You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan bahan yang karena sifat atau konsentrasi,
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemari atau merusak
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Menurut data dari Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1997, yang menyusun ”top-
20” B3 antara lain: Arsenic, Lead, Mercury, Vinyl chloride, Benzene, Polychlorinated Biphenyls
(PCBs), Kadmium, Benzo(a)pyrene, Benzo(b)fluoranthene, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons,
Chloroform, Aroclor 1254, DDT, Aroclor 1260, Trichloroethylene, Chromium (hexa valent),
Dibenz[a,h]anthracene, Dieldrin, Hexachlorobutadiene, Chlordane. Beberapa diantaranya
merupakan logam berat, antara lain Arsenic (As), Lead (Pb), Mercury (Hg), Kadmium (Cd) dan
Chromium (Cr) (Sudarmaji, 2006). Logam-logam berat tersebut dalam konsentrasi tinggi akan
berbahaya bagi kesehatan manusia bila ditemukan di dalam lingkungan, baik di dalam air, tanah
maupun udara.
Arsen (As) merupakan salah satu logam berat yang digunakan dalam kehidupan manusia.
Penggunaannya antara lain dalam bidang kedokteran, pertanian, pengawetan kayu, dan lainnya.
Namun penggunaan arsen yang tidak tepat dapat mengakibatkan efek yang fatal bagi kesehatan
manusia.

B.Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.Bagaimanakah keberadaan arsen di alam?
2.Apa sajakah penggunaan arsen dalam kehidupan manusia?
3.Bagaimanakah dampak arsen terhadap kesehatan manusia?
4.Bagaimanakah penanggulangan jika terpapar arsen?

C.Tujuan
1.Mengetahui keberadaan arsen di alam.
2.Mengetahui penggunaan arsen dalam kehidupan manusia.
3.Mengetahui dampak arsen terhadap kesehatan manusia.
4.Mengetahui cara penanggulangan jika terpapar arsen.

D.Manfaat
1.Bagi instansi pemerintah
Diharapkan dapat memberikan masukan bagi para penentu kebijakan dalam upaya menjaga
masyarakat agar tidak terkena dampak merugikan dari arsen.
2.Bagi jurusan Kesehatan Masyarakat
Menambah pustaka tentang keberadaan, penggunaan, dampak terhadap kesehatan serta
penanggulangannya jika terpapar arsen.
3.Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang keberadaan, penggunaan, dampak terhadap
kesehatan serta penanggulangannya jika terpapar arsen.
4.Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai keberadaan, penggunaan, dampak terhadap
kesehatan serta penanggulangannya jika terpapar arsen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Arsen
Arsen (As) adalah suatu unsur kimia metaloid (semilogam) golongan VA dengan nomor atom
33. Arsen berwujud bubuk putih, tanpa warna dan bau. Nama arsenik sendiri pertama kali
berasal dari bahasa Persia zarnig dan bahasa Yunani arsenikon yang artinya kuning
(www.terselubung.blogspot.com, 2009). Arsen merupakan bahan metaloid yang terkenal beracun
dan memiliki tiga bentuk alotropik, yaitu kuning, hitam dan abu-abu (www.wikipedia.org, 2009).

B.Klasifikasi Arsen
Arsen di alam berada dalam bentuk Inorganik dan organik. Penjelasannya sebagai berikut:
1.Arsen Inorganik
Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk senyawa dasar yang berupa substansi inorganik.
Arsen inorganik dapat larut dalam air atau berbentuk gas dan dapat terpapar pada manusia.
Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (1975), arsen inorganik dapat
menyebabkan berbagai gangguan kesehatan kronis, terutama kanker (www.bluefame.com,
2009).
Senyawa Arsen dengan oksigen, klorin atau belerang dikenal sebagai arsen inorganik. Arsen
trioksida (As2O3 atau As4O6) dan arsenat/arsenit merupakan bentuk arsen inorganik berbahaya
bagi kesehatan manusia. Pada suhu di atas 1.073°C senyawa arsen trioksida dapat dihasilkan dari
hasil samping produksi tembaga dan pembakaran batubara. Arsen trioksida mempunyai titik
didih 465°C dan akan menyublim pada suhu lebih rendah. Kelarutan arsen trioksida dalam air
rendah, kira-kira 2% pada suhu 25°C dan 8,2% pada suhu 98°C. Sedikit larut dalam asam
membentuk asam arsenide (H3As03). Arsen trioksida sangat cepat larut dalam asam khlorida
dan alkalis (Durrant & Durrant, 1966; Carapella, 1973) (Sukar, 2003).
2.Arsen Organik
Senyawa dengan Carbon dan Hydrogen dikenal sebagai Arsen Organik. Arsen bentuk organik
yang terakumulasi pada ikan dan kerang-kerangan, yaitu arsenobetaine dan arsenokolin
mempunyai sifat nontoksik. Sebagaimana diketahui bahwa arsen inorganik lebih beracun dari
pada arsen organik. Senyawa arsen organik sangat jarang dan mahal. Ikatan carbon-arsen sangat
stabil pada kondisi pH Iingkungan dan berpotensi teroksidasi. Beberapa senyawa methylarsenic
sebagaimana di dan trimethylarsenes terjadi secara alami, karena merupakan hasil dari aktivitas
biologik. Di dalam air senyawa ini bisa teroksidasi menjadi methylarsenic acid Senyawa arsen
organik lainnya seperti : arsenobetaime dan arsenocho/ine bisa ditemukan pada kehidupan laut
dan sangat tahan terhadap degradasi secara kimiawi (Lauwerys et aI, 1979) (Sukar, 2003).
Berbagai macam senyawa arsen adalah sebagai berikut:
a.Asam arsenat (H3AsO4)
b.Asam arsenit (H3AsO3)
c.Arsen trioksida (As2O3)
d.Arsin (Arsen Trihidrida AsH3)
e.Kadmium arsenida (Cd3As2)
f. Galium arsenida (GaAs)
g.Timbal biarsenat (PbHAsO4)
C.Karakteristik Arsen
Arsen berwarna abu-abu, namun bentuk ini jarang ada di lingkungan. Arsen di air di temukan
dalam bentuk senyawa dengan satu atau lebih elemen lain (Wijanto, 2005).
Arsen secara kimiawi memiliki karakteristik yang serupa dengan fosfor, dan sering dapat
digunakan sebagai pengganti dalam berbagai reaksi biokimia dan juga beracun. Ketika
dipanaskan, arsen akan cepat teroksidasi menjadi oksida arsen, yang berbau seperti bau bawang
putih. Arsen dan beberapa senyawa arsen juga dapat langsung tersublimasi, berubah dari padat
menjadi gas tanpa menjadi cairan terlebih dahulu. Zat dasar arsen ditemukan dalam dua bentuk
padat yang berwarna kuning dan metalik, dengan berat jenis 1,97 dan 5,73.

D.Mekanisme Masuknya Arsen dalam Tubuh


Pemajanan Arsen ke dalam tubuh manusia umumnya melalui oral, dari makanan/minuman.
Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap lambung dan usus halus kemudian masuk ke
peredaran darah (Wijanto, 2005).

