You are on page 1of 25

Dermatosis Eritroskuamosa

Dermatosis eritroskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama oleh


adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa kemerahan
yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat reversibel. Skuama
merupakan lapisan dari stratum korneum yang terlepas dari kulit. Maka, kelainan kulit
yang terutama terdapat pada dermatosis eritroskuamosa adalah berupa kemerahan dan
sisik/terkelupasnya kulit.
Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang digolongkan
di dalamnya, antara lain: psoriasis, parapsoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan
eritroderma.

PSORIASIS
Definisi
Psoriasis ialah sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses
pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini terkadang untuk jangka
waktu lama dan berulang (kronik residif), penyakit ini secara klinis sifatnya tidak
mengancam jiwa, tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh
mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup serta menggangu kekuatan mental
seseorang bila tidak dirawat dengan baik.
Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang biasanya berlangsung
selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita psoriasis
berlangsung secara cepat yaitu sekitar 2–4 hari, (bahkan bisa terjadi lebih cepat)
pergantian sel kulit yang banyak dan menebal.
Sampai saat ini penyakit Psoriasis belum diketahui penyebabnya secara pasti,
sehingga belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total penyakit ini.

Epidemiologi
Psoriasis dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dengan angka kesakitan (insiden
rate) yang berbeda. Pada orang kulit putih lebih tinggi dibanding kulit berwarna.
Sedangkan dari segi umur, Psoriasis dapat mengenai semua usia, namun biasanya lebih
kerap dijumpai pada dewasa.

1
Etiologi
Penyebab Psoriasis hingga kini belum diketahui secara pasti. Diduga beberapa
faktor sebagai pencetus timbulnya Psoriasis, antara lain:
• Faktor herediter (genetik).
Disebutkan bahwa seseorang beresiko menderita Psoriasis sekitar 34-39% jika salah
satu orang tuanya menderita Psoriasis, dan sekitar 12% jika kedua orang tuanya tidak
menderita Psoriasis.
• Faktor psikis.
Sebagian penderita diduga mengalami Psoriasis karena dipicu oleh faktor psikis.
Sedangkan stress, gelisah, cemas dan gangguan emosi lainnya berperan menimbulkan
kekambuhan. Padahal penderita Psoriasis pada umumnya stress lantaran melihat bercak
di kulitnya yang tak kunjung hilang.
• Faktor infeksi fokal.
Beberapa infeksi menahun (kronis) diduga berperan pada timbulnya Psoriasis.
• Penyakit metabolik (misalnya diabetus melitus laten).
• Faktor cuaca.
Pada beberapa penderita mempunyai kecenderungan membaik saat musim panas dan
kambuh pada musim hujan.
Silang pendapat seputar faktor-faktor pemicu timbulnya Psoriasis masih
berlangsung. Karenanya tak perlu heran jika kita mendengar berbagai perbedaan terkait
pencetus Psoriasis.

Gambaran klinis
Pada tahap permulaan, mirip dengan penyakit-penyakit kulit dermatosis
eritroskuamosa (penyakit kulit yang memberikan gambaran bercak merah bersisik).
Namun gambaran klinis akan makin jelas seiring dengan waktu lantaran penyakit ini
bersifat menahun (kronis).
Gejala-gejala Psoriasis adalah sebagai berikut, awalnya, psoriasis ditandai dengan
bercak merah, kadang gatal, berbatas jelas yang tiba-tiba muncul di kulit, terutama di
siku, lutut, daerah tulang ekor (lumbosakral), kepala dan daerah genital. Di permukaan
bercak terdapat sisik (skuama) berwarna putih mirip mika atau putih keperakan, kering,
berlapis, kasar dan transparan.
Selanjutnya, bercak merah membesar, dan beberapa bercak bergabung membentuk

2
bercak yang lebih lebar. Bercak pada umumnya berbentuk bulat atau oval, berukuran satu
hingga beberapa sentimeter dan menetap dalam waktu yang lama. Selain di kulit,
psoriasis dapat mengenai kuku dan sendi (jarang).
Berdasarkan bentuk klinis, psoriasis dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
1. Psoriasis vulgaris
Bentuk ini ialah yang lazim ditemukan, karena itu disebut vulgaris. Dinamakan juga
tipe plak karena lesinya pada umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya seperti
yang telah diterangkan di atas.
2. Psoriasis pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis jenis ini, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis
pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata. Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis
pustulosa palmo-plantar (Barber). Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis
pustulosa generalisata akut (von Zumbusch).
a. Psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber)
Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau
telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul
kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal.
b. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch)
Sebagai faktor provokatif banyak, misalnya obat yang tersering karena
penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya
(ampisilin dan amoksisilin) serta antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin,
kalium jodida, morfin, sulfapiridin, sulfonamida, kodein, fenilbutason dan
salisilat. Faktor lain selain obat, ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres
emosional, serta infeksi bakterial dan virus.
Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah menderita
psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah menderita
psoriasis.
Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum
berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada makin
eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa
pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul milier pada
plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi membentuk “lake of
pus” berukuran beberapa cm.

