Professional Documents
Culture Documents
Muhammad Yaumi
(UIN Alauddin Makassar)
tentang hubungan antara teori belajar dan praktek atau penyelenggaraan pendidikan.
“Instructional theory is defined as identifying methods that will be best provide the
conditions under which learning goals will most likely be attained.”2 Dalam definisi ini,
terdapat tiga komponen yang perlu mendapat penekanan, yakni metode, kondisi, dan
yang dilakukan oleh pendidik dan pengembang untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Selain itu, teori pembelajaran adalah serangkaian prinsip yang terintegrasi dari teori
belajar, teori-teori lain yang relevan, dan hasil penelitian yang memungkinkan
1
Snelbecker, Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design, New York:
McGraw-Hill Book Campany, 1974, hh.16— 17.
2
Charles M. Reigeluth, Instructional Design Theories and Models, dikutip tidak langsung oleh Marcy P.
Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, Second Edition (Massachusetts: Pearson Education
Company, 2000), h. 344.
3
Patricia L. Smith and Tillman J. Ragan, The Impact of R.M. Gagne’ s Work on Instructional Theory,
chapter 6 dalam Rita C. Richey, The Legacy of Robert M. Gagne (Syracuse: ERIC Clearinghouse on
Information and Technology, h. 147.
Hakekat teori pembelajaran adalah sebagai upaya untuk mengaitkan peristiwa
rasional antara peristiwa belajar, pengaruhnya terhadap proses belajar, dan hasil
belajar yang diperoleh dari proses-proses tersebut.4 Dalam hal ini, teori belajar
dipandang sebagai penggunaan berbagai teori, prinsip, metode, atau strategi dalam
construction dan instruction. Construction dilakukan untuk peserta didik (dalam hal ini
peserta didik pasif), sedangkan instruction dilakukan oleh peserta didik (di sini, peserta
didik aktif). Namun, prinsip konstruktivisme yang menekankan bahwa peserta didik
membutuhkan manipulasi materi yang dipelajari secara aktif, bukan secara pasif. Jika
4
Robert M. Gagne, The Condition of Learning (New York: CBS College Publishing, 1985), h.244.
5
Charles M. Reigeluth dan Alison A. Carr-Chellman, Instructional-Design Theories and Models Volume
III: Building a Common Knowledge Base (New York: Routledge, 2009), h.6.
dipahami sebagai upaya yang disengaja untuk mengelola kejadian atau peristiwa
belajar dalam menfasilitasi peserta didik sehingga memperoleh tujuan yang dipelajari.6
a. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Prinsip adalah suatu kebenaran, dasar hukum, doktrin, atau kekuatan pendorong
atas yang lain. Prinsip adalah pandangan yang luar biasa yang sering diterima sebagai
hal keimanan. Prinsip juga dianggap sebagai elemen penting atau konstituen dari suatu
proses.7 Dengan demikian, prinsip pembelajaran adalah karakteristik kunci dari suatu
suatu model atau metode pembelajaran, tetapi aspek yang mendasari berbagai model
dan metode. Prinsip-prinsip yang dijabarkan di sini adalah prinsip pembelajaran David
Merril yang diberi istilah first principle of instruction dan prinsip pembelajaran
situasional.
6
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, second edition (Massachusetts: A
Pearson Education Company, 2000), h.345.
7
Farrokh Alemi, Process Improvement, 2011, h.1 (http://gunston.gmu.edu/708/whatprin.htm).
First principle of instruction mencakup lima prinsip atau dinyatakan dalam fase-
fase yang disebut dengan fase-fase pembelajaran, yakni demonstrasi, aplikasi, prinsip
berbasis pada tugas, aktivasi, dan integrasi,8 sebagaimana digambarkan di bawah ini.
integrasi aktivasi
TUGAS
aplikasi demonstrasi
difasilitasi bila peserta didik terlibat dalam strategi pembelajaran yang berpusat pada
tugas, (2) belajar difasilitasi ketika pengetahuan diaktifkan sebagai dasar untuk
didemonstrasikan pada peserta didik, (4) belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru
diterapkan oleh peserta didik, (5) belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru terintegrasi
8
M. David Merrill, First Principle of Instruction, 2011, hh. 44— 45
(http://mdavidmerrill.com/Papers/firstprinciplesbymerrill.pdf).