E.Penggunaan Arsen
Beberapa penggunaan arsen sebagai berikut:
1.Arsenik dalam kehidupan sehari-hari
Arsenik dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai bahan pestisida di buah-buahan. Timbal
biarsenat telah digunakan di abad ke-20 sebagai insektisida untuk buah namun mengakibatkan
kerusakan otak pada pekerja yang menyemprotnya. Arsen juga berperan penting dalam bidang
pengobatan. Di zaman dahulu arsen pernah digunakan sebagai obat sifilis, yaitu salvarsan.
Sampai sekarang arsen masih menjadi salah satu alternatif pengobatan tripanosomiasis Afrika
(dalam bentuk melarsoprol). Walaupun kebanyakan sekarang telah digantikan dengan obat-
obatan modern. (www.wikipedia.org, 2009)
Galium arsenid dapat dipakai sebagai bahan semikonduktor rangkaian listrik. Galium arsenida
adalah material semikonduktor penting dalam sirkuit terpadu. Sirkuit dibuat menggunakan
komponen ini lebih cepat tapi lebih mahal daripada yang terbuat dari silikon. Selain itu, arsen
juga dipakai dalam industri pewarna dan cat ( www.terselubung.blogspot.com, 2009).
2.Arsenik di air minum
Makanan kita pun mungkin mengandung arsenik dalam jumlah kecil. Konsentrasi arsenik yang
dianggap tidak berbahaya dalam air minum oleh WHO adalah kurang dari 10 ppb. Selain karena
arsenik menjadi bahan pestisida yang dipakai untuk menyemprot sayur dan buah, arsenik juga
berpotensi mencemari perairan. Arsenik yang ditemukan di air adalah arsenik bentuk arsenat V
(HAsO42-) dan arsenit III (H3AsO3). Di alam bebas arsenat dan arsenit dapat mengalami reaksi
redoks bolak balik. Konsentrasi yang ditemukan dapat mencapai 200-4400 ppb, atau 0.2-4.4 ppm
( www.terselubung.blogspot.com, 2009).
3.Arsenik sebagai racun
Bentuk arsenik yang terkenal adalah As2O3 (arsen trioksida) atau warangan. Warangan ini
bentuknya berupa bubuk berwarna putih yang larut dalam air. Bentuk lainnya adalah bubuk
kuning As2S3 dan bubuk merah realgar As4S4. Keduanya sempat populer sebagai bahan cat,
namun karena toksik akhirnya mereka tidak dipakai lagi. Adapun bentuk gasnya, yang juga
beracun adalah arsin (As2H3) ( www.terselubung.blogspot.com, 2009).

F.Diagnosis
Ada tes yang tersedia untuk mendiagnosis keracunan dengan mengukur arsenik dalam darah,
urin, rambut dan kuku. Tes urin adalah tes yang paling dapat diandalkan untuk paparan arsenik
dalam beberapa hari terakhir. Tes urin perlu dilakukan dalam waktu 24-48 jam untuk sebuah
analisa yang akurat eksposur yang akut. Tes rambut dan kuku dapat mengukur tingkat tingginya
terpapar arsen selama 6-12 bulan. Tes-tes ini dapat menentukan apakah seseorang telah terpapar
di atas tingkat rata-rata arsen. Rambut merupakan bioindikator potensial untuk paparan arsenik
karena kemampuannya untuk menyimpan elemen dari darah. Jenis biomonitoring telah dicapai
dengan teknik yang lebih baru seperti microanalytical berdasarkan Synchroton radiasi fluoresensi
sinar-X (SXRF) spektroskopi dan Microparticle akibat emisi sinar-X (PIXE). Yang sangat
terfokus dan intens studi balok bintik-bintik kecil pada sampel biologis yang memungkinkan
analisis tingkat mikro di sepanjang spesiasi kimia. Metode ini telah digunakan untuk mengikuti
tingkat arsenik sebelum, selama dan setelah pengobatan dengan oksida Arsenious pada pasien
dengan Leukemia akut Promyelocytic (www.wikipedia.org, 2009).
G.Toksisitas
Toksisitas senyawa arsenik dan sangat bervariasi. Bentuk organik tampaknya memiliki toksisitas
yang lebih rendah daripada bentuk arsenik anorganik.. Penelitian telah menunjukkan bahwa
arsenites (trivalen bentuk) memiliki toksisitas akut yang lebih tinggi daripada arsenates
(pentavalent bentuk). Minimal dosis akut arsenik yang mematikan pada orang dewasa
diperkirakan 70-200 mg atau 1 mg/kg/hari. Sebagian besar melaporkan keracunan arsenik tidak
disebabkan oleh unsur arsenik, tapi oleh salah satu senyawa arsen, terutama arsenik trioksida,
yang sekitar 500 kali lebih beracun daripada arsenikum murni. Gejalanya antara lain: sakit di
daerah perut, produksi air liur berlebihan, muntah, rasa haus dan kekakuan di tenggorokan, suara
serak dan kesulitan berbicara, masalah muntah (kehijauan atau kekuningan, kadang-kadang
bernoda darah), diare, tenesmus, sakit pada organ kemih, kejang-kejang dan kram, keringat
basah, lividity dari ekstremitas, wajah pucat, mata merah dan berair (www.wikipedia.org, 2009).
Gejala keracunan arsenik ringan mulai dengan sakit kepala dan dapat berkembang menjadi
ringan dan biasanya, jika tidak diobati, akan mengakibatkan kematian (www.wikipedia.org,
2009).
H. Patofisiologi
Arsen dapat bermanfaat bagi tubuh, tapi juga dapat mengganggu metabolisme dalam tubuh.
Arsen mengganggu produksi ATP melalui beberapa mekanisme. Pada tingkat siklus asam sitrat,
arsenik menghambat piruvat dehidrogenase dan bersaing dengan fosfat dalam proses fosforilasi
oksidatif, sehingga menghambat energy, terkait pengurangan NAD+, menghambat respirasi
mitokondria dan sintesis ATP. Produksi hidrogen peroksida juga meningkat. Gangguan
metabolik ini menyebabkan kematian dari sistem organ. Sebuah pemeriksaan mayat berwarna
merah bata mengungkapkan mukosa yang mengalami perdarahan yang parah
(www.wikipedia.org, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
A.Keberadaan Arsen
Keberadaan arsen di alam (meliputi keberadaan di batuan (tanah) dan sedimen, udara, air dan
biota), produksi arsen di dalam industri, penggunaan dan sumber pencemaran arsen di
lingkungan.
1.Keberadaan Arsen di Alam
a.Batuan (Tanah) dan Sedimen
Di batuan atau tanah, arsen (As) terdistribusi sebagai mineral. Kadar As tertinggi dalam bentuk
arsenida dari amalgam tembaga, timah hitam, perak dan bentuk sulfida dari emas. Mineral lain
yang mengandung arsen adalah arsenopyrite (FeAsS), realgar (As4S4) dan orpiment (As2S3).
Secara kasar kandungan arsen di bumi antara 1,5-2 mglkg (NAS, 1977). Bentuk oksida arsen
banyak ditemukan pada deposit/sedimen dan akan stabil bila berada di lingkungan.
Tanah yang tidak terkontaminasi arsen ditemukan mengandung kadar As antara 0,240 mg/kg,
sedang yang terkontaminasi mengandung kadar As rata-rata lebih dari 550 mg/kg (Walsh &
Keeney, 1975).
Secara alami kandungan arsen dalam sedimen biasanya di bawah 10 mg/kg berat kering.
Sedimen bagian bawah dapat terjadi karena kontaminasi yang berasal dari sumber buatan kering
ditemukan pada sedimen bagian bawah yang dekat dengan buangan pelelehan tembaga.