3
Kelainan-kelainan semacam itu akan berlangsung terus menerus dan dapat
menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukositosis (dapat
mencapai 20.000/μl), kultur pus dari pustul steril.
3. Psoriasis arthritis
Timbul dengan peradangan sendi, sehingga sendi terasa nyeri, membengkak dan kaku,
sama persis seperti gejala rematik. Pada tahap ini, penderita harus segera ditolong agar
sendi-sendinya tidak sampai terjadi keropos.
4. Psoriasis gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbul mendadak dan diseminata,
umumnya setelah infeksi streptococcus di saluran napas bagian atas sehabis influenza
atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul
setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral.
5. Psoriasis inversa
Disebut juga psoriasis fleksural karena mempunyai tempat predileksi pada daerah
fleksor sesuai dengan namanya.
6. Psoriasis eritroderma
Dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya
sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena
terdapat eritema dan skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak
samar-samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.

Penatalaksanaan
Mengingat bahwa hingga kini belum dapat diberikan pengobatan kausal
(menghilangkan penyebabnya), maka pengobatan yang dilakukan adalah upaya untuk
meminimalisir keluhan, yakni:
1. Menekan atau menghilangkan faktor pencetus (stress, infeksi fokal, menghindari
gesekan mekanik, dll).
2. Mengobati bercak-bercak psoriasis.
• Pengobatan topikal (obat luar: salep, krim, pasta, larutan) merupakan pilihan
utama untuk pengobatan psoriasis. Obat-obat yang lazim digunakan, antara lain:
Kortikosteroid (misalnya: triamsinolon asetonid, fluosinolon asetonid,
betamethason valerat, betamethason benzoat), Ter (misalnya, LCD 2-5%), antralin
0,1-0,8%, Kalsipotriol, dll. Selain itu, pada beberapa penderita tertentu dilakukan

4
pengobatan penyinaran dengan ultraviolet.
• Pengobatan sistemik (obat minum, suntikan). Cara ini dilakukan dengan berbagai
pertimbangan karena adanya kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya
pada pemakaian jangka panjang. Obat-obat yang biasa digunakan diantaranya:
kortikosteroid, metotreksat (MTX), retinoid, siklosporin.
• Pengobatan kombinasi, cara ini meliputi: kombinasi psoralen dengan penyinaran
ultraviolet (PUVA), kombinasi obat topikal dan sistemik.

Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini bersifat
kronik residif. Belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total karena
penyebab pasti psoriasis belum diketahui. Namun, psoriasis dapat dikendalikan agar tidak
mudah kambuh dengan cara menghindari faktor-faktor pencetusnya.

PARAPSORIASIS
Definisi
Parapsoriasis adalah suatu kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema dan
skuama, pada umumnya tanpa keluhan dan berkembang secara perlahan-lahan dan kronik.
Tahun 1902, Brocq pertama kali menggambarkan 3 tanda utama yaitu Pityriasis
lichenoides (akut dan kronik), Parapsoriasis plak yang kecil dan Parapsoriasis plak yang
luas (parapsoriasis dan plak).
Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
• Parapsoriasis gutata
• Parapsoriasis variegata
• Parapsoriasis en plaques
Parapsoriasis menggambarkan kelompok penyakit yang sulit dipahami dan
dibedakan gambaran klinisnya. Ada 2 bentuk umum: tipe plak kecil, yang biasanya
bersifat ringan dan tipe plak besar yang merupakan precursor dari cutaneous T-cell
lymphoma (CTCL). Beberapa pasien dengan parapsoriasis tipe plak kecil akhirnya
berkembang menjadi CTCL.

