Professional Documents
Culture Documents
Kerjasama
BKSDA Papua II Sorong
dengan
The Nature Conservancy
RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
PROPINSI IRIAN JAYA BARAT
2006-2030
Oleh:
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed N. Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Sergius Kosamah, SH
Editor
Prof. Dr. Frans Wanggai
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Dr. Ir. Lukman Yunus
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Fotografi
Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Peta Tematik
Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari)
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
PROVINSI IRIAN JAYA BARAT
2006-2030
Dr. Jamartin Sihite, dkk.
Penulis
Dr. Jamartin Sihite, dkk.
Editor
Prof. Dr. Frans Wanggai
Dr. Jamartin Sihite
Dr. Lukman Yunus
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Fotografi
Dr. Jamartin Sihite
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Peta Tematik
Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari)
Ir. Obed Lense, M.Sc.
Penerbit:
The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas
(SEA CMPA)
(Jl. Pengembak No. 2 Sanur-Bali, Indonesia. Phone: (62-361) 287272 (hunting), Fax: (62-
361) 270737)
Bekerjasama dengan
UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI
Jl. G. Salju Amban Manokwari, Irian Jaya Barat PO Box 23 Manokwari
Phone : (0986) 211754
Fax : (0986) 211455
Hak Cipta pada TNC (The Nature Conservancy) dan Universitas Negeri Papua
ISBN: 979-97700-4-1
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II
Alamat: Jl. Jenderal Sudirman No. 40 Po. Box 1053 Sorong-Papua
Telp 0951-321926, Faks. 0951-334073, Email: ksda@sorong.wasantara.net.id
RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
TAHUN 2006 – 2030
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
RINGKASAN EKSEKUTIF
Cagar Alam Teluk Bintuni adalah salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bintuni yang
sebagian besar merupakan tipe hutan mangrove. Karena keunikan wilayahnya serta terdapatnya
beragam jenis flora dan fauna endemik Papua, maka pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan
perairan Papua, menunjuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai Kawasan Cagar Alam
dengan luas 124,850 Ha. Sejak Penunjukan, pengelolaan kawasan CATB berada di bawah Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong - Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari.
Kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada pengamanan kawasan sedangkan kegiatan yang
mengarah kepada pelestarian fungsi kawasan belum dilakukan.
Pada era desentralisasi sektor kehutanan sejalan dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi
Propinsi Papua serta implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis
masyarakat,memunculkan dilema baru bagi pengelolaan kawasan konservasi di daerah.
Tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin gencar bermunculan, baik ditinjau
dari segi tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat akan haknya terhadap kawasan hutan bahkan
juga kegiatan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan semakin tidak terkendali. Menyikapi
masalah tersebut, khusus bagi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), sebagai salah satu
kawasan konservasi yang strategis, berbatasan langsung dengan pusat kota dan merupakan
tempat dimana masyarakat kota Bintuni dan sekitarnya menggantungkan kehidupannya,
terutama dari hasil Perikanan seperti udang, ikan, dan kepiting.
Dalam upaya untuk mengelola Cagar Alam Teluk Bintuni yang lebih baik, The Nature
Conservancy (TNC) dalam hal ini Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA)
yang berkedudukan di Denpasar, Bali membentuk suatu Tim Penyusun yang bertugas menyusun
Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) yang terdiri dari unsur pengelola kawasan (BKSDA Papua
II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan organisasi non pemerintah serta didukung oleh
unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni. Tim ini dibentuk untuk membantu pemerintah
daerah dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II dalam merumuskan Rencana
Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara partisipatif yang mampu
mempertahankan dan melestarikan fungsi kawasan sesuai peruntukannya.
Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari adanya kebijakan pelaksanaan otonomi
daerah dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam proses
pembangunan bidang kehutanan. Tantangan ini, pada dasarnya merupakan wujud tuntutan
publik atas perlunya suatu program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang benar-
benar dapat dijalankan dan isinya merupakan kumpulan agenda dari aspirasi segenap pemangku
kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan.
Dokumen Rencana Pengelolaan ini bertujuan untuk mengakomodir berbagai aspirasi dari
stakeholder dan merumuskannya dalam rencana strategis dan rencana aksi. Disamping itu
penyusunan dokumen ini ditujukan untuk menciptakan salah satu instrumen pengelolaan yang
mampu memberikan landasan bagi perencanaan dan pengembangan kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh Pemerintah Kabupaten Bintuni. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan
dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan kawasan CATB yang akomodatif , demokratif ,
partisipatif dan bertanggung jawab.
Proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Kabupaten
Bintuni oleh Tim Penyusun dilakukan melalui serangkaian tahapan (1) Konsultasi, koordinasi, dan
sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni,
Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar
Kawasan CATB, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005; (2) Pertemuan Kampung (village
meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14 kampung/kelurahan yang berada di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam
rangka pengumpulan data SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode
akhir Maret s/d awal Mei 2005; (3) Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim
di dalam dan sekitar kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh
masyarakat di setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, di Bintuni, tanggal 1 Juni 2005; (4) Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana
Pengelolaan CATB yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2005, di Bintuni; (5) Kajian ilmiah
(scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
“reviewer”, sehingga dokumen yang dibuat dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; dan (5)
Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam,
Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa Manokwari, Kepala
Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni, dinas terkait (Dinas kehutanan
dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni, Koordinator Badan Monitoring, dan
masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan
sekitar Kawasan CATB.
Visi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni untuk tahun 2006 – 2030 adalah mewujudkan
“Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Lestari,Berkelanjutan dan Berdaya
Guna”. dapun skenario yang menjadi impian ataupun harapan para pemangku kepentingan dan
masyarakat kota Bintuni pada masa 25 tahun mendatang adalah “Pada Tahun 2030 Pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni Akan Berjalan Ideal Dan Optimal, Karena Kebijakan Pemerintah Yang
Akomodatif Dan Didukung Oleh Kelembagaan Pemangku Kepentingan Yang Demokratif.
Untuk menunjang terwujudnya visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, dalam dokumen ini
telah dirumuskan secara detai Rencana kegiatan pengelolaan yang difokuskan pada 7 (tujuh)
aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan,
Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung
Kegiatan Pengelolaan.
Dalam implementasi kegiatan Rencana pengelolaan Kawasan, akan dimonitor dan dievaluasi
oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang
bersifat independent. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru akan
muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa strategi-
strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu dievaluasi dan
dimodifikasi.
Selain itu, dalam dokumen ini juga telah disusun Rencana pembiayaan serta kemungkinan-
kemungkinan sumber dana yang bisa di gali dalam menunjang implementasi kegiatan Rencana
pengelolaan periode limatahunan dan duapuluh limatahunan.
SAMBUTAN BUPATI
Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan salah satu dari beberapa kawasan konservasi yang
terletak di Kabupaten Teluk Bintuni. Cagar alam ini merupakan kebanggaan masyarakat
Kota Bintuni, sudah dikenal di dunia internasional dan juga tempat banyak penduduk
menggantungkan hidupnya. Upaya pengelolaan yang bertujuan untuk penyelamatan dan
pelestarian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan wujud dari tanggungjawab kita
bersama selaku umat ciptaan Tuhan terhadap anugerah yang diberikan kepada masyarakat
Teluk Bintuni.
Keberadaan kawasan konservasi di suatu daerah, mampu memberikan manfaat yang besar,
tidak hanya pada daerah dimana kawasan konservasi berada tetapi juga memberikan
manfaat kepada lingkungan global. Tim penyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni yang dibentuk oleh The Nature Conservancy (TNC), South East Asia
Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang terdiri dari unsur pengelola
kawasan (BKSDA Papua II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan didukung oleh unsur
Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni telah selesai menyusun rencana pengelolaan
dan ini merupakan suatu momentum yang baik dimana ada banyak pihak yang berjuang
bersama dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Perhatian yang besar dari masyarakat dan kerja keras Tim Penyusunan Rencana
Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni diperlihatkan dari antusiasme semua pemangku
kepentingan dalam mengikuti proses penyusunan, dimulai dari proses konsultasi publik baik
pertemuan kampung, diskusi intern dengan institusi terkait di daerah, dan lokakarya tingkat
Kabupaten merupakan bukti kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatan kawasan
ini. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menyambut baik hasil dokumen
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 25 tahunan yang telah dirumuskan dan
disusun oleh Tim secara bersama-sama dengan para pemangku kepentingan. Pemerintah
Kabupaten Teluk Bintuni tetap mengharapkan dukungan dari semua pihak, terutama segenap
masyarakat Teluk Bintuni dalam upaya impelementasinya. Pemerintah Kabupaten Teluk
Bintuni juga mengharapkan dengan adanya dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni, maka sinergitas dan kinerja para pemangku kepentingan dalam pengelolaan
maupun pengembangan kawasan dapat berjalan secara efektif, transparan dan bertanggung
jawab, sehingga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara
lestari, berkelanjutan dan berdaya guna dapat terlaksana.
Sehubungan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, secara khusus saya
meminta Pengelola Cagar Alam untuk dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
sekaligus pula melakukan koordinasi pelaksanaan berbagai kegiatan yang ada dalam
dokumen rencana kegiatan dimaksud bersama dengan Kepala Dinas dan Instansi terkait.
Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni secara umum juga saya minta untuk dapat mendukung
sepenuhnya upaya pelaksanaan kegiatan di lapangan. Terhadap hal-hal yang mungkin
muncul atau dijumpai di lapangan, termasuk kemungkinan konflik kepentingan, dalam atau
selama pelaksanaan kegiatan ini saya minta dengan sangat untuk dapat dipecahkan
bersama secara terbuka, partisipatif dan berpegang pada azas demokrasi.
Atas nama Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan atas segala upaya
dan kerja keras yang dilakukan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga, saya
sampaikan kepada lembaga pendukung kegiatan The Nature Conservancy (TNC), South
East Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang telah membantu dan
menfasilitasi proses penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Bintuni selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pula kepada
semua pihak baik instansi teknis terkait, dinas lainnya se-Kabupaten Teluk Bintuni, lembaga
pendidikan dan lembaga penelitian serta lembaga pelaksana teknis Departemen Kehutanan
di Kabupaten Teluk Bintuni yang telah membantu memberikan konstribusi pemikiran dan
berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Terima kasih dan penghargaan yang sama pula saya sampaikan kepada
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas partisipasinya dalam proses
penyusunan rencana pengelolaan ini.
Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu momentum
awal yang baik bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi di Tanah Papua,
secara khusus pelestarian dan perlidungan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni.
Namun demikian, untuk menambah arti dan nilai manfaat dokumen ini maka sekali lagi saya
mengajak semua para pemangku kepentingan dan segenap masyarakat Teluk Bintuni untuk
secara bersamasama mendukung implementasi kegiatan dalam dokumen program rencana
pengelolaan ini.
Akhirnya, hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan puji dan syukur, sehingga
kita boleh menikmati hidup yang baik hingga saat ini.
Upaya proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang digagasi oleh The Nature Conservancy (TNC) merupakan suatu langkah awal
yang bijak dan bukti nyata kepedulian para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan
Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya dalam upaya mewujudkan pengelolaan kawasan
konservasi di Papua yang partisipatif, transparan, demokratik dan bertanggung gugat. Upaya
ini merupakan salah satu bantuan yang sangat berharga bagi kami dalam upaya pengelolaan
kawasan konservasi di Papua, secara khusus dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Papua II Sorong. Menginggat keterbatasan sumber daya kami yang kurang
proposional dengan luas wilayah konservasi yang ada dalam wilayah pemangkuhan Balai
KSDA Papua II Sorong di Papua.
Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang
digagasi oleh Tim penyusun rencana pengelolaan kawasan CATB serta berkoordinasi
dengan Balai KSDA Papua II juga merupakan langkah yang sejalan dan sesuai dengan
program dan prosedural penetapan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Selain itu
pula, proses penyusunan yang melibatkan para pemangku kepentingan serta publik di
Kabupaten Teluk Bintuni memberikan makna yang penting dalam membangun dan merubah
paradigma kebijakan pengelolaan yang lebih akomodatiif, transparan dan demoktratik.
Sehingga, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Papua bersifat partisipatif yang
dapat mengakomodir semua aspirasi para pemangku kepentingan dalam kawasan. Dengan
demikian, implementasi program pengelolaan kawasan selanjutnya dapat berjalan lebih
efektif dan seinergis serta meminilisasi konflik yang selama ini terjadi.
Oleh sebab itu, Balai KSDA Papua II Sorong menyambut baik dan menyampaikan selamat
dan sukses atas diselesaikannya dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ini. Selanjutnya, disadari bahwa sumberdaya pada Balai KSDA Papua II masih
sangat terbatas, maka kontribusi dan dukungan para pemangku kepentingan serta publik
Manokwari masih sangat diharapkan juga dalam implementasi program selanjutnya.
Pada kesempatan ini pula, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Faslitasi Penyusunan
Rencana Pengelolaan CATB atas upaya dan kerja keras yang diberikan selama ini. Ucapan
terima kasih juga, kami sampaikan kepada Bupati Teluk Bintuni serta Pemerintah Kabupaten
Teluk Bintuni atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga
kami sampaikan kepada The Nature Conservancy atas segala dukungan dalam menfasilitasi
proses penyusunan dokumen selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian dokumen ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu juga kami
ucapkan banyak terimakasih.
Pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi di Tanah Papua, secara khusus pada
wilayah Kepala Burung Pulau Papua bukan semata-mata merupakan tanggungjawab Balai
KSDA Papua II selaku pemangku dan pengemban tugas pengelola kawasan, melainkan
merupakan tanggungjawab kita bersama segenap masyarakat Papua untuk melestarikan dan
mewariskan kekayaan alam yang unik dan maha kaya bagi generasi akan datang di tanah ini.
Akhirnya, segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan perlindungan, berkat dan anugerah yang tak ternilai harganya, sehingga
proses kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa, yang telah membantu
memberikan kekuatan, kesehatan dan menyertai serta melindungi kita, sehingga proses
penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) dapat diselesaikan dengan baik.
Dokumen ini dihasilkan melalui serangkaian tahapan kegiatan diskusi baik formal dan
informal yang dilakukan Tim Penyusun RPK Cagar Alam Teluk Bintuni, baik internal tim
berupa konsolidasi dan koordinasi yang dilakukan secara regular, maupun eksternal tim
antara berupa konsultasi publik dan field survei. Rangkaian tahapan proses yang dilakukan
Tim Penyusun RPK CATB secara umum terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, yaitu :
1. Penyusunan rencana kegiatan (work-plan) untuk keperluan internal Tim Penyusun RPK
Cagar Alam Teluk Bintuni, dilaksanakan di kantor TNC, Southeast Asia Center for Marine
Protected Areas (SEACMPA) Bali pada tgl 6-8 Maret 2005.
3. Konsultasi, koordinasi, dan sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk
Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni, Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Masyarakat
yang diwakili LMA Bintuni dan Lemasom, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005 .
5. Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh masyarakat di
setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, di
Bintuni, tanggal 1 Juni 2005.
7. Kajian ilmiah (scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni oleh Dr. Sukristijono Sukardjo, DS.c, APU (Peneliti Mangrove, Puslitbang
Oseanologi-LIPI).
8. Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan
pada tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan
Konservasi Alam, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa
Manokwari, Kepala Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni,
dinas terkait (Dinas kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni,
Koordinator Badan Monitoring, dan masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh Ketua
LMA Bintuni dan Lemasom.
9. Pengesahan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
Dirjen PHKA, di Jakarta.
Dokumen ini memuat kondisi umum kawasan, kebijakan, analisis permasalahan, rencana
kegiatan, pembiayaan, pengorganisasian, dan monitoring dan evaluasi. Khusus untuk
rencana kegiatan, difokuskan pada 7 (tujuh) aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan,
Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/
Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan
Pengelolaan.
Dokumen Rencana Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan arahan
umum kegiatan yang diharapkan dapat di realisasikan oleh para pemangku kepentingan
dalam program pengelolaan kawasan CATB sesuai dengan kewenangan serta tugas pokok
dan fungsinya. Implementasi kegiatan pengelolaan selanjutnya, merupakan tugas pokok dan
fungsi serta kewenangan Balai KSDA Papua II, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan
para pemangku kepentingan dalam kawasan, bukan lagi menjadi tugas Tim Penyusun RPK
CATB. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan bukan merupakan tanggungjawab sepihak
pengelola kawasan dan pemerintah daerah, melainkan tanggungjawab bersama para
pemangku kepentingan dalam kawasan dan juga masyarakat Teluk Bintuni dalam
mendukung dan menyukseskan pelaksanaannya.
Dengan selesainya Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bupati Teluk Bintuni yang telah memberikan perhatian serius dan mendukung kami,
sehingga semua proses kegiatan dapat berjalan dengan baik.
2. Badan Perencana Daerah Kabupaten Teluk Bintuni beserta jajarannya atas bantuan dan
arahan selama proses penyusunan dokumen ini.
3. Kepala Balai KSDA Papua II atas dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan
kepada kami, sehingga koordinasi dan kerjasama dapat berjalan lancar dan sukses.
4. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas
(SEACMPA) Bali, atas dukungan, bantuan dan fasilitas, sehingga proses penyusunan
dokumen ini dapat direalisasikan dengan baik.
5. Universitas Negeri Papua Manokwari dan Universitas Trisakti Jakarta, atas bantuan
teknis dan informasi yang diberikan, sehingga penyusunan dokumen dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Teman-teman di Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS2AL) - Bogor atas
bantuan editing dan koreksian serta dukungan data-informasi yang diberikan
7. Teman di BP Indonesia khususnya Jalal, Piere dan Habel atas bantuan dan dukungan
yang diberikan
8. Kepada instansi teknis terkait dan dinas serta semua pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu di sini.
9. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya masyarakat yang bermukim di kampung-kampung
di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Semoga dokumen ini dapat menjadi acuan dan instrumen dasar bagi Balai KSDA Papua II
Sorong dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni sebagai upaya dalam pengembangan
program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, sehingga memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat Teluk Bintuni dan juga mewujudkan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari, berkelanjutan dan berdaya guna.
DAFTAR ISI
Halaman
PETA SITUASI
RINGKASAN EKSEKUTIF
SAMBUTAN BUPATI KABUPATEN TELUK BINTUNI
SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... I-1
A. Latar Belakang...…………………………………………………………………….. I-1
B. Maksud dan Tujuan .. ……………………………………….………………………. I-5
C. Sasaran .... …………………………………………………………………………… I-6
C1. Perlindungan . ………………………………………………………………… I-6
C2. Konservasi... ……………………………………………………….…………. I-6
C3. Pendidikan.. …………………………………………………………..………. I-6
C4. Pemanfaatan Sumberdaya....……………………………………………….. I-7
C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan .....………………………………………. I-7
D. Ruang Lingkup................................................................................................... I-8
E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................................ I-8
F. Metode Pendekatan ... ……………………………………………………………… I-9
II. KEADAAN UMUM KAWASAN................................................................................. II-1
A. Risalah Kawasan ..………………………………………………………………….. II-1
A1. Informasi Umum Kawasan . ….……………………………………………… II-1
A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan ...…..…………………….………….. II-1
A.1.2. Letak dan Luas................... .……………………………….……….. II-2
A.1.3. Aksesibilitas.......................................................………….………. II-3
A2. Kondisi Fisik Kawasan....………………………………………….…………. II-4
A.2.1. Iklim.... ………….……………………………………………..………. II-4
A.2.2. Geologi...... ……………………………………………………..…….. II-5
A.2.3. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi ... ………………..…… II-5
A.2.4. Tanah... ………………………………………….……………….…… II-6
A3. Kondisi Biologi Kawasan . ..…………….……………….…………………… II-7
A.3.1. Ekosistem .. ………………………………………………………….. II-7
A.3.1.1. Hutan Hujan Dataran Rendah .... ……………………….. II-7
A.3.1.2. Hutan Mangrove .. ………………………………………… II-9
A.3.2. Species ...…………………………………….………………………. II-15
A.3.2.1. Flora …………………………….…………………………. II-16
A.3.2.2. Fauna .........………….….………………………………… II-17
B. Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya. …………...…………………………. II-25
B.1. Penduduk……………………………………………………………………. .. II-25
B.2. Mata Pencaharian…………………………………………………………..... II-28
Daftar Isi i
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman
B.3. Pendidikan dan Kesehatan .......................………………………………… II-30
B.3.1. Pendidikan …………………………………….………………………. II-30
B.3.2. Kesehatan …………………………………….………………………. II-31
B.4. Agama .. ...........................…………………………………………………… II-33
B.5. Kearifan Tradisional Masyarakat.. ....................…………………………… II-34
B.6. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ..............………………………………… II-34
B.6.1. Pandangan Masyarakat Adat terhadap SDA (Tanah & Hutan).. .. II-34
B.6.2. Pola Pemanfaatan SDA... ...............……………………………..… II-35
B.6.3. Pemanfaatan SDA di Kawasan CATB........................................ . II-37
B.6.3.1. Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut ................. II-38
B.6.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan ............................................... II-40
B.6.3.3. Tempat Berburu............................................................. II-44
B.6.3.4. Tempat Berladang ......................................................... II-45
B.6.4. Kepemilikan Lahan .....……….……………………………………… II-46
B.7. Sarana dan Prasarana Transportasi……………………………………….. II-48
B.8. Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.............. II-50
C. Permasalahan.................................................................................................... II-54
C1. Fisik..............................…………………………………………………….... II-55
C.1.1. Letak Kawasan .. ..............................………………………………. II-55
C.1.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... .........………………………. II-55
C.1.3. Infrastruktur..................……………………………………………… II-56
C2. Biologi………………………………………………................................... .. II-56
C3. Sosial Ekonomi Budaya... ..............…………………………………………. II-57
C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang tidak Ramah Lingkungan .. II-57
C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Burung ....…………………. II-58
C.3.3. Adanya Perkampungan di Dalam Kawasan .. …………………….. II-59
C.3.4. Tumpang Tindih Kawasan dengan Penggunaan Lahan Lain .. … II-60
C.3.5. Adanya Tempat Penimbunan kayu di Dalam Kawasan .. ……….. II-60
D. Faktor Penghambat ........................……………………………………………….. II-61
D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni.................................. II-61
D.2. Kapasitas Pengelola Kawasan.. ...………………………………………….. II-62
D.3. Peran Masyarakat (Community Involvement) .. ....................................... II-62
III. KEBIJAKAN ............................................................................................................ III-1
A. Dasar Hukum.. ………………………………………………………………………. III-1
B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia ...……………………………….. III-2
B.1. BAPI 1993……………………………………………………………………… III-2
B.2. IBSAP 2003......................……………………………………..…………….. III-4
C. Sektor Kehutanan..................……………………………………………………… III-5
C.1. Pengelolaan Hutan Lestari......................................................……..……. III-5
C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA…………………………………….……... III-5
C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam .................... III-15
C.4. Pengelolaan Cagar Alam .......................................... …………………….. III-20
C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove . ............... III-23
Daftar Isi ii
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman
D. Pengembangan Wilayah …………………………………………………………… III-26
D.1. Tinjauan Panataan Ruang Kabupaten Teluk Bintuni . …………………… III-26
D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam Dengan Daerah Sekitarnya..... III-28
IV. ANALISIS PERMASALAHAN ................................................................................. IV-1
A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan .……………………..…………………….…….. IV-1
A.1. Permasalahan …………..…………………………………..……………….. IV-1
A.1.1. Aspek Pengelolaan...... ………………….………………………….. IV-1
A.1.2. Aspek Kebijakan .............. ……………………….……………..…… IV-6
A.2. Alternatif Pemecahan Masalah . ……………………….……………..…….. IV-6
B. Aspek Biologi Kawasan ..................................................................................... IV-8
B.1. Permasalahan .. ………………………………………………………………. IV-8
B.1.1. Ekosistem ....... …………………………………………….…………. IV-8
B.1.2. Flora dan Fauna ....................………………………………………. IV-17
B.2. Alternatif Pemecahan Masalah . .....................…………………………….. IV-21
C. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya................................................................... IV-26
C.1. Permasalahan .......................……………………………………………….. IV-26
C.1.1 . Rendahnya partsipasi Masyarakat ..... ...........……………………. IV-26
C.1.2 . Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam .... .............………………. IV-26
C.2. Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................ IV-29
D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................. IV-34
D.1. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik............................. IV-34
D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik ............................. IV-35
D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik.................................... IV-35
D.4. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Otoritik .................................... IV-36
E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA) .................... IV-36
E.1. Identifikasi dan Penilaian faktor Internal dan Eksternal ........................... IV-37
E.2. Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT .................................................. IV-39
F. Perumusan Strategi Pengelolaan ..................................................................... IV-40
V. RENCANA KEGIATAN ........................................................................................... V-1
A. Umum…………………………….…………………………………………………... V-1
B. Rencana Kegiatan Pengelolaan …………………………………………………... V-2
B.1. Pemantapan Kawasan ……………………………………………………… V-2
B.2. Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan……………………………. V-3
B.3. Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati............ V-6
B.4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan............................................... V-10
B.5. Pendukung/Kelembagaan……………………………………...................... V-12
B.6. Pemanfaatan................................ ……………………………..…………… V-13
C. Sarana dan Prasarana……………………………………………………………… V-17
C.1. Sarana Prasarana Pengelolaan . …………………………………………… V-17
C.2. Sarana Prasarana Pendidikan .. ……………………………………………. V-18
C.3. Sarana Prasarana Penelitian .………………………………………………. V-19
DAFTAR ISI
Halaman
VI. PEMBIAYAAN ......................................................................................................... VI-1
A. Sumber Dana. ……………………………………………………………………….. VI-1
B. Rincian Biaya………………………………………………………………………. .. VI-2
VII. PENGORGANISASIAN ........................................................................................... VII-1
A. Pembinaan SDM, Kelembagaan dan Koordinasi ....…………………………….. VII-1
A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM ......………………………………… VII-1
A.2. Kebijakan Pengelolaan...…………………………………………………….. VII-2
A.3. Koordinasi dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni.....……. VII-3
A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain …………………………………………… VII-3
B. Tanggungjawab Administrasi ……………………………………………………… VII-6
C. Penyusunan Staf .…………………………………………………………………… VII-8
VIII.MONITORING DAN EVALUASI ............................................................................. VIII-1
A. Pelaksana Kegiatan.. ……………………………………………………………….. VIII-1
A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………….. VIII-1
A2. Forum Komunikasi Independen . …………………………………………… VIII-2
A.2.1. Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB.…….….. ........... ... VIII-2
A.2.2 . Tugas dan Tanggungjawab ...... ……………………………………. VIII-6
A.2.3. Sumberdaya Pendukung ......……………………………………….. VIII-7
B. Rencana Waktu Pemantauan dan Evaluasi.. ……………………………………. VIII-7
B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni . ……………………………. VIII-7
B.2. Forum Komunikasi Independen ...................... ……………………………. VIII-8
B.2.1. Lingkup Kegiatan Badan Forum Komunikasi Independen . ......... VIII-8
B.2.2. Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen....................... VIII-9
IX. PENUTUP ................................................................................................................ IX-1
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daftar Isi iv
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
I-1 Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) ................................... I-9
II-1 Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………………… II-4
II-2 Jenis tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni ................................................................................................................... II-6
II-3 Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16
II-4 Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16
II-5 Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan dataran Rendah di
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.........……………………………………………. II-17
II-6 Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di
dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................ II-18
II-7 Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... .............. ……………………… II-20
II-8 Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta
berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni .……………………………………………………………. II-22
II-9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni ..................................................................................................…… II-26
II-10 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di sekitar Cagar Aalam
Teluk Bintuni..……................................................................................................ II-28
II-11 Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni .......…….................................………………………………………… II-29
II-12 Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002... . II-30
II-13 Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 .... II-31
II-14 Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni tahun 2005..........................…………………………………………………… II-32
II-15 Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
berdasarkan agama.. .....……………………………………………………………… II-33
II-16 Hasil perikanan yang dihasilkan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) beserta harganya. ................................................................................... II-40
II-17 Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-41
II-18 Pemanfaatan komponen flora dan fauna pada ekosistem mangrove di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................... II-43
II-19 Sarana dan jenis transportasi kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik
dengan saran transportasi sungai/laut ........ …......………………………………… II-49
II-20 Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan
pelayaran swasta lain ........ ………………….......…………………………………… II-50
II-21 Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove........................................ II-51
II-22 Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-52
II-23 Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB............................ ..... II-53
Daftar Isi v
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
IV-1 Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan
Juli tahun 2005 ………………………………………………………………………… IV-3
IV-2 Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
sampai dengan Juli tahun 2005....…………………………………………………… IV-4
IV-3 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………………………………………….. IV-7
IV-4 Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan
dataran rendah di kawasanCagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ........ ...……… IV-9
IV-5 Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan
dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan
tahun 2005 ............................................................................................................ IV-10
IV-6 Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan
ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ...... ..… IV-14
IV-7 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem
hutan mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................... IV-22
IV-8 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ....... ……………………… IV-23
IV-9 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni ... ………………………………………………………...... IV-24
IV-10 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ IV-33
IV-11 Matriks hasil analisis SWOT . ……………………………………………………….... IV-40
V-1 Prioritas rencana kegiatan pengelolaan kawasan selama dua puluh lima tahun
(2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni...............................................…………… V-1
V-2 Rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan..................................................... V-3
V-3 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan.................................................... V-5
V-4 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
mengembangkan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati........................... V-9
V-5 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek perlindungan dan pengamanan
kawasan.. ............................................................................................................. V-12
V-6 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pendukung/kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................. V-13
V-7 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pemanfaatan sumberdaya alam
di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................. V-16
VI-1 Rencana alokasi biaya pengelolaan jangka pendek kawasan CATB (per tahun)
pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ........................................................ VI-2
VI-2 Rencana alokasi biaya pengelolaan kawasan CATB jangka panjang
(lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030)............................... VI-9
VI-3 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka pendek
(per tahun) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ...................................... VI-16
VI-4 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka panjang
(per tahun) pada periode 25 tahun (2006-2030) .................................................. VI-19
Daftar Isi vi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
VII-1 Kondisi staf pengelola cagar alam dan rencana pemenuhan staf berserta
rencana pelatihan ................................................................................................. VII-9
VII-2 Rencana kebutuhan biaya pemenuhan staf dan rencana pelatihan di Cagar
Alam Teluk Bintuni................................................................................................ VII-10
VIII-1 Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa........ VIII-3
VIII-2 Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa .. VIII-4
VIII-3 Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan .......... ………...…………… VIII-8
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
II-20 Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni 2005....................................................................................... II-27
II-21 Salah seorang anggota masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah melaut . II-28
II-22 Penangkapan ikan dengan menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan
masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ………......………………. II-38
II-23 Jenis siput bor Bactronophorus sp. yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar
kawasan CATB .................................................................................................... II-38
II-24 Jenis kerang Polymesoda coaxan yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar
kawasan CATB ..................................................................................................... II-38
II-25 Jenis kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di
dalam dan sekitar kawasan CATB ....……………………………………………….. II-39
II-26 Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai
rumah/para-para, dan (c) anyaman keranjang …………………………………….. II-40
II-27 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni..................................................................... . II-42
II-28 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-42
II-29 Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya
berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................... II-42
II-30 Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar
kampung Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni........................................ II-44
II-31 Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor .. II-45
II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang
berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................................. II-45
II-33 Peta kepemilikan lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah
hukum adat .......................................................................................................... II-47
II-34 Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni
yang melayani penerbangan ke dan dari kota Bintuni ......................................... II-48
II-35 Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi
Manokwari-Bintuni PP .......................................................................................... II-48
II-36 Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di
dalam dan sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ....................................................... II-49
II-37 Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat
Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................. II-55
II-38 Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/
Wasian di dalam Kawasan CTAB.….......…………………………………………… II-56
II-39 Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB………………………. II-59
II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam
kawasan CTAB ..................................................................................................... II-59
II-41 Diskusi dengan masyarakat Banjar Ausoy tentang tumpang tindih LU 2 dengan
Batas kawasan CATB........................................................................................... II-60
Daftar Isi ix
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
III-1 Rencana Pola Pengembangan Kota Bintuni sebagai Ibu Kota kabupaten
Teluk Bintuni . ....................................................................................................... III-27
IV-1 Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua
dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ………………………… .. IV-2
IV-2 Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-3
IV-3 Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai
logyard di S. Sumberi di kawasan CATB.............................................................. IV-11
IV-4 Kebun masyarakat lokal di Kampung Mamuranu di dalam kawasan CATB ...... IV-11
IV-5 Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem mangrove di
S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................ IV-12
IV-6 Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang
pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... IV-14
IV-7 Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... IV-15
IV-8 Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamuranu, CATB IV-17
IV-9 Jenis burung mambruk (Goura cristata) yang telah dilindungi undang-undang
yang populasinya terancam.................................................................................. IV-18
IV-10 Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindungi
undang-undang yang populasinya terancam .... ................................................. IV-19
IV-11 Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung
undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah
Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-19
IV-12 Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindungi
undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... IV-19
IV-13 Diskusi bersama masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam rangka
penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............ IV-29
IV-14 Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1
dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan
.................................................................................................... ......................... IV-30
VI-1 Alur pengusulan pelaksanaan kegiatan dan implementasi kegiatan.................... VI-1
VII-1 Struktur arus informasi dari tahapan pelaksanaan pengelolaan di Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... VII-2
VII-2 Struktur sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam.............................................. VII-6
VII-3 Struktur organisasi pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................... VII-7
VIII-1 Mekanisme kerja Forum Komunikasi Independen ............................................... VIII-9
Daftar Isi x
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman
Daftar Isi xi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman ketika krisis moneter memberikan pengalaman yang sangat berharga. Krisis ini
berdampak tidak hanya pada sistem perekonomian tetapi juga pada sistem lingkungan
(ekologi) nasional. Kondisi krisis menyebabkan upaya pemenuhan kepentingan ekonomi
melupakan aspek lingkungan. Pada banyak daerah dapat dijumpai terjadinya eksploitasi
sumberdaya alam yang mengabaikan kelayakan ekologis dan keberadaan kawasan lindung.
Kondisi ini seyogyanya menyadarkan bangsa Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Salah
satu upaya yang perlu dilaksanakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya yang
menyeluruh adalah melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat yang
mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan berada pada posisi yang seimbang.
Gambar I-1. Cagar Alam Teluk Bintuni luas mangrove di dunia, yaitu kurang lebih
9,6 juta ha yang berada dalam wilayah
administrasi kawasan hutan dan non-kawasan hutan (Spalding et al., 1997). Hasil-hasil
penelitian juga telah menngkatkan pemahaman tentang nilai, fungsi, dan atribut ekosistem
mangrove. Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, biodiversitas mangrove dan
konservasinya telah menjadi perhatian dunia. Pada waktu yang sama, habitat kawasan
pesisir di setiap pulau-pulau di Indonesia berada dalam tekanan yang berat sebagai akibat
pertumbuhan penduduk dan pembangunan.
Skala dampak manusia pada eksositem mangrove di Indonesia telah secara dramatis selama
dekade terakhir memperlihatkan ancaman serius. Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk
Jakarta, misalnya, telah mengalami kerusakan yang melewati toleransi daya dukung
lingkungan, seperti eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang yang akan
menghilangkan fungsinya sebagai perlindungan alami terhadap badai dan gelombang,
tangkap lebih (over fishing) terhadap sumberdaya ikan yang akan mengakibatkan
musnahnya berbagai jenis ikan ekonomis penting, serta pencemaran perairan pesisir yang
Pendahuluan I-1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
akan mengurangi produksi ikan dengan merusak tempat pemijahan dan habitat yang bernilai
lainnya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).
Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi penyambung darat dan
laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi,
gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang
merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan
mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari
makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai.
Menurut Kusmana (2002) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan
mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan
lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4)
melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan
dan pelatihan.
Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat
bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya
semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih
perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api
yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia
bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya
(Noor et al. 1999).
Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat
diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di
Pendahuluan I-2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik
yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan
menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan
pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan
pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat
berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu
seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang
berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam Suhaeb, 1999).
Ekosistem mangrove menyediakan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak bagi
satwa liar, bahkan beberapa diantaranya termasuk kedalam jenis yang endemik atau
keberadaannya telah langka seperti harimau sumatra (Pantera tigris sumatranensis),
bekantan (Nasalis larvatus), serta beberapa jenis berang-berang (otters) (Noor 1995).
Produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah
perikanan. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus
hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar et. al., 1992).
Indonesia mempunyai areal hutan mangrove yang sangat besar, mencapai 4.152.000 Ha,
tetapi menurut Spalding (1997) dalam Noor dkk (1999) luas ini sudah mengalami penyusutan
sampai 40% terutama pada periode 1990-1999. Menipisnya areal mangrove di kawasan
pesisir ditunjukkan oleh luasan mangrove yang mengalami kerusakan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
pada Tahun 1997 dari total hutan mangrove 8,7
juta Ha sebesar 5,9 juta Ha telah mengalami
kerusakan dan hanya 2,8 juta Ha yang
kondisinya masih baik. Hal ini terjadi antara lain
diakibatkan oleh: kegiatan konversi mangrove
menjadi peruntukkan lain, terutama disebabkan
oleh tekanan penduduk untuk pemukiman,
lahan tambak, lahan pertanian, tempat Gambar I-3. Abrasi di Hutan Mangrove Cagar
Alam Teluk Bintuni
pendaratan kapal, serta bangunan lainnya. Dari
Pendahuluan I-3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
isu pokok lingkungan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hutan mangrove
sebagai ekosistem di kawasan pesisir telah mengalami kerusakan, penurunan luasan dan
mutu habitat sebesar 68 %.
Pulau Irian/Papua merupakan pulau dengan keanekaragaman hayati yang cukup besar.
Pulau ini memiliki 5-7% kekayaan hayati (biodiversity) dunia. Ini bisa dipahami karena secara
geografis pulau Irian mempunyai variasi yang luas, mulai dari gunung yang diselimuti es,
vegetasi pegunungan, dataran rendah sampai hutan rawa. Di Irian juga bisa dijumpai 14
ecoregion daratan dan 5 ecoregion air. Dari 19 ecoregion ini maka di dalam 8 ecoregion yang
tercatat dalam WWF Global dapat dijumpai keberadaan 200 habitat.
Di dalam kawasan Teluk Bintuni yang merupakan ecoregion #129 terdapat kawasan
mangrove yang cukup luas bahkan merupakan kawasan mangrove terbesar di dunia.
Analisis citra satelit TNC (2003) menunjukkan bahwa di Teluk Bintuni masih ada hutan
mangrove seluas 435.168 Ha dan merupakan luasan mangrove terbesar yang berada pada
satu kawasan di Indonesia. Penelitian Ruitenbeek (1992) menunjukkan bahwa hutan
mangrove di Teluk Bintuni mendukung keberadaan sejumlah industri dan secara ekonomi
cukup besar. Dari sektor perikanan dihasilkan US$ 35 juta per tahun, kayu chips US $ 1,5
juta dan perikanan artisanal US $ 10 juta per tahun.
Cagar Alam di Teluk Bintuni diusulkan untuk pertama sekali oleh WWF pada permulaan
tahun 1980, dengan total luas 450.000 Ha (Petocz, 1983). Usulan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan penetapan oleh Departemen Pertanian RI dengan SK Mentan No.
182/Kpts/UM/II/1982 dengan luasan Cagar Alam 300.000 Ha. Pada tahun 1991 PHKA/AWB
merevisi luasan dengan mengusulkan luas Cagar Alam ini menjadi 260.000 Ha (Zuwendra,
dkk, 1991). Pelaksanaan tata batas kawasan pada tahun 2000 oleh Biphut Manokwari
menetapkan luasan akhir dari kawasan adalah 124.850 Ha yang diperkuat dengan SK
Menhut No. 891/Kpts-II/1999. Pada saat yang bersamaan, perkembangan ekonomi di Teluk
Bintuni bergerak maju. Industri udang, woodchips dan LNG serta penetapan kabupaten baru
mengharuskan dibangunnya banyak infrastruktur dan baik langsung maupun tidak langsung
akan menyebabkan dampak pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Sampai saat ini rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni belum tersusun. Kawasan
saat ini dikepalai oleh Kepala Ressort dan hanya memiliki jagawana dengan fasilitas
Pendahuluan I-4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Khusus di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pernah dilakukan beberapa survey dan
penelitian khususnya pada kawasan ekosistem mangrove dan dapat digunakan sebagai
informasi ekologis daerah Cagar Alam. Survei ini menunjukkan bahwa mangrove di Cagar
Alam Teluk Bintuni tergolong kepada sistem yang relatif tidak kompleks – hanya terdapat 20
spesies tanaman mangrove, dibandingkan dengan hutan dataran rendah di sekitarnya yang
mengandung 1200 spesies tanaman. Tetapi, ekosistem mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni
mempunyai peran ekonomi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi kawasan Teluk
Bintuni. Ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya perikanan dari kawasan,
pengambilan kayu bakar dan bahan bangunan rumah, adanya sedimentasi akibat
pengelolaan kawasan hulu yang kurang baik menjadi ancaman bagi keberadaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Keberadaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang ada masih relatif
belum efektif dan efisien. Diharapkan adanya rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang baik akan memudahkan pengawasan bersama antara BKSDA Papua II dengan
pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni.
Tujuan pengelolan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah untuk melestarikan habitat hutan
mangrove, hutan nipah dan pesisir di dalam kawasan untuk :
1. Menjamin perlindungan bagi kehidupan biota pesisir dan perairan, serta melindungi satwa
langka,
3. Menyusun suatu struktur pengelolaan bersama yang lebih mandiri dan kapasitas
memadai.