b.Udara
Zat padat di udara (total suspended particulate = TSP) mengandung senyawa arsen dalam bentuk
anorganik dan organik (Johnson & Braman, 1975). Crecelius (1974) menunjukkan bahwa hanya
35% arsen anorganik terlarut dalam air hujan. Di lokasi tercemar, kadar As di udara ambien
kurang dari satu gram per meter kubik (Peirson, et al 1974; Johnson & Braman, 1975).
c.Air
Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air
tanah. Kebanyakan wilayah dengan kandungan arsen tertinggi adalah daerah aluvial yang
merupakan endapan lumpur sungai dan tanah dengan kaya bahan organik. Arsenik dalam air
tanah bersifat alami dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen
pada lapisan di bawah permukaan tanah (www.wikipedia.org, 2009).
Arsen terlarut dalam air dalam bentuk organik dan anorganik (Braman, 1973; Crecelius, 1974).
Jenis arsen bentuk organik adalah methylarsenic acid dan methylarsenic acid, sedang anorganik
dalam bentuk arsenit dan arsenat. Arsen dapat ditemukan pada air permukaan, air sungai, air
danau, air sumur dalam, air mengalir, serta pada air di lokasi di mana terdapat aktivitas panas
bumi (geothermal).
d.Biota
Penyerapan ion arsenat dalam tanah oleh komponen besi dan aluminium, sebagian besar
merupakan kebalikan dari penyerapan arsen pada tanaman (WaIlsh, 1977). Kandungan arsen
dalam tanaman yang tumbuh pada tanah yang tidak tercemari pestisida bervariasi antara 0,01-5
mg/kg berat kering (NAS, 1977). Tanaman yang tumbuh pada tanah yang terkontaminasi arsen
selayaknya mengandung kadar arsen tinggi, khususnya di bagian akar (Walsh & Keene, 1975;
Grant & Dobbs, 1977). Beberapa rerumputan yang mengandung kadar arsen tinggi merupakan
petunjuk/indikator kandungan arsen dalam tanah (Porter & Peterson, 1975). Selain itu, ganggang
laut dan rumput laut juga umumnya mengandung sejumlah kecil arsen.
2.Produksi dalam Industri
Berdasarkan data yang digunakan dari Biro Pertambangan Amerika Serikat (Nelson, 1977),
dapat diperkirakan bahwa total produksi senyawa arsen di dunia mulai tahun 1975 sekitar
600.000 ton. Negara-negara produser utama adalah: China, Peru, Swedia, USA dan USSR.
Negara-negara tersebut mampu mencukupi sampai 90% produk dunia. Arsen trivalen adalah
basis utama industri kimia arsen dan merupakan produk samping dalam pelelehan bijih tembaga
dan timah hitam.
3.Penggunaan Senyawa Arsen
Arsen banyak digunakan dalam berbagai bidang, yaitu salah satunya dalam bidang pertanian. Di
dalam pertanian, senyawa timah arsenat, tembaga acetoarsenit, natrium arsenit, kalsium arsenat
dan senyawa arsen organik digunakan sebagai pestisida.
Sebagian tembakau yang tumbuh di Amerika Serikat, perlu diberi pestisida yang mengandung
arsen untuk mengendalikan serangga yang menjadi hama tanaman tersebut selama masa
pertumbuhannya. Tembakau ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok.
Data pada penelitian asap rokok tembakau menunjukkan bahwa maksimum terdapat As2O3
dengan kadar berturut-turut untuk cerutu, rokok, dan tembakau adalah 48.4, 36.3, dan 50.0 ppm .
Kadar ini jelah lebih tinggi jika dibandingkan maksimum kadar arsen dalam rokok adalah 38.5
ppm. Terdapat variasi kadar arsen yang jelas antara merek rokok tersebut. Hal ini kemungkinan
berkaitan dengan dosis arsen yang terdapat pada pestisida yang diberikan selama masa
pertumbuhan tanaman tembakau (Gross dan Nelson,.........).
Ada atau tidaknya arsen yang mudah menguap secara bebas maupun bersama dengan partikel
lain tidak dapat ditentukan secara pasti. Dari pertimbangan teoritis dipercaya bahwa arsen yang
mudah menguap seperti As2O3, dimana mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh
pembakaran yang tidak sempurna selama merokok. As2O3 akan mengalami reaksi yang dapat
diamati, menyublim pada temperatur tinggi selama merokok dan terjaga untuk terkondensasi
kembali pada permukaan yang lembab dan dingin. Hal ini dibuktikan pada saat penelitian, yaitu
kapas penyerap yang lembab dapat menangkap hampir sebagian besar arsen yang ada dalam
dalam asap rokok. Fakta ini merupakan analogi dari kondisi paru-paru yang secara normal
lembab, sehingga bila arsen masuk ke paru-paru akan melekat pada permukaan paru-paru yang
lembab dan hal ini sangat membahayakan ( Gross dan Nelson, ............).

4.Sumber Pencemaran Arsen dalam Lingkungan


Pembakaran batubara dan pelelehan logam merupakan sumber utama pencemaran arsen dalam
udara. Pencemaran arsen terdapat di sekitar pelelehan logam (tembaga dan timah hitam). Arsen
merupakan salah satu hasil sampingan dari proses pengolahan bijih logam non-besi terutama
emas, yang mempunyai sifat sangat beracun. Ketika tailing dari suatu kegiatan pertambangan
dibuang di dataran atau badan air, limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar
wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Bahaya pencemaran
lingkungan ini terbentuk jika tailing yang mengandung unsur tersebut tidak ditangani secara
tepat.
Tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia pada wilayah tropis, akan
menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi racun. Selanjutnya dapat memasuki
sistem air permukaan atau merembes ke dalam akifer-akifer air tanah setempat. Ini terjadi di
negara-negara yang memproduksi emas dan logam dasar (Herman, D.Z. 2006).
Sumber pencemaran arsen juga dapat berasal dari:
1.Pembakaran kayu yang diawetkan oleh senyawa arsen pentavalen, dapat menaikkan kadar
arsen di udara.
2.Pusat listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang dapat menyebabkan kontaminasi arsen pada
udara ambient.
3.Pupuk yang di dalamnya mengandung arsen.