Epidemiologi
Tidak ada data statistik tentang insiden dan frekuensi parapsoriasis. Pasien dengan

5
parapsoriasis plak besar bisa tidak diketahui bila terjadinya secara asimptomatik. Insiden
parapsoriasis bisa lebih besar dari insiden MF yang dilaporkan, yang mana kasusnya
paling banyak 3 kasus per juta populasi per tahun. Kematian telah dilaporkan pada
parapsoriasis. Morbiditas dibatasi dengan gejala yang masih minimal, untuk parasporiasis
plak besar, mortalitas bisa dihubungkan dengan progresifitas CTCL. Tahap patch MF bisa
di dapat pada tahap awal CTCL, dan harapan hidup selama 5 tahun lebih 90%. Harapan
hidup jangka panjang tidak berbeda dari populasi yang terkontrol.
Gambaran penyakit ini jarang terjadi pada orang kulit hitam. Distribusi geografi
berbeda. Hal ini umum terjadi pada bagian selatan daripada bagian utara Inggris dan
jarang ditemukan di Amerika. Psoriasis plak kecil banyak terdapat pada laki-laki. Rasio
laki-laki dengan perempuan 3:1. Untuk kedua parapsoriasis, kebanyakan terjadi pada
umur pertengahan, insiden puncaknya pada dekade kelima kehidupan.

Patogenesis
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada
umumnya tanpa keluhan(kadang-kadang gatal ringan), perjalanannya perlahan-lahan dan
menahun. Namun, penyakit ini mempunyai tahap yang berbeda pada gangguan
lymphoproliferative yang berlanjut dari kronik dermatitis ke cutaneous T-cell lymphoma
(CTCL).
Parapsoriasis plak kecil merupakan proses reaktif dari sebagian besar sel T CD4+.
Pola genotip diobservasi pada parapsoriasis plak kecil sama dengan yang diobservasi pada
dermatitis kronik dan pola klonalitas sel T sama dengan respon sel T subset spesifik yang
telah distimulasi oleh antigen. Klone multiple dominant dapat dideteksi oleh reaksi rantai
polymerase (PCR) dari penggunaan gen reseptor sel-T, yang mendukung proses reaktif.
Limfosit tidak menunjukkan gambaran khas histologis untuk memperkirakan perubahan
terjadinya keganasan. Beberapa ahli percaya bahwa parapsoriasis plak kecil merupakan
lymphoma sel-T yang hancur; bagaimanapun, sampai saat ini belum ada bukti yang jelas,
seperti perubahan genetik (contohnya, mutasi TP53) yang diobservasi pada keganasan
yang lain yang terdapat untuk mendukung hal ini. Namun, pencarian untuk memverifikasi
hipotesis ini adalah identifikasi terbaru dari peningkatan aktivitas telomerase pada sel T
dari CTCL stadium awal, lymphoma stadium lanjut dan pada parapsoriasis, yang mana
aktivitasnya tidak terdapat pada sel-T normal.
Parapsoriasis plak besar merupakan gangguan inflamasi kronik, dan
patofisiologinya telah dispekulasi menjadi stimulasi antigen jangka panjang. Gangguan

6
ini dihubungkan dengan penggandaan sel-T dominan, salah satunya bisa terdapat diatas
50% dari infiltrasi sel-T. Jika gambaran histologisnya benigna tanpa atipikal limfosit,
klasifikasi dari parapsoriasis plak besar dibuat. Jika terdapat atipikal limfosit, maka pasien
bisa diklasifikasikan sebagai CTCL tahap patch.

Gambaran klinis
• Parapsoriasis Gutata
Lesi dari parapsoriasis gutata adalah makulopapul yang mirip dengan psoriasis gutata,
dengan skuama berwarna keabu-abuan. Tidak seperti psoriasis, parapsoriasis gutata
tidak berespon terhadap terapi antipsoriatik. Lesi muncul terutama pada badan, terjadi
pada umur berapa saja dan kedua jenis kelamin, dan bersifat kronik (bertahan sampai
bulan hingga tahun).
• Parapsoriasis Likenoid
Parapsoriasis likenoid digambarkan dengan eritem, skuama, papul likenoid, terutama
pada badan, yang cenderung bergabung dan membentuk retiform appearance. Erupsi
lebih menyeluruh dibanding pada parapsoriasis gutata dan menyerang leher, badan,
dan lengan. Biasanya tidak terdapat pruritus, dan tidak mempengaruhi kesehatan
pasien secara umum.
• Parapsoriasis en Plaque
Lesi dari parapsoriasis en plaque biasanya lebih besar dari parapsoriasis gutata atau
parapsoriasis likenoid. Lesinya rata dibandingkan psoriasis dan mungkin berhubungan
dengan poikiloderma pada tempat lain. Plak mencakup warna merah kekuningan
sampai kecoklatan dengan skuama yang berbatas tegas, dan terjadi biasanya terutama
pada badan, gluteus, dan paha.

