koordinasi dan peran serta
masyarakat, pengelolaan yang efisien, terutama dalam pemantauan dan evaluasi, dapat
tercapai.

4. Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni

Sebagai institusi perencana di Kabupaten Teluk Bintuni, Badan ini diharapkan memainkan
peran lebih banyak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Institusi ini memang masih relatif baru seiring dengan pemekaran Kabupaten Teluk
Bintuni, namun kapasitas institusi ini yang didukung oleh sumberdaya manusia yang ada
tidak diragukan lagi dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Apalagi di dalam struktur
organisasi, Badan ini telah dilengkapi dengan Sub Bagian Monitoring dan Evaluasi. Peran
yang bisa dimainkan oleh institusi ini menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi adalah
memfasilitasi pemecahan dan penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan
pembangunan dan pengembangan yang dilakukan oleh dengan pemerintah daerah.

5. Dinas terkait di Kabupaten seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan dan
Kelautan.

Selain Badan Perencana Daerah (Bappeda) Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas-Dinas yang
relevan dengan kegiatan pengelolaan kawasan, perlu dipertimbangan sebagai anggota

Monitoring dan Evaluasi VIII - 5


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

forum komunikasi yang diusulkan. Dinas-Dinas yang terkait langsung dan dianggap sebagai
mitra kerja pengelola adalah Dinas Kehutanan (DINHUT) dan Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP). Dari luasan kawasan yang ada (±124.850 ha), sebagian besar terdiri dari ekosistem
mangrove dan hutan dataran rendah, serta pada bagian tertentu berbatasan dengan hutan
produksi dan hutan lindung. Hal ini membuat aktivitas perikanan dan kehutanan di dalam dan
sekitar kawasan tidak dapat terelekan, sehingga peranan kedua pemangku kepentingan
(stakeholder) ini mutlak diperlukan baik dalam kegiatan pengelolaan maupun monitoring dan
evaluasi. Peran penting yang bisa diambil oleh kedua institusi ini adalah dalam hal
memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan khususnya yang berkaitan dengan
masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan.

Forum komunikasi yang diusulkan perlu di perkuat dengan Surat Keputusan Bupati, sehingga
keberadaanya dalam struktur hukum di Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menjadi jelas.
Berdasarkan kondisi stakeholder yang disebutkan di atas, diusulkan forum independen ini
bisa di bawah koordinasi Universitas Negeri Papua (UNIPA), namun tidak tertutup
kemungkinan pada saatnya nanti koordinator badan ini dipercayakan pada stakeholder yang
lain seperti Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

A.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab

Tugas utama dari forum ini antara lain :

1. Memonitor pelaksanaan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh BKSDA Papua II


Sorong dan Ressort Teluk Bintuni

2. Melakukan evaluasi terhadap implementasi kegiatan sesuai dengan rencana


pengelolaan yang sudah ditetapkan.

3. Membantu pengelola dalam memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan,


khususnya yang berkaitan dengan masyarakat.

4. Memberikan masukan kepada pengelola bila dari hasil evaluasi terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah digariskan sebelumnya.

5. Membuat laporan evaluasi implementasi kegiatan rencana pengelolaan kawasan


yang disampaikan kepada pengelola dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk
Bintuni.

Dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, forum independen yang dibentuk akan
selalu berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong dan kepala
Resort KSDA Bintuni sebagai pemegang mandat utama pengelola kawasan serta masyarakat
(Jagawana Voluntir, Forum Komunikasi, dan Kelompok Pemanfaat) di dalam dan sekitar
kawasan (Gambar VII-1). Apabila dirasa perlu, forum ini dapat melakukan pengecekan
lapangan (site visit) untuk melihat langsung kondisi lapangan yang sebenarnya.

Monitoring dan Evaluasi VIII - 6


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

A.2.3 Sumberdaya pendudung

Dalam memperlancar kinerja, forum yang diusulkan harus dilengkapi dengan fasilitas
penunjang serta peningkatan kemampuan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh Lab GIS di
Unipa Manokwari dirasa sudah cukup memadai, namun masih perlu pengadaan beberapa
perangkat lunak seperti foto citra satelit (Satelite imagenery) dan perangkat pengolahan data
digital.

Selain itu dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi, dirasa perlu untuk didukung oleh
semacam pedoman pernantauan lapangan yang bersifat populer, sehingga dapat membantu
pemantauan dan pengawasan potensi Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Hal ini
penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai dan manfaat kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni terletak pada senjang (gap) antara kegiatan teknis pelestarian
dengan penginformasian kepada masyarakat luas.

Selain ditunjang oleh peralatan yang memadai, badan ini juga perlu ditunjang oleh
kemampuan personil yang kualified. Salah satu strategi dalam yang bisa dilakukan dalam
memfasilitasi peningkatan kemampuan (capacity building) dari personil dalam forum yang
diusulkan adalah melalui pelatihan-pelatihan yang terprogram. Pelatihan atau kursus yang
bisa diusulkan dalam menunjang kegiatan forum ini antara lain:

1. Pelatihan pengenalan sistem informasi geografis (SIG) yang bisa difasilitasi oleh
pengelola Lab GIS di Unipa Manokwari dan kerjasama dengan LSM Internasional
seperti The Nature Conservancy (TNC).

2. Pelatihan sistem monitoring dan evaluasi proyek yang bisa di fasilitasi oleh Unipa dan
Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

3. Khusus untuk masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat (LMA)
kampung, pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan adalah pelatihan untuk
penggunaan pedoman pernantauan lapangan, yang bisa difasilitasi oleh pengelola
kawasan yang didukung koordinasi dengan pihak-pihak LSM.

B. RENCANA WAKTU PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Dalam implementasinya, strategi-strategi pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni


perlu dimonitor dan di evaluasi untuk setiap periode waktu implementasi kegiatan tertentu
oleh unsur internal pengelola kawasan maupun oleh suatu forum komunikasi independen.

B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni


Khusus untuk pemantauan dan evaluasi oleh unsur internal pengelola kawasan, Kepala
Kesort sebagai agen pelaksana kegiatan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni diharuskan
melakukan monitoring dan evaluasi terjadwal secara internal terhadap semua implementasi

Monitoring dan Evaluasi VIII - 7


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

rencana kegiatan pengelolaan kawasan (Bab V) yang dijabarkan lebih lanjut pada pada
Tabel VIII-3.

Tabel VIII-3. Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan.

Waktu Bentuk Kegiatan


No.
Pelaksanaan Monitoring Evaluasi
1. Bulanan Melakukan pemantauan terhadap Mengevaluasi seluruh kegiatan
semua kegiatan pengelolaan yang selama satu bulan yang dituangkan
dilakukan selama sebulan penuh dalam bentuk laporan bulanan yang
yang meliputi hal-hal: disampaikan kepada BKSDA Papua II.
x Target dan Realisasi kegiatan
dan pembiayaan.
x Masalah dan hambatan yang
ditemui di lapangan.
x Kinerja personil pelaksana
kegiatan.
2. Triwulan Melakukan pemantauan terhadap 1. Rapat evaluasi implementasi
semua kegiatan pengelolaan yang kegiatan pengelolaan yang diikuti
dilakukan selama tiga bula terakhir oleh semua unsur pimpinan
yang difokuskan pada hal-hal struktural dan fungsional pengelola
seperti pada pemantauan bulanan. kawasan.
2. Laporan rutin yang disampaikan
kepada BKSDA Papua II.
3. Semesteran Melakukan pemantauan terhadap 1. Rapat evaluasi implementasi
semua kegiatan pengelolaan yang kegiatan pengelolaan yang diikuti
dilakukan selama enam bulan oleh semua unsur pimpinan
terakhir yang difokuskan pada hal- struktural dan fungsional pengelola
hal seperti pada pemantauan kawasan.
bulanan. 2. Laporan rutin yang disampaikan
kepada BKSDA Papua II.
4. Tahunan Pemantauan secara menyeluruh 1. Rapat berkala untuk
terhadap semua kegiatan mengevaluasi komprehensif
pengelolaan yang dilakukan selama terhadap seluruh implementasi
satu tahun. kegiatan pengelolaan yang diikuti
oleh seluruh pengelola kawasan.
2. Laporan tahunan yang
disampaikan kepada BKSDA
Papua II.

B.2. Forum komunikasi Independen

B.2.1 Lingkup Kegiatan Badan Forum komunikasi Independen

Kegiatan monitoring oleh forum komunikasi independen terhadap implementasi rencana


pengelolaan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

1. Monitoring dan evaluasi menyeluruh terhadap semua rencana pengelolaan kawasan


dan semua tujuan yang telah digariskan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali.

2. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk semua aspek dalam rencana kelola
akan dievaluasi setiap tahun.

Monitoring dan Evaluasi VIII - 8


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

3. Apabila diperlukan, sewaktu-waktu dapat dilakukan monitoring dan evaluasi, namun


hanya bersifat insidensial.

