You are on page 1of 4

Issue Perpajakan dalam Konvergensi IFRS di Indonesia

Saat ini isu konvergensi IFRS ke Standar


Akuntansi Keuangan di Indonesia sedang hangat-
hangatnya. Seluruh pelaku dunia akuntansi
menyiapkan diri untuk menghadapi konvergensi
tersebut. Dampak dari konvergensi IFRS tidak
hanya dirasakan oleh sektor bisnis melainkan juga
pemerintah selaku regulator di dalam negeri.
Direktorat Jenderal Pajak mungkin yang paling
terkena dampak dari konvergensi IFRS ini. Selaku
regulator di bidang perpajakan, sangatlah jelas kaitannya dengan pelaporan keuangan entitas
bisnis dalam pelaporan pajak.

Sesuai dengan hasil forum IFRS Regional Policy di Singapura pada 13 mei 2010,
dimana Indonesia ikut serta dalam forum tersebut menyebutkan pada point 3 dan 5 :

Point 3. Participants agrred that policy makers such as bank regulators and tax authorities
should more actively engage the IASB in the international standard-setting process in a
collective effort to promote greater transparency in the global marketplace and in order to
align policies more closely to new standards.
Point 5. Participants suggested initiatives to educate key stakeholders such as prepares,
auditors, tax authorities, etc. On the rapid changes being to tha IFRS, to facilitate better and
adherence of the standards.
Berdasarkan forum tersebut maka otoritas pajak harus lebih aktif terlibat dalam proses
penetapan standar internasional dalam upaya untuk mempromosikan transparansi yang lebih
besar. Sehingga otoritas pajak melalui ketentuan perpajakan yang ditetapkannya harus
menyesuaikan dengan konvergensi IFRS tersebut.

Berdasarkan ketentuan umum dan tata cara perpajakan sesuai dengan UU KUP No
28/2007 pada pasal 28 ayat 7 menjelaskan tentang “ dengan demikian pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan
perpajakan menentukan lain.”

Adapun perbandingan praktek Akuntansi Umum dengan Perpajakan yaitu :