Pendahuluan I-5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
C Sasaran
Sararan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tercapainya pelestarian dan
perlindungan keanekaragaman hayati di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni melalui
pola pengelolaan komprehensif yang efisien tetapi berdayaguna (efektif), sehingga mampu
menjamin keberadaan biota langka dan endemik, serta menjamin berlangsungnya
pemanfaatan potensi secara berlanjut (sustainable use) guna mendorong pembangunan
ekonomi daerah.
Secara umum sasaran pengelolaan meliputi aspek (i) perlindungan, (ii) konservasi, (iii)
pendidikan, (iv) pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
serta (v) peningkatan sistem pengelolaan.
C1. Perlindungan
x Penerapan suatu sistem zonasi di lapangan Cagar Alam Teluk Bintuni, yang
melindungi semua daerah yang memiliki nilai biologi tinggi.
x Penerapan sistem pengawasan yang efektif oleh staf jagawana Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk menegakkan peraturan.
x Peraturan Cagar Alam Teluk Bintuni yang jelas, dapat diterapkan, dan menjamin
perlindungan sumberdaya alam dan menghormati pemanfaatan tradisional.
x Perlindungan dan menjaga fungsi tempat pemijahan ikan dan biota perairan.
x Perlindungan dan pelestarian fauna dan flora kawasan pada habitat alamnya.
C2. Konservasi
x Melakukan intervensi pengelolaan yang efektif bila terdapat spesies atau ekosistem
yang terancam.
C3. Pendidikan
Pendahuluan I-6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Penelitian
Pendahuluan I-7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
D. Ruang Lingkup
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni terdiri dari Rencana Pengelolaan jangka
Panjang (25 Tahun) dan Rencana Jangka Pendek (5 Tahun Pertama). Rencana tersebut
meliputi bahasan kebijakan, analisis masalah, rincian kegiatan dan pentahapan kegiatan baik
untuk pembanggunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan
pengamanan hutan, koordinasi, penelitian dan pendidikan.
Konsep pengelolaan kawasan perlu mempunyai tujuan ideal. Untuk itu diperlukan adanya
visi dan misi, dimana konsep ini akan diperjuangkan oleh pengelola. Pusat kepedulian atau
visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai Tahun 2030 adalah: TERWUJUDNYA
PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SESUAI FUNGSINYA
SECARA LESTARI, BERKELANJUTAN DAN BERDAYA GUNA. Visi atau pusat kepedulian
tersebut hanya akan terwujud apabila semua stakeholder membangun komitmen bersama
yang tercermin dalam kepedulian untuk bertindak melestarikan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni serta terbentuknya kesadaran publik secara luas di seluruh wilayah Kabupaten Teluk
Bintuni.
Misi merupakan gambaran deklaratif tentang tujuan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga,
organisasi atau kegiatan. Berdasarkan beberapa isu pengelolaan seperti yang dijabarkan
pada Bab selanjutnya, maka misi yang diemban dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk periode 25 tahun mendatang adalah:
Misi inilah yang akan dijabarkan lebih lanjut menjadi program dan rencana aksi dalam
dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Pendahuluan I-8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
F. Metode Pendekatan
Mengingat bahwa sasaran dari kajian ini adalah tersusunnya rencana pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya (tahun 2005-2024) melalui pendekatan ekosistem
dan berbasis masyarakat, serta tersedianya rencana kegiatan selama 5 tahun.
Rencana kegiatan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni mempunyai
banyak komponen kegiatan yang didasarkan kepada potensi kawasan dan juga
permasalahan kawasan, maka diperlukan prinsip pendekatan yang terpadu dalam menyusun
Rencana Pengelolaan (Management Plan) Cagar Alam Teluk Bintuni. Hal ini dimaksudkan
agar rencana pengelolaan (management plan) bisa digunakan sebagai acuan bagi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Papua II-Sorong dan Departemen Kehutanan cq
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam serta Pemerintah Daerah
Kabupaten Teluk Bintuni untuk mengelola kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kerangka pendekatan yang akan digunakan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
disajikan dalam Gambar 1-4.
Untuk melihat fungsi dan peran dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) maka
dilakukan analisis stakeholder, khusus yang mempunyai peran terhadap kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni (CATB). Tujuannya adalah agar data dan informasi yang diperoleh
mengenai kondisi, aktivitas, persepsi dan aspirasi tentang CATB meliputi semua pihak yang
berkepentingan (Tabel I-1).
No Stakeholder
1 Departemen Kehutanan BKSDA Papua II Resort Bintuni
2 Bappeda Teluk Bintuni
3 Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Teluk Bintuni
4 Dinas Perikanan dan Kelautan Teluk Bintuni
5 Syahbandar Teluk Bintuni
6 Dinas Pertanian dan Perkebunan Teluk Bintuni
7 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
a. Mitra Pesisir
b. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Bintuni
c. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Lemason
d. Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni (YFDPMTB)
e. Ikatan Pemuda Teluk Bintuni (IPTB)
8 Masyarakat
A. Masyarakat di dalam Kawasan
* Distrik Idoor
1. Kampung Mamuranu/Anak Kasih
Pendahuluan I-9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
No Stakeholder
2. Kampung Tirasai
B. Bersinggungan dengan Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kampung Pasamai
2. Kampung Bumi Waraitama (SP 1)
3. Kampung Banjar Ausoy (SP 4)
4. Kampung Tuasai
5. Kampung Argo Sigemerai (SP 5)
6. Kampung Korano Jaya (SP 2)
C. Di luar Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kelurahan Bintuni Timur
2. Kelurahan Bintuni Barat
* Distrik Idoor
1. Kampung Yakati
2. Kampung Yensei
* Distrik Kuri
1. Kampung Naramasa
Stakeholders yang dilihat peran dan fungsinya antara lain : Departemen Kehutanan-BKSDA
Papua II Sorong, Sub BKSDA Resort Bintuni, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab.
Teluk Bintuni, Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Teluk Bintuni, Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kab. Teluk Bintuni, LSM (al, Mitra Pesisir, Lembaga Masyarakat Adat-LMA
Bintuni, LMA Lemason, Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni,
Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) dan masyarakat dari desa-desa yang berbatasan atau berada
dalam kawasan CATB. Wawancara pada lembaga pemerintahan dan LSM dilakukan secara
purposive dimana untuk pemerintah dilakukan 2 orang, LSM 1 orang sedangkan untuk
kelompok masyarakat 5 orang (Ketua Kampung, tokoh agama, tokoh adat dan 2 orang
anggota masyarakat). Total seluruh responden yaitu 87 orang, dimana untuk Masyarakat di
sekitar kawasan CATB jumlah responden totalnya 70 orang.
Metode FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat. Sedangkan Indepth Interview dilakukan untuk menggali data berdasarkan kasus-
kasus tertentu yang tidak bisa diungkapkan pada saat diskusi berlangsung seperti
pengalaman, perasaan dan motif yang berada dalam individu maupun kelompok.
Pendahuluan I - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Wawancara dilakukan dengan bantuan ”Kuesioner” agar pertanyaan lebih terfokus dan
menghindari kemungkinan melupakan hal-hal yang harus ditanyakan.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait
dan LSM – LSM yang aktif dalam pengembangan Teluk Bintuni; dan data primer yang
dikumpulkan selama proses penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menggambarkan hubungan antara
data yang satu dengan data lainnya. Selain itu untuk memperoleh rencana pengelolaan
untuk Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,
Opportunities, Threats).
Aspek biologi kawasan dikaji berdasarkan survey lapangan (field survey) dan telaah silang
dengan publikasi dan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni dan sekitarnya serta berbagai informasi yang diperoleh melalui penelusuran
pustaka, dan wawancara dengan berbagai stakeholder. Pengamatan yang dilakukan pada
hutan dataran rendah dilakukan dengan metode penjelajahan pada beberapa tempat untuk
melihata struktur dan komposisi jenis flora. Sedangkan untuk melihat struktur dan komposisi
jenis serta potensi flora mangrove, dilakukan dengan metode garis berpetak (line-plot
sampling method) serta metode penjelajahan (explorasi) pada beberapa lokasi yang
ditetapkan berdasarkan tipe ekosistem (Soerianegara, 1998). Pada setiap petak pengamatan
di lakukan pencatatan jenis, jumlah , tinggi, dan diameter (untuk tingkat vegetasi tiang dan
pohon). Selain itu, pada lokasi tempat pengamatan flora mangrove, juga dilakukan
pengamatan keberadaan jenis-jenis satwa dengan metode penglihatan langsung (direct
seen), melihat jejak kaki (footprint/trail), dan suara (noisy). Selain pengamatan langsung,
informasi keberadaan satwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang bermukim di kampong-
kampung di dalam dan di sekitar kawasan yang berhasil dikunjungi.
Pendahuluan I - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Tujuan
Questionnaire) Alam Teluk Teluk Bintuni
Bintuni
IV. REVIEW PROGRAM
Program-program
Kabupaten PROSES SELEKSI
Aspek-aspek RENCANA KEGIATAN
Review Program-program
Pengelolaan TERPILIH DAN
Program-program BKSDA – Re Penngelolaan Cagar Alam
Biodiversity/ PENTAHAPAN
Survey Teluk Bintuni Teluk Bintuni
KEGIATAN
Item Category x Desain dan Program
Review Program-program
x Manfaat Lingkungan
PERTEMUAN & KONSULTASI Pengelolaan Pesisir
x Rencana
x BKSDA Papua II - Sorong Kabupaten Teluk Bintuni Pengembangan
Isu-isu Konservasi
Biodiversity per x Bappeda Propinsi Program
x Usulan Skenario
Teluk Bintuni
Identifikasi Panjang dan
Atlas Sumberdaya
Pendek
LOKAKARYA KABUPATEN
Gambar 1-4. Kerangka Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (General Framework)
Pendahuluan I - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Beberapa hal yang diperhatikan dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni adalah sebagai berikut :
a. Untuk mencapai pemanfaatan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni yang
lestari dan terpadu perlu diperhatikan kerentanan ekosistem kawasan konservasi,
kapasitas sumberdaya alam dan ketergantungan masyarakat di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni.
e. Untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari sektor terkait ke kawasan
konservasi dan di antara kelompok pemanfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
ditetapkan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat;
f. Perlu ditingkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan Cagar
Alam Teluk Bintuni untuk Penyusunan Rencana Pendayagunaan Kawasan Teluk dan
keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses pengelolaan;
g. Untuk membantu pengambilan keputusan mengenai Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
dilakukan pengkajian dengan mempertimbangkan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya;
h. Untuk perencanaan Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
diperhatikan beberapak aspek utama yang menjadi acuan, yaitu:
x Adanya keterkaitan ekologis baik antar ekosistem mangrove dan perairan di dalam
kawasan konservasi dengan areal budidaya penduduk;
Pendahuluan I - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Baik secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan konservasi secara
monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal
yang menjurus pada kegagalan usaha;
Tahap 2
Komponen
Pembangunan Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Regional
Berkelanjutan
Tahap III
Indikator a b c d e f g h i j k l m n o p
Pembangunan
Berkelanjutan
Tahap IV
Penataan Pemeliharaan Pemanfaatan Pengawasan Pengendalian Pemulihan Penelitian -
Strategi Pengembangan
Pengelolaan
Cagar Alam
Gambar I-5. Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Ekologi :
Pendahuluan I - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Ekonomi:
Sosial Budaya:
k. Kesehatan masyarakat
Regional:
m. Aksesibilitas kawasan
n. Posisi kawasan dari sudut pandang sistem Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten
Pendahuluan I - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
A. Risalah Kawasan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) The Bintuni Bay Nature Reserve pertama kali
diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah:
1. Luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua
(Irian Jaya saat itu);
2. Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil
dan industri udang yang ada;
3. Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi
berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang
lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia
(Petocz, 1987).
Dari segi luasan, kawasan ini mengalami beberapa kali perubahan luasan. Luasan yang
diusulkan WWF pada tahun 1980-an adalah mencakup areal seluas kurang lebih 450.000
hektar (Petocz, 1983) (Gambar
II-1.).
Luasan tersebut ternyata lebih kecil daripada luasan yang diusulkan sebelumnya (357.300
ha). Hal ini karena areal seluas 57.300 ha telah dialih fungsikan menjadi hutan produksi
berdasarkan Forest Agreement No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara
Menteri Pertanian Republik Indonesia dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT
BUMWI), tentang realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 9 januari
1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan Di
Wilayah Propinsi Irian Jaya.
Pada tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di Kawasan cagar alam dilakukan oleh
PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT Henrison
Iriana dengan panjang batas yang terrealisasi sepanjang 77.247.76 meter. Selanjutnya,
dilakukan tata batas tahap kedua yang dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan (BIPHUT) Manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar dan
batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi 172.846,20 meter yang
kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan
Kawasan Hutan Propinsi dan perairan Papua, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni
adalah 124,850 Ha (Gambar II-2).
pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik,
kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor,
dan Distrik Kuri.
Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam, Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan
Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Irian Jaya Barat.
Cagar Alam Teluk Bintuni terletak di bagian timur Kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara
geografis terletak antara 02º.02'-02º.30' LS dan 133º.31' -134º.02' BT, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
A.1.3 Aksesibilitas
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai
kawasan CATB dari ibukota Propinsi Irian Jaya Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat
ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter milik Maskapai penerbangan
Merpati Nusantara ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45
menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh
kurang lebih 10 – 12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses
dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara
kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10 - 15 menit; (2) menggunakan perahu motor
(longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 - 45 menit. Dari hasil pengamatan di lapangan kawasan CATB juga dapat
diakses dari beberapa kampung berada di batas utara kawasan seperti disajikan pada Tabel
II-1.
Tabel II-1. Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni
r 2K m
4 Waraitama/SP 1 Bintuni Jalan Darat, roda dua/empat
A.2.1 Iklim
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni termasuk daerah tropika dan berdasarkan klasifikasi iklim
Koppen termasuk dalam tipe iklim Afa, yaitu daerah tropika basah yang bersuhu tinggi.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam tipe
iklim A, yaitu daerah sangat basah.
Curah hujan bulanan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni cukup bervariasi. Curah hujan
bulanan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dengan curah hujan maksimum dan rata-rata
masing-masing 38,61 inches (980,69 mm) dan 17,32 inches (439,93 mm). Sedangkan curah
hujan bulanan terendah terjadi pada bulan September dengan curah hujan maksimum dan
rata-rata berturut-turut 5,17 inches (131,32 mm) dan 3,34 inches (86,36 mm).
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya suhu udara berkisar antara 20,02 °C
sampai dengan 37,26 °C untuk basis data selama 3 tahun. Suhu udara maksimum terjadi
selama musim monson timur laut, yakni ketika terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan
selama periode siklus tahunan, variasi suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,74 °C
– 27,50 dengan variasi tidak lebih dari 2 °C. Nilai suhu udara rata rata bulanan adalah 26,92
°C dengan hampir 54% data yang terukur terletak dalam kisaran antara 23 °C hingga 27 °C,
dimana suhu bulanan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Januari
Kelembaban udara di kawasan berkisar antara 40% hingga 100%, namun sebagian besar
(hampir 60%) hasil pengukuran lebih besar dari 90%, dengan nilai rata-rata selama periode
pengukuran mencapai 90,2%. Kelembaban sangat tinggi terjadi di malam hari ketika suhu
udara rendah dan sedang terjadi hujan.
Data kecepatan angin selama tiga tahun (1997-2000) menggambarkan kecepatan angin di
Teluk Bintuni dan sekitarnya pada umumnya lambat hingga sedang dengan rata-rata 8
m/detik (28,8 km/jam).
Tekanan udara barometrik maksim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk adalah 1.013 milibar
(mb) dan minimumnya adalah 998,6 mb. Tekanan udara rata-rata sepanjang periode
pengukuran adalah 1.006,1 mb, dengan rentang pengukuran relatif lebih kecil, dan sekitar
90% data berada di antara 1.002,5 mb hingga 1.010mb (BP Pertamina, 2002).
A.2.2 Geologi
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), secara fisiografis terdiri dari daerah rawa/pasang
surut yang umumnya bervegetasi mangrove yang berbahan induk aluvium muda (recent
alluvium) dari zaman kwarter yang menutupi sedimen masam Tersier dan Pleistosin seperti
sandstone, shale, dan konglomerat (PT BUMWI, 1994).
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) merupakan kawasan rawan gempa yang selalu
diikuti dengan gelombang tsunami karena berada dalam wilayah tektonis yang aktif sebagai
akibat dari tubrukan dua lempengan besar.
Secara umum, kawasan Teluk Bintuni termasuk dalam kelompok Daerah Aliran Sungai (DAS)
Muturi, Aramasa, Korol-Bomberai, dan DAS Remu. Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
mengalir beberapa sungai besar yang bermuara ke Teluk Bintuni dan merupakan Sub-Das
dari DAS-DAS tersebut mulai dari sebelah barat, yaitu Sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai
Bokor, Sungai Tirasai, Sungai Sumber, Sungai Kodai, Sungai Rarjoi, Sungai Kamisayo,
Sungai Tatawori, Sungai Sorobaba, Sungai Yakati, Sungai Yensei, Sungai Sobrawara, dan
Kebutuhan masyarakat akan air minum dan MCK yang bermukim di sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni terutama di ibukota distrik Bintuni, Idoor, dan Kuri di peroleh dari sumur-
sumur yang digali, serta aliran sungai-sungai kecil yang melintasi atau mengalir di pinggiran
perkampungan penduduk. Khusus untuk Distrik Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni),
air minum dan cuci ada yang diperoleh dari sumur bor. Kebutuhan air masyarakat di
Kampung-Kampung di luar Ibukota Distrik lebih banyak memanfaatan air dari sungai-sungai
besar tersebut di atas serta beberapa sungai/kali kecil yang mengalir di dekat Kampung
mereka.
A.2.4 Tanah
Sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ditutupi oleh vegetasi mangrove dengan
jenis tanah organosol, gambut, dan aluvium dengan ciri-ciri sperti disajikan pada Tabel II-2
Tabel II-2. Jenis Tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Organosol, Jenuh air, lempung lanau, berwarna abu-abu, asam, komprebilitas tinggi,
Organik permeabilitas rendah-sedang, daya dukung rendah, dan tebal 1,5 – 2 m
Pada daerah yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Bintuni, memiliki karakteristik
tanah fluvial deltatik dengan ciri-ciri: melengkung halus, relief rendah, berlumpur, dan beeting
pasir.
Gambar II-3. Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005
Ekosistem ini tersebar terutama pada batas-batas Utara dan Timur kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Suatu keunikan tersendiri bahwa di beberapa tempat di kawasan CATB, tipe
ekosistem ini juga dapat ditemui pada beberapa pulau mengrove baik berbentuk hamparan
pegunungan rendah maupun bukit-bukit kecil. Hal ini dapat dijumpai di Pulau Mangrove
Maniai, Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Hutan Hujan Dataran Rendah (Lowland
Rainforest) ini membentuk lapisan tajuk dan sub tajuk (Gambar II-5) dengan
keanekaragaman jenis yang cukup tinggi dan diperkirakan 60-90% tumbuhan yang ada di
ekosistem ini merupakan spesies endemik.
kawasan. Dalam ekosistem hutan ini tumbuh beraneka ragam jenis flora mulai dari
tumbuhan tingkat rendah seperti fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Hutan
dataran rendah di kawasan CATB menyimpan berbagai spesies tumbuhan berkayu (pohon)
yang bernilai ekonomis tinggi seperti matoa (Pometia spp.), kayu besi/merbau (Intsia bijuga
dan I. palembanica), pulai (Alstonia spp.), Nyatoh (Palaquium sp.) Medang (Litsea sp.) serta
beberapa spesies dari famili Dipterocapaceae seperti mersawa (Anisoptera sp.), resak
(Vatica papuana), dan hopea (Hopea sp.).
Ekosistem ini umumnya tersusun atas vegetasi primer (Primary Forest) dan vegetasi
sekunder (Secondary Forest). Pada ekosistem yang tersusun oleh vegetasi primer terlihat
masih alami dan memiliki karakteristik strata tajuk yang jelas. Pada strata atas dan tengah
didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan berkayu seperti kayu besi/merbau (Intsia bijuga) dan
matoa (Pometia sp.), sedangkan
pada strata bawah ditumbuhi
perdu dan semak yang
mendukung berbagai tanaman
pemanjat, epifit, paku-pakuan,
dan jenis-jenis palem (Palmae)
termasuk juga berbagai jenis
rotan.
jenis-jenis pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius) dan sirih
hutan (Piper sp.). Sebagian besar hutan dataran rendah sekunder adalah merupakan bekas
kebun masyarakat (Gambar II-6) dan bekas areal tempat penimbunan kayu (logyard) dari
HPH dan Kopermas yang beroperasi di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Ekosistem hutan dataran rendah, terutama yang berada pada batas luas kawasan Cagar
Alam juga dapat dipandang sebagi daerah penyanggah (Buffer zones) yang berfungsi
sebagai benteng pertahanan terhadap ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang
merupakan ekosistem terluas di kawasan.
Gambar II-8. Vegetasi mangrove Zona Rizhiphora- umumnya tumbuh lebih ke darat, terutama
Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni.
di sepanjang penggirian sungai-sungai
besar dan kecil yang bermuara ke perairan Teluk Bintuni. Secara umum, Rhizophora spp.
dan Bruguiera spp. Merupakan pohon-pohon pembentuk tajuk utama dalam zona ini. Lebih
lanjut jenis-jenis yang banyak dijumpai di zona ini adalah Rhizophora mucronata, R.
Apiculata, Bruguiera Gymnoriza, Bruguiera parviflora, Xylocarpus spp., Ceriops tagal,
Avicenia officinalis. Pada zona ini juga dijumpai jenis tumbuhan bawah, yaitu Acanthus
ebracteatus, Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum dan Avicenia intermedia (api-api
merah). Substrat yang ada di bawah tegakan pada zona ini sudah lebih keras dan kompak
(tidak lepas) yang di dominasi oleh faksi liat. Pasang surut dan banjir sangat nyata terlihat
dengan adanya perubahan permukaan air.
Gambar II-9. Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di Gambar II-10. Vegetasi nipah (Nypa fructicans)
S. Yensei Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni campuran pada zona pasang surut di S. Tirasai,
Cagar Alam Teluk Bintuni
Disamping itu, pada zona peralihan pasang surut (intertidal zone) dan air tawar dan air asin di
hutan mangrove dan zona dataran banjir pinggiran sungai dan formasi yang menutupi
dataran banjir, dijumpai vegetasi nipah (Nypa fructicans) yang tumbuh bercampur dengan
tegakan mangrove dan umumnya terbentang di antara daerah semi saline hingga ke air tawar
permanen.
Pada daerah lebih ke arah daratan, jenis nipah (Nypa fructicans) tumbuh bercampur dengan
jenis mangrove Xylocarpus moluccensis (Wamesa: Kabau hitam) dan X. granatum
(Wamesa: Kabau merah) (Gambar II-9). Pada daerah yang paling dekat dengan zona
pasang surut vegetasi ini tumbuh bersama jenis mangrove dengan kerapatan cukup tinggi,
yaitu dari genus Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan Avicenia (Gambar II-10). Kehadiran
jenis-jenis mangrove ini semakin berkurang atau tidak hadir sama sekali pada daerah yang
lebih ke arah daratan di sepanjang sungai.
Hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat di kelompokan ke dalam
beberapa kelompok, yaitu kelompok hutan mangrove sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai
Weperar, Sungai Modan, dan Sungai Naramasa. Pada bagian luar vegetasi mangrove yang
berbatasan langsung dengan garis pantai/muara teluk, struktur jumlah pohonnya lebih kecil di
bandingkan dengan vegetasi mangrove yang tumbuh lebih ke belakang, terutama di
sepanjang sungai-sungai besar yang bermuara di kawasan perairan Teluk Bintuni. Hasil
penelusuran data sekunder diketahui bahwa informasi quantitatif tentang potensi mangrove di
kawasan CATB relatif kurang. Berikut adalah beberapa informasi kuantitatif potensi
mangrove di beberapa bagian CATB yang berhasil dihimpun dari hasil survei lapangan Tim
TNC (2005).
Kelompok hutan mangrove Sungai Wasian. Komunitas ini mangrove di daerah ini
membentuk formasi Avicenia-Sonneratia (bagian luar) dan Rhizophora-Bruguiera (bagian
tengah). Di bagian luar (dekat pantai) yang merupakan daerah pengendapan lumpur di
dominasi oleh jenis Sonneratia alba dengan kerapatan 270 pohon/ha, untuk tingkat pancang
dan semai dengan kerapatan berturut-turut 470 pohon/ha dan 5.000 anakan/ha. Sedangkan
pada bagian dalam (bagian tengah) ditemui jenis Rhizophora apiculata yang mendominasi
semua tingkatan vegetasi dengan kerapatan berturut-turut 260 pohon/ha untuk tingkat pohon,
730 pohon/ha untuk tingkat tiang, dan 6.000 anakan/ha untuk fase semai.
Kelompok hutan mangrove Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai). Pengamatan dilakukan
dengan membuat transek dan sub-plotnya sepanjang 100 meter yang tegak lurus dengan
dari tepi sungai/pantai ke bagian dalam pulau dengan azimut 1800, koordinat 133o52’31.6”E,
02o16’86.8’’S. Jumlah plot pengamatan ditentukan sebanyak 4 buah yang dibuat secara
kontinu dari tepi sungai/pantai, dan melakukan pencatatan terhadap jenis, jumlah individu tiap
jenis, diameter batang (tiang dan pohon), tinggi (tiang dan pohon).
Kelompok hutan mangrove Sungai Simeri. Pengamatan mangrove di daerah ini dilakukan
dengan observasi pada beberapa bagian
hutan dengan menggunakan perahu motor
(longboat) serta pengamatan plot (Koordinat:
133o56’37.1”E, 02o07’07.0’’S). Hasil
observasi pada beberapa bagian hutan
menunjukan bahwa pada daerah pinggiran
sungai, vegetasi mangrove di daerah ini di
dominasi oleh jenis Xylocarpus spp. dan
Bruguiera spp. Hutan mangrove di daerah
terlihat seperti hutan tua atau hutan
Gambar II-12. Vegetasi mangrove S. Simeri di
kawasan CATB. mangrove sekunder yang membentuk pulau-
pulau kecil, dengan karakter pohon-pohon Xylocarpus spp. yang tumbuh kerdil menyerupai
bonsai raksasa.
Hasil analisa vegetasi dari pengamatan transek menunjukan bahwa pada tingkat semai dan
pancang, jenis Rhizophora mucronata dan Xylocarpus molucensis merupakan jenis dominan
dengan Nilai Penting berturut-turut untuk semai 68 dan 56, tingkat pancang 178 dan 55
(Lampiran 6). Sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata
(INP=180) dan B. gymnorrhiza (INP=120.) (Lampiran 7).
Kelompok hutan mangrove Sungai Taberai. Plot pengamatan mangrove dibuat tegak
lurus Pulau dengan Azimut 280 dengan koordinat 133o57’08.2”E, 02o12’05.1’’S.
0
Hasil
pengamatan menunjukan bahwa pada daerah ini di dominasi oleh jenis-jenis Bruguiera
gymnorrhiza dan Ceriops decandra. Untuk jenis Rhizophora jumlahnya tidak terlalu banyak
ditemukan di wilayah ini sedangkan jenis Aegiceras corniculatum dan jenis Xylocarpus hanya
ditemukan satu-satu di pinggir sungai.
Kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni). Pada kelompok hutan
0 0
mangrove Pulau Maniai/Tanjung Pitabone (2 16’86.8”S, 133 52’ 31.6” E), untuk tingkat
anakan ditemui 8 jenis mangrove dari 3 famili (Rhizophoraceae, Myrsinaceae dan
Avicenniaceae) mangrove, yaitu Rhizophora mucronata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera
sexangula, Avicennia alba, B. parviflora, Ceriops decandra, dan B. Gymnorrhiza, sedangkan
pada tingkat pancang Ceriops decandra tidak ditemukan (Lampiran 8). Hasil tersebut
menunjukan bahwa pada tingkat anakan/semai, jenis R. mucronata menunjukan kerapatan
tertinggi (11875 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=84,44) dengan
persebaran yang paling merata (F=0,75), sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh
Aegiceras corniculatum (INP=64,70), kerapatan 500 semai/ha, dan tersebar paling merata
(F=0,42). Hal ini mengindikasikan bahwa khusus untuk kawasan mangrove tanjung Pitaboni
sudah cukup stabil untuk pertumbuhan permudaan jenis-jenis non-pionir.
Pada tingkatan vegetasi tiang, jenis yang ditemukan agak sedikit berkurang menjadi 5 jenis,
sedangkan pada tingkat pohon meningkat lagi menjadi 10 jenis (Lampiran 9). Vegetasi
mangrove pada tingkat tiang dan pohon, jenis Rhizophora apiculata merupakan spesies
dominan (INP=140,85 dan 96,48), dan sekaligus meruapakan spesies dengan kerapatan
tertinggi (150 pohon/ha dan 104,17 pohon/ha) dengan persebaran yang paling merata
(F=0,58 dan 0,75).
Hal yang menarik untuk disimak adalah berkurangnya jumlah jenis tertentu pada saat
mencapai tingkat tiang. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam dinamika populasi jenis-jenis
mangrove di daerah ini, terjadi pengurangan jenis (mortality) terhadap jenis-jenis tertentu,
sehingga kajian mendalam perlu dilakukan untuk melihat perkembangan populasi (dinamika
populasi) baik jenis maupun jumlah jenis mangrove mulai dari tingkat semai sampai
mencapai tingkat pohon.
Kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi (020 04’.012’’S, 1330 53’.780’’E). Pada
kelompok hutan mangrove ini ditemukan 9 jenis untuk tingkat semai, yaitu Acrosticum
speciosum, Rizophora apiculata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus
granatum, Ceriops decandra, C. tagal, R. mucronata dan D. spathacea, namun pada tingkat
pancang hanya ditemukan 3 jenis, yaitu Ac. Speciosum, X. Granatum, dan D. spathacea
(Lampiran 11). Hasil ini menggambarkan bahwa pada tingkat anakan/semai dan pancang
didominasi oleh jenis Acrosticum speciosum dengan kerapatan tertinggi (9167 anakan/ha dan
600 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=62,94 dan 100,00), namun
persebaran hampir sama dengan jenis-jenis lain. Sedangkan untuk vegetasi mangrove
tingkat tiang dan pohon didominasi oleh Rizophora Apiculata (INP=86,50 dan 113,18),
kerapatan tertinggi masing-
masing 50 pohon/ha dan 100
pohon/ha, dan persebaran yang
hampir sama dengan jenis lain
untuk tingkat pancang dan pada
tingkat pohon penyebarannya
cukup luas dibanding jenis
lainnya (Lampiran 12).
Bruguiera gymnorrhiza saat mencapai tingkat pancang dan tiang kemudian muncul lagi pada
saat mencapai tinkat pohon. Hal ini diduga terjadi kematian (mortality) pada proses dinamika
populasi di areal ini, namun hal perlu dikaji lebih jauh lagi penyebab penurunan jumlah jenis
tersebut.
Pola zonasi hutan mangrove di S. Sumberi (Gambar II-14) tidak jauh berbeda dengan hutan
mangrove Tanjung Pitaboni di masih terjadi percampuran jenis pada zona tengah dan
belakang. Pada komunitas hutan ini terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antar plot,
semakin dalam semakin menampakkan ke arah vegetasi peralihan yang dicirikan oleh
tumbuhnya jenis vegetasi peralihan ke hutan dataran rendah dan rawa air tawar seperti
Xylocarpus granatum dan D. spathacea. Berbeda dengan hutan mangrove Tanjung Pitaboni,
komposisi tajuk hutan mangrove di areal ini terlihat kurang teratur dan mulai membentuk
strata. Hal ini karena komposisi jenis dari komunitas ini mulai beragam dengan hadirnya
beberapa jenis vegetasi peralihan hutan dataran rendah (lowland forest).
Hutan mangrove S. Tirasai. Areal sepanjang S.Tirasai didominasi oleh jenis bakau kurap
(Rhizophora mucronata). Jenis lain yang tumbuh adalah Bruguiera parvifolia, Xylocarpus
moluccensis, Xylocarpus granatum, Avicennia alba, Aegiceras corniculatum, Pandanus
odoratissima, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada bagian hulu juga
ditemukan jenis Nypa fruticans, jenis palem yang tumbuh di pesisir sungai.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada kelokan bagian luar S. Tirasai
banyak dijumpai jenis Bruguiera parviflora kemudian Rhizophora mucronata pada lapis
kedua, sedangkan di bagian dalam kelokan didominasi oleh Sonneratia alba dan Avicenia
alba. Perbedaan jenis yang dominan antara bagian dalam dan bagian luar kelokan, mungkin
dipengaruhi oleh faktor sedimentasi atau deposit substrat lumpur. Pada bagian dalam
kelokan, arusnya lemah sehingga daya angkut airnya menurun yang mengakibatkan terjadi
penimbunan lumpur (akresi) dari hulu sungai. Endapan lumpur lunak hasil proses
sedimentasi ini sangat cocok untuk habitat jenis-jenis pionir seperti Sonneratia alba.
Sedangkan pada bagian luar kelokan arusnya relatif kuat, menyebabkan abrasi pada bagian
tepi dan proses sedimentasi berjalan lambat atau bahkan tidak terjadi yang berakibat jenis-
jenis pioner tidak bisa tumbuh.
Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan nilai rata-rata kubikasi vegetasi tingkat tiang
dan pohon untuk tiap hektar luasan mangrove adalah sebesar 107,4 m/ha (Lampiran 9 dan
12). Nilai kubikasi tertinggi ditunjukan oleh jenis A. alba dan R. apiculata dengan potensi
berturut-turut adalah 65.42 m3/ha dan 44,80 m3/ha (Lampiran 10 dan 13).
A.3.2 Species
Pada sub Bab sebelumnya telah dideskripsikan mengenai ekosistem alami penyusun
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang juga merupakan habitat dari berbagai species flora
maupun fauna. Terdapat banyak species penting yang berasosiasi dengan habitat dan
karakteristik biologi lainnya. Untuk itu perlu di ketahui keragaman species di kawasan
termasuk species-species (flora dan fauna) langka yang dilindungi serta species kunci.
A.3.2.1 Flora
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa jenis-jenis mangrove pada Tabel II-3.
diperkaya lagi dengan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh berasosiasi dengan jenis mangrove
seperti disajikan pada Tabel II-4.
Jenis-jenis tersebut belum termasuk jenis-jenis dari kelompok epifit dan liana yang terlihat
banyak tersebar di kawasan. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis tumbuhan
Tabel II-4. Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove di Teluk Bintuni
mangrove kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. tergolong tinggi.
No. Spesie Famili
Selain flora ekosistem hutan
1 Acrosticum sp. Pteridaceae
2 Cerbera manghas Apocynaceae mangrove, hutan hujan dataran
3 Dolichandrone spathacea Bignonaceae rendah di kawasan Cagar Alam
4 Heritiera littoralis Sterculiaceae
Teluk Bintuni juga menyimpan
5 Lumnitzera littorea Combretaceae
6 Myristica hollrungii Myristicaceae keanekaragaman flora yang relatif
7 Nypa fruticans. Palmae tinggi, terutama dari jenis-jenis
8 Acanthus ilicifolius Acanthaceae
9 Aegialitis annulata Plumbaginaceae tumbuhan berkayu (Tabel II-5).
10 Aegiceras corniculatum Myrsinaceae
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
A.3.2.2 Fauna
Tabel II-6. Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Status Konservasi
Dilindungi
Endemik
CITES1
No. Nama ilmiah Nama Lokasi
RDB2
Indonesia
(Crocodylus novaguinensis), dan biawak bakau (Varanus prafinuvi), termasuk kedalam jenis
satwa yang dilindungi dengan undang-undang di Indonesia (Petocz, 1983). Kedua jenis
satwa reptilia tersebut, yaitu C. porosus dan C. Novaeguinensis adalah satwa endemik New
Guinea dan telah tercatat dalam App. I CITES, yaitu jenis yang terancam punah dalam IUCN
Red Data Book (IUCN, 1979), dan termasuk jenis binatang yang dilindungi dengan Undang-
Undang di Indonesia, (SK Mentan No. 327/Kpts/um/5/1978 dan No. 176/Kpts/um/10/1978).
Gambar II.16. Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
2005
Burung (Birds)
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya memiliki keanekaragaman jenis burung
yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan ketersediaan sumberdaya
seperti pakan, air, tempat berlindung dan berkembang biak yang merupakan komponen
pendukung kehidupan satwa tersebut. Selama survei yang dilakukan oleh Tim TNC (2005),
yang dilakukan melalui pengamatan langsung (direct seen), suara (noisy), dan informasi dari
masyarakat lokal, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat kurang lebih 26
jenis burung yang tersebar di beberapa bagian kawasan CATB seperti disajikan pada Tabel
II-7.
Tabel II-7. Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Status Konservasi
Dilindungi
Endemik
CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
RDB2
1 Ardea sumatrana Cangak laut S. Muturi - F - NeT
S.Tirasai, S.Sumberi,
S.Simeri, S.
2 Cacatua galerita Kakatua Jambul Kunig ¥ B,C II -
Naramasa, K.
Mamuranu
Kampung Anak Kasih,
3 Casuarius bennetti Kasuari kerdil ¥ A II NeT
Mamuranu
Cenderawasih molek
Cicinnurus
4 (Magnificent Bird of S. Yakati ¥ - II -
magnificus
Paradise)
S.Tirasai, S.Sumberi,
S.Simeri, S.
13 Falcon cenchroides Alap-alap layang - - II -
Naramasa, K.
Mamuranu
S. Sumberi, S. Anak
21 Nectarinia aspasia Burung madu hitam ¥ A,E,F - -
Kasih
Status Konservasi
Dilindungi
Endemik
CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
RDB2
24 Philemon buceroides Cikukua tanduk S. Kodai - F - -
Stercorarius
26 Camar S. Wasian - - - -
pomarinus
Keterangan:
A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266
B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970
C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 7421KPTS/Um/12/1978 December 2, 1978
D = Keputusan Menteri Pertanlan No. 757/KPTS/Um/12/1979
E = Peraturan Pemerinlah NO.7 of 1999, 27 January 1999
F = Keputusan Menteri Pertanian No. 301/KPTS-Um/6/1991 June 10, 1991
G = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1935 No. 513
NeT = Near Threaten (hampir terancam)
V = Vulnerable (rentan)
1 Convention on International Trade in Endangered Species
2 IUCN Red Book List of Threatened Species
Jumlah tersebut (Tabel II-7) lebih sedikit dibandingkan hasil survei yang dilakukan Zuwendra
dkk., (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni (termasuk kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni) sedikitnya teramati 95 jenis burung, dimana 45 spesies diantaramya
sudah di lindungi oleh undang-undang, yang terdiri dari 75 spesies burung yang menetap
dan 20 spesies burung migran. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan BP Tangguh
dalam rangka penyususnan dokumen ANDAL melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni
khususnya daerah Sungai Saengga dan S. Manggosa yang memiliki kemiripan ekosistem
dengan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, berhasil teramati lebih dari 140 jenis burung (BP
Pertamina, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis burung di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian lebih serius baik dari
perlindungan dan penelitian. Besar kemungkinan, melalui penelitian yang lebih seksama,
keragaman jenis seperti yang disajikan pada Tabel II.7 tersebut di atas dapat bertambah.
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, diketahui bahwa Cagar Alam Teluk Bintuni
merupakan habitat jenis-jenis satwa endemik Papua serta satwa/fauna yang telah dilindungi
undang-undang. Hasil rangkuman dari sejumlah referensi pendukung antara lain Petocz
(1987), Petocz dan Raspado (1994), Behler dkk. (1986), Zuwendra dkk. (1991), Rudiyanto
(1996), dan BP Pertamina (2002) diketahui bahwa dari jenis satwa burung yang ada di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (hasil survei Tim TNC, 2005), 14 jenis diantaranya adalah
spesies endemik, 14 jenis telah dilindungi baik oleh hukum Indonesia maupun hukum
Internasional (CITES dan IUCN) seperti disajikan pada Tabel II.7. Menurut the Convention
on International Trade in Endangered Species (CITES), di antara spesies burung yang dapat
dijumpai di CATB, satu jenis burung mambruk (Goura cristata) masuk dalam Appendix I, tujuh
jenis lain (P. minor, F. cenchroides, C. magnificus, M. migrans, C. galerita, L. Lory, dan
Casuarius bennetti) masuk Appendix II, dan satu jenis (Egreta ibis) masuk Appendix III.
Selain itu menurut RDB (Red Data Book) jenis mambruk masuk dalam kategori “rentan”
(vurnerable), yaitu jenis mambruk ubiat/mahkota (G. cristata) dan dua jenis lagi dikategorikan
“hampir terancam”, yaitu A. sumatrana dan C. bennetti (Conservation International, 1999).
Jumlah jenis endemik untuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang berhasil dicatat
selama survei hampir sama dengan jumlah spesies burung endemik hasil survei Zuwendra
dkk. (1991) yang melaporkan bahwa di daerah CATB dan sekitar ditemukan paling sedikit
12 jenis endemik. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
menjadi penting sebagai habitat dan perkembangbiakan jenis-jenis endemik khususnya
satwa avifauna.