Pemeriksaan Penunjang
Histopatologis parapsoriasis plak kecil menunjukkan infiltrat limfosit perivaskular
superfisial ringan dengan infiltrat inflamasi nonspesifik sel-T CD4+ dan CD8+.
Bagaimanapun, sebagian besar sel merupakan CD4+. Pada epidermis bisa menunjukkan
spongiosis ringan, hiperkeratosis fokal, krusta, parakeratosis dan eksositosis. Selalunya
polanya tidak terdiagnosis dan tidak spesifik. Limfositnya kecil dan tidak menunjukkan
gambaran atipikal.
Parapsoriasis plak besar, infiltrat inflamasi dermal superfisial sebagian besar

7
adalah limfosit. Beberapa limfosit junction epidermal-dermal dan limfosit tunggal dapat
diobservasi pada epidermis. Limfosit biasanya kecil dan tidak menunjukkan nuclei yang
atipikal. Pembuluh darah melebar, dan terdapat melanophages. Epidermis menunjukkan
pendataran rete ridges ketika terjadi atropi epidermal yang menonjol pada uji klinis.
Terdapat achantosis dari epidermis dan hiperkeratosis irregular dari lapisan cornified.
Pada parapsoriasis plak kecil tidak terdapat spongiosis.

Penatalaksanaan
Penyinaran dengan lampu ultraviolet merupakan terapi yang paling sering
mendatangkan banyak manfaat dan dapat membersihkan sementara ataupun menetap,
atau bahkan hanya meninggalkan scar yang minimal. Penyakit ini juga dapat membaik
dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada pengobatan
psoriasis. Meskipun demikian hasilnya bersifat sementara dan sering kambuh. Obat yang
digunakan diantaranya : kalsiferol, preparat ter, obat antimalaria, derivat sulfon, obat
sitostatik, dan vitamin E.
Adapun pengobatan parapsoriasis gutata akut dengan eritromisin (40 mg/kg berat
badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek
menghambat kemotaksis neutrofil.

Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding adalah ptiriasis rosea dan psoriasis. Psoriasis berbeda
dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal,kasar, berlapis-lapis, dan
terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu gambaran histopatologiknya
berbeda.
Ruam pada pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi
perjalanannya tidak menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain adalah pada
pitiriasis rosea susunan ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Pitiriasis rosea
ditandai dengan suatu lesi yang berukuran 2-10 cm. Biasanya pitiriasis rosea berawal
sebagai suatu bercak tunggal dengan ukuran yang lebih besar, yang disebut herald patch
atau mother patch. Beberapa hari kemudian akan muncul bercak lainnya yang lebih kecil.
Bercak sekunder ini paling banyak ditemukan di batang tubuh, terutama di sepanjang
tulang belakang dan penyebabnya tidak diketahui.

Komplikasi

8
Perkembangan dari dermatitis kontak berhubungan dengan penggunaan agen
kemoterapi. Mortalitas belum pernah dilaporkan pada small plaque parapsoriasis.
morbiditas terbatas pada gejala, yang hanya berefek minimal. Untuk large plaque
parapsoriasis, mortalitas mungkin berubungan dengan progresi ke MF (CTCL). Pada
tingkatan tertentu dari MF menunjukkan stage awal dari CTCL, dan tingkat survive lebih
dari 90%.

Prognosis
Parapsoriasis secara khusus memiliki perjalanan penyakit yang kronik dan lama, kecuali
parapsoriasis en plaque yang berpotensi untuk menjadi mikosis fungoides, yang
berpotensi lebih fatal.

DERMATITIS SEBOROIK
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah
kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea. Prevalensi dermatitis seboroik
sebanyak 1% - 5% populasi. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit
ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada
usia 3 bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun.
Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa
kanak-kanak. Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup
semua umur didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki
dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin
bertambah umur anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini
menderita dermatitis seboroik ringan.
Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan
bentuk ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi.

Definisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah
tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial,
didasari oleh faktor konstitusi.

Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai

9
macam faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor
neurogenik diduga berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor
predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik.
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat
mengenai bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah
pubertas. Pada bayi dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan
setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan
proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal. Ragi genus
ini dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid
sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa
Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang
berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi
belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bisa terjadi.
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsy,
major truncal paralysis) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar
disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita
tersebut sebagai akibat peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi
tertentu, seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun
dermatitis seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita
AIDS dapat mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset
dermatitis seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum
diketahui.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seboroik. Obat-obat
tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin,
ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa,
phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, dan trioxsalen.

Klasifikasi dan Manifestasi Klinik


Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung
kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya
melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan

10
jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis
auditoris external dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik
dapat mengenai daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal,
infra mamae, dan anogenital.
Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada remaja dan dewasa
Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak
ringan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada
belakang telinga. Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan
peningkatan kelenjar sebasea (misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan
dan daerah infra mamae), kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe
dermatitis seboroik dapat ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe
pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan
perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama berminyak. Papul tersebut
menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti medali (medallion
seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan patch yang
menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi.
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling
(ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan
tidur.
2. Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks
kulit kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana
pada anak-anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan
dicirikan oleh oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau
kuning. Gejala klinik pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat
setelah kelahiran. Dermatitis dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering
terlibat disertai dengan eksudat seperti keju yang bermanifestasi sebagai diaper
dermatitis yang dapat menjadi general. Dermatitis seboroik general pada bayi dan
anak-anak tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan dengan defisiensi sistem
imun. Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita dermatitis seboroik general
sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiner’s disese). Sehingga apabila
bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem imunnya.
Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:

11
1. Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuning-
kuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang
disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan
berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe). Pasien
mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa
gejala-gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan
frekuensi pemakaian shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut.
Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin memburuk.
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia
dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat
sampai ke dahi, disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada
kepala bayi disebut Cradle cap.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada
wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis
atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika
dibiarkan tidak diterapi akan menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang
dapat terjadi infeksi bakterial.
2. Seboroik muka
Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula
eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan.
Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa
didapati di daerah berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis.
Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya.
Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis barbae.
3. Seboroik badan dan sela-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus,
krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada
permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah
badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di
daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi
sekunder.

Diagnosis

12
1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/dandruft.
Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap
dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas.
Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya
tidak disertai rasa gatal.
Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta
keras. Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke
kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga.
Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi,
alis lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental
dapat terjadi.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan
hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis.
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis.
Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia
follicular. AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis,
nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang
tampak dalam keratinosites dengan pengecatan khusus.

Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitea. Bayi
dapat menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu
(misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor)
menyerupai dermatitis seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki
ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal.
Membedakannnya berdasarkan gejala klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E
pada dermatitis atopik tidak spesifik.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohifa.

13
3. Langerhans cell histiocytosis
Bayi jarang menderita Langerhans cell histiocytosis. Langerhans cell histiocytosis
cirinya seborrhoic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam.
4. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti
mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis. Tanda
lain dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu
membedakan.
5. Pitiriasis rosea
Pitiriaris rosea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik.
Meskipun rosea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya
pada dahi. Pada pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang
lesi sejajar dengan garis kulit.
6. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia
kapitis dan tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif
dibandingkan tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat
ditemukan hipa pada pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida.

Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi, keratolitik,
anti jamur dan pengobatan alternatif.
1. Obat anti inflamasi
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan
steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa
shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan
pada kulit kepala atau krim pada kulit.
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang
pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama
penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek
vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi
akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama
terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses

14
inflamasi seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena
kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu
atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal
potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah
lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole
dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua
minggu). Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping
pada kulit dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim
pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi
kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga
terlibat, tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu.
2. Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik
yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan
shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti
fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan
rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit
kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti
wajah.
3. Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis
seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali
sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada
wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai.
Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim
atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal
lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti
inflamasi juga.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical
terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.
4. Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan

15
minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan
baik jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%.

Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot


Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif
dengan memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe
yang mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif
lain shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan
daerah jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat
dipakai setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat
dikendalikan frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau
seperlunya. Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada
kulit kepala.
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan
dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan
dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam
setelahnya.
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit
kepala dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada
malam hari diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan
peradangan bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali
seminggu. Solusio kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari
di tempat fluocinolon acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang.
Pemberian kortikosteroid dapat diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan
eritemanya hilang dan kemudian dipakai lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan
shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien dianjurkan agar memakai steroid
topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang berlebihan dapat menyebabkan atrofi
dan telangiectasi pada kulit.
Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut “cradle cap”. Dapat mengenai
kulit kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat
sembuh secara spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya
dapat dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada
kepala, skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi
kemudian dibilas.