Selain dari prinsip Merrill, prinsip kedua adalah pembelajaran situasional
tidak universal karena hanya diterapkan dalam situasi tertentu. Prinsip situasional
terjadi pada suatu rangkaian kesatuan (continuum) dari situasi yang sangat umum
kepada suatu situasi sangat lokal (situasi yang diterapkan amat sangat jarang). Situasi
tersebut menjadi sangat penting ketika berupaya menciptakan ketelitian pada prinsip-
pun bagi peneliti untuk merancang penelitian yang berguna untuk mengonstruksi dasar
pengetahuan umum. Oleh karena itu, , perlu memperhatikan tiga prinsip, yakni jenis-
jenis (kinds), bagian-bagian (parts), dan kriteria (criteria).10 Pertama, jenis mencakup
situasional dalam hal ini tergantung dari jenis situasi di mana pembelajaran itu
diimplementasikan.
bagian dapat menggunakan berbagai macaqm cara tergantung dari situasi di mana
9
Reigeluth dan Chellman, op.cit., h.59.
10
Ibid, 60.
bagian tesebut sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dengan demikian, semua bagian-
Ketiga, prinsip situasi berhungan dengan kriteria yang menentukan standar atau
indikator suatu model yang dikembangkan baru dikatakan memenuhi kriteria baik atau
sebaliknya. Kriteria merupakan suatu standar dalam mengukur dan menilai suatu
pembelajaran yang berhasil didesain secara baik dan benar. Oleh karena itu,
yang diharapkan. Namun demikian, tidak ada suatu prinsip yang jauh lebih baik dari
b. Metode Pembelajaran
Beberapa istilah yang hampir sama dengan metode yaitu strategi, pendekatan,
mata kuliah, atau modul. Hal ini mencakup cara yang direncanakan oleh pengembang
Selain itu, strategi pembelajaran juga dipahami sebagai rencana khusus yang
mengarahkan setiap bagian dari pengalaman belajar, seperti satuan atau pelajaran
dalam suatu mata pelajaran, mata kuliah atau modul.11 Definisi pertama disebut dengan
11
William J Rothwell dan H.C. Kazanas, Mastering the Instructional Design Process (San Francisco:
Pfeiffer, 2004), h.222.
strategi pembelajaran makro dan kedua strategi pembelajaran mikro. Selanjutnya,
membaca independen, studi kasus, ceramah, simulasi komputer, lembar kerja, projek
kelompok kooperatif, dan sebagainya.12 Strategi mikro itulah yang disebut dengan
menyajikan (menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan) isi pelajaran kepada
yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai
secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.
Pendekatan (approach) menetapkan arah umum atau lintasan yang jelas untuk
pembelajaran yang mencakup komponen yang lebih tepat atau rinci. Perhatikan istilah
12
Walter Dick, Lou Carey, dan James O. Carey, The Systematic Design of Instruction , Six Edition (New
York: Pearson, 2005), hh.-183— 184.
13
AT & T, Communication Learning and Development Organization (1985) dalam M. Atwi Suparman,
Desain Instruksional (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 205.
14
M. Atwi Suparman, Desain Instruksional (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 217.
15
Direktorat Tenaga Kependidikan, Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya (Jakarta: Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h.
3.
(pembelajaran berbasis pengalaman), direct instruction (pembelajaran langsung), dan
correlative assumption dealing with the nature of language teaching and learning. An
menggambarkan sifat dari mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Dapat juga
pembelajaran induktif.18
Teknik bersifat implementatif yang terjadi dalam ruang kelas. Teknik harus sesuai
dengan metode dan pendekatan.19 Dengan demikian, teknik adalah cara yang
taktik dalam pembelajaran merupakan gaya yang diperankan oleh pendidik secara
16
Reigeluth and Chellman, op.cit., h. 31.