Kawasan Teluk Bintuni nampaknya merupakan daerah pencarian pakan (winter ground) dari
beberapa jenis burung pengembara (migran). Dalam survei dijumpai ratusan burung pelican
(Pelecanus conspicillatus) dan umukia raja (Tadorna rajah) pada beberapa bagian Cagar
Alam terutama pada daerah muara dengan bentangan bentik pasir. Menurut informasi dari
masyarakat setempat burung-burung tersebut akan datang pada bulan April – Mei dan
kemudian pergi pada bulan Desember saat musim ombak.
Mamalia (Mammals)
Hasil pengamatan selama survei dengan metode pengamatan langsung (direct seen) dan
jejak kaki (footprint/trail) serta informasi dari penduduk lokal, di kawasan ini bisa dijumpai 12
jenis mamalia, dua diantaranya merupakan jenis yang sudah dilindungi undang dan masuk
dalam appendix II CITES (Tabel II-8).
Tabel II-8. Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta
berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.
Status Konservasi
Dilindungi
Endemik
CITES1
Status Konservasi
Dilindungi
Endemik
CITES1
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
RDB2
K. Mamuranu, K. Anak
4 Cervus timorensis Rusa Intr A - -
Kasih
5 Dorcopsis muelleri Walabi hutan K. Naramasa ¥ - - V
K. Mamuranu, K. Anak
6 Dendrolagus ursinus Kangguru pohon ¥ B - -
Kasih
K. Mamuranu, K. Anak
7 Peroryctes raffayana Bandikot ¥ - - -
Kasih, K. Tirasai
K. Mamuranu, K. Anak
8 Sus crofa Babi hutan Intr - - -
Kasih, K. Tirasai
9 Pteropus conspilicatus Kelelawar K. Anak Kasih ¥ - - -
Pogonomys Tikus hutan
10 K. Anak Kasih, Tirasai ¥ - - -
macrourus dataran rendah
K. Mamuranu, K. Anak
11 Isodon macrourus Tikus tanah ¥ - - V
Kasih, K. Tirasai
12 Pristis microden Cucut gergaji Perairan Teluk ¥
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Keterangan:
A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266
B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970
I = Keputusan Menteri Pertanian No. 66/KPTS/Um/2/1973
V = Vulnerable (rentan)
Intr = Introduce
1 Convention on International Trade in Endangered Species
2 IUCN Red Book List of Threatened Species
Hasil pengamatan terhadap jenis-jenis mamalia yang disajikan pada Tabel II.8 hampir sama
dengan jenis-jenis mamalia yang ditemukan dalam survei yang dilakukan oleh Zuwendra,
Erftemeijer, dan Allen (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dijumpai mamalia seperti Echidna berparuh pendek (Tachyglossus aculeatus), Echidna
berparuh panjang (Zaglossus bruijni), marga tikus berkantung endemis yang aneh,
Dasyuridae, dan Bandycoot (Peroryctes raffrayanus) atau tikus, kuskus (Phalanger orientalis)
pada habitat hutan mangrove, possum kerdil (Cercatetus caudatus, Distoechurus pennatus,
dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus fursinus), walabi hutan (Dorcpsis
spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis), dan jenis-jenis Chiroptera yang merupakan
kelompok mamalia yang luar biasa aneka ragamnya, seperti kelelawar berhidung tabung,
rubah terbang, kelelawar ekor berarung, kelelawar tapal kuda, dan kelelawar mastif. Namun
jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang di lakukan oleh PT Geobis
Woodward-Clyde Indonesia pada tahun 1998 yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk
Bintuni /Bearau dapat ditemui kurang lebih 70 spesies mamalia yang terdiri dari 36 spesies
kelelawar (Chiroptera), 17 spesies marsupial (Marsupialia), 15 spesies binatang pengerat
(rodents), serta rusa dan babi hutan.
Kawasan perairan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat jenis lumba-lumba, seperti
jenis Seusa plumbea yang bersirip putih yang menurut informasi masyarakat, sering terlihat
dalam satu group bermain mengikuti jalannya armada kapal penangkap udang untuk
mendapatkan ikan-ikan yang lebih kecil sebagai makanannya. Informasi yang diperoleh dari
penduduk bahwa di beberapa daerah muara sungai besar di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dapat dijumpai marga Delphinidae. Bahkan sejenis ikan paus berukuran besar pernah
terlihat di perairan Teluk Bintuni yang lebih dalam.
Ikan
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kawasan yang terkena pasang surut,
banyak dijumpai ikan gergaji (saw-fishes), hiu, dan ikan merah. Informasi dari penduduk
setempat bahwa ikan cucut gergaji (Pristis microden) yang merupakan ikan terbesar dan
telah dilindungi undang-undang yang sering masuk sampai ke sungai-sungai dalam kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan jenis hiu yang terdapat di perairan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah jenis hiu bodoh (Chyloscyllium punctatum dan C. Brevipinna) yang
dapat mencapai panjang 3 m. Informasi dari nelayan tradisional (penduduk lokal) diketahui
bahwa jenis Lutjanus johnii (ikan merah) dan Himantura uarnak (ikan pari) sering juga
tertangkap saat memancing di sungai-sungai dekat hutan mangrove di kawasan CA Teluk
Bintuni.
Mengacu pada informasi tersebut di atas, peran kawasan Cagar Alam Teluk menjadi sangat
penting bagi masyarakat sekitar kawasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama
ikan baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual sebagai pendapatan pendapatan
keluarga.
Hasil survei serta didukung oleh informasi dari penduduk setempat bahwa dii kawasan habitat
air tawar ditemukan ditemukan jenis ikan air tawar dimana dua di antaranya merupakan ikan
pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia. Jenis ikan tersebut merupakan jenia
endemik dan tersebar di beberapa sungai, rawa, dan danau di sekitar kawasan di mana
makanan utamanya adalah nyamuk. Jenis ikan ini sangat potensial untuk dijadikan ikan hias
sehingga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk mengembangkan jenis ini
untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Avertebrata
Perairan di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni merupakan habitat beberapa
jenis avertebrata, terutama dari jenis udang.
Beberapa jenis udang yang ditemui di
perairan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, yaitu udang tiger/Tiger Prawn
(Penaeus semisulcatus dan
Gambar II-18. Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang
Parapenaeopsis sculptilis), udang memiliki nilai ekonmis yang dapat ditemukan di
kawasan CATB
Di kawasan perairan CA Teluk Bintuni juga di jumpai jenis avertebrata lain seperti jelly fish
(Scyphozoa), salps (Salpa sp.), mantis srimp (Squitta sp.), Crinoid sealilies, Gorgoniau corals
(Gorgonaceae), kerang timba/Bailer’s shells (Nilo acthiopicus dan Syrinx aruanus), serta jenis
kepiting bakau Scylla sp. (Gambar II-18).
B.1 Penduduk
Jumlah penduduk yang berada di 14 Kampung di sekitar (di luar, bersinggungan dan di
dalam) Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) sampai dengan Bulan Maret 2005 yaitu sebanyak
9.557 Jiwa. Penduduk secara garis dibedakan atas dua, yaitu penduduk asli /lokal dan
pendatang. Penduduk asli adalah penduduk yang telah lama bermukim disekitara kawasan
Cagar Alam yang dikenal sebagai pemangku hak masyarakat hukum adat, sedangkan
penduduk pendatang yaitu berasal dari masyarakat transmigrasi dan atau para pedagang
serta penduduk Papua pendatang (dari Sorong, Biak, Serui dan tempat tempat lain diluar
Teluk Bintuni). Penduduk secara etnisitas selain didiami oleh etnis asli (Papua), juga terdapat
berbagai etnis pendatang lainnya, dari luar Papua seperti Jawa, Bugis, dan Ambon.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan, dari 14 kampung yang ada di
sekitar kawasan CATB, Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan kampung yang baru
terbentuk sehingga secara definitif belum ada. Anak kasih merupakan kampung yang baru
terbentuk pada tahun 2002, diawali dengan adanya mobilisasi penduduk marga pemangku
hak ulayat di Anak Kasih pada saat kopermas mulai beroperasi. Beberapa penduduk tersebut
berasal dari penduduk Kampung Mamuranu yang pada awalnya hanya membuat pondok dan
ladang disekitar daerah logyard yang dibuka oleh kopermas . Mamuranu adalah desa yang
berada di dalam kawasan CATB yang sudah ada sebeluk kawasan diusulkan dan ditunjuk
sebagai Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada tahun 2003 Dinas Sosial Propinsi Papua membuat
rumah semi permanen dengan jumlah 54 rumah, dimana pembuatan rumah-rumah tersebut
tidak ada koordinasi terutama dengan pihak BKSDA Papua 2, maupun pihak gereja
setempat .
Kampung Tirasai pada awalnya hanya berupa gubuk sebagai tempat berburu, pada tahun
1992 lokasi tersebut dibuka oleh PT. Henrison Iriana sebagai logyard. Ketika hadirnya
Kopermas maka kelompok Marga Imeri berniat membuka pemukiman baru di logyard Tirasai.
Keinginan masyarakat untuk membentuk kampung baru, terlihat bahwa telah diajukan
permohonan untuk pemukiman baru di lokasi Logyard Tirasai ke Pemda Distrik Bintuni pada
tahun 2002. Pihak pemerintah daerah tidak mengkoordinasikan masalah tersebut dengan
KSDA Papua II Resort Bintuni, dan langsung memberi rekomendasi bahwa usulan mereka
akan ditindaklanjuti.
Tabel II-9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Sekitar Cagar Alam Teluk
Bintuni
Kampung Waraitama, Korano Jaya, Banjar Ausoy, Tuasai dan Argo Sigemerai merupakan
pemukiman transmigrasi yang letaknya bersinggungan dengan Kawasan CATB. Kampung
Mamuranu merupakan kampung yang berada didalam kawasan dan sudah ada sebelum
ditetapkannya Kawasan CATB, sedangkan Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan
perkampungan baru yang ada didalam kawasan. Sedangkan Kampung Yakati, Yensei dan
Naramasa merupakan kampung yang secara letak berada diluar kawasan akan tetapi
keterkaitannya terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan cukup
besar.
Luas wilayah Distrik (Kecamatan) Bintuni yaitu 7.926 Km2 (Atlas Sumberdaya Pesisir
Kawasan Teluk Bintuni, 2003), sedangkan Distrik Idoor dan Kuri tidak diperoleh data luasan
wilayah (karena merupakan distrik baru). Berdasarkan Tabel 10, bahwa kepadatan
penduduk di sekitar kawasan CATB masih rendah (1,2 jiwa/Km2). Akan tetapi seiring dengan
perkembangan Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten pemekaran baru, maka
potensi para penduduk pendatang akan semakin banyak sehingga jumlah penduduk dimasa
yang akan datang diprediksikan akan semakin cepat bertambah.
Gambar II-20. Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni 2005
Tabel II.10. memperlihatkan bahwa sebaran proporsi jumlah penduduk laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan proporsi jumlah penduduk perempuan. Ratio perbandingan antara
jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan adalah 1,16. Hasil pengamatan di lapangan
yang diperkuat dengan hasil penelitian Yalhimo (2003) memberi gambaran bahwa penduduk
yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar berusia
produktif (19–50 tahun) dengan persentase 49,63 %, disusul penduduk dengan kelompok
usia sekolah (7–18 tahun) sebesar 22,86 %. Persebaran penduduk yang bermukim di
kampung-kampung sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni berdasarkan kelompok umur disajikan
pada Tabel II.10.
Tabel II.10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Sekitar Cagar Alam Teluk
Bintuni
penduduknya banyak yang bermatapencaharian sebagai petani. Akan tetapi untuk Kampung
(Desa) yang berada di dalam kawasan CATB seperti Kampung Mamuranu, Anak Kasih, dan
Tirasai serta kampung yang secara lokasi berada di luar, kawasan CATB seperti Kampung
Yakati, Yensei dan Naramasa akan tetapi bermatapencaharian didalam kawasan CATB yaitu
nelayan (18,82 %), berburu (2,82 %) dan menokok sagu (1,28 %). Ketiga jenis mata
pencaharian tersebut, sangat mengandalkan kepada sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan CATB, sehingga ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam kawasan
cukup besar.
Tabel II-11. Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni
TNI/ POL
Berburu
Nelayan
Swasta
(Rusa,
Buaya
Buruh
Lain2
Sagu
Distrik Kampung/Kelurahan
PNS/
Tani
B.3.1 Pendidikan
Kualitas pendidikan dari penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni secara umum masih rendah, dengan kondisi sarana prasarana pendidikan yang
kurang memadai, terutama jumlah guru untuk setiap sekolah masih rendah. Sebagai contoh
rata-rata jumlah guru untuk tingkat sekolah dasar disetiap kampung (desa) sebanyak 1-3
orang. Secara umum untuk tingkat Kabupaten Teluk Bintuni, pelaksanaan pendidikan telah
berlangsung pada berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai
dengan Perguruan Tinggi (PT). Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan CATB
disajikan pada Tabel II-12. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar
kawasan CATB, pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap cagar alam dan pelestarian
alam masih rendah (84%). Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi tentang cagar alam
dan pelestarian alam yang mereka terima karena kurangnya sarana dan media informasi.
Tabel II-12. Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002
Tabel II-12. menunjukan bahwa hampir semua kampung telah memiliki sarana pendidikan
untuk tingkat SD, sedangkan tingkat SMP dan SMU masih terkonsentrasi di pusat kota
Kabupaten Teluk Bintuni (kelurahan Bintuni Timur dan Bintuni Barat) serta daerah
pemukiman transmigrasi (kampung Korano Jaya/SP2 dan Banjar Ausoy/SP4).
Permasalahan lain yang cukup menonjol hampir sama dengan sekolah-sekolah yang ada di
sekitar kawasan CATB, yaitu guru sebagai tenaga pengajar yang dirasakan masih kurang
terutama guru-guru bidang IPA dan bahasa Inggris baik pada tingkat SMP maupun tingkat
SMU.
B.3.2 Kesehatan
Sarana kesehatan yang ada di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni sangat terbatas. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (PusTu) hanya ada di ibukota
Kabupaten (Bintuni Barat) dan pemukiman transmigrasi (Banjar Ausoy/SP4), sedangkan
beberapa kampung lain di wilayah ini hanya memiliki poliklinik desa (Polindes) atau
posyandu. Pada kampung-kampung tertentu bahkan tidak memiliki sarana kesehatan sama
sekali seperti terlihat pada Tabel II-13.
Tabel II-13. Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005
Meskipun demikian rutinitas kunjungan dari para medis tetap dilakukan ke kampung-
kampung yang ada. Kendala yang menonjol dalam kunjungan petugas kesehatan adalah
masalah transportasi. Untuk ke kampung Yakati dan Yensei misalnya harus ditempuh dengan
menggunakan perahu motor (longboat) dengan waktu tempuh 4-6 jam, tergantung pasang
surutnya air.
Keadaan tenaga kesehatan yang ada di daerah sekitar kawasan juga masih terbatas seperti
disajikan pada Tabel II-14.
Tabel II-14. Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni tahun 2005
Tenaga Kesehatan
Distrik Kampung/Kelurahan
Dokter Mantri Perawat/Bidan Dukun Beranak
Bintuni Bintuni Timur 0 1 0 4
Bintuni Barat 1 7 12 3
Pasamai 0 0 0 1
Waraitama/SP 1 0 0 0 0
Korano Jaya/SP 2 0 1 0 1
Banjar Ausoy/SP 4 1 2 4 0
Tuasai/Beimes/Ingruji 0 0 0 2
Argo Sigemerai/SP5 0 0 0 0
Tirasai 0 0 0 0
Idoor Mamuranu 0 0 0 1
Anak Kasih 0 0 0 0
Yakati 0 0 0 3
Yensei 0 0 0 2
Kuri Naramasa 0 0 0 1
Jumlah 2 11 16 18
Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah
Tabel II-14 memperlihatkan bahwa tenaga medis seperti dokter, mantri, dan bidan yang
terdapat di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sangat
kurang. Di ibukota Kabupaten hanya terdapat seorang dokter dan beberapa mantri serta
perawat/bidan yang bertugas di Puskesmas. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya
pelayanan pengobatan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Khusus untuk
pelayanan persalinan, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun beranak
(traditional healers) yang jumlahnya cukup banyak dan hampir tersedia di setiap kampung di
sekitar kawasan CATB.
Jenis penyakit yang paling umum di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan adalah
malaria, diare, penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), Frambusia, dan
penyakit mata dimana penyakit malaria, diare, dan ISPA merupakan penyakit yang banyak
diderita dan menjadi penyebab utama kematian. Hasil studi Yalhimo (2003) menunjukan
bahwa selama tahun 2003 terdapat 246 kasus malaria dan 135 kasus diare, 59 kasus ISPA
dibanding dengan 22 kasus penyakit kulit, 27 kasus Frambusia, dan 55 kasus penyakit mata.
Menonjolnya kasus malaria, diare, dan ISPA diduga disebabkan oleh lingkungan tempat
tinggal masyarkat yang dekat denagn hutan rawa dan mangrove yang merupakan tempat
berkembang biak nyamuk malaria, air baku untuk minum sangat kurang dan tidak memenuhi
standar baku kesehatan, serta kondisi lingkungan jalan umum yang berdebu pada musim
kemarau yang membuat kualitas udara menjadi buruk akibat banyaknya debu.
B.4 Agama
Penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar
sudah memeluk agama seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Hal ini ditunjang oleh
sarana ibadah yang cukup memadai (Tabel II-15).
Tabel II-15. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
berdasarkan Agama
Tabel II-15. memperlihatkan bahwa jumlah penduduk yang menganut agama kristen
protestan lebih besar dibandingkan jumlah penganut agama lain (57,55 %). Tempat ibadah
umumnya juga telah ada di setiap kampung (desa).
Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih
memiliki kepercayaan bahwa tempat-tempat tertentu di daerah mereka masih dianggap
keramat (tempat pamali). Hasil wawancara dengan tokoh adat Naramasa (Bpk. Set Efredire)
menyatakan bahwa Pulau Modan merupakan tempat “pamali” dimana menurut kepercayaan
mereka di sana terdapat buaya putih, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk kesana.
Pulau Modan termasuk tanah adat Suku Kuri . Selain itu daerah yang dianggap sebagai
tempat “pamali” yaitu sekitar Pulau Jawarupai yaitu Sungai Asi Inabuo. Disamping itu masih
ada tempat tertentu yang oleh masyarakat dilindungi keberadaannya karena bernilai ritual
seperti mata air, goa, pohon-pohon tertentu, dan sebagainya. Bila dicermati aturan-aturan
mengenai pemanfaatan tanah-hutan seperti itu, pada hakekatnya sejalan dengan prinsip-
prinsip konservasi.
Salah satu pengelolaan sumberdaya alam di dalam CATB berkaitan dengan kearifan
tradisional masyarakat, khususnya masyarakat adat Wamesa adalah pada kegiatan
pengambilan hasil laut dari mangrove berupa kepiting (karaka). Dalam proses
pengambilan karaka, masyarakat biasanya tidak mengambil seluruh jumlah karaka
dalam satu liang (lubang) dengan pertimbangan karaka yang ditinggalkan dapat
berkembang biak. Selain itu dalam pengambilan/pemanenan hasil pohon sagu,
masyarakat adat Wamesa dalam menebang pohon sagu mencari yang tua/matang.
Indikator yang dipakai adalah pohon sagu yang telah berbunga dan menghasilkan
puting sari.
B.6.1 Pandangan Masyarakat Adat terhadap sumberdaya alam (Tanah dan Hutan)
Masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)
memandang tanah dan hutan merupakan sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat bagi
kehidupan mereka sebagian pemilik hak ulayat. Oleh sebab itu mereka berusaha memiliki
tanah seluas-luasnya untuk dapat di pertahankan dalam jangka waktu lama serta untuk di
wariskan dari generasi ke generasi.
Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan CATB, memandang tanah dan hutan
sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Apalagi bila tanah tersebut mengandung
sumber daya tambang. Hal ini membuat masyarakat adat mulai berpikir tentang status tanah
dan hutan yang saat ini di kelola oleh “pihak-pihak luar” seperti areal transmigrasi dan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut keterangan dari Tokoh masyarakat Bintuni Bpk. Otto
Manibuy, masyarakat adat harus mendapat kompensasi apabila tanah adat mereka
diusahakan untuk usaha tertentu, hal tersebut merupakan usaha agar masyarakat adat tidak
hanya menjadi “penonton” tetapi juga merasakan hasil kegiatan yang dilakukan.
Masyarakat adat melihat hutan mempunyai fungsi ekonomi karena merupakan tempat
menggantungkan kehidupan sehari-hari. Hutan bagi masyarakat adat berfungsi sebagai
tempat berburu rusa, babi hutan, dan jenis-jenis burung tertentu sebagai sumber protein
keluarga, dan jenis burung lain seperti nuri, kakatua dan mambruk untuk di jual. Hutan juga
merupakan sumber sayuran, biji-bijian, dan obat-obatan.
Hutan bagi masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan CATB juga memiliki fungsi
sosial. Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sarana pemersatu hubungan sosial antar
warga dalam satu suku maupun antar suku. Masyarakat Suku Wamesa yang mengklaim
sebagian besar wilayah hutan yang ada didalam kawasan CATB, anggota masyarakatnya
juga tersebar di sekitar kawasan dan kota Bintuni. Dengan adanya kondisi tersebut rasa
persaudaran mereka tetap terikat kuat karena adanya rasa bersama dalam memiliki hutan
adat mereka.
Selain itu tinggi rendahnya status sosial (social status) seseorang atau sekelompok orang
dalam satu marga, klan, ataupun suku dapat di tentukan oleh seberapa luas tanah yang
dimiliki orang/kelompok/klain/marga/suku tertentu. Sebagai contoh pada Suku Sough yang
bermukim di sekitar kawasan CATB, marga Iba, Tiri, Sayori, Yettu, dan Horna “mengklaim”
sebagi kelompok dengan status sosial tinggi karena memiliki tanah yang sangat luas yang
membentang mulai dari pegunungan Arfak sampai ke Pesisir Teluk Bintuni.
Pemanfaatan sumber daya alam berupa tanah dan hutan oleh masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih mengandalkan kearifan tradisional.
Secara sosial budaya masyarakat memiliki ikatan erat dengan hutan, sehingga mereka bisa
bertahan hidup dari generasi ke geneeasi sampai saat ini.
Pola pemanfaatan sumber daya tanah secara tradisional biasanya mengacu pada sistem
kelembagaan yang meliputi aturan, nilai, norma dan hukum adat yang mengatur tentang
siapa, kapan, dan dimana seseorang atau kelompok orang boleh memanfaatkan tanah
termasuk sistem pewarisan konflik dan cara penyelesaiannya. Pola ini merupakan aturan tak
tertulis yang disepakati bersama oleh para pemilik tanah yang berlangsung turun temurun.
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan CATB menunjukan
bahwa hutan merupakan sumber utama kehidupan. Hutan dimanfaatkan untuk memenuhi
beragam kebutuhan seperti kegiatan berkebun (perladangan berpindah), berburu binatang
liar, mencari ikan, menokok sagu, serta sebagai tempat pengambilan bahan baku untuk
pembuatan rumah.
(2) Lahan yang dikelola dianjurkan berdekatan dengan lahan milik anggota klan atau suku
lain dengan harapan memudahkan dalam pengerjaan dan pengontrolan bersama;
(3) Batas-batas lahan yang telah disepakati, tidak boleh diubah begitu saja tanpa
kesepakatan bersama antar anggota klan atau suku dengan harapan bahwa dalam
pengelolaannya tidak mengganggu kepentingan anggota yang lain;
Aturan juga dibuat dalam berburu binatang liar dimana pola pemanfaatan dilakukan hanya
pada areal hutan yang merupakan milik klan atau suku yang bersangkutan. Hal ini senantiasa
diperhatikan karena bila kegiatan perburuan dilakukan tanpa didasarkan atas aturan batas-
batas tanah ulayat klan, bisa berdampak terhadap terjadinya pertentangan bahkan konflik.
Dari segi pemanfaatan hasil buruan, pada pelaksanaan kegiatan berburu, ada pemburu yang
adakalanya berhasil dari pada yang lain. Pemburu yang berhasil tersebut senantiasa
membagi-bagikan hasil buruannya kepada tetangganya dengan radius dua rumah juga
kepada keluarga dekat seperti kakek-nenek, orang tua, saudara kandung, atau para kerabat
dekat di luar radius tersebut.
Dalam meramu sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi seperti daun, bunga, buah, tunas
atau buah-buahan yang tumbuh di sekitar kampung atau dekat dengan kebun-kebun
penduduk, dapat di klaim sebagai milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan,
membersihkan atau yang punya lahan dimana tumbuhan tersebut berada dan selanjutnya
diwariskan kepada keturunannya. Dari segi pengumpulan bahan bangunan, pohon dan
tumbuhan yang biasanya digunakan untuk bangunan atau keperluan rumah tangga, yang
tumbuh disekitar pemukiman, dekat kebun, atau di kawasan pamali dapat diklaim sebagai
milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan atau membersihkannya, dan dapat
juga diwarisakan kepada keturunannya.
Ketika masuk sistem ekonomis kapitalis yang berbasis pada penggunaan uang, maka
penggunaan hutan lebih banyak mengarah pada prinsip-prinsip ekonomi yang menghasilkan
keuntungan materiil. Hal ini karena ketika beroperasi sejumlah HPH, Hutan konversi untuk
program transmigrasi, pemukiman, dan lain-lain menyebabkan terjadinya perubahan struktur
pemilikan dan pola peruntukan yang telah lama dianut masyarakat. Areal hutan milik komunal
telah dikonversi untuk berbagai kepentingan sekaligus dan masyarakat menerima
kompensasi langsung. Umumnya kompensasi adalah berupa uang tunai dan pembangunan
rumah tinggal yang tentunya berdampak terhadap perubahan fungsi hutan untuk berbagai
stakeholder.
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara fisik dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang
secara turun temurun telah berinteraksi dalam bentuk memanfaatkan sumberdaya alam baik
flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Bentuk interaksi dengan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu berupa pemanfaatan jenis-jenis flora dan fauna serta lahan untuk
kebun. Pemanfaatan beberapa jenis flora oleh masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai
bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan
tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih terfokus pada fauna perairan, seperti ikan,
kepiting, udang, dan kerang (bia).
Pola interaksi masyarakat sekitar dengan kawasan CATB yaitu dalam bentuk mata
pencaharian, dimana sebagian masyarakat ada yang bermatapencaharian sebagai nelayan,
berburu dan menokok sagu. Apabila melihat pola tersebut maka pemanfaatan sumberdaya
alam di kawasan CATB cukup intensif, dimana masyarakat mengamabil sumberdaya alam
tersebut hampir setiap hari. Jenis fauna yang ada di dalam kawasan CATB seperti
buaya,rusa dan beberapa jenis burung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hewan
buruan. Khusus untuk buaya, rusa dan babi merupakan fauna yang sering diburu dan telah
menjadi sumber mata pencaharian di beberapa kampung seperti Naramasa, Yakati, Yensei,
Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Buaya diambil kulitnya sedangkan rusa dan babi diambil
dagingnya untuk dibuat dendeng. Selain itu sumberdaya alam hutan mangrove berupa lahan
pada daerah peralihan telah dimanfaatkan sebagai kebun. Kegiatan pemanfaatan tersebut
telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.
“JARING BALABUH”, yaitu teknik penangkapan ikan, udang, dan hasil perikanan lain secara
tradisional dengan menggunakan jaring apung (lokal: jaring balabuh).
“MANCING”, yaitu penangkapan hasil laut terutama ikan di dalam dan sekitar kawasan
Cagar Teluk Bintuni oleh penduduk lokal dengan menggunakan perahu dayung/motor. Alat
yang digunakan adalah alat pancing (nelon plus mata kail).
Pengumpulan hasil laut biasanya dilakukan di komunitas hutan mangrove oleh penduduk
lokal yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Teknik pengambilan
masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan “pengait” yang terbuat dari besi
dengan panjang r 1 m, keranjang, dan kantong (noken).
Pemanfaatan berbagai jenis ikan dan udang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap
jaring ”berlabuh” dan untuk ”pele kali”, pancing, akar bore (tuba) serta menggunakan perahu
mesin/tanpa mesin. Daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
kawasan CATB, hampir meliputi seluruh kawasan terutama di Sungai Tirasai, Muturi, Bokor,
Kodai serta sungai kecil lainnya. Sedangkan untuk menangkap kepiting (karaka)
menggunakan alat besi pengait.
khususnya bila pergantian pasang surut dan pasang naik terjadi pada siang hari. Hasil
wawancara dengan beberapa nelayan tradisional (pengumpul) bahwa dalam satu kali
pengambilan, tiap orang dapat mengumpul/mengambil 10-15 ekor/orang untuk “ karaka” dan
1-3 kantong/orang untuk kerang/siput.
Tabel II-16. Hasil Perikanan yang dihasilkan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) beserta harganya.
Keberadaan ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem mangrove di kawasan dirasa
sangat penting, terutama oleh masyarakat traditional yang bermukim di sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Hutan ini bagi masyarakat setempat merupakan sumber sumber
bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, dan bahan bangunan.
Gambar II-26. Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para,
dan (c) anyamankeranjang
Khusus untuk pemanfaatan sebagai kayu bakar, masyarakat sekitar hanya memanfaatkan
ranting dan cabang yang gugur tanpa menebang pohon. Hal ini menjadikan hutan mangrove
terutama di kawasan CATB masih terpelihara dengan baik. Peralatan yang digunakan untuk
penebangan mangrove masih sederhana, yaitu menggunakan parang dan kapak.
Pengambilan kayu bakar dilakukan dengan mengumpulkan ranting/cabang pohon di hutan
dataran rendah dan pohon mangrove yang mati/gugur dan pohon mangrove yang tumbang
secara alami (akibat angin dan umur pohon tua).
Kehadiran jenis-jenis palem dalam ekosistem hutan dataran rendah membuat hutan ini
menjadi berarti bagi masyarkat sekitar. Masyarakat sekitar banyak memanfaatkan salah satu
komponen flora ini untuk berbagai macam keperluan.
Hasil survei Tim TNC (2005) menunjukan bahwa masyarakat suku Sough yang bermukim di
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memanfaatkan beberapa jenis palem yang
tumbuh di hutan dataran rendah CATB sebagai bahan makanan, bahan bangunan, obat
tradisional, serta senjata dan perkakas (Gambar II-27 dan Tabel II-17 ).
Tabel II-17. Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni
Jenis
No Kegunaan
(nama lokal)
Caryota rumpiana x Bagian pucuk diambil sebagai bahan makanan
1
(guta more) x Ijuk digunakan sebaga atat dan bubungan rumah
Calamus sp.1 x Batang dikupas dan dibersihkan dan digunakan sebagai pengikat
2
(aitaga moredek) pagar dan tiang rumah dan tali busur
Calamus sp.2 x Daun digunakan sebagai pembungkus makanan, terutama ubi yang
3
(aitaga cidemeh) ditumbuk
x Batang langsung digunakan untuk mengikat tiang rumah
Calamus sp.3
4 x Batang dibelah, dibersihkan sebagai tali busur
(aitaga besameh))
x Batang dianyam untuk pembuatan keranjang dan anyaman lain
x Batang dibelah sesuai ukuran, dibersihkan, dan digunakan sebagai
Licuala sp.
5 lantai rumah atau tempat duduk (para-para)
(beimes)
x Batang dibelah, dikikis sebagai bahan baku pembuatan busur panah
Pinanga sp.1 x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan busur dan hulu tombak
6
(Amough) (sejata tradisional)
Pinanga sp.2 x Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah
7
(Humog) x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah
x Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah/para-
Pinanga sp.3
para
8 (Corohuij moro)
x Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah
x Daun digunakan sebagai pembungkus makanan
Sumber: Hasil survei TNC, 2005
Pemanfaatan sumberdaya mangrove dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu pemanfaatan
tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai
komponen utama kehidupan (primary biotic component). Khusus untuk masyarakat yang
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam, umumnya masih terbatas pada
pemanfaatan tingkat komponen ekosistem (flora dan fauna) sebagai komponen primer
kehidupan di hutan mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala traditional (traditional
uses).
Gambar II-27. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai Gambar II-28. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai
tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni. Alam Teluk Bintuni.
Pemanfaatan flora hutan mangrove secara traditional pada umumnya dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan rumah tangga. Jenis-jenis yang dimanfaatkan hanya
terbatas pada jenis mangrove dan nipah. Pemanfaatan jenis mangrove oleh masyarakat
lokal umumnya digunakan sebagai kayu bakar, perkakas, bahan bangunan rumah,
perlengkapan perahu tradisional (Gambar II-27), serta untuk keperluan tiang-tiang pagar
dalam kegiatan mencari ikan (fishing) yang dalam istilah lokal disebut “ tiang belo” (Gambar
II-28).
Tabel II-18. Pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove oleh masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Dalam memenuhi kebutuhan akan protein, masyarakat yang bermukim di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni masih tergantung pada ketersediaanya di alam. Peranan kawasan CATB
menjadi penting sebagai sumber protein hewani bagi penduduk sekitar.
Selain pemanfaatan hasil perikanan berupa ikan, udang, dan kepiting, masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar CATB, terutama di Kampung Naramasa, Yakati dan Yensei
juga melakukan perburuan buaya di Sungai Naramasa, Sobrawara, Yensei dan Yakati.
Mereka berburu buaya minimal 2 orang (satu perahu) dan berburu pada saat malam hari.
Alat yang mereka gunakan berupa tombak, parang, senter serta perahu dayung (kole-kole).
Buaya yang diburu harus memiliki diameter badan antara 12 sampai 20 inci, karena ukuran
badan buaya tersebut yang laku di pasaran. Harga kulit buaya saat ini, yaitu rata-rata Rp.
15.000/inci. Selain diambil kulitnya daging
buaya dikonsumsi oleh masyarakat serta
“tangkur” buaya cukup laku di pasaran. Para
pembeli kulit, daging serta bagian lain dari tubuh
buaya hampir setiap minggu datang ke
kampung, hal ini mengindikasikan bahwa
permintaan terhadap komoditas tersebut cukup
tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat yang berburu buaya, hasil
tangkapan saat ini sudah semakin sulit di dapat.
Apabila dibandingkan dengan 5 sampai 10 tahun
Gambar II-31. Model Kandang pembesaran anakan
buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor. yang lalu, dalam waktu seminggu berburu
mereka dapat menghasilkan 7 sampai 10 ekor buaya. Sekarang sekali berburu memerlukan
waktu 1 – 2 minggu dan rata-rata hanya memperoleh 3 – 4 ekor. Usaha dari masyarakat
untuk melakukan pembesaran anakan buaya sudah mulai dilakukan di kampung Yensei,
Naramasa, dan Bintuni Timur. Dalam kegiatan ini, sekitar 7 – 10 ekor anak buaya dimasukan
dalam kandang anakan buaya berukuran 4 m x 6 m (Gambar II-31). Usaha yang
dikembangkan oleh masyarakat Yensei, Naramasa, dan Bintuni ini bisa dikembangkan di
Kampung lain atau dikembangkan skala usahanya, sehingga pola pemanfaatan buaya
dengan cara pengambilan dari alam lambat laun bisa dikurangi.
Perburuan lain terhadap fauna yang ada di kawasan CATB, yaitu rusa dan babi. Rusa dan
babi banyak terdapat di hutan dataran rendah di sekitar hutan mangrove. Dalam berburu
rusa dan babi dilakukan secara sendiri maupun berkelompok. Alat yang digunakan berupa
tombak, parang, panah, jerat serta anjing. Daging rusa dan babi di jual dalam bentuk
dendeng, harga pasaran sekarang yaitu Rp.15.000/Kg.
ubi-ubian, sayuran dan jenis tanaman buah-buahan dengan rata-rata luas lahan 0,25 – 1,0 ha
untuk tiap kepala keluarga.
Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan,
sebagai berikut :
x Menebang pohon–pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian lahan tersebut
dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi
kering. Ranting pohon dan semak-belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat
dalam lahan/kebun dan atau dipinggir.
x Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak-belukar yang ada sudah
x Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.
x Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru
dengan lama pengusahaan lahan (masa bera) 1-2 tahun.
Hasil survey lapangan Tim TNC (2005) berhasil mengidentifikasi kepemilikan lahan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat (Gambar II-33).
Secara tradisional, kawasan ini berada dalam pengelolaan wilayah adat tiga suku besar yakni
Suku SOUGH (marga Imeri, Yettu, Tiri, dan Iba), dan suku WAMESA (marga Fimbay,
Masyewi, Maboro, Kindewara, Kawab, Sirimbe, Waney, Tatiri, Kemon, dan Susumbokop),
dan suku KURI dari marga Urbon, Efredire, dan Pigo. Khusus untuk suku Wamesa, marga-
marga yang memiliki hak ulayat cukup besar di kawasan adalah Susumbokop, Tatitri,
Maboro, Manibuy, dan Kemon, sedangkan marga yang lain hanya memiliki kurang dari 15 %
dari total wilayah yang menjadi hak ulayat suku Wamesa (Hasil Survey Tim, 2005).
Suku Sough yang mendiami kawasan S. Wasian, S.Bintuni hingga S. Simeri lebih dikenal
dengan panggilan Manikion Parirei. Suku ini terutama dari marga Yettu dan Tiri “mengklaim”
wilayah hukum adat mereka meliputi wilayah muara Sungai Wasian, S. Bintuni, S. Tisai, S.
Banjar Ausoy, S. Muturi, dan S. Tirasay. Marga Imery meliputi S. Tirasay, Sungai Sumberi,
S. Tikamari, S. Anak Kasih, dan S. Simeri. Sedangkan Marga Iba memiliki wilayah hukum
adat mulai dari Sungai Sigirau sampai dengan S. Banjar Ausoy. Menurut informasi dari tokoh
kunci (Andarias Iba) di Kampung Tuasai bahwa tanah yang saat ini menjadi hak ulayat
marga Iba merupakan pemberian dari marga Yettu sebagai balas jasa atas bantuan marga
Iba yang telah ikut membantu menyelesaikan masalah (perang saudara) yang waktu itu
dialami oleh marga Yettu. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat (Bernadus
Sioho) bahwa hal yang sama juga terjadi pada marga Sioho yang memiliki hak ulayat di
daerah Sungai Tikamari dan S. Anak Kasih yang merupakan pemberian dari marga Imery.
Gambar II-33. Peta Kepemilikan Lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat
Suku Wamesa khususnya marga Manibuy “mengklaim” bahwa sebelum adanya perang suku
wilayah adat mereka mulai dari Sungai Simeri hingga S. Manibuy. Marga Tatiri,
Susumbokop, Kemon, dan Maboro yang berasal dari kampung Yakati “mengklaim” wilayah
Gunung Taberay Pulau Nusuama, Pulau Kaboi sampai dengan Sungai Kodai. Marga
Fimbay, Sirimbe, Masyewi yang berasal dari kampung Yensei “mengklaim” wilayah hukum
adat mereka meliputi Pulau Maniai, P.Jawarupai dan P. Modan.
Sedangkan suku KURI mengklaim wilayah adat mereka meliputi daerah sekitar Sungai
Naramasa, S.Sobrowara, dan S. Modan. Menurut pengakuan orang Kuri, Pulau Modan
adalah milik orang Yensei ( Suku Wamesa). Sampai saat ini kepemilikan Pulau Modan masih
menjadi percebatan antara suku Wamesa dengan Suku Kuri. Hal ini terjadi karena menurut
sejarah yang diceritakan oleh tokoh adat Wamesa (Bpk. Adrian Tatiri) dan Kuri (Bpk. Set
Efredire), Pulau Modan pada jaman kerajaan Tidore merupakan pusat pemerintahan daerah
kekuasaan kerajaan Tidore di Irian. Kedua suku tersebut mengklaim bahwa suku merekalah
yang punya hanya aulat di Pulau Modan tersebut.
Batas-batas kepemilikan tanah adat tersebut, belum merupakan batas adat yang mutlak.
Karena sampai saat ini belum dilakukan kesepakatan antara ketiga suku besar tersebut.
Kesepakatan mengenai batas tanah adat perlu segera dilakukan agar tidak terjadi “konflik”
antar ketiga suku dimasa yang akan datang. Hal tersebut diakui juga oleh Kepala Bidang
Sosekbud Bappeda Teluk Bintuni Bpk. Tessa,S.Sos, bahwa kesepakatan mengenai batas
tanah adat harus segera dilakukan agar tidak terjadi konflik antar suku, dan dimasa yang
akan datang Bappeda Teluk Bintuni akan mencoba memfasilitasi hal tersebut.
Sarana transportasi yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni khususnya di 3 Distrik (Distrik
Bintuni, Distrik Idoor, Distrik Kuri) yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
terdiri dari sarana Transportasi Udara, Darat dan Sungai/Laut.
Transportasi Udara
Tansportasi Darat
dalam kota dan ke kampung di sekitar kota Bintuni. Sedangkan transportasi darat yang
melayani penumpang umum yang akan berpergian ke luar kota/Kabupaten Teluk Bintuni
khususnya Manokwari menggunakan Hardtop (Gambar II-35) dengan waktu tempuh 12 – 16
jam.