16
Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif
untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal
untuk dermatitis seboroik.

Penatalaksaan pada tubuh


Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau
dengan dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai
krim ketokonazole 2 % dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-
2 kali sehari. Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh.
Pasien harus membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut.

Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat


Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi
topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi
pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum.
Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 – 0,3
mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis
pemeliharaan 5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin
memiliki efek samping serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan
hepatitis. Efek samping mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis
dan kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang berhubungan dengan perkembangan
diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH).
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam
kombinasi yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti
jamur dan steroid topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek
. Pilihan terapinya mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate
(Elocon) atau menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II
seperti clobetasol propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas
III harus dipakai lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I.
Obat tersebut dapat diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi

17
harus dihentikan setelah dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika
pasien respon sebelum dua minggu, obat harus di stop sesegera mungkin.
Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan
ointment. Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan
kream sering digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering
digunakan pada kulit kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada
orang kulit putih dan asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment
merupakan pilihan yang lebih baik.

Edukasi
Penderita harus diberitahu bahwa penyakit berlangsung kronik dan sering kambuh.
Harus dihindari factor pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak dan
sebagainya.

Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan.

PITIRIASIS ROSEA
Definisi
Pitiriasis rosea adalah salah satu penyakit kulit yang digambarkan oleh Camille
Melchior Gilbert (tahun 1860) sebagai penyakit kulit papulosquamous (Robert A Allen,
MD), yakni penyakit kulit dengan tanda bercak bersisik halus, berbentuk oval dan
berwarna kemerahan. Sementara Richard Lichenstein, MD, menyebutkan bahwa Pitiriasis
rosea sudah dikenal sejak lebih dari 2 abad yang lalu. Pitiriasis rosea bersifat self limited
atau sembuh sendiri dalam 3-8 minggu.

Etiologi
Penyebab pitiriasis rosea masih belum pasti, tetapi banyak gambaran klinis dan
epidemiologi yang menunjukkan bahwa agen penginfeksi bisa terlibat. Epidemik sejati
belum dilaporkan, dan kemungkinan bahwa pengalaman klinis terbaru dengan penyakit
ini dapat meningkatkan kecenderungan untuk mendiagnosa kasus-kasus selanjutnya bisa
mengarah pada kesan yang keliru bahwa penyakit ini menular. Akan tetapi, bukti
epidemiologi yang dilaporkan untuk keterlibatan infeksi (meskipun rendah) mencakup

18
perjangkitan yang jarang dalam keluarga atau rumah tangga, dengan fluktuasi musiman
dan dari tahun ke tahun, bukti statistik untuk pengelompokan dalam ruang dan waktu, dan
kejadian yang lebih tinggi diantara para ahli dermatologi dibanding para juru bedah
telinga, hidung dan tenggorokan dan ahli-dermatologi pra-spesialisasi. Riwayat alami
penyakit, yakni lesi utama yang bisa terdapat pada tempat inokulasi, erupsi sekunder
menular setelah interval tertentu dan tidak seringnya serangan kedua, menunjukkan ciri-
ciri yang sama dengan banyak penyakit yang penyebabnya telah dipastikan infeksi.
Gejala-gejala konstitusional ringan yang sesekali telah dilaporkan dan bisa mendukung
keterlibatan infeksi pada penyakit ini, tetapi tidak sering ditemukan pada 108 pasien yang
mengalami pitiriasis rosea dibanding dengan kontrol yang jumlahnya sama. Perburukan
kondisi yang menyertai terapi steroid oral ditemukan pada beberapa kasus dan erupsi-
erupsi mirip pitiriasis rosea telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang,
walaupun beberapa efek etiologi bisa terlibat pada situasi seperti ini.
Pencarian mikroorganisme yang kemungkinan terlibat terus berlanjut. Kecurigaan-
kecurigaan awal terhadap jamur, streptococci, spirochaetes dan Legionella belum dapat
dikuatkan, dan kebanyakan spekulasi sekarang ini berfokus pada etilogi virus. Berbagai
upaya untuk mengkulturkan virus dari kulit yang terkena tidak membuahkan hasil.
Partikel-partikel mirip virus yang dideteksi secara ultrastruktural beberapa tahun yang lalu
dan partikel-partikel mirip herpes virus yang baru-baru dilaporkan telah ditemukan pada
71% lesi pitiriasis rosea. Keterlibatan dua herpes virus, HHV-6 dan HHV-7, telah diduga
sebagai penyebab untuk erupsi. DNA virus dilaporkan terdapat pada sel-sel mononuklear
darah perifer dan kulit berlesi dan kulit yang tidak terkena pada kebanyakan (80-100%)
orang yang mengalami pitiriasis rosea akut. HHV-7 dideteksi sedikit lebih sering
dibanding HHV-6, tetapi seringkali kedua virus ini ditemukan bersamaan. Akan tetapi,
bukti untuk keberadaan dan aktivitas HHV-6 atau HHV-7 juga ditemukan pada beberapa
(10-44%) orang yang tidak terkena, sehingga menunjukkan bahwa jika ada hubungan
sebab-akibat, maka infeksi dengan virus tidak selamanya mengarah pada penyakit. Tidak
semua peneliti yang telah meneliti di bidang ini menemukan adanya virus-virus ini pada
pasien yang mengalami pitiriasis rosea atau menemukan adanya hubungan meski
hubungan yang tidak signifikan.
Ada beberapa laporan yang mengkaitkan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea
dengan obat. Ruam-ruam yang disebabkan oleh arsenik, bismuth, emas dan metopromazin
tampaknya lebih besar kemungkinannya memiliki reaksi lichenoid atipikal. Obat-obat lain
yang terlibat mencakup antara lain metronidazol, barbiturat, klonidin, captopril dan