17
Jack C Richards and Theodore S Rodgers. 1986. Approaches and Methods in Language Teaching: A
description and analysis. (Cambridge: Cambridge University Press), h. 9.
18
Direktorat Tenaga Kependidikan, op.cit., h. 5.
19
Richards and Rodgers, op.cit., h.10.
individu (yang berbeda dengan pendidik lainnya) dalam mengimplementasikan teknik
Kembali pada hakekat metode pembelajaran, di mana tidak semua metode cocok
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Hal ini tergantung dari
memegang peran penting dalam menciptakan kondisi belajar yang dapat menfasilitasi
peserta didik di dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Oleh karena itu,
demonstrasi, adalah diskusi, simulasi, pemberian tugas dan resitasi, tanya jawab,
pemecahan masalah (problem solving), sistem regu, metode latihan (drill), karyawisata
(field trip), ekspositori, inkuiri, kontekstual, bermain peran, induktif, deduktif, dan lain-
lain. Metode-metode seperti yang dipaparkan di atas hanyalah sebagian kecil dari
paling tidak sekitar empat puluh sembilan metode,20 atau sekitar dua puluh metode.21
metode, atau strategi mikro, yang juga disebut aktivitas pembelajaran merupakan
20
Reigeluth and Chellman, op.cit., hh.36— 39.
21
Suparman, op. cit., hh.218— 231.
22
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom (Alexandria: ASCD, 2009), hh. 72— 97.
c. Peristiwa Pembelajaran
peserta didik dan pendidik yang terjadi secara komplementer (saling isi mengisi) dan
dapat dipahami bahwa belajar hanya bisa terjadi jika terjadi aktivasi dalam proses
Oleh karena itu, pembelajaran menggambarkan paling tidak tiga kategori utama,
sebagai berikut:
1. Belajar dipandang sebagai suatu proses internal yang terjadi pada individu
23
Dieudonné Leclercq dan Marianne Poumay, The 8 Learning Events Model and its principles, 2011, h.1
(http://www.labset.net/media/prod/8LEM.pdf).
2. Kemampuan dan kinerja sebagai hasil belajar yang diselenggarakan dapat
dikategori ke dalam dua bagian utama; pertama, berorintasi praktis, dan kedua
yang dilaksanakan.
dalam peristiwa belajar atau yang dikenal dengan the nine event of instruction, yang
mencakup;
24
Gagne, op.cit., h. 246.
Masing-masing dari sembilan peristiwa belajar tersebut di atas dapat disertai
dengan satu atau lebih aktivitas pembelajaran (instructional activity) yang dibedakan
menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh pendidik (instruktur) dalam menfasilitasi
peristiwa belajar, perlu dihubungkan dengan proses belajar internal yang diikuti dengan
komponen tersebut terdiri atas; (1) aktivitas sebelum pembelajaran, (2) penyajian isi
pembelajaan, (3) partisipasi peserta didik, (4) penilaian, (5) aktivitas atau kegiatan
tindak lanjut.26
aktivitas yang dilakukan sebelum memulai pembelajaran formal yang menyajikan isi
informasi kepada peserta didik. Paling sedikit ada tiga faktor yang perlu diperhatikan
dalam mendesain aktivitas pendahuluan, yakni memberi motivasi kepada peserta didik,
memberi informasi kepada peserta didik tentang apa yang akan dipelajari, dan
pembelajaran.
25
Robert M Gagne dkk, Principles of Instructional Design (USA: Thomson Wadsworth, 2005), h. 195.