Sarana transportasi darat yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni dengan
Kabupaten terdekat (Kabupaten Manokwari) adalah jalan timbunan (pengerasan) r 74 km
dan jalan beraspal r 126 km (Pemda Prov. Papua, Pemda Manokwari, Unipa, CRMP, 2003).
Keadaan transportasi jalan kota Bintuni adalah jalan beraspal (sebagian besar sudah rusak)
sepanjang 13 km yang menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman penduduk, sedangkan jalan
yang menghubungkan ibukota Kabupaten Teluk Bintuni dengan kampung-kampung di
sekitarnya adalah jalan tanah timbunan dan jalan tanah yang dipadatkan. Jumlah dan jenis
sarana transportasi darat yang ada di Kota
Bintuni disajikan pada Tabel II.20.
Tansportasi Sungai/Laut
Tabel II-19. Sarana dan Jenis Transportasi Kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik
dengan saran Transportasi Sungai/Laut.
Selain itu untuk transportasi laut antar kabupaten,Teluk Bintuni telah memiliki sebuah
dermaga/pelabuhan. Jalur pelayaran yang mempunyai akses dari dan ke Teluk Bintuni
melalui Sorong adalah pelayaran reguler PT PELNI dan pelayaran swasta lain seperti
disajikan pada Tabel II-20.
Tabel II-20. Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan
pelayaran swasta lain
Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB perlu dilakukan agar semua pihak mengetahui
betapa besarnya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan. Sehingga semua pihak merasa
perlu untuk melestarikan kawasan CATB, agar generasi yang akan datang masih dapat
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB
dilakukan hanya pada hutan mangrovenya, karena mayoritas kawasan merupakan hutan
mangrove.
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat kawasan CATB (ekosistem
hutan mangrove) didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak
berguna secara langsung (non use value) .
Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan
(use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value = NUV). UV adalah jumlah dari
nilai pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung
(indirect use value = IUV), nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah
dari nilai eksistensi (existensi value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan
demikian nilai ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut:
Pendekatan penilaian dalam perhitungan nilai manfaat kawasan CATB (ekosistem hutan
mangrove) melalui perhitungan nilai total ekonomi yaitu menggunakan pendekatan produksi
dan nilai pasar (productivity and market values), pasar pengganti, pendekatan biaya ganti
(replacement cost), dan contingen valuation method dengan memanfaatkan data hipotetik
mengenai kesediaan membayar dan menerima (willingness to pay/ WTP and willingness to
accept/ WTA) dari pengguna sumberdaya ekosistem hutan mangrove.
Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann (1999)
mencoba membaginya kedalam 3 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii)
fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam terminologi yang sifatnya
holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki “keunikan” dan berfungsi secara sosial dan
ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove ini, selanjutnya dapat kita
lihat pada Tabel II-21.
Perburuan tradisional, penangkapan ikan dan Melindungi dan memelihara terumbu karang
pengumpulan produk
Sumberdaya genetic
Perhitungan nilai ekonomi dari setiap jenis manfaat ekosistem hutan mangrove untuk nilai
aktual didasarkan atas asumsi-asumsi pada tingkat harga, produksi, biaya di sekitar kawasan
CATB. Sementara penilaian manfaat potensial dikawasan CATB dihitung dengan
pendekatan asumsi dalam penilaian ekonomi (Tabel II-22).
Tabel II-22. Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni
No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove)
(Rp/ha/thn) Asumsi Dasar Penilaian Manfaat (Aktual)
1 Kayu Bakar 2188 Luas mangrove 112.365 ha . Produksi 0.0625 m3/ha/th
harga Rp. 50.000/m3; biaya 30 % dari penerimaan
Produksi 150 bengkawang/ha/thn, harga atap daun nipah
2 Atap Daun Nipah 240000 Rp. 2000/bengkawang; biaya sekitar 20% dari penerimaan,
dengan luas areal nipah 480 ha
Produksi 1178 Ton/thn; harga rata-rata Rp. 10000/Tali (2 Kg)
3 Ikan 104837 = Rp 5.000/kg; Ikan besar (kakap merah) Rp.15.000/ekor (2 Kg)
Jadi Harga rata-rata Rp 10.000,
dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)
Produksi 1495 ton/tahun, harga US$ 6.25/kg (konversi Rp.
4 Udang 789976
9500/US$), dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)
Asumsi penilaian diatas dimasukkan unsur biaya yang merupakan biaya proses produksi
seperti tenaga kerja, serta biaya produksi lainnya. Jenis manfaat kayu bakar, sagu sampai
dengan satwa liar merupakan nilai aktual yang selama ini telah ada dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sementara jenis manfaat bahan bangunan dan chip merupakan nilai potensial.
Sebagai suatu sumberdaya, penilaian ekosistem mangrove didasarkan kepada manfaat dan
fungsi-fungsi yang dihasilkan, baik fungsi produksi, ekologis, dan fungsi sosial ekonomi.
Penilaian total manfaat ekonomi dari ekosistem hutan mangrove meliputi penilaian manfaat
langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Total nilai
ekonomi yang dihitung yaitu nilai aktual dan nilai potensial. Nilai aktual adalah nilai
pemanfaatan hutan mangrove saat ini. Nilai potensial diaproksimasi dengan menghitung
manfaat potensial yang ada dan atau berpeluang dikembangkan jika masyarakat dapat
memanfaatkan secara optimal. Keragaan nilai manfaat ekosistem mangrove kawasan CATB
dapat dilihat pada Tabel II-23.
Berdasarkan hasil analisis data Tabel II-23, diketahui bahwa total nilai ekonomi ekosistem
mangrove dapat dibedakan menjadi manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat
langsung yang ada di kawasan juga ada yang tidak bisa dimanfaatkan dan ini dikategorikan
sebagai manfaat potensial atau manfaat kesempatan. Yang termasuk kedalam nilai ini
adalah manfaat kayu jika digunakan sebagai bahan baku chip dan kayu bangunan. Sebagai
kawasan konservasi, kayu dari Cagar Alam Teluk Bintuni tidak bisa dimanfaatkan sebagai
sumberdaya kayu terutama untuk kegiatan komersial. Kehilangan kesempatan ini akan
menghasilkan manfaat langsung bagi penduduk dan manfaat jasa lingkungan yang nilainya
jauh lebih besar. Jika dicermati maka terlihat dari manfaat langsung dan tidak langsung,
maka manfaat langsung hanya mencapai 18,7% (Rp. 3.425.980/Ha/Tahun) sedangkan
manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan mencapai 81,3% (Rp. 14.892.915/Ha/Tahun).
Keragaan nilai ekonomi manfaat langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove menurut
jenis dirinci sebagai berikut: nilai tegakan hutan mangrove sebesar 89.9% meliputi manfaat
kayu bakar, kayu bangunan dan chip. Nilai manfaat langsung yang dimanfaatkan masyarakat
dari kawasan mencapai 10.1% yaitu dari atap daun nipah, hasil perikanan dan satwa liar
(meliputi ikan, udang, kepiting/karaka, kerang/bia, buaya, rusa, babi dan burung)
Nilai manfaat tidak langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove sebagai fungsi
pengendali erosi Rp. 95.937/ha/tahun; dan sebagai penyerap carbon Rp. 2.727.916
/ha/tahun. Sementara manfaat pilihan terhadap keanekaragaman hayati hutan mangrove
sebesar Rp. 158.333/ha/tahun dan keberadaan habitat ekosistem hutan mangrove agar tetap
tersedia mempunyai nilai ekonomi Rp. 6.176.667 /ha/tahun (20,72%).
Analisis pendugaan terhadap nilai hutan mangrove Kawasan CATB merupakan gambaran
awal berapa besar nilai manfaatnya secara ekonomi . Nilai ini diprediksi masih lebih rendah,
karena belum semua manfaat hutan mangrove diperhitungkan seperti nilai manfaat obat-
obatan, konservasi habitat, perlindungan spesies langka serta hutan dataran rendah yang
luasnya ±10% dari luas kawasan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang
komprehensif tentang nilai manfaat ekonomi kawasan CATB.
Meskipun dari hasil pendugaan nilai manfaat ekonomi hasil perikanan, satwa liar dan atap
daun nipah relatif cukup kecil akan tetapi nilai tersebut sangat penting karena merupakan nilai
manfaat langsung yang setiap hari dirasakan oleh masyarakat didalam dan sekitar kawasan
CATB untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Secara nilai ekonomi memang kayu
mangrove untuk kayu bakar, kayu bangunan dan chip menunjukan nilai terbesar akan tetapi
nilai tersebut hanya jangka pendek (sesaat). Hal yang paling penting adalah bila hutan
mangrovenya hilang maka nilai manfaat lain seperti hasil perikanan, atap daun nipah, satwa
liar serta manfaat tidak langsung seperti pengendali erosi, sebagai penyerap karbon serta
nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati dan keberadaan habitat akan hilang. Oleh
karena itu kelestarian hutan mangrove perlu dijaga terus agar nilai atau manfaat lain yang
diperoleh selain nilai tegakan mangrove dapat tetap diperoleh.
C. Permasalahan
Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarkat di dalam dan sekitar
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) mengindikasikan adanya beberapa
permasalahan serius yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini bisa di kategorikan sebagai
ancaman (threat) bagi keberadaan kawasan saat ini dan masa datang.
C.1 Fisik
Permasalahan fisik yang dimaksud di sini adalah kondisi fisik kawasan saat ini yang telah
mengalami ganguan yang dapat mengancam keberadaan kawasan Cagar Alam seperti letak
kawasan, infrastruktur, pengelolaan DAS, dan tumpang tindih kawasan.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa letak kawasan Cagar Alam TB yang
sangat dekat dan pada beberapa bagian langsung berbatasan dengan pemukiman
penduduk. Bahkan beberapa kampung yang didiami oleh penduduk asli letaknya berada
dalam kawasan. Kampung-kampung yang letaknya dalam kawasan adalah Kampung
Mamuranu (Koordinat: S 20 14’8.71’’ dan E 1330 58’6.09’’), Kampung Anak Kasih (Koordinat:
E133 56.092S 20 03’ 0.69’’ dan E 1330 56’
0.92’’), Kampung Tirasai (Koordinat: S 20 03’
2.31’’ dan E 1330 51’ 6.37”). Kondisi
menyebabkan aksesibilitas masyarakat di
sekitar ke kawasan sangat mudah dan
sedikit mengalami kesulitan dalam
pengawasanya sehingga tekanan terhadap
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sangat
besar.
Secara fisik, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mengalir beberapa sungai besar dan kecil
yang bermuara di perairan Teluk Bintuni dan mempunyai fungsi sebagai sarana transportasi
bagi masyarakat lokal. Hasil pengamatan di lapangan serta informasi dari masyarakat, pada
saat musim penghujan sungai-sungai tersebut seringkali meluap dan airnya berubah warna
coklat-keruh. Hal ini mengindikasikan besarnya tingkat erosi yang terjadi pada daerah hulu
(upland) sebagai akibat “laju pengrusakan” lahan hutan yang tak terkendali. Akibatnya
substrat yang terbawa banjir di musim hujan akan menumpuk membentuk delta di muara-
muara sungai di perairan Teluk Bintuni. Hal
ini diduga karena pengusahaan hutan yang
tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan banyak terjadi pada ekosistem
hutan hujan dataran rendah yang
menyimpan potensi jenis-jenis kayu yang
bernilai komersial. Kegiatan ini umumnya
dilakukan para pemegang HPH dan
Kopermas yang memiliki konsesi di sekitar
CATB.
Gambar II-38. Pengendapan lumpur (sedimentasi)
yang membentuk delta di muara S. Bintuni/Wasian di
dalam Kawasan CTAB
C.1.3 Infrastruktur
C.2 Biologi
Permasalahan internal biologi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih belum terlihat. Hal
ini karena sebagian besar ekosistem penyusun kawasan terutama ekosistem mangove
sebagai komponen ekosistem utama masih alami dan terpelihara dengan baik.
Permasalahan biologi yang bisa terlihat adalah permasalahan karena faktor eksternal yang
terjadi karena bukan merupakan hubungan antar ekosistem atau spesies . Hasil pengamatan
di lapangan berhasil diidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi pada
ekosistem/flora/fauna yang berada di dalam kawasan, yaitu degradasi dan perubahan
struktur hutan dataran rendah, degradasi sebagian kecil hutan mangrove, dan penurunan
populasi beberapa jenis satwa tertentu disebabkan oleh aktivitas manusia, gejala alam, dan
faktor sosial budaya.
pemumahan, pemukiman dan perladangan oleh penduduk lokal di dalam dan sekitar
kawasan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur lain.
Terganggunya beberapa bagian ekosistem mangrove juga sebagai akibat gejala alam yang
disebabkan oleh angin dan erosi pinggiran sungai. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukan bahwa terdapat beberapa bagian dari ekosistem mangrove, terutama pada
daerah-daerah dengan sungai yang terbuka luas, telah mengalami kerusakan/hilang yang
diakibatkan oleh terpaan angin dan pengikisan pinggiran sungai oleh ombak pada saat
musim angin.
Faktor lain yang memberi andil dalam permasalahan lingkungan biologi kawasan adalah sosial
budaya, masyarakat lokal telah lama dan secara turun temurun bermukim di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi sosial budaya ini telah menciptakan suatu
interaksi dengan kawasan dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam baik flora maupun
fauna yang ada dalam kawasan maupun ekosistemnya. Pemanfaatan jenis-jenis flora oleh
masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti
pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih
terfokus pada perburuan satwa liar (seperti rusa, babi hutan, kasuari) dan fauna perairan
(seperti ikan, kepiting, udang, kerang). Sedangkan pemanfaatan ekosistem hanya dilakukan
oleh mayarakat lokal yang bermukim di dalam kawasan untuk keperluan tempat berkebun.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar sangat berpengaruh besar terhadap
kelestarian CATB, terutama mata pencaharian yang wilayah kerjanya berada di dalam
kawasan. Karena hal ini berhubungan dengan adanya pengambilan beberapa jenis flora dan
fauna, dimana menurut peraturan yang ada sebenarnya hal itu dilarang. Akan tetapi karena
hal tersebut sudah dilakukan sebelum ditunjuk adanya kawasan CATB, maka pengaturan
yang melibatkan dan diterima semua pihak harus dilakukan. Beberapa permasalahan sosial
ekonomi dan budaya terhadap CATB adalah menurunnya hasil tangkapan dan buruan
sebagai akibat dari praktek penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan dan
perburuan satwa liar (buaya, rusa dan beberapa jenis burung), adanya perkampungan
logyard (tempat penimbunan kayu) di dalam kawasan, serta tumpang tindih antara batas
kawasan dengan penggunaan lahan lain.
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, di sekitar CATB menempati urutan
kedua (18,82 %). Oleh karena itu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya
dalam mengambil hasil perikanan. Masyarakat yang bermata pencaharian nelayan
menggunakan alat tangkap jaring untuk “pele kali” , jaring berlabuh dan pancing, serta
menggunakan akar bore (tuba). Menurut informasi dari beberapa nelayan di dalam dan
sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni, hasil tangkapan ikan sudah semakin menurun bila di
bandingkan dengan beberapa tahun lalu (3-5 tahun lalu). Hasil tangkapan yang dulu masih
mendapat “ 2 sampai 3 ember” sekarang hanya dapat “0,5 sampai 1 ember”. Selain itu
daerah tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari
perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar
Teluk Bintuni. Hal ini diduga disebabkan oleh kegiatan penangkapan hasil yang tidak
memeperhatikan kelestarian lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya populasi
biota perairan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan serta informasi dari pengelola kawasan dan beberapa
nelayan lokal, berhasil diidentifikasi beberapa praktek penangkapan adalah penggunaan akar
bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut mabuk sehingga
mudah diambil, indikasi penangkapan ikan dengan menggunakan racun serangga
(insektisida), serta penggunaan pukat harimau (trawler) oleh perusahaan udang sampai ke
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .
Cara-cara penangkapan ikan yang merusak tersebut belum diberikan sangsi hukum yang
tegas. Minimnya sarana dan prasarana aparat (BKSDA Papua, II Resort Bintuni) yang hanya
ada satu orang petugas dengan luas kawasan yang sangat luas (124.850 hektar) serta belum
adanya koordinasi dengan aparat penegak hukum lain (Kepolisian dan Koramil) membuat
penegakan hukum sangat lemah.
Masyarakat yang berada di sekitar kawasan CATB, ada yang bermatapencaharian dalam
berburu (Buaya, Rusa, Babi dan beberapa jenis burung), terutama masyarakat di Kampung
Naramasa, Yakati, Yensei, Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Berdasarkan hasil
wawancara dan survei lapangan, khusus untuk buaya diburu terutama oleh masyarakat
Naramasa, Yakati dan Yensei. Masyarakat tersebut berburu sepanjang Sungai Naramasa,
Yakati sampai ke dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu Sungai Sobrawara, alat
yang digunakan berupa tombak dan perahu tanpa mesin (kole-kole). Permintaan akan kulit
buaya menurut informasi dari masyarakat Naramasa masih cukup tinggi, dimana hampir
setiap minggu datang para pengumpul kulit buaya yang berasal dari Babo dan Bintuni untuk
selanjutnya dikumpulkan di Sorong lalu di jual ke Surabaya.
penduduk, serta tingginya permintaaan atas hasil buruan tersebut menyebakan jumlah
buaya, rusa dan beberapa jenis burung sudah semakin berkurang. Hasil buruan waktu lalu
(5-10 tahun yang lalu), dalam 1-3 hari berburu bisa mendapatkan 5-10 ekor, tapi sekarang
mereka memerlukan waktu yang lebih lama (1-2 minggu) dengan hasil 1-2 ekor ataupun tidak
dapat hasil buruan sama sekali.
Berdasarkan kondisi diatas, dengan tingginya tingkat perburuan buaya, rusa dan beberapa
jenis burung, maka hal ini dapat mengancam kelestarian terutama buaya, rusa dan beberapa
jenis burung dimana fauna tersebut merupakan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada
di CATB.
itu dengan “dibentuknya” perkampungan baru seperti Kampung Anak Kasih dan Tirasai di
dalam CATB, akan semakin bertambahnya masyarakat yang tergantung terhadap
sumberdaya alam dalam aktivitasnya sehari-hari.
Kondisi diatas diperburuk dengan adanya pembuatan “perumahan sosial” oleh pihak Pemda
Propinsi Papua pada tahaun 2003, dengan dibangunnya 54 rumah semi permanen di
Kampung Anak Kasih (di dalam kawasan CATB), tanpa adanya koordinasi khususnya
dengan BKSDA resort Bintuni. Hal tersebut akan menambah jumlah masyarakat yang akan
tinggal di dalam kawasan CATB, sehingga semakin besar sumberdaya alam yang akan
diambil yang selanjutnya menyebabkan jumlah dan jenis flora maupun fauna di dalam
kawasan CATB semakin menurun.
C.3.4. Tumpang tindih antara Batas Kawasan dengan Penggunaan Lahan lain.
Pemukiman transmigrasi yang ada di sebelah Utara batas kawasan CATB mulai tahun 1994,
memberikan permasalahan yaitu adanya lahan usaha 2 (LU 2) Kampung Banjar Ausoy SP 4
(200 hektar) dan Waraitama SP 1 (160 hektar) masuk kedalam kawasan. Hal ini terjadi
karena tidak adanya koordinasi antara pihak transmigrasi dengan BKSDA Papua 2 Resort
Bintuni pada saat penetapan LU 2
tersebut serta belum dilaksanakannya
proses tata batas.
Utara dan Timur serta tahap 2 tahun 1999 batas Barat dan Selatan, belum tersosialisasi
dengan baik atau kurang melibatkan masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam rangka
rencana pengelolaanya, maka diperlukan proses penataan batas ulang dimana dalam
prosesnya melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan serta adanya proses sosialisasi.
Adanya hak pengusahaan hutan (HPH) mulai Tahun 1990 dan IPKMA (Izin Pemanfaatan
Kayu Masyarakat Adat)/ Kopermas (Tahun 2002) yang berada di sekitar serta bagian hulu
CATB memberikan dampak yang cukup besar terhadap kelestarian CATB. HPH/IPKMA
tersebut mengeluarkan kayu untuk selanjutnya di kumpulkan disuatu tempat yang disebut
dengan Tempat Penimbunan Kayu (Logyard). Karena sarana angkutan selanjutnya untuk
membawa kayu keluar Bintuni menggunakan transportasi sungai dan laut, maka Logyard
tersebut dibuat di sekitar sungai dan pada umumnya posisinya berada di dalam kawasan
CATB. Beberapa Logyard yang berada di dalam kawasan CATB yaitu Logyard 4 (di Sungai
Muturi) PT. Yotefa Sarana Timber dan IPKMA/Kopermas, Logyard Anak Kasih di Sungai
Tikamari/Anak Kasih di buat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard Sumberi dibuat oleh
IPKMA/Kopermas, Logyard SP 5 di Sungai Sigirang dibuat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard 5
di Sungai Awarepi dibuat oleh IPKMA/Kopermas, serta Logyard SP 4 di Sungai Banjar Ausoy
di buat oleh IPKMA/Kopermas.
D. Faktor Penghambat
Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni akan berhasil apabila bisa mengurangi
faktor penghambat yang ada. Faktor penghambat merupakan suatu kondisi dimana lembaga
pengelola dalam hal ini BKSDA Papua 2, tidak memiliki kewenangan (Authority) untuk
menyelesaikannya. Beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan
CATB antara lain :
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada.,
Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni tahun 2004.
Berdasarkan dokumen RDTRK Kota Bintuni, Kota Bintuni meliputi Kampung Sibena sampai
dengan Kampung Argosigemerai (SP5). Pola ruang Kota Bintuni yang terbentuk berupa
Strip Development, dimana bentuk kotanya memanjang dari Barat ke Timur. Kondisi diatas
menimbulkan konsekuensi dari adanya dua “generator” aktivitas yang sama kuatnya. Satu
“generator” berada di ujung barat kota, kelurahan bintuni barat dan timur bersama-sama
dengan Kampung Sibena, yang merupakan cikal bakal Kota Bintuni, dan di ujung timur kota,
“generator” aktivitas baru yang muncul sebagai akibat keberadaan kawasan pusat
pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni (dekat dengan Kampung Korano Jaya) beserta
kegiatan-kegiatan ikutan yang menyertainya.
Berdasarkan kondisi diatas maka dimasa yang akan datang, mulai dari Kampung Sibena
sampai dengan Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni diprediksi akan
menjadi kawasan pemukiman/perkantoran/perdagangan serta aktivitas lainnya. Apabila
melihat posisi dari kota yang memanjang sepanjang jalan, dimana sebelah Selatan dari jalan
dengan jarak 1 sampai 5 Km, merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) maka
akses masyarakat kedalam kawasan CATB akan semakin mudah. Hal ini akan menjadi
ancaman yang cukup serius terutama kawasan CATB di Bagian Barat dan Utara yang
berdekatan sepanjang jalan/perkampungan. Dengan semakin mudahnya akses masyarakat
ke dalam kawasan CATB, maka peluang masyarakat untuk mengambil flora, fauna dan
lahan untuk kebun akan semakin besar sehingga kelestarian CATB semakn menurun.
Salah satu faktor penentu dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi adalah peranan dan
kapasitas pengelola baik dari jumlah (quantity) dan kemampuan (quality/skill). Kondisi saat
ini (current situation) menunjukan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan
yang cukup besar (± 124.850 ha) hanya di awasi oleh seorang kepala resort yang dibantu
dua orang jagawana. Hal ini diperparah lagi dengan minimnya sarana pendukung seperti
perahu motor (longboat) dan kemampuan managerial yang terbatas. Hal ini sangat
mempengaruhi atau bahkan boleh dikatakan sebagai faktor penghambat dalam mencapai
tujuan pengelolaan dan tujuan pembangunan suatu kawasan konservasi, khususnya Cagar
Alam.
Kaitannya dengan pelestarian kawasan, peran masyarakat sekitar sangat strategis dan
prospekstif. Dikatakan strategis sebab tanpa partisipasi nyata masyarakat sekitar, tidak
mungkin kawasan konservasi tersebut akan lestari. Dikatakan prospektif dengan keyakinan
bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan tidak akan menolak upaya pemberdayaan
yang sangat terkait langsung dengan kepentingannya. Hasil pengamatan di lapangan
mengindikasikan bahwa peran masyarakat dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dalam ikut menjaga kelestarian kawasan masih rendah. Hal ini bisa terlihat dari
terganggunya beberapa bagian kawasan Cagar Alam yang juga “melibatkan” masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan seperti pembukaan lahan untuk logyard milik Kopermas dan
perambahan hutan untuk kegiatan perladangan (shifting cultivation). Kemungkinan besar
karena pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kawasan relatif kurang bahkan tidak
mengerti sama sekali.
III. KEBIJAKAN
A. Dasar Hukum
18. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
20. PP No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam
Kebijakan III - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
23. PP No. 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
25. Perpu No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41
tentang Kehutanan
26. Keppres No. 57 tahun 1989, tentang Komisi Pengarah untuk Pengelolaan
Klasifikasi Lahan Nasional
29. Instruksi Mendagri No. 26/1997, tentang Perlindungan Hutan Mangrove sebagai
Jalur Hijau
- BAPI 1993 digunakan hanya untuk memahami histori action plan nasional sebagai
dokumen nasional pertama dalam konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
- IBSAP 2003 sebagai dokumen nasional kedua dalam konservasi keanekaragaman hayati
di Indonesia, menggantikan BAPI 1993, yang merupakan rujukan utama yang digunakan
sebagai pembanding untuk identifikasi isu-isu konservasi di Indonesia.
Kebijakan III - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
diharapkan akan ada panduan untuk menetapkan prioritas dan investasi di bidang konservasi
keanekaragaman hayati terutama untuk periode Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) V dan VI (hingga 1999). Tujuan ataupun sasaran yang ditetapkan adalah
mengkonservasi sebanyak mungkin keanekaragaman hayati untuk menjadi tumpuan
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
1. Memperlambat laju kehilangan tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang
serta habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan
keanekaragaman hayati.
2. Konservasi in-situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan basah dan
kawasan budidaya pertanian;
4. Konservasi eks-situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varietas, dan
program penangkaran.
1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan, yaitu isu mengenai kapasitas SDM
2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, terdiri dari konservasi in-situ
dan eks-situ biodiversity, partisipasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan, serta
valuasi biodiversity.
3. Isu yang terkait dengan aspek sistem informasi dan teknologi, yaitu isu mengenai riset
dan training.
Kebijakan III - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
IBSAP 2003 merupakan penyempurnaan dari BAPI 1993 dan merupakan strategi dan
rencana aksi biodiversity nasional. IBSAP 2003 mempunyai tujuan :
1. Melakukan kajian atas kebutuhan dan aksi prioritas yang tercantum dalam BAPI 1993
untuk mengetahui apa saja yang sudah dicapai, apa yang belum dilaksanakan, dan
mencari penyebab mengapa dana dan/atau motivasi yang diperlukan belum
didapatkan;
2. Mengidentifikasi kebutuhan dan aksi prioritas yang baru dan merevisi rencana aksi
menurut perubahan yang mungkin akan terjadi pada kebijakan lingkungan hidup di
masa yang akan datang;
3. Menentukan peluang dan kendala yang ada saat ini dalam konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan atas keanekaragaman hayati secara efektif, termasuk
kekurangan dalam pengetahuan yang ada dan sasaran serta tindakan yang realistis
untuk menutup kekurangan ini;
4. Menyusun strategi baru yang jelas, dan disertai dengan rencana aksi yang rinci.
1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan/kelembagaan, terdiri dari isu masalah
kebijakan yang over eksploitasi, sentralistis, sektoral, dan tidak partisipatif, serta
penegakan hukum dan kelembagaan yang lemah;
2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, mencakup isu mengenai
eksploitasi berlebih, degradasi sumberdaya hayati, globalisasi bisnis keanekaragaman,
introduksi spesies dan varietas eksotik, konversi habitat yang tinggi, pencemaran
lingkungan, dan kekeliruan penilaian sumberdaya;
3. Isu yang terkait dengan aspek sosial ekonomi, mencakup isu mengenai tekanan
penduduk, kemiskinan, pembagian manfaat yang tidak adil, serta kapasitas SDM yang
tidak memadai.
4. Isu yang terkait dengan sistem informasi dan teknologi, mencakup isu mengenai riset
dan sistem informasi yang tidak memadai, serta penggunaan teknologi yang merusak;
5. Isu dalam aspek peran NGO dan kerjasama internasional, terkait dengan kerjasama
internasional dan kesadaran, pemahaman dan kepedulian.
Kebijakan III - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
C. Sektor Kehutanan
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat
1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional
menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan
pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem
hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen
Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan
sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka
melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang
antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur)
yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
Kegiatan ini adalah meminimalisir penebangan liar dan pencurian kayu sesuai dengan
kewenangan Departemen Kehutanan.
Kebijakan III - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
3. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang Penyidikan dan
Perlindungan Hutan, Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan
Keanekaragaman Hayati, serta Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Dari tugas pokok dan fungsi di atas, maka tugas PHKA tidak hanya di dalam kawasan
konservasi saja, tetapi meliputi seluruh kawasan hutan yang ada di Indonesia. Untuk itu
dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi Direktorat Jenderal
PHKA di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut :
Kebijakan III - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan Konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya secara benar dan terarah diperlukan perencanaan yang
menyeluruh, sinergis dan strategis sehingga mampu memberikan manfaat kepada seluruh
masyarakat secara optimal. Dalam rangka penyusunan rencana strategis di atas, perlu
dipahami oleh seluruh unsur pengelola maupun para pihak hal-hal yang berkaitan dengan
kondisi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya saat ini.
Rencana Stratejik Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam merupakan
penjabaran dari Renstra Departemen Kehutanan dimana dalam penyusunannya didasarkan
kepada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004,
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004,
Perauran Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004,
Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/KPTS-II/2001, Peraturan Menteri Kehutanan
P.13/Menhut-II/2005.
Sedangkan visi dan misi dan Ditjen PHKA adalah sebagai berikut :
1. Pernyataan Visi
a. Permasalahan Kawasan
Sampai saat ini yang berkaitan dengan status kawasan konservasi belum secara
keseluruhan sudah dikukuhkan, dengan kata lain belum seluruhnya mempunyai
batas di lapangan yang jelas. Sehingga hal ini sering menimbulkan konflik dengan
pihak lain. Disamping itu pengelolaan kawasan belum seluruhnya dilaksanakan
dengan standar, norma dan kriteria yang jelas, sehingga KSDAHE belum secara
optimal dan efektif memberikan manfaat kepada masyarakat.
Dampak krisis multi dimensi yang dialami oleh Bangsa Indonesia mengakibatkan
terjadinya permasalahan sosial yang memprihatinkan, beberapa kasus yang terjadi
antara lain: terjadinya kesenjangan sosial, kebutuhan lahan garapan yang sangat
Kebijakan III - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
besar (lapar lahan) sehingga menimbulkan konflik lahan, masih lemahnya akses
masyarakat terhadap pengelolaan hutan, kecenderungan memperoleh hasil cepat
melalui kegiatan illegal (over cutting, penebangan liar, penyelundupan kayu,
perambahan hutan dan sebagainya). Gangguan terhadap kawasan konservasi dan
kawasan hutan lainnya juga terjadi akibat kebakaran hutan (harmfull fire). Hal ini
terjadi disebabkan pengelolaan hutan yang kurang baik serta ditunjang oleh
kurangnya sumberdaya yang ada untuk penanggulangan kebakaran hutan, dimana
kebakaran hutan ini sudah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan juga secara
internasional timbul ”Transboundary haze pollution”, yang menjadi sorotan
internasional.
c. Pemanfaatan SDAHE
Pemanfaatan flora dan fauna masih banyak menimbulkan dampak negatif seperti
misalnya maraknya penyelundupan flora dan fauna. Sampai saat ini, Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang KSDA masih perlu ditingkatkan. Manfaat
kawasan konservasi tidak seluruhnya diukur dari PNBP, tetapi juga manfaat lain yang
bukan dalam bentuk uang (ekonomis) juga harus diperhatikan dan ditingkatkan serta
dipublikasikan tentang pentingnya manfaat KSDAHE bagi pembangunan, sehingga
dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.
d. Kelembagaan
Pemerintah dan lembaga yang menangani atau mengelola KSDAHE sampai saat ini
masih jauh dari standar, norma dan kriteria yang ada. Hal-hal yang perlu ditingkatkan
antara lain : level organisasi, SDM, sarana dan prasarana, disamping itu juga
membentuk organisasi pengelola yang baru.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas maka dalam lima tahun mendatang
visi yang harus dicapai dan dipahami oleh jajaran Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam baik di pusat maupun di daerah adalah :
2. Pernyataan Misi
Untuk mewujudkan visi dalam lima tahun mendatang, diperlukan bentuk nyata
implementasinya dan menggambarkan yang seharusnya terlaksana. Dari visi tersebut
ditetapkan empat misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
sebagai berikut :
Kebijakan III - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Agar pengelolaan KSDAHE dapat tercapai tujuannya dengan baik, maka kawasan
konservasi yang dikelola harus jelas batas-batasnya, sehingga tidak menimbulkan konflik
dengan pihak lainnya. Disamping itu pengelolaan yang seharusnya dilaksanakan pada
kawasan konservasi tersebut harus jelas kriteria, norma dan standar pengelolaan
kawasan konservasi.
Sampai saat ini gangguan terhadap hutan dan hasil hutan semakin meningkat, hal ini
terlihat dari laju kerusakan hutan setiap tahunnya mencapai 2,83 juta hektar. Disamping
itu kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Dengan adanya
kejadian tersebut tentunya akan menyulitkan pengelolaan kawasan konservasi maupun
kawasan hutan lainnya, sehingga tidak mencapai fungsi secara optimal. Dengan
demikian gangguan terhadap kawasan konservasi maupun kawasan hutan serta
tumbuhan dan satwa liar harus dieliminir sedemikian rupa.
Pemanfaatan SDA perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal. Sampai saat ini
PNBP bidang PHKA dirasa masih sangat kecil kontribusinya di sektor kehutanan.
Pemanfaatan SDA yang potensial untuk dikembangkan meliputi wisata alam, jasa
lingkungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Namun demikian tidak semua
pemanfaatan jasa KSDAHE diidentikkan dengan pendapatan dalam bentuk uang. Oleh
karenanya, perlu adanya penyebarluasan informasi agar dapat dipahami oleh semua
pihak, sehingga KSDAHE dapat didukung dan dilaksanakan dengan baik.
Adapun tujuan dari masing-masing misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, sebagai berikut:
Kebijakan III - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
1. Meningkatkan pemanfaatan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan
jasa lingkungan serta mengembangkan Bina Cinta Alam
Adapun sasaran dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :
Kebijakan III - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
5. Terlaksananya pembinaan habitat TSL di SM, KPA dan TB seluas 100.000 ha.
8. Terkelolanya data informasi dan publikasi konservasi KSDAHE di pusat dan 6 UPT.
Kebijakan III - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
2. Meningkatnya jumlah dan kompetensi SDM aparatur struktural, non struktural dan
fungsional
Adapun strategi dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :
5. Optimalisasi pelaksanaan evaluasi fungsi KSA, KPA, TB dan HL, pada 200
kawasan
Kebijakan III - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Kebijakan III - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
4. Memenuhi sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE di pusat dan daerah (66
UPT).
Kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama dari seluruh
pemangku kepentingan bahwa pencurian kayu dan peredaran kayu illegal yang
telah berkembang sangat memprihatinkan dan mengakibatkan penurunan fungsi
kawasan konservasi, fragmentasi habitat, masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
Kebijakan III - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, program pembangunan kehutanan
bidang PHKA, mengacu pada program nasional sebagaimana program dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 serta Program Departemen
Kehutanan. PHKA mempunyai 5 program untuk menampung kegiatan-kegiatan
pembangunan kehutanan bidang PHKA. Program tersebut adalah:
e. Program Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Pola pembangunan dan pemanfaatan hutan di masa lalu yang hanya berorientasi kepada
pembalakan (timber oriented) tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai
lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, telah cenderung
terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan, sehingga potensi sumberdaya alam lainnya
seperti hasil hutan non-kayu (flora dan fauna) dan jenis lingkungan menjadi rusak dan hilang
Kebijakan III - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
tanpa memberikan hasil yang optimal. Hal tersebut telah pula memunculkan dan tumbuhnya
konglomerasi, dan terabaikannya hak-hak masyarakat sekitar hutan, serta menyebabkan
hilangnya akses masyarakat sekitar hutan untuk dapat menikmati kekayaan alam hutan
tersebut dan kesejahteraan mereka tetap tertinggal.
Memperhatikan hal tersebut, hendaknya program pembangunan dan pemanfaatan hutan dan
kawasan konservasi dari aspek konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di masa
mendatang harus diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multi fungsi, dengan
memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan
mengutamakan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita mengenal hutan
dan klasifikasinya sebagai berikut :
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam
hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu : fungsi
konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.
Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang
bersama-sama dengan unsur non-hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas :
o Hutan konservasi
o Hutan produksi
Berdasarkan UU No 41 ini, pengertian hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Sedang dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kita mengenal kawasan
konservasi dan salah satunya adalah kawasan suaka alam. Dalam UU ini, pengertian
Kebijakan III - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. Salah satunya adalah kawasan cagar alam
Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Adapun kriteria untuk
penunjukan dan penetapan sebagai kawasan cagar alam seperti yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam :
Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak
atau belum diganggu manusia;
Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan
yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses ekologis secara alami;
Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau
Pemanfaatan potensi kawasan konservasi hanya akan dapat dilaksanakan secara konseptual
dan terencana apabila potensi kawasan yang ada tersebut diketahui peran dan fungsinya.
Peran dan fungsi kawasan menjadi titik tolak kepentingan pemanfaatan dari segi nilai
ekologis dan nilai finansial. Oleh karena itu pengetahuan mengenai nilai potensi merupakan
hal yang penting untuk pemberdayaan manfaat kawasan konservasi. Pemanfaatan kawasan
konservasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus bertujuan
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi
kawasan konservasi. Beberapa fungsi dari kawasan konservasi termasuk Cagar Alam
adalah sebagai berikut
x Fungsi tata air. Cagar alam sebagai salah satu kawasan hutan pelestarian alam adalah
hutan dengan ciri khas tertentu yang memiliki fungsi pokok perlindungan serta penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan cagar alam juga memiliki peranan yang sangat penting untuk perlindungan
fungsi tata air (hidro-orologis). Perlindungan fungsi tersebut berperan pula di dalam
Kebijakan III - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Dimasa mendatang dimana sumberdaya air akan menjadi terbatas maka peran kawasan
konservasi, khususnya cagar alam dengan fungsi hidro-orologisnya akan memainkan
peranan yang berarti, khususnya bagi penyediaan dan kelangsungan sumberdaya air
untuk kawasan pemukiman, industri dan lain-lainnya. Pada kawasan cagar alam
mangrove, fungsi pengendali intrusi air asin dan pengendali banjir akan menjadi fungsi
penting kawasan bagi masyarakat sekitar kawasan.
Studi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut harus mulai untuk terus dikembangkan,
sehingga nilai-nilai pemanfaatan kawasan konservasi dari segi nilai ekologis akan
semakin diketahui masyarakat luas, dan hal tersebut diharapkan akan menyadarkan
mereka untuk selalu berupaya melestarikan dan menjaga keberadaan kawasan
konservasi bagi kelangsungan sistem penyangga kehidupan dan peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat secara regional, nasional dan bahkan internasional.
x Manfaat O2, CO2 dan penyerap panas. Kawasan konservasi di daerah tropis memiliki
peranan yang sekarang dikenal sebagai paru-paru dunia, berbagai jenis tumbuhan mulai
dari yang bersifat semak belukar sampai bentuk pohon memiliki kemampuan untuk
menyerap gas karbondioksida untuk kemudian dirubah menjadi gas oksigen, yang
membuat iklim mikro menjadi lebih nyaman. Disamping itu beberapa jenis dari tumbuhan
yang terpelihara dan terlindungi secara baik di kawasan-kawasan konservasi berperan
pula untuk mencegah polusi udara dan pemanasan global. Pemanfaatan kawasan
konservasi untuk berperan sebagai penyerap gas karbondioksida maupun zat polutan
serta sebagai penghasil oksigen maupun penyerapan efek panas dari gas rumah kaca
belum banyak dikemukakan secara kuantitatif dari segi nilai ekologi maupun finansial.
Studi-studi yang berkaitan dengan kepentingan pemanfaatan kawasan konservasi untuk
hal tersebut harus mulai untuk dikembangkan.
x Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada kawasan konservasi. Merupakan bentuk
kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama
Kebijakan III - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
kawasan konservasi, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah,
dan lain-lain. Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi.
Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan
bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaanya berhak :
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang;
Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan ekosistemnya maka kegiatan pemanfaatan tradisional menjadi salah
satu aktivitas yang harus diadopsi dalam kegiatan pengelolaan kawasan cagar alam.
Untuk pendayagunaan dan hasilguna, maka pengelolaan dan penelitian dan pendidikan
diarahkan pada kegiatan, sebagai berikut :
Identifikasi obyek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem dan sosial ekonomi budaya
masyarakat.