Sebagai pedoman dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap strategi-strategi yang
diimplementasikan, mengacu kepada rencana kegiatan pengelolaan (Bab V) dan
pembiayaan (Bab VI).

B.2.2 Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen

Berdasarkan lingkup kerja seperti diuraikan sebelumnya, forum ini akan bekerja berdasarkan
skenario seperti ditampilkan pada diagram alur berikut:

FORUM PENGELOLA
KOMUNIKASI KAWASAN

Saran, solusi
pemecahan masalah,
dan atau revisi
program

Monitoring dan IMPLEMENTASI Implementasi kegiatan


Evaluasi Tahunan KEGIATAN tidak berjalan sesuai
TAHUNAN rencana kegiatan

Saran, solusi
pemecahan masalah,
dan atau revisi
program serta
IMPLEMETASI peninjauan kembali
KEGIATAN DI atau perubahan
SETUJUI rencana pengelolaan
yang ada

Monitoring dan IMPLEMENTASI Implementasi kegiatan


Evaluasi KEGIATAN LIMA tidak berjalan sesuai
Lima -Tahunan TAHUNAN rencana kegiatan

IMPLEMETASI
KEGIATAN DI
SETUJUI

Gambar. VII-1. Mekanisme Kerja Forum komunikasi Independen

Monitoring dan Evaluasi VIII - 9


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Dari gambar di atas dapat dijelaskan mekanisme kerja Forum komunikasi Independen adalah
sebagai berikut:

1. Forum ini akan melalukan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan


pengelolaan setiap tahun;

2. Apabila ditemukan permasalahan, hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan
sesuai rencana kegiatan, maka forum ini wajib memberikan saran, solusi
pemecahan masalah, dan atau revisi program kepada pihak pengelola;

3. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan tahunan tidak ditemukan


permasalahan, hambatan dan atau hal yang berjalan tidak sesuai rencana
kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang
ditindaklanjuti dalam bentuk laporan tertulis. Kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan Monitoring dan evaluasi limatahunan.

4. Apabila dalam kegiatan MONEV lima tahunan ditemukan permasalahan,


hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana kegiatan, maka
forum ini wajib memberikan saran, solusi pemecahan masalah, dan atau revisi
program kepada pihak pengelola. Apabila diperlukan, dilakukan peninjauan
kembali atau perubahan rencana pengelolaan yang ada.

5. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan lima-tahunan tidak ditemukan


permasalahan, hambatan dan atau hal yang tidak berjalan sesuai rencana
kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang
ditindak lanjuti dalam bentuk laporan tertulis.

Monitoring dan Evaluasi VIII - 10


Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

IX. PENUTUP

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bukan merupakan suatu rencana
pengelolaan yang kaku yang harus digunakan untuk mengelola kawasan yang memiliki
proses ekologis yang rumit. Ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki ekosistem pesisir
pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove dan perairan sehingga dalam pengelolaannya
dibutuhkan suatu piranti yang dinamis. Komitmen pihak pengelola terhadap kelompok-
kelompok terkait merupakan landasan penting bagi suatu pengelolaan yang dinamis.
Kerangka utama dalam pengelolaan dinamis adalah peran serta dan koordinasi lintas
sektoral dari semua pemangku kepentingan di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah suatu dokumen yang memiliki nilai
akomodatif, partisipasi dan transparansi yang tinggi, karena dokumen ini disusun
berdasarkan hasil dari serangkaian proses yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk
masyarakat pemilik hak ulayat. Dokumen ini akan menjadi acuan bagi pemerintah dan
stakeholder di dalam melakukan kegiatan pengelolaan CATB pada periode 25 tahun ke
depan. Dokumen ini juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan koordinasi berbagai
instansi sehingga diperoleh sinergitas dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang
direncanakan.

Dalam implementasinya, dokumen ini diharapkan akan dilegalisasi dengan keputusan Bupati

Teluk Bintuni sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa program yang
dirumuskan, telah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari instansi teknis terkait
pada lingkup pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan juga telah mengakomodir berbagai
kepentingan stakeholder pendukung pengelolaan kawasan CATB serta tetap
mempertimbangkan kelestarian fungsi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pertimbangan ini menjadi strategis karena dalam penganggaran hendaknya mengikuti skema
anggaran pada instansi teknis terkait untuk program yang bersesuaian dengan tugas dan
fungsi pokoknya. Sumber anggaran lain dapat diupayakan, baik yang bersumber dari swasta
maupun dana hibah lainnya yang sah.

Departemen Kehutanan dalam, hal ini Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (PHKA) sebagai institusi pelaksana rencana kegiatan pengelolaan yang telah disusun,
memiliki banyak keterbatasan sumberdaya. Untuk itu, keterlibatan pihak lain seperti pihak
swasta/investor, LSM lokal dan internasional, Pemerintah Daerah, serta para pemerhati
lingkungan lainnya, sangat diharapkan dalam implementasi rencana kegiatan pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni di lapangan.

Dengan terbitnya Dokumen Rencana Pengelolaan ini, Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dikelola secara optimal dan lestari sesuai fungsi peruntukannya.

Penutup IX - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR PUSTAKA

Asia Pacific Study Center – University of Gajah Mada, KONPHALINDO, WWF, and
YDPTB. 1999. Management of sustainable community-based natural diversity in
Bintuni Bay with emphasis on Mangroves. UGM, Yogyakarta.

Asmusruf, A., Rumbino, A, dan Lense, O. 2002. Pemanfaatan Nipah (Nypa Fruticans )
Oleh Lima Suku Di Bintuni. Beccariana, 4:2, 101-112.

Beehler, B.M., Pratt, T.K., dan Zimmerman, D.A. 2001. Burung-burung di Kawasan Papua
(terjemahan). Birdlife International Indonesia Programme.

Bengen, D. G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB.


Bogor

Bengen, D. 2005. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

Berwulo, M.M. 1995. Pengusulan Lahan Basah Teluk Bintuni Menjadi Cagar Alam.
Laporan Hasil Survei Lapang. Bogor, Indonesia.

Boli, P. Dkk. 2002. Survei Potensi Sumberdaya Perikanan dan Pertanian di Kawasan
Teluk Bintuni. Unipa-CRMP.

Camillan Bann, 1999. The Economic Valuation of Mangroves: A Manual Research for
Researcher.
Costanza, R.; d’Arge; R. de Groot; S. Farber; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg; S.
Naeem., 1997. The Value of the World’s Ecosystem Services and Natural Capital.
Nature 387 (1997).
Christensen, B. 1978. Biomass and primary production of Rhizophora apiculata BL. in a
mangrove in southern Thailand. Aquat. Bot. 4:43-52.

Cicin-Sain, B and Knecht W.R. 1988. Integrated Coastal and Ocean Management.
Concept and Practices. Island Press. Washington DC.

Clough, B.F. and Attiwill, P.M. 1975. Nutrient cycling in a community of Avicenia marina
in a temperature region of Australia. In: Proceeding International Symp. Biology
and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida,
Gainsville, Fla. Vol. I, pp 137-146.

Conservation International, 1999. Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi


Keanekaragaman Hayati Irian Jaya. CI Washington DC, USA.

Conyer, D. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ke Tiga : Suatu Pengantar. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.

Dahuri, R. 1998. Potensi Keanekaragaman Hayati Dalam Dimensi Kepariwisataan Bahari


di Kawasan Indonesia Timur. Makalah di sampaikan pada Seminar “ Prospek
Pengembangan Wisata Bahari di KTI. Kerjasama YPMAS-Sultra dengan LP2SN.
Bogor, 28 Desember 1998.
DinHut Prov. Maluku Utara – BPPK Papua Maluku, 2003. Kajian Potensi Biofisik Hutan
Mangrove di Desa Guraping-Maluku Utara. BPPK Papua Maluku, Manokwari.

Daftar Pustaka DP - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Erftemeijer, P.L.A dan A. Bualuang. 1998. Participation of Local Communities in


Mangrove Forest Rehabilitation in Pattani Bay, Thailand : Learning from Successes
and Failures. Second International Conference on Wetlands and Development,
Dakar, Senegal, 8-14 November 1998

Febrianto, F. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kayu dan Non Kayu.
Materi Teori dalam Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I di
Bali. Jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB Bogor. Bogor.

Golley, F., Odum, H.T., and Wilson, R.F. 1962. The structure and Metabolism of Puerto
Rican red Mangrove forest in May. Ecology, 43: 9-19.

Goulter, P.F.E. and Allaway, W.G. 1979). Litter fall and decomposistion in a mangrove
stand (Avicenia marina Folks.) in a Middle Harbour , Sydney. Australian J. Marine
Freshwater Resources.

Heald, E.J. 1971. Production of Organic Detritus in a South Florida Estuary. P hd Thesis,
University of Miami, USA (Un pblished).