B.Dampak Arsen Terhadap Kesehatan Manusia


WHO menetapkan ambang aman tertinggi arsen dalam air tanah sebesar 50 ppb
(www.wikipedia.org, 2009). Air tanah biasa digunakan sebagai sumber air minum bagi
kelangsungan hidup manusia. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen adalah apabila dalam
air minum mengandung unsur arsen melebihi nilai ambang batas, yaitu bila kadarnya melebihi
100 ppb dalam air minum. Gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia
berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel, kelainan kulit atau melanoma serta kanker usus.
Arsen inorganik telah dikenal sebagai racun manusia sejak lama, yang dapat mengakibatkan
kematian. Dosis rendah akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Bila melalui mulut, pada
umumnya efek yang timbul adalah iritasi saluran makanan, nyeri, mual, muntah dan diare. Selain
itu mengakibatkan penurunan pembentukan sel darah merah dan putih, gangguan fungsi jantung,
kerusakan pembuluh darah, luka di hati dan ginjal.( Wijanto, 2005). Berikut ini adalah implikasi
klinik akibat tercemar oleh arsen:
1.Mata
Efek Arsenic terhadap mata adalah gangguan penglihatan dan kontraksi mata pada bagian perifer
sehingga mengganggu daya pandang (visual fields) mata.
2.Kulit
Adanya kulit yang berwarna gelap (hiperpigmentasi), penebalan kulit (hiperkeratosis), timbul
seperti bubul (clavus), infeksi kulit (dermatitis) dan mempunyai efek pencetus kanker
(carcinogenic).
3.Darah
Efeknya menyebabkan kegagalan fungsi sungsum tulang dan terjadinya pancytopenia (yaitu
menurunnya jumlah sel darah perifer).
4.Liver
Paparan arsen yang cukup lama (paparan kronis) pada liver akan menyebabkan efek yang
signifikan, berupa meningkatnya aktifitas enzim pada liver (enzim SGOT, SGPT, gamma GT),
ichterus (penyakit kuning), liver cirrhosis (jaringan hati berubah menjadi jaringan ikat dan
ascites (tertimbunnya cairan dalam ruang perut).
5.Ginjal
Arsen akan menyebabkan kerusakan ginjal berupa renal damage (terjadi ichemia dan kerusakan
jaringan).
6.Saluran pernapasan
Paparan arsen pada saluran pernafasan akan menyebabkan timbulnya laryngitis (infeksi laryng),
bronchitis (infeksi bronchus) dan dapat pula menyebabkan kanker paru.
7.Pembuluh darah
Logam berat Arsen dapat menganggu fungsi pembuluh darah, sehingga dapat mengakibatkan
penyakit arteriosclerosis (rusaknya pembuluh darah), portal hypertention (hipertensi oleh karena
faktor pembuluh darah potal), oedema paru dan penyakit pembuluh darah perifer (varises,
penyakit bu rger).
8.Sistem Reproduksi
Efek arsen terhadap fungsi reproduksi biasanya fatal dan dapat pula berupa cacat bayi waktu
dilahirkan, lazim disebut effek malformasi.
9.Sistem Immunologi
Efek pada sistem immunologi, terjadi penurunan daya tahan tubuh/ penurunan kekebalan,
akibatnya peka terhadap bahan karsinogen (pencetus kanker) dan infeksi virus.
10.Sistem Sel
Efek terhadap sel mengakibatkan rusaknya mitokondria dalam inti sel sehingga menyebabkan
turunnya energi sel dan sel dapat mati.
11.Gastrointestinal (Saluran Pencernaan)
Arsen akan menyebabkan perasaan mual dan muntah, serta nyeri perut, mual (nausea) dan
muntah (vomiting).

C.Cara Mengatasi Keracunan Arsenik


Pertolongan pertama (standart treatment) bila kulit kita terpapar arsenik: cuci permukaan kulit
dengan air mengalir secara kontinu kurang lebih 10 menit, atau sampai tidak ada kandungan
bahan kimia di atas kulit. Bila perlu, gunakan sabun. Baju yang terkontaminasi harus dilepaskan.
Kemudian segera ke dokter untuk mendapat pertolongan medis. Sementara bila racun masuk ke
pencernaan, masukkan air dalam jumlah yang cukup besar ke dalam mulut untuk mencuci.
Tetapi, air jangan tertelan. Kalau bahan kimianya sudah tertelan, minum kurang lebih 250 ml air
dan jangan memaksakan muntah. Segera cari pertolongan medis.
Cara mengatasi keracunan arsenik berbeda antara keracunan akut dan kronik. Untuk keracunan
akut yang belum berlangsung 4 jam, korban diberi ipekak untuk merangsangnya muntah. Dapat
juga dilakukan bilas lambung apabila ia tidak dapat minum. Pemberian katartik atau karboaktif
dapat bermanfaat. Sedangkan untuk keracunan yang sudah berlangsung lebih lama (termasuk
juga keracunan kronik), sebaiknya diberi antidotumnya, yaitu suntikan intramuskuler
dimerkaprol 3-5 mg/kgBB 4-6 kali sehari selama 2 hari. Pengobatan dilanjutkan 2-3 kali sehari
selama 8 hari ( www.terselubung.blogspot.com, 2009).
Metode kimia dan sintetik saat ini digunakan untuk mengobati keracunan arsenik. Dimercaprol
dan asam dimercaptosuccinic adalah agen chelating yang mengambil arsenik dari protein darah
dan digunakan untuk mengobati keracunan arsenik akut. Dimercaprol jauh lebih beracun
daripada succimer.
Selain itu, ada penelitian menarik yang dilakukan oleh Keya Chaudhuri dan rekan-rekannya dari
Indian Institute of Chemical Biology di Kolkata dalam jurnal Food and Chemical Toxicology.
Mereka melakukan uji coba pada tikus. Tikus yang diberi makan ekstrak bawang putih
kandungan arsenik dalam darah dan hatinya berkurang 40 persen dan 45 persen dari arsen juga di
keluarkan lewat air seni tikus tersebut. Zat yang mengandung belerang dalam bawang putih
dapat mengurangi kadar arsen dalam jaringan dan darah. Sehingga mereka yang tinggal di daerah
yang beresiko terkontaminasi arsenik dalam air disarankan untuk mengonsumsi satu sampai tiga
siung bawang putih per hari sebagai pencegahan keracunan arsen.

BAB 1V
KESIMPULAN
1. Keberadaan arsen di alam meliputi keberadaan di batuan (tanah) dan sedimen udara, air dan
biota, produksi arsen di dalam industri, adanya penggunaan arsen oleh manusia dan adanya
sumber pencemaran arsen di lingkungan.
2.Arsen digunakan dalam kehidupan manusia, antara lain sebagai bahan pestisida, bahan
semikonduktor rangkaian listrik, pupuk, industri pewarna dan cat serta dalam bidang pengobatan.
3. Dampak negatif akibat terpapar arsen yaitu dapat mengganggu fungsi tubuh manusia, antara
lain mata, kulit, darah, hati, ginjal, saluran pernapasan, pembuluh darah, sistem reproduksi,
sistem immunologi, sistem sel, serta gastrointestinal (saluran pencernaan).
4.Untuk mengobati keracunan arsen digunakan metode kimia dan sintetik. Selain itu juga bagi
masyarakat yang tinggal di daerah yang beresiko terkontaminasi arsenik dalam air disarankan
untuk mengonsumsi bawang putih sebagai pencegahan keracunan arsen. Karena zat yang
mengandung belerang dalam bawang putih dapat mengurangi kadar arsen dalam jaringan dan
darah.