Kebijakan III - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Melihat kondisi dan permasalahan yang terjadi saat ini pada kawasan konservasi maka
kebijaksanaan pengelolaan kawasan konservasi mengalami perubahan paradigma. Bila
dimasa lalu titik berat pengelolaan kawasan konservasi lebih difokuskan pada aspek
perlindungan dan pengawetan, antara lain diwujudkan dengan penunjukan kawasan
konservasi dan hutan lindung, penetapan jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi, dan
berbagai upaya pengamanan dan perlindungan serta kegiatan preventif lainnya. Oleh karena
itu, dalam rangka mewujudkan seluruh aspek konservasi dalam pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi termasuk cagar alam,
maka bobot peningkatan dan pengembangan aspek pemanfaatan berdasarkan azas
kelestarian menjadi titik berat dengan didukung perlindungan dan pengawetan yang
memadai. Dengan memperhatikan perkembangan keadaan yang berjalan tersebut kebijakan
pembangunan kawasan konservasi termasuk cagar alam diarahkan untuk mengemban misi
terwujudnya manfaat optimal konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi
kesejahteraan masyarakat, untuk mewujudkan misi tersebut serta dipandu dengan ketetapan
GBHN tahun 1999 yang menekankan kepada perwujudan pengelolalan sumber daya alam
hutan secara lestari, berkeadilan dan mandiri untuk sebesar-besarnya, kesejahteraan rakyat,
maka ditetapkan program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di dalam
pengelolaan kawasan konservasi sebagai berikut :
c. Meningkatkan pembinaan satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui
peningkatan kegiatan inventarisasi, rehabilitasi dan pembinaan habitat guna menjamin
kelestarian populasi jenis dan pemanfaatannya.
d. Meningkatkan pembinaan kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa)
melalui penilaian keunikan dan keasliannya serta mengembangkan pengelolaannya
melalui model pengelolaan yang memadai dan diharapkan mampu memberikan manfaat
bagi peningkatan kesejahteraan dan kesadaran konservasi masyarakat setempat.
Kebijakan III - 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
j. Meningkatkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hutan dari kawasan hutan
dan kawasan konservasi guna peningkatan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
disekitar hutan melalui kegiatan penunjang budidaya.
l. Melakukan dan mengembangkan pendekatan baru dalam analisis biaya dan keuntungan
dengan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan dan sosial dengan disertai kajian
dampak lingkungan dan sosial, pemantauan dan pengawasannya secara konsisten di
lapangan.
Kebijakan III - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
p. Membangun dan menggali sumber pendanaan untuk konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistem melalui trust fund atau debt for nature swap serta mendorong
pengelola kawasan konservasi untuk mengembangkan kemampuan pendanaan secara
mandiri di dalam pengelolaan kawasannya.
q. Meningkatkan peran aktif para ahli konservasi, lembaga masyarakat dibidang politik dan
sebagainya untuk mampu mendorong terciptanya berbagai peraturan dan kelembagaan
yang mendukung upaya pelestarian alam dan lingkungan.
r. Meningkatkan supremasi hukum dan memberikan sanksi yang tegas dan jera terhadap
para pelanggar yang berkaitan dengan pelestarian alam dan lingkungan.
a. Peningkatan inventarisasi potensi kawasan hutan yang mencakup seluruh potensi flora,
fauna, jasa lingkungan dan ekosistem, sehingga secara bertahap pengetahuan mengenai
potensi dan kegunaan setiap komponen penyusun ekosistem dan dapat diungkapkan dan
diketahui, serta hal ini penting di dalam perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan
secara berkelanjutan, lestari, efektif dan efesien.
b. Pemantapan kawasan melalui kegiatan kajian potensi satuan unit pengelolaan ekosistem
yang efektif dan efisien, penataan batas, pengukuran, pemetaan dan pengukuhan status
kawasan, guna memberikan kepastian pengelolaan dan pemanfaatan secara
berkelanjutan dan lestari, serta penegakan hukum bagi kasus penindakan pelanggaran
dan perusakan kawasan.
Kebijakan III - 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Pengelolaan kawasan hutan khususnya hutan mangrove di Indonesia terususun dalam suatu
strategi Nasional yang merujuk kepada pola pengelolaan lingkungan di dalam Agenda 21
Indonesia. Strategi Nasional Ekosistem Mangrove dan Agenda 21 Indonesia memuat antara
lain :
Kebijakan III - 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Di lingkup Departemen, departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan
mangrove adalah Departemen Kehutanan. Landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus
berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-
konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya.
Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah,
Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya
rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan
bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Secara umum, pengelolaan kawasan mangrove khususnya kawasan cagar alam haruslah
sesuai dengan “prinsip pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk
mencapai tujuan ini maka secara umum kebijakan yang ada berdasar dan berpedoman
kepada :
Kebijakan III - 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan (Pasal
5 UU No. 5/1990) :
Secara khusus, dalam hal pengelolaan hutan Mangrove maka aspek perencanaan menjadi
sangat penting. Dalam hal ini, perencanaan juga memuat aspek dan informasi sebagai
berikut :
Secara spesifik, rencana atau pokok kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan
mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan
baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual.
Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Operasional Teknis
Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan
operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT
(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis
Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan
dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit
percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18
Propinsi.
Kebijakan III - 25
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
D. Pengembangan Wilayah
Berdasarkan kondisi diatas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dituntut untuk
memaksimalkan semua sumberdaya yang ada (manusia, alam dan buatan) untuk
mewujudkan pembangunan di semua bidang. Salah satu modal pembangunan dari
Kabupaten Teluk Bintuni yaitu sumberdaya alam (SDA) yaitu berupa SDA hutan, perikanan,
pertanian, pertambangan (batubara), serta gas bumi (LNG Tangguh). SDA alam yang ada di
kabupaten Teluk Bintuni diantaranya yaitu berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB). SDA hasil perikanan merupakan SDA yang banyak terdapat di dalam kawasan
CATB. Selain itu flora serta fauna yang eksotis (mangrove, buaya, rusa, serta beberapa jenis
burung) terdapat di dalam kawasan CATB. Sesuai dengan fungsinya yang merupakan
kawasan konservasi, CATB memiliki peranan yang cukup besar dalam menjaga kelestarian
ekosistem di sekitar Teluk Bintuni. Akan tetapi seiring dengan rencana pembangunan yang
akan dilakukan, kawasan CATB tidak akan terlepas dari pengaruh untuk dimanfaatkan
sebagai modal pembagunan. Oleh karena itu setiap rencana pembangunan yang akan
dilakukan oleh pemda, harus ada koordinasi dengan BKSDA Papua 2 yang memiliki kantor
Resort di Bintuni.
Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan
perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan
keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain).
Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan tata
ruang (Clayton and Dent, 1993, dalam Rustiadi et al., 2003):
Kebijakan III - 26
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan
suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Sasaran utama dari
perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang
terbaik, namun biasanya dapat dikelompokan atas tiga sasaran umum: 1) efisiensi, 2)
keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan 3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk
pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang
diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus
merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya
perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang
juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik dan sosial sehingga menjamin peningkatan
kesejahteraan secara berkelanjutan.
Gambar III-1. Rencana Pola Perkembangan Kota Bintuni sebagai Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada,
sehingga terdapat kesulitan untuk mengetahui arahan pembangunan untuk tingkat
Kabupaten., Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni
tahun 2004. RDTRK Kota Bintuni dapat dijadikan sebagai dasar untuk melihat arahan
pembangunan yang akan mempengaruhi terhadap kawasan, karena kawasan CATB
letaknya berdekatan dengan Kota Bintuni. Berdasarkan RDTRK Kota Bintuni, ibu kota
Kebijakan III - 27
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
kabupaten mulai dari Kampung Sibena sampai dengan Kampung Argosigemerai (SP5), serta
telah dibangunnya pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni yang berjarak 27 Km
sebelah Timur dari Kota Bintuni (dekat Kampung Korano Jaya). Selain itu berdasarkan
RDTRK Kota Bintuni, Kampung Argo Sigemerai direncanakan sebagai kawasan komersil dan
bisnis baru berskala regional.
Berdasarkan kondisi diatas maka dapat dilihat bahwa batas Barat Laut dan Utara kawasan
CATB, merupakan daerah yang sangat dekat dengan perkampungan dan pusat aktivitas
lainnya. Agar kawasan CATB dapat terjaga dengan baik maka perlu adanya daerafh buffer
antara jalan dengan batas kawasan CATB. Selain itu untuk mengurangi tekanan terhadap
penggunaan lahan, maka setiap pemanfaatan/penggunaan lahan dilakukan di sebelah Utara
jalan Trans Bintuni – Manokwari..
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) secara geografis merupakan daerah hilir dari
beberapa sungai besar seperi Sungai Muturi, Bokor, Tirasai, Kodai, Tatawori, Naramasa
serta beberapa sungai kecil lainnya, untuk selanjutnya aliran sungai tersebut masuk ke Teluk
Bintuni. Daerah hulu dari sungai-sungai tersebut merupakan kawasan hutan yang sampai
saat ini masih merupakan hutan produksi. Dengan adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
maka kondisi hutan di bagian hulu sungai tersebut semakin rusak sehingga dapat
mengakibatkan erosi dan tingkat sedimentasi di setiap sungai semakin besar. Melihat kondisi
diatas maka kawasan CATB merupakan daerah buffer sebelum aliran sungai masuk ke Teluk
Bintuni.
Perubahan pola penggunaan lahan di hulu DAS dari hutan alam menjadi usaha hutan baik
oleh masyarakat maupun HPH, ditambah dengan usaha pertanian yang tidak sesuai daya
dukung lahan menyebabkan laju erosi dan sedimentasi bertambah. Penambahan besar erosi
dan sedimentasi menyebabkan tekanan terhadap kawasan cagar alam semakin besar.
Sedimentasi yang memasuki kawasan mempunyai peran ganda, sebagai potensi pendukung
keberadaan ekosistem mangrove dan sekaligus ancaman. Mangrove hanya bisa
berkembang jika ada suplai sedimen sebagai substrat pertumbuhan. Tetapi bila sedimentasi
bertambahnya sangat cepat maka laju perubahan semakin cepat dimana perubahan dari
ekosistem mangrove menjadi hutan dataran rendah lebih cepat dari terbentuknya mangrove
Kebijakan III - 28
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
baru. Jika ini berkembang terus maka luas kawasan hutan mangrove semakin kecil dan
keberadaan cagar alam ini menjadi terancam. Perubahan ekosistem ini akan menyebabkan
terjadinya kehilangan fungsi ekonomi kawasan sebagai spawning ground bagi ikan, kepiting,
udang yang merupakan sumber pencaharian masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni
Pada sisi lain, pola transportasi ke dan dari Kabupaten umumnya menggunakan sungai.
Kondisi ini menyebabkan akses di dekat dan dalam kawasan sangat intens untuk
transportasi. Sungai Wasian (Sungai Steenkol) yang merupakan batas alam sebelah Timur
kawasan CATB, merupakan ”pintu gerbang” bagi masuknya kapal penumpang/barang dari
Sorong ataupun daerah lain. Melihat posisi muara sungai tersebut yang sangat dipengaruhi
oleh sungai-sungai yang berasal dari kawasan CATB (terutama Sungai Muturi) dimana
tingkat sedimentasinya sudah tinggi, maka berdasarkan pengamatan lapangan sedimentasi
di muara Sungai Wasian semakin mempersempit muaranya. Dengan kondisi demikian maka
bukan hal yang mustahil dimasa yang akan datang kapal-kapal tidak dapat lagi masuk ke
Sungai Wasian, sehingga dari perhubungan laut Kabupaten Teluk Bintuni akan terisolir. Hal
tersebut menunjukan bahwa peranan kawasan CATB sebagai daerah buffer bagi aliran
sungai yang bermuara di Teluk Bintuni cukup besar, sehingga hal yang sangat penting untuk
menjaga kelestarian kawasan CATB.
Teluk Bintuni terkenal sebagai daerah penghasil beberapa jenis hasil perikanan seperti ikan,
udang, kepiting (karaka) dan lain-lain. Hal ini ditunjukan dengan berdirinya perusahaan-
perusahaan perikanan, salah satunya yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro
Distrik Babo. Selain itu banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Bintuni atau
kawasan CATB yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Kawasan CATB mayoritas
wilayahnya (lebih dari 90%) merupakan hutan mangrove (mangi-mangi) dengan luasan
seluruhnya 124.850 hektar, yang merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat
memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya. Berdasarkan kondisi diatas
menunjukan bahwa kawasan CATB merupakan ”rumah/gudang” dari beberapa jenis hasil
perikanan, sehingga memiliki peranan yang cukup penting bagi keberlangsungan produksi
perikanan di Teluk Bintuni dan sekitarnya.
Kebijakan III - 29
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
A.1 Permasalahan
Status kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni sampai saat ini masih dalam status
hukum penunjukan dan belum penetapan. Disamping itu, tata ruang daerah juga belum resmi
ada. Kondisi ini secara hukum membuat kepastian kawasan menjadi sangat rawan karena ke
depan, proses perkembangan wilayah dan tekanan terhadap cagar alam cukup besar,
sementara status masih penunjukan. Jika pemerintah daerah membuat perda dalam tata
ruang yang mengurangi atau menghilangkan cagar alam, maka tidak ada alasan untuk
membatalkannya karena secara hukum, keberadaan kawasan masih dalam tahap
penunjukkan dan belum penetapan.
Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sepenuhnya ditangani oleh institusi
yang berstatus instansi pusat dan wewenang kendali ada pada BKSDA Papua II Sorong dan
bukan di wilayah atau kawasan Cagar Alam. Kondisi ini sangat potensial menyebabkan
kegiatan pengelolaan belum bisa maksimal dan efektif. Informasi yang diperoleh dari
pengelola teknis Cagar Alam Teluk Bintuni menunjukan bahwa tanggung jawab pengelolaan
terkesan sepenuhnya berada di tangan KSDA Bintuni dan belum mendapat dukungan dari
pemerintah daerah, padahal pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi juga menjadi
Analisis Permasalahan IV - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
bagian tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi sebagai kabupaten baru juga menjadi
salah satu penyebab masalah ini muncul. Peranan institusi pengelola dalam mengikuti
mekanisme koordinasi dan birokrasi dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) juga masih kurang
efektif. Ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan struktur dan eselonisasi antara
pengelola dengan dinas di dalam Pemda. Hal ini di perparah lagi dengan birokrasi yang
panjang yang harus di tempuh oleh institusi pengelola di daerah dalam membuat kebijakan-
kebijakan yang menyangkut pengelolaan kawasan karena tanggungjawab dan kendali masih
ada di BKSDA Papua II yang berkedudukan di Sorong.
Institusi pengelola kawasan konservasi di daerah, dalam hal ini Balai Konservasi Sumberdaya
Alam (BKSDA) Papua II merupakan perpanjangan tangan institusi pusat (PHKA). Dalam
aktivitas kegiatannya, balai membawahi kegiatan pengelolaan kawasan di 14 Kabupaten,
seperti : Kabupaten Biak, Numfor, Serui, Waropen, Manokwari, Teluk Wondama, Teluk
Bintuni, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Fak-fak, Kaimana, Mimika, dan kota Sorong.
Khusus untuk Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni, institusi pengelola kawasan konservasi yang
ada adalah Resort KSDA Bintuni yang membawahi dua kawasan Cagar Alam, yaitu Cagar
Alam Wagura Kote dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Bila dilihat dari kondisi geografis, luas
kawasan, beragamnya obyek yang harus dikelola, serta “rumitnya” mekanisme birokrasi yang
harus diikuti, tanggung jawab instansi ini terasa sangat berat dalam mencapai tujuan
pengelolaan kawasan. Keberadaan koordinasi yang berada di Sorong dan aksesibilitas serta
komunikasi ke wilayah Teluk Bintuni juga menjadi salah satu sebab kurang optimalnya peran
institusi pengelola.
Analisis Permasalahan IV - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni, tanggung jawab
pengelolaan kawasan hanya ditangani oleh tiga orang personil yang terdiri dari 1 orang Kepala
Resort dan 2 orang tenaga Polisi Kehutanan. Hal ini tidak sebanding dengan luasan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu kurang lebih 124.850 ha dan Cagar Alam Wagura Kote, yaitu
kurang lebih 15.000 ha. Khusus untuk Cagar Alam Teluk Bintuni, pengelolaan dilakukan oleh
Kepala Ressort dan 3 orang Jagawana (Tabel IV-1).
Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang dituntut, sarana dan prasarana penunjang
yang ada sangat kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari
pengelolaan kawasan. Pengawasan dan patroli yang efektif serta upaya untuk pembinaan dan
koordinasi dengan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan sangat tidak
mendukung dengan sarana yang ada. Upaya penambahan sarana dan petugas menjadi
salah satu prioritas yang harus dilakukan agar aksesibilitas pengelola ke dalam kawasan dan
Analisis Permasalahan IV - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Tabel IV-2. Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
sampai dengan Juli tahun 2005
Informasi yang di peroleh dari pengelola kawasan menunjukkan bahwa kajian dan penelitian
telah banyak dilakukan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, namun hasil-hasilnya tidak
terdokumentasi dengan baik sebagai arsip yang ditinggalkan pada institusi pengelola baik di
BKSDA Papua II Sorong maupun di Ressort Bintuni. Hal ini juga diperkuat dari hasil
penelusuran data sekunder, dari data yang telah terdokumentasi yang bersumber dari
beberapa stakeholder seperti Perguruan Tinggi, LSM, BP Tangguh, dan Pemerintah Daerah,
ternyata informasi dasar kawasan masih belum memadai dalam menunjang kegiatan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Dari informasi kegiatan yang pernah dilakukan di kawasan Cagar Alam baik di dalam
Departemen Kehutanan maupun di luar kehutanan, hampir tidak dijumpai adanya data dan
laporan hasil kegiatan yang terdokumentasi di pengelola. Salah satu contoh adalah laporan
kegiatan tata batas kawasan. Kegiatan ini sudah dilakukan tahun 1999 tetapi peta hasil
pengukuran dan laporan kegiatannya tidak dijumpai sebagai dokumen di resort atau lokasi
cagar alam. Hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem dokumentasi data tentang kawasan
dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja dari pengelola kawasan
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, prinsip pencegahan selalu dipandang lebih baik
dibandingkan dengan rehabilitasi atau perbaikan. Akan tetapi prinsip ini belum terlaksana di
Analisis Permasalahan IV - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi hutan mangrove yang relatif
masih baik dan tekanan kerusakan yang belum besar diduga menjadi salah satu sebab
kurangnya perhatian dalam pengelolaan. Ini tergambar dari alokasi dana untuk Cagar Alam
Teluk Bintuni yang sangat kecil, padahal dari segi luas kawasan, Cagar Alam Teluk Bintuni
membutuhkan alokasi dana yang cukup besar dalam pengelolaannya, khusus dalam
pengawasan. Aksesibilitas yang dominan lewat air membutuhkan biaya patroli yang cukup
besar. Disamping itu, penyuluhan kepada masyarakat yang berada di dalam maupun di
sekitar kawasan juga sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan bisa didukung oleh
masyarakat.
Pedoman dan petunjuk teknis bagi pengelolaan kawasan dan jenis yang merupakan
perangkat lunak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan masih belum tersedia di
Pondok Kerja Resort KSDA Bintuni. Padahal perangkat ini sangat diperlukan dalam
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Hal ini menyebabkan kegiatan
pemberdayaan masyarakat sulit dilakukan dan diukur keberhasilannya. Disamping itu,
ketidaktersediaan buku saku pengelolaan dan pedoman koordinasi juga menyebabkan upaya
pengelolaan terbentur pada masalah legalitas kegiatan. Hal lain yang menjadi permasalahan
adalah pola pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan dimana mereka
umumnya adalah masyarakat tradisional yang tidak terbiasa berurusan dengan kondisi yang
serba formal. Untuk itu sangat diperlukan adanya pedoman bagi pelaksana teknis pengelolaan
Cagar Alam.
Batas kawasan yang jelas akan membuat semua pemangku kepentingan memahami dan
menyadari keberadaan kawasan Cagar Alam. Batas yang tidak jelas dapat menyebabkan
terjadinya tumpang tindih penggunaan dan sangat potensial menjadi sumber konflik. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa batas kawasan berupa pal-pal batas tidak
ditemui lagi atau telah rusak dimakan usia. Menurut informasi dari Kepala Resort KSDA
Bintuni, pada tahun 1997 telah dilakukan penataan batas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
oleh konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari pada tahun
1999.
Dalam pelaksanaan tata batas kawasan, pola pemetaan dan kegiatan partisipatif sangat
diperlukan. Ketidakjelasan batas kawasan dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait
mengakibatkan pada beberapa bagian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terjadi tumpang
tindih dengan peruntukan lain. Hal ini dapat dijumpai pada batas barat-laut kawasan dimana
dijumpai adanya tumpang tindih kawasan cagar alam dengan lahan usaha II untuk peserta
Analisis Permasalahan IV - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
transmigrasi nasional. Seharusnya dalam peta akhir tata batas, areal transmigrasi ini sudah
dikeluarkan dari areal cagar alam.
Apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap kawasan diukur dari bagaimana masyarakat
memperlakukan kawasan Cagar Alam. Baik buruknya apresiasi ini sangat ditentukan
pemahaman dan pengetahuan mereka. Di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
apresiasi ini terlihat masih kecil. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan yang berkaitan
dengan pembukaan lahan untuk pembuatan tempat penimbunan kayu, perladangan,
pemukiman, dan penebangan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Dari wawancara
diketahui bahwa ini bisa terjadi karena kurangnya penyuluhan, penyebaran informasi dan
sosialisasi kawasan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat adanya keterbatasan dari pengelola
teknis kawasan untuk bisa berkunjung ke desa-desa yang menggunakan transportasi melalui
air/sungai.
Berdasarkan penjelasan dari institusi pengelola kawasan, sampai pada saat disusunnya
rencana pengelolaan kawasan ini relatif hampir tidak pernah ada kebijakan yang diambil oleh
pengelola teknis (resort) untuk memenuhi fungsi kawasan. Kegiatan yang pernah ada
hanyalah penataan kawasan berupa keterlibatan pengelola dalam kegiatan penataan batas
definitif bersama konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari
pada tahun 1999. Sejak itu tidak pernah ada kebijakan penataan sampai rencana ini disusun.
Selain itu, kegiatan pengawasan kawasan pernah dilakukan beberapa kali, namun itupun
hanya bersifat insidentil yang bersamaan dengan penelitian atau survei yang dilakukan oleh
beberapa LSM konservasi. Kegiatan pengawasan secara periodik tidak pernah ada di
kawasan. Penyebab utama adalah tidak tersedianya sarana untuk melakukan pengawasan
dari sungai dimana lebih dari 90% kawasan merupakan hutan mangrove sementara sarana
transportasi pengelola adalah motor.
Analisis Permasalahan IV - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Tabel IV-3. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders
Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
Status Kawasan secara x Peningkatan status kawasan Ditjen PHKA dan BKSDA Papua II dan
yuridis formal masih lemah secara yuridis formal dan BAPLAN Biphut
(Kawasan CATB berstatus ditetapkan sebagai Kawasan
penunjukan) Cagar Alam
Analisis Permasalahan IV - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders
Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
Minimnya perangkat lunak x Pembuatan pedoman BKSDA Papua II BP Tangguh Project,
pengelolaan kawasan dan jenis. Unipa Manokwari ,
LSM, dan Lembaga
Penelitian (koordinasi)
Pemekaran Kawasan Teluk Bintuni menjadi Kabupaten Teluk Bintuni membawa beberapa
konsekuensi logis seperti pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan bertambahnya
kebutuhan lahan baru untuk berbagai keperluan seperti perumahan, jalan, jembatan,
dermaga, dan infrastruktur lainnya. Hal ini dapat memicu semakin meningkatnya tekanan
terhadap sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada di daerah ini, termasuk ekosistem
penyusun kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Meningkatnya tekanan ini dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdayanya, baik secara langsung seperti
konversi lahan maupun tidak langsung, misalnya pencemaran oleh limbah kegiatan
pembangunan.
B.1 Permasalahan
B.1.1 Ekosistem
Kawasan CagarAlam Teluk Bintuni tersusun oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan
mangrove sebagai penyusun utama kawasan dan hutan hujan dataran rendah. Kedua
ekosistem penyusun kawasan ini adalah ekosistem alami dan sebagian besar masih
Analisis Permasalahan IV - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
terpelihara dengan baik, kecuali beberapa bagian ekosistem hutan hujan dataran rendah dan
sebagian kecil hutan mangrove telah mengalami gangguan/tekanan akibat faktor manusia
seperti pembukaan lahan untuk pemukiman, tempat penimbunan kayu (logyard), penebangan
liar, perladangan, serta lahan usaha untuk peserta transmigrasi nasional, dan sebagai akibat
gejala alam seperti erosi tepi dan angin.
Tabel IV-4. Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005
Degradasi Pembukaan lahan untuk tempat Ada yang dilakukan sebelum tata batas
ekosistem penimbunan kayu (logyard) oleh definitif kawasan
HPH dan Kopermas.
Tabel IV-4 mengindikasikan bahwa ekosistem hutan dataran rendah sedang menghadapi dua
permasalahan utama, yaitu degradasi ekosistem dan tumpah tindih kawasan. Hasil
pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa bagian ekosistem ini, baik yang
berada di pulau mangrove maupun di batas Timur, Utara, dan Barat Laut kawasan CATB
sebagian telah mengalami kemunduran. Kemunduran yang terjadi pada ekosistem ini
sebagian besar disebabkan oleh adanya intervensi manusia seperti pembukaan lahan untuk
tempat penimbunan kayu (logyard) oleh beberapa HPH dan KOPERMAS yang beroperasi di
sekitar kawasan, pembuatan kebun masyarakat, serta untuk keperluan pemukiman penduduk
lokal. Selain itu, pada beberapa bagian ekosistem ini telah terjadi penebangan, terutama
pohon-pohon jenis komersil seperti merbau dan matoa. Temuan di lapangan menunjukan
Analisis Permasalahan IV - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
terdapat beberapa tempat penimbunan kayu (logyard) yang terdapat dalam pada ekosistem
hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam (Tabel IV-5).
Tabel IV-5. Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan
dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Tahun
2005.
Letak
Logyard Dibuka oleh Keterangan
Lokasi GPS
0
Logyard II PT.Henrison S.Tirasai S 2 03’ 13.9’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
Iriana 0
E 133 51’ kawasan dan Masih digunakan
38.2” oleh Kopermas dan HPH PT
Manokwari Lestari.
Logyard PT Yotefa S. Ausoi S 20 06’ 04.4’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
III Sarana Timber 0
E 133 40’ kawasan dan masih digunakan
13.4” oleh Kopermas.
Logyard PT Yotefa S. Muturi S 20 06’ 25.5’’ Dibuat sebelum adanya tata batas
IV Sarana Timber 0
E 133 43’ kawasan dan masih digunakan
49.6” oleh PT Yotefa Sarana Timber
dan Kopermas.
Logyard Kopermas S. Tikamari/ S 20 03’ 04.1’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
Anak Anak Kasih 0
E 133 56’ kawasan dan digunakan sebagai
kasih 05.5’’ areal pemukiman K. Anak Kasih.
Logyard Kopermas S. Sumberi S 20 02’ 39.4’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
Sumberi E133 55.02.3” kawasan dan masih digunakan
oleh Kopermas.
Logyard Kopermas S. Sigirau S 20 07’.18.3” Dibuat sesudah adanya tata batas
Sp V E1330 37’.86.5” kawasan sementara non aktif.
Logyard V Kopermas S. Awarepi S 20 09’ 30.56’’ Dibuat sesudah adanya tata batas
E1330 34’ 47.2” kawasan dan sudah tidak
digunakan tapi sekarang
diupayakan untuk dijadikan
Dermaga Fery (ASDP).
Logyard Kopermas S. Ausoi S 20 06’.36.9” Dibuat sesudah adanya tata batas
SP IV E1330 40’.57.8” kawasan dan sudah tidak
digunakan
Sumber: Survei Tim TNC, 2005.
Tabel IV-5 menunjukan bahwa di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang secara
hukum merupakan daerah konservasi terdapat aktivitas pembukaan lahan untuk keperluan
pembuatan logyard yang jumlahnya dapat mengancam keberadaan eksositem yang ada,
khususnya ekosistem hutan dataran rendah. Tempat-tempat tersebut setelah digunakan oleh
pemegang HPH dan Kopermas belum dilakukan rehabilitasi. Bahkan terdapat beberapa
logyard yang sudah tidak digunakan oleh pemegang HPH masih digunakan oleh KOPERMAS
untuk tempat penimbunan kayu sebelum dilakukan pemuatan ke tongkang.
Analisis Permasalahan IV - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
tersebut terjadi sebelum dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka
sebelum adanya tata batas kawasan sebagian besar dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan CATB. Namun setelah adanya tata batas kawasan,
areal tersebut tidak direhabilitasi bahkan digunakan kembali oleh sebagian Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang dibangun
setelah adanya tata batas kawasan semuanya dibuka oleh Kopermas. Pembukaan lahan ini
dimungkinkan karena letak areal penebangan HPH/Kopermas yang langsung berbatasan
dengan ekosistem hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni. Selain itu, untuk keperluan
pengangkutan kayu bulat/gergajian para pemegang HPH dan Kopermas “tidak memiliki”
alternatif lain dan lebih banyak memilih alternatif melalui sungai-sungai yang ada dalam Cagar
Alam Teluk Bintuni, sehingga pembuatan tempat penimbunan kayu (logyard) di tepi-tepi
sungai yang ada dalam kawasan CATB tidak bisa terhindarkan.
Gambar IV-3. Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai
logyard di S. Sumberi di kawasan CATB
Analisis Permasalahan IV - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
berkebun yang digunakan adalah sistem tebas bakar (slashed and burned system) dan telah
berlangsung lama dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Pola pembukaan lahan atau
kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat
pancang dan tiang;
b. Menebang pohon-pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian dibiarkan beberapa
waktu tertentu agar bekas tebangan mengering;
c. Setelah kering, bekas tebangan berupa ranting dan semak belukar dikumpulkan pada
suatu tempat dalam kebun dan atau di pinggiran kebun, kemudian dibakar;
Pada beberapa bagian kawasan CATB, terutama pada bagian sebelah utara yang langsung
berbatasan dengan beberapa areal konsesi HPH dan Kopermas, kawasan CATB telah
mengalami sedikit tekanan/gangguan oleh adanya penebangan. Informasi yang diperoleh dari
pengelola kawasan CATB, kegiatan ini dilakukan sebelum adanya tata batas kawasan atau
karena “ketidakjelasan” batas kawasan di lapangan.
Analisis Permasalahan IV - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Kemunduran ekosistem hutan dataran rendah yang disebabkan oleh beberpa hal tersebut di
atas akan membawa beberapa konsekuensi terganggunya fungsi ekosistem tersebut sebagai
salah satu penyusun kawasan CATB. Beberapa hal yang lebih jauh dapat ditimbulkan
sebagai akibat kemunduran eksositem ini antara lain:
1. Perubahan iklim mikro (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dapat mempengaruhi
pertumbuhan permudaan alam pada ekosistem ini.
4. Masuknya jenis-jenis luar (introduksi) yang bisa menjadi sumber pembawa hama dan
penyakit.
Dengan melihat kondisi permasalahan dan lebih jauh yang dapat terjadi di ekosistem ini, maka
perlindungan, pelestarian, dan rehabilitasi menjadi suatu hal yang mendesak di lakukan
dalam rencana pengelolaan kawasan ke depan.
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas alami dan
pertumbuhannya masih terlihat cukup baik. Ekosistem mangrove ini terlihat cukup dinamik
yang diindikasikan oleh pertambahan luasan di beberapa bagian dan pengurangan luasan di
bagian lain yang terjadi secara alami. Ekosistem mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni
paling luas dan paling sedikit mendapat gangguan di kawasan Asia Pasifik dan perlu
mendapat perhatian (Ruitenbeek, 1992). Hasil pengamatan lapangan mengidentifikasi bahwa
permasalahan utama yang dihadapi ekosistem ini adalah degradasi lahan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia (Tabel IV-6).
Penyebab utama kemunduran ekosistem ini secara langsung adalah akibat pembukaan lahan
untuk pembuatan logyard dan pemukiman penduduk, aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH
dan Kopermas yang memanfaatkan sungai, pemanfaatan oleh penduduk setempat, serta
akibat faktor alam seperti erosi tepi sungai dan angin. Secara tidak langsung, ekosistem ini
juga terancam degradasi sebagai akibat dari dari pengusahaan hutan yang dilakukan di
bagian atas (upland) kawasan yang tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan.
Analisis Permasalahan IV - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Degradasi x Pembukaan lahan (land clearing) Ada yang dilakukan sebelum tata
ekosistem untuk tempat penimbunan kayu batas definitif kawasan
(logyard) HPH dan Kopermas.
x Erosi tepi sungai, abrasi pantai, Karena gejala alam dan aktivitas
dan angin. manusia
Seperti yang terjadi pada ekosistem hutan dataran rendah, kasus yang yang sama juga
terjadi pada ekosistem ini namun pada skala luasan yang lebih kecil. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa sebagian kecil luasan hutan mangrove ikut dibuka dalam
pembukaan lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu (logyard), terutama pada bagian
pinggiran sungai. Pembukaan lahan untuk keperluan logyard tersebut terjadi sebelum
kegiatan dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka sebelum adanya
tata batas kawasan sebagian besar
dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan
CATB. Namun setelah adanya tata batas
kawasan, areal tersebut tidak direhabilitasi
bahkan sebagian besar masih digunakan
oleh HPH maupun Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam
Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang
dibangun setelah adanya tata batas
Gambar IV-6. Bentuk gangguan ekosistem
mangrove yang diakibatkan oleh tongkang
kawasan semuanya dibuka oleh
pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Kopermas.
Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Pada beberapa bagian ekosistem ini juga dijumpai kerusakan/gangguan dalam skala kecil
sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan kayu oleh oleh HPH dan Kopermas yang
memanfaatkan beberapa sungai di kawasan Cagar Alam. Kegiatan ini biasanya
menggunakan sarana Tug Boat dan Tongkang. Hasil pengamatan di lapangan dan
wawancara dengan penduduk lokal bahwa beberapa bagian hutan mangrove yang tumbuh di
tepi-tepi sungai di kawasan ada yang tumbang atau patah yang disebabkan oleh lalu lintas
Tongkang dalam mengangkut kayu dari logyard menuju ke perairan Teluk.
Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove juga datang dari pemanfaatan vegetasi
mangrove oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Hasil pengamatan
di lapangan menunjukan bahwa pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala tradisional/subsistem
(traditional uses) untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, perkakas, bahan
bangunan rumah, serta untuk keperluan tiang-tiang pagar dalam kegiatan mencari ikan
(fishing) yang dalam istilah lokal disebut “tiang belo”. Namun menurut informasi dari pengelola
kawasan bahwa pada beberapa bagian kawasan, terutama pada batas sebelah barat laut di
pinggiran Sungai Wasian, pemanfaatan vegetasi mangrove sudah berkembang untuk
keperluan kayu bakar dan bahan bangunan,
sehingga masyarakat sudah mulai
melakukan penebangan pohon mangrove
dari jenis Bruguiera sp. Hal ini
dimungkinkan karena hutan mangrove pada
batas Barat Laut kawasan posisinya sangat
dekat dengan pemukiman sehingga
aksesibilitas sangat mudah. Seiring dengan
berkembangnya Kabupaten Teluk Bintuni
dimana salah satu konsekuensi laju
pertambahan penduduk yang semakin Gambar IV-7. Kerusakan hutan mangrove akibat
cepat, aktivitas ini dapat mengancam erosi tepi dekat muara sungai Wasian di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. .
keberadaan ekosistem pada beberapa
waktu ke depan.
Degradasi ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, selain diakibatkan oleh
faktor manusia, juga tidak jarang diakibatkan oleh faktor alam seperti erosi tepi sungai dan
angin. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian ini paling banyak terjadi
pada ekosistem mangrove yang tumbuh di pinggiran pada daerah dekat muara sungai-sungai
besar seperti Sungai Wasian, S. Muturi, S. Bokor, S. Tatawori, dan S. Naramasa. Dari data
iklim yang diperoleh, terutama kecepatan angin, pada bulan-bulan tertentu, yaitu periode Juni
– Agustus yang merupakan musim monson tenggara biasanya bertiup angin tenggara yang
cukup kencang dengan kecepatan lebih dari 90 km/jam. Sedangkan pada periode Desember
Analisis Permasalahan IV - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
- Pebruari yang merupakan musim monson barat-laut, kecepatan angin kadang mencapai
lebih dari 30 km/jam. Kondisi ini menyebabkan perairan di sungai-sungai besar tersebut
bergelombang yang sering menghantam pinggiran sungai yang ditumbuhi vegetasi mangrove
sehingga terjadi “abrasi”. Tiupan angin kencang tersebut juga menyebabkan robohnya
pohon-pohon mangrove di beberapa bagian kawasan. Dari studi yang dilakukan oleh Tim
TNC (2003) diketahui bahwa luasan mangrove Pulau Karaka yang menurut peta Citra Satelit
Lansat tahun 1989 adalah 15,19 hektar telah berkurang luasnya menjadi 6,81 hektar
berdasarkan peta Citra Satelit Lansat tahun 2002. Hilangnya sebagian luasan hutan
mangrove di daerah ini diduga lebih banyak disebabkan oleh “abrasi” pantai.
Hal lain yang yang menjadi ancaman terhadap degradasi yang dihadapi ekosistem ini adalah
dampak yang akan ditimbulkan oleh perubahan masukan (input) dari ekosistem air tawar.
Perubahan masukan ini dapat berupa meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan
berkurangnya masukan unsur hara (nutrient) yang terjadi secara simultan. Secara alami
masukan air tawar dari atas ekosistem mangrove sangat diperlukan sebagai salah satu
sumber unsur hara (nutrient) selain air hujan untuk pertumbuhan. Pada saat masukan yang
diterima lebih banyak berasal dari aliran permukaan (runoff), secara kuantitatif jumlah input air
tawar meningkat namun secara kualitatif berupa kandungan bahan organik menurun. Hal ini
karena yang terangkut oleh runoff adalah berupa material kasar yang berasal dari lapisan
tanah yang lebih dalam dan bukan merupakan bahan halus berupa humus sebagai hasil
dekomposisi yang terjadi di lantai hutan di atasnya. Material ini hanya akan tertumpuk di
ekosistem ini dalam bentuk delta-delta di kelokan sungai maupun di daerah muara. Apabila
hal ini berlangsung dalam waktu lama, akan berakibat pada pertumbuhan vegetasi mangrove
menjadi terhambat (Lugo and Snedaker, 1974). Hasil penelitian Lugo dan Clintron (1975)
mengatakan bahwa hutan mangrove dengan komposisi pohon-pohon yang tinggi sangat
rentan terhadap kerusakan bila berkembang pada kondisi aliran permukaan yang tinggi.
Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa masukan air tawar yang masuk ke
dalam eksosistem mangrove lebih banyak merupakan aliran permukaan. Menurut informasi
penduduk setempat, pada saat musim hujan, sungai-sungai yang bermuara di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni sering meluap (banjir) dengan warna air berubah menjadi coklat-
keruh. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem daerah atas (upland) telah
mengalami gangguan. Adanya beberapa HPH, Kopermas, dan pemukiman di daerah atas
diduga sebagai penyebab meningkatnya aliran permukaan yang masuk ke kawasan.
Berdasarkan data iklim yang ada, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitar setiap tahun
mendapat rata-rata curah hujan yang tinggi, yaitu lebih dari 3000 mm, dimana pada bulan-
bulan tertentu seperti bulan Pebruari, Nopember, dan Desember curah hujan bulanannya
cukup tinggi. Kondisi ini membuat daerah kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya
sangat rentan terhadap erosi/aliran permukaan bila tidak dikelola berdasarkan asas
kelestarian.
Analisis Permasalahan IV - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Implikasi negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove sebagai dampak dari beberapa
permasalahan tersebut di atas adalah terganggunya fungsi ekologis penting dari ekosistem ini
seperti peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur
dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, penghasil sejumlah besar
detritus (daun dan dahan pohon mangrove yang rontok), daerah asuhan (nursery ground),
daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)
bermacam biota perairan,
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup
tinggi. Flora di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu mosaik yang terdiri dari
dua tipe vegetasi utama, yaitu hutan mangrove dan hutan hujan dataran rendah. Pada habitat
tersebut tumbuh berbagai spesies tumbuhan, baik spesies tumbuhan yang memiliki nilai
ekonomis maupun spesies kunci (key species). Kondisi fisiografi kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dan ketersediaan sumber daya seperti pakan, air, tempat berlindung, serta tempat
berkembang biak yang sesuai dengan
kehidupan fauna juga sangat mendukung
kehadiran satwa liar baik dari jenis avifauna,
mamalia, reptil dan amfibi serta jenis
avertebrata.