Hilmi, Endang, 2003. Profil Kandungan Karbon pada Pohon Kelompok Jenis Rhizhopora,
spp dan Bruguiera spp Dalam Tegakan Hutan Mangrove Alami di Indonesia.
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Koentjaranigrat. 1980. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia
Jakarta.

Kusmana, C dan Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan
Teknik Rehabilitasinya di Pulau Jawa. Lokakarya Jaringan Kerja Pelestari
Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah. 12-13 Agustus 1998.

Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Leftungun, N. 2004. Pemanfaatan Palem oleh Masyarakat Suku Sougb di Kampung


Sibena II Distrik Bintuni. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutan Unipa
(Tidak diterbitkan).

Lense, O dan Kilmaskossu, A. 2002. Keanekaragaman Hayati Kawasan Teluk Bintuni


Kabupaten Manokwari. Laporan Survei UNIPA dan CRMP.

Lugo, A.N. and Clintron, C. 1975. The Mangrove Forest of Puerto Rico and Their
Management. In: Walsh, G.E., Snedaker, S.C, and Teas, H.J. (Eds.) Proceedings
of Int. Symp. On Biology and Management of Mangroves. Vol. 2. Inst. Food and
Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 825-846.

Lugo, A.N. and Snedaker, S.C. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann. Rev. Ecology and
Systematic. 5:39-64.

Noor Y.R., Khazali M., Suryadiputra I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA/Wetlands International, Bogor

Noor, Y.S. 1995. Mangrove Indonesia, Pelabuhan Bagi Keanekaragaman Hayati :


Evaluasi Keberadaannya saat ini. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove.
LIPI-MAB Indonesia. Jakarta

Noor, Y.S., M. Khazali dan IN.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA dan Wetland International Programme. Bogor

Daftar Pustaka DP - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

NRM, 2004. Potret dan Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja
Manokwari. NRM, Manokwari.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company, Philadelphia,


USA.

Pearce, D.W and R.K. Turner, 1990. Economic of Natural Resources and The
Environment. Harvester Wheatsheaf. New York, London, Sidney.
P3FED, 2002. Pokok-Pokok Pikiran tentang Pemberdayaan hak-hak masyarakat adat
dalam mengeksploitasi sumberdaya alam provinsi Papua. P3FED Unipa,
Manokwari.

PEMDA Provinsi Papua, Pemda Kab. Manokwari, UNIPA, dan Proyek Pesisir (USAID),
2003. Atlas sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID)
Indonesia, CRMP Project. Jakarta, Indonesia. 89 pp.

Pertamina - BP Indonesia. 2002. Andal Kegiatan Terpadu (Eksplorasi Gas, Fasilitas LNG,
Pelabuhan, Bandar Udara dan Pemukiman LNG Tangguh Kabupaten Manokwari,
Sorong dan Fak-fak Propinsi Papua). BP Indonesia, Jakarta.

Petocz, R.G. 1983. Recommended reserves for Irian Jaya Province. Statement prepared
for the formal gazettment of thirty one conservation areas. WWW/IUCN Report.
Conservation for development programme in Indonesia. Also published in
Indonesian language, prepared in cooperation with PHPA: “usulan-usulan suaka di
propinsi Irian Jaya”. Bogor, Indonesia. 61 pp.

Petocz, R.G. and George P. Raspada. 1984. Conservation and development in Irian Jaya:
A strategy for rational resource utilization. Bogor: PHPA.

Petocz, R.G. and Y de Fretes. 1983. Mammals of the reserves in Irian Jaya. WWF/IUCN
special report. Jayapura.

Pool, D.J., Lugo, A.E., and Snedaker, S.C. 1975. Production in Mangrove forests of
Southern Florida and Puerto Rico. In: Proceeding International Symp. Biology and
Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida,
Gainsville, Fla. Vol. I, pp 213-237.

PT BUMWI, 1994. Studi Evaluasi Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan PT Bintuni


Untama Murni Wood Industries di Kabupaten Manokwari, Propinsi Irian Jaya (Buku
II: Laporan Utama). PT BUMWI, Jakarta.

PT. Geobis Woodward-Clyde Indonesia. 1988. Environmenttan Baseline Study. Final


Report to Atlantic Richfield Berau, Inc.

Raharjo, Y. 1996. Community Base Management di Wilayah Pesisir Indonesia. Prosiding


Pelatihan ICZPM, PKSPL IPB dan Ditjen Bangda Depdagri.

Rustiadi, E, Sunsun Saeful Hakim, dan Dyah R. Panuju. 2003. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor.

Soerianegara, I. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sasekumar, A., M.U Leh., V.C Chong and R. D’Cruz. 1992. Mangroves as a Habitat for
Fish and Prawns. Hydrobiologia.

Daftar Pustaka DP - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Soesilowati, E. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Lapis Bawah : Kasus Kegiatan Suatu


LSM di Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1988. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1990. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1991. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1992. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1993. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1994. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1995. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.

Sub Biphut Manokwari, 2000. Peta Pengunaan Hutan di Kabupaten Manokwari Skala
1:250,000. Dinhut Manokwari

Suhaeb, A.S. 1999. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk


Kendari. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tim P3FED Unipa, 2004. Kajian Model-Model Mekanisme Pemberian Kompensasi Hak
Masyarakat Adat atas Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Tanah di Distrik
Bintuni, Kabupaten Manokwari. P3FED Unipa, Manokwari.

Tim TNC, 2003. Survei Potensi Hutan Bakau Cagar Alam Teluk Bintuni . The Nature
Conservancy Papua Conservation Program, Palu Sulawesi Tengah, INDONESIA.

UNIPA dan Bappeda Manokwari. 2001. Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi


Potensial secara terpadu di Kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua
bekerjasama dengan Badan Prencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Manokwari.

Daftar Pustaka DP - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A Review. In: Ecology Halophytes (R.J. Raymond and
W.H. Queen, Eds.). Academic Press, New York. Pp 51-174.

Womersley, J.S. (Ed). 978. Handbook of the Flora of Papua New Guinea, Vol.1.
Melbourne University Press, 278 pages.

Yayasan Lingkungan Hidup Humeibouw Manokwari. 2002. Studi Sosial Budaya di


Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. Yalhimo-CRMP.

Yayasan PERDU. 2002. Studi Sosial Budaya di Kecamatan Bintuni Kabupaten


Manokwari. PERDU-CRMP.

Zuwendra, Erftemeijer, P., dan Allen, G, 1991. Inventarisasi Sumber Daya Alam Teluk
Bintuni dan Rekomendasi untuk Manajemen dan Konservasi. PHKA/ AWB-
Indonesia (Forestry Institute and Asian Wetlands Bureau), Bogor. Indonesia.

Daftar Pustaka DP - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran-Lampiran L- 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 1. Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen

Abrasi
Pengikisan batuan, dinding tanah oleh air, es, atau angin.
Agro-Ekosistem
Sistem pertanian yang didasarkan pada hubungan timbal balik antara sekelompok
manusia dan lingkungan fisiknya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok
manusia itu.
Agroforestri
Sistem-sistem dan teknologi tata guna lahan di mana pepohonan berumur panjang
(termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll.) dan tanaman pangan dan atau pakan
temak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu
pengaturan ruang atau waktu.
Arboretum
Tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau
pendidikan.
AWB
Asian Wetland Bureau, Biro Tanah Basah Asia
BAPEDALDA
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
BAPPEDA
Badan Perencana Pembangunan Daerah
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BAPI
The Biodiversity Action Plan for Indonesia, Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati di
Indonesia
BKSDA
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
Biodiversity
Keaneka-ragaman hayati yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keanekaragaman bentuk kehidupan di bumi, bentuk interaksi antar sesama mahluk
hidup dan antar mahluk hidup dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati
mencakup tiga hal, yakni ekosistem, spesies dan genetis dan meliputi wilayah darat,
perairan tawar, pesisir dan laut.
Biogeografi
Penyebaran tumbuh-tumbuhan dan binatang secara geografis di muka bumi.
Biopirasi (biopiracy)
Eksplorasi dan pemanfaatan, pengetahuan lokal dan sumber daya genetis tanpa
pengetahuan ataupun persetujuan pemiliknya/masyarakat setempat.
Bioprospecting (bioprospeksi)
Penilaian terhadap sumber daya genetis dan sumber daya hayati. Dalam praktiknya
kegiatan ini dibarengi dengan munculnya isu-isu hak kepemilikan intelektual,

