You are on page 1of 18

ANALISIS KETEPATAN DIAGNOSA DAN PEMBERIAN JENIS OBAT PADA BALITA

SAKIT ISPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN TERPADU

BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS KOTA BANDUNG

Sharon Gondodiputro1, Henni Djuhaeni 2

1&2
Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine , Universitas Padjadjaran Bandung ,

West Java, Indonesia

ABSTRAK

Setiap tahun lebih dari 10 juta balita di Negara berkembang meninggal sebelum mencapai

usia 5 tahun. Penyebab kematian ini pada umumnya dapat dicegah. Dengan terbatasnya sumber

daya di Negara-negara berkembang, maka sejak tahun 1994, WHO dan UNICEF mengembangkan

program Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita

Sakit (MTBS) dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketepatan diagnosa dan penggunaan obat-obatan pada

balita dengan ISPA kasus baru secara efektif dan efisien di Puskesmas yang telah dilatih MTBS

dibandingkan dengan Puskesmas yang belum dilatih MTBS.

Suatu studi Cross-sectional bersifat analitik dilakukan pada 184 balita dengan ISPA kasus .

Hasilnya adalah terdapat perbedaan signifikan dalam ketepatan diagnosa dan penggunaan obat

(p=0,000; <0,05). Di Puskesmas yang sudah dilatih MTBS, dari seluruh kasus baru ISPA , 40.2%

dapat dideteksi sebagai kasus Pnemonia, sedangkan di Puskesmas belum MTBS hanya dapat

mendeteksi kasus Pnemonia sebesar 20.1%. Di Puskesmas yang telah dilatih MTBS memberikan

1 – 2 jenis obat, sedangkan di Puskesmas yang belum dilatih MTBS memberikan 4–5 jenis obat.

Ke- dua hal tersebut membuktikan bahwa program MTBS di pelayanan kesehatan primer

1
(Puskesmas) sangat efisien dan efektif, sehingga disarankan bahwa seluruh Puskesmas yang ada

sebaiknya dilatih untuk melaksanakan program MTBS.

Kata kunci : MTBS, Ketepatan diagnosa, Efisiensi obat

ANALYSIS OF DIAGNOSIS ACCURACY AND USED OF DRUGS ON UPPER

RESPIRATORY INFECTION (URI) USING INTEGRATED MANAGEMENT OF

CHILDHOOD ILLNESS (IMCI) AT COMMUNITY HEALTH CENTER , BANDUNG

MUNICIPALITY

Sharon Gondodiputro1, Henni Djuhaeni 2

1&2
Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine , Universitas Padjadjaran Bandung ,

West Java, Indonesia

ABSTRACT

Most developing countries concern that expenditure on health was increasing and resources

are scarce. Those situations, have led to the introduction of many health programs that are cost

effective. Each year more than 10 million children in developing countries die before they reach

their fifth birthday. Most of deaths can be prevented. Since 1994 WHO and UNICEF developed a

strategy called Integrated Management of Childhood Illness (IMCI).

This study aimed to evaluate accuracy of diagnosis and drug use efficiency at Puskesmas

(Community Health Center- 1st health facility) with IMCI program for new Acute Respiratory

Infection (ARI) cases in under 5 year-age children.

A Cross-sectional Analytic study was done with 184 cases of ARI. Data were analyzed

using Chi Square test. There are significant differences between Puskesmas with IMCI program

and Puskesmas non IMCI program (p=0,000; <0,05). At Puskesmas with IMCI program, they

2
could detected about 40.2% cases of pneumonia compared 20.1% cases of pneumonia at Puskesmas

non IMCI program. At Puskesmas with IMCI program they gave 1-2 sorts of drugs,whereas at

Puskesmas non IMCI they gave 4–5 sorts of drugs. Those results showed that IMCI program at

first level health facility (Puskesmas) proved to be efective and drug efficient

Keywords : IMCI , Diagnosis accuracy, Drug efficiency

PENDAHULUAN

Di Negara berkembang , setiap tahunnya kurang lebih 12 juta anak meninggal sebelum

ulang tahunnya yang kelima dan sebagian besar disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut (

ISPA ) , Diare dan Campak 1. Di Indonesia diperkirakan kematian karena Pnemonia adalah 6 per

1000 balita (150,000 balita) per tahun 2

Program ISPA telah dilakukan sejak tahun 1980 di seluruh Indonesia yaitu menerapkan

pendekatan diagnosa Pnemonia dan Pnemonia Berat melalui pemeriksaan nafas cepat dan tarikan

dinding dada ke dalam . Dikatakan bahwa bila hal ini diterapkan dengan baik , maka mampu

mencegah kematian balita akibat ISPA sampai 60 – 80 %. Namun sampai saat ini program ISPA

belum berjalan sesuai dengan standar operasional . Hal ini dapat dilihat pada hasil survey tahun

1995 yang menunjukkan bahwa hanya 5 % petugas kesehatan melakukan tatalaksana ISPA dengan

benar 3

Pada tahun 1994 , WHO bekerjasama dengan UNICEF mengembangkan suatu pendekatan baru

yang dinamakan Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yaitu pendekatan baru yang

memadukan upaya promotif , preventif dan kuratif serta tatalaksana lima penyakit yang

menimbulkan tujuh dari sepuluh kematian bayi dan balita yaitu Pnemonia , Diare , Campak ,

Malaria dan Malnutrisi 4. Dasar pemikiran program ini adalah 5,6:

3
- Pada balita yang sakit, umumnya menunjukkan gejala dan tanda dari beberapa kondisi,

sehingga kemungkinan didapatkan lebih dari satu diagnosis.

- Bila hal tersebut terjadi, maka pengobatan yang dilakukan harus berupa kombinasi, bukan

hanya satu pengobatan saja

- Perhatian tidak hanya ditujukan kepada penyakitnya saja, tetapi harus kepada balita secara

utuh.

- Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas pelayanan seperti ketersediaan obat,

organisasi dari sistem kesehatan, rujukan pelyanan dan perilaku masyarakat perlu

diperhatikan dalam satu strategi integrasi

Indonesia mengadaptasi dan mengadopsi pendekatan ini dengan nama Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS) . Pelaksanaan program MTBS ini membutuhkan kerjasama dan koordinasi di

seluruh tingkatan sistem kesehatan dengan harapan dapat meningkatkan efektivitas pelayanan dan

menurunkan biaya bila tujuan program ini tercapai yaitu 5

- Menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, berhubungan dengan penyebab utama

penyakit

- Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan balita yang sehat

Pendekatan MTBS Kota Bandung dimulai sejak tahun 1998 dan terus meningkat jumlahnya

sehingga pada tahun 2002 telah dilaksanakan di 23 Puskesmas , dimulai dengan pelatihan bagi

para dokter , perawat dan bidan 7. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan oleh Dinas Kesehatan dan

baru meliputi evaluasi kepatuhan dan keterampilan petugas terhadap pelaksanaan MTBS. Hasil

evaluasi pada 23 Puskesmas tersebut menunjukkan bahwa, tingkat kepatuhan petugas adalah 86

% dan tingkat ketrampilan petugas adalah 85 %7 .Namun demikian, dampak penerapan MTBS

terhadap ketepatan diagnosis dan ketepatan pemberian obat belum diketahui. Untuk itu perlu

dilakukan penelitian dengan membandingkan ketepatan diagnosis dan ketepatan pemberian obat

4
terhadap pasien balita dengan ISPA di Puskesmas yang telah menerapkan MTBS dengan

Puskesmas yang belum menerapkan MTBS karena sebenarnya Puskesmas-Puskesmas tersebut

telah melakukan program ISPA.

SUBJEK DAN METODE

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional bersifat analitik dengan subyek

penelitian adalah balita sakit kasus baru ISPA di Kota Bandung , jumlah sampel sebesar 184 balita,

sedangkan obyek penelitian adalah jenis obat yang diberikan pada balita sakit kasus baru ISPA.