Hal ini merupakan dampak dari degradasi ekosistem sebagai akibat kegiatan manusia seperti
pembukaan lahan untuk pembuatan logyard dan kebun masyarakat. Ini sangat terlihat nyata
pada ekosistem hutan dataran rendah yang letaknya berbatasan langsung dengan areal hutan
produksi, pemukiman dan kebun penduduk. Dari segi ekologi, kegiatan ini sangat
berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi permudaan dari jenis-jenis asli yang pada
Analisis Permasalahan IV - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
umumnya merupakan jenis-jenis yang tahan naungan (toleran). Regenerasi jenis-jenis ini,
terutama pada fase kecambah, semai, dan pancang sangat peka terhadap perubahan iklim
mikro dan naungan. Perubahan iklim mikro dan naungan dapat menekan pertumbuhan jenis-
jenis ini. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada beberapa bekas lahan yang
dibuka untuk tujuan tersebut di atas, hutan sekunder yang terbentuk didominasi jenis-jenis
pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius ) dan sirih hutan (Piper
sp.).
Penurunan populasi satwa, khususnya biota perairan diduga juga disebabkan adanya isu
penggunaan racun serangga (agriculture pesticide) dalam penangkapan hasil laut.
Berkurangnya keanekaragaman jenis satwa
di kawasan juga diduga disebabkan oleh
aktivitas beberapa industri kehutanan yang
memanfaatkan sungai-sungai di dalam
kawasan Cagar Alam sebagai sarana
transportasi seperti kapal penarik (tug boat).
Akan tetapi saat ini, keberadaannya jenis-jenis satwa tersebut sangat jarang dijumpai sekitar
kampung. Hal ini diduga karena jenis satwa ini sangat rentan terhadap gangguan habitat yang
sekaligus tempat berkembang biak jenis-jenis satwa ini. Untuk berkembang, jenis-jenis
cenderawasih seperti cenderawasih minor (Paradisea minor) dan cenderawasih indah (Ptiloris
magnificus), secara khusus, membutuhkan habitat berupa hutan dengan karakter tajuk yang
Analisis Permasalahan IV - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Analisis Permasalahan IV - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
diburu semakin meningkat pula. Metode perburuan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan lampu senter dan tombak, pemasangan jerat (perangkap), dan kadang-kadang
menggunakan senjata (melibatkan oknum petugas keamanan).
Menurunnya populasi satwa yang sering diburu oleh pihak tersebut dapat dilihat dari trend
hasil buruan yang diperoleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang semakin turun.
Hasil dari pertemuan kampung (village meeting) yang dilakukan di beberapa kampung seperti
K. Tirasai, Anak Kasih, Mamuranu, Yensei, Yakati dan Kampung Naramasa tergambar bahwa
kecenderungan (trend) hasil buruan dan tangkapan masyarakat menurun tajam dalam
sepuluh tahun terakhir. Hasil buruan rusa dan babi misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu
masyarakat yang berburu hanya dengan menggunakan peralatan tradisional seperti lampu
senter dan tombak dengan lokasi tempat berburu yang tidak terlalu jauh dari kampung
mereka, dapat menghasilkan sampai 10 ekor rusa atau babi hutan. Namun saat ini hanya
bisa membawa pulang satu atau dua ekor dan tidak jarang pulang tanpa hasil buruan. Lokasi
buruan pun semakin jauh dari kampung mereka. Kecenderungan yang sama juga terjadi
pada hasil tangkapan satwa perairan seperti ikan, udang, dan siput.
Kondisi fisiografis serta ketersediaan pakan yang cukup membuat kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni merupakan habitat yang cocok bagi tempat berkembang biaknya buaya muara
Crocodylus porosus. Hasil survei yang dilakukan oleh WWF-IUCN-PHPA pada tahun 1985
dan FAO-PHPA pada tahun 1988 ternyata populasi buaya di kawasan Teluk Bintuni menurun
tajam. Penyebab utama menurunnya populasi buaya ini adalah karena perburuan terhadap
buaya besar dan buaya kecil serta pengambilan telur yang kurang terkendali, yang merupakan
salah satu mata pencaharian pokok penduduk setempat.
Selain menurunnya kualitas habitat akibat degradasi ekosistem, hal lain yang memberi andil
menurunnya keanekaragaman jenis satwa di kawasan adalah aktivitas pengusahaan hutan
yang menggunakan alat-alat mekanik yang menimbulkan kebisingan, khususnya penggunaan
kapal penarik (tug boat) yang memanfaatkan beberapa sungai-sungai dalam kawasan.
Kebisingan ini diduga mengakibatkan jenis-jenis satwa tertentu, terutama burung, bermigrasi
ke tempat yang lebih “aman”.
Analisis Permasalahan IV - 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Permasalahan lain yang dihadapi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, khususnya aspek flora
dan fauna yang menempati ekosistem kawasan, adalah minimnya data flora dan fauna yang
tersedia. Pengelola hampir tidak memiliki data dasar tentang flora dan fauna sehingga
pengelolaan tidak pernah didasarkan kepada informasi data. Kurangnya data dasar flora dan
fauna kawasan Cagar Alam terutama disebabkan karena studi atau kegiatan penelitian
tentang keberadaan fauna di kawasan masih sangat jarang. Padahal ketersediaan data dasar
yang memadai, terutama data kuantitatif suatu kawasan konservasi merupakan salah satu
faktor penting dalam proses pengelolaan kawasan. Beberapa aspek flora kawasan yang
dirasa belum memadai adalah daftar (check list) jenis-jenis, potensi, serta penyebaran flora di
kawasan. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat diketahui jenis-jenis flora yang
merupakan spesies kunci dan spesies yang dilindungi yang sangat menunjang dalam kegiatan
pengelolaan kawasan.
Kondisi minimnya data dasar selain terjadi pada komponen flora kawasan juga terjadi pada
komponen fauna. Penelusuran data sekunder yang dilakukan menunjukan bahwa informasi
tentang keanekaragaman, dinamika populasi, dan penyebaran fauna di kawasan masih
kurang memadai dalam mendukung kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Ketersedian informasi tersebut sangat penting guna menjawab dua pertanyaan umum yang
sering muncul dan di hadapi para pengelola kawasan konservasi seperti juga kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu:
1. Komunitas spesies apa yang terdapat dalam kawasan konservasi, dimana dan berapa
jumlahnya?
Permasalahan biologi kawasan yang lebih banyak di pengaruhi oleh faktor eksternal apabila
dibiarkan akan menjadi faktor pemnghambat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Oleh karena itu sesegera mungkin dicarikan alternatif
pemecahan masalahnya (Tabel IV-7, Tabel IV-8, Tabel IV-9).
Analisis Permasalahan IV - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Tabel IV-7. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung
Analisis Permasalahan IV - 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung
Tabel IV-8. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan
dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung
Analisis Permasalahan IV - 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan Penyebab
masalah
Penanggungjawab Pendukung
Tabel IV-9. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.
Analisis Permasalahan IV - 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Analisis Permasalahan IV - 25
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif apabila dalam proses perencanaannya memperhatikan semua aspek termasuk
aspek sosial ekonomi dan budaya.
C.1 Permasalahan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan permasalahan dari aspek sosial
ekonomi dan budaya dalam rangka rencana pengelolaan kawasan CATB, yaitu
pengembangan partisipasi masyarakat, Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan
Pengembangan Pendidikan dan Penelitian.
Partisipasi merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai upaya untuk menunjukan
keikutsertaan individu/kelompok dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan
pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan.
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, terutama masyarakat
pedesaan dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu : (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas
bersama dalam proyek pembangunan khusus; dan (2) Partisipasi sebagai individu di luar
aktivitas bersama.
Analisis Permasalahan IV - 26
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Hasil pengamatan di lapangan serta infromasi dari pengelola kawasan bahwa partisipasi
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang sangat diperlukan dalam rangka rencana
pengelolaan kawasan CATB masih rendah. Hal ini diduga karena tingkat pengetahuan serta
pemahaman tentang fungsi kawasan cagar alam sebagai penyanggah sistem kehidupan
masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya tumpang tindih kawasan dengan lahan usaha II
transmigrasi (Waraitama dan Banjar Ausoy) dengan luas total 360 hektar serta adanya
pembangunan 54 rumah di Kampung Anak Kasih, serta beberapa kegiatan ilegal seperti
perburuan dan pembukaan lahan untuk perladangan dan logyard di dalam kawasan.
Penyebabnya diduga karena kurangnya kegiatan sosialisasi tentang fungsi kawasan CATB.
Kemungkinan besar terjadi karena minimnya media dan sarana informasi mengenai
keberadaan Cagar Alam dan pelestarian alam.
Secara turun temurun, masyarakat lokal yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni telah berinteraksi dengan kawasan dalam bentuk memanfaatkan
sumberdaya alam baik flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Sumberdaya alam
yang banyak dimanfaatkan antara lain, yaitu untuk fauna adalah berbagai jenis ikan, udang,
kepiting (karaka), buaya, rusa,babi serta berbagai jenis burung. Sedangkan flora, yaitu nipah
dan tanaman mangrove serta sagu (di sekitar Yensei dan Yakati). Kegiatan pemanfaatan
tersebut telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.
Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan perburuan satwa liar seperti rusa, babi hutan, dan
satwa burung. Informasi dari masyarakat menunjukan bahwa berburu satwa liar seperti
disebutkan di atas sudah semakin sulit. Sepuluh tahun lalu satwa rusa banyak terlihat di
Analisis Permasalahan IV - 27
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
sekitar perkampungan, seperti Kampung Mamuranu dan Tirasai. Kondisi saat ini sudah sangat
jauh berbeda, dimana kegiatan perburuan tidak lagi di sekitar kampung atau hutan mangrove,
akan tetapi kearah pegunungan di luar kawasan CATB.
Sedangkan untuk masyarakat yang memanfaatkan batang mangrove, daun nipah serta sagu,
pada umumnya hanya untuk dikonsumsi/penggunaan sendiri dengan jumlah yang cukup
sedikit. Batang mangrove yang kecil biasanya diambil untuk kayu bakar, sedangkan yang
besar untuk tiang rumah. Daun nipah diambil untuk membuat atap rumah, sedangkan sagu
untuk konsumsi sehari-hari (di Yensei dan Yakati) .
Berdasarkan kondisi diatas, dapat dilihat bahwa ketergantungan masyarakat terutama yang
bermatapencaharian sebagai nelayan, berburu dan menokok sagu terhadap sumberdaya alam
baik fauna maupun flora di dalam kawasan CATB cukup tinggi. Dengan melihat trend hasil
tangkapan yang semakin menurun maka dapat diprediksikan jumlah populasi fauna yang ada
di dalam kawasan CATB semakin menurun. Salah satu faktor penyebab kecenderungan
(trend) produksi ini adalah pola pemanfaatan yang tidak begitu memperhatikan aspek
kelestarian hasil. Hasil pengamatan di lapangan, berhasil diidentifikasi beberapa pola
pemanfaatan sumber daya alam, khususnya fauna yang diduga menjadi faktor penyebab
produksi tangkapan dan buruan sebagai berikut:
Penggunaan akar bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut
mabuk sehingga mudah diambil. Menurut informasi beberapa nelayan dari beberapa
kampung (desa) di sekitar CATB, pengaruh dari akar bore tersebut cepat hilang (2-3 hari) di
lokasi tersebut, serta yang terpengaruh hanya ikan. Dampak dari penggunaan jenis racun ini
terhadap populasi biota laut seperti ikan memang tidak langsung terlihat seketika, apalagi bila
penggunaannya hanya dalam jumlah yang sedikit. Tetapi bila digunakan terus menerus, akan
terjadi akumulasi dan dapat mengancam perkembangbiakan biota perairan, namun hal ini
perlu pengkajian yang lebih dalam.
Berdasarkan informasi dari pengelola kawasan dan beberapa nelayan lokal, terdapat indikasi
penggunaan bahan kimia pembasmi hama (insektisida) jenis Dhesis 2,5 dan Apoda dalam
kegiatan penangkapan hasil laut, terutama ikan. Padahal jenis bahan kimia tersebut dapat
mengakibatkan ikan-ikan mati serta fauna atau flora lain pun ikut mati. Hal tersebut yang saat
ini menjadi permasalahan, dimana kualitas air semakin menurun (tercemar) karena
penggunaan obat kimia tersebut yang dapat berakibat buruk terhadap kesinambungan hasil.
Kondisi lain yang menyebabkan semakin menurunnya jenis dan jumlah perikanan di dalam
CATB yaitu mulai tahun 1988 sampai dengan Februari 2005, terdapat beberapa perusahaan
Analisis Permasalahan IV - 28
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
penangkapan udang salah satunya, yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro.
Saat ini perusahaan tersebut menghentikan operasi penangkapan untuk sementara waktu,
dengan alasan perubahan manajemen. Seharusnya daerah penangkapan perusahaan
tersebut berada di perairan Teluk Bintuni, akan tetapi kenyataannya perusahaan tersebut
menangkap udang masuk sampai ke sungai-sungai di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu
Sungai Muturi, Bokor dan Naramasa. Dengan menggunakan jaring pukat harimau (trawler)
dan kapal cukup besar, perusahaan tersebut menangkap semua hasil perikanan yang ada,
akan tetapi karena perusahaan tersebut hanya mengambil udang saja, maka ikan (terutama
yang kecil) yang tertangkap di buang begitu saja.
Berdasarkan kondisi diatas, maka penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan
merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera dicarikan penyelesaiannya agar
kelestarian CATB dapat dijaga, sehingga fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding
ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)
bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya dapat lestari.
Analisis Permasalahan IV - 29
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Masyarakat sekitar kawasan CATB, terkelompokan dalam beberapa kampung. Hal ini dapat
dijadikan dasar sebagai awal partisipasi mereka berdasarkan kampung (desa). Setiap
kampung memiliki aparat serta pada umumnya berkelompok menurut asal/sukunya masing-
masing. Pada setiap kampung dibangun pengetahuan dan pemahaman tentang cagar alam
dan pelestarian alam lalu dibentuk semacam kelompok kerja (Pokja) yang anggotanya dipilih
oleh mereka sendiri. Setelah masing-masing kampung (desa) memiliki Pokja, maka
selanjutnya dilakukan adanya pertemuan antar Pokja dari masing-masing kampung untuk
dibangun pemahaman bersama tentang pelestarian alam serta merumuskan rencana kerja
yang akan dilakukan. Setelah itu dilakukan pertemuan dengan aparat pemerintah untuk
mensinkronkan dengan rencana pembangunan pemerintah.
Gambar IV-14. Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan
2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan.
Sebagai contoh nyata partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan CATB, yaitu dalam
hal tata batas (ulang) dan pengamanan kawasan. Pada kegiatan tata batas, pelaksana
melakukan penatabatasan melibatkan masyarakat sekitar kawasan (mengetahui, ikut dalam
proses tata batas dan menyetujui batas). Proses tata batas yang dilakukan disekitar suatu
kampung, maka Pokja disekitar kampung tersebut yang akan ikut aktif terlibat. Demikian juga
dalam pengamanan kawasan, akan lebih efisien dan efektif apabila pengamanan dilakukan
Analisis Permasalahan IV - 30
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
oleh seluruh masyarakat (Pokja) yang ada di sekitar kawasan CATB, dimana sebelumnya
telah terbentuk kesepakatan mengenai keharusan menjaga wilayah kampung (desa) masing-
masing terutama yang masuk kedalam kawasan CATB dari usaha-usaha yang dapat merusak
kelestariannya.
Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam Kawasan CATB, siapapun boleh mencari
makan didalam kawasan tanpa memandang suku/marga/batas-batas wilayah adat asalkan
mematuhi aturan kesepakatan yang sudah dibuat. Kegiatan yang ”Boleh” dilakukan antara
lain adalah:
2. Kami dapat berkebun dan mendapat bantuan bimbingan teknis dari dinas terkait
(Untuk Masyarakat di dalam kawasan)
3. Kami dapat melakukan pemanfaatan kayu mangi-mangi untuk kayu bakar sendiri
(bukan untuk dijual) dan kegiatan menangkap ikan ”pele kali”
4. Kami dapat berburu hewan atau satwa liar seperti buaya, rusa, babi hutan dan burung
5. Kami boleh menangkap ikan dengan dengan menggunakan ”akar bore” dan jaring
Kegiatan yang ”Tidak Boleh” dilakukan didalam kawasan CATB antara lain:
1. Tidak boleh menggunakan obat (bahan kimia) dalam menangkap ikan, udang dll
2. Tidak boleh menebang mangi-mangi atau bakar dari cagar alam dalam skala besar
untuk keperluan usaha kayu atau tambak atau lainnya
3. Tidak boleh menebang kayu di hutan tanah kering atau gunung didalam cagar alam
5. Tidak boleh kapal besar atau kapal udang atau kapal pukat harimau untuk beroperasi
di dalam kawasan cagar alam
Analisis Permasalahan IV - 31
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
6. Tidak boleh ada eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan cagar alam Teluk
Bintuni
Untuk mendukung pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, masyarakat akan
mendukung berupa :
2. Kami akan menangkap langsung pelanggaran aturan yang sudah disepakati bersama
3. Pembentukan kelompok kerja disetiap kampung yang ada di dalam dan sekitar
kawasan yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan rencana kegiatan pengelolaan
Masyarakat juga berharap pemerintah daerah turut mendukung kegiatan pengelolaan cagar
alam. Untuk itu masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan hal-hal :
3. Kami meminta pemerintah daerah memberikan perhatian lebih besar pada pendidikan
masyarakat.
Masyarakat mengharapkan masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan terutama hasil perikanan, dan satwa liar serta mangrove secara terbatas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Pemanfaatan ini tetap diimbangi dengan adanya
larangan menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan, menebang mangrove untuk
industri atau tambak serta pelarangan kapal trawl/pukat harimau masuk kedalam kawasan
CATB. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat berkeinginan untuk tetap menjaga kelestaraian
kawasan CATB. Akan tetapi hal tersebut perlu didukung oleh sosialisasi dan penyuluhan yang
baik dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Karena bukan hal yang tidak
mungkin suatu saat nanti akan datang investor yang menawarkan sejumlah uang untuk
membuka usaha (tambak dll) didalam kawasan dengan memanfaatkan ”masyarakat adat”
yang mayoritas kurang mampu secara ekonomi. Apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat
Analisis Permasalahan IV - 32
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
tetap menjadi perhatian, maka masyarakat sekitar kawasan CATB diharapkan tidak akan
mudah tergoda oleh para pengusaha yang hanya melihat keuntungan ekonomi saja.
Dengan alternatif pemecahan masalah yaitu berupa peningkatan peran serta masyarakat,
sosialisasi serta adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam didalam kawasan CATB,
maka diharapkan kawasan CATB dapat dijaga kelestariannya dan masyarakat sekitar bisa
meningkatkan taraf kehidupannya secara sosial dan ekonomi.
Berikut adalah rangkuman permasalahan dan alternatif pemecahan masalah terhadap aspek
Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel
IV-10.
Tabel IV-10. Permasalahn dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders
Alternatif pemecahan
Permasalahan
masalah Penanggungjawab Pendukung
Analisis Permasalahan IV - 33
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Perencanaan Skenario adalah sebuah alat manajemen yang strategis yang dapat
merangsang berbagai pemikiran mengenai kemungkinan–kemungkinan di masa depan.
Skenario ini dapat pula menghasilkan suatu strategi yang kokoh, merangsang pemikiran dan
perdebatan mendalam atas isu pokok penting, yang mengfokuskan pemikiran ke masa depan
bukan pada masa kini atau masa lampau.
Berikut adalah beberapa skenario yang didasarkan pada kondisi kawasan yang mungkin
dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai tahun 2030.
Skenario ini merupakan kondisi ideal yang dapat diwujudkan dan merupakan skenario yang
didambaan kita semua. Skenario ini menggambarkan situasi dimana kebijakan Pemerintah
Pusat (Departemen Kehutanan) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang dapat
mengakomodir semua kepentingan stakeholder yang ada dengan tetap memperhatikan fungsi
dan peruntukan kawasan. Kebijakan yang ideal dan didukung oleh kelembagaan baik
pengelola kawasan maupun pemangku kepentingan lainnya yang bersifat demokratif akan
membuat terciptanya program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari,
berkelanjutan dan berdayaguna.
x Status kawasan yang sudah jelas sebagai kawasan Cagar Alam melalui penetapan
Menteri Kehutanan, didukung Peraturan Daerah dan keberadaan kawasan Cagar Alam
terlihat jelas dalam Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni;
x Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah
Pusat dalam hal ini BKSDA Papua II Sorong dan sudah disosialisasikan kepada semua
pemangku kepentingan. Dukungan dan partisipasi aktif dari semua pemangku
kepentingan membuat pengelolaan kawasan bersifat aspiratif;
x Tidak ada lagi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan dalam kawasan;
x Pembangunan fisik yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan kawasan tidak dijumpai;
x Tidak ada klaim hak ulayat dari masyarakat adat terhadap keberadaan kawasan;
Sasaran akhir dari skenario ini adalah penyadaran publik telah terbentuk secara mantap
bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pelestariannya menjadi tanggung jawab bersama,
Analisis Permasalahan IV - 34
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
manfaatnya dinikmati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat serta keutuhan
kawasan menjadi kebanggaan kita bersama pula.
x Kebijakan pembangunan sarana fisik dalam kawasan yang tidak berhubungan dengan
fungsi kawasan sebagai Cagar Alam masih diijinkan;
Dalam skenario ini, pemerhati lingkungan terkadang optimis, terkadang pesimis dalam
memperjuangkan keutuhan dan kelestarian kawasan. Sekalipun demikian, mereka tetap
berjuang diantara berbagai tekanan kepentingan tersebut dengan keyakinan bahwa berjuang
diatas jalur kebenaran demi kepentingan bersama, cepat atau lambat pasti akan terwujudkan
diatas panji demokratisasi.
Skenario ini adalah kebijakan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau
diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun
peraturan daerah tentang pengelolaan kawasan yang aspiratif, namun para pemangku
kepentingan dalam kawasan (stakeholders) tidak memperhatikan atau melaksanakannya.
Pemangku kepentingan (stakeholder) hanya melaksanakan kegiatan pengelolaan kawasan
berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masing-masing lembaga/institusinya saja. Pada
akhirnya, setiap instansi hanya mementingkan pencapaian tujuan masing-masing tanpa
memperdulikan tujuan bersama seperti yang tertuang dalam Rencana Pengelolaan Kawasan
(RPK).
Analisis Permasalahan IV - 35
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Kegiatan yang dilakukan dalam kawasan oleh beberapa instansi, dilaksanakan secara
sektoral, walaupun lokasi dan sasaran kegiatannya sama pada satu wilayah;
x Koordinasi instansi teknis dan instansi terkait lainnya tidak berjalan sesuai dengan yang
direncanakan dalam rencana pengelolaan kawasan.
Skenario ini adalah situasi terburuk yang dapat terjadi, kebijakan pemerintah yang tidak
aspiratif dibarengi dengan kelembagaan pemangku kepentingan yang kaku dalam
menerapkan kebijakan serta otoriter dalam menjalankan aturan tanpa mau menerima
masukan dari berbagai stakeholder. Skenario ini dicirikan oleh kebijakan yang diambil hanya
memberi peluang kepada pemodal mampu tertentu untuk mengelola kawasan sesuai
keinginan pemodal tanpa memperhatikan fungsi penetapan kawasan. Pemangku kawasan
mendukungnya dengan dalih bahwa telah sesuai aturan tanpa memperhatikan dampak teknis
yang akan terjadi yang akhirnya akan merubah fungsi kawasan.
Dalam analisis potensi dan kelemahan serta kekuatan dan peluang, issu-issu yang terjadi
dapat diidentifikasi menjadi dasar kajian antara lain :
1. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi
mengenai kawasan.
Analisis Permasalahan IV - 36
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
5. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya, rusa,
cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang mengunakan
bahan kimia dalam menangkap ikan.
6. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan batas sebelah Utara
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
7. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang memperhatikan
aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam pengangkutan kayu melalui
sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan peralatan mekanis seperti buldoser,
logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan kebisingan dan pencemaran yang
menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.
8. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.
9. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Faktor internal yaitu Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness), sedangkan faktor
eksternal yaitu Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat). Analisis kekuatan yang
dimaksud adalah potensi atau keunggulan yang dimiliki kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dalam aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi kawasan serta sosial ekonomi dan
budaya yang sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan sebagai Cagar Alam.
Kelemahan yang dimaksud, yaitu kondisi aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi
kawasan serta sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat menghambat program
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Peluang yang dimaksud adalah kondisi
eksternal yang dapat mendatangkan keuntungan apabila dapat memanfaatkannya. Berbagai
peluang yang tersedia dapat dikembangkan secara optimal berdasarkan potensi, hambatan
dan rencana program pengelolaan sebagai kawasan Cagar Alam.
Ancaman adalah keadaan eksternal yang apabila dibiarkan akan menjadi faktor penghambat
terhadap keberhasilan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Ancaman ini
perlu diwaspadai dan harus diatasi karena dapat memberikan pengaruh terhadap bisa atau
tidaknya faktor-faktor peluang untuk dimanfaatkan.
Hasil analisis SWOT Aspek Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial
Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah sebagai berikut :
Kekuatan (Strength)
S1. SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan
perairan Papua, termasuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Analisis Permasalahan IV - 37
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
S2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya.
S3. Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas
alami dan pertumbuhannya masih terlihat cukup baik, sehingga fungsi ekologinya
sebagai tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground),
dan tempat pemijahan (spawning ground) masih bekerja dengan.
S4. Keanekaragaman flora yang cukup tinggi mulai dari tumbuhan tingkat rendah seperti
fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi, baik spesies tumbuhan yang memiliki
nilai ekonomis maupun spesies kunci (key species) dengan keendemikan jenis yang
cukup tinggi.
S5 Beberapa jenis fauna yang ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan jenis
endemik dan sudah dilindungi undang-undang nasional maupun internasional, bahkan
beberapa jenis burung tertentu sudah masuk dalam kategori hampir terancam (near
threatend).
Kelemahan (Weakness)
W2. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.
W3. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi
mengenai kawasan.
W4. Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat tentang cagar alam dan
pelestarian alam
W5. Lemahnya penegakan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan pengrusakan di dalam
kawasan, terutama bagi para nelayan yang menggunakan obat kimia saat mencari ikan.
Peluang (Opportunity)
O1. Dukungan bantuan dari donor baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional dan
Internasional, yang peduli terhadap kelestarian ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni.
O3. Kawasan CATB merupakan tempat mencari kehidupan bagi sebagian masyarakat di
sekitar kawasan, sehingga apabila diberi penyuluhan tentang fungsi dan manfaat dari
kelestariannya maka partisipasi masyarakat akan besar.
O4. Belum tersusunnya Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Teluk Bintuni, sehingga
dapat mendorong dalam rencana penyusunan RUTR Kabupaten untuk menjadikan
kawasan CATB sebagai “Paru-paru” Kabupaten Teluk Bintuni.
Analisis Permasalahan IV - 38
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
O5. Adanya beberapa LSM (seperti Mitra Pesisir) yang telah melakukan kegiatan
pengelolaan lingkungan di sekitar pesisir Teluk Bintuni, untuk dijadikan sebagai mitra
dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
O6. Kawasan CATB yang berfungsi sebagai buffer bagi Teluk Bintuni, sehingga sangat
penting untuk menjaga kelestariannya
Ancaman (Threat)
T1. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
T2. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya,
rusa, cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang
mengunakan bahan kimia dalam menangkap ikan.
T3. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam
pengangkutan kayu melalui sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan
peralatan mekanis seperti buldoser, logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan
kebisingan dan pencemaran yang menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.
T4. Adanya perkampungan dan Logyard di dalam kawasan CATB sehingga pemanfaatan
flora, fauna, lahan akan semakin besar.
T5. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan Batas sebelah Utara
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Dari hasil analisis diatas, disusun rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB). Rencana pengelolaan dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan Aspek
Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan
CATB untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk
menghadapi ancaman yang datang (ST), pengurangan kelemahan dari kondisi yang ada
dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk
menghadapi ancaman yang akan datang (WT).
Analisis Permasalahan IV - 39
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Strategi Strategi
1. Sistem informasi dan Database (W3, 1. Penegakan hukum (W5, T2)
O1) 2. Patroli gabungan dan koordinasi
Kelemahan 2. Sarana prasarana pengelolaan (W2, pengamanan (W1,W5, T2, T4, T5)
(W) O1, O2)
3. Sarana prasarana pendidikan (W2,
W4, O1, O2, O5).
4. Sarana dan prasarana penelitian
(W2, W4, O1, O2, O5).
Dari analisis SWOT dari data kajian pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni maka isu
strategis yang terkait dengan pengelolaan CATB yang berhasil diidentifikasi menjadi dasar
bagi penyusunan rencana aksi. Deskripsi rencana aksi ini menjadi indikator bagi penilaian
keberhasilan dan dasar bagi monitoring dan evaluasi.
Sasaran:
Kegiatan:
x Pembuatan jalur rintisan di sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah
Analisis Permasalahan IV - 40
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Indikator:
x Tersedianya jalur rintisan sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah
x Terpasangnya plat seng sebagai tanda batas kawasan pada pohon-pohon di sepanjang
batas kawasan.
Sasaran:
Terciptanya suatu pemahaman yang menyeluruh terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan
di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kegiatan:
x Pembuatan peraturan khusus tentang larangan dan sangsi bagi perburuan dan
pemanfaatan flora dan fauna yang dilindungi
x Sosialisasi aturan tentang larangan dan sangsi terhadap kegiatan illegal di kawasan
kepada semua stakeholder
Indikator:
x Tersedianya aturan khusus tentang larangan dan sangsi terhadap pelanggaran yang
terjadi di dalam kawasan
x Terciptanya pemahaman yang utuh oleh masyarakat adat terhadap pemanfaatan terbatas
oleh masyarakat adat
Sasaran:
Kegiatan:
Analisis Permasalahan IV - 41
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Indikator:
Sasaran:
Kegiatan:
Indikator:
x Terciptanya kerjasama dan koordinasi antara pengelola dan instansi terkait dalam
pengamanan kawasan
Sasaran:
Data Dasar FLORA, FAUNA, DAN EKOSISTEM yang memadai dalam menunjang
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kegiatan:
x Identifikasi tipe ekosistem dan pemetaan penutupan lahan di Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 42
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Pengumpulan hasil-hasil penelitian tentang flora, fauna, dan ekosistem yang pernah
dilakukan di CATB
Indikator:
x Tersedianya data tipe ekosistem dan penutupan lahan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
x Tersedianya informasi perubahan ekosistem dan populasi flora dan fauna kawasan
x Terdokumentasinya hasil-hasil penelitian dan kajian tentang ekosistem dan flora fauna
kawasan secara menyeluruh.
Sasaran:
Terjaminnya keberadaan flora dan fauna dan keutuhan habitanya di kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni.
Kegiatan:
x Kerjasama dengan institusi terkait dalam upaya perlindungan jenis flora dan fauna di
kawasan.
x Pemasangan tanda larangan dan pembuatan poster, brosur, atau leaflet tentang jenis-
jenis flora/fauna langka dan dilindungi serta larangan perburuan/pemanfaatannya.
x Penelitian tentang keberadaan flora/fauna langka, dilindungi, dan atau terancam di Cagar
Alam Teluk Bintuni.
Indikator:
x Terjalinnya kerjasama yang baik dengan institusi terkait yang menunjang kegiatan
perlindungan dan pengembangan
Analisis Permasalahan IV - 43
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Sasaran:
Pulih dan terjaganya keutuhan ekosistem kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kegiatan::
x Rehabilitasi kawasan yang telah mengalami kerusakan di Cagar Alam Teluk Bintuni.
x Penelitian dan kajian yang intensif tentang tingkat kerusakan ekosistem kawasan.
Indikator:
x Tersedianya informasi yang memadai tentang laju kerusakan ekosistem kawasan dalam
menunjang kegiatan pengelolaan.
Sasaran:
Kegiatan:
Analisis Permasalahan IV - 44
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Pembuatan poster, leaflet, dan atau brosur tentang fungsi kawasan bagi kehidupan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
Indikator:
Sasaran:
Meningkatnya Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
Kawasan CATB
Kegiatan:
Indikator:
Analisis Permasalahan IV - 45
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Terjalinnya kerjasama yang baik dengan instansi terkait yang menunjang kegiatan
pengelolaan kawasan
x Berkurang bahkan tidak ada lagi aktivitas penangkapan ikan menggunakan cara-cara
yang tidak ramah lingkungan.
x Tersedianya sistem data dari hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan kegiatan
pemanfaatan terbatas oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Sasaran:
Tersedianya sistem informasi data yang memadai untuk semua aspek kegiatan pengelolaan
dalam rangka menunjang perencanaan dan pengembangan kawasan
Kegiatan:
x Pengadaan perangkat keras dan lunak untuk menunjang sistem informasi dan basis data
x Peningkatan kemampuan pengelola dalam penguasaan teknik SIG dan data base
Indikator:
x Tersedianya tenaga pengelola dengan kemampuan yang memadai di bidang SIG dan
basis data.
x Tersedianya koleksi media informasi yang memadai dalam menunjang kegiatan penelitian,
pendidikan dan pengembangan kawasan
Analisis Permasalahan IV - 46
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Sasaran:
Kegiatan:
x Pembuatan brosur/leaflet/buku/ serta media lain tentang keberadaan dan fungsi Cagar
Alam Teluk Bintuni.
x Pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana penelitian seperti pondok peneliti.
Indikator:
x Tersedia dan terpeliharanya sarana prasarana pengelolaan seperti bangunan kantor dan
pondok kerja pengelola yang memadai selain bangunan kantor yang sudah ada
x Tersedia dan terpeliharanya sarana berupa pusat komunikasi dan informasi kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.
x Tersedia dan terpeliharanya sarana penelitian di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Analisis Permasalahan IV - 47
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
V. RENCANA KEGIATAN
A. UMUM
Rencana kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni didasarkan kepada hasil analisis
dari permasalahan dan kondisi yang ada. Hasil analisis SWOT dari peluang, kekuatan,
kelemahan dan hambatan yang ada menunjukkan adanya pilihan strategi yang harus
dilakukan.
Pilihan strategi ini diterjemahkan menjadi rencana kegiatan yang difokuskan kepada
beberapa aspek yang mengacu pada Rencana Stratejik (Renstra) Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Tahun 2005 – 2009 merupakan tindak
lanjut dari Undang-undang Nomor : 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Nomor 21 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Beberapa
aspek pengelolaan yang menjadi fokus dalam rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektivitas
Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati,
Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, dan aspek
Pemanfaatan. Disamping aspek-aspek pengelolaan tersebut, di dalam Rencana kegiatan
pengelolaan kawasan ini, secara khusus juga memuat usulan kegiatan Pembangunan
Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan Pengelolaan.
Dalam implementasi kegiatan Rencana Pengelolaan Kawasan, aspek tersebut yang menjadi
fokus dalam rencana kegiatan yang diusulkan dilakukan berdasarkan skala prioritas yang
dituangkan dalam bentuk Rencana kerja tahunan, lima-tahunan, dan duapuluh lima-tahunan.
Berikut adalah skala prioritas aspek-aspek kegiatan dalam Rencana Kerja Pengelolaan
Kawasan selama duapuluh lima tahun seperti disajikan pada Tabel V-1.
Tabel V-1. Prioritas Rencana Kegiatan Pengelolaan Kawasan Selama Duapuluh Lima
Tahun (2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni.
Implementasi Kegaiatan
No Aspek Kegiatan Lima Thn Lima Thn
Lima Thn I Lima Thn II Lima Thn V
III IV
2006-2010 2011-2015 2026-2030
2016-2020 2021-2025
1. Pemantapan Kawasan +++++
2. Peningkatan efektifitas
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengelolaan Kawasan
3. Pengembangan
Konservasi jenis dan
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Keanekaragaman
Hayati
4. Perlindungan dan
+++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengamanan Kawasan
Implementasi Kegaiatan
No Aspek Kegiatan Lima Thn Lima Thn
Lima Thn I Lima Thn II Lima Thn V
III IV
2006-2010 2011-2015 2026-2030
2016-2020 2021-2025
5. Pendukung/Kelembaga
+++++ +++++ +++++
an
6. Pemanfaatan +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
7. Sarana Prasarana
Pendukung Kegiatan +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
Pengelolaan.
Dalam mengelola suatu kawasan konservasi yang lebih baik dan mantap, status hukum dari
kawasan tersebut merupakan suatu hal yang penting. Berikut adalah beberapa Rencana
kegiatan yang diusulkan dalam rangka pemantapan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
1. Kepastian Hukum Kawasan. Kepastian hukum yang dimaksud di sini adalah kegiatan
yang memberikan kepastian hukum yang jelas atas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
yang saat ini masih berstatus Penunjukan bukan Penetapan oleh Menteri Kehutanan.
Untuk itu proses kepastian hukum dengan menetapkan status hukum kawasan menjadi
prioritas utama.
2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh
Pemerintah Daerah. Proses penetapan kawasan Cagar Alam menjadi definitif juga harus
ditindak lanjuti dalam peraturan daerah yang mensahkan keberadaan kawasan di dalam
tata ruang propinsi maupun kabupaten.
3. Rekonstruksi pal batas, yaitu pemasangan kembali pal batas secara menyeluruh.
Kegiatan ini harus dilakukan secara koordinatif serta partisipatif dengan pihak-pihak lain
yang berkompeten dan terkait. Kegiatan ini akan dilaksanakan bersama Bappeda,
Pemerintah Kecamatan dengan masyarakat. Untuk memastikan posisi awal jalur batas
digunakan GPS atau mengikuti tata batas awal. Pelaksanaan pemasangan kembali pal
batas kawasan akan dilakukan secara bertahap. Rekostruksi pal batas diperlukan untuk
menetapkan kawasan dalam status hukum yang jelas. Rekonstruksi pal batas bukan
melakukan tata batas ulang tetapi berupa pemasangan kembali pal batas yang pernah
ada sesuai koordinat yang ada secara menyeluruh mulai dari titik nol. Total panjang
batas dengan daratan diperkirakan 125 km dari total batas 250 km.
Adapun rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk menunjang kegiatan pemantapan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel V-2.
Tabel V-2. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan Cagar alam Teluk
Bintuni sesuai fungsi kawasan. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam
menunjang aspek ini adalah sebagai berikut:
2. Pemasangan Papan Petunjuk Kawasan. Papan petunjuk yang dimaksud disini adalah
papan petunjuk batas kawasan, keberadaan kawasan, dan papan pengumuman yang
berisi aturan dan larangan.
3. Pemeliharaan batas Kawasan. Tapal batas di lapangan sedapat mungkin dapat terlihat
jelas dan mudah diidentifikasi misalnya batas alam dan tanda-tanda buatan manusia,
sehingga batas tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi. Jalur dan pal batas
memerlukan pemeliharaan dan pengamanan secara teratur oleh petugas. Pemeliharaan
batas ini dilakukan mulai tahun 1 sampai tahun ke 5 dan selanjutnya dilakukan
pemeliharaan rutin setiap 2 tahun.
5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok. Kegiatan ini bertujuan untuk menata kawasan
ke dalam blok-blok.
7. Penelitian. Dampak di luar kawasan dapat berupa dampak positif dalam bidang ekonomi
seperti perbaikan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, dan adanya peluang
usaha baru. Sedangkan dampak negatifnya berupa pengaruh budaya luar terhadap
pelestarian budaya kawasan, keamanan dan stabilitas wilayah, serta konsumerisme
berkembang di masyarakat setempat sehingga dapat menyebabkan eksploitasi
sumberdaya alam berlebihan.
10. Sistem Informasi Geografis dan Database. Sistern Informasi Geografis (Geographical
Information System) adalah alat analisis yang sangat ampuh untuk perencanaan
pengembangan Kawasan Konservasi. Untuk pengembangan SIG diperlukan koordinasi
dengan instansi-instansi yang lain terkait. Hasil penelitian yang diuraikan di atas
dimanfaatkan untuk pembaharuan informasi tematis kawasan. SIG juga bermanfaat untuk
produksi bahan media informasi dan komunikasi.
Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dapat melakukan atau memfasilitasi penelitian
mengenai klasifikasi ekosistem, klasifikasi habitat dan inventarisasi. Data tersebut
merupakan baseline data yang dibutuhkan untuk evaluasi pengembangan ekosistem
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Karena keterbatasan tenaga lapangan di Cagar
Alam Teluk Bintuni, sebanyak mungkin penelitian akan dilakukan oleh pihak lain,
terutama peneliti dari perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni dapat membantu dan memfasilitasi penelitian tersebut dengan
bantuan sarana dan pemberian izin untuk menciptakan kondisi yang produktif untuk para
peneliti. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk melengkapi database dan SIG yang
dikembangkan untuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Tabel V-3. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.
3. Pembinaan Habitat. Kegiatan ini lebih difokuskan pada penilaian kondisi ekosistem
Kawasan yang merupakan habitat flora dan fauna kawasan.