19
ketotifen. Pada beberapa laporan, kemiripan erupsi dengan pityriasis rosea tidak terlalu
dekat, dan pada beberapa laporan lainnya kemiripan yang kebetulan ini bisa menjelaskan
hubungan tersebut. Sehingga, meskipun beberapa erupsi obat bisa menyerupai kondisi ini,
belum ada bukti meyakinkan bahwa pityriasis rosea tipikal bisa disebabkan oleh obat.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang diduga
berhubungan dengan timbulnya Pitiriasis rosea, diantaranya:
• Faktor cuaca hal ini karena Pitiriasis rosea lebih sering ditemukan pada musim semi
dan musim gugur.
• Faktor penggunaan obat-obat tertentu seperti bismuth, barbiturat, captopril, merkuri,
methoxypromazine, metronidazole, D-penicillamine, isotretinoin, tripelennamine
hydrochloride, ketotifen, dan salvarsan.
• Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis atopi, seborrheic
dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pitiriasis rosea dijumpai pada penderita
penyakit dengan dermatitis atopik, dermatitis seboroik, acne vulgaris dan ketombe.

Gejala klinis
Tahap awal Pitiriasis rosea ditandai dengan lesi (ruam) tunggal (soliter) berbentuk
oval, berwarna pink dan di bagian tepi bersisik halus. Diameter sekitar 1-3 cm. Kadang
bentuknya tidak beraturan dengan variasi ukuran 2-10 cm. Tanda awal ini disebut herald
patch yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Rasa gatal ringan dialami
oleh sekitar 75 % penderita dan 25 % mengeluh gatal berat.
Tahap berikutnya timbul sekitar 1-2 minggu (rata-rata 4-10 hari) setelah lesi awal,
ditandai dengan kumpulan lesi (ruam) yang berbentuk seperti pohon cemara terbalik
(Christmas tree pattern). Tempat tersering (predileksi) adalah badan, lengan atas dan paha
atas. Pada tahap ini Pitiriasis rosea berlangsung selama beberapa minggu. Selanjutnya
akan sembuh sendiri dalam 3-8 minggu.
Selain bentuk ruam kemerahan bersisik halus, variasi bentuk yang tidak khas
(atipik) dapat dijumpai pada sebagian penderita Pitiriasis rosea, terutama pada anak-anak,
berupa urtikaria, vesikel dan papul.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Pemeriksaan darah rutin tidak
dianjurkan karena biasanya memberikan hasil yang normal.