Analisis statistic menggunakan uji Chi Square.

Subjek penelitian adalah balita kasus baru ISPA dengan rentang usia umur 2 bulan sampai <

5 tahun. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan (1) Bukan Pnemonia, (2) Pnemonia (3) Pnemonia

Berat. Klasifikasi Bukan Pnemonia mencakup kelompok penderita balita yang tidak menunjukkan

gejala peningkatan frekuensi napas atau napas cepat dan tidak adanya tarikan dinding dada

kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pnemonia kemungkinan mencakup adalah penyakit-

penyakit ISPA lain diluar pnemonia seperti batuk pilek biasa (Common Cold), pharyngitis,

tonsilitis, otitis. Klasifikasi Pnemonia, jika didapatkan anak dengan gejala batuk dan kesukaran

bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu untuk umur 2 bl sampai < 1 th :  40x/menit,

umur 1 th sampai < 5 th :  50x/menit. Klasifikasi Pnemonia Berat didasarkan pada adanya batuk

dan keskuran bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada kedalam (Chest

indrawing).8

Protokol pemberian obat pada kasus-kasus tersebut dilakukan sesuai standar yaitu:

- Klasifikasi bukan Pnemonia tidak disertai demam (<38,5ºC) tidak diberikan obat hanya

dilakukan perawatan di rumah dengan memberikan obat tradisional saja sedangkan jika ada

demam (>38,5ºC) diberikan obat paracetamol dengan dosis sesuai dengan umur anak.

- Klasifikasi Pnemonia diberikan antibiotika Kotrimoksasol, jika disertai demam (>38,5ºC)

dapat diberika Paracetamol dengan dosis sesuai dengan umur

5
- Klasifikasi Pnemonia Berat, balita di rujuk ke Rumah Sakit terdekat.

Lokasi penelitian adalah di 7 Puskesmas Kota Bandung yang telah melaksanakan program

MTBS , sebagai pembanding adalah 7 Puskesmas yang belum melaksanakan MTBS tetapi telah

melaksanakan program ISPA yang ditentukan secara purposif yaitu dengan kriteria jumlah

kunjungan balitanya hampir sama dengan Puskesmas MTBS9 ( Diagram 1)

PUSKESMAS MTBS PUSKESMAS BELUM MTBS

BALITA SAKIT BALITA SAKIT


KASUS BARU ISPA KASUS BARU ISPA

BUKAN PNEMONIA BUKAN PNEMONIA


PNEMONIA PNEMONIA

> < < > > < < >


38.5C 38.5C 38.5C 38.5C 38.5C 38.5C 38.5C 38.5C

PEMBERIAN JENIS OBAT PEMBERIAN JENIS OBAT

6
11
HASIL PENELITIAN

Pada tabel 1, diketahui proporsi penderita ISPA terbesar terdapat pada kelompok umur 12-

<60 bulan (MTBS=92,90% dan Belum MTBS=94,10%).

Tabel 1
Distribusi penderita ISPA berdasarkan umur
Di Puskesmas MTBS dan belum MTBS
di Kota Bandung Tahun 2004

Kelompok
Karakteristik MTBS (N=184) Belum MTBS (N=184)
n % n %
Umur (Bulan)
~ Umur 2 - <4 bulan 1 0,50 1 0,50
~ Umur 4 - <12 bulan 12 6,50 10 5,40
~ Umur 12 - <60 bulan 171 92,90 173 94,10

Dari seluruh sampel, menunjukkan bahwa suhu badan penderita ISPA Pnemonia dengan

suhu <38,5C pada Puskesmas MTBS proporsinya 60,80% (45 penderita) lebih besar bila

dibandingkan dengan proporsi penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5C, yaitu 39,20% (29

penderita). Hal yang sama juga terdapat pada Puskesmas Belum MTBS dimana proporsi suhu

badan penderita ISPA Pnemonia <38,5C sebesar 75,70% (28 penderita) lebih besar bila di

bandingkan dengan penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5C yaitu 24,30% (9 penderita).