Pencegahan Hama dan Penyakit. Dalam ekosistem hutan alam yang strukturnya terdiri
dari berbagai jenis biota, tidak seumur dan kondisi ekosistemnya relatif stabil, hama
penyakit tanaman jarang sekali mengalami ledakan yang dapat merugikan komunitas
hutan. Gejolak populasi hama penyakit hutan biasanya bisa diatasi dengan kemampuan
alam sendiri sehingga alam dapat pulih kembali. Cagar Alam Teluk Bintuni mungkin
harus lebih memperhatikan kemungkinan adanya hama penyakit berbahaya di daerah-
daerah pertanian dalam kawasan atau sekitar batas kawasan. Kegiatan pemantauan
oleh petugas terhadap hama penyakit di daerah-daerah tersebut perlu dilakukan secara
periodik atau dengan memperhatikan laporan-laporan dari masyarakat tentang hama dan
penyakit tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan kemungkinan invasi biota eksotik ke
dalam kawasan, oleh karena itu bila ada kasus hama dan penyakit yang dianggap
membahayakan kawasan, maka harus segera dicarikan jalan pemecahannya baik secara
preventif maupun refresif. Secara umum kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :
Perlindungan Jenis. Secara umum penyadaran masyarakat dan instansi terkait tentang
status biota yang dilindungi perlu ditingkatkan. Beberapa biota yang dilindungi perlu
usaha perlindungan khusus. Untuk aktivitas perlindungan jenis ini, aktivitas yang dapat
dilakukan adalah :
x Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan
saat berburu masyarakat.
x Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi
dan hampir punah.
Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan sedimentasi. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
belum memiliki informasi yang lengkap tentang lokasi yang rawan abrasi-erosi dan lokasi
penumpukan sedimen, namun sudah mulai ada indikasi di beberapa lokasi adanya
pengaruh abrasi-erosi dan sungai semakin kecil, di muara semakin banyak calon pulau.
Pengelolaan terutama ditujukan pada daerah-daerah yang rawan abrasi-erosi yang
biasanya terjadi di lokasi yang terkena gelombang besar. Sementara pengelolaan
sedimen sangat terkait dengan upaya Dinas Kehutanan membangun pengelolaan hutan
berkelanjutan di areal HPH dan hutan masyarakat. Dalam rangka menunjang kegiatan ini,
perlu dilakukan melalui pembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan
instansi-instansi terkait.
Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada saat ini dalam kawasan telah ada
kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara tradisional berupa usaha perikanan
(penangkapan), usaha perladangan/kebun rakyat, disamping adanya pembukaan wilayah
Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai areal log-yard beberapa usaha kehutanan masyarakat.
Adanya kegiatan ini sangat mempengaruhi keutuhan ekosistem kawasan yang juga akan
berpengaruh terhadap flora dan fauna penting dalam kawasan. Oleh karena itu perlu
diupayakan kegiatan sebagai berikut:
Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan rehabilitasi perlu disusun perencanaan teknis
terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan mitra kerja
yang berkaitan seperti perguruan tinggi, LIPI dan LSM.
x Rehabilitasi kawasan dengan tanaman asli. Terutama di bekas logyard HPH dan
kopermas yaitu di Tirasai, Sumberi, Logyard SP V S. Awarapi, Logyard SP IV S.
Ausoi. Untuk itu diperlukan :
x Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal yang sesuai dengan ekosistem
kawasan yang akan direhabilitasi.
x Pemeliharaan tanaman.
x Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan antara lain
adalah :
7. Kerjasama. Melakukan kerjasama dan membuat MOU kerjasama antara BKSDA Papua
II Sorong cq Ressort Bintuni dengan lembaga penelitian, Universitas, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional, maupun internasional.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam mengembangkan konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada
Tabel V-4.
Tabel V-4. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
mengembangkan konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati.
Rencana Kegiatan V - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
1. Pengamanan Rutin (patroli). Sesuai dengan prinsip pengelolaan yang efisien dan
cost-effective, pencegahan kerusakan habitat akibat kegiatan pemanfaatan dilakukan
oleh pemanfaat sendirl.
Kegiatan perlindungan dan pengamanan rutin diusulkan dapat dilakukan oleh pengelola
Kawasan (POLHUT), pemantauan berbasis masyarakat atau pihak swasta yang bersifat
sukarela (voluntir) di bawah arahan dan panduan dari pengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni, serta pengamanan/patroli gabungan yang melibatkan instansi terkait yang lain.
Patroli gabungan yang bekerjasama dengan instansi terkait perlu dilakukan minimal
setahun dua kali. Demikian pula halnya dengan kerjasama dalam pengamanan yang
bersifat sporadis, berdasarkan laporan masyarakat setempat. Operasi sebaiknya
dilaksanakan jika keadaan keamanan benar-benar membutuhkan dukungan dari unsur
pengamanan lain seperti dari Polri dan TNI serta Pemda. Jika keadaan relatif aman,
maka intensitas operasi gabungan bisa dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Pengamanan Cagar Alam Teluk Bintuni memerlukan koordinasi yang baik tidak saja
antar instansi terkait tetapi juga dengan tokoh masyarakat di sekitar kawasan. Oleh
karena itu koordinasi ini harus terus dilakukan dari waktu ke waktu minimal setiap akan
dan setelah pelaksanaan operasi gabungan.
Kegiatan pengamanan harus direncanakan dan apabila perlu, rute patroli dapat
diprogramkan di GPS sebelum berangkat. Sistem patroli harus sporadis agar rutinitas
patroli tidak dapat dipelajari oleh pelanggar. Setiap petugas harus mengetahui batas
kawasan dan peraturannya dan faktor yang dilindungi. Setiap petugas harus juga
mempelajari pola hidup dan kegiatan masyarakat setempat agar dapat mengidentifikasi
pendatang dari luar. Petugas lapangan harus siap bertindak berdasarkan informasi yang
berasal dari masyarakat karena mereka berada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
setiap hari, mereka merupakan mata pengawasan yang sangat efisien.
2. Penegakan Hukum. Penegakan peraturan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus
merupakan lintas sektoral yang melibatkan otoritas pengelola CATB, polisi, Dinas
Perikanan, TNI dan masyarakat setempat. Untuk mendukung kegiatan penegakan
hukum di Kawasan CATB, perlu diusulkan beberapa kegiatan penunjang, yaitu:
Rencana Kegiatan V - 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
peraturan menjadi jelas, bisa dimengerti dan sesuai dengan tujuan konservasi serta
pemanfaatan berkelanjutan perlu dilakukan.
x Sosialisasi Peraturan
Aturan harus disosialisasikan dan fungsi serta peran setiap stakeholder harus jelas
sehingga tidak ada interpretasi ganda. Perlu juga dibuat peraturan khusus dan
disepakati semua pihak, terutama peraturan yang melarang semua kegiatan
ekstraktif yang merusak kawasan CATB. Pelarangan penggunaan trawl, bahan
kimia, bom, pelarangan penebangan hutan di CATB untuk usaha kehutanan,
perikanan dan perkebunan perlu dibuat dan dilaksanakan. Khusus untuk masyarakat
adat perlu juga dibuatkan aturan khusus yang menyangkut pemanfaatan eksklusif di
dalam kawasan tetapi dengan syarat tertentu dan mendukung pemanfaatan lestari.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-5.
Tabel V-5. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Kegiatan V - 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
1. Peningkatan Kapasitas Pengelola. Tekanan terhadap Cagar Alam di masa depan akan
lebih berat dan dibutuhkan kapasitas SDM khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang lebih
baik. Untuk itu perlu ada pelatihan dan training kepada jagawana.
2. Penambahan Jumlah Personil Pengelola. Saat ini petugas di Ressort Teluk Bintuni
hanya ada 2 petugas sementara per 10.000 Ha dibutuhkan 1 orang polisi hutan. Berarti
dibutuhkan 10-12 orang Polisi Hutan (POLHUT) untuk Cagar Alam Teluk Bintuni.
Direncanakan akan ada 10 petugas lapangan, setiap saat 5 di antaranya menjaga
koordinasi dan komunikasi dengan kelompok pemanfaat di lapangan.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-6.
Tabel V-6. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
B.6 Pemanfaatan
Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud disini lebih banyak difokuskan pada kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Dari survei dan pertemuan dengan masyarakat dalam pembahasan rencana pengelolaan
kawasan ternyata bahwa masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan sangat
menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada keberadaan Cagar Alam.
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun
sebelum daerah ini ditunjuk sebagai Kawasan Konservasi. Walaupun demikian, masyarakat
adat yang merupakan pemilik hak ulayat kawasan dan bermukim di dalam dan sekitar
kawasan masih berkomitmen untuk menjaga keberadaan CATB dengan membangun suatu
kesepakatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan CATB
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam ini seperti yang telah di bahas pada
Bab V.
Rencana Kegiatan V - 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
2. Pemanfaatan Hasil Perikanan. Penduduk yang memiliki hak ulayat dan tinggal di dalam
dan sekitar kawasan diperbolehkan memanfaatkan hasil perikanan dari dalam kawasan
secara tradisional. Pengembangan dan pengawasan pemanfaatan hasil setempat
dilakukan Balai KSDA cq Ressort pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dengan pemilik
hak ulayat yang tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan berdasarkan
kesepakatan bersama. Kesepakatan ini juga mencakup pemanfaatan oleh masyarakat
desa sekitar kawasan yang bukan pemilik hak ulayat.
o Pengenalan sistem “sasi” agar ada peluang recovery dari sumberdaya yang
dimanfaatkan
3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan. Ancaman utama dari kegiatan pertanian
dan perkebunan di dalam dan sekitar kawasan adalah penggunaan pestisida, herbisida
dan pupuk buatan, dan masalah lainnya menyangkut konservasi tanah. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni akan bekerja sama dengan Dinas Pertanian dalam memfasilitasi
masyarakat yang ada di sekitar dan dalam kawasan kepada akses terhadap pola
Rencana Kegiatan V - 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
pertanian yang lebih efisien. Dengan pengembangan pola pertanian dan perkebunan
yang lebih efisien kecenderungan untuk perluasan lahan dapat dicegah, serta
pendapatan petani dapat ditingkatkan.
o Pelatihan dan bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari kulit buaya di Desa
Naramasa, Yensei dan Yakati
o Pelatihan dan bimbingan teknis untuk pembuatan dendeng manis, abon dari
daging babi dan rusa, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Kabupaten
4. Penelitian. Kegiatan penelitian disini lebih difokuskan pada studi dalam rangka
mendukung kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara lestari dan berkelanjutan.
Rencana Kegiatan V - 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-7.
Tabel V-7. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Kegiatan V - 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
a. Bangunan kantor
Mengingat Cagar Alam Teluk Bintuni berada pada Kabupaten yang akan berkembang
sangat cepat, sarana kantor sangat dibutuhkan, baik sebagai pusat kegiatan pengelolaan
maupun pusat informasi. Kebutuhan sarana yang harus dilengkapi adalah :
Rencana Kegiatan V - 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
b. Jalan patroli
Di Cagar Alam harus ada jalan patroli, yang dapat menjangkau keseluruh kawasan
sehingga memudahkan bagi petugas untuk melaksanakan tugasnya. Di CA Teluk
Bintuni, jalur air merupakan salah satu cara yang terpenting. Tetapi pada batas kawasan
yang berbatasan dengan hutan dataran rendah, jalan patroli dapat digabung bersama
jalur batas rintisan sehingga lebih efisien (berkaitan dengan pemeliharaan batas
kawasan). Aktivitas patroli bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan batas.
c. Pondok kerja
Bangunan ini diperuntukan bagi unit pengelola terkecil, dilengkapi dengan perlengkapan
yang memadai untuk kegiatan yang akan ditangani di tempat tersebut. Pondok kerja di
dalam CA Teluk Bintuni direncanakan akan menjadi 4 unit di luar kantor. Letak pondok
kerja ini adalah di Kampung Banjar Ausoy, Naramasa, Kampung Mamuranu dan Tirasai.
Sarana yang dibutuhkan antara lain :
Untuk pengamatan satwa, sarana ini penting untuk : pengamatan satwa, keindahan alam
dan kebakaran. Lokasi pembangunan menara pengamat adalah di Awarepi, Simeri,
Pulau Modan, Pulau Bore.
a. Pusat informasi
Di Cagar Alam Teluk Bintuni, kantor dapat difungsikan sebagai pusat informasi.
b. Papan petunjuk
Sarana ini harus ada di Cagar Alam. Termasuk di dalam papan petunjuk ini adalah papan
pengumuman, papan larangan dan rambu-rambu peringatan. Penempatan diatur di
tempat yang strategis mudah dilihat.
Rencana Kegiatan V - 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
c. Jalan setapak
Di Cagar Alam sarana ini diperuntukan sebagai sarana patroli dan pendidikan, yang
berfungsi untuk pengamanan dan memudahkan melihat obyek wisata tertentu di Cagar
Alam Teluk Bintuni. Jalan setapak permanen di dalam kawasan mangrove dibangun pada
tempat yang ada menara pengamat dan petak ukur permanen saja.
Bangunan ini dapat dibuat di dalam kawasan sesuai kepentingannya. Di Cagar Alam
Teluk Bintuni, pusat informasi dan data base dibangun bersamaan dengan kantor (satu
bangunan). Disamping itu, perlu juga dibangun beberapa sarana seperti :
Karena situasi iklim dan cuaca belum diketahui dengan pasti, maka perlu
dibangun stasiun klimatologi dan meteorologi. Data dan informasi dari stasiun ini
dapat digunakan untuk kelengkapan data base dan sistem informasi geografis
kawasan. Curah hujan di kawasan dan sekitarnya berlangsung sepanjang tahun,
dan jarang terjadi bulan kering.
x Stasiun pengamat air sungai otomatis (AWLR : automatic water level recording)
Pondok peneliti untuk kebutuhan penelitian di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni
sebaiknya tidak dibangun di banyak tempat. Untuk itu perlu dikembangkan dan
dibangun pondok peneliti terapung yang bisa dipindah-pindah tergantung lokasi
wilayah penelitian. Ini akan membuat waktu penelitian tidak terbuang akibat
mobilitas yang terbatas. Pondok ini bisa dipindah dengan menggunakan
longboat
Penempatan areal lokasi penelitian disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Yang
dapat dilakukan adalah membangun petak ukur permanen. Lokasi pengamatan atau
Rencana Kegiatan V - 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
laboratorium alam akan sangat tergantung dari penelitian tentang pemetaan flora-fauna di
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pondok peneliti permanen dibangun disamping bangunan kantor pengelola Cagar Alam
Teluk Bintuni. Sarana penelitian berupa pondok peneliti yang punya mobilitas tinggi juga
dibangun dengan membuat pondok yang bisa dipindah-pindah di sungai dengan ditarik
boat. Ini sesuai dengan areal Cagar Alam yang didominasi areal sungai dan mangrove.
Rencana Kegiatan V - 20
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
VI. PEMBIAYAAN
A. Sumber Dana
Sumber dana dalam pembangunan dan pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dapat menggunakan dana APBN, Non APBN atau dana
lainnya antara lain berupa bantuan dalam dan luar negeri. Penggalangan biaya pengelolaan dari swasta khususnya yang ada di daerah Kabupaten
Bintuni dapat dilakukan oleh pengelola dengan sepengetahuan Kepala Balai KSDA Papua II Sorong. Bantuan dan dukungan ini tidak harus dalam
bentuk uang tetapi dapat dalam bentuk barang. Misalnya, sumbangan dalam bentuk pengadaan sarana komunikasi, patroli atau bangunan kantor.
Bantuan juga dapat digalang oleh LSM atau organisasi lainnya dan pelaksanaan pembangunan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk
pemberi - penggalang dana tetapi harus sepengetahuan BKSDA Papua II Sorong. Semua asset yang dibangun di dalam kawasan atau mendukung
pelaksanaan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menjadi asset dari Cagar Alam atau pemerintah Indonesia. Mekanisme pengusulan
permohonan bantuan kegiatan dan penanggungjawab pelaksanaan disajikan dalam Gambar VI-1.
Pembiayaan VI - 1
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
B. Rincian Biaya
Rincian biaya untuk kegiatan pengelolaan disajikan dalam Tabel VI-1 dan Tabel VI-2 sedangkan untuk rencana biaya pengadaan sarana dan prasaran
penunjang kegiatan pengelolaan disajikan pada Tabel VI-3. dan Tabel VI-4.
Tabel VI-1. Rencana alokasi biaya pengelolaan Kawasan CATB jangka pendek (tahunan) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010).
1 Pemantapan Kawasan
a. Kepastian Hukum kawasan Pembuatan SK Defenitif - - - -
b. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam 1. Pembuatan SK Bupati - - - -
Teluk Bintuni secara legal formal oleh
- - - -
Pemerintah Daerah 2. Pembuatan Perda tentang Cagar Alam
Pembiayaan VI - 2
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 3
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 4
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 5
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
5. Pendukung /Kelembagaan
a. Personil Pengelola Penambahan personil pengelola kawasan PHKA
b. Pelatihan/Penyegaran 1. Pelatihan jagawana volunteer 6 paket 7.500.000 15.000 7.500 7.500 7.500 7.500 45.000
2. Pelatihan/Penyegaran Polhut 5 paket 10.000.000 20.000 10.000 10.000 10.000 50.000
Pembiayaan VI - 6
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
6. Pemanfaatan -
a. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan 2 - - -
b. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan
dan Perikanan tentang manfaat
2 Paket 20,900,000 20,900 20,900 41,800
perlindungan kawasan mangrove bagi
produksi perikanan
2. Sosialisasi larangan penggunaan
bahan kimia di dalam kawasan Cagar 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
Alam
3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”. 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
4. Pelatihan dan pendampingan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
pembuatan keramba apung di sungai
5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
jaring
c. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan 1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian
Perburuan Penyuluhan tentang pentingnya sistem
2 Paket 20,900,000 20,900 20,900 41,800
Pertanian dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan
2. Pengenalan sistem agroforestri. 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
3. Pelatihan budidaya pertanian menetap,
terutama di kampung yang berada di 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
dalam kawasan CATB
4. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam
1 Paket 37,500,000 37,500 37,500
kegiatan pertanian secara luas.
5. Pelatihan pembesaran anakan buaya 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
kerajinan dari bahan baku kulit buaya
7. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan
dendeng manis dan abon dari daging 1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
rusa
8. Pengenalan cara perburuan satwa liar
seperti rusa dan babi hutan dengan
1 Paket 20,900,000 20,900 20,900
memperhatikan waktu-waktu beranak
dan mengasuh anak
Pembiayaan VI - 7
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 8
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Tabel VI-2. Rencana alokasi biaya pengelolaan Kawasan CATB jangka panjang (lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030).
1 Pemantapan Kawasan
- - -
a. Kepastian Hukum kawasan Pembuatan SK Defenitif
-
- - -
b. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam x Pembuatan SK Bupati
-
Teluk Bintuni secara legal formal oleh
Pemerintah Daerah - - -
x Pembuatan Perda tentang Cagar Alam
-
x Pembuatan Jalur Rintisan dan jalan
c. Rekonstruksi Pal Batas 125 Km 900 112500 112,500
setapak (km)
x Pembuatan Pal batas 1 Paket 1.114 1,114 1,114
x Pembuatan Plat Seng tanda batas 1 Paket 3.100 3,100 3,100
Pembuatan MOU dengan stakeholder - - -
d. Kerjasama terkait untuk kegiatan Rekonstruksi Pal -
Batas
Pembiayaan VI - 9
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 10
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 11
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 12
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
5. Pendukung /Kelembagaan
a. Personil Pengelola Penambahan personil pengelola kawasan 3 paket PHKA
b. Pelatihan/Penyegaran 1. Pelatihan jagawana volunteer 15 paket 7.500 45.000 22.500 22.500 22.500 112.500
2. Pelatihan/Penyegaran Polhut 15 paket 10.000 50.000 50.000 50.000 150.000
6. Pemanfaatan -
a. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan 2 paket 7.500 7.500 7.500 15.000
b. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan
dan Perikanan tentang manfaat
10 Paket 20.900 41.800 41.800 41.800 41.800 41.800 209.800
perlindungan kawasan mangrove bagi
produksi perikanan
Pembiayaan VI - 13
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 14
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 15
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Tabel VI-3. Rencana Alokasi Biaya Pengadaan Sarana dan Prasarana untuk Jangka Pendek (per tahun) pada Periode 5 Tahun Pertama (2006-2010)
Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
1 Sarana Pengelolaan
Kantor
Pembebasan Lahan Kantor 500 150,000 75,000
Pengadaan Kantor/pondok
(KPPN.066/33.51) Bangunan Kantor (m) 90 1 1,750,000 157,500 157,500
Barak Polhut (untuk 6 orang atau klg) 162 1,500,000 243,000 243,000
Genset Kantor (4.5 KW) 1 1 7,500,000 -
Komputer P IV 2 unit 10,000,000 10,000 10,000 20,000
Printer A3 (HP 1180C)+ USB
Conector 1 unit 4,000,000 4,000 4,000
Peralatan kantor 3 paket 7,500,000 7,500 7,500 7,500 22,500
Faksimil 1 unit 1,500,000 1,500 1,500
Pengadaan Sambungan Telpon 1 unit 250,000 250 250
Radio SSB 1 25,000,000 25,000 25,000
GPS 7 3,500,000 10,500 7,000 7,000 24,500
Kompas Sunto 7 1,000,000 3,000 2,000 2,000 7,000
Speed boat patroli 40 PK 1 75,000,000 75,000 75,000
Longboat patroli 40 pk 1 30,000,000 30,000 30,000
Handy talky 7 5,000,000 10,000 10,000 10,000 5,000 35,000
motor roda 2 1 unit 20,000,000 20,000 20,000
Sarana air bersih 1 15,000,000 15,000 15,000
-
Bangunan Kantor (m) + barak 252 1 35,000 8,820 8,820 17,640
Pemeliharaan Kantor
(KPPN.066/33.51) Halaman kantor 500 5,000 2,500 2,500 2,500 2,500 2,500 12,500
komputer dan printer 4 unit 500,000 2,000 2,000 2,000 2,000 8,000
Peralatan kantor 2,500,000 2,500 2,500
Radio SSB 1 unit 900,000 900 900 900 900 900 4,500
Pembiayaan VI - 16
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
Handy talky 7 unit 250,000 500 1,000 1,500 1,750 1,750 6,500
Speed boat patroli (operasional) 1 6,000,000 6,000 6,000 12,000
Longboat patroli (operasional) 2 3,500,000 3,500 3,500 3,500 10,500
Motor roda 2 1 1,550,000 1,550 1,550 3,100
opeasional genset (liter bensin) 1 tahun 9,000,000 9,000 9,000 9,000 9,000 9,000 45,000
Biaya Telpon 1 1,200,000 1,200 1,200 1,200 1,200 1,200
-
Pondok Kerja -
Pondok kerja (m) 48 3 unit 1,750,000 84,000 84,000 84,000 252,000
Bangunan Pondok kerja
(KPPN.066/33.51) Pembebasan lahan (m) 100 3 petak 50,000 5,000 5,000 5,000 15,000
Genset Pondok kerja, 1,5KW 3 unit 2,500,000 2,500 2,500 2,500 7,500
Mesin tik 60 cm 3 1,000,000 1,000 1,000 1,000 3,000
Radio SSB 3 25,000,000 25,000 25,000 25,000 75,000
GPS 3 3,500,000 3,500 3,500 3,500 10,500
Handy talky 3 5,000,000 5,000 5,000 5,000 15,000
Longboat patroli, 25 pk 3 20,000,000 20,000 20,000 20,000 60,000
Peralatan pondok kerja 3 7,500,000 7,500 7,500 7,500 22,500
Sarana air bersih 3 5,000,000 5,000 5,000 5,000 15,000
-
Pemeliharaan
(KPPN.066/33.51) Pondok kerja (m) 48 3 35,000 1,680 3,360 5,040 10,080
Operasional Genset 3 7,500,000 7,500 15,000 22,500 22,500 67,500
Operasional longboat 3 15,000,000 15,000 30,000 45,000 45,000 135,000
Mesin tik 60 cm 3 50,000 50 100 150 150 450
Radio SSB 3 900,000 900 1,800 2,700 2,700 8,100
Handy talky 3 250,000 250 500 750 750 2,250
Longboat patroli 3 3,500,000 3,500 7,000 10,500 10,500 31,500
Peralatan pondok kerja 3 2,500,000 2,500 5,000 7,500 7,500 22,500
-
Pembiayaan VI - 17
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Total 5
Harga Total Biaya Periode Tahun ke ( x '000)
No Aktivitas/Kegiatan Komponen Volume Satuan tahun
Satuan
1 2 3 4 5 x 000.000
2 Sarana Pendidikan Brosur/leaflet/buku komik cagar alam -
Pusat data n informasi -
-
3 Sarana Penelitian -
Pembiayaan VI - 18
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Tabel VI-4. Rencana Alokasi Biaya Pengadaan Sarana dan Prasarana untuk Jangka Panjang (per tahun) pada Periode 25 Tahun (2006-2030)
Pembiayaan VI - 19
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
3 Sarana Penelitian -
Pondok Peneliti
Pengadaan pondok (dlm kompleks
penelitian(KPPN.066/33.51) kantor) 48 m 1,750,000 84,000 - - - - 84,000
Pembiayaan VI - 20
BKSDA Papua II Sorong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pembiayaan VI - 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
VII. PENGORGANISASIAN
Pelaksanaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan BKSDA Papua II cq Resort
Bintuni. Prinsip pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bersifat terpadu dan partisipatif. Untuk
itu dibutuhkan kerangka logis pengelolaan yang efisien dan dinamis, yang terutama
didasarkan pada strategi komunikasi, koordinasi, multistakeholders, dan pendidikan. Sebagai
pihak pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, BKSDA harus memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, untuk melancarkan kegiatan
pengelolaan kawasan dan terpadu dengan pembangunan di wilayah sekitarnya. Secara
struktural, diusulkan beberapa posisi yang bersifat fungsional penuh, untuk menunjang
pengelolaan yang optimal.
Kelembagaan Resort KSDA Teluk Bintuni yang langsung mengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni berada langsung di bawah BKSDA Papua II. Secara administratif BKSDA Papua II
akan berkoordinasi dan bertanggung jawab kepada Departemen Kehutanan. Untuk
mewujudkan pola pengelolaan yang efisien dan dinamis, dibutuhkan ukuran pengelolaan
yang kecil tetapi efektif. Kepala Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus lebih bersifat
fungsional, agar mampu mengoptimalkan pola pengelolaan yang koordinatif dan partisipatif
dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. Oleh karena itu,
program-program pengembangan sumberdaya manusia, baik berupa pelatihan dalam lingkup
Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, maupun lingkup lainnya merupakan
kebutuhan penting. Kebutuhan pelatihan bersifat dinamis, sesuai dengan
kemajuan-kemajuan teknologi dan prinsip-prinsip umum pengelolaan.
Untuk itu, jumlah personal di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni diusulkan bertambah sesuai
dengan pos pengawasan yang diusulkan, dimana setiap pos akan diisi satu sampai 2 orang
Polisi Hutan. Disamping itu perlu mengoptimalkan kemampuan teknis masing-masing
personalia yang ada dalam proses pengelolaan. Ini bertujuan untuk mengefisienkan
anggaran personalia, tetapi mengoptimalkan anggaran operasional dan pengelolaan
inventarisasi perlengkapan di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni.
Disamping itu, pola peran partisipatif masyarakat dan pihak swasta yang ada di sekitar Teluk
perlu dilibatkan. Penerapan adanya Polisi Hutan volunteer yang biayanya dibebankan kepada
pihak swasta yang berniat membantu dapat dikembangkan tetapi garis komando terhadap
Polisi Hutan ini ada di Kepala Resort dan pihak swasta hanya sebatas memberikan dukungan
berupa fasilitas.
Pengorganisasian VII - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
x Menambah jumlah Polisi Hutan sehingga setiap wilayah pengawasan yang ada terisi
dengan Polisi Hutan penanggungjawab wilayah
Di dalam pengelolaan cagar alam, semua aktivitas pengelolaan saling mendukung satu sama
lain. Aktivitas pengawasan dapat memberikan informasi dan data untuk kepentingan
pemeliharaan dan selanjutnya penataan. Di lain pihak, pelaksanaan penelitian dan
pengembangan akan memperkaya informasi untuk kepentingan pemeliharaan, pemanfaatan,
pengendalian dan pemulihan di kawasan cagar alam (Gambar VII-1).
Pengawasan Pemulihan
Perlindungan
dan
Pengendalian Pengembangan
Gambar VII-1. Struktur Arus Informasi dari Tahapan Pelaksanaan Pengelolaan di Cagar
Alam Teluk Bintuni
Struktur organisasi dan sumberdaya manusia perlu di evaluasi terus-menerus melalui suatu
analisis beban kerja dan kebutuhan tenaga sehingga diharapkan lebih berdayaguna dan
berhasilguna serta dapat mengantisipasi beban pekerjaan yang akan dihadapi dan
direncanakan.
Pengorganisasian VII - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Dalam rangka menyesuaikan beban pekerjaan yang terus berkembang maka dari hasil
analisis diperlukan penambahan tenaga pada berbagai bidang keahlian, yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan formasi dan biaya yang
tersedia. Untuk menunjang pelaksanaan pengelolaan, kepastian hukum kawasan juga harus
menjadi perhatian. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan Cagar Alam menjadi
tanggungjawab semua pihak dan keberadaan serta pemanfaatan berhasil guna bagi
masyarakat sekitar. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah :
x Membentuk forum Komunikasi dan Kelompok Masyarakat Pengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni.
Forum ini dibentuk dengan tujuan cagar alam lestari. Forum ini merupakan forum
multistakeholder dan menjadi forum atau wadah komunikasi yang membicarakan semua
kegiatan yang akan dilakukan di Cagar Alam. Dalam pelaksanaannya, forum ini bisa
menjadi perpanjangan tangan atau sumber informasi bagi Badan Monitoring
Pada sisi lain, kelompok masyarakat yang mencari nafkah dari dalam kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni juga harus diorganisir. Tujuannya adalah untuk memudahkan
pengawasan dan koordinasi sekaligus menjadi mata rantai pengawasan di seluruh
kawasan cagar alam
Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan antara pengelola CATB dengan instansi di
atasnya yaitu BKSDA Papua II Sorong. Koordinasi khususnya dibutuhkan untuk menjangkau
pihak-pihak di lain dalam intansi Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi dan Pusat,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, dan swasta.
Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan oleh pengelola Cagar Alam (Resort BKSDA)
dengan instansi terkait lain di dalam kabupaten dapat berlangsung optimal untuk membuka
peluang koordinasi dan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Koordinasi secara khusus dengan pemerintah Pemerintah Propinsi dan Pusat,
Lembaga Pendidikan dan Penelitian, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
media massa, dan swasta dilakukan oleh BKSDA atau Resort dengan sepengetahuan
BKSDA Papua II.
Pengorganisasian VII - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Agar strategi dan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat sejalan
dan terpadu dengan strategi dan program pembangunan Daerah Kabupaten Teluk
Bintuni, maka pengelola CATB harus berkoordinasi dengan instansi dalam lingkup
Pemerintah Kabupaten, sebagai berikut: 1) Dinas Perikanan dan Kelautan; 2) Dinas
Pariwisata; 3) Dinas Kehutanan; 4) Dinas Tanaman Pangan; 5) Dinas Perhubungan; 6)
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah; 7) Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah; 8) Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 9) Dinas Pendidikan; 10) Dinas
Permukiman dan Prasarana Wilayah; serta 11) Kepolisian dan TNI. Bentuk koordinasi
yang dilakukan dalam hal ini berupa pelaporan, informasi, kerja sama kegiatan, dan
konsultasi.
BKSDA Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus berkoordinasi dengan Pemerintah
Propinsi Irian Jaya Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dan instansi
teknis lainnya Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, informasi dan
kerjasama kegiatan.
Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, kerjasama kegiatan dan konsultasi.
Kegiatan-kegiatan penelitian oleh lembaga-lembaga internasional untuk tingkat
operasional diatur sepenuhnya oleh Ditjen PHKA dan BKSDA Papua II Sorong.
4. Masyarakat Setempat
Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua
kegiatan koordinasi dengan masyarakat setempat dilaporkan kepada BKSDA Papua II
Sorong dan Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
Pengorganisasian VII - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
LSM memiliki peran penting baik sebagai fasilitator atau pendamping masyarakat,
maupun sebagai pengumpan masukan-masukan alternatif bagi strategi dan kebijakan
pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk itu koordinasi antara Resort Cagar Alam
Teluk Bintuni dengan LSM baik di Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya, maupun dari
luar teluk, sangat dibutuhkan. Koordinasi tersebut terutama dengan:
Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua
kegiatan koordinasi dengan LSM dilaporkan kepada BKSDA Papua II Sorong dan
Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
6. Media Massa
7. Swasta
Koordinasi dengan swasta juga tidak kalah penting, terutama perusahaan besar di
Kabupaten Teluk Bintuni. Perusahaan swasta ini bisa berperan aktif bersama Resort
untuk mengawasi atau pengamanan kawasan Cagar Alam. Swasta bisa juga berperan
dalam memfasilitasi keberadaan Polisi Hutan volunteer untuk pengawasan.
Secara umum, para pemangku kepentingan di Teluk Bintuni yang dapat berperan dalam
pengelolaan Cagar Alam perlu mengetahui peran apa saja yang bisa dilakukan. Masyarakat
sebagai salah satu pemangku kepentingan (stake holder) dapat berperan sebagai Polisi
Hutan volunteer yang membantu proses pengawasan sekaligus juga menjadi pengguna jasa
cagar alam. Masyarakat di dalam pengelolaan cagar alam bias menjadi perpanjangan
tangan dari kepala Polisi Hutan sebagai pengelola teknis di daerah pengelolaan cagar alam
untuk mengumpulkan banyak informasi yang berguna bagi pengelolaan.
Pengorganisasian VII - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Disamping itu, masyarakat juga bias berperan sama untuk badan monitoring. Kondisi ini
menempatkan pelaksana teknis pengelolaan akan diawasi secara menyeluruh, baik oleh
masyarakat maupun oleh badan monitoring. Akan tetapi dalam perannya untuk pengelolaan,
masyarakat juga harus berkoordinasi dengan cagar alam.
Posisi bada monitoring yang berada di luar struktur internal BKSDA ataupun pelaksana teknis
Cagar Alam membuat badan ini lebih independent dalam melakukan tugasnya untuk
mengawasi pelaksanaan pengelolaan tetapi badan ini terikat kepada rencana pengelolaan
kawasan. Keanggotaan dari badan yang cukup beragam akan membuat sinkronisasi
kegiatan dengan instansi terkait di lingkup Kabupaten Teluk Bintuni bias berjalan dengan baik
(Gambar VII-2).
Pengorganisasian VII - 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Ka BKSDA Papua II
Sorong Badan Monitoring
x Universitas Papua
x LMA
x Bappeda Kab TB
Kepala Polisi Hutan x Dinas Kehutanan
Administrasi Cagar Alam Teluk Bintuni x Dinas Perikanan
Ka Wilayah Naramasa
Ka Wilayah Mamuranu Ka Wilayah Tirasai
Kawasan CATB (Cagar Alam Teluk Bintuni) dengan luasan yang cukup besar sebaiknya
dikelola dengan jumlah staf yang memadai. Untuk itu direncanakan untuk menambah staf
dan struktur pengelola dengan membuat adanya kantor pembantu pada beberapa wilayah,
seperti Naramasa, Mamuranu, Tirasai. Setiap kantor wilayah ini akan bertanggungjawab ke
kepala resort dalam melaksanakan tugas pengelolaan kawasan. Di setiap wilayah pembantu
akan diisi juga dengan Polisi Hutan (Gambar VII-3).
2. Mengkoordinir Polisi Hutan yang ada di Cagar Alam Teluk Bintuni dalam melaksanakan
tugas pengelolaan kawasan
Polisi Hutan
Pengorganisasian VII - 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
3. memberikan laporan dan evaluasi pekerjaan setiap bulan kepada kepala Polisi Hutan
Administrasi
3. Membantu kepala Polisi Hutan dalam pengarsipan dokumen penelitian dan rencana
penelitian
C. Penyusunan Staf
Kebutuhan staf untuk pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu ditingkatkan baik jumlah
maupun kualitas. Untuk luas CATB yang mencapai 124.000 Ha dibutuhkan tambahan tenaga
Polisi Hutan yang bisa berfungsi ganda, baik dalam pengawasan, penyuluhan dan
pembinaan masyarakat. Untuk efisien dan efektifnya pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni,
kebutuhan tenaga tidak hanya dari jumlah tetapi juga kualifikasi harus memadai. Kulitas
pengelola juga bisa dipenuhi dengan adanya pelatihan.
SMA dengan masa kerja lebih dari 15 tahun bekerja sebagai Polisi Hutan di Cagar
Alam
x Pernah mengikuti pendidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penjenjang teknis
kehutanan (PTK), pelatihan penyusunan program, pemberdayaan masyarakat,
penyuluhan dan perencanaan partisipatif.
x Pendidikan D3 Kehutanan masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa kerja 5-10
Tahun sebagai Polisi Hutan
Pengorganisasian VII - 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
2. Pendidikan D3 komputer/administrasi masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa
kerja 5-7 tahun di bidang komputer/administrasi
Kebutuhan tenaga untuk pengelolaan Cagar Alam direncanakan akan dipenuhi sampai pada
periode 2020 dan kapasitasnya juga akan diperkuat melalui kegiatan pelatihan dan kursus.
Bila kebutuhan staf di daerah tidak ada yang memenuhi, maka syarat minimal harus dipenuhi
dan ketrampilan akan dipenuhi lewat pelatihan (Tabel VII-1) dan rencana kebutuhan
pembiayaan didasarkan kepada standard biaya 2005 (Tabel VII-2)
Tabel VII-1. Kondisi Staf Pengelola Cagar Alam dan Rencana Pemenuhan Staf berserta
Rencana Pelatihan
x Pelathan Pemberdayaan - ¥ 3 2 1 1 1
Masyarakat
x Pelatihan Penyusunan - ¥ 3 1 1 1 1
Program
x Pelatihan Penyuluhan - ¥ 3 2 1 1 1
x Pelatihan Perencanaan - ¥ 1 1 1 1 1
Partisipatif
Pengorganisasian VII - 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Tabel VII-2. Rencana Kebutuhan Biaya Pemenuhan Staf dan Rencana Pelatihan di Cagar
Alam Teluk Bintuni
Pengorganisasian VII - 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan proses yang
berkelanjutan, sehingga pemantauan dan evaluasi kegiatan merupakan hal yang sangat
penting dilakukan agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang ditetapkan. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru
akan muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa
strategi-strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu
dievaluasi dan dimodifikasi.
Secara umum melakukan kegiatan monitoring berarti melakukan dua hal, yaitu pertama
pemantauan atas rencana-rencana yang telah dibuat, kedua membandingkan kinerja dengan
ukuran yang telah di buat, memutuskan apakah perlu ada perubahan rencana dan membuat
perbaikan-perbaikan. Tetapi, dalam sistem manajemen konservasi, terminologi ini
dimodifikasi untuk mengetahui perbedaan antara kejadian-kejadian alami, survei,
pemantauan, pengamatan dan penelitian. Sedangkan evaluasi berarti mengidentifikasi apa
yang sudah dicapai dan mana yang belum serta apa yang harusnya dilakukan ke depan
dengan melibatkan atau mengumpulkan umpan balik dari stakeholder-stakeholder kunci dan
pengelola.
A. PELAKSANA KEGIATAN
Pemantaun dan evaluasi yang dilakukan disini adalah merupakan kegiatan rutin dari
pengelola kawasan terhadap kinerja anggota pengelola. Pemantauan dan evaluasi oleh
unsur internal ini bisa berupa pengawasan melekat oleh atasan langsung baik di kantor
maupun di lapangan. Pengawasan tersebut bisa diwujudkan berupa kegiatan pembinaan ke
lokasi secara reguler atau dengan kunjungan/inspeksi mendadak.
Cara lain untuk pemantauan dan evaluasi kegiatan adalah dengan mengirimkan laporan
periodik dan laporan khusus dari hirarki yang lebih rendah kepada pejabat di atasnya
(misalnya dari petugas wilayah kepada kepala resort, dst). Demikian juga pelaksanaan rapat
rutin yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional, serta rapat berkala
yang diikuti oleh semua pegawai Ressort KSDA Teluk Bintuni. Hal ini akan sangat efektif
dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan baik yang menyangkut kemajuan
kegiatan maupun permasalahan yang dihadapi. Pemecahan masalah biasanya dapat lebih
cepat ditangani dibanding hanya komunikasi surat atau laporan.
Selain Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang
dilakukan oleh pengelola kawasan, kehadiran dan peran suatu Forum Komunikasi yang
independen sangat diperlukan. Forum ini diharapkan selain berperan dalam mengevaluasi
kinerja rencana kerja yang telah dibuat, juga berfungsi sebagai kontrol dalam pelaksanaan
kegiatan pengelolaan kawasan.
Institusi ini perlu mendapat pertimbangan sebagai pelaksana kegiatan monitoring dan
evaluasi kegiatan pengelolaan. Dari segi kemampuan personil yang ada, tidak diragukan
lagi institusi ini telah memiliki sumberdaya manusia yang handal dan pengalaman dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan baik kawasan
konservasi maupun kegiatan kehutanan lainnya. Disamping itu, dukungan peralatan
yang ada dirasa cukup memadai untuk suatu kegiatan pemantauan dan evaluasi. Saat
ini institusi ini telah memiliki laboratorium Geographical Information System (GIS) dengan
beberapa perangkat keras dan lunak yang memadai dan dipimpin oleh seorang kepala
laboratorium yang telah memiliki kualifikasi yang cukup dalam memonitor dinamika suatu
kawasan konservasi. Berikut adalah kondisi peralatan dan personil pendukung yang ada
di Laboratorium GIS yang bernaung di bawah Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri
Papua Manokwari seperti disajikan pada Tabel VIII-1. dan VIII-2.