DAFTAR PUSTAKA
. 2000. Arsenic.
http://www.euro.who.int/document/aiq/6.1_arsenic.pdf
Diakses tanggal 16 Oktober 2009.

. 2009. Arsen
http://www.wikipedia.org
Diakses tanggal 15 Oktober 2009.

. 2009. Bahaya Logam Berat dalam Makanan


http://www.bluefame.com/index.php
Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

. 2009. Keracunan arsenic


http://www.wikipedia.org
Diakses tanggal 15 Oktober 2009.

. 2009. Mengenal Arsenik


http://terselubung.blogspot.com/2009/06/mengenal-arsenik_03.html
Diakses tanggal 15 Oktober 2009.

Gross dan Nelson, . Arsenic in Tobacco Smoke.


http://www.ajph.org/cgi/reprint/24/1/36
Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

Herman, D.Z. 2006. Tinjauan terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar Arsen (As),
Merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dari Sisa Pengolahan Bijih Logam.
www.geoajeh.net46.net/.../Tinjauan%20tailing%20mengandung%20unsur%20pencemar%20
Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

Sudarmaji, dkk. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya terhadap Kesehatan.
www.journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php
Diakses tanggal 16 Oktober 2009.

Sukar, 2003. Sumber dan Terjadinya Arsen di Lingkungan.


http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/sukar22.pdf
Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

Tallei, T. 2004. Mekanisme Detoksikasi Logam Berat dalam Tubuh Manusia


http://trinatallei.blog.friendster.com/2008/05/mekanisme-detoksikasi-logam-berat-dalam-tubuh-
manusia/
Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

Wijanto, S.E, 2005. Limbah B3 dan Kesehatan.


http://www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo/200504121503 - LIMBAH%20B-3.pdf
Diakses tanggal 16 Oktober 2009.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian penyakit maupun gangguan kesehatan pada manusia, tidak terlepas dari peran faktor
lingkungan. Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya penyakit, juga dikenal sebagai proses kejadian penyakit. Sedangkan proses
kejadian penyakit satu dengan yang lain masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Dalam hal
ini faktor lingkungan memegang peranan sangat penting.
Interaksi manusia dengan lingkungan telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering
terjadi kuman yang tinggal di tubuh host kemudian berpindah ke manusia karena manusia tidak mampu
menjaga kebersihan lingkungan. Hal ini tercermin dari tingginya kejadian penyakit berbasis lingkungan
yang masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat Indonesia. Untuk mengurangi masalah
kesehatan akibat penyakit-penyakit lingkungan adalah dengan merencanakan dan melaksanakan suatu
manajemen penyakit yang berbasis wilayah (Depkes RI, 2002).
Manajemen penyakit mestinya tidak hanya dilakukan pada manusia atau sejumlah penduduk yang
mengalami sesuatu penyakit. Manajemen demikian tidak akan menyelesaikan problem penyakit yang
bersangkutan, karena hanya berupa pendekatan kuratif, yaitu penanganan pada tingkat hilir.
Seharusnya dalam penanganan sesuatu penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular,
manajemen penyakit yang paling tepat diterapkan adalah manajemen berbasis lingkungan. Mengingat
faktor-faktor lingkungan sangat dominan dalam proses kejadian suatu penyakit, maka manajemen
berbasis lingkungan harus dilibatkan dalam upaya-upaya pencegahan maupun pengendaliannya.
Manajemen berbasis lingkungan untuk penanggulangan penyakit, dimulai dari tingkat hulu menuju hilir.
Perhatian utama pada faktor penyebab, media transmisi, dengan memperhatikan faktor penduduk
sebagai objek yang terjangkit atau terpajan, sebelum melakukan penanganan pada manusia yang
menderita penyakit.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap timbulnya penyakit?
2. Bagaimana sistem manajemen penyakit lingkungan berbasis wilayah yang dilakukan dalam upaya
untuk mengendalikan wabah?
3. Bagaimana penerapan manajemen penyakit lingkungan berbasis wilayah yang dilakukan dalam upaya
untuk mengendalikan wabah penyakit malaria?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Berbasis Wilayah
Manajemen penyakit dapat dilakukan dengan berdasar pada teori simpul. Teori simpul terdiri dari 4
simpul yaitu, simpul 1, simpul 2, simpul 3 dan simpul 4.
Simpul 1 atau sumber penyakit, merupakan titk yang secara konstan maupun sporadis berpotensi
menular pada manusia. Prinsip penanggulangan yang utama tentu saja memberantas bibit penyakit,
baik pada binatang maupun manusia, dengan berbagai upaya. Tanpa pemberantasan ini, potensi
penularan tetap ada dan sewaktu-waktu akan menimbulkan masalah. Terhadap sumber penyakit yang
berasal dari binatang, tentu saja dengan pemberantasan penyakit pada binatang tersebut, pemusnahan
binatang yang bersangkutan jika dianggap perlu, sperti pada kasus flu burung, tetapi juga
menghindarkan manusia dari kontak dengan binatang pembawa (Anies, 2006).
Apabila manajemen pada simpul 1 gagal dilakukan, atau tidak dapat dilakukan, atau tidak dapat
dilakukan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, seyogianya segara melaksanakan manajemen pada
simpul 2, yaitu berupa pengendalian pada media penularan atau media transmisi. Media transmisi,
sebenarnya tidak memiliki potensi penyakit, apabila media ini tidak mendapat muatan bibit penyakit.
Manajemen pada simpul ini antara lain dapat berupa pengendalian nyamuk penular malaria, penular
penyakit DBD dan lain-lain.
Manajemen pada simpul 3 pada hakekatnya adalah pengendalian proses pajanan pada komunitas.
Upaya yang dapat dilakukann di sini dapat menyangkut teknologi, sosial budaya dan sebagainya.
Manajemen pada simpul 4 atau pengobatan pada penderita, merupakan upaya terakhir yang pada
hakikatnya sebagai upaya terahir dari rangkaian teori simpul ini. Upaya yang dapat dilakukan pada
simpul ini antara lain, berupa pengobatan pada kelainan fungsi maupun morfologi organ tubuh. Tujuan
manajemen pada simpul ini tentu saja penyembuhan dari penyakit atau gangguan kesehatan yang
dialami oleh seseorang atau sekelompok orang (Anies, 2006).

B. Penyakit Lingkungan
Lingkungan tidak mungkin mampu mendukung jumlah kehidupan yang tanpa batas dengan segala
aktifitasnya. Karena itu, apabila lingkungan sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia,
manusia akan menuai berbagai kesulitan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan, yang pada akhirnya akan merusak lingkungan itu
sendiri. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihaan akan berdampak buruk pada manusia (Anies,
2006).
Menurut Depkes RI tahun 2002, beberapa penyakit yang timbul akibat lingkungan yang buruk seperti
ISPA, TBC, diare, DBD, malaria, kecacingan dan penyakit kulit.