Penderita ISPA Bukan Pnemonia dengan suhu <38,5C pada Puskesmas MTBS proporsinya

60,90% (67 penderita) lebih besar bila dibandingkan dengan proporsi penderita ISPA Bukan

Pnemonia dengan suhu >38,5C, yaitu 39,10% (43 penderita). Hal yang sama juga terdapat pada

Puskesmas Belum MTBS dimana proporsi penderita ISPA Bukan Pnemonia <38,5C sebesar

7
93,90% (138 penderita) lebih besar bila di bandingkan dengan penderita ISPA Bukan Pnemonia

dengan suhu >38,5C yaitu 6,10% (9 penderita) seperti yang terlihat pada table 2 di bawah ini:

Tabel 2. Distribusi Penderita ISPA menurut Klasifikasi Dan Suhu


di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Kota Bandung Tahun 2004

Kelompok
Karakteristik MTBS (N=184) Belum MTBS (N=184)
n % n %
Suhu :
Pnemonia ~ < 38,5C 45 60.80 28 75.70
~ > 38,5C 29 39.20 9 24.30
Jumlah 74 100 37 100
Suhu :
Bukan ~ < 38,5C 67 60.90 138 93,90
Pnemonia ~ > 38,5C 43 39.10 9 6,10
Jumlah 110 100 147 100

Penderita Pneumonia

Pada tabel 3, menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia dengan atau tanpa

demam. Sebagian besar Penderita Pnemonia baik yang mempunyai suhu <38,5ºC maupun >38,5ºC

menggunakan antibiotik baik pada Puskesmas MTBS maupun belum MTBS ( suhu <38,5ºC :

Puskesmas MTBS 95,56% dan belum MTBS 89,30%, >38,5ºC : Puskesmas MTBS 96,55% dan

belum MTBS 100,00% ). Proporsi penderita Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan

antipiretik pada Puskesmas MTBS hanya sebesar 4,44% lebih kecil bila dibandingkan dengan

proporsi pada Puskesmas Belum MTBS yaitu 89,30%, sedangkan proporsi penderita Pnemonia

suhu >38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (75,90%)

maupun pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%).

Pada Puskesmas MTBS sebagian besar penderita Pnemonia tidak diberikan obat anti alergi

baik pada suhu <38,5ºC (100,00%) maupun pada suhu >38,5ºC (82,80%), sedangkan pada

8
Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Pnemonia baik

pada suhu <38,5ºC (96,40%) maupun pada penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (100,00%).

Obat batuk tidak diberikan pada penderita Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun pada

suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar

memberikan obat batuk kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (85,70%) maupun penderita

Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%).

Pada Puskesmas MTBS hampir seluruhnya tidak memberikan vitamin pada penderita

Pnemonia suhu <38,5ºC (97,78%) dan suhu >38,5ºC (100,00%), hampir sama dengan Puskesmas

Belum MTBS yang sebagian besar tidak memberikan vitamin ada penderita Pnemonia suhu

<38,5ºC (53,60%) dan penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (55,60%).

Tabel 3. Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Pnemonia Menurut Suhu


Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Di Kota Bandung Tahun 2004

Pnemonia
Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC
Jenis obat MTBS Belum MTBS MTBS Belum
(N=45) (N=28) (N=29) MTBS (N=9)
n % n % n % n %
1. Antibiotik
~ Tidak 2 4,44 3 10,70 1 3,40 0 0,00
~ Ya 43 95,56 25 89,30 28 96,60 9 100,00
2. Antipiretik
~ Tidak 43 95,56 3 10,70 7 24,10 0 0,00
~ Ya 2 4,44 25 89,30 22 75,90 9 100,00
3. Anti alergi
~ Tidak 45 100,00 1 3,60 24 82,80 0 0,00
~ Ya 0 0,00 27 96,40 5 17,20 9 100,00
4. Obat Batuk
~ Tidak 45 100,00 4 14,30 29 100,00 1 11,10
~ Ya 0 0,00 24 85,70 0 0,00 8 88,90
5. Vitamin
~ Tidak 44 97,78 15 53,60 29 100,00 5 55,60
~ Ya 1 2,22 13 46,40 0 0,00 4 44,40