Tabel VIII-1. Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa
Tabel VIII.2. Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa
Selain itu, institusi ini telah beberapa kali menjalin kerjasama dengan beberapa LSM dan
Pemerintah Daerah dalam penelitian dan pengkajian di kawasan Teluk Bintuni, termasuk
daerah Cagar Alam Teluk Bintuni. Kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi ini dalam
kegiatan monitoring dan evaluasi adalah lebih banyak difokuskan pada pemantauan dan
mengevaluasi keberhasilan kegiatan, membantu mengidentifikasi dan memfasilitasi
pemecahan masalah-masalah, khususnya yang berhubungan dengan aspek keilmuan yang
dihadapi pengelola.
Selain melakukan monitoring dan evaluasi internal sebagai institusi pengelola, sebagai
pemegang kendali kegiatan pengelolaan kawasan, institusi ini juga diharapkan berperan
dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi secara eksternal. Dari peran dan fungsi yang akan
dimainkan oleh institusi ini dalam kegiatan pengelolaan, segala bentuk permasalahan dan
hambatan dalam implementasi rencana kegiatan di lapangan akan lebih banyak diketahui
oleh institusi ini. Sehingga diharapkan dalam kegiatan evaluasi kegiatan pengelolaan yang
akan dilakukan oleh forum komunikasi, institusi akan banyak berperan dalam
mengkomunikasikan masalah dan hambatan yang ditemui dengan stakeholder yang lain
dalam di forum ini.
3. Masyarakat adat yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni.
Sebagai institusi perencana di Kabupaten Teluk Bintuni, Badan ini diharapkan memainkan
peran lebih banyak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Institusi ini memang masih relatif baru seiring dengan pemekaran Kabupaten Teluk
Bintuni, namun kapasitas institusi ini yang didukung oleh sumberdaya manusia yang ada
tidak diragukan lagi dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Apalagi di dalam struktur
organisasi, Badan ini telah dilengkapi dengan Sub Bagian Monitoring dan Evaluasi. Peran
yang bisa dimainkan oleh institusi ini menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi adalah
memfasilitasi pemecahan dan penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan
pembangunan dan pengembangan yang dilakukan oleh dengan pemerintah daerah.
5. Dinas terkait di Kabupaten seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan dan
Kelautan.
Selain Badan Perencana Daerah (Bappeda) Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas-Dinas yang
relevan dengan kegiatan pengelolaan kawasan, perlu dipertimbangan sebagai anggota
forum komunikasi yang diusulkan. Dinas-Dinas yang terkait langsung dan dianggap sebagai
mitra kerja pengelola adalah Dinas Kehutanan (DINHUT) dan Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP). Dari luasan kawasan yang ada (±124.850 ha), sebagian besar terdiri dari ekosistem
mangrove dan hutan dataran rendah, serta pada bagian tertentu berbatasan dengan hutan
produksi dan hutan lindung. Hal ini membuat aktivitas perikanan dan kehutanan di dalam dan
sekitar kawasan tidak dapat terelekan, sehingga peranan kedua pemangku kepentingan
(stakeholder) ini mutlak diperlukan baik dalam kegiatan pengelolaan maupun monitoring dan
evaluasi. Peran penting yang bisa diambil oleh kedua institusi ini adalah dalam hal
memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan khususnya yang berkaitan dengan
masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan.
Forum komunikasi yang diusulkan perlu di perkuat dengan Surat Keputusan Bupati, sehingga
keberadaanya dalam struktur hukum di Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menjadi jelas.
Berdasarkan kondisi stakeholder yang disebutkan di atas, diusulkan forum independen ini
bisa di bawah koordinasi Universitas Negeri Papua (UNIPA), namun tidak tertutup
kemungkinan pada saatnya nanti koordinator badan ini dipercayakan pada stakeholder yang
lain seperti Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
4. Memberikan masukan kepada pengelola bila dari hasil evaluasi terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah digariskan sebelumnya.
Dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, forum independen yang dibentuk akan
selalu berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong dan kepala
Resort KSDA Bintuni sebagai pemegang mandat utama pengelola kawasan serta masyarakat
(Jagawana Voluntir, Forum Komunikasi, dan Kelompok Pemanfaat) di dalam dan sekitar
kawasan (Gambar VII-1). Apabila dirasa perlu, forum ini dapat melakukan pengecekan
lapangan (site visit) untuk melihat langsung kondisi lapangan yang sebenarnya.
Dalam memperlancar kinerja, forum yang diusulkan harus dilengkapi dengan fasilitas
penunjang serta peningkatan kemampuan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh Lab GIS di
Unipa Manokwari dirasa sudah cukup memadai, namun masih perlu pengadaan beberapa
perangkat lunak seperti foto citra satelit (Satelite imagenery) dan perangkat pengolahan data
digital.
Selain itu dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi, dirasa perlu untuk didukung oleh
semacam pedoman pernantauan lapangan yang bersifat populer, sehingga dapat membantu
pemantauan dan pengawasan potensi Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Hal ini
penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai dan manfaat kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni terletak pada senjang (gap) antara kegiatan teknis pelestarian
dengan penginformasian kepada masyarakat luas.
Selain ditunjang oleh peralatan yang memadai, badan ini juga perlu ditunjang oleh
kemampuan personil yang kualified. Salah satu strategi dalam yang bisa dilakukan dalam
memfasilitasi peningkatan kemampuan (capacity building) dari personil dalam forum yang
diusulkan adalah melalui pelatihan-pelatihan yang terprogram. Pelatihan atau kursus yang
bisa diusulkan dalam menunjang kegiatan forum ini antara lain:
1. Pelatihan pengenalan sistem informasi geografis (SIG) yang bisa difasilitasi oleh
pengelola Lab GIS di Unipa Manokwari dan kerjasama dengan LSM Internasional
seperti The Nature Conservancy (TNC).
2. Pelatihan sistem monitoring dan evaluasi proyek yang bisa di fasilitasi oleh Unipa dan
Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
3. Khusus untuk masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat (LMA)
kampung, pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan adalah pelatihan untuk
penggunaan pedoman pernantauan lapangan, yang bisa difasilitasi oleh pengelola
kawasan yang didukung koordinasi dengan pihak-pihak LSM.
rencana kegiatan pengelolaan kawasan (Bab V) yang dijabarkan lebih lanjut pada pada
Tabel VIII-3.
Tabel VIII-3. Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan.
2. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk semua aspek dalam rencana kelola
akan dievaluasi setiap tahun.
Sebagai pedoman dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap strategi-strategi yang
diimplementasikan, mengacu kepada rencana kegiatan pengelolaan (Bab V) dan
pembiayaan (Bab VI).
Berdasarkan lingkup kerja seperti diuraikan sebelumnya, forum ini akan bekerja berdasarkan
skenario seperti ditampilkan pada diagram alur berikut:
FORUM PENGELOLA
KOMUNIKASI KAWASAN
Saran, solusi
pemecahan masalah,
dan atau revisi
program
Saran, solusi
pemecahan masalah,
dan atau revisi
program serta
IMPLEMETASI peninjauan kembali
KEGIATAN DI atau perubahan
SETUJUI rencana pengelolaan
yang ada
IMPLEMETASI
KEGIATAN DI
SETUJUI
Dari gambar di atas dapat dijelaskan mekanisme kerja Forum komunikasi Independen adalah
sebagai berikut:
2. Apabila ditemukan permasalahan, hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan
sesuai rencana kegiatan, maka forum ini wajib memberikan saran, solusi
pemecahan masalah, dan atau revisi program kepada pihak pengelola;
IX. PENUTUP
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bukan merupakan suatu rencana
pengelolaan yang kaku yang harus digunakan untuk mengelola kawasan yang memiliki
proses ekologis yang rumit. Ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki ekosistem pesisir
pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove dan perairan sehingga dalam pengelolaannya
dibutuhkan suatu piranti yang dinamis. Komitmen pihak pengelola terhadap kelompok-
kelompok terkait merupakan landasan penting bagi suatu pengelolaan yang dinamis.
Kerangka utama dalam pengelolaan dinamis adalah peran serta dan koordinasi lintas
sektoral dari semua pemangku kepentingan di Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah suatu dokumen yang memiliki nilai
akomodatif, partisipasi dan transparansi yang tinggi, karena dokumen ini disusun
berdasarkan hasil dari serangkaian proses yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk
masyarakat pemilik hak ulayat. Dokumen ini akan menjadi acuan bagi pemerintah dan
stakeholder di dalam melakukan kegiatan pengelolaan CATB pada periode 25 tahun ke
depan. Dokumen ini juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan koordinasi berbagai
instansi sehingga diperoleh sinergitas dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang
direncanakan.
Dalam implementasinya, dokumen ini diharapkan akan dilegalisasi dengan keputusan Bupati
Teluk Bintuni sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa program yang
dirumuskan, telah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari instansi teknis terkait
pada lingkup pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan juga telah mengakomodir berbagai
kepentingan stakeholder pendukung pengelolaan kawasan CATB serta tetap
mempertimbangkan kelestarian fungsi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pertimbangan ini menjadi strategis karena dalam penganggaran hendaknya mengikuti skema
anggaran pada instansi teknis terkait untuk program yang bersesuaian dengan tugas dan
fungsi pokoknya. Sumber anggaran lain dapat diupayakan, baik yang bersumber dari swasta
maupun dana hibah lainnya yang sah.
Departemen Kehutanan dalam, hal ini Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (PHKA) sebagai institusi pelaksana rencana kegiatan pengelolaan yang telah disusun,
memiliki banyak keterbatasan sumberdaya. Untuk itu, keterlibatan pihak lain seperti pihak
swasta/investor, LSM lokal dan internasional, Pemerintah Daerah, serta para pemerhati
lingkungan lainnya, sangat diharapkan dalam implementasi rencana kegiatan pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni di lapangan.
Dengan terbitnya Dokumen Rencana Pengelolaan ini, Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dikelola secara optimal dan lestari sesuai fungsi peruntukannya.
Penutup IX - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR PUSTAKA
Asia Pacific Study Center – University of Gajah Mada, KONPHALINDO, WWF, and
YDPTB. 1999. Management of sustainable community-based natural diversity in
Bintuni Bay with emphasis on Mangroves. UGM, Yogyakarta.
Asmusruf, A., Rumbino, A, dan Lense, O. 2002. Pemanfaatan Nipah (Nypa Fruticans )
Oleh Lima Suku Di Bintuni. Beccariana, 4:2, 101-112.
Beehler, B.M., Pratt, T.K., dan Zimmerman, D.A. 2001. Burung-burung di Kawasan Papua
(terjemahan). Birdlife International Indonesia Programme.
Bengen, D. 2005. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
Berwulo, M.M. 1995. Pengusulan Lahan Basah Teluk Bintuni Menjadi Cagar Alam.
Laporan Hasil Survei Lapang. Bogor, Indonesia.
Boli, P. Dkk. 2002. Survei Potensi Sumberdaya Perikanan dan Pertanian di Kawasan
Teluk Bintuni. Unipa-CRMP.
Camillan Bann, 1999. The Economic Valuation of Mangroves: A Manual Research for
Researcher.
Costanza, R.; d’Arge; R. de Groot; S. Farber; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg; S.
Naeem., 1997. The Value of the World’s Ecosystem Services and Natural Capital.
Nature 387 (1997).
Christensen, B. 1978. Biomass and primary production of Rhizophora apiculata BL. in a
mangrove in southern Thailand. Aquat. Bot. 4:43-52.
Cicin-Sain, B and Knecht W.R. 1988. Integrated Coastal and Ocean Management.
Concept and Practices. Island Press. Washington DC.
Clough, B.F. and Attiwill, P.M. 1975. Nutrient cycling in a community of Avicenia marina
in a temperature region of Australia. In: Proceeding International Symp. Biology
and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida,
Gainsville, Fla. Vol. I, pp 137-146.
Conyer, D. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ke Tiga : Suatu Pengantar. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Daftar Pustaka DP - 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Febrianto, F. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kayu dan Non Kayu.
Materi Teori dalam Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I di
Bali. Jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB Bogor. Bogor.
Golley, F., Odum, H.T., and Wilson, R.F. 1962. The structure and Metabolism of Puerto
Rican red Mangrove forest in May. Ecology, 43: 9-19.
Goulter, P.F.E. and Allaway, W.G. 1979). Litter fall and decomposistion in a mangrove
stand (Avicenia marina Folks.) in a Middle Harbour , Sydney. Australian J. Marine
Freshwater Resources.
Heald, E.J. 1971. Production of Organic Detritus in a South Florida Estuary. P hd Thesis,
University of Miami, USA (Un pblished).
Hilmi, Endang, 2003. Profil Kandungan Karbon pada Pohon Kelompok Jenis Rhizhopora,
spp dan Bruguiera spp Dalam Tegakan Hutan Mangrove Alami di Indonesia.
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Koentjaranigrat. 1980. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia
Jakarta.
Kusmana, C dan Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan
Teknik Rehabilitasinya di Pulau Jawa. Lokakarya Jaringan Kerja Pelestari
Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah. 12-13 Agustus 1998.
Lugo, A.N. and Clintron, C. 1975. The Mangrove Forest of Puerto Rico and Their
Management. In: Walsh, G.E., Snedaker, S.C, and Teas, H.J. (Eds.) Proceedings
of Int. Symp. On Biology and Management of Mangroves. Vol. 2. Inst. Food and
Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 825-846.
Lugo, A.N. and Snedaker, S.C. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann. Rev. Ecology and
Systematic. 5:39-64.
Noor Y.R., Khazali M., Suryadiputra I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA/Wetlands International, Bogor
Noor, Y.S., M. Khazali dan IN.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA dan Wetland International Programme. Bogor
Daftar Pustaka DP - 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
NRM, 2004. Potret dan Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja
Manokwari. NRM, Manokwari.
Pearce, D.W and R.K. Turner, 1990. Economic of Natural Resources and The
Environment. Harvester Wheatsheaf. New York, London, Sidney.
P3FED, 2002. Pokok-Pokok Pikiran tentang Pemberdayaan hak-hak masyarakat adat
dalam mengeksploitasi sumberdaya alam provinsi Papua. P3FED Unipa,
Manokwari.
PEMDA Provinsi Papua, Pemda Kab. Manokwari, UNIPA, dan Proyek Pesisir (USAID),
2003. Atlas sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID)
Indonesia, CRMP Project. Jakarta, Indonesia. 89 pp.
Pertamina - BP Indonesia. 2002. Andal Kegiatan Terpadu (Eksplorasi Gas, Fasilitas LNG,
Pelabuhan, Bandar Udara dan Pemukiman LNG Tangguh Kabupaten Manokwari,
Sorong dan Fak-fak Propinsi Papua). BP Indonesia, Jakarta.
Petocz, R.G. 1983. Recommended reserves for Irian Jaya Province. Statement prepared
for the formal gazettment of thirty one conservation areas. WWW/IUCN Report.
Conservation for development programme in Indonesia. Also published in
Indonesian language, prepared in cooperation with PHPA: “usulan-usulan suaka di
propinsi Irian Jaya”. Bogor, Indonesia. 61 pp.
Petocz, R.G. and George P. Raspada. 1984. Conservation and development in Irian Jaya:
A strategy for rational resource utilization. Bogor: PHPA.
Petocz, R.G. and Y de Fretes. 1983. Mammals of the reserves in Irian Jaya. WWF/IUCN
special report. Jayapura.
Pool, D.J., Lugo, A.E., and Snedaker, S.C. 1975. Production in Mangrove forests of
Southern Florida and Puerto Rico. In: Proceeding International Symp. Biology and
Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida,
Gainsville, Fla. Vol. I, pp 213-237.
Rustiadi, E, Sunsun Saeful Hakim, dan Dyah R. Panuju. 2003. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor.
Sasekumar, A., M.U Leh., V.C Chong and R. D’Cruz. 1992. Mangroves as a Habitat for
Fish and Prawns. Hydrobiologia.
Daftar Pustaka DP - 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1988. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1990. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1991. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1992. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1993. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1994. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1995. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan
Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten
Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay,
Sorong.
Sub Biphut Manokwari, 2000. Peta Pengunaan Hutan di Kabupaten Manokwari Skala
1:250,000. Dinhut Manokwari
Tim P3FED Unipa, 2004. Kajian Model-Model Mekanisme Pemberian Kompensasi Hak
Masyarakat Adat atas Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Tanah di Distrik
Bintuni, Kabupaten Manokwari. P3FED Unipa, Manokwari.
Tim TNC, 2003. Survei Potensi Hutan Bakau Cagar Alam Teluk Bintuni . The Nature
Conservancy Papua Conservation Program, Palu Sulawesi Tengah, INDONESIA.
Daftar Pustaka DP - 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A Review. In: Ecology Halophytes (R.J. Raymond and
W.H. Queen, Eds.). Academic Press, New York. Pp 51-174.
Womersley, J.S. (Ed). 978. Handbook of the Flora of Papua New Guinea, Vol.1.
Melbourne University Press, 278 pages.
Zuwendra, Erftemeijer, P., dan Allen, G, 1991. Inventarisasi Sumber Daya Alam Teluk
Bintuni dan Rekomendasi untuk Manajemen dan Konservasi. PHKA/ AWB-
Indonesia (Forestry Institute and Asian Wetlands Bureau), Bogor. Indonesia.
Daftar Pustaka DP - 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran-Lampiran L- 1
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Abrasi
Pengikisan batuan, dinding tanah oleh air, es, atau angin.
Agro-Ekosistem
Sistem pertanian yang didasarkan pada hubungan timbal balik antara sekelompok
manusia dan lingkungan fisiknya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok
manusia itu.
Agroforestri
Sistem-sistem dan teknologi tata guna lahan di mana pepohonan berumur panjang
(termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll.) dan tanaman pangan dan atau pakan
temak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu
pengaturan ruang atau waktu.
Arboretum
Tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau
pendidikan.
AWB
Asian Wetland Bureau, Biro Tanah Basah Asia
BAPEDALDA
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
BAPPEDA
Badan Perencana Pembangunan Daerah
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BAPI
The Biodiversity Action Plan for Indonesia, Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati di
Indonesia
BKSDA
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
Biodiversity
Keaneka-ragaman hayati yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keanekaragaman bentuk kehidupan di bumi, bentuk interaksi antar sesama mahluk
hidup dan antar mahluk hidup dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati
mencakup tiga hal, yakni ekosistem, spesies dan genetis dan meliputi wilayah darat,
perairan tawar, pesisir dan laut.
Biogeografi
Penyebaran tumbuh-tumbuhan dan binatang secara geografis di muka bumi.
Biopirasi (biopiracy)
Eksplorasi dan pemanfaatan, pengetahuan lokal dan sumber daya genetis tanpa
pengetahuan ataupun persetujuan pemiliknya/masyarakat setempat.
Bioprospecting (bioprospeksi)
Penilaian terhadap sumber daya genetis dan sumber daya hayati. Dalam praktiknya
kegiatan ini dibarengi dengan munculnya isu-isu hak kepemilikan intelektual,
Lampiran-Lampiran L- 2
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
pembagian keuntungan yang adil dan merata, serta dampak negative akibat
pemanfaatan produk rekayasa genetis.
Bioregion
Kawasan/lingkungan fisik yang pengelolaannya tidak ditentukan oleh batasan politik
dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta sistem
ekologi. Dengan demikian, bioregion juga mempunyai pengertian ekoregion, yaitu
pengelolaan kawasan yang didasarkan pada prioritas ekosistem dan habitat alami
setempat.
Bioteknologi
Penerapan teknologi berbasis ilmu biologi untuk memanfaatkan makhluk hidup bagi
kebutuhan manusia.
Cagar Alam
adalah kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangusung secara alami.
Cagar Biosfer
Kawasan di dalam suatu negara yang mendapat status khusus dari negara-negara
yang tergabung dalam program The Man and The Biosphere (MAB) di bawah
UNESCO, sebagai kawasan konservasi khusus dengan fungsi ekonomi, ekologi dan
sosial.
Cagar Warisan Dunia (World Heritage Site)
Menurut World Heritage Convention yang dikeluarkan oleh UNESCO, ada dua yaitu:
1. "Cultural World Heritage" mengacu pada monumen, karya arsitektur, pahatan
dan lukisan, elemen atau struktur arkeologis, prasasti, gua-gua hunian, dan
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang secara universal sangat bemilai tinggi
dari sisi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.
2. "Natural World Heritage" mengacu pada ekosistem, habitat atau kelompok
formasi geologis dan fisiografis beserta spesies flora dan fauna yang terancam.
CITES
Convention on International Trade of Endangered Species, Konvensi untuk
Perdagangan Internasional Spesies Langka
Daerah Burung Endemik
Wilayah pengelompokan alami burung-burung yang kisaran hidupnya terbatas.
Debt for Nature Swap
Dana untuk konservasi alam didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri
dengan menukarnya dengan mobilisasi sumber daya alam dalam negeri untuk
pelestarian alam.
Deforestasi
Penggundulan hutan sehingga lahan yang semula berupa hutan menjadi berubah
fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan atau penggunaan lainnya.
Ekoregion
Suatu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang menggunakan pembagian
wilayah berdasarkan kondisi perbedaan ekosistem (lihat bioregion).
Lampiran-Lampiran L- 3
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Ekosistem
Komponen biotik dan abiotik dalam suatu lingkungan yang saling berinteraksi
sehingga menghasilkan aliran energi dan daur hara.
Ekuator
Garis imajiner yang mengelilingi bumi, diagonalnya 0 derajat (membagi bumi menjadi
2 wilayah: utara dan selatan)
Endemik, Endemisme
Spesies tumbuhan atau binatang yang hanya terdapat di wilayah tertentu dan sering
bersifat unik untuk daerah tersebut.
Epifit Tumbuhan yang hidup pada tumbuhan lain tetapi tidak merugikan.
Eutrofikasi
Pengayaan zat-zat hara yang berlebihan di dalam suatu perairan sehingga
mendorong ledakan pertumbuhan tumbuhan air dan mengakibatkan kekurangan
kadar oksigen di dalam perairan.
Fenomena El Nino
Peristiwa alam yang menimbulkan kemarau panjang yang hebat.
Fragmentasi Habitat
Proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling
bersambungan terpecah menjadi petak-petak yang saling terpisah dan terpencar.
Habitat
Tempat hidup alami bagi binatang dan tumbuhan.
Herpetofauna
Kelompok binatang yang temasuk dalam amfibi (katak/kodok) dan reptilia (buaya,
penyu, ular, biawak, komodo).
Hutan Dipterocarpaceae
Hutan yang didominasi spesies pohon dari famili Dipterocarpaceae. misalnya
berbagai jenis meranti. kruing. kapur dll.
Hutan Hujan Dataran Rendah ’selalu-hijau’
Hutan yang berisi tanaman berkayu dan tumbuhan selalu-hijau. terdapat di dataran
rendah daerah tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun.
Hutan Kerangas
Hutan yang tumbuh di atas tanah podsolik. Tanah yang terlapuk berat dan
mengandung silika terbentuk pada teras-teras kuarsa. batuan pasir, atau puncak-
puncak batu cadas. Tanah ini sangat masam dan tidak subur. di mana besidan
humus terkumpul di bawah lapisan atas pasir putih.
Hutan Konservasi
UU no.41 menjelaskan bahwa yang termasuk hutan konservasi adalah hutan alam
cadangan (nature preservation forest), hutan alam konservasi (nature conservation
forest) dan taman berburu (hunting forest).
Hutan Primer
Hutan perawan atau hutan alam yang belum dijamah manusia.
Hutan Sekunder
Hutan alam yang sudah dimanfaatkan oleh manusia.
Lampiran-Lampiran L- 4
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
IBOY
Merupakan singkatan dari International Biodiversity Observation Year (tahun
observasi biodiversity internasional) yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan 2002,
sebagai jendela bagi para ilmuan dan pendidik dari seluruh dunia untuk bekerjasama
meningkatkan komunikasi tentang ilmu-ilmu penting berbasis biodiversity.
IBSAP
Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan, Strategi dan Rencana Aksi
Biodiversity Indonesia
Indeks Keragaman Spesies (Species Diversity Index)
Indeks yang digunakan oleh para ilmuwan lingkungan untuk membandingkan tingkat
keanekaragaman spesies berdasarkan jumlah dan kelimpahan spesies binatang dan
tumbuhan di suatu tempat.
IUCN International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
Karamba
Kurungan dari anyaman bambu yang ditempatkan (diapungkan) di sungai sebagai
tempat perkembangbiakan ikan atau udang.
Karnivora
Mahluk hidup pemakan daging.
Kawasan Intertidal/Iitoral
Kawasan yang terletak di antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah di
pantai.
Kawasan Konservasi
Kawasan-kawasan yang digolongkan dalam kawasan pelestarian alam yaitu taman
nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, kawasan suaka alam yaitu cagar
alam, suaka margasatwa, hutan lindung, dan taman buru. Istilah konservasi tidak
dijumpai dalam UU No.5 tahun 1990. Sedangkan UU No.41 tahun 1999 muncul
pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung
dan hutan produksi. Sedangkan hutan konservasi dibagi ke dalam hutan suaka alam,
hutan pelestarian alam. dan taman buru.
Keanekaragaman hayati (Biodiversity)
Lihat biodiversity
Kegiatan yang menunjang budidaya di dalam kawasan Suaka Alam
ialah kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan
dan penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam kawasan alam yang
bersangkutan untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran.
Konservasi
Upaya perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah
serta pemanfaatan keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi Eks-Situ
Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya
berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi In-Situ
Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di dalam habitat aslinya
berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Lampiran-Lampiran L- 5
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran-Lampiran L- 6
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Megadiversity Country
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi. Indonesia menduduki peringkat
kedua di dunia setelah Brazil.
Moratorium
Penghentian sementara/jeda.
Nilai Omitologis
Nilai-nilai mengenai keragaman spesies, jumlah, penyebaran dan kehidupan burung.
Nokturnal
Sifat binatang yang aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari.
Pembangunan Berkelanjutan
Pola pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
melemahkan kemampuan pembangunan untuk memenuhi kebutuban generasi
mendatang.
Pengelolaan kawasan Suaka Alam
adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
Perdagangan Karbon (carbon trade)
Suatu mekanisme yang sedang dikembangkan secara intemasional melalui negara-
negara yang masih memiliki hutan yang cukup luas (yang berfungsi menyerap karbon
dari emisi bahan bakar) mendapatkan kompensasi dari kalangan internasional
berupa dana untuk membiayai kegiatan konservasi yang dikaitkan dengan emisi
karbon.
Pola Inti-Plasma
Sistem pertanian yang menghubungkan pertanian dan agroindustri di mana produksi
primer (tanaman tahunan atau tanaman keras, ternak, susu, unggas, telur, ikan,
udang dan sebagainya) tidak terpusat pada unit produksi kapitalis (atau sosialis) yang
besar tetapi tetap berada di tangan petani kecil, yang dihubungkan secara
melembaga melalui kontrak dengan sebuah perusahaan inti yang lebih besar yang
menangani satu atau lebih kegiatan hilir dan hulu seperti penyediaan sarana
produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Plasma Nutfah
Substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok
organisme yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sehingga tercipta suatu jenis
unggul atau Kultivar baru.
Potassium Sianida
Zat kimia yang digunakan untuk bahan racun untuk menangkap ikan, karena dapat
membuat ikan yang terpapar zat ini menjadi pingsan sehingga mudah ditangkap.
PRA
Merupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal. Metode PRA adalah media
untuk berkomunikasi dengan cara dialog antara Perencana – Pelaksana Administratif
dan partner mereka (masyarakat) untuk memecahkan masalah dan untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang terjadi.
Lampiran-Lampiran L- 7
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Rawa Aluvial
Rawa di tanah lempung yang terendapkan oleh air mengalir.
Rawa Herbaceous
Rawa yang ditumbuhi tumbuhan kecil yang tumbuh seperti rumput dan batangnya
tidak berkayu.
Rekayasa Genetis
Teknologi yang digunakan untuk mengubah materi genetis sel hidup melalui campur
tangan manusia sebagai upaya agar sel tersebut mampu menghasilkan senyawa
yang diinginkan atau mengemban fungsi-fungsi yang berbeda dengan sel-set lain
yang tidak mengalami manipulasi.
Rencana Pengelolaan kawasan Suaka Alam
adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
Resin
Hasil sekresi tanaman yang susunan kimianya sangat kompleks, padat, transparan,
dan kompak.
Restocking
Kegiatan yang ditujukan pada peningkatan populasi jenis flora dan fauna liar di
habitat alam aslinya.
Revolusi Biru
Proses perubahan produksi perikanan (khususnya darat, air tawar dan payau) dari
cara-cara tradisional ke arah intensifikasi untuk meningkatkan produksi.
RSA
Merupakan singkatan dari Rapid Social Assessment. Metode RSA adalah media
untuk mengumpulkan data dan informasi, berkomunikasi dengan cara dialog antara
peneliti dengan masyarakat.
Savana
Padang rumput yang diselingi oleh kelompok kecil pepohonan.
Silvikultur
Pemeliharaan dan pembinaan hutan atau manipulasi vegetasi hutan untuk tujuan
tertentu seperti untuk mengontrol pembentukan, komposisi dan pertumbuhan pohon.
Transmigrasi Umum
Perpindahan penduduk dari satu daerah yang padat penduduknya ke daerah lain
yang berpenduduk jarang, dilakukan secara rutin atas prakarsa pemerintah.
Transmigrasi Swakarsa
Transmigrasi atas usaha sendiri atau spontan.
Trawl Jenis perangkat penangkapan ikan, sering disebut sebagai pukat harimau.
Tumbuhan Invasif
Spesies tumbuhan, umumnya bukan asli di suatu habitat, yang ditanam secara
sengaja atau karena terbawa oleh faktor alam, namun kemudian mampu berkembang
biak secara massal dan menguasai wilayah tumbuh komunitas spesies tumbuhan
lainnya.
UNDP United Nations Development Program, suatu badan PBB untuk pembangunan
Lampiran-Lampiran L- 8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
USAID
United State Aid, Lembaga Bantuan dari Amerika Serikat untuk Pembangunan di
Negara Berkembang
Valuasi Ekonomi
Cara penilaian ekonomi sumber daya alam dengan menetapkan atau mengukur
nilainya secara moneter.
WWF
World Wide Fund for Nature atau lebih dikenal dengan World Wildlife Fund, Lembaga
internasional untuk pelestarian sumberdaya alam
Lampiran-Lampiran L- 9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 2. Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat
oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.
0
Suhu Udara ( C)
Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des
1997 maksimum - - 35.42 34.73 34.88 33.02 32.99 32.98 33.78 34.88 33.05
1997 rata-rata - - 26.92 26.89 26.4 25.43 25.34 25.93 27.11 27.17 27.48
1997 minimum - - - 22 22.74 21.4 20.83 20.02 20.76 22.84 22.2 22.88
1998 maksimum 36.31 36.15 36.21 36.92 37.26 34.19 34.6 34.19 35.59 37.02 36.12 33.53
1998 rata-rata 27.83 27.28 27.88 27.86 28.17 26.91 26.42 26.44 26.75 27.31 27.61 27.29
1998 minimum 22.72 23.05 23.14 23.51 23.45 23.26 21.36 22.62 22.82 23.11 23.19 22.11
1999 maksimum 36.35 35.09 35.81 35.56 35.37 35.6 34.59 34.58 35.13 36.36 33.08 33.55
1999 rata-rata 27.7 27.22 27.26 27.26 26.85 26.4 25.69 25.44 26.13 26.96 26.94 27.19
1999 minimum 22.93 22.2 22.7 22.79 22.99 22.45 21.2 21.87 21.96 22.99 22.91 22.71
2000 maksimum 35.87 34.9 37.07 35.64 - - - - - - - -
2000 rata-rata 26.96 27.14 27.27 27.25 - - - - - - - -
2000 minimum 22.85 22.45 22.03 22.71 - - - - - - - -
Sumber: BP Pertamina (2002)
Lampiran 3. Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000)
berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.
Lampiran-Lampiran L- 10
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 4. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar
Alam Teluk Bintuni
Lampiran 5. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai),
Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran 6. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk
Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 11
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 7. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi
Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran 8. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung
Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran 9. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni),
Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 12
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 10. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat
Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung
Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha)
Tiang Total
Pohon potensi
Jenis Famili
Potensi/phn Potensi/ha Potensi/phn Potensi/ha Rata2/ha
Diamter Tinggi N/ha Diamter Tinggi N/ha
(M3/phn) (M3/ha) (M3/phn) (M3/ha) (m3/ha)
R. apiculata Rhizophoraceae 14.7 11.8 150 0.2 13.81 21.34 14 2.08 0.5 0.48 14.29
B. Rhizophoraceae
30.57 16.5 4.17 1.2 2.32 2.32
gymnorrhiza
C. decandra Rhizophoraceae 16.88 12 8 0.3 0.99 35.59 16.4 14.58 1.6 10.94 11.92
R. mucronata Rhizophoraceae 16.03 12.3 25 0.2 2.85 28.66 18 2.08 1.2 1.11 3.96
X. Meliaceae
30.15 14.8 60.42 1.1 29.35 29.35
moluccensis
A. alba Avicenniaceae 16.73 12.2 108 0.3 13.32 29.61 15.8 104.17 1.1 52.11 65.42
Lampiran 11. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam
Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 13
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 12. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting
Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai
Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran 13. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat
Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam
Teluk Bintuni (20 m x 140 m = 0,28 ha).
Tiang Pohon
Total
Jenis Fam. potensi/ha
Potensi/phn Potensi/ha Diamter Tinggi Potensi/phn Potensi/ha
Diamter Tinggi N/ha N/ha (M3/ha)
(M3/phn) (M3/ha) (Cm) (M) (M3/phn) (M3/ha)
R. apiculata Rhizophoraceae 19.3 12 50 0.4 4.91 35.5 14.4 100 1.4 39.89 44.80
D. spathacea Bignoniaceae 17.2 10 17 0.2 1.11 27.4 12.8 45.83 0.8 9.68 10.79
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 36.3 15.1 29.17 1.6 12.76 12.76
B. sexangula Rhizophoraceae 12.9 6.5 33 0.1 0.78 26.9 13 20.83 0.7 4.31 5.09
X. granatum Meliaceae 15.9 10 33 0.2 1.83 24.7 10.8 16.67 0.5 2.41 4.25
C. decandra Rhizophoraceae 13.9 7.5 33 0.2 2.15 30.3 10.7 8.33 0.8 1.80 3.94
R. mucronata Rhizophoraceae 38.4 11 12.5 1.3 4.46 4.46
X. moluccensis Meliaceae 22.6 7.5 8.33 0.3 0.70 0.70
A. alba Avicenniaceae 35.7 15 4.17 1.5 1.75 1.75
S. alba Sonneratiaceae 33.4 25 4.17 2.2 2.56 2.56
C. decandra Rhizophoraceae 13.7 7 17 0.1 0.49
Lampiran-Lampiran L- 14
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
A. General
The document of Bintuni Bay Nature Reserve Management plan has tried to establish based
on Fully Participatory Method. By doing this, implementation team could get as many as
opinions and inputs in which useful during implementation of the management plan of BBNR.
In related to this matter, there was an activity carried out during the establishment of 1st draft
of Management Plan of Bintuni Bay Nature Reserve called Village meeting in 14 villages
(kampung/kelurahan) in and surrounding BBNR. The aim of this activity was to gain more
information about interaction between communities and the site as well their “expectation” to
the BBNR in supporting their daily life now and future.
Information collected individually in every single village and need to be confirmed through a
special meeting (workshop) by inviting the traditional community members (masyarakat adat)
which are represented by head of tribe (Kepala Suku), head of kampong (Kepala Kampung),
and one respect person (Tokoh Masyarakat) in the village.
In addition, to improve the available 1st draft, it is necessary to be discussed (presented) with
the all stakeholders involved: Bupati Kab. Teluk Bintuni, Local institutions (Dinas terkait),
Regional Planning Agency (Bappeda), Local NGO, and Communities represented by
Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-
Moskona (LEMASOM).
B. Objective
1. To verify all the information collected from every single village inside and surrounding
the Bintuni Bay Nature Reserve.
2. Discussion amongst villagers who live inside and surrounding the BBNR about their
expectation to the BBNR.
3. To formulate a “commitment” amongst the communities who live inside and
surrounding the BBNR.
Lampiran-Lampiran L- 15
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
The objective of the 2nd-day workshop was presentation of the 1st draft of the management
plan of Bintuni Bay Nature Reserve in order to get inputs and critics from stakeholders
present in this workshop.
C. Participant
In the 1st day meeting, twenty-five people were present representing head of tribe (Kepala
Suku), head of kampong (Kepala Kampung), and one respect person (Tokoh Masyarakat) in
the village, Church (Klasis GKI Bintuni), BKSDA Papua II, and PHKA Jakarta. Whilst the 2nd
day workshop was attended by fifty-five participants representing local government (Bupati
Teluk Bintuni), local institutions (dinas-dinas terkait), Regional Planning Agency (Bappeda),
University (UNIPA), British Petroleum Tangguh Project, Local NGO (Mitra Pesisir Bintuni),
Head of traditional community organisation represented by the head of Lembaga
Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-Moskona
(LEMASOM), Church represented by the head of Klasis GKI Bintuni, and communities who
come to the 1st day workshop.
D. Programme
Opening Session
The meeting was opened at 9.00 on Wednesday 1 June, 2005. The programme of the
opening session included:
x Praying was lead by Pdt. A. Kondologit, S.Th., The head of Gospel Christian Church
(GKI) in Papua, Bintuni.
x Remarks by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni.
x Opening the workshop formally by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni representing Bupati Kabupaten Teluk Bintuni.
Roundtable Discussion
This discussion was lead by the implementation team from The Nature Conservancy (TNC).
There were three main issues raised during the roundtable discussion as follow:
x What are allowed and not allowed to be done in Bintuni Bay Nature Reserve?
x How the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and
surrounding the Bintuni Bay can participate in protecting and keeping the reserve?
x What kind of traditional rule should the people form outside the traditional community
members (masyarakat adat) want to do something inside the BBNR?
Lampiran-Lampiran L- 16
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
During this session, all the issues discussed were concluded as a COMMITMENT produced
by the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay.
1. Every body could use resources in BBNR, BUT must follow the rule made amongst
traditional community members as follow:
(1) Report all activities against the rule agreed to the management of BBNR:
(2) Catch on the spot whoever break the rule agreed;
Lampiran-Lampiran L- 17
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
(3) Form a working group at every village inside and surrounding the BBNR during the
implementation of management plan.
3. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay also asked for the local government to support the management through:
During the implementation of commitment above, working group will be formed consist of
represent of traditional people (masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni
Bay. The main job of this working group is to formulate the law enforcement of the
commitment agreed which is assisted by local government and sponsor (TNC and BKSDA II
Papua).
Closing Session
The meeting was formally closed at 3.00 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).
Opening Session
The meeting was opened at 9.30 on Thursday 2 June, 2005. The programme of the opening
session included:
x Praying was lead by Pdt. A. Konologit, STh, The head of Gospel Christian Church (GKI)
in Papua, Bintuni.
x Workshop-Committee Report, by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni.
x Remarks by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.
x Opening the workshop formally by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.
Presentation of the 1st draft of MP of Bintuni Bay Nature Reserve and Roundtable Discussion
In this session, the implementation team of establishing the MP of Bintuni Bay Nature
Reserve presented the 1st draft of Management Plan. Following are several inputs and issues
have been raised during the roundtable discussion:
Lampiran-Lampiran L- 18
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
2. The status of the Bintuni Bay Nature Reserve is not yet definitive as Nature Reserve;
7. Pay more attention in increasing the economic sector of the traditional communities
who live inside and surrounding the BBNR;
8. Socialise the management plan to the communities inside and surrounding the BBNR
is important;
10. Integrated management organisation (lembaga pengelola terpadu) during the first 5-
year implementation of MP is necessary;
Closing Session
The meeting was formally closed at 3.30 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).
Lampiran-Lampiran L- 19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 15. Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature
Reserve Management Plan
8.30 Registration
9.00 Opening Session
Praying Ketua Klasis GKI Bintuni
Remarks Mr. C. Thesia, on behalf of The head of
Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni
8.30 Registration
9.30 Opening Session
Praying Ketua Klasis GKI Bintuni
12.00 Lunch
13.00 Roundtable Discussion Implementation Team
Lampiran-Lampiran L- 20
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 16. A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the
traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni
Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni
LOKAKARYA
PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
TGL 1 JUNI 2005
KAMI MASYARAKAT YANG ADA DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM
MENYATAKAN SIKAP KAMI ANTARA LAIN:
UNTUK ITU, KEGIATAN YANG BOLEH DILAKUKAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM
TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:
Lampiran-Lampiran L- 21
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
DEMIKIAN KESEPAKATAN YANG KAMI BUAT DARI 14 KAMPUNG YANG ADA DI DALAM
DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
Lampiran-Lampiran L- 22
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 17. Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan
Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005).
Lampiran-Lampiran L- 23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran-Lampiran L- 24
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 18. Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030
Rencana Pengelolaan
! S/ Cagar Alam Teluk
Bintuni
. = Kantor
/ S = Pondok Kerja
. G ! ! = Menara Pengawas
/ = Tanda larangan
G = Pondok Peneliti
! = Pemukiman
/
!
/
S
/
!
Lampiran-Lampiran L- 25
Apa Kata Mereka
ISBN : 979-97700-4-1