20
Diagnosis banding
1. Sifilis sekunder
Riwayat timbulnya chancre, tidak terdapat herald patch, lesi terdapat pada telapak
tangan dan kaki, dapat disertai oleh kondiloma lata, umumnya disertai keluhan
sistemik dan adanya limfadenopati. Apabila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
serologi (VDRL) untuk menyingkirkan diagnosis sifilis sekunder.
2. Tinea korporis
Gambaran klinis mirip yaitu berupa eritema dan skuama di pinggir serta bentuknya
anular. Perbedaanny yaitu pada pitiriasis rosea rasa gatal tidak begitu berat jika
dibandingkan dengan tinea korporis, dan skuama pada tinea korporis lebih kasar.
Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan KOH.
3. Dermatitis numularis
Lesi berbentuk bulat bukan oval, berupa vesikel atau papulovesikel yang
penyembuhannya dimulai dari tengah. Lesi lama berupa likenifikasi dan skuama.
Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan biopsy.
4. Psoriasis guttata
Plak umumnya lebih kecil dibandingkan plak pada pitiriasis rosea, skuama tipis,
diagnosis dipastikan dengan biopsy.
5. Pitiriasis likenoid kronis
Perjalanan panyakit yang berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, skuama lebih tipis,
tidak terdapat herald patch, dan lesi banyak ditemukan pada ekstremitas.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatis, untuk gatal dapat diberikan
sedativa, sedangkan sebagai obat topical dapat diberikan bedak asam salisilat yang
dibubuhi mentol 1/2 – 1 %.

Edukasi
Walaupun Pitiriasis rosea bersifat self limited ( sembuh sendiri ), bukan tidak
mungkin penderita merasa risau dan sangat terganggu. Untuk itu diperlukan penjelasan
kepada penderita tentang penyakit yang dideritanya, antara lain:
• Menjelaskan kepada penderita dan keluarganya bahwa Pitiriasis rosea akan sembuh

21
dalam waktu lama.
• Lesi kedua rata-rata berlangsung 2 minggu, kemudian menetap selama sekitar 2
minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa kasus
dilaporkan bahwa Pitiriasis rosea berlangsung hingga 3-4 bulan.

ERITRODERMA
Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun
sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut (keduanya
boleh digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian besar kulit
berwarna merah, meradang dan berskuama.

Definisi
Terdapat beberapa definisi yang sering digunakan untuk menjelaskan eritroderma,
antara lain :
• Eritroderma (dermatitis eksfoliativa) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan
adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama.
• Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau
di seluruh tubuh.
• Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai
dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh.
• Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang
progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang
kurang lebih menyeluruh.

Etiologi
Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :
1. Eritroderma eksfoliativa primer
Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis
konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum.
2. Eritroderma eksfoliativa sekunder
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya,
sulfonamide, analgetik / antipiretik dan tetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh, dapat terjadi pada liken planus, psoriasis,

22
pitiriasis rubra pilaris, pemfigus foliaseus, dermatitis seboroik dan dermatitis
atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.

Patofisiologi
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum (lapisan kulit yang
paling luar) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler, hipoproteinemia dan
keseimbangan nitrogen yang negatif. Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas,
sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliativa memberikan efek yang nyata
pada keseluruh tubuh.
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari
permukaan kulit sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel-sel
yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai
sisik / plak jaringan epidermis.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya
berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat / metaboliknya yang berupa
hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan, serum / protein
dari membran sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat
berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.

Manifestasi klinis
• Eritroderma akibat alergi obat, biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut
dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh, sedangkan skuama baru
muncul saat penyembuhan.
• Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering addalah psoriasis dan
dermatitis seboroik pada bayi (Penyakit Leiner).
- Eritroderma karena psoriasisDitemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak
meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan
pitting nail.

23
- Penyakit Leiner (eritroderma deskuamativum)Usia pasien antara 4-20 minggu
keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama
seluruh tubuh disertai skuama kasar.
- Eritroderma akibat penyakit sistemik, termasuk keganasan. Dapat ditemukan
adanya penyakit pada alat dalam, infeksi dalam dan infeksi fokal.

Pengobatan
1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya penyakit ini.
2. Rawat pasien di ruangan yang hangat.
3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya dehidrasi,
gagal jantung, dan infeksi).
4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti.
5. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat didiagnosis
adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis.
6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang melatarbelakanginya.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang
disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari – beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid.
Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak
tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan
perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis,
maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati
dengan etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga
beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik.
Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas
kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien
untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin
10%.

Prognosis

24
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan
golongan yang lain.
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan
kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, 2007, Edisi 5, Adhi Juanda, Dermatosis
Eritroskuamosa, 189-202, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. http://medlinux.blogspot.com/2007/08/dermatitis-seboroik.html
3. http://cakmoki86.wordpress.com/2010/02/08/pityriasis-rosea/
4. http://www.pajjakadoi.co.tv/2010/04/pityriasis-rosea.html
5. http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/05/parapsoriasis.html
6. http://rusari.com/askep_eritroderma.html

25

You might also like