C. Pengendalian Wabah atau KLB


Wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition)
yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin,
karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena
persebaran penyakit tersebut (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006).
Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab
operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota. Sedangkan penanggugjawab
teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah
kabupaten/kota maka penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur.
Penetapan wabah atau KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti bila terjadi ledakan
gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau
ledakan gas, memang tidak lazim disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan
atau rumusan upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan. Apabila kita mencermati
proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai
pencermatan pra-KLB. Misalnya, adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular
penyakit, terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas lingkungan
tertentu yang menurun, dan sebagainya (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006).
Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting, tidak hanya mencegah
terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pasca- KLB, informasi pra-KLB menjadi penting.
Gempa bumi di sebuah wilayah endemik malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan
(Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, 2006).
Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian penyakit, KLB pada dasarnya
merupakan suatu kejadian baik pada sumber penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta
korban kejadian penyakit yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.
Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah juga manajemen dua bagian penting yang
tak terpisahkan, dan harus dilakukan secara simultan dalam waktu relatif singkat, yakni manajemen
kasus dan manajemen public health (manajemen faktor risiko).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Lingkungan Terhadap Timbulnya Penyakit
Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia, telah lama disadari. Bahkan telah
lama diketahui pula bahwa peran lingkungan dalam meningkatkan derajat kesehatan sangat besar.
Sebagaimana dikemukakan oleh Blum (1974) dalam Planning for Health, Development and Application
of Social Change Theory, bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Sebaliknya, kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, termasuk timbulnya
berbagai penyakit menular, andil faktor lingkungan sangat besar. Memang tidak selalu lingkungan
sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi maupun memperberat penyakit
yang telah ada. Demikian juga yang dikemukakan oleh WHO (1986), bahwa setiap kegiatan, termasuk
pembangunan di sektor apapun, wajib dilakukan kajian kesehatan lingkungan. Agaknya keyakinan
bahwa lingkungan berperan penting dalam semua sektor atau bidang, telah disadari oleh organisasi
kesehatan dunia ini (Anies, 2006).
Salah satu yang kurang disadari selama ini, adalah munculnya berbagai penyakit menular lingkungan
yang sebelumnya tidak ada, atau muncul kembali penyakit yang semula telah reda. Sebagai contoh, flu
burung yang semula tidak pernah dilaporkan di Indonesia tiba-tiba menimbulkan masalah kesehatan
masyarakat yang pelik. Bahkan sesuatu penyakit menular semacam demam berdarah dengue yang
merupakan siklus lima tahunan, tiba-tiba meledak setiap tahun (Anies, 2006).

B. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah


Manajemen penyakit berbasis wilayah harus dilakukan secara terpadu dan pelaksanaannya dilakukan
mengacu kepada teori Simpul, yakni adanya keterpaduan antara pengendalian sumber penyakit, media
transmisi, dan pengendalian factor resiko kependudukan serta penyembuhan kasus penyakit pada suatu
wilayah komunitas tertentu.
Manajemen yang dapat dilakukan berdasarkan teori Simpul dapat dijelaskan sebagai berikut (Achmadi,
2008):
1. Manajemen Simpul 1 (Pengendalian pada sumber penyakit)
Pengendalian penyakit atau manajemen penyakit secara terpadu berbasis wilayah, dimulai dari
pengendalian sumber penyakit. Pengendalian pada sumber penyakit merupakan upaya preventif
promotif. Sumber penyakit menular dan penyakit tidak menular pada dasarnya dapat dibedakan.
Sumber penyakit menular yaitu penderita penyakit itu sendiri. Dengan melakukan pencarian kasus
secara aktif dan menetapkan kasus (melakukan diagnosis secara cepat dan tepat terhadap kasus) serta
pengobatan hingga sembuh, maka sumber penularan dapat dieliminasi bahkan dihilangkan. Manajemen
kasus penyakit menular merupakan upaya promotif sekaligus preventif, karena mencegah agar tidak
timbul penularan lebih lanjut dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan petugas lapangan untuk
membantu mencari dan mengobati kasus dengan baik secara proaktif, misalnya juru malaria desa dan
juru kusta.
Sumber penyakit tidak menular yaitu sumber agent penyakit berupa bahan toksik, fisik seperti radiasi
atau kebisingan. Misalnya, knalpot kendaraan bermotor secara terus-menerus mengeluarkan gas-gas
toksik seperti Karbonmonoksida, SO2, NOx. Contoh lain yaitu cerobong asap, titik buangan limbah
industry, titik buangan limbah rumah tangga, asap rokok dan lain-lain. Untuk menghilangkan potensi
bahaya dari sumber tersebut maka beberapa teknik dapat ditempuh, misalnya dengan mengganti bahan
bakar bensin menjadi bahan bakar gas. Memperbaiki proses mesin menjadi lebih efisien dan efektif,
atau diberi alat penyaring bahan pencemar.
2. Manajemen Simpul 2 (Pengendalian pada media penularan/ wahana transmisi)
Manajemen Simpul 2 dilakukan jika manajemen Simpul 1 mengalami kegagalan. Manajemen simpul 2
dilakukan dengan mengendalikan agent penyakit melalui media transmisi, misalnya saja:
a. Pengendaliann vektor.
Pengendalian vektor merupakan salah satu cara mengendalikan penyakit yang ditularkan vektor
penyakit, seperti nyamuk penular malaria, penular demam berdarah dan sebagainya.
b. Penyehatan makanan.
Penyehatan pangan merupakan upaya untuk melakukan pencegahan penularan penyakit melalui
pangan, misalnya sanitasi makanan, proses pengolahan yang memenuhi standar kesehatan, penggunaan
bahan-bahan yang tidak berpotensi bahaya penyakit (misalnya daging yang mengandung Bacillus
anthracis).
c. Penyehatan air.
Penyehatan air identik dengan penyediaan air bersih bagi seluruh penduduk. Misalnya, air yang
tercemar bakteri harus dimasak.
d. Pembersihan udara dalam ruangan.
Penyehatan udara dapat dilakukan denganc ara penyediaan air filter di ruangan yang penuh dengan
asap rokok. Untuk membersihkan polusi udara di perkotaan dengan cara menanam pephonan,
memperbanyak air mancur, telaga dan lain sebagainya.
e. Pada manusia pembawa penyakit (misalnya pengobatan, atau containment penderita).
Sedangkan penularan penyakit melalui manusia selain pengobatan pada manusia itu sendiri, juga
diminta menggunakan alat pelindung diri, seperti masker pada penderita penyakit TBC agar tidak
menularkan pada orang lain.
3. Manajemen Simpul 3 (Pengendalian proses pajanan/ kontak pada masyarakat)
Emisi sumber agent penyakit yang telah berada pada media transmisi (lingkungan) kemudian
berinteraksi dengan penduduk atau masyarakat setempat. Intensitas hubungan interaktif antara media
transmisi (lingkungan) dengan masyarakat tergantung pola perilaku individu atau kelompoknya,
misalnya perilaku menghindar, perilaku sselalu mengkonsumsi air yang telah dimasak, hobi, pekerjaan,
dan sebagainya.
Ada sederet upaya (termasuk upaya teknologi) untuk mencegah agar masyarakat tertentu tidak
melakukan kontak dengan komponen yang memiliki potensi membahayakan kesehatan. Upaya yang
telah dikenal antara lain upaya perbaikan PHBS, penggunaan alat pelindung diri, imunisasi dan
kekebalan alamiah ketika terjadi wabah demam berdarah.
4. Manajemen Simpul 4 (Pengobatan penderita sakit/ manajemen kasus)
Pengobatan terhadap penderita kasus tersebut dikenal sebagai manajemen kasus atau penderita
penyakit. Agent penyakit yanng masuk ke tubuh seseorang akan menngalami proses yang amat
kompleks di dalam tubuh manusia tersebut. Tentu saja tubuh manusia dengan sistem pertahanannya
tidak serta-merta menyerah begitu saja. Hal ini dikenal sebagai sistem pertahanan seluler maupun
humoral. Untuk kasus penyakit lingkungan yang menular, mikroba yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai media transmisi tentu akan dicoba di-contain, ditahan dan dibunuh oleh sel-sel
pertahanan tubuh manusia.
Sakit merupakan keadaan patologis pada individu maupun sekelompok orang berupa kelainan fungsi
maupun morfologi. Untuk memastikan kondisi seseorang dinyatakan sakit, bis melalui pemeriksaan
secara sederhana hingga pemeriksaan dengan alat teknologi tinggi. Kondisi gangguan penyakit
merupakan kegagalan pengendalian faktor risiko pada simpul 1, 2, dan 3. Saat itulah diperlukan
manajemen kasus penderita dengan baik dan tuntas, terutama untuk kasus penyakit menular. Kasus
penyakit menular memerlukan pengobatan yang baik untuk mencegah timbulnya penularan. Sedangkan
untuk penyakit yang tidak menular, upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan dukungan teknik
diagnostik dan penentuan faktor risiko agar orang lain tidak menderita penyakit serupa.