26
Dick and Carey, op.cit., hh.190— 197
Kedua, aktivitas inti atau penyajian isi pembelajaran adalah penyajian informasi,
konsep, aturan-aturan, atau prinsip isi pembelajaran kepada peserta didik. Konsep yang
didiskusikan atau dijelaskan tidak keluar dari esensi yang seharusnya menjadi inti
pembahasan. Konsep yang menjadi inti pembahasan bukan saja berhubungan dengan
konsep-konsep yang lain, atau konsep dan pengalam yang telah ada pada peserta
didik. Perlu juga menentukan jenis atau sejumlah contoh dari masing-masing konsep
karena di satu sisi peserta didik belajar tentang konsep dan cara menggunakan contoh
dan petunjuk kerja untuk menyelesaikan tugas pembelajaran. Peserta didik dalam
penyajian konten (isi) pembelajaran di sini menyiratkan adanya totalitas isi yang
Ketiga, partisipasi peserta didik, yang merujuk pada keterlibatan langsung peserta
didik dalam proses pembelajaran. Salah satu komponen yang paling penting dalam
proses pembelajaran adalah praktek yang diikuti dengan kegiatan umpan balik. Proses
pembelajaran akan dapat ditingkatkan ketika adanya aktivitas yang relevan dengan
tujuan pembelajaran. Peserta didik perlu diberi kesempatan untuk mempraktekkan apa
yang telah dan akan dipelajari. Salah satu bentuk pendekatan yang biasa digunakan
kepada peserta didik untuk menguji atau memaparkan kembali tugas yang telah
dipelajari. Pendekatan ini tidak hanya menyangkut segala sesuatu yang mampu
dilakukan, tetapi juga diberi kesempatan untuk dilakukan umpan balik atau menanyakan
informasi mengenai kinerja yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik. Misalnya;
penjelasan tentang jawaban yang benar atau salah. Jika jawaban peserta didik salah,
terhadap apa yang telah dipahami, dimengerti, dan yang dapat dilakukan oleh peserta
keputusan terhadap sesuatu dengan mengacu pada ukuran tertentu, seperti menilai
baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, tinggi atau rendah, dan
sebagainya. Kata lain yang hamper sama dengan penilaian adalah evaluasi dan
pengukuran. Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau
membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan atau program telah tercapai.
atau memberi angka terhadap sesuatu yang disebut objek pengukuran atau objek
ukur.28 Seharusnya dalam penilaian hasil belajar, perlu dibedakan antara the learning
(materi perolehan belajar) dan the learner (posisi peserta didik dalam kelompok).
Penilaian terhadap the learning menggunakan criterion referenced test untuk menilai
27
University of Oregon, How do you define assessment? 2011, h.1
(http://medsci.indiana.edu/m620/reserves/def_assess.pdf).
28
Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan (Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2004), hh. 1— 2.
perolehan yang sudah dicapai individu secara tuntas. Sedangkan the learner
menggunakan norm referenced test untuk menilai kedudukan individu dalam kelompok
atau kedudukan kelompok dalam posisinya terhadap seluruh populasi secara normal.29
penilaian yang dapat dilakukan melalui tes dan non-tes. Tes adalah alat yang
seperangkat konten atau materi tertentu. Tes dapat dibagi ke dalam empat bagian,
yakni tes prasyarat, prates, tes praktek, dan posttest. Tes prasyarat; berfungsi untuk
yang bertujuan untuk menilai apakah peserta didik telah menguasai sebagian atau
seluruhnya tentang materi yang akan diperoleh pada pembelajaran. Tes praktek
(practice test), penilaian yang bertujuan mengetahui partisipasi aktif peserta didik
pembelajaran.
pengetahuan peserta didik telah memenuhi semua tujuan pembelajaran atau belum.
Untuk mengetahui hal ini, perlu dilakukan dengan mereviu analisis konteks kinerja,
29
Conny R Semiawan, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 191.
yang menggambarkan kondisi peserta didik dalam mengusai dan mampu melakukan
A. Kegiatan Pendahuluan
B. Penyajian konten
1. Konten
2. Contoh-contoh
1. Praktek
2. Umpan Balik
D. Asesmen/penilaian
1. Tes prasyarat
2. Pretest
3. Posttest
1. Pengayaan
disebut tujuan instruksional umum (TIU) dengan tujuan instruksional khusus (TIK).
Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) atau kurikulum tingkat satuan pendidikan
(SK), kompetensi dasar (KD), dan indikator. Standar Kompetensi adalah seperangkat
kompetensi yang dibakukan sebagai hasil belajar materi pokok tertentu dalam satuan
satuan pendidikan per satu kelas yang harus dicapai peserta didik selama satu
semester. Kompetensi Dasar adalah rincian kompetensi dalam setiap aspek materi
pokok yang harus dilatihkan kepada peserta didik sehingga kompetensi dapat diukur
Indikator merupakan wujud dari KD yang lebih spesifik, yang merupakan cerminan dari
kemampuan peserta didik dalam suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar yang
telah dilalui.30
melalui tiga aspek, yakni; (1) pernyataan umum yang jelas tentang hasil belajar peserta
didik, (2) berhubungan dengan analisis kebutuhan dan masalah yang diidentifikasi, dan
30
Sri Jutmini dkk, Panduan Penyusunan Silabus dan Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2007), h.8.
31
Dick and Carey, op. cit., h. 31.
(3) yang dapat diperoleh melalui pembelajaran. Artinya, hasil belajar peserta didik perlu
diarahkan pada kebutuhan sesuai dengan hasil analisis dan untuk dapat mencapainya
Pernyataan tujuan mencakup lima kategori atau lima jenis kemampuan, yaitu (1)
informasi verbal, (2) kemampuan intelektual, (3) kemampuan kognitif, (4) sikap, dan (5)
prosedural dan terbagi ke dalam lima sub kategori; diskriminasi, konsep konkrit, definisi
konsep, aturan, aturan kompleks. Kedua, kemampuan kognitif mencakup berbagai cara
menghadapi ujian. Peserta didik dapat mencapai kemampuan ini melalui pengalaman
seseorang terhadap tingkatan sesuatu, orang, atau kejadian. Ketika sikap untuk
memilih sesuatu dikelola dalam suatu rangkaian secara konsisten, filosofi, atau
pandangan yang mengatur tindakan seseorang, maka sikap tersebut menjadi suatu
nilai. Sikap dapat menentukan peserta didik untuk dapat menerima atau menolak
sesuatu secara tepat dan akurat yang melibatkan penggunaan otot atau tenaga, seperti
32
Gagne, op.cit., h.46.
menendang bola ke gawang, memasukkan bola ke dalam kerancang basket, dan
sebagainya.
dengan taksonomi tujuan pembelajaran atau dikenal dengan istilah taksonomi Bloom
yang mencakup tiga domain; kognisi, afeksi, dan psikomotor.33 Domain kognisi
domain afeksi terdiri atas berbagai konstruksi; khusus bagi para pendidik, digambarkan
berhubungan dengan perkembangan keterampilan fisik mulai dari kerja fisik sederhana
sampai pada kemampuan kerja otot yang lebih rumit. Pada awal tahap perkembangan
psikomotor, peserta didik mulai meniru apa yang dilakukan gurunya dengan mengulangi
kegiatan fisik yang bersifat demonstratif dan melakukan trial and error, percobaan dan
salah sampai tercapainya respon yang sesuai. Hal ini terus berjalan sampai pada tahap
di mana peserta didik mampu melakukannya sendiri secara akurat. Ketiga domain inilah
pertumbuhan budi pekerti (karakter, atau kekuatan batin), pikiran (kognisi atau
intelektualitas), dan jasmasi atau tubuh yang terintegrasi dalam suatu bagian yang tak
terpisahkan satu dengan yang lain. Istilah budi pekerti berasal dari kata budi yang
berarti pikiran, perasaan, atau kemauan, sedangkan kata pekerti berarti tenaga. Jadi,
budi pekerti adalah bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan
33
Benjamin S Bloom, David R. Krathwohl, and Bertram B Masia, Taxonomy of Educational Objectives:
The Classification of Educational Goals (London: Long Mans Green and CO LTD, 1964), h.6.