Lampiran-Lampiran L- 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

pembagian keuntungan yang adil dan merata, serta dampak negative akibat
pemanfaatan produk rekayasa genetis.
Bioregion
Kawasan/lingkungan fisik yang pengelolaannya tidak ditentukan oleh batasan politik
dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta sistem
ekologi. Dengan demikian, bioregion juga mempunyai pengertian ekoregion, yaitu
pengelolaan kawasan yang didasarkan pada prioritas ekosistem dan habitat alami
setempat.
Bioteknologi
Penerapan teknologi berbasis ilmu biologi untuk memanfaatkan makhluk hidup bagi
kebutuhan manusia.
Cagar Alam
adalah kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangusung secara alami.
Cagar Biosfer
Kawasan di dalam suatu negara yang mendapat status khusus dari negara-negara
yang tergabung dalam program The Man and The Biosphere (MAB) di bawah
UNESCO, sebagai kawasan konservasi khusus dengan fungsi ekonomi, ekologi dan
sosial.
Cagar Warisan Dunia (World Heritage Site)
Menurut World Heritage Convention yang dikeluarkan oleh UNESCO, ada dua yaitu:
1. "Cultural World Heritage" mengacu pada monumen, karya arsitektur, pahatan
dan lukisan, elemen atau struktur arkeologis, prasasti, gua-gua hunian, dan
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang secara universal sangat bemilai tinggi
dari sisi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.
2. "Natural World Heritage" mengacu pada ekosistem, habitat atau kelompok
formasi geologis dan fisiografis beserta spesies flora dan fauna yang terancam.
CITES
Convention on International Trade of Endangered Species, Konvensi untuk
Perdagangan Internasional Spesies Langka
Daerah Burung Endemik
Wilayah pengelompokan alami burung-burung yang kisaran hidupnya terbatas.
Debt for Nature Swap
Dana untuk konservasi alam didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri
dengan menukarnya dengan mobilisasi sumber daya alam dalam negeri untuk
pelestarian alam.
Deforestasi
Penggundulan hutan sehingga lahan yang semula berupa hutan menjadi berubah
fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan atau penggunaan lainnya.
Ekoregion
Suatu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang menggunakan pembagian
wilayah berdasarkan kondisi perbedaan ekosistem (lihat bioregion).

Lampiran-Lampiran L- 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Ekosistem
Komponen biotik dan abiotik dalam suatu lingkungan yang saling berinteraksi
sehingga menghasilkan aliran energi dan daur hara.
Ekuator
Garis imajiner yang mengelilingi bumi, diagonalnya 0 derajat (membagi bumi menjadi
2 wilayah: utara dan selatan)
Endemik, Endemisme
Spesies tumbuhan atau binatang yang hanya terdapat di wilayah tertentu dan sering
bersifat unik untuk daerah tersebut.
Epifit Tumbuhan yang hidup pada tumbuhan lain tetapi tidak merugikan.
Eutrofikasi
Pengayaan zat-zat hara yang berlebihan di dalam suatu perairan sehingga
mendorong ledakan pertumbuhan tumbuhan air dan mengakibatkan kekurangan
kadar oksigen di dalam perairan.
Fenomena El Nino
Peristiwa alam yang menimbulkan kemarau panjang yang hebat.
Fragmentasi Habitat
Proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling
bersambungan terpecah menjadi petak-petak yang saling terpisah dan terpencar.
Habitat
Tempat hidup alami bagi binatang dan tumbuhan.
Herpetofauna
Kelompok binatang yang temasuk dalam amfibi (katak/kodok) dan reptilia (buaya,
penyu, ular, biawak, komodo).
Hutan Dipterocarpaceae
Hutan yang didominasi spesies pohon dari famili Dipterocarpaceae. misalnya
berbagai jenis meranti. kruing. kapur dll.
Hutan Hujan Dataran Rendah ’selalu-hijau’
Hutan yang berisi tanaman berkayu dan tumbuhan selalu-hijau. terdapat di dataran
rendah daerah tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun.
Hutan Kerangas
Hutan yang tumbuh di atas tanah podsolik. Tanah yang terlapuk berat dan
mengandung silika terbentuk pada teras-teras kuarsa. batuan pasir, atau puncak-
puncak batu cadas. Tanah ini sangat masam dan tidak subur. di mana besidan
humus terkumpul di bawah lapisan atas pasir putih.
Hutan Konservasi
UU no.41 menjelaskan bahwa yang termasuk hutan konservasi adalah hutan alam
cadangan (nature preservation forest), hutan alam konservasi (nature conservation
forest) dan taman berburu (hunting forest).
Hutan Primer
Hutan perawan atau hutan alam yang belum dijamah manusia.
Hutan Sekunder
Hutan alam yang sudah dimanfaatkan oleh manusia.

Lampiran-Lampiran L- 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

IBOY
Merupakan singkatan dari International Biodiversity Observation Year (tahun
observasi biodiversity internasional) yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan 2002,
sebagai jendela bagi para ilmuan dan pendidik dari seluruh dunia untuk bekerjasama
meningkatkan komunikasi tentang ilmu-ilmu penting berbasis biodiversity.
IBSAP
Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan, Strategi dan Rencana Aksi
Biodiversity Indonesia
Indeks Keragaman Spesies (Species Diversity Index)
Indeks yang digunakan oleh para ilmuwan lingkungan untuk membandingkan tingkat
keanekaragaman spesies berdasarkan jumlah dan kelimpahan spesies binatang dan
tumbuhan di suatu tempat.
IUCN International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
Karamba
Kurungan dari anyaman bambu yang ditempatkan (diapungkan) di sungai sebagai
tempat perkembangbiakan ikan atau udang.
Karnivora
Mahluk hidup pemakan daging.
Kawasan Intertidal/Iitoral
Kawasan yang terletak di antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah di
pantai.
Kawasan Konservasi
Kawasan-kawasan yang digolongkan dalam kawasan pelestarian alam yaitu taman
nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, kawasan suaka alam yaitu cagar
alam, suaka margasatwa, hutan lindung, dan taman buru. Istilah konservasi tidak
dijumpai dalam UU No.5 tahun 1990. Sedangkan UU No.41 tahun 1999 muncul
pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung
dan hutan produksi. Sedangkan hutan konservasi dibagi ke dalam hutan suaka alam,
hutan pelestarian alam. dan taman buru.
Keanekaragaman hayati (Biodiversity)
Lihat biodiversity
Kegiatan yang menunjang budidaya di dalam kawasan Suaka Alam
ialah kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan
dan penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam kawasan alam yang
bersangkutan untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran.
Konservasi
Upaya perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah
serta pemanfaatan keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi Eks-Situ
Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya
berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi In-Situ
Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di dalam habitat aslinya
berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.

Lampiran-Lampiran L- 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Konvensi Keanekaragaman Hayati


Konvensi yang ditandatangani oleh 150 negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB
mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Koridor
Jalur-jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan konservasi
dengan kawasan konservasi lainnya. Dikenal sebagai koridor konservasi atau koridor
perpindahan yang memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar, sehingga
memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor dapat
berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman di
antara rangkaian habitat yang berbeda-beda untuk mendapatkan makanan.
Kriteria Ramsar
Kriteria yang digunakan di bawah Konvensi Ramsar, untuk menilai kualitas atau nilai
lahan basah berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem
sehingga layak mendapat status sebagai kawasan penting di dunia. Kriteria ini
meliputi keunikan tipe lahan basah, komunitas binatang dan tumbuhan yang ada di
dalam lahan basah, kriteria khusus sebagai habitat burung atau ikan yang unik.
Kriteria Status Flora atau Fauna menurut IUCN:
1. Kritis (Critically endangered) : jika taksa menghadapi resiko kepunahan yang
sangat ekstrim (tinggi) di alam dalam waktu yang sangat dekat. Populasinya
berkurang paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah diperkirakan
kurang dari 100 km2, populasi kurang dari 250 individu dewasa. jumlah populasi
diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam
paling sedikit 50% dalam 10 tahun.
2. Genting/terancam {Endangered): jika taksa tidak termasuk kriteria genting tetapi
mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat.
Populasinya berkurang paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir.luas wilayah
diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 500
km2, populasi diperkirakan kurang dari 2500 individu dewasa, jumlah populasi
diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam
paling sedikit 20% dalam 20 tahun.
3. Rentan {Vulnerable): jika taksa tidak termasuk kriteria genting atau terancam
tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat.
Populasinya berkurang paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah
diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 2000
km2, populasi diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, jumlah populasi
diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam
paling sedikit 10% dalam 100 tahun. (lihat rincian kategori dalam Mogea dkk.
2001).
MAB Merupakan singkatan dari the Man And the Biosphere. Program UNESCO yang
dimulai tahun 1971 untuk pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi biodiversity
dengan mengembangkan landasan natural dan social sciences. Juga ditujukan untuk
meningkatkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan
globalnya.