Selain berdasarkan teori sampul, menurut Hamzah Hasyim dalam jurnalnya, menyebutkan bahwa
manajemen penyakit lingkungan berbasis wilayah, dapat dilakukan melalui manajemen kasus (case
management) dan manajemen kesehatan masyarakat (public health management).
1. Manajemen Kasus (case management)
Merupakan bagian penting dari manajemen penyakit infeksi baru maupun penyakit infeksi lama yang
muncul kembali, penerapan teknik dan kemampuan diagnosis, pemeriksaan laboratorium, pengobatan,
perawatan dan rehabilitasi serta pencegahan agar tidak menular kepada orang lain. Manajemen kasus
yang berhasil, merupakan upaya pencegahan yang efektif agar penyakit tidak menyebar, dan tidak
menjadi sumber penularan. Survailans kasus, yang dilakukan dengan baik, sampai menimbulkan ”aksi’,
merupakan salah satu item penting yang perlu dilakukan. Surveilans terpadu adalah kegiatan
pengumpulan data, baik faktor risiko maupun kejadian penyakit yang dilakukan secara simultan,
sistematik, periodik, berkesinambungan dan terencana, yang diikuti oleh analisis data untuk
mendapatkan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan (manajemen). Menurut The
Centers for Disease Control (CDC), surveilans kesehatan masyarakat adalah: “the on going sistematic
collection, analysis and interpretation of health data essential to the planning, implementation, and
evaluation of public health practice, closely integrated with the timely disseminationof these data to
those who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of these data to
prevention and control”.
Salah satu pengunaan perangkat lunak yang dapat mendukung upaya survailans kasus adalah ArcView
GIS untuk menggambarkan pola incidence, pravalence penyakit, yang dapat dioverlay berdasarkan
model faktor prediksi penemuan kasus baru. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) di bidang
kesehatan bukan hanya pemanfaatan teknologi komputer (otomasi) di bidang SIG semata, namun harus
lebih diarahkan kepada pembentukan informasi yang berkaitan dengan wilayah, pengembangan
indikator, pengembangan teknologi manipulasi data dan analisis secara spasial. Pemanfaatan teknologi
komputer akan sangat berperan dalam mempercepat proses analisa data geografik dengan volume lebih
besar.
2. Manajemen Kesehatan Masyarakat (Public Health Management).
Manajemen penyakit berbasis lingkungan tidak bisa dilaksanakan secara sendiri. Oleh sebab itu,
kemitraan dan Networking adalah salah satu kunci utama. Global Networking dilakukan antarnegara,
misalnya ASEAN, ASEAN + 3 negara (Japan, China, Korea), networking Indonesia melalui NAMRU 2
dengan CDC Atlanta. Walaupun, terlepas dari “kinerja NAMRU 2, akhir ini mendapat sorotan hangat
publik”, networking antara Indonesia dan Singapore begitu juga Malaysia ada kerja sama bilateral untuk
menangani SARS. Komitmen international dalam Roll Back Malaria yang operasionalisasinya di Indonesia
disepakati dengan Gebrak Malaria.
Sejak tahun 1997, diperkenalkan pendekatan Integrated Management Childhood Illness (IMCI) atau
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang sekaligus merupakan model tatalaksana kasus untuk
berbagai penyakit anak, yaitu: ISPA, diare, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Dalam pola baru
ini disamping digunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan teknologi
tepat guna, juga dipisahkan antara tatalaksana penyakit Pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit
infeksi akut telinga dan tenggorok.