yang kemudian menimbulkan tenaga. Dengan budi pekerti manusia berdiri sebagai
insan yang merdeka yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri yang
oleh berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat padahal secara
kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia
sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam
berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan
pendidikan Barat khususnya Amerika dalam taksonomi pembelajaran tidak lebih sempurna
dari taksonomi KHD yang terdiri atas olah otak, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Namun,
dalam realitasnya, guru dan para perancang pembelajaran lebih cenderung merujuk
pada taksonomi Bloom yang akar spiritualitasnya belum terintegrasikan. Hal ini
dilakukan mengingat taksonomi Bloom telah dirumuskan lebih jelas sehingga indikator
Domain Kognisi
sampai pada keterampilan berpikir tingkat tinggi atau mulai dari tingkat pengetahuan,
34
Ki Hadjar Dewantara, Bagian I Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977),
h. 25.
tingkat rendah sampai pada tingkat sintesis dan evaluasi yang merupakan keterampilan
penamaan yang semula menggunakan kategori kata benda menjadi kata kerja dan
berpikir yang harus terintegrasi dalam tujuan pembelajaran. Taksonomi yang baru ini
merefleksikan bentuk sistem berpikir yang lebih aktif dan akurat dibandingkan dengan
evaluasi menciptakan
sintesis mengevaluasi
menganalisis
35
Craig M Edward dan Gary E Briers, Higher-Order Thingking Versus Lower-Order Thinking Skills:
DoesSchool Day Scheduling Pattern Influence Achievement at Different Levels of Learning? 2010, h.11
(http://www.jsaer.org/pdf/Vol50/50-00-015.pdf).
36
J. S. Atherton, Learning and Teaching; Bloom's taxonomy, 2010, hh.1— 2
(http://www.learningandteaching.info/learning/bloomtax.htm).
(pengetahuan berdasarkan pengalaman), (2) contextual knowledge (pengetahuan
diperoleh, pengetahuan deklaratif merujuk apa yang harus dan perlu diketahui, dan
Domain Afeksi
Domain afektif meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat emosional, seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap.38
tertentu, bahan, atau fenomena. Artinya, kesediaan peserta didik untuk menghadiri
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan mata pelajaran tertentu. Hal ini berkaitan
domain afektif.
Tanggapan merujuk kepada tingkat yang lebih tinggi berupa partisipasi aktif dari
peserta didik dalam menerima disertai dengan reaksi tertentu. Penilaian berkaitan
dengan nilai yang melekat pada peserta didik tentang objek tertentu, fenomena, atau
perilaku yang berimplikasi pada pada tingkat penerimaan dan komitmen. Pencapaian
hasil belajar teridentifikasi dengan jelas dari ranah penilaian. Organisasi merujuk pada
upaya menyatukan nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik, dan membangun sistem
dan sintesis terhadap hasil belajar dan interaksi interpersonal yang signifikan. Pada
tingkat tertinggi dari domain afektif, ditandai dengan penilaian kompleks, sistem nilai
peserta didik mengontrol perilaku dalam waktu yang cukup lama guna membentuk
gaya hidup atau karakter. Belajar pada tingkat ini mencakup berbagai aktivitas, sosial,
serta individu.
lingkungan kita masing-masing, maka peserta didik tidak saja didorong untuk menerima
informasi yang disajikan melalui proses pembelajaran, melainkan harus diarahkan pada
bentuk dan variasi, melainkan juga harus diarahkan pada bagaimana membentuk
pribadi yang mandiri sehingga memiliki karakter untuk berbicara dan menyampaikan
bahwa domain afektif sangat penting dalam belajar, tetapi merupakan suatu domain
yang jarang diintegrasikan, sering diabaikan, masih samar-samar, dan dianggap belum
berlangsung dalam ruang kelas, mayoritas tenaga pengajar lebih cenderung menyentuh
domain kognisi sehingga materi, metode, dan media pembelajaran yang digunakan
lebih dominan didesain dan diarahkan pada pemberdayaan aspek kognisi. Demikian
pula, evaluasi pembelajaran yang dikembangkan, aspek kognisi menjadi bagian yang
sangat ditekankan ketimbang aspek afeksi. Itulah sebabnya kesadaran untuk menerima
masukan dan arahan pihak lain begitu pula etika dan moral serta tata cara menanggapi
bahkan pembentukan karakter yang merupakan aspek paling tinggi dalam domain
menjadi patokan dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran. Jika hari ini
telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi intelektual
menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menempuh
budaya bangsa. Akibatnya, menipisnya tatakrama, etika, dan kreatifitas anak bangsa
menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dalam menata pendidikan di
bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk menghasilkan peserta didik yang
masih menyisahkan tanda tanya yang begitu dalam padahal domain afektif itulah yang
selama ini belum dijadikan sandaran utama dalam penyelenggaraan pendidikan kita.