9
Tabel 4, menggambarkan banyaknya jenis obat yang diberikan . Pada Puskesmas MTBS

jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC sebagian besar hanya

memberikan 1 jenis obat (88,90%), pada suhu >38,5ºC memberikan 2 jenis obat (89,70%). Pada

Puskesmas Belum MTBS jumlah jenis obat terbanyak diberikan kepada penderita Pnemonia

suhu <38,5ºC yaitu 4 jenis obat (57,10%) bahkan 5 jenis obat (25,00%) dan pada suhu >38,5ºC

diberikan 4 jenis obat (66,67%) serta 5 jenis obat. (33,33 %) .

Tabel 4. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Pnemonia
Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Di Kota Bandung Tahun 2004

Pnemonia
Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC
Jumlah Jenis Obat MTBS Belum MTBS MTBS Belum MTBS
(N=45) (N=28) (N=29) (N=9)
n % n % n % n %
~ Tidak memakai obat 2 4,40 0 0,00 0 0,00 0 0,00
~ 1 jenis 40 88,90 0 0,00 3 10,30 0 0,00
~ 2 Jenis 3 6,70 0 0,00 26 89,70 0 0,00
~ 3 Jenis 0 0,00 5 17,90 0 0,00 0 0,00
~ 4 Jenis 0 0,00 16 57,10 0 0,00 6 66,67
~ 5 Jenis 0 0,00 7 25,00 0 0,00 3 33,33
45 100,00 28 100,00 29 100,00 9 100,00

Hasil uji statistik menunjukan ada perbedaan yang bermakna antara penderita pnemonia dan

jenis obat menurut tatalaksana pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS dengan nilai p < 0,005

(p=0,000) dan X2 sebesar 76,011.

10
Penderita Bukan Pneumonia

Tabel 5 menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia baik di Puskesmas

MTBS maupun Non MTBS. Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang tidak

diberikan antibiotik pada kelompok MTBS (88,10%) lebih besar bila dibandingkan dengan

kelompok Belum MTBS (28,30%), tetapi pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian

besar tidak memberikan antibiotik pada kelompok MTBS (93,33%) dan pada kelompok Belum

MTBS (55,56%).

Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan antipiretik pada

Puskesmas MTBS hanya sebesar 20,90% lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi pada

Puskesmas Belum MTBS yaitu 92,80%, sedangkan proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu

>38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (65,10%) maupun

pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%).

Pada Puskesmas MTBS sebagian besar penderita Bukan Pnemonia tidak diberikan obat anti

alergi baik pada suhu <38,5ºC (89,60%) maupun pada suhu >38,5ºC (69,80%), sedangkan pada

Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Bukan Pnemonia

baik pada suhu <38,5ºC (82,60%) maupun pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC

(88,90%).

Obat batuk tidak diberikan pada penderita Bukan Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun

pada suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian

besar memberikan obat batuk kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (87,004%) maupun

penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%).

Pada Puskesmas MTBS hampir seluruhnya tidak memberikan vitamin pada penderita

Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (88,10%) dan suhu >38,5ºC (95,30%), sedangkan pada Puskesmas

Belum MTBS yang sebagian besar memberikan vitamin ada penderita Bukan Pnemonia suhu

<38,5ºC (71,00%) dan penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (44,40%).