C. Penerapan sistem manajemen penyakit lingkungan berbasis wilayah dalam upaya penanggulangan
wabah penyakit malaria.
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa, yakni Plasmodium, Sp, yang
penularannya dilakukan oleh vektor nyamuk Anopheles, Sp. Dalam Manual Pemberantasan Penyakit
Menular yang dieditori oleh James Chin, MD, MPH dan diterjemahkan oleh Dr. I Nyoman Kandun, MPH
disebutkan bahwa ada empat jenis parasit malaria yang dapat menginfeksi manusia. Untuk
membedakan keempat jenis parasit malaria tersebut diperlukan pemeriksaan laboratorium, oleh karena
gejala klinis yang ditimbulkan oleh keempat jenis parasit malaria tersebut sama. Apalagi pola demam
pada awal infeksi menyerupai pola demam penyakit yang disebabkan organisme lain (bakteri, virus,
parasit lain). Bagi penderita yang tinggal di daerah endemis malaria, walaupun di dalam darahnya
ditemukan parasit malaria, tidak berarti orang tersebut hanya menderita malaria. Dapat juga pada
waktu yang bersamaan orang tersebut menderita penyakit lain (seperti demam kuning fase awal,
demam Lassa, demam tifoid). Infeksi oleh plasmodium malaria yang paling serius adalah malaria
falciparum (disebut juga tertiana maligna ICD-9 084.0; ICD-10 B50).
Berdasarkan teori simpul, maka didapatkan suatu distribusi faktor determinan munculnya penyakit
malaria sebagai berikut:
• Simpul 1 (Sumber Penyakit). Sumber penyakit penyakit malaria adalah manusia yang di dalam
tubuhnya mengandung gametosit Plasmodium. Hanya manusia menjadi reservoir terpenting untuk
malaria. Primata secara alamiah terinfeksi berbagai jenis malaria termasuk P. knowlesi, P. brazilianum, P.
inui, P. schwetzi dan P. simium yang dapat menginfeksi manusia di laboratorium percobaan, akan tetapi
jarang terjadi penularan/transmisi secara alamiah.
• Simpul 2 (Media Perantara). Media perantara penyakit ini adalah nyamuk Anopheles betina.
• Simpul 3 (Perilaku Pemajanan). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan
komponen lingkungan yang mengandung potensi penyakit. Nyamuk Anopheles memiliki waktu aktif
setelah matahari terbenam hingga pagi hari saat matahari mulai muncul menerangi bumi. Waktu itulah
waktu yang paling rentan dimana jumlah kontak antara manusia dan media perantara (nyamuk
Anopheles) lebih besar. Kontak dapat terjadi jika populasi nyamuk di suatu wilayah sangat tinggi. Selain
itu, kemampuan manusia untuk melindungi dirinya dari gigitan nyamuk juga mempengaruhi frekuensi
kontak dengan nyamuk.
• Simpul 4 (penyakit/outcome). Seseorang dikatakan sakit malaria jika dengan diagnosa konfirmasi
laboratorium dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria pada sediaan darah. Pemeriksaan
mikroskopis yang diulang setiap 12-24 jam mempunyai arti penting karena kepadatan Plasmodium
falciparum pada darah tepi yang tidak tentu dan sering parasit tidak ditemukan dengan pemeriksaan
sediaan darah tepi pada pasien yang baru terinfeksi malaria atau penderita yang dalam pengobatan
malaria. Beberapa cara tes malaria sedang dalam uji coba. Tes dengan menggunakan dipstick
mempunyai harapan yang paling baik, tes ini mendeteksi antigen yang beredar didalam darah.
Walaupun sudah mendapat lisensi di beberapa negara di dunia akan tetapi di Amerika lisensi baru
diberikan pada tahun 1999. Diagnosis dengan menggunakan metode PCR adalah yang paling sensitif,
akan tetapi metode ini tidak selalu tersedia di laboratorium diagnosa malaria. Antibodi di dalam darah
yang diperiksa dengan tes IFA atau tes lainnya, dapat muncul pada minggu pertama setelah terjadinya
infeksi akan tetapi dapat bertahan lama sampai bertahun-tahun tetap beredar didalam darah.
Pemeriksaan ini berguna untuk membuktikan riwayat infeksi malaria yang dialami sebelumnya dan tidak
untuk mendiagnosa penyakit malaria yang sedang berlangsung

Setelah mengetahui uraian masing-masing determinan berdasarkan teori simpul, maka langkah
manajemen dapat dimulai. Manajemen penyakit dapat dikembangkan dengan mengintervensi masing-
masing simpul.
• Manajemen penyakit di simpul 1 dan 4. Penyakit malaria hanya memiliki manusia sebagai
reservoirnya. Oleh karena itu, manajemen simpul 1 sama dengan manajemen simpul 4 (jika outputnya
sakit. Akan tetapi, jika outputnya sembuh berarti simpul 4 tidak perlu diintervensi lagi). Agar nyamuk
anopheles tidak menghisap darah yang mengandung gametosit dari penderita, maka agen harus
dihilangkan dari penderita. Artinya, penderita harus mendapatkan perawatan total hingga ia benar-
benar sembuh. Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria adalah dengan menggunakan
chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang masih sensitif terhadap obat
tersebut dapat diberikan per oral (diminum) dengan jumlah dosis 25 mg chloroquine/kg berat badan
diberikan lebih dari 3 hari, dosis 15 mg dapat diberikan pada hari pertama (10 mg/kg berat badan dosis
awal dan 5 mg/kg berat badan 6 jam berikutnya; 600 mg dan 300 mg dosis untuk orang dewasa); hari
kedua diberikan 5 mg/kg berat badan dan hari ketiga diberikan 5 mg/kg berat badan. Malaria vivax
mungkin sudah resisten terhadap klorokuin, penderita yang sudah diberi pengobatan, diberi
pengobatan ulang atau diberikan dosis tunggal mefloquine 25 mg/kg berat badan.
• Manajemen simpul 2. Simpul 2 diisi oleh vektor, yaitu nyamuk Anopheles, Sp. Oleh karena itu, langkah
yang harus diambil adalah langkah pengendalian vektor. Langkah pengendalian vektor harus diambil
karena penderita malaria yang diobati tidak akan sembuh pada saat dia pertama kali minum obat. Di
dalam darahnya pasti masih terdapat gametosit-gametosit plasmodium yang potensial untuk
menularkan penyakit. Langkah intervensi vektor yang dapat diambil di antaranya adalah eliminasi
breeding site dan resting site.
• Manajemen simpul 3. Simpul 3 diisi oleh perilaku manusia yang mempengaruhi jumlah kontaknya
dengan vektor. Oleh karena itu, langkah yang diambil di antaranya adalah bagaimana agar sumber
bahaya (nyamuk) jauh dari manusia. Artinya, bagaimana mengecilkan risiko terjadinya kasus dengan
menjauhkan/menghindarkan diri dari nyamuk. Langkah-langkah yang diambil di antaranya adalah
penggunaan repellen di malam hari dan tidur dengan perlindungan kelambu.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Lingkungan memiliki andil dalam menimbulkan adanya penyakit. Bahkan menurut HL Blum, faktor
lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
2. Manajemen penyakit lingkungan berbasis wilayah dapat dilaksanakan dengan pendekatan teori
simpul (simpul 1, 2, 3 dan 4). Juga dapat dilakukan dengan pendekatan manajemen kasus dan
manajemen faktor risiko (manajemen kesehatan masyarakat).
3. Penerapan manajemen penyakit berbasis wilayah pada wabah malaria adalah untuk simpul 1 dan 4
dengan agen penyakit harus dihilangkan dari penderita dengan pemberian obat, untuk simpul 2 dengan
pengendalian vektor, simpul 3 dengan mengecilkan risiko terjadinya kasus dengan
menjauhkan/menghindarkan diri dari nyamuk.

B. SARAN
Hendaknya manajemen penyakitb lingkungan berbasis wilayah harus dilakukan secara sistematis,
terencana, berdasar fakta (evidence based) serta terpadu. Masyarkat juga harus diberdayakan,
memahami, serta diarahkan untuk mampu melindungi dirinya sendiri dari penyakit dan senantiasa
menjaga dan meningkatkan kesehatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Jakarta

Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular.
Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta

Anies. 2007. Mengatasi Gangguan Kesehatan Masyarakat Akibat Radiasi Elektromagnetik dengan
Manajemen Berbasis Lingkungan. Pidato Pengukuhan. Disampaikan pada Upacara Penerimaan Jabatan
Guru Besar IKM FK Universitas Diponegoro 14 Juli 2007

Depkes RI. 2002. Standar Prosedur Operasional Klinik Sanitasi. Jakarta

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah)
Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2006

Hasyim, Hamzah. 2008. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis Wilayah (Application Management
Environmental Disease Based of Spesific Area). Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 11. No. 2

You might also like