AKUNTANSI UMUM PERPAJAKAN


Estimasi Realisasi
- Impairment Loss Peraturan pajak hanya mengakui realisasi
- Provisions bukan nilai estimasi
Nilai Wajar (Fair Value) Biaya Perolehan
- Aset Tetap Peraturan perpajakan belum mengadopsi
- Properti Investasi konsep nilai wajar
- Instrumen Keuangan
Substance over form Form Over Substance
- Klasifikasi sewa pembiayaan Memiliki syarat-syarat yang memperhatikan
- Definisi “pihak berelasi” status legal
Principle Based Rule Based
- Umur manfaat (misalnya aset Definisi dan ketentuan lebih detail
tetap, aset tak berwujud)
Konsep Materialitas Jumlah berapapun adalah material
Konsep Unit Moneter PMK 196/2007 pasal 2 dan 3
Mata uang fungsional tidak harus sama WP harus menggunakan mata uang penyajian
dengan mata uang penyajian (PSAK 10) dengan Rupiah. Kecuali WP tsb diatur pada
pasal 3
Definisi Hubungan Berelasi (PSAK 7) Definisi istilah hubungan istimewa (UU
Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan NO. 36/2008)
bersama (principle based) Kepemilikan penyertaan modal lebih dari 25
% (rule based)
PSAK 13 (Properti Investasi) UU NO.36/2008 & PMK
- Mengakui adanya pengakuan No.79/PMK.03/2008
properti untuk investasi - Tidak membedakan properti
- Pengukuran menggunakan investasi dari aktiva tetap
Model biaya dan model nilai wajar - Model biaya (harga perolehan
(paragraf 33) adalah jumlah yang sesungguhnya
- Jika memenuhi sebagai aset dikeluarkan) pasal 10 UU no.36
yang dimiliki untuk dijual maka tidak - Disusutkan menggunakan tarif
disusutkan sesuai kelompok aset
PSAK 16 (Aset Tetap) UU NO.36/2008 & PMK
- Pengukuran menggunakan No.79/PMK.03/2008
model biaya dan model revaluasi - Pengukuran model biaya
- Komponen biaya perolehan menggunakan model biaya
termasuk estimasi awal biaya - Tidak mengakui biaya
pembongkaran dan pemindahan aset estimasi
dan restorasi - Efek revaluasi mengakibatkan
- Efek revaluasi bisa kenaikan nilai aktiva tetap
mengakibatkan kenaikan atau - Revaluasi dilakukan terlebih
penurunan nilai aset (Par 39 dan 40) dahulu melakukan permohonan ke
- Revaluasi dilakukan secara DJP (pasal 2) dan dapat dilakukan
teratur dan cukup reguler tergantung kembali dalam jangka waktu 5 tahun
perubahan nilai wajar (Par 31 dan 34) (pasal 3)
Aset Biologis Aset Biologis
Diukur dengan nilai wajar (IAS 41 dan IAS Diukur dengan biaya perolehan
16)
PSAK 19 UU PPh No. 36 / 2008
Aset tak berwujud dengan umur manfaat Pasal 11A: umur manfaat aset tak berwujud
tidak terbatas adalah maksimal 20 tahun
Par 88: aset tidak berwujud harus ditentukan
umur manfaatnya apakah terbatas atau tidak
terbatas
PSAK 30 KMK No. 1169/KMK.01/1991
- Par 16 : Lessee mengakui - Pasal 16: selama masa, lessee
sewa pembiayaan sebagai aset pada tidak boleh melakukan penyusutan
awal masa sewa sampai saat lessee menggunakan hak
- Par 23 : Sewa pembiayaan opsi
menimbulkan beban penyusutan - Setelah lessee menggunakan
dalam setiap periode akuntansi hak opsi, lessee melakukan
penyusutan dan dasar penyusutannya
adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan.
PSAK 48 : Penurunan Nilai Aset UU PPh No.36/2008 dan PMK
- Paragraf 60, rugi penurunan 79/PMK.03/2008
nilai segera diakui dalam laporan laba Dalam ketentuan perpajakan tidak mengatur
rugi penurunan nilai pada saat revaluasi aset.
Estimasi rugi penurunan nilai tidak diakui
dalam peraturan perpajakan
PSAK 55 Aturan Perpajakan
- Premium, mengakui adannya - PP 16 /200 pasal 1-3 yang
premium dalam penghitungan metode dikenai pajak final hanya bunga dan
suku bunga efektif>> metode yang diskonto. Premium tidak diatur,
digunakan untuk menghitung biaya sehingga tidak dikenal pajak.
perolehan diamortisasi dari aset - PP 14/1997 pasal 1 ayat 2:
keuangan atau kewajiban keuangan besarnya pajak penghasilan dihitung
- Paragraf 56: keuntungan dan dari nilai transaksi. Pajak tidak
kerugian tersebut diakui pada laporan mengakui keuntungan dan kerugian
laba rugi atau laporan perubahan yang disebabkan karena perubahan
ekuitas sesuai klasifikasinya nilai wajar namun dari nilai transaksi
penjualan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara standar dan aturan perpajakan
memiliki beberapa perbedaan dalam melakukan praktek akuntansi. Jadi apakah seorang
akuntan harus membuat dua buah laporan keuangan yang satu versi standar akuntansi yang
mengadopsi IFRS dan satunya lagi versi aturan perpajakan. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi seorang akuntan baik itu yang bergelut sebagai penyedia laporan keuangan
ataupun regulator dalam membuat peraturan perpajakan.

Opsi yang bisa diambil oleh regulator yaitu; (1) Adopsi penuh IFRS, menyederhanakan
laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang menganut IFRS. (2) Tidak mengadopsi IFRS,
sebagai regulor memiliki kewenangan untuk mennetukan aturan perpajakan sendiri tanpa
harus mengikuti IFRS. Tapi tetap dibutuhkan rekonsiliasi fiskal. (3) Mengadopsi sebagian
IFRS, hanya yang penting saja yang disesuaikan dengan IFRS tetap ada rekonsiliasi fiskal.

Rekonsiliasi fiskal laporan keuangan akan sangat menentukan penyelarasan antara


keduanya. Oleh karena itu, butuh suatu koordinasi dengan seluruh elemen yang terkait guna
merumuskan suatu ketentuan pajak yang berterima umum.

You might also like