11
Tabel 5
Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu
Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Di Kota Bandung Tahun 2004

Bukan Pnemonia
Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC
Jenis Obat MTBS Belum MTBS MTBS Belum
(N=67) (N=138) (N=43) MTBS (N=9)
n % n % n % n %
1. Antibiotik
~ Tidak 59 88,10 39 28,30 40 93,00 5 55,60
~ Ya 8 11,90 99 71,70 3 7,00 4 44,40
67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00
2. Antipiretik
~ Tidak 53 79,10 10 7,20 15 34,90 0 0,00
~ Ya 14 20,90 128 92,80 28 65,10 9 100,00
67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00
3. Anti alergi
~ Tidak 60 89,60 24 17,40 30 69,80 1 11,10
~ Ya 7 10,40 114 82,60 15 30,20 8 88,90
67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00
4. Obat Batuk
~ Tidak 67 100,00 18 13,00 43 100,00 1 11,10
~ Ya 0 0,00 120 87,00 0 0,00 8 88,90
67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00
5. Vitamin
~ Tidak 59 88,10 40 29,00 41 95,30 5 55,60
~ Ya 8 11,90 98 71,00 2 4,70 4 44,40
67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

Tabel 6 menggambarkan banyaknya jenis obat yang diberikan. Pada Puskesmas MTBS

jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC sebagian besar

tidak memakai obat (55,20%), dan 1 jenis obat pada suhu >38,5ºC (83,70%). Pada Puskesmas

Belum MTBS jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC

mempergunakan 4 jenis obat (37,70%) dan pada suhu >38,5ºC mempergunakan 3 dan 4 jenis

obat (33,33%).

12
Tabel 6. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Bukan Pnemonia
Menurut Suhu
Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Di Kota Bandung Tahun 2004

Bukan Pnemonia
Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC
Jumlah Jenis Obat MTBS Belum MTBS MTBS Belum MTBS
(N=45) (N=34) (N=43) (N=9)
n % n % n % n %
~ Tidak memakai obat 37 55,20 0 0,00 2 4,70 0 0,00
~ 1 jenis 23 34,30 1 0,70 36 83,70 0 0,00
~ 2 Jenis 7 10,40 5 3,60 5 11,60 1 11,11
~ 3 Jenis 0 0,00 30 21,70 0 0,00 3 33,33
~ 4 Jenis 0 0,00 52 37,70 0 0,00 3 33,33
~ 5 Jenis 0 0,00 50 36,20 0 0,00 2 22,22
77 100,00 166 100,00 45 100,00 9 100,00

Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara penderita Bukan

Pnemonia dan jenis obat pada kelompok MTBS dan Belum MTBS dengan nilai X2 sebesar 218,019

dan p value < 0.05 (p=0,000)

PEMBAHASAN

1. Distribusi Umur

Pada tabel 1 terlihat bahwa antara Puskesmas MTBS dan Belum MTBS tidak ada perbedaan

distribusi balita dengan kasus ISPA baru sesuai kelompok umur. Kelompok umur terbanyak adalah

usia 12-<60 bulan. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Swadesi di

Pekanbaru bahwa kelompok usia balita yang sering terkena ISPA adalah kelompok tersebut 12. Bila

dilakukan analisis lebih lanjut ternyata pola penyebab kematian di Kota Bandung tertinggi pada

umur 1-4 tahun (44,93%) yang disebabkan oleh Pnemonia 9. Oleh sebab itu petugas kesehatan

harus melaksanakan tatalaksana MTBS dengan baik khususnya dalam penemuan Pnemonia secara

dini dan mengobati dengan benar sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan kematian

balita akibat Pnemonia.

13
2. Ketepatan diagnosa

Dari hasil yang tampak pada tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar (40.2%) kasus

Penumonia dapat dideteksi di Puskesmas MTBS, sedangkan di Puskesmas belum MTBS hanya

terdeteksi sebesar 20.1%. Di pihak lain di Puskesmas yang belum MTBS sebagian besar (79,9%)

penderita didiagnosa ISPA Bukan Pneumonia. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian

kriteria diagnosa ISPA pada Puskesmas MTBS dan yang belum MTBS serta kemungkinan

menimbulkan dampak yang buruk karena penderita yang seharusnya sudah didiagnosa dini sebagai