Lampiran-Lampiran L- 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Megadiversity Country
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi. Indonesia menduduki peringkat
kedua di dunia setelah Brazil.
Moratorium
Penghentian sementara/jeda.
Nilai Omitologis
Nilai-nilai mengenai keragaman spesies, jumlah, penyebaran dan kehidupan burung.
Nokturnal
Sifat binatang yang aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari.
Pembangunan Berkelanjutan
Pola pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
melemahkan kemampuan pembangunan untuk memenuhi kebutuban generasi
mendatang.
Pengelolaan kawasan Suaka Alam
adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
Perdagangan Karbon (carbon trade)
Suatu mekanisme yang sedang dikembangkan secara intemasional melalui negara-
negara yang masih memiliki hutan yang cukup luas (yang berfungsi menyerap karbon
dari emisi bahan bakar) mendapatkan kompensasi dari kalangan internasional
berupa dana untuk membiayai kegiatan konservasi yang dikaitkan dengan emisi
karbon.
Pola Inti-Plasma
Sistem pertanian yang menghubungkan pertanian dan agroindustri di mana produksi
primer (tanaman tahunan atau tanaman keras, ternak, susu, unggas, telur, ikan,
udang dan sebagainya) tidak terpusat pada unit produksi kapitalis (atau sosialis) yang
besar tetapi tetap berada di tangan petani kecil, yang dihubungkan secara
melembaga melalui kontrak dengan sebuah perusahaan inti yang lebih besar yang
menangani satu atau lebih kegiatan hilir dan hulu seperti penyediaan sarana
produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Plasma Nutfah
Substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok
organisme yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sehingga tercipta suatu jenis
unggul atau Kultivar baru.
Potassium Sianida
Zat kimia yang digunakan untuk bahan racun untuk menangkap ikan, karena dapat
membuat ikan yang terpapar zat ini menjadi pingsan sehingga mudah ditangkap.
PRA
Merupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal. Metode PRA adalah media
untuk berkomunikasi dengan cara dialog antara Perencana – Pelaksana Administratif
dan partner mereka (masyarakat) untuk memecahkan masalah dan untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang terjadi.

Lampiran-Lampiran L- 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Rawa Aluvial
Rawa di tanah lempung yang terendapkan oleh air mengalir.
Rawa Herbaceous
Rawa yang ditumbuhi tumbuhan kecil yang tumbuh seperti rumput dan batangnya
tidak berkayu.
Rekayasa Genetis
Teknologi yang digunakan untuk mengubah materi genetis sel hidup melalui campur
tangan manusia sebagai upaya agar sel tersebut mampu menghasilkan senyawa
yang diinginkan atau mengemban fungsi-fungsi yang berbeda dengan sel-set lain
yang tidak mengalami manipulasi.
Rencana Pengelolaan kawasan Suaka Alam
adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
Resin
Hasil sekresi tanaman yang susunan kimianya sangat kompleks, padat, transparan,
dan kompak.
Restocking
Kegiatan yang ditujukan pada peningkatan populasi jenis flora dan fauna liar di
habitat alam aslinya.
Revolusi Biru
Proses perubahan produksi perikanan (khususnya darat, air tawar dan payau) dari
cara-cara tradisional ke arah intensifikasi untuk meningkatkan produksi.
RSA
Merupakan singkatan dari Rapid Social Assessment. Metode RSA adalah media
untuk mengumpulkan data dan informasi, berkomunikasi dengan cara dialog antara
peneliti dengan masyarakat.
Savana
Padang rumput yang diselingi oleh kelompok kecil pepohonan.
Silvikultur
Pemeliharaan dan pembinaan hutan atau manipulasi vegetasi hutan untuk tujuan
tertentu seperti untuk mengontrol pembentukan, komposisi dan pertumbuhan pohon.
Transmigrasi Umum
Perpindahan penduduk dari satu daerah yang padat penduduknya ke daerah lain
yang berpenduduk jarang, dilakukan secara rutin atas prakarsa pemerintah.
Transmigrasi Swakarsa
Transmigrasi atas usaha sendiri atau spontan.
Trawl Jenis perangkat penangkapan ikan, sering disebut sebagai pukat harimau.
Tumbuhan Invasif
Spesies tumbuhan, umumnya bukan asli di suatu habitat, yang ditanam secara
sengaja atau karena terbawa oleh faktor alam, namun kemudian mampu berkembang
biak secara massal dan menguasai wilayah tumbuh komunitas spesies tumbuhan
lainnya.
UNDP United Nations Development Program, suatu badan PBB untuk pembangunan

Lampiran-Lampiran L- 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

USAID
United State Aid, Lembaga Bantuan dari Amerika Serikat untuk Pembangunan di
Negara Berkembang
Valuasi Ekonomi
Cara penilaian ekonomi sumber daya alam dengan menetapkan atau mengukur
nilainya secara moneter.
WWF
World Wide Fund for Nature atau lebih dikenal dengan World Wildlife Fund, Lembaga
internasional untuk pelestarian sumberdaya alam

Lampiran-Lampiran L- 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 2. Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat
oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.
0
Suhu Udara ( C)
Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des
1997 maksimum - - 35.42 34.73 34.88 33.02 32.99 32.98 33.78 34.88 33.05
1997 rata-rata - - 26.92 26.89 26.4 25.43 25.34 25.93 27.11 27.17 27.48
1997 minimum - - - 22 22.74 21.4 20.83 20.02 20.76 22.84 22.2 22.88
1998 maksimum 36.31 36.15 36.21 36.92 37.26 34.19 34.6 34.19 35.59 37.02 36.12 33.53
1998 rata-rata 27.83 27.28 27.88 27.86 28.17 26.91 26.42 26.44 26.75 27.31 27.61 27.29
1998 minimum 22.72 23.05 23.14 23.51 23.45 23.26 21.36 22.62 22.82 23.11 23.19 22.11
1999 maksimum 36.35 35.09 35.81 35.56 35.37 35.6 34.59 34.58 35.13 36.36 33.08 33.55
1999 rata-rata 27.7 27.22 27.26 27.26 26.85 26.4 25.69 25.44 26.13 26.96 26.94 27.19
1999 minimum 22.93 22.2 22.7 22.79 22.99 22.45 21.2 21.87 21.96 22.99 22.91 22.71
2000 maksimum 35.87 34.9 37.07 35.64 - - - - - - - -
2000 rata-rata 26.96 27.14 27.27 27.25 - - - - - - - -
2000 minimum 22.85 22.45 22.03 22.71 - - - - - - - -
Sumber: BP Pertamina (2002)

Lampiran 3. Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000)
berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.

Kelembaban Udara (%)


Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des
1997 maksimum - - - 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1997 rata-rata - - - 86.5 86.9 83.7 88.8 83.1 85.7 85.2 86.5 87.4
1997 minimum - - - 43.4 54.4 49.8 53.2 46.9 53.8 52.7 39.4 61
1998 maksimum 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1998 rata-rata 85.7 89.2 86.6 89.2 89 93.4 93.6 93 92.6 91.7 91.4 91.7
1998 minimum 48.5 51 45.6 SO.1 55.2 65.3 60.6 56.4 57.2 50.3 54.7 62.4
1999 maksimum 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1999 rata-rata 90.1 90.7 91.3 91.9 93.1 93.1 93.5 94.4 93.2 92.2 93 93.3
1999 minimum 50.5 53.5 58.4 55.7 59.5 57.6 57.8 59.1 54.9 51 60.8 63.2
2000 maksimum 100 100 100 100 - - - - - - - -
2000 rata-rata 93.2 91.3 90.9 91.9 - - - - - - - -
2000 minimum 56.6 55.2 48.8 61 - - - - - - - -
Sumber: BP Pertamina (2002)

Lampiran-Lampiran L- 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 4. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar
Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 2500 - 58 - - -
B. parviflora Rhizophoraceae - - - 262 - 92
Ceriops tagal Rhizophoraceae 2500 - 58 63 - 33
R. mucronata Rhizophoraceae - - - - - -
R. apiculata Rhizophoraceae 5000 - 84 363 - 175
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 5. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai),
Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat tiang Tingkat pohon


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 87 - 62
B. parviflora Rhizophoraceae - - - 150 - 51
Ceriops tagal Rhizophoraceae - - - 26 - 19
R. mucronata Rhizophoraceae - - - 150 - 11
R. apiculata Rhizophoraceae - - - 162 - 157
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 6. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk
Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
R. mucronata Rhizophoraceae 7000 - 68 770 - 178
X. moluccensis Meliaceae 6000 - 56 30 - 55
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 5000 - 44 160 - 41
Ae. corniculatum Myrsinaceae 4000 - 32 10 - 9
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 130 - 11
X. granatum Meliaceae - - - 20 - 7
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran-Lampiran L- 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 7. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat tiang Tingkat pohon