Domain Psikomotor
dalam hal kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur, atau teknik dalam pelaksanaan.39
dan gerakan fisik, begitu juga keterampilan sosial seperti komunikasi dan
dianggap paling relevan dan bermanfaat untuk pengembangan kerja dan kehidupan
terkait, meskipun domain psikomotor dianggap lebih relevan dan bermanfaat untuk jenis
39
Atherton, op.cit., h.3— 4.
Persepsi, kemampuan untuk menggunakan isyarat sensorik untuk memandu
aktivitas motorik. Hal ini berkisar dari rangsangan sensorik, melalui seleksi isyarat
keterampilan yang kompleks mencakup imitasi dan trial and error. Kemantapan dalam
kinerja dapat dicapai melalui latihan. Mekanisme, merupakan tahap peralihan dalam
dipelajari telah menjadi kebiasaan dan gerakan dapat dilakukan dengan penuh
melibatkan pola gerakan yang kompleks. Kemahiran ditunjukkan dengan kinerja yang
cepat, akurat, dan sangat terkoordinasi, dan hanya membutuhkan energi yang minim.
Kategori ini termasuk melakukan tindakan tanpa ragu-ragu, dan kinerja otomatis.
memukul bola tenis atau melempar bola, karena mereka dapat menceritakan dengan
perasaan ketikaq bertindak hasil apa yang akan dapat diperoleh. Adaptasi,
menciptakan pola gerakan baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah
Bloom, Benjamin S., Krathwohl, David R., and Masia, Bertram B., Taxonomy of
Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, London: Long
Mans Green and CO LTD, 1964.
Dewantara, Ki Hadjar, Bagian I Pendidikan,Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa, 1977.
Djaali dan Muljono, Pudji, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2004.
Dick, Walter, Carey, Lou, dan Carey, James O., The Systematic Design of Instruction ,
Six Edition, New York: Pearson, 2005.
Edward, Craig M dan Briers, Gary E., Higher-Order Thingking Versus Lower-Order
Thinking Skills: DoesSchool Day Scheduling Pattern Influence Achievement at
Different Levels of Learning? 2010, (http://www.jsaer.org/pdf/Vol50/50-00-
015.pdf).
Gagne, Robert M. dkk, Principles of Instructional Design, USA: Thomson Wadsworth,
2005.
Gagne, Robert M., The Condition of Learning, New York: CBS College Publishing,
1985.
Leclercq, Dieudonné dan Poumay, Marianne, The 8 Learning Events Model and its
principles, 2011, (http://www.labset.net/media/prod/8LEM.pdf).
Marzano, Robert J and Kendall, John S., The New Taxonomy of Educational
Objectives, Second Edition, California: Corwin Press, 2007.
Merrill, M. David First Principle of Instruction, 2011,
(http://mdavidmerrill.com/Papers/firstprinciplesbymerrill.pdf).
Reigeluth, Charles M. dan Carr-Chellman, Alison A., Instructional-Design Theories and
Models Volume III: Building a Common Knowledge Base, New York: Routledge,
2009.
Richards, Jack C and Rodgers. Theodore S., Approaches and Methods in Language
Teaching: A description and analysis, Cambridge: Cambridge University Press,
1986.
Rothwell, William J dan Kazanas, H.C., Mastering the Instructional Design Process, San
Francisco: Pfeiffer, 2004.