Pneumonia yaitu gejala batuk dan kesukaran bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu

untuk umur 2 bl sampai < 1 th :  40x/menit, umur 1 th sampai < 5 th :  50x/menit dan didiagnosa

ISPA bukan pneumonia, akan jatuh pada Pneumonia berat dan kematian. 8

3. Jenis Obat

Tindakan pengobatan dilakukan dengan rasionalisasi dalam penggunaan obat-obatan

terutama antibiotika. Standar penanganan tersebut menggunakan alur terapi yang telah ditetapkan.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa proporsi pemberian obat yang tidak sesuai dengan

tatalaksana pada Puskesmas Belum MTBS (97,8%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan

Puskesmas MTBS (8,2%). Secara umum, obat-obatan yang sering digunakan adalah antibiotika,

antipiretik, anti alergi, obat batuk dan vitamin.

Penderita pneumonia tanpa demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (88,90%) hanya

diberikan satu jenis obat yaitu Antibiotika, sedangkan di Puskesmas Belum MTBS sebagian besar

penderita diberikan 4 jenis obat (57,10%) bahkan ada yang diberikan 5 jenis obat (25%). Obat-

obatan yang diberikan adalah antibiotika, antipiretik, anti alergi, obat batuk dan vitamin. Penderita

pneumonia dengan demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (89,70%) diberikan 2 jenis obat

yaitu Antibiotika dan antipiretik walaupun masih ada (24,10%) yang tidak diberikan antipiretik,

sedangkan di Puskesmas Belum MTBS kondisinya masih sama seperti tatalaksana penderita

14
dengan pneumonia tanpa demam, yaitu penderita diberikan 4 jenis obat bahkan proporsinya lebih

besar dibandingkan dengan pneumonia tanpa demam yaitu 66,67%. Masih ada pula yang diberikan

5 jenis obat yaitu sebesar 33,33%. Keadaan di Puskemas Belum MTBS ini tidak sesuai dengan

tatalaksana standar yang menyatakan bahwa penderita Pnemonia dengan suhu <38,5C hanya

diberikan satu macam obat saja yaitu antibiotik (kotrimoksasol) dan suhu >38,5C diberikan dua

jenis obat yaitu antibiotik dan antipiretik (Kotrimoksasol dan Paracetamol). Dengan demikian

tatalaksana pengobatan penderita Pneumonia pada Puskesmas belum MTBS tidak rasional dan

tidak efisien. Hal ini juga dibuktikan dengan Survey Kesehatan Program Pemberantasan ISPA

(1995), yaitu terdapat kecenderungan petugas untuk memberikan antibiotika berlebihan (over

prescription). Sebanyak 60% kasus batuk pilek biasa telah diberi antibiotika, yang memprihatinkan

adalah sebesar 14% kasus Pnemonia justru tidak diberi antibiotika 10.

Penderita ISPA bukan Pneumonia tanpa demam di Puskesmas MTBS sebagian besar

(55,20%) tidak diberikan obat dan hanya 34,30% yang diberikan 1 jenis obat yaitu 11,90%

antibiotika atau 20,90 % antipiretik atau 10,40% anti alergi atau 11,90 % vitamin. Pada Puskesmas

Belum MTBS sebagian besar (37,70%) penderita diberikan 4 jenis obat ,bahkan ada yang diberikan

5 jenis obat (36,2%). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pemberian obat pada penderita

pneumonia. Penderita ISPA bukan pneumonia dengan demam di Puskesmas MTBS sebagian

besar (83,70%) hanya diberikan 1 jenis obat yaitu utamanyanya adalah antipiretik (65,10%), yang

lainnya adalah antibiotika (7%) atau anti alergi (30,20%) atau vitamin (4,70%). Di Puskesmas

Belum MTBS kondisinya hampir sama seperti tatalaksana penderita dengan tanpa demam, yaitu

sebagian besar (33,33%) penderita diberikan 3 jenis obat bahkan ada yang diberikan 4 jenis obat

(33,33%) dan 5 jenis obat (22,22%).