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
R. mucronata Rhizophoraceae - - - 160 - 180
X. moluccensis Meliaceae - - - - - -
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 80 - 102
Ae. corniculatum Myrsinaceae - - - - - -
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 40 - 18
X. granatum Meliaceae - - - - - -
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 8. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung
Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
Ae. corniculatum Myrsinaceae 1458 0,42 24,28 500 0,42 64,70
Avicennia alba Avicenniaceae 833 0,17 10,81 67 0,08 10,53
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 625 0,08 6,32 133 0,08 15,18
B. parviflora Rhizophoraceae 625 0,17 9,90 133 0,25 26,95
B. sexangula Rhizophoraceae 1250 0,17 12,65 - - -
Ceriops decandra Rhizophoraceae 1250 0,08 9,08 67 0,17 16,42
R. mucronata Rhizophoraceae 11875 0,75 84,44 33 0,08 8,21
R. apiculata Rhizophoraceae 4792 0,50 42,53 500 0,33 58,41
Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran 9. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni),
Cagar Alam Teluk Bintuni

Tingkat tiang Tingkat pohon


Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP
A. corniculatum Rhizophoraceae - - - 2,08 0,08 3,98
Avicennia alba Avicenniaceae 108 0,17 88,81 2,92 0,50 59,98
A. marina Rhizophoraceae - - - 4,17 0,08 5,56
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 12,50 0,08 10,86
B. parviflora Rhizophoraceae 25 0,08 19,78 37,50 0,42 43,33
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 14,58 0,17 15,87
C. decandra Rhizophoraceae 8 0,08 12,85 2,08 0,08 4,21
R. mucronata Rhizophoraceae 25 0,25 37,41 60,42 0,50 54,80
R. apiculata Rhizophoraceae 150 0,58 140,85 104,17 0,75 96,48
S. alba Sonneratiaceae - - - 4,17 0,08 5,04
Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran-Lampiran L- 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 10. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat
Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung
Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha)

Tiang Total
Pohon potensi
Jenis Famili
Potensi/phn Potensi/ha Potensi/phn Potensi/ha Rata2/ha
Diamter Tinggi N/ha Diamter Tinggi N/ha
(M3/phn) (M3/ha) (M3/phn) (M3/ha) (m3/ha)
R. apiculata Rhizophoraceae 14.7 11.8 150 0.2 13.81 21.34 14 2.08 0.5 0.48 14.29

D. spathacea Bignoniaceae 28.79 16.9 2.92 1.1 1.48 1.48

B. Rhizophoraceae
30.57 16.5 4.17 1.2 2.32 2.32
gymnorrhiza

B. sexangula Rhizophoraceae 29.88 14.3 12.5 1.0 5.76 5.76

X. granatum Meliaceae 36.43 14.8 37.5 1.5 26.60 26.60

C. decandra Rhizophoraceae 16.88 12 8 0.3 0.99 35.59 16.4 14.58 1.6 10.94 11.92

R. mucronata Rhizophoraceae 16.03 12.3 25 0.2 2.85 28.66 18 2.08 1.2 1.11 3.96

X. Meliaceae
30.15 14.8 60.42 1.1 29.35 29.35
moluccensis

A. alba Avicenniaceae 16.73 12.2 108 0.3 13.32 29.61 15.8 104.17 1.1 52.11 65.42

S. alba Sonneratiaceae 23.25 15 4.17 0.6 1.22 1.22

B. parviflora Rhizophoraceae 11.89 13.3 25 0.1 1.70

Total 316 1.0 32.7 244.59 10.9 131.4 164.03

Rata-rata 63.20 0.20 24.459 1.09

Lampiran 11. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam
Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang


Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
Ac. speciosum Pteridaceae 9167 0,33 62,94 600 0,33 100,00
R. apiculata Rhizophoraceae 2917 0,33 27,49 - - -

Myrsinaceae 2500 0,33 25,61 - - -


Ae. corniculatum
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 3750 0,33 31,27 - - -
X. granatum Meliaceae 1667 0,33 21,83 267 0,17 47,22
C. decandra Rhizophoraceae 1250 0,17 12,80 - - -
C. tagal Rhizophoraceae 417 0,17 9,03 - - -
R. mucronata Rhizophoraceae 417 0,17 9,03 - - -

D. spathacea Bignoniaceae - - - 333 0,17 52,78

Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran-Lampiran L- 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 12. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai
Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tingkat tiang Tingkat pohon


Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP
R. apiculata Rhizophoraceae 50 0,33 86,50 100,00 0,83 113,18

D. spathacea Bignoniaceae 17 0,17 30,74 45,83 0,17 35,51

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 29,17 0,33 37,00

B. sexangula Rhizophoraceae 33 0,33 53,38 20,83 0,33 23,97

X. granatum Meliaceae 33 0,17 47,62 16,67 0,33 20,62

C. decandra Rhizophoraceae 17 0,17 26,88 8,33 0,17 12,44

R. mucronata Rhizophoraceae - - - 12,50 0,33 22,77

X. moluccensis Meliaceae - - - 8,33 0,17 10,01

A. alba Aviceniaceae - - - 4,17 0,17 8,71

S. alba Soneratiaceae - - - 4,17 0,17 8,49

C. tagal Rhizophoraceae 33 0,33 54,88 - - -


Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran 13. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat
Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam
Teluk Bintuni (20 m x 140 m = 0,28 ha).

Tiang Pohon

Total
Jenis Fam. potensi/ha
Potensi/phn Potensi/ha Diamter Tinggi Potensi/phn Potensi/ha
Diamter Tinggi N/ha N/ha (M3/ha)
(M3/phn) (M3/ha) (Cm) (M) (M3/phn) (M3/ha)

R. apiculata Rhizophoraceae 19.3 12 50 0.4 4.91 35.5 14.4 100 1.4 39.89 44.80
D. spathacea Bignoniaceae 17.2 10 17 0.2 1.11 27.4 12.8 45.83 0.8 9.68 10.79
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 36.3 15.1 29.17 1.6 12.76 12.76
B. sexangula Rhizophoraceae 12.9 6.5 33 0.1 0.78 26.9 13 20.83 0.7 4.31 5.09
X. granatum Meliaceae 15.9 10 33 0.2 1.83 24.7 10.8 16.67 0.5 2.41 4.25
C. decandra Rhizophoraceae 13.9 7.5 33 0.2 2.15 30.3 10.7 8.33 0.8 1.80 3.94
R. mucronata Rhizophoraceae 38.4 11 12.5 1.3 4.46 4.46
X. moluccensis Meliaceae 22.6 7.5 8.33 0.3 0.70 0.70
A. alba Avicenniaceae 35.7 15 4.17 1.5 1.75 1.75
S. alba Sonneratiaceae 33.4 25 4.17 2.2 2.56 2.56
C. decandra Rhizophoraceae 13.7 7 17 0.1 0.49

Total 183.00 1.20 11.27 250 11.0 39.40 50.67

Rata-rata 30.5 0.20 1.88 25 1.1 7.72

Lampiran-Lampiran L- 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 14. Rangkuman Hasil Workshop Tingkat Kabupaten Penyusunan Rencana


Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005

A. General

The document of Bintuni Bay Nature Reserve Management plan has tried to establish based
on Fully Participatory Method. By doing this, implementation team could get as many as
opinions and inputs in which useful during implementation of the management plan of BBNR.
In related to this matter, there was an activity carried out during the establishment of 1st draft
of Management Plan of Bintuni Bay Nature Reserve called Village meeting in 14 villages
(kampung/kelurahan) in and surrounding BBNR. The aim of this activity was to gain more
information about interaction between communities and the site as well their “expectation” to
the BBNR in supporting their daily life now and future.

Information collected individually in every single village and need to be confirmed through a
special meeting (workshop) by inviting the traditional community members (masyarakat adat)
which are represented by head of tribe (Kepala Suku), head of kampong (Kepala Kampung),
and one respect person (Tokoh Masyarakat) in the village.

In addition, to improve the available 1st draft, it is necessary to be discussed (presented) with
the all stakeholders involved: Bupati Kab. Teluk Bintuni, Local institutions (Dinas terkait),
Regional Planning Agency (Bappeda), Local NGO, and Communities represented by
Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-
Moskona (LEMASOM).

The workshop was divided in to two:


1. First day: special workshop with communities (masyarakat adat) who live at 14
villages inside and surrounding the BBNR.
2. Second day: presentation of the 1st draft of Management Plan of Bintuni Bay Nature
Reserve.

B. Objective

The objectives of the 1st-day workshop were:

1. To verify all the information collected from every single village inside and surrounding
the Bintuni Bay Nature Reserve.
2. Discussion amongst villagers who live inside and surrounding the BBNR about their
expectation to the BBNR.
3. To formulate a “commitment” amongst the communities who live inside and
surrounding the BBNR.

Lampiran-Lampiran L- 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

The objective of the 2nd-day workshop was presentation of the 1st draft of the management
plan of Bintuni Bay Nature Reserve in order to get inputs and critics from stakeholders
present in this workshop.

C. Participant

In the 1st day meeting, twenty-five people were present representing head of tribe (Kepala
Suku), head of kampong (Kepala Kampung), and one respect person (Tokoh Masyarakat) in
the village, Church (Klasis GKI Bintuni), BKSDA Papua II, and PHKA Jakarta. Whilst the 2nd
day workshop was attended by fifty-five participants representing local government (Bupati
Teluk Bintuni), local institutions (dinas-dinas terkait), Regional Planning Agency (Bappeda),
University (UNIPA), British Petroleum Tangguh Project, Local NGO (Mitra Pesisir Bintuni),
Head of traditional community organisation represented by the head of Lembaga
Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-Moskona
(LEMASOM), Church represented by the head of Klasis GKI Bintuni, and communities who
come to the 1st day workshop.

D. Programme

1st -day meeting (1 June, 2005)

Opening Session

The meeting was opened at 9.00 on Wednesday 1 June, 2005. The programme of the
opening session included:
x Praying was lead by Pdt. A. Kondologit, S.Th., The head of Gospel Christian Church
(GKI) in Papua, Bintuni.
x Remarks by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni.
x Opening the workshop formally by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni representing Bupati Kabupaten Teluk Bintuni.

Roundtable Discussion
This discussion was lead by the implementation team from The Nature Conservancy (TNC).
There were three main issues raised during the roundtable discussion as follow:

x What are allowed and not allowed to be done in Bintuni Bay Nature Reserve?
x How the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and
surrounding the Bintuni Bay can participate in protecting and keeping the reserve?
x What kind of traditional rule should the people form outside the traditional community
members (masyarakat adat) want to do something inside the BBNR?

Lampiran-Lampiran L- 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

During this session, all the issues discussed were concluded as a COMMITMENT produced
by the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay.

Conclusion of Roundtable Discussion


The discussion amongst traditional community members (masyarakat adat) who live inside
and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve was going well. Even though sometimes
there was “hot” debate but dynamic amongst the participants, finally a very useful
COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the group. Following
are the main points of the commitment produced by the traditional community members
(masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni Bay present in the 1st-day
meeting:

1. Every body could use resources in BBNR, BUT must follow the rule made amongst
traditional community members as follow:

(1) ACTIVITIES ALLOWED IN BINTUNI BAY NATURE RESERVE:

x Catching fish, prawn, crabs, shell-fish, and another sea product;


x Gardening with technical assistant from Local Agriculture Institution (Dinas
Pertanian);
x Using mangrove (mangi-mangi) for traditional needs ONLY (not for commercial
purposes) like catching fish “pele kali”;
x Hunting wild animals (crocodile, deer, feral pig, and particular birds);
x Catching fish using “akar bore” and net.

(1) ACTIVITIES ARE NOT ALLOWED IN BINTUNI BAY NATURE RESERVE:

x Catching fish and another sea products using chemicals;


x Cutting down mangrove (mangi-mangi) in big scale like logging or fish-pond;
x Cutting down logs in low land forest in BBNR;
x Trowing waste like used engine-oil and chemicals into the rivers;
x Using trawl in catching fish or prawn;
x Mining operation.
2. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay Nature Reserve committed to support the management of BBNR through
several activities as follow:

(1) Report all activities against the rule agreed to the management of BBNR:
(2) Catch on the spot whoever break the rule agreed;

Lampiran-Lampiran L- 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

(3) Form a working group at every village inside and surrounding the BBNR during the
implementation of management plan.
3. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay also asked for the local government to support the management through:

(1) Produce a local regulation on BBNR:


(2) Intensive community-services to increase building and economic capacity of the
traditional communities who live inside and surrounding the Bintuni Bay.

During the implementation of commitment above, working group will be formed consist of
represent of traditional people (masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni
Bay. The main job of this working group is to formulate the law enforcement of the
commitment agreed which is assisted by local government and sponsor (TNC and BKSDA II
Papua).

Closing Session
The meeting was formally closed at 3.00 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).

2nd -day meeting (2 June, 2005)

Opening Session

The meeting was opened at 9.30 on Thursday 2 June, 2005. The programme of the opening
session included:
x Praying was lead by Pdt. A. Konologit, STh, The head of Gospel Christian Church (GKI)
in Papua, Bintuni.
x Workshop-Committee Report, by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni.
x Remarks by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.
x Opening the workshop formally by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.

Presentation of the 1st draft of MP of Bintuni Bay Nature Reserve and Roundtable Discussion

In this session, the implementation team of establishing the MP of Bintuni Bay Nature
Reserve presented the 1st draft of Management Plan. Following are several inputs and issues
have been raised during the roundtable discussion:

1. Additional observing-tower at the mouth of Bintuni River;

Lampiran-Lampiran L- 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

2. The status of the Bintuni Bay Nature Reserve is not yet definitive as Nature Reserve;

3. Increase the status of Resort KSDA Bintuni to become “SEKSI”;

4. There should also be a commitment of traditional communities who live in upland


areas as the degradation of the forest located in upland may cause very significant
impact to the BBNR.

5. Scenarios in management plan;

6. Policy in recruiting local staff during the implementation of Management of BBNR;

7. Pay more attention in increasing the economic sector of the traditional communities
who live inside and surrounding the BBNR;

8. Socialise the management plan to the communities inside and surrounding the BBNR
is important;

9. Approaching method in establishing the management plan;

10. Integrated management organisation (lembaga pengelola terpadu) during the first 5-
year implementation of MP is necessary;

Closing Session
The meeting was formally closed at 3.30 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).

Lampiran-Lampiran L- 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 15. Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature
Reserve Management Plan

Wednesday 1 June, 2005

8.30 Registration
9.00 Opening Session
Praying Ketua Klasis GKI Bintuni
Remarks Mr. C. Thesia, on behalf of The head of
Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni

Opening the workshop Mr. C. Thesia, on behalf of The head of


Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni

10.30 Coffee break


11.00 Roundtable Discussion Implementation Team

12.30 Lunch Committee

13.30 Workshop Conclusion Implementation Team

15.00 Closing Session Committee

Thursday 2 June, 2005

8.30 Registration
9.30 Opening Session
Praying Ketua Klasis GKI Bintuni

Workshop-Committee Report Mr. C. Thesia, on behalf of The head of Head


of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni

Remarks Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni

Opening the workshop Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni

10.30 Coffee break Committee

11.00 Presentation of the 1st draft of MP Implementation Team


of BBNR.

12.00 Lunch
13.00 Roundtable Discussion Implementation Team

14.30 Workshop Conclusion Implementation Team

15.00 Coffee break Committee

15.30 Closing Session Committee

Lampiran-Lampiran L- 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 16. A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the
traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni
Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni

LOKAKARYA
PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
TGL 1 JUNI 2005

BAPAK BUPATI YANG KAMI HORMATI,


BAPAK, IBU PEJABAT DI KABUPATEN TELUK BINTUNI
BAPAK DAN IBU HADIRIN SEMUA

KAMI MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI SEKITAR DAN DI DALAM KAWASAN CAGAR


ALAM TELUK BINTUNI, YANG TERDIRI DARI 14 KAMPUNG; TELAH BERTEMU DAN
BERBICARA BERSAMA TENTANG CAGAR ALAM.

DARI PERTEMUAN TERSEBUT, KAMI MEMBUAT KESEPAKATAN KELOMPOK


MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM
TELUK BINTUNI.

KAMI MASYARAKAT YANG ADA DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM
MENYATAKAN SIKAP KAMI ANTARA LAIN:

SIAPAPUN BOLEH MENCARI MAKAN DI DALAM KAWASAN TANPA MEMANDANG


SUKU/MARGA/BATAS-BATAS WILAYAH ADAT ASALKAN MEMATUHI ATURAN
KESEPAKATAN YANG SUDAH DIBUAT

UNTUK ITU, KEGIATAN YANG BOLEH DILAKUKAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM
TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:

1. KAMI DAPAT MELAKUKAN PENANGKAPAN HASIL-HASIL PERIKANAN SEPERTI


IKAN, UDANG, KARAKA, SIPUT ATAU BIA, DAN HASIL LAUT LAINNYA.
2. KAMI DAPAT BERKEBUN DAN MENDAPAT BANTUAN BIMBINGAN TEKNIS DARI
DINAS TERKAIT
3. KAMI DAPAT MELAKUKAN PEMANFAATAN KAYU MANGI-MANGI UNTUK KAYU
BAKAR SENDIRI (BUKAN UNTUK DIJUAL) DAN KEGIATAN MENANGKAP IKAN “PELE
KALI”
4. KAMI DAPAT BERBURU HEWAN ATAU SATWA LIAR SEPERTI BUAYA, RUSA, BABI
HUTAN, DAN BURUNG
5. KAMI BOLEH MENANGKAP IKAN DENGAN MENGGUNAKAN “AKAR BORE” DAN
JARING

KEGIATAN YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK


BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:

1. TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN “OBAT” (BAHAN KIMIA) DALAM MENANGKAP IKAN,


UDANG, DLL
2. TIDAK BOLEH MENEBANG MANGI-MANGI ATAU BAKAU DARI CAGAR ALAM DALAM
SKALA BESAR UNTUK KEPERLUAN USAHA KAYU ATAU TAMBAK ATAU LAINNYA
3. TIDAK BOLEH MENEBANG KAYU DI HUTAN TANAH KERING ATAU GUNUNG DI
DALAM CAGAR ALAM
4. TIDAK MEMBOLEHKAN KAPAL-KAPAL YANG BERLAYAR DI SUNGAI UNTUK
MEMBUANG SAMPAH ATAU LIMBAH MINYAK ATAU BAHAN KIMIA KE SUNGAI
5. TIDAK BOLEH KAPAL BESAR ATAU KAPAL UDANG ATAU PUKAT HARIMAU UNTUK
BEROPERASI DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

Lampiran-Lampiran L- 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

6. TIDAK BOLEH ADA EKSPLORASI BAHAN TAMBANG DI DALAM KAWASAN CAGAR


ALAM TELUK BINTUNI.

UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI, KAMI


MASYARAKAT AKAN MELAKUKAN DUKUNGAN BERUPA:
1. KAMI AKAN MELAPORKAN PELANGGARAN KESEPAKATAN YANG TERJADI KE
PENGELOLA CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
2. KAMI AKAN MENANGKAP LANGSUNG PELANGGAR ATURAN YANG SUDAH
DISEPAKATI BERSAMA
3. PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA DI SETIAP KAMPUNG YANG ADA DI DALAM
DAN SEKITAR KAWASAN YANG AKAN DILIBATKAN DALAM PELAKSANAAN
RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN

KAMI JUGA BERHARAP PEMERINTAH TURUT MENDUKUNG KEGIATAN PENGELOLAAN


CAGAR ALAM. UNTUK ITU, KAMI MENGHARAPKAN PEMERINTAH MELAKUKAN HAL-
HAL SEBAGAI BERIKUT:
1. MEMBUAT PERATURAN DAERAH MENGENAI CAGAR ALAM
2. MELAKUKAN PEMBINAAN, PENYULUHAN DAN PENDAMPINGAN YANG TERUS
MENERUS KEPADA MASYARAKAT DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM,
KHUSUS UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT
3. KAMI MEMINTA PEMERINTAH DAERAH MEMBERIKAN PERHATIAN LEBIH BESAR
PADA PENDIDIKAN MASYARAKAT

DEMIKIAN KESEPAKATAN YANG KAMI BUAT DARI 14 KAMPUNG YANG ADA DI DALAM
DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

MENDAMA TAMBE JAGA TANE CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

BINTUNI, 2 JUNI 2005

PERWAKILAN MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM


TELUK BINTUNI:

Lampiran-Lampiran L- 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 17. Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan
Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005).

No. Name Institution Position Input/Critics/Question


1 Banjar Laban PHKA, Dir. Konservasi 1. How about the contribution of another
Jakarta Kawasan PHKA stakeholders outside the Bintuni Region?
2. How the community can support the
implementation of the Management Plan?
3. Once the MP is implemented, the
communities who are living inside and
surrounding the site should be fully
involved
4. The BBNR should be promoted not only
in regional but also in national even
international level
6. The analysis of problems and solutions
stated in MP are applicable, but they
need to be analyzed deeply
7. Regarding the activity in Reconstruct the
border of BBNR, it should be based on
old border
8. How can the BBNR be synchronize with
the local/traditional culture (see
Government Regulation-PP 68)
2 Adi Susmianto PHKA, 1. The scenario of Management of BBNR
Jakarta stated in MP need to be strengthen
2. At the time, keep going with the MP, do
not think about the current status of the
site
3. The current document of MP of BBNR is
not applicable if the status of the site is
indefinite
4. The current document of MP can be
considered as a starting point in fixed the
site status of BBNR
5. Proposed not only one organization but
several in Managing the BBNR
6. Especially in Papua, need to form an
alternative organization based on local
condition
7 Add the contribution of all stakeholders in
current document of MP of BBNR
8. Proposed a zoning in MP (Arahan
Zoning)
9. Use different term for MONITORING
BODY, Forum for example
10. Balai is more suitable instead of Resort in
Organization
3 Prof. Dr. F. University Rector 1. Move the Vision and Mission section in to
Wanggai of Papua the Chapter of Introduction
(UNIPA),
Manokwari 2. The position and size should be based on
Water Catchments Area in BBNR
3. Page II.10, add data of sedimentation
level?

Lampiran-Lampiran L- 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

4. In Sub Chapter of Soil, if any, include the


land use in every village inside and
surrounding the BBNR
5. Chapter III, there should be a
commitment of PEMDA in plotting the
BBNR in their strategic plan or layout
planning of Kabupaten
6. Page V.1, the position (GPS) of every pal
should be included
4 Ir. J. Lekitoo Forestry Head of office 1 The management needs more supporting
Department facilities as the current one is not
of proportional compare to the size of the
Kabupaten BBNR
Teluk
Bintuni 2. The status of BBNR is very crucial in
supporting the Management Plan
5 Drs. P. Karubui Fisheries Head of office 1. Fisheries and Marine Department of
and Marine Kabupaten Teluk Bintuni is planned to
Department established a local regulation on catching
of area in Bintuni Bay
Kabupaten
Teluk 2. A local rule of catching area (12 mil and
Bintuni 10 m isobar) is unclear
3. In controlling activity, It is necessary to
form a group of people from the
communities inside and surroundings
BBNR
7 Mr. Unu PHKA, Kasubdit Cagar Alam 1. All activities based on the a commitment
Jakarta amongst people who are living inside and
surroundings BBNR should be supported
by government regulation
2. There should be a buffer zone
3. With the current status of BBNR
(Penunjukan, not (No Suggestions)),
there may be some possibilities of
changing function of the site
4. Correction, POLHUT instead of
JAGAWANA
5. The reconstruction of site border should
be proposed by Bupati
6. Proposed re-bordering in MP
7. Based on Government law, there should
not be a Rehabilitation activity in Nature
Reserve
8 Ms. Puspa PHKA, 1. Management of BBNR should be based
Jakarta on Mangrove ecosystem as 90 % of the
site is dominated by mangrove forest
2. Good to see that the economic value of
the BBNR is mentioned in the document,
however it needs to elaborate broadly
9 Wahyu PHKA, 1 The planning should be divided into 25-
Jakarta year plan, 5-year plan, and yearly plan
2 State the main activities of 25-year plan,
5-year plan, yearly plan in the document

Lampiran-Lampiran L- 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 18. Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030

Rencana Pengelolaan
! S/ Cagar Alam Teluk
Bintuni

. = Kantor
/ S = Pondok Kerja
. G  ! ! = Menara Pengawas
/ = Tanda larangan
G = Pondok Peneliti
!  = Pemukiman

/
!
/

S

/
!

Lampiran-Lampiran L- 25
Apa Kata Mereka

Drs. J. Paiki – Pjbt Bupati Teluk Bintuni


Rencana Pengelolaan menunjukkan komitmen semua pemangku kepentingan untuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup. Semoga implementasi akan membuat cagar alam
terjaga dan masyarakat bisa merasakan manfaatnya

Prof. Dr. Frans Wanggai – Rektor Universitas Papua


Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tanggungjawab kita semua, masyarakat dan
pemerintah. Implementasi rencana ini harus bisa menjaga kekayaan sumberdaya alam
yang merupakan anugerah Tuhan

Ir. Petrus Kasihiw, MT - Kepala Bappeda Teluk Bintuni


Rencana Pengelolaan ini akan membantu kami bekerja lebih baik bersama pengelola cagar
alam untuk kemajuan Kabupaten Teluk Bintuni

Ir. Fransisco Moga, MP – Kepala BKSDA Papua II – Sorong


Rencana Pengelolaan ini merupakan bukti nyata kerjasama masyarakat adat, LSM dan
Pemerintah. Implementasi tetap membutuhkan dukungan dari semua pemangku
kepentingan untuk mencapai lingkugnan yang lestari dan masyarakat sejahtera

Abraham Wekaburi (Koordinator 7 Suku di Bintuni)


Cagar Alam milik kami, hidup kami tergantung disana. Kami ingin bisa bekerja bersama
untuk menjaga cagar alam ini. Kami berharap pengelolaan akan mensejahterakan kami
masyarakat

Adrian Tatiri – Kepala Kampung Yakati


Kami mau cagar alam bisa lestari, kami bisa dapat ikan, udang, karaka dan buaya dari
mangi-mangi. Cagar Alam ini kami masyarakat Bintuni pu barang. Semoga pengelola cagar
alam bisa bekerja bersama masyarakat menjaga Cagar Alam Teluk Bintuni

Otto Manibuy – Tokoh Adat Wamesa


Cagar Alam Teluk Bintuni kami orang pu barang. Semua masyarakat bisa mencari makan
disana asal ikut kita pu aturan. Kita mau kita pu mangi-mangi terjaga dan kita bisa dapat
hasil laut dari kekayaan Cagar Alam

ISBN : 979-97700-4-1

You might also like