Berdasarkan penelitian tersebut ,penggunaan jenis obat yang berlebihan dan tidak sesuai

dengan standard tatalaksana menunjukan ketidakrasionalan pemberian obat. Hal ini merupakan

masalah penting yang dapat menimbulkan dampak cukup besar dalam penurunan mutu pelayanan

kesehatan, ketidak tepatan penyediaan obat dan peningkatan anggaran pemerintah yang di

15
alokasikan untuk pengadaan obat di puskesmas maupun di tingkat kota sehingga menyebabkan

perencanaan penganggaran obat yang tidak rasional. Mengingat Petugas kesehatan yang

melaksanakan tatalaksana MTBS adalah perawat dan bidan maka diharapkan pelayanan promotif

dan preventif lebih optimal dibandingkan kuratif. Dengan demikian sangat dibutuhkan petugas

yang berwawasan dan keterampilan yang baik terhadap pelaksanaan program.

Bertitik tolak dari kajian diatas dapatlah dipahami bahwa penelitian ini sejalan dengan

penyataan WHO (1999) yang menyatakan bahwa penerapan MTBS pada Puskesmas dipandang

sangat strategis mengingat MTBS merupakan salah satu intervensi yang memberikan dampak

terbesar pada penurunan penggunaan obat serta dampaknya adalah penurunan beban biaya

kesehatan bahkan mampu menghemat 14% beban biaya di negara berpenghasilan rendah sehingga

dikatakan MTBS ini merupakan intervensi yang paling cost efficient dan cost effective untuk

menurunkan angka kematian bayi dan anak penderita di negara berkembang dan negara tertinggal.

KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam ketepatan diagnosa dan efisiensi pemberian obat

di Puskesmas yang telah dilatih program MTBS dibandingkan dengan Puskesmas yang

belum dilatih program MTBS

2. Puskesmas yang telah dilatih MTBS jauh lebih tepat mendiagnosis ISPA dan lebih efisien

dalam penggunaan obat-obatan. Hal ini menunjukkan program MTBS mempunyai dampak

yang positif

SARAN

Program MTBS agar diperluas pelaksanaannya di seluruh Puskesmas Kota Bandung

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Department of Child and Adolescent Health and Development, World Health Organization.

The multy-country evaluation of IMCI effectiveness,cost and impact (MCI) progress report

May 2000-April 2001,2001

2. Departemen kesehatan RI. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan

akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta, 2002

3. Abdul Manaf. Pelaksanaan konsep manajemen terpadu anak sakit dalam menunjang

pelaksanaan program pemberantasan diare dan pemberantasan ISPA di Indonesia. Makalah

disampaikan pada pertemuan nasional evaluasi kelangsungan hidup perkembangan dalam

pencapaian SKS, 1996

4. Division of Child health and development, World Health Organization. IMCI information

Geneva: WHO-UNICEF publication, 1999, p. 1-6

5. World Health Organization. IMCI planning guide (integrated management of childhood

illness), gaining experience with the IMCI strategy in a country.1999.

6. World Health Organization, the world health report 2002, reducing risks, promoting healthy

life. Geneva: WHO library, 2002

7. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Evaluasi Tiga bulanan pelaksanaan MTBS di Puskesmas.

Bandung, 2002

8. Dirjen Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI.

Rencana kerja jangka menengah nasional, penanggulangan penumonia balita tahun 2005 –

2009.Jakarta, 2005

9. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil kesehatan Kota Bandung. Bandung ,2001

10. Departemen kesehatan RI & FKM UI. Hasil survey sarana kesehatan program

pemberantasan infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta .1995

17
11. Septiani Susilowati., Analisis pemberian jenis obat dan biaya obat pada balita sakit ISPA

dengan menggunakan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di puskesmas

kota Bandung. Thesis, 2005.

12. Swadesi. Uji diagnostic algotitma MTBS dalam mendiagnosa Pnemonia di RSUD

Pekanbaru. Thesis,2003

